Professional Documents
Culture Documents
Puji syukur kehadirat Allah SWT, karena dengan rahmat dan hidayah-Nyalah
penulis dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya. Shalawat beriring
salam selalu kita panjatkan kepada Rasullullah SAW, karena kegigihan beliau dan
ridho-Nyalah kita dapat merasakan kenikmatan dunia seperti sekarang ini.
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas yang
diberikan oleh dosen, makalah ini juga bertujuan untuk menambah pengetahuan dan
wawasan bagi pembaca sekalian.
Penulis
1
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ......................................................................................... 4
1.2 Rumusan Masalah ..................................................................................... 6
1.3 Tujuan ........................................................................................................ 6
BAB II PEMBAHASAN
2.1 AL-QUR’AN.............................................................................................. 7
2.1.1 Pengertian Al-qur’an.......................................................................... 7
2.1.2 Struktur dan pembagian Al-Qur'an ................................................... 8
2.1.3 Sejarah Al-Qur'an hingga berbentuk mushaf ................................... 9
2.1.4 Pengumpulan Al-Qur'an di masa Rasullulah SAW ........................... 9
2.1.5 Pengumpulan Al-Qur'an di masa Khulafaur Rasyidin .....................10
2.1.6 Adab Terhadap Al-Qur'an ................................................................13
2.1.7 Hubungan dengan kitab-kitab lain ...................................................13
2.1.8 Kesusastraan Al-Qur’an ...................................................................14
2.2 HADITS ....................................................................................................18
2.2.1 Pengertian Hadits .............................................................................18
2.2.2 Struktur Hadits .................................................................................19
2.2.3 Klasifikasi Hadits .............................................................................21
2.2.4 Perbedaan Hadits dengan as-Sunnah, al-Khabar, dan al-Atsar ...... 24
2.2.5 Cara Penyampaian Hadits pada Masa Nabi .................................... 25
2
3.1 Kesimpulan .............................................................................................. 30
3.2 Saran ........................................................................................................ 30
3
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Al-Hadits didefinisikan oleh umumnya ulama identik dengan definisi As-
Sunnah. Yaitu sebagai “Segala sesuatu yang dinisbahkan kepada nabi
Muhammad saw, baik ucapan, perbuatan dan taqrir (ketetapan), maupun sifat
fisik dan psikis, baik sebelum beliau menjadi nabi maupun sesudahnya.” Ulama
ushul fiqh, membatasi pengertian hadis hanya pada “ucapan-ucapan Nabi
Muhammad saw yang berkaitan dengan hukum“. Sedangkan bila mencakup pula
padanya perbuatan dan taqrir (bukan hanya ucapan) beliau yang berkaitan
dengan hukum, maka ketiga hal ini dinamai As-Sunnah.
Pengertian hadis seperti yang dikemukakan oleh ulama ushul tersebut,
dapat dikatakan sebagai bagian dari wahyu Allah SWT yang tidak berbeda dari
segi kewajiban menaatinya dengan ketetapan-ketetapan hukum yang bersumber
dari wahyu Al-Quran.
Sementara itu, ulama ahli tafsir mengamati bahwa perintah taat kepada
Allah SWT dan Rasul-Nya yang ditemukan dalam Al-Quran dikemukakan
dengan dua redaksi berbeda. Pertama adalah Athi’u Allah war rasul, dan kedua
adalah Athi’u Allah wa athi’ur rasul.
Perintah pertama mencakup kewajiban taat kepada beliau dalam hal-hal
yang sejalan dengan perintah Allah SWT. Karenanya redaksi tersebut
mencukupkan sekali saja penggunaan kata athi’u. Perintah kedua mencakup
kewajiban taat kepada beliau walaupun dalam hal-hal yang tidak disebut secara
eksplisit oleh Allah SWT dalam Al-Quran. Itu sebabnya dalam redaksi kedua di
atas, kata athi’u diulang dua kali. Dan atas dasar ini pula perintah taat kepada
Ulil Amri tidak dibarengi dengan kata athi’u karena ketaatan terhadap mereka
tidak berdiri sendiri, tetapi bersyarat dengan sejalannya perintah mereka dengan
4
ajaran-ajaran Allah dan Rasul-Nya. (Perhatikan Firman Allah dalam QS 4:59).
”Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan
ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang
sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul
(sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian.
yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”
Menerima ketetapan Rasul saw. dengan penuh kesadaran dan kerelaan
tanpa sedikit pun rasa enggan dan pembangkangan, baik pada saat ditetapkannya
hukum maupun setelah itu, merupakan syarat keabsahan iman seseorang,
demikian Allah bersumpah dalam Al-Quran Surah Al-Nisa’ ayat 65. ” Maka
demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka
menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, Kemudian
mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan
yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.
Tetapi, di sisi lain, harus diakui bahwa terdapat perbedaan yang menonjol
antara Hadis dan Al-Quran dari segi redaksi dan cara penyampaian atau
penerimaannya. Dari segi redaksi, diyakini bahwa wahyu Al-Quran disusun
langsung oleh Allah SWT. Malaikat Jibril as hanya sekadar menyampaikan
kepada Nabi Muhammad saw. Dan beliau pun langsung menyampaikannya
kepada umat, demikian dan seterusnya generasi demi generasi. Redaksi wahyu-
wahyu Al-Quran itu dapat dipastikan tidak mengalami perubahan, karena sejak
diterimanya oleh Nabi Saw, ia ditulis dan dihafal oleh sekian banyak sahabat dan
kemudian disampaikan secara tawatur oleh sejumlah orang yang –menurut adat–
mustahil akan sepakat berbohong. Atas dasar ini, wahyu-wahyu Al-Quran
menjadi qath’il wurud.
Ini, berbeda dengan hadis, yang pada umumnya disampaikan oleh orang
per orang dan itu pun seringkali dengan redaksi yang sedikit berbeda dengan
redaksi yang diucapkan oleh Nabi saw. Di samping itu, diakui pula oleh ulama
hadis bahwa walaupun pada masa sahabat sudah ada yang menulis teks-teks
5
hadis, namun pada umumnya penyampaian atau penerimaan kebanyakan hadis-
hadis yang ada sekarang hanya berdasarkan hafalan para sahabat dan tabi’in. Ini
menjadikan kedudukan hadis dari segi otensititasnya adalah zhannil wurud.
Walaupun demikian, itu tidak berarti terdapat keraguan terhadap keabsahan
hadis karena sekian banyak faktor — baik pada diri Nabi Saw maupun sahabat
beliau. Disamping kondisi sosial masyarakat ketika itu, yang topang-menopang
sehingga mengantarkan generasi berikut untuk merasa tenang dan yakin akan
terpeliharanya hadis-hadis Nabi saw.
B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang akan penulis bahas dalam penulisan
makalah ini adalah :
1. Apa yang dimaksud dengan Al-Qur’an ?
2. Bagaimana hubungan antara Al-Qur’an dan sebuah kesusastraan ?
3. Apa yang dimaksud dengan hadits dan hadits qudsi ?
4. Apa yang menjadi perbedaan antara Al-Qur’an dan Hadits Qudsi ?
6
BAB II
PEMBAHASAN
A. AL-QUR’AN
1. Pengertian Al-qur’an
7
QS(25:1) Al-Bayan (penerang): QS(3:138)
Adz-Dzikr (pemberi peringatan): Al-Kalam (ucapan/firman): QS(9:6)
QS(15:9) Al-Busyra (kabar gembira):
Al-Mau'idhah (pelajaran/nasehat): QS(16:102)
QS(10:57) An-Nur (cahaya): QS(4:174)
Al-Hukm (peraturan/hukum): Al-Basha'ir (pedoman): QS(45:20)
QS(13:37) Al-Balagh (penyampaian/kabar)
Al-Hikmah (kebijaksanaan): QS(14:52)
QS(17:39) Al-Qaul (perkataan/ucapan)
Asy-Syifa' (obat/penyembuh): QS(28:51)
QS(10:57), QS(17:82)
Al-Huda (petunjuk): QS(72:13),
QS(9:33)
Al-Qur'an terdiri atas 114 bagian yang dikenal dengan nama surah
(surat). Setiap surat akan terdiri atas beberapa ayat, di mana surat
terpanjang dengan 286 ayat adalah surat Al Baqarah dan yang terpendek
hanya memiliki 3 ayat yakni surat Al Kautsar dan Al-‘Așr. Surat-surat
yang panjang terbagi lagi atas sub bagian lagi yang disebut ruku' yang
membahas tema atau topik tertentu.
8
b. Makkiyah dan Madaniyah
9
Madinah. Periode Mekkah berlangsung selama 12 tahun masa kenabian
Rasulullah SAW dan surat-surat yang turun pada waktu ini tergolong
surat Makkiyyah. Sedangkan periode Madinah yang dimulai sejak
peristiwa hijrah berlangsung selama 10 tahun dan surat yang turun pada
kurun waktu ini disebut surat Madaniyah.
10
mengakibatkan tewasnya beberapa penghafal Al-Qur'an dalam jumlah
yang signifikan. Umar bin Khattab yang saat itu merasa sangat khawatir
akan keadaan tersebut lantas meminta kepada Abu Bakar untuk
mengumpulkan seluruh tulisan Al-Qur'an yang saat itu tersebar di antara
para sahabat. Abu Bakar lantas memerintahkan Zaid bin Tsabit sebagai
koordinator pelaksaan tugas tersebut. Setelah pekerjaan tersebut selesai
dan Al-Qur'an tersusun secara rapi dalam satu mushaf, hasilnya
diserahkan kepada Abu Bakar. Abu Bakar menyimpan mushaf tersebut
hingga wafatnya kemudian mushaf tersebut berpindah kepada Umar
sebagai khalifah penerusnya, selanjutnya mushaf dipegang oleh anaknya
yakni Hafsah yang juga istri Nabi Muhammad SAW.
11
Mengutip hadist riwayat Ibnu Abi Dawud dalam Al-Mashahif,
dengan sanad yang shahih:
12
c. Upaya penerjemahan dan penafsiran Al Qur'an
13
PERSIS Bisyri Mustafa Rembang
5. Al-Qur'an Suci Basa Jawi
Terjemahan dalam bahasa Inggris
(bahasa Jawa), oleh Prof.
K.H.R. Muhamad Adnan
1. The Holy Qur'an: Text, Translation
6. Al-Amin (bahasa Sunda)
and Commentary, oleh Abdullah
Yusuf Ali
14
7. Hubungan dengan kitab-kitab lain
15
terlihat pada ritme dan bait ayat al-Qur’an. Oleh karena itu, al-Qur’an
sebagai kumpulan tanda-tanda linguistik yang harus dipecahkan, mendorong
beberapa sarjana muslim kontemporer untuk menggunakan pendekatan
susastra dalam studi al-Qur ’an.
Sebagai contoh, Toshihiko Izutsu, dalam bukunya Ethico Religius
Concept in the Qur’an, menerapkan metode semantik dalam mengolah teks
Al-Qur’an. Metode ini dilakukan dengan cara studi analisis terhadap
perspektif-perspektif yang terkristalkan dalam kata-kata. Dengan demikian
penafsiran al-Qur’an harus bertumpu pada kosakatanya, baik secara
individual maupun secara rasional dalam jaring atau struktur tertentu.
Analisis pengungkapan makna ini diorientasikan untuk memperoleh
gambaran pandangan dunia (weltanschauung) al-Qur’an.
Trend pendekatan susastra dalam menafsirkan al-Qur’an tersebut di
atas sebenarnya merupakan kelanjutan atas studi al-Qur’an yang telah
banyak dilakukan para mufasssir masa klasik, yang benih-benihnya telah ada
sejak masa Nabi saw. dan sahabatnya. Studi al-Qur’an dengan pendekatan
susastra modern telah melahirkan kerangka dan paradigma baru dalam
metodologi tafsir, sehingga lebih memberikan pemahaman tentang pesan-
pesan al-Qur’an secara komprehensif dengan tetap tidak kehilangan
fungsinya yang trans historis dan trans kultural.
a. Relasi I’jaz al-Qur’an dengan Sastra Arab
Gambaran tentang Al-Qur’an, sebagaimana yang diberikan oleh
orang-orang musyrik Makkah, sebagai tindak ujaran yang menyerupai
ucapan-ucapan para dukun, atau sebagai ucapan puitis yang menyerupai
ucapan-ucapan para penya’ir, tidak lain merupakan ekspresi dari fakta
bahwa hakekat al-Qur’an ditangkap sebagai teks sastra. Karena itu, al-
Qur’an merupakan kitab suci berbahasa Arab yang memiliki nilai sastra
yang tinggi. Salah satu i’jâz al-Qur’an tersebut tampak dari gaya
bahasanya (uslûb) yang indah dan tak tertandingi oleh siapa pun.
16
Al-Qur’an sendiri menantang (tahaddi) orang Arab waktu itu
supaya bersama-sama dengan jin untuk membuat semacam al-Qur’an,
namun mereka tidak mampu membuat semacam al-Qur’an meskipun
mereka saling bantu membantu. Jika mereka ternyata tidak mampu
membuat semisal al-Qur’an, maka bisa saja mereka membuat sepuluh
surat saja yang serupa dengannya. Karena tidak mampu pula, maka
mereka dapat saja membuat satu surat saja yang serupa al-Qur’an
dengan bekerja sama dengan orang lain selain Allah. Terbukti, tantangan
al-Qur’an tersebut hingga kini tidak ada seorangpun yang dapat
menjawabnya. Diskursus tentang i’jâz al-Qur’ân berlangsung di
kalangan para ulama hingga sekarang. Al-Baqilani menyebutkan bahwa
telah banyak ulama dari berbagai ilmu melakukan kajian tentang aspek-
aspek kemukjizatan Al-Qur’an.
Ibn Qutaibah berpendapat bahwa pembahasan serta diskusi
mengenai ajaran dan keyakinan tentang i’jâz al-Qur’ân yang muncul
belakangan, tidak bisa dilepaskan dari dua aspek bahasa, lafzhi dan
ma’nawi. Lafzhi berarti leksikal dan makna struktural, sementara
ma’nawi adalah teori makna.
Pada abad ke tiga hijriyah, kajian tersebut menjadi obyek pelemik
di kalangan kaum muslimim dengan tujuan membela dan
mempertahankan ideologi dan faham mereka, terutama yang
menyangkut persoalan kenabian dan kemuk’jizatan, seperti buku Ta’wîl
Musykil al-Qur’ân karya Ibn Qutaibah, Maqalat al-Islamiyin karya Abi
al-Hasan al-Asy’ari, Hujaj al-Nubuwwah karya al-Jahidz, dan al-
Intishâr karya Abi al-Hasan al- Khiyath. Di kalangan ulama tafsir, ada
juga yang mengkaji kei’jâzan al-Qur’an, seperti al-Thabari dalam Jâmi’
al-Bayânnya dan Majâz al-Qurân yang ditulis oleh Abu ‘Ubaidah.
Polemik sekitar i’jâz al-Qur’ân yang paling keras terjadi di
kalangan mutakallimin, terutama dengan kemunculan faham mu’tazilah.
17
Bermula dari pendapat Labid bin A’sham, seorang Yahudi, bahwa
sesungguhnya Taurat adalah makhluk, maka demikian pula al-Qur’an
adalah makhluk. Pendapat tersebut kemudian diikuti oleh Thalut ibn
Ukhtah, Banan bin Sam’an, al-Ja’d bin Dirham. Dari ketiga pengikut
Labid bin A’sham tersebut al-Ja’d bin Dirhamlah yang paling keras
melakukan provokasi terhadap pendapatnya, bahkan secara terbuka, ia
mengingkari al-Qur’an dan menolak beberapa isi kandungannya.
Menurutnya, bahwa keindahan sastra al-Qur’an sesungguhnya tidaklah
memiliki kemukjizatan, karena sebenarnya manusia mampu membuat
semisal al-Qur’an, bahkan lebih indah dari al-Qur’an sendiri. Menurut
Abu Ishaq Ibrahim al-Nazhzham, seorang pengikut faham mu’tazih,
bahwa i’jâz al-Qur’ân bukan terletak pada al-Qur’n sendiri, tetapi
terletak pada faktor eksternal al-Qur’an, yaitu kehendak Allah sendiri
yang membuat lemah dan tidak berdaya orang Arab untuk membuat
semisal al-Qur’an, meskipun sesungguhnya mereka mampu
membuatnya (al-shirfah).
Konsep al-shirfah, seperti yang dipahami oleh pengikut faham
Mu’tazilah, sesungguhnya sangat tidak berdasar dan tidak rasional,
karena adanya unsur tantangan (tahaddi) dalam i’jâz al-Qur’ân
sesungguhnya menuntut adanya kemampuan manusia (al-qudrah al-
basyariyyah) untuk melakukan perlawanan (al-mu’aradhah) dari
manusia itu sendiri, sehingga logikanya, ketika al-Qur ’an menantang
manusia untuk membuat semisalnya, bahkan satu ayat saja seperti al-
Qur’an, maka mereka benar-benar tidak mampu melakukan perlawanan
dengan membuat semisalnya.
Di samping itu, ketidakmampuan manusia untuk membuat semisal
al-Qur’an menunjukkan kebenaran bahwa al-Qur’an adalah kalâm
Allah, bukan “karya” Rasulullah, karena jika benar merupakan hasil
karyanya maka tentu, dengan kemampuan bahasa dan sastra yang
18
dimilikinya, orang Arab mampu membuat bahkan bisa jadi lebih indah
dengan “karya” Rasulullah sendiri, tetapi kenyataannya mereka tidak
mampu. Dengan demikian, sangat tidak rasional jika manusia tidak
mampu membuat semisal al-Qur’an disebabkan pengetahuan dan
keterampilannya dicabut dan dihilangkan oleh Allah dari diri mereka
(al-shirfah).
Al- Zamakhsyari misalnya, berkesimpulan, bahwa penguasaan
terhadap sastra Arab (balâghah) dengan segala uslubnya tidak hanya
akan membantu memahami aspek-aspek kemukjizatan sastra al-Qur’an,
tetapi juga dapat membantu mengungkapkan makna-makna dan rahasia-
rahasia yang tersembunyi di baliknya.
b. Tafsir Kesusastraan Masa Modern
Dalam konteks ini, secara metodologis studi tafsir Al-Qur ’an
mengalami perkembangan. Jika pada masa klasik studi al-Qur’an masih
diwarnai oleh pemahaman yang didasarkan atas kecenderungan tertentu,
seperti gramatika, retorika dan kandungan tematiknya, seperti fiqih,
tauhid, kisah dan lain sebagainya, maka memasuki masa modern tafsir
al-Qur’an lebih dilihat secara fungsional, di mana fungsi dan tujuan
diwahyukannya al-Qur’an kepada manusia adalah untuk memberikan
petunjuk (hudan), sebagaimana yang digagas oleh Muhammad Abduh.
Menurut Abduh, tujuan yang pertama dan utama dari ilmu tafsir adalah
merealisasikan keberadaan al-Qur’an itu sendiri sebagai petunjuk
(hudan) dan rahmat Allah swt, dengan menjelaskan hikmah kodifikasi
kepercayaan, etika dan hukum menurut cara yang paling bisa diterima
oleh pikiran dan menenangkan perasaan. Dengan demikian, tujuan yang
sebenarnya dari tafsir al-Qur ’an adalah untuk mencari petunjuk
kebenaran di dalam Al-Qur’an.
Pendapat Muhammad Abduh di atas diikuti oleh beberapa sarjana
muslim kontemporer berikutnya, seperti Amin al-Khuli (1895-1966),
19
meski dengan sedikit perbedaan. Menurut Amin al-Khuli, dengan tetap
melihat Al-Qur’an sebagai hudan, ia melihat Al-Qur’an itu sendiri
sebagai bagian dari fakta-fakta sosio-historis. Di sini al-Qur’an dilihat
sebagai apa adanya dalam kaitannya dengan masyarakat Arab yang
pertama kali menerimanya. Ia muncul dalam bingkai dialektika antara
wahyu dengan realitas masyarakat pada saat itu. Sebagai fakta, al-
Qur’an merupakan fakta bahasa dan susastra.
Oleh karena itu, menurut Amin al-Khuli, tujuan yang disebutkan
oleh Muhammad Abduh bukanlah tujuan pertama. Menurutnya, tujuan
pertama ilmu tafsir adalah melakukan kontemplasi terhadap al-Qur’an
sebagai sebuah kitab bahasa Arab yang teragung (Kitab Al-‘Arabiyyah
Al-Akbar) dan mempunyai dampak kesususastraan yang paling besar.
Kitab itulah yang melanggengkan bahasa Arab dari
kehancurannya, dan menjadi kriterium akhir tata bahasa dan
paramasusastranya, sehingga kajian aspek susastra dalam Al-Qur’an
dalam tingkatan seninya - yang dilakukan tanpa memandang perspektif
yang lain, termasuk kepercayaan agama sekalipun - merupakan langkah
awal yang harus dilakukan dalam menafsirkan al-Qur’an sebelum
melangkah lebih jauh ke tujuan selanjutnya. Dalam penelitian Amin al-
Khuli, seperti ditulis dalam ulasannya tentang tafsir pada Enzyklopedi
des Islam, yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Arab al-
Tafsîr ma’âlim Hayâtihi Manhajuh al-Yauma, bahwa karya tafsir yang
ada merupakan hasil kreativitas kesarjanaan muslim. Salah satu yang
perlu dicatat dari beragamnya karya tafsir, menurut al-Khuli, adalah
dominannya kecenderungan yang melatarbelakangi para mufassir.
Berbagai latar belakang intelektual, sosial, politik dan ideologi,
mempengaruhi hasil-hasil penafsiran yang pada gilirannya mengurangi
misi utama yang dibawa al-Qur’an. Dalam hal ini, al-Khuli
mencontohkan sarjana pendahulu yang diwarnai, untuk tidak
20
mengatakan didominasi, kepentingan individual seperti tasawuf, teologi,
fikih dan sebagainya. Atas dasar pemikiran tersebut di atas, Amin al-
Khuli menawarkan metode susastra (al-manhaj al-adabi) dalam
menafsirkan al-Qur’an. Sasaran metode ini, sebagaimana telah
disebutkan di atas, adalah untuk mendapatkan pesan al-Qur’an secara
menyeluruh dan bisa diharapkan terhindar dari tarikan-tarikan
individual-ideologis.
Studi tafsir Al-Qur’an dengan pedekatan susastra, sebagaimana
yang digagas oleh Amin al-Khuli tersebut di atas, selanjutnya
dikembangkan oleh murid-muridnya, seperti, Muhammad Ahmad
Khalafullah, ‘Aisyah Abdurrahman Binti Syathi, M. Syukri Ayyad dan
Nash Hamid Abu Zaid.
B. HADITS
1. Pengertian Hadits
Kata "Hadits" atau al-hadits menurut bahasa berarti al-jadid (sesuatu
yang baru), lawan kata dari al-qadim (sesuatu yang lama). Kata hadits juga
berarti al-khabar (berita), yaitu sesuatu yang dipercakapkan dan
dipindahkan dari seseorang kepada orang lain. Kata jamaknya, ialah al-
ahadis. Secara terminologi, ahli hadits dan ahli ushul berbeda pendapat
dalam memberikan pengertian hadits. Di kalangan ulama hadits sendiri ada
juga beberapa definisi yang antara satu sama lain agak berbeda. Ada yang
mendefinisikan hadits, adalah :
"Segala perkataan Nabi SAW, perbuatan, dan hal ihwalnya". Ulama hadits
menerangkan bahwa yang termasuk "hal ihwal", ialah segala pemberitaan
tentang Nabi SAW, seperti yang berkaitan dengan himmah, karakteristik,
sejarah kelahiran, dan kebiasaan-kebiasaanya”.
21
Ulama ahli hadits yang lain merumuskan pengertian hadits dengan :
"Segala perkataan Nabi SAW. yang dapat dijadikan dalil untuk penetapan
hukum syara".
Berdasarkan rumusan definisi hadits baik dari ahli hadits maupun ahli ushul,
terdapat persamaan yaitu ; "memberikan definisi yang terbatas pada sesuatu
yang disandarkan kepada Rasul SAW, tanpa menyinggung-nyinggung
prilaku dan ucapan shabat atau tabi'in. Perbedaan mereka terletak pada
cakupan definisinya. Definisi dari ahli hadits mencakup segala sesuatu yang
22
disandarkan atau bersumber dari Nabi SAW, baik berupa perkataan,
perbuatan, dan taqrir.
Sedangkan cakupan definisi hadits ahli ushul hanya menyangkut aspek
perkataan Nabi saja yang bisa dijadikan dalil untuk menetapkan hukum
syara'.
2. Struktur Hadits
Secara struktur hadits terdiri atas dua komponen utama yakni sanad/isnad
(rantai penutur) dan matan (redaksi).
Contoh:
Musaddad mengabari bahwa Yahyaa sebagaimana diberitakan oleh
Syu'bah, dari Qatadah dari Anas dari Rasulullah SAW bahwa beliau
bersabda: "Tidak sempurna iman seseorang di antara kalian sehingga ia
cinta untuk saudaranya apa yang ia cinta untuk dirinya sendiri" (Hadits
riwayat Bukhari)
a. Sanad
Sanad ialah rantai penutur/perawi (periwayat) hadits. Sanad terdiri
atas seluruh penutur mulai dari orang yang mencatat hadits tersebut
dalam bukunya (kitab hadits) hingga mencapai Rasulullah. Sanad,
memberikan gambaran keaslian suatu riwayat. Jika diambil dari contoh
sebelumnya maka sanad hadits bersangkutan adalah
Al-Bukhari > Musaddad > Yahya > Syu’bah > Qatadah > Anas >
Nabi Muhammad SAW
Sebuah hadits dapat memiliki beberapa sanad dengan jumlah
penutur/perawi bervariasi dalam lapisan sanadnya, lapisan dalam sanad
disebut dengan thaqabah. Signifikansi jumlah sanad dan penutur dalam
tiap thaqabah sanad akan menentukan derajat hadits tersebut, hal ini
dijelaskan lebih jauh pada klasifikasi hadits. Jadi yang perlu dicermati
dalam memahami Al Hadits terkait dengan sanadnya ialah :
23
1) Keutuhan sanadnya
2) Jumlahnya
3) Perawi akhirnya
b. Matan
Matan ialah redaksi dari hadits. Dari contoh sebelumnya maka matan
hadits bersangkutan ialah:
Terkait dengan matan atau redaksi, maka yang perlu dicermati dalam
mamahami hadist ialah:
3. Klasifikasi Hadits
24
serta tingkat keaslian hadits (dapat diterima atau tidaknya hadits
bersangkutan)
Contoh:
25
Imam Muslim meriwayatkan dalam pembukaan sahihnya bahwa
Ibnu Sirin mengatakan: "Pengetahuan ini (hadits) adalah agama,
maka berhati-hatilah kamu darimana kamu mengambil agamamu".
26
3) Hadits Munqati' . Bila sanad putus pada salah satu penutur yakni
penutur 4 atau 3
4) Hadits Mu'dal bila sanad terputus pada dua generasi penutur
berturut-turut.
5) Hadits Mu'allaq bila sanad terputus pada penutur 4 hingga penutur 1
(Contoh: "Seorang pencatat hadits mengatakan, telah sampai
kepadaku bahwa Rasulullah mengatakan...." tanpa ia menjelaskan
sanad antara dirinya hingga Rasulullah).
27
a) Gharib, bila hanya terdapat satu jalur sanad (pada salah satu lapisan
terdapat hanya satu penutur, meski pada lapisan lain terdapat
banyak penutur)
b) Aziz, bila terdapat dua jalur sanad (dua penutur pada salah satu
lapisan)
c) Mashur, bila terdapat lebih dari dua jalur sanad (tiga atau lebih
penutur pada salah satu lapisan) namun tidak mencapai derajat
mutawatir.
a) Sanadnya bersambung;
b) Diriwayatkan oleh penutur/perawi yg adil, memiliki sifat
istiqomah, berakhlak baik, tidak fasik, terjaga
muruah(kehormatan)-nya, dan kuat ingatannya.
c) Matannya tidak mengandung kejanggalan/bertentangan (syadz)
serta tidak ada sebab tersembunyi atau tidak nyata yg
mencacatkan hadits .
28
3) Hadits Dhaif (lemah), ialah hadits yang sanadnya tidak bersambung
(dapat berupa mursal, mu’allaq, mudallas, munqati’ atau mu’dal)dan
diriwayatkan oleh orang yang tidak adil atau tidak kuat ingatannya,
mengandung kejanggalan atau cacat.
4) Hadits Maudu', bila hadits dicurigai palsu atau buatan karena dalam
sanadnya dijumpai penutur yang memiliki kemungkinan berdusta.
e. Perbedaan Hadits dengan as-Sunnah, al-Khabar, dan al-Atsar
Dari keempat istilah yaitu Hadits, Sunnah, Khabar, dan Atsar, menurut
jumhur ulama Hadits dapat dipergunakan untuk maksud yang sama, yaitu
bahwa hadits disebut juga dengan sunnah, khabar atau atsar. Begitu pula
halnya sunnah, dapat disebut dengan hadits, khabar dan atsar. Maka
Hadits Mutawatir dapat juga disebut dengan Sunnah Mutawatir atau
Khabar Mutawatir. Begitu juga Hadits Shahih dapat disebut dengan
Sunnah Shahih, Khabar Shahih, dan Atsar Shahih. Tetapi berdasarkan
penjelasan mengenai Hadits, Sunnah, Khabar, dan Atsar ada sedikit
perbedaan yang perlu diperhatikan antara hadits dan sunnah menurut
pendapat dan pandangan ulama, baik ulama hadits maupun ulama ushul
dan juga perbedaan antara hadits dengan khabar dan atsar dari penjelasan
ulama yang telah dibahas.
Perbedaan-perbedaan pendapat ulama tersebut dapat disimpulkan
sebagai berikut :
1) Hadits dan Sunnah
Hadits terbatas pada perkataan, perbuatan, taqrir yang bersumber dari
Nabi SAW, sedangkan Sunnah segala yang bersumber dari Nabi
SAW baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir, tabiat, budi pekerti,
atau perjalan hidupnya, baik sebelum diangkat menjadi Rasul
maupun sesudahnya.
2) Hadits dan Khabar
29
Sebagian ulama hadits berpendapat bahwa Khabar sebagai sesuatu
yang berasal atau disandarkan kepada selain Nabi SAW., Hadits
sebagai sesuatu yang berasal atau disandarkan kepada Nabi SAW.
Tetapi ada ulama yang mengatakan Khabar lebih umum daripada
Hadits, karena perkataan khabar merupakan segala yang
diriwayatkan, baik dari Nabi SAW., maupun dari yang selainnya,
sedangkan hadits khusus bagi yang diriwayatkan dari Nabi SAW.
saja. "Ada juga pendapat yang mengatakan, khabar dan hadits,
diithlaqkan kepada yang sampai dari Nabi saja, sedangkan yang
diterima dari sahabat dinamai Atsar".
3) Hadits dan Atsar
Jumhur ulama berpendapat bahwa Atsar sama artinya dengan khabar
dan Hadits. Ada juga ulama yang berpendapat bahwa Atsar sama
dengan Khabar, yaitu sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW.,
sahabat dan tabi'in. "Az Zarkasyi, memakai kata atsar untuk hadits
mauquf. Namun membolehkan memakainya untuk perkataan Rasul
SAW. (hadits marfu)". Dengan demikian, Hadits sebagai sesuatu
yang berasal atau disandarkan kepada Nabi SAW. saja, sedangkan
Atsar sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW., sahabat dan
tabi'in.
30
di dalam hadlar. Seluruh perbuatan Nabi, demikian juga ucapan dan tutur
kata Nabi menjadi tumpuan perhatian para sahabat. Segala gerak-gerik
Nabi menjadi contoh dan pedoman hidup mereka. Para sahabat sangat
memperhatikan perilaku Nabi dan sangat memerlukan untuk mengetahui
segala apa yang disabdakan Nabi. Mereka tentu meyakini, bahwa mereka
diperintahkan mengikuti dan mentaati apa-apa yang diperintahkan Nabi.
Sebagai seorang Nabi tentu memiliki teknik atau cara-cara untuk
mencontohkan perilaku dan menyampaikan sesuatu kepada para
sahabatnya. Untuk itu, "menurut riwayat al-Bukhari, Ibnu Mas'ud pernah
bercerita bahwa untuk tidak melahirkan rasa jenuh di kalangan sahabat,
Rasul SAW menyampaikan haditsnya dengan berbagai cara, sehingga
membuat para sahabat selalu ingin mengikuti pengajiannya".
Ada beberapa teknik atau cara Rasul SAW dalam menyampaikan
Hadits kepada para sahabat, yang disesuaikan dengan kondisi para
sahabatnya. Untuk itu, teknik atau cara yang digunakan Nabi SAW dalam
menyampaikan Hadits, sebagai berikut :
1) Melalui para jama'ah pada pusat pembinaannya yang disebut majlis
al-'Ilmi.
2) Melalui majlis ini para sahabat memperoleh banyak peluang untuk
menerimahadits, sehingga mereka berusaha untuk selalu
mengkonsentrasikan diri untuk mengikuti kegiatannya.
3) Dalam banyak kesempatan Rasul SAW juga menyampaikan
haditsnya melalui
4) para sahabat tertentu, yang kemudian oleh para tersebut
disampaikannya kepada orang lain. Hal ini karena terkadang ketika ia
mewurudkan suatu Hadits, para sahabat yang hadir hanya beberapa
orang saja, baik karena disengaja oleh Rasul SAW sendiri atau secara
kebetulan para sahabat yang hadir hanya beberapa orang saja, bahkan
hanya satu orang, seperti Hadits-hadits yang ditulis oleh Abdullah bin
31
Amr bin al-'Ash. Untuk hal-hal yang sensitif, seperti yang berkaitan
dengan soal keluarga dan kebutuhan biologis (terutama yang
menyangkut hubungan suami isteri), ia sampaikan melalui isteri-
isterinya. Begitu juga sikap para sahabat, jika ada hal-hal yang
berkaitan dengan soal di atas, karena segan bertanya kepada Rasul
SAW, seringkali ditanyakan melalui isteri-isterinya.
5) Melalui ceramah atau pidato di tempat terbuka, seperti ketika haji
wada' dan fathu Makkah.
6) Melalui perbuatan langsung yang disaksikan oleh para sahabatnya
(jalan musya'hadah), seperti yang berkaitan dengan praktek-praktek
ibadah dan muamalah.
7) Para sahabat yang mengemukana masalah atau bertanya dan
berdiolog langsung kepada Nabi SAW. Melihat kenyataan ini, umat
Islam pada saat itu secara langsung memperoleh Hadits dari Rasul
SAW sebagai sumber Hadits, baik itu berupa perkataan, perbuatan
dan taqrir. Antara Rasul SAW dengan mereka tidak ada jarak atau
hijab yang dapat menghambat atau mempersulit pertemuan mereka.
C. HADITS QUDSI
Menurut para ahli hadits, Hadits Qudsi adalah setiap ucapan yang
disandarkan kepada Allah swt. oleh Rasulullah saw. Karena itu, hadits qudsi
sering diawali dengan kalimat “… dari Rasulullah saw. dari hadits yang beliau
riwayatkan dari Tuhannya,…” atau “Rasulullah saw. bersabda, Allah swt
berfirman,…”
32
Berikut ini salah satu contohnya
Para ulama berbeda pendapat tentang hakikat hadist qudsi ini, sebagian
ulama seperti Abu Al Biqai berpendapat bahwa hadits qudsi merupakan
wahyu Allah yang dihembuskan kepada pribadi Nabi baik melalui ilham
maupun mimpi sedangkan susunan redaksinya dilakukan oleh Rasulullah Saw
sendiri. Artinya hadits qudsi adalah maknanya dari Allah sedangkan lafadznya
dari Rasulullah Saw. Jika pemahaman hadits qudsi seperti ini jelas tidak
menimbulkan masalah. namun sementara ulama berpendapat, bahwa hadits
qudsi adalah makna dan lafadznya dua-duanya dari Allah Swt. Kalau
demikian jelas akan menimbulkan masalah sebab Al Qur’an juga begitu lafadz
dan maknanya dari Allah. oleh sebab itu perlu dibuat rumusan yang jelas
tentang perbedaan antara Al Qur’an dengan hadits qudsi agar tidak terjadi
kerancuan dalam memberikan interpretasi.
33
a. Al Qur’an adalah wahyu yang jelas, artinya Al Qur’an diturunkan oleh
Allah melalui Jibril kepada Nabi Muhammad yang dalam keadaan sadar,
sedangkan hadits qudsi bisa jadi diterima dalam bentuk ilham ataupun
mimpi.
b. Al Qur’an merupakan mukjizat sehingga tidak ada seorangpun yang dapat
menandinginya, ia juga terjaga dari perubahan, sedangkan hadits qudsi
tidak.
c. Membaca Al Qur’an merupakan ibadah sedangkan hadits qudsi tidak
demikian.
d. Bagi orang yang hadats dilarang menyentuh al qur’an dan bagi yang junub
dilarang menyentuh dan membacanya, sedangkan hadist qudsi tidak.
e. Al Qur’an tidak boleh diriwayatkan dengan maknanya saja, sedangkan
hadits qudsi boleh.
f. Al Qur’an diriwayatkan secara mutawatir, sedangkan hadits qudsi
diriwayatkan secara ahad.
g. Menurut Imam Ahmad dilarang menjual Al Qur’an sementara Imam
Syafi’i Makruh, sedangkan hadist Qudsi tidak demikian.
h. Al Qur’an merupakan bacaan tertentu dalam sholat, tidak sah sholat
seseorang bila tidak membaca Al Qur’an sedangkan hadits qudsi tidak.
i. Lafadz Al Qur’an berasal dari Allah, sedangkan hadist qudsi berasal dari
Nabi Saw.
j. Bagian-bagian dari Al Qur’an disebut ayat dan surat sedangkan hadist
qudsi tidak demikian.
34
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Adapun beberapa kesimpulan yang dapat penulis ambil dari pembahasan
makalah diatas adalah :
1. Al-Qur'an adalah firman Allah yang tiada tandingannya, diturunkan kepada
Nabi Muhammad SAW penutup para Nabi dan Rasul, dengan perantaraan
Malaikat Jibril a.s. dan ditulis pada mushaf-mushaf yang kemudian disampaikan
kepada kita secara mutawatir, serta membaca dan mempelajarinya merupakan
ibadah, yang dimulai dengan surat Al-Fatihah dan ditutup dengan surat An-Nas.
2. Al-Quran dan Hadits merupakan dua sumber hukum dalam islam yang harus
dijalankan secara bersamaan.
3. Pendefenisian makna dari hadits itu sendiri memiliki persamaan dan kesamaan
yang mendasar pada beberapa ulama, salah satu pengertian dari hadits itu adalah
sesuatu yang didasarkan kepada Nabi SAW. baik berupa perkataan, perbuatan,
taqrir, maupun sifatnya.
4. Hadits qudsi merupakan hadits yang maknanya berasal dari Allah SWT. dan
lafadzhnya berasal dari Nabi Muhammad SAW.
B. Saran
1. Semoga makalah ini menjadi penambahan pengetahuan pembaca dalam
mengetahui makna Al-Qur’an, Hadits Qudsi dan Hadits itu sendiri dan dapat
mensosialisasikannya pada masyarakat luas.
2. Semoga makalah ini menjadi sebuah inspirasi dan referensi dapat penulisan
makalah berikutnya.
35
Daftar Pustaka
36