You are on page 1of 36

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT, karena dengan rahmat dan hidayah-Nyalah
penulis dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya. Shalawat beriring
salam selalu kita panjatkan kepada Rasullullah SAW, karena kegigihan beliau dan
ridho-Nyalah kita dapat merasakan kenikmatan dunia seperti sekarang ini.

Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas yang
diberikan oleh dosen, makalah ini juga bertujuan untuk menambah pengetahuan dan
wawasan bagi pembaca sekalian.

Penulis mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah


memberikan sumbangsihnya dalam penulisan makalah ini.

Penulis menyadari bahwasanya makalah ini masih jauh dari kesempurnaan,


oleh karena itu kritik dan saran penulis harapkan dari pembaca sekalian demi
terciptanya kesempurnaan dalam penyusunan makalah ini. Semoga makalah ini
bermanfaat bagi yang memerlukan. Terima kasih.

Bengkulu, Desember 2018

Penulis

1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................ 1

DAFTAR ISI ...........................................................................................................2

BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ......................................................................................... 4
1.2 Rumusan Masalah ..................................................................................... 6
1.3 Tujuan ........................................................................................................ 6
BAB II PEMBAHASAN
2.1 AL-QUR’AN.............................................................................................. 7
2.1.1 Pengertian Al-qur’an.......................................................................... 7
2.1.2 Struktur dan pembagian Al-Qur'an ................................................... 8
2.1.3 Sejarah Al-Qur'an hingga berbentuk mushaf ................................... 9
2.1.4 Pengumpulan Al-Qur'an di masa Rasullulah SAW ........................... 9
2.1.5 Pengumpulan Al-Qur'an di masa Khulafaur Rasyidin .....................10
2.1.6 Adab Terhadap Al-Qur'an ................................................................13
2.1.7 Hubungan dengan kitab-kitab lain ...................................................13
2.1.8 Kesusastraan Al-Qur’an ...................................................................14
2.2 HADITS ....................................................................................................18
2.2.1 Pengertian Hadits .............................................................................18
2.2.2 Struktur Hadits .................................................................................19
2.2.3 Klasifikasi Hadits .............................................................................21
2.2.4 Perbedaan Hadits dengan as-Sunnah, al-Khabar, dan al-Atsar ...... 24
2.2.5 Cara Penyampaian Hadits pada Masa Nabi .................................... 25

2.3 HADITS QUDSI ...................................................................................... 27

BAB III PENUTUP

2
3.1 Kesimpulan .............................................................................................. 30
3.2 Saran ........................................................................................................ 30

Catatan Kaki ......................................................................................................... 31


Daftar Pustaka ...................................................................................................... 33

3
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Al-Hadits didefinisikan oleh umumnya ulama identik dengan definisi As-
Sunnah. Yaitu sebagai “Segala sesuatu yang dinisbahkan kepada nabi
Muhammad saw, baik ucapan, perbuatan dan taqrir (ketetapan), maupun sifat
fisik dan psikis, baik sebelum beliau menjadi nabi maupun sesudahnya.” Ulama
ushul fiqh, membatasi pengertian hadis hanya pada “ucapan-ucapan Nabi
Muhammad saw yang berkaitan dengan hukum“. Sedangkan bila mencakup pula
padanya perbuatan dan taqrir (bukan hanya ucapan) beliau yang berkaitan
dengan hukum, maka ketiga hal ini dinamai As-Sunnah.
Pengertian hadis seperti yang dikemukakan oleh ulama ushul tersebut,
dapat dikatakan sebagai bagian dari wahyu Allah SWT yang tidak berbeda dari
segi kewajiban menaatinya dengan ketetapan-ketetapan hukum yang bersumber
dari wahyu Al-Quran.
Sementara itu, ulama ahli tafsir mengamati bahwa perintah taat kepada
Allah SWT dan Rasul-Nya yang ditemukan dalam Al-Quran dikemukakan
dengan dua redaksi berbeda. Pertama adalah Athi’u Allah war rasul, dan kedua
adalah Athi’u Allah wa athi’ur rasul.
Perintah pertama mencakup kewajiban taat kepada beliau dalam hal-hal
yang sejalan dengan perintah Allah SWT. Karenanya redaksi tersebut
mencukupkan sekali saja penggunaan kata athi’u. Perintah kedua mencakup
kewajiban taat kepada beliau walaupun dalam hal-hal yang tidak disebut secara
eksplisit oleh Allah SWT dalam Al-Quran. Itu sebabnya dalam redaksi kedua di
atas, kata athi’u diulang dua kali. Dan atas dasar ini pula perintah taat kepada
Ulil Amri tidak dibarengi dengan kata athi’u karena ketaatan terhadap mereka
tidak berdiri sendiri, tetapi bersyarat dengan sejalannya perintah mereka dengan

4
ajaran-ajaran Allah dan Rasul-Nya. (Perhatikan Firman Allah dalam QS 4:59).
”Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan
ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang
sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul
(sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian.
yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”
Menerima ketetapan Rasul saw. dengan penuh kesadaran dan kerelaan
tanpa sedikit pun rasa enggan dan pembangkangan, baik pada saat ditetapkannya
hukum maupun setelah itu, merupakan syarat keabsahan iman seseorang,
demikian Allah bersumpah dalam Al-Quran Surah Al-Nisa’ ayat 65. ” Maka
demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka
menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, Kemudian
mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan
yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.
Tetapi, di sisi lain, harus diakui bahwa terdapat perbedaan yang menonjol
antara Hadis dan Al-Quran dari segi redaksi dan cara penyampaian atau
penerimaannya. Dari segi redaksi, diyakini bahwa wahyu Al-Quran disusun
langsung oleh Allah SWT. Malaikat Jibril as hanya sekadar menyampaikan
kepada Nabi Muhammad saw. Dan beliau pun langsung menyampaikannya
kepada umat, demikian dan seterusnya generasi demi generasi. Redaksi wahyu-
wahyu Al-Quran itu dapat dipastikan tidak mengalami perubahan, karena sejak
diterimanya oleh Nabi Saw, ia ditulis dan dihafal oleh sekian banyak sahabat dan
kemudian disampaikan secara tawatur oleh sejumlah orang yang –menurut adat–
mustahil akan sepakat berbohong. Atas dasar ini, wahyu-wahyu Al-Quran
menjadi qath’il wurud.
Ini, berbeda dengan hadis, yang pada umumnya disampaikan oleh orang
per orang dan itu pun seringkali dengan redaksi yang sedikit berbeda dengan
redaksi yang diucapkan oleh Nabi saw. Di samping itu, diakui pula oleh ulama
hadis bahwa walaupun pada masa sahabat sudah ada yang menulis teks-teks

5
hadis, namun pada umumnya penyampaian atau penerimaan kebanyakan hadis-
hadis yang ada sekarang hanya berdasarkan hafalan para sahabat dan tabi’in. Ini
menjadikan kedudukan hadis dari segi otensititasnya adalah zhannil wurud.
Walaupun demikian, itu tidak berarti terdapat keraguan terhadap keabsahan
hadis karena sekian banyak faktor — baik pada diri Nabi Saw maupun sahabat
beliau. Disamping kondisi sosial masyarakat ketika itu, yang topang-menopang
sehingga mengantarkan generasi berikut untuk merasa tenang dan yakin akan
terpeliharanya hadis-hadis Nabi saw.

B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang akan penulis bahas dalam penulisan
makalah ini adalah :
1. Apa yang dimaksud dengan Al-Qur’an ?
2. Bagaimana hubungan antara Al-Qur’an dan sebuah kesusastraan ?
3. Apa yang dimaksud dengan hadits dan hadits qudsi ?
4. Apa yang menjadi perbedaan antara Al-Qur’an dan Hadits Qudsi ?

6
BAB II
PEMBAHASAN

A. AL-QUR’AN
1. Pengertian Al-qur’an

Al-Qur’an berasal dari bahasa Arab yang berarti "bacaan" atau


"sesuatu yang dibaca berulang-ulang". Kata Al-Qur’an adalah bentuk kata
benda (masdar) dari kata kerja qara'a yang artinya membaca. Konsep
pemakaian kata ini dapat juga dijumpai pada salah satu surat Al-Qur'an sendiri
yakni pada ayat 17 dan 18 Surah Al-Qiyamah yang artinya:

“Sesungguhnya mengumpulkan Al-Qur’an (di dalam dadamu) dan


(menetapkan) bacaannya (pada lidahmu) itu adalah tanggungan Kami.
(Karena itu,) jika Kami telah membacakannya, hendaklah kamu ikuti
{amalkan} bacaannya”.(75:17-75:18)

“Al-Qur'an adalah firman Allah yang tiada tandingannya, diturunkan


kepada Nabi Muhammad SAW penutup para Nabi dan Rasul, dengan
perantaraan Malaikat Jibril a.s. dan ditulis pada mushaf-mushaf yang kemudian
disampaikan kepada kita secara mutawatir, serta membaca dan mempelajarinya
merupakan ibadah, yang dimulai dengan surat Al-Fatihah dan ditutup dengan
surat An-Nas".
Dalam Al-Qur'an sendiri terdapat beberapa ayat yang menyertakan
nama lain yang digunakan untuk merujuk kepada Al-Qur'an itu sendiri. Berikut
adalah nama-nama tersebut dan ayat yang mencantumkannya:
 Al-Kitab, QS(2:2),QS (44:2)  Ar-Rahmat (karunia): QS(27:77)
 Al-Furqan (pembeda benar salah):  Ar-Ruh (ruh): QS(42:52)

7
QS(25:1)  Al-Bayan (penerang): QS(3:138)
 Adz-Dzikr (pemberi peringatan):  Al-Kalam (ucapan/firman): QS(9:6)
QS(15:9)  Al-Busyra (kabar gembira):
 Al-Mau'idhah (pelajaran/nasehat): QS(16:102)
QS(10:57)  An-Nur (cahaya): QS(4:174)
 Al-Hukm (peraturan/hukum):  Al-Basha'ir (pedoman): QS(45:20)
QS(13:37)  Al-Balagh (penyampaian/kabar)
 Al-Hikmah (kebijaksanaan): QS(14:52)
QS(17:39)  Al-Qaul (perkataan/ucapan)
 Asy-Syifa' (obat/penyembuh): QS(28:51)
QS(10:57), QS(17:82)
 Al-Huda (petunjuk): QS(72:13),
QS(9:33)

 At-Tanzil (yang diturunkan):


QS(26:192)

2. Struktur dan pembagian Al-Qur'an

a. Surat, ayat dan ruku'

Al-Qur'an terdiri atas 114 bagian yang dikenal dengan nama surah
(surat). Setiap surat akan terdiri atas beberapa ayat, di mana surat
terpanjang dengan 286 ayat adalah surat Al Baqarah dan yang terpendek
hanya memiliki 3 ayat yakni surat Al Kautsar dan Al-‘Așr. Surat-surat
yang panjang terbagi lagi atas sub bagian lagi yang disebut ruku' yang
membahas tema atau topik tertentu.

8
b. Makkiyah dan Madaniyah

Sedangkan menurut tempat diturunkannya, setiap surat dapat dibagi


atas surat-surat Makkiyah (surat Mekkah) dan Madaniyah (surat
Madinah). Pembagian ini berdasarkan tempat dan waktu penurunan surat
dan ayat tertentu di mana surat-surat yang turun sebelum Rasulullah SAW
hijrah ke Madinah digolongkan surat Makkiyah sedangkan setelahnya
tergolong surat Madaniyah.

c. Menurut ukuran surat

Kemudian dari segi panjang-pendeknya, surat-surat yang ada didalam Al-


Qur’an terbagi menjadi empat bagian, yaitu:

1) As Sab’uththiwaal (tujuh surat yang panjang). Yaitu Surat Al-


Baqarah, Ali Imran, An-Nisaa’, Al-A’raaf, Al-An’aam, Al Maa-idah
dan Yunus
2) Al Miuun (seratus ayat lebih), seperti Hud, Yusuf, Mu'min dan
sebagainya
3) Al Matsaani (kurang sedikit dari seratus ayat), seperti Al-Anfaal, Al-
Hijr dan sebagainya
4) Al Mufashshal (surat-surat pendek), seperti Adh-Dhuha, Al-Ikhlas,
Al-Falaq, An-Nas dan sebagainya

3. Sejarah Al-Qur'an hingga berbentuk mushaf


a. Penurunan Al-Qur'an

Al-Qur'an tidak turun sekaligus. Al-Qur'an turun secara berangsur-


angsur selama 22 tahun 2 bulan 22 hari. Oleh para ulama membagi masa
turun ini dibagi menjadi 2 periode, yaitu periode Mekkah dan periode

9
Madinah. Periode Mekkah berlangsung selama 12 tahun masa kenabian
Rasulullah SAW dan surat-surat yang turun pada waktu ini tergolong
surat Makkiyyah. Sedangkan periode Madinah yang dimulai sejak
peristiwa hijrah berlangsung selama 10 tahun dan surat yang turun pada
kurun waktu ini disebut surat Madaniyah.

b. Penulisan Al-Qur'an dan perkembangannya

Penulisan (pencatatan dalam bentuk teks) Al-Qur'an sudah dimulai sejak


zaman Nabi Muhammad SAW. Kemudian transformasinya menjadi teks
yang dijumpai saat ini selesai dilakukan pada zaman khalifah Utsman
bin Affan.

4. Pengumpulan Al-Qur'an di masa Rasullulah SAW

Pada masa ketika Nabi Muhammad SAW masih hidup, terdapat


beberapa orang yang ditunjuk untuk menuliskan Al Qur'an yakni Zaid bin
Tsabit, Ali bin Abi Talib, Muawiyah bin Abu Sufyan dan Ubay bin Kaab.
Sahabat yang lain juga kerap menuliskan wahyu tersebut walau tidak
diperintahkan. Media penulisan yang digunakan saat itu berupa pelepah
kurma, lempengan batu, daun lontar, kulit atau daun kayu, pelana, potongan
tulang belulang binatang. Di samping itu banyak juga sahabat-sahabat
langsung menghafalkan ayat-ayat Al-Qur'an setelah wahyu diturunkan.

5. Pengumpulan Al-Qur'an di masa Khulafaur Rasyidin

a. Pada masa pemerintahan Abu Bakar

Pada masa kekhalifahan Abu Bakar, terjadi beberapa pertempuran


(dalam perang yang dikenal dengan nama perang Ridda) yang

10
mengakibatkan tewasnya beberapa penghafal Al-Qur'an dalam jumlah
yang signifikan. Umar bin Khattab yang saat itu merasa sangat khawatir
akan keadaan tersebut lantas meminta kepada Abu Bakar untuk
mengumpulkan seluruh tulisan Al-Qur'an yang saat itu tersebar di antara
para sahabat. Abu Bakar lantas memerintahkan Zaid bin Tsabit sebagai
koordinator pelaksaan tugas tersebut. Setelah pekerjaan tersebut selesai
dan Al-Qur'an tersusun secara rapi dalam satu mushaf, hasilnya
diserahkan kepada Abu Bakar. Abu Bakar menyimpan mushaf tersebut
hingga wafatnya kemudian mushaf tersebut berpindah kepada Umar
sebagai khalifah penerusnya, selanjutnya mushaf dipegang oleh anaknya
yakni Hafsah yang juga istri Nabi Muhammad SAW.

b. Pada masa pemerintahan Utsman bin Affan

Pada masa pemerintahan khalifah ke-3 yakni Utsman bin Affan,


terdapat keragaman dalam cara pembacaan Al-Qur'an (qira'at) yang
disebabkan oleh adanya perbedaan dialek (lahjah) antar suku yang berasal
dari daerah berbeda-beda. Hal ini menimbulkan kekhawatiran Utsman
sehingga ia mengambil kebijakan untuk membuat sebuah mushaf standar
(menyalin mushaf yang dipegang Hafsah) yang ditulis dengan sebuah
jenis penulisan yang baku. Standar tersebut, yang kemudian dikenal
dengan istilah cara penulisan (rasam) Utsmani yang digunakan hingga
saat ini. Bersamaan dengan standarisasi ini, seluruh mushaf yang berbeda
dengan standar yang dihasilkan diperintahkan untuk dimusnahkan
(dibakar). Dengan proses ini Utsman berhasil mencegah bahaya laten
terjadinya perselisihan di antara umat Islam di masa depan dalam
penulisan dan pembacaan Al-Qur'an.

11
Mengutip hadist riwayat Ibnu Abi Dawud dalam Al-Mashahif,
dengan sanad yang shahih:

Suwaid bin Ghaflah berkata, "Ali mengatakan: Katakanlah segala


yang baik tentang Utsman. Demi Allah, apa yang telah dilakukannya
mengenai mushaf-mushaf Al Qur'an sudah atas persetujuan kami.
Utsman berkata, 'Bagaimana pendapatmu tentang isu qira'at ini? Saya
mendapat berita bahwa sebagian mereka mengatakan bahwa qira'atnya
lebih baik dari qira'at orang lain. Ini hampir menjadi suatu kekufuran'.
Kami berkata, 'Bagaimana pendapatmu?' Ia menjawab, 'Aku
berpendapat agar umat bersatu pada satu mushaf, sehingga tidak terjadi
lagi perpecahan dan perselisihan.' Kami berkata, 'Pendapatmu sangat
baik'."

Menurut Syaikh Manna' Al-Qaththan dalam Mahabits fi 'Ulum Al


Qur'an, keterangan ini menunjukkan bahwa apa yang dilakukan Utsman
telah disepakati oleh para sahabat. Demikianlah selanjutnya Utsman
mengirim utusan kepada Hafsah untuk meminjam mushaf Abu Bakar
yang ada padanya. Lalu Utsman memanggil Zaid bin Tsabit Al-Anshari
dan tiga orang Quraish, yaitu Abdullah bin Az-Zubair, Said bin Al-Ash
dan Abdurrahman bin Al-Harits bin Hisyam. Ia memerintahkan mereka
agar menyalin dan memperbanyak mushaf, dan jika ada perbedaan antara
Zaid dengan ketiga orang Quraish tersebut, hendaklah ditulis dalam
bahasa Quraish karena Al Qur'an turun dalam dialek bahasa mereka.
Setelah mengembalikan lembaran-lembaran asli kepada Hafsah, ia
mengirimkan tujuh buah mushaf, yaitu ke Mekkah, Syam, Yaman,
Bahrain, Bashrah, Kufah, dan sebuah ditahan di Madinah (mushaf al-
Imam).

12
c. Upaya penerjemahan dan penafsiran Al Qur'an

Upaya-upaya untuk mengetahui isi dan maksud Al Qur'an telah


menghasilkan proses penerjemahan (literal) dan penafsiran (lebih dalam,
mengupas makna) dalam berbagai bahasa. Namun demikian hasil usaha
tersebut dianggap sebatas usaha manusia dan bukan usaha untuk
menduplikasi atau menggantikan teks yang asli dalam bahasa Arab.
Kedudukan terjemahan dan tafsir yang dihasilkan tidak sama dengan Al-
Qur'an itu sendiri.

Terjemahan Al-Qur'an adalah hasil usaha penerjemahan secara


literal teks Al-Qur'an yang tidak dibarengi dengan usaha interpretasi lebih
jauh. Terjemahan secara literal tidak boleh dianggap sebagai arti
sesungguhnya dari Al-Qur'an. Sebab Al-Qur'an menggunakan suatu
lafazh dengan berbagai gaya dan untuk suatu maksud yang bervariasi;
terkadang untuk arti hakiki, terkadang pula untuk arti majazi (kiasan) atau
arti dan maksud lainnya.

Terjemahan dalam bahasa Indonesia di Terjemahan dalam bahasa daerah


antaranya dilaksanakan oleh: Indonesia di antaranya dilaksanakan
oleh:
1. Al-Qur'an dan Terjemahannya, oleh
Departemen Agama Republik 1. Qur'an Kejawen (bahasa Jawa),
Indonesia, ada dua edisi revisi, yaitu oleh Kemajuan Islam
tahun 1989 dan 2002 Jogyakarta
2. Terjemah Al-Qur'an, oleh Prof. 2. Qur'an Suadawiah (bahasa
Mahmud Yunus Sunda)
3. An-Nur, oleh Prof. T.M. Hasbi Ash- 3. Qur'an bahasa Sunda oleh K.H.
Siddieqy Qomaruddien
4. Al-Furqan, oleh A.Hassan guru 4. Al-Ibriz (bahasa Jawa), oleh K.

13
PERSIS Bisyri Mustafa Rembang
5. Al-Qur'an Suci Basa Jawi
Terjemahan dalam bahasa Inggris
(bahasa Jawa), oleh Prof.
K.H.R. Muhamad Adnan
1. The Holy Qur'an: Text, Translation
6. Al-Amin (bahasa Sunda)
and Commentary, oleh Abdullah
Yusuf Ali

2. The Meaning of the Holy Qur'an, oleh


Marmaduke Pickthall

6. Adab Terhadap Al-Qur'an

Sebelum menyentuh sebuah mushaf Al-Qur'an, seorang Muslim


dianjurkan untuk menyucikan dirinya terlebih dahulu dengan berwudhu. Hal
ini berdasarkan tradisi dan interpretasi secara literal dari surat Al Waaqi'ah
ayat 77 hingga 79.

Sesungguhnya Al-Qur'an ini adalah bacaan yang sangat mulia, 56-78.


pada kitab yang terpelihara (Lauhul Mahfuzh), 56-79. tidak menyentuhnya
kecuali orang-orang yang disucikan. (56:77-56:79)

Penghormatan terhadap teks tertulis Al-Qur'an adalah salah satu unsur


penting kepercayaan bagi sebagian besar Muslim. Mereka memercayai bahwa
penghinaan secara sengaja terhadap Al Qur'an adalah sebuah bentuk
penghinaan serius terhadap sesuatu yang suci. Berdasarkan hukum pada
beberapa negara berpenduduk mayoritas Muslim, hukuman untuk hal ini dapat
berupa penjara kurungan dalam waktu yang lama dan bahkan ada yang
menerapkan hukuman mati.

14
7. Hubungan dengan kitab-kitab lain

Berkaitan dengan adanya kitab-kitab yang dipercayai diturunkan


kepada nabi-nabi sebelum Muhammad SAW dalam agama Islam (Taurat,
Zabur, Injil, lembaran Ibrahim), Al-Qur'an dalam beberapa ayatnya
menegaskan posisinya terhadap kitab-kitab tersebut. Berikut adalah
pernyataan Al-Qur'an yang tentunya menjadi doktrin bagi ummat Islam
mengenai hubungan Al-Qur'an dengan kitab-kitab tersebut:

a. Bahwa Al-Qur'an menuntut kepercayaan ummat Islam terhadap


eksistensi kitab-kitab tersebut. QS(2:4)
b. Bahwa Al-Qur'an diposisikan sebagai pembenar dan batu ujian
(verifikator) bagi kitab-kitab sebelumnya. QS(5:48)
c. Bahwa Al-Qur'an menjadi referensi untuk menghilangkan perselisihan
pendapat antara ummat-ummat rasul yang berbeda. QS(16:63-64)
d. Bahwa Al-Qur'an meluruskan sejarah. Dalam Al-Qur'an terdapat
cerita-cerita mengenai kaum dari rasul-rasul terdahulu, juga mengenai
beberapa bagian mengenai kehidupan para rasul tersebut. Cerita
tersebut pada beberapa aspek penting berbeda dengan versi yang
terdapat pada teks-teks lain yang dimiliki baik oleh Yahudi dan
Kristen.
8. KESUSTRAAN AL-QUR’AN
Al-Qur’an merupakan kitab suci berbahasa Arab yang teragung (Kitâb
Al-‘Arabiyyah Al-Akbar) dengan nilai sastra yang sangat tinggi 1, namun
gaya sastra al-Qur’an berbeda dengan umumnya gaya sastra Arab yang
dimiliki masyarakat Arab, sebab gaya bahasanya tidak dapat sepenuhnya
disebut sebagai prosa (natsar), di samping juga tidak bisa sepenuhnya
diklaim sebagai bentuk puisi (syi’ir). Lebih dari pada itu, gaya bahasanya
yang senantiasa berubah dan susunannya yang tidak sistematis, paling tidak,

15
terlihat pada ritme dan bait ayat al-Qur’an. Oleh karena itu, al-Qur’an
sebagai kumpulan tanda-tanda linguistik yang harus dipecahkan, mendorong
beberapa sarjana muslim kontemporer untuk menggunakan pendekatan
susastra dalam studi al-Qur ’an.
Sebagai contoh, Toshihiko Izutsu, dalam bukunya Ethico Religius
Concept in the Qur’an, menerapkan metode semantik dalam mengolah teks
Al-Qur’an. Metode ini dilakukan dengan cara studi analisis terhadap
perspektif-perspektif yang terkristalkan dalam kata-kata. Dengan demikian
penafsiran al-Qur’an harus bertumpu pada kosakatanya, baik secara
individual maupun secara rasional dalam jaring atau struktur tertentu.
Analisis pengungkapan makna ini diorientasikan untuk memperoleh
gambaran pandangan dunia (weltanschauung) al-Qur’an.
Trend pendekatan susastra dalam menafsirkan al-Qur’an tersebut di
atas sebenarnya merupakan kelanjutan atas studi al-Qur’an yang telah
banyak dilakukan para mufasssir masa klasik, yang benih-benihnya telah ada
sejak masa Nabi saw. dan sahabatnya. Studi al-Qur’an dengan pendekatan
susastra modern telah melahirkan kerangka dan paradigma baru dalam
metodologi tafsir, sehingga lebih memberikan pemahaman tentang pesan-
pesan al-Qur’an secara komprehensif dengan tetap tidak kehilangan
fungsinya yang trans historis dan trans kultural.
a. Relasi I’jaz al-Qur’an dengan Sastra Arab
Gambaran tentang Al-Qur’an, sebagaimana yang diberikan oleh
orang-orang musyrik Makkah, sebagai tindak ujaran yang menyerupai
ucapan-ucapan para dukun, atau sebagai ucapan puitis yang menyerupai
ucapan-ucapan para penya’ir, tidak lain merupakan ekspresi dari fakta
bahwa hakekat al-Qur’an ditangkap sebagai teks sastra. Karena itu, al-
Qur’an merupakan kitab suci berbahasa Arab yang memiliki nilai sastra
yang tinggi. Salah satu i’jâz al-Qur’an tersebut tampak dari gaya
bahasanya (uslûb) yang indah dan tak tertandingi oleh siapa pun.

16
Al-Qur’an sendiri menantang (tahaddi) orang Arab waktu itu
supaya bersama-sama dengan jin untuk membuat semacam al-Qur’an,
namun mereka tidak mampu membuat semacam al-Qur’an meskipun
mereka saling bantu membantu. Jika mereka ternyata tidak mampu
membuat semisal al-Qur’an, maka bisa saja mereka membuat sepuluh
surat saja yang serupa dengannya. Karena tidak mampu pula, maka
mereka dapat saja membuat satu surat saja yang serupa al-Qur’an
dengan bekerja sama dengan orang lain selain Allah. Terbukti, tantangan
al-Qur’an tersebut hingga kini tidak ada seorangpun yang dapat
menjawabnya. Diskursus tentang i’jâz al-Qur’ân berlangsung di
kalangan para ulama hingga sekarang. Al-Baqilani menyebutkan bahwa
telah banyak ulama dari berbagai ilmu melakukan kajian tentang aspek-
aspek kemukjizatan Al-Qur’an.
Ibn Qutaibah berpendapat bahwa pembahasan serta diskusi
mengenai ajaran dan keyakinan tentang i’jâz al-Qur’ân yang muncul
belakangan, tidak bisa dilepaskan dari dua aspek bahasa, lafzhi dan
ma’nawi. Lafzhi berarti leksikal dan makna struktural, sementara
ma’nawi adalah teori makna.
Pada abad ke tiga hijriyah, kajian tersebut menjadi obyek pelemik
di kalangan kaum muslimim dengan tujuan membela dan
mempertahankan ideologi dan faham mereka, terutama yang
menyangkut persoalan kenabian dan kemuk’jizatan, seperti buku Ta’wîl
Musykil al-Qur’ân karya Ibn Qutaibah, Maqalat al-Islamiyin karya Abi
al-Hasan al-Asy’ari, Hujaj al-Nubuwwah karya al-Jahidz, dan al-
Intishâr karya Abi al-Hasan al- Khiyath. Di kalangan ulama tafsir, ada
juga yang mengkaji kei’jâzan al-Qur’an, seperti al-Thabari dalam Jâmi’
al-Bayânnya dan Majâz al-Qurân yang ditulis oleh Abu ‘Ubaidah.
Polemik sekitar i’jâz al-Qur’ân yang paling keras terjadi di
kalangan mutakallimin, terutama dengan kemunculan faham mu’tazilah.

17
Bermula dari pendapat Labid bin A’sham, seorang Yahudi, bahwa
sesungguhnya Taurat adalah makhluk, maka demikian pula al-Qur’an
adalah makhluk. Pendapat tersebut kemudian diikuti oleh Thalut ibn
Ukhtah, Banan bin Sam’an, al-Ja’d bin Dirham. Dari ketiga pengikut
Labid bin A’sham tersebut al-Ja’d bin Dirhamlah yang paling keras
melakukan provokasi terhadap pendapatnya, bahkan secara terbuka, ia
mengingkari al-Qur’an dan menolak beberapa isi kandungannya.
Menurutnya, bahwa keindahan sastra al-Qur’an sesungguhnya tidaklah
memiliki kemukjizatan, karena sebenarnya manusia mampu membuat
semisal al-Qur’an, bahkan lebih indah dari al-Qur’an sendiri. Menurut
Abu Ishaq Ibrahim al-Nazhzham, seorang pengikut faham mu’tazih,
bahwa i’jâz al-Qur’ân bukan terletak pada al-Qur’n sendiri, tetapi
terletak pada faktor eksternal al-Qur’an, yaitu kehendak Allah sendiri
yang membuat lemah dan tidak berdaya orang Arab untuk membuat
semisal al-Qur’an, meskipun sesungguhnya mereka mampu
membuatnya (al-shirfah).
Konsep al-shirfah, seperti yang dipahami oleh pengikut faham
Mu’tazilah, sesungguhnya sangat tidak berdasar dan tidak rasional,
karena adanya unsur tantangan (tahaddi) dalam i’jâz al-Qur’ân
sesungguhnya menuntut adanya kemampuan manusia (al-qudrah al-
basyariyyah) untuk melakukan perlawanan (al-mu’aradhah) dari
manusia itu sendiri, sehingga logikanya, ketika al-Qur ’an menantang
manusia untuk membuat semisalnya, bahkan satu ayat saja seperti al-
Qur’an, maka mereka benar-benar tidak mampu melakukan perlawanan
dengan membuat semisalnya.
Di samping itu, ketidakmampuan manusia untuk membuat semisal
al-Qur’an menunjukkan kebenaran bahwa al-Qur’an adalah kalâm
Allah, bukan “karya” Rasulullah, karena jika benar merupakan hasil
karyanya maka tentu, dengan kemampuan bahasa dan sastra yang

18
dimilikinya, orang Arab mampu membuat bahkan bisa jadi lebih indah
dengan “karya” Rasulullah sendiri, tetapi kenyataannya mereka tidak
mampu. Dengan demikian, sangat tidak rasional jika manusia tidak
mampu membuat semisal al-Qur’an disebabkan pengetahuan dan
keterampilannya dicabut dan dihilangkan oleh Allah dari diri mereka
(al-shirfah).
Al- Zamakhsyari misalnya, berkesimpulan, bahwa penguasaan
terhadap sastra Arab (balâghah) dengan segala uslubnya tidak hanya
akan membantu memahami aspek-aspek kemukjizatan sastra al-Qur’an,
tetapi juga dapat membantu mengungkapkan makna-makna dan rahasia-
rahasia yang tersembunyi di baliknya.
b. Tafsir Kesusastraan Masa Modern
Dalam konteks ini, secara metodologis studi tafsir Al-Qur ’an
mengalami perkembangan. Jika pada masa klasik studi al-Qur’an masih
diwarnai oleh pemahaman yang didasarkan atas kecenderungan tertentu,
seperti gramatika, retorika dan kandungan tematiknya, seperti fiqih,
tauhid, kisah dan lain sebagainya, maka memasuki masa modern tafsir
al-Qur’an lebih dilihat secara fungsional, di mana fungsi dan tujuan
diwahyukannya al-Qur’an kepada manusia adalah untuk memberikan
petunjuk (hudan), sebagaimana yang digagas oleh Muhammad Abduh.
Menurut Abduh, tujuan yang pertama dan utama dari ilmu tafsir adalah
merealisasikan keberadaan al-Qur’an itu sendiri sebagai petunjuk
(hudan) dan rahmat Allah swt, dengan menjelaskan hikmah kodifikasi
kepercayaan, etika dan hukum menurut cara yang paling bisa diterima
oleh pikiran dan menenangkan perasaan. Dengan demikian, tujuan yang
sebenarnya dari tafsir al-Qur ’an adalah untuk mencari petunjuk
kebenaran di dalam Al-Qur’an.
Pendapat Muhammad Abduh di atas diikuti oleh beberapa sarjana
muslim kontemporer berikutnya, seperti Amin al-Khuli (1895-1966),

19
meski dengan sedikit perbedaan. Menurut Amin al-Khuli, dengan tetap
melihat Al-Qur’an sebagai hudan, ia melihat Al-Qur’an itu sendiri
sebagai bagian dari fakta-fakta sosio-historis. Di sini al-Qur’an dilihat
sebagai apa adanya dalam kaitannya dengan masyarakat Arab yang
pertama kali menerimanya. Ia muncul dalam bingkai dialektika antara
wahyu dengan realitas masyarakat pada saat itu. Sebagai fakta, al-
Qur’an merupakan fakta bahasa dan susastra.
Oleh karena itu, menurut Amin al-Khuli, tujuan yang disebutkan
oleh Muhammad Abduh bukanlah tujuan pertama. Menurutnya, tujuan
pertama ilmu tafsir adalah melakukan kontemplasi terhadap al-Qur’an
sebagai sebuah kitab bahasa Arab yang teragung (Kitab Al-‘Arabiyyah
Al-Akbar) dan mempunyai dampak kesususastraan yang paling besar.
Kitab itulah yang melanggengkan bahasa Arab dari
kehancurannya, dan menjadi kriterium akhir tata bahasa dan
paramasusastranya, sehingga kajian aspek susastra dalam Al-Qur’an
dalam tingkatan seninya - yang dilakukan tanpa memandang perspektif
yang lain, termasuk kepercayaan agama sekalipun - merupakan langkah
awal yang harus dilakukan dalam menafsirkan al-Qur’an sebelum
melangkah lebih jauh ke tujuan selanjutnya. Dalam penelitian Amin al-
Khuli, seperti ditulis dalam ulasannya tentang tafsir pada Enzyklopedi
des Islam, yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Arab al-
Tafsîr ma’âlim Hayâtihi Manhajuh al-Yauma, bahwa karya tafsir yang
ada merupakan hasil kreativitas kesarjanaan muslim. Salah satu yang
perlu dicatat dari beragamnya karya tafsir, menurut al-Khuli, adalah
dominannya kecenderungan yang melatarbelakangi para mufassir.
Berbagai latar belakang intelektual, sosial, politik dan ideologi,
mempengaruhi hasil-hasil penafsiran yang pada gilirannya mengurangi
misi utama yang dibawa al-Qur’an. Dalam hal ini, al-Khuli
mencontohkan sarjana pendahulu yang diwarnai, untuk tidak

20
mengatakan didominasi, kepentingan individual seperti tasawuf, teologi,
fikih dan sebagainya. Atas dasar pemikiran tersebut di atas, Amin al-
Khuli menawarkan metode susastra (al-manhaj al-adabi) dalam
menafsirkan al-Qur’an. Sasaran metode ini, sebagaimana telah
disebutkan di atas, adalah untuk mendapatkan pesan al-Qur’an secara
menyeluruh dan bisa diharapkan terhindar dari tarikan-tarikan
individual-ideologis.
Studi tafsir Al-Qur’an dengan pedekatan susastra, sebagaimana
yang digagas oleh Amin al-Khuli tersebut di atas, selanjutnya
dikembangkan oleh murid-muridnya, seperti, Muhammad Ahmad
Khalafullah, ‘Aisyah Abdurrahman Binti Syathi, M. Syukri Ayyad dan
Nash Hamid Abu Zaid.

B. HADITS
1. Pengertian Hadits
Kata "Hadits" atau al-hadits menurut bahasa berarti al-jadid (sesuatu
yang baru), lawan kata dari al-qadim (sesuatu yang lama). Kata hadits juga
berarti al-khabar (berita), yaitu sesuatu yang dipercakapkan dan
dipindahkan dari seseorang kepada orang lain. Kata jamaknya, ialah al-
ahadis. Secara terminologi, ahli hadits dan ahli ushul berbeda pendapat
dalam memberikan pengertian hadits. Di kalangan ulama hadits sendiri ada
juga beberapa definisi yang antara satu sama lain agak berbeda. Ada yang
mendefinisikan hadits, adalah :

"Segala perkataan Nabi SAW, perbuatan, dan hal ihwalnya". Ulama hadits
menerangkan bahwa yang termasuk "hal ihwal", ialah segala pemberitaan
tentang Nabi SAW, seperti yang berkaitan dengan himmah, karakteristik,
sejarah kelahiran, dan kebiasaan-kebiasaanya”.

21
Ulama ahli hadits yang lain merumuskan pengertian hadits dengan :

"Segala sesuatu yang bersumber dari Nabi, baik berupa perkataan,


perbuatan, taqrir, maupun sifatnya".

Ulama hadits yang lain juga mendefiniskan hadits sebagai berikut :

"Sesuatu yang didasarkan kepada Nabi SAW. baik berupa perkataan,


perbuatan, taqrir, maupun sifatnya".

Dari ketiga pengertian tersebut, ada kesamaan dan perbedaan para


ahli hadits dalam mendefinisikan hadits. Kasamaan dalam mendefinisikan
hadits ialah hadits dengan segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi
SAW, baik perkataan maupun perbuatan. Sedangkan perbedaan mereka
terletak pada penyebutan terakhir dari perumusan definisi hadits. Ada ahli
hadits yang menyebut hal ihwal atau sifat Nabi sebagai komponen hadits,
ada yang tidak menyebut. Kemudian ada ahli hadits yang menyebut taqrir
Nabi secara eksplisit sebagai komponen dari bentuk-bentuk hadits, tetapi ada
juga yang memasukkannya secara implisit ke dalam aqwal atau afal-nya.
Sedangkan ulama Ushul, mendefinisikan hadits sebagai berikut :

"Segala perkataan Nabi SAW. yang dapat dijadikan dalil untuk penetapan
hukum syara".

Berdasarkan rumusan definisi hadits baik dari ahli hadits maupun ahli ushul,
terdapat persamaan yaitu ; "memberikan definisi yang terbatas pada sesuatu
yang disandarkan kepada Rasul SAW, tanpa menyinggung-nyinggung
prilaku dan ucapan shabat atau tabi'in. Perbedaan mereka terletak pada
cakupan definisinya. Definisi dari ahli hadits mencakup segala sesuatu yang

22
disandarkan atau bersumber dari Nabi SAW, baik berupa perkataan,
perbuatan, dan taqrir.
Sedangkan cakupan definisi hadits ahli ushul hanya menyangkut aspek
perkataan Nabi saja yang bisa dijadikan dalil untuk menetapkan hukum
syara'.

2. Struktur Hadits
Secara struktur hadits terdiri atas dua komponen utama yakni sanad/isnad
(rantai penutur) dan matan (redaksi).
Contoh:
Musaddad mengabari bahwa Yahyaa sebagaimana diberitakan oleh
Syu'bah, dari Qatadah dari Anas dari Rasulullah SAW bahwa beliau
bersabda: "Tidak sempurna iman seseorang di antara kalian sehingga ia
cinta untuk saudaranya apa yang ia cinta untuk dirinya sendiri" (Hadits
riwayat Bukhari)
a. Sanad
Sanad ialah rantai penutur/perawi (periwayat) hadits. Sanad terdiri
atas seluruh penutur mulai dari orang yang mencatat hadits tersebut
dalam bukunya (kitab hadits) hingga mencapai Rasulullah. Sanad,
memberikan gambaran keaslian suatu riwayat. Jika diambil dari contoh
sebelumnya maka sanad hadits bersangkutan adalah
Al-Bukhari > Musaddad > Yahya > Syu’bah > Qatadah > Anas >
Nabi Muhammad SAW
Sebuah hadits dapat memiliki beberapa sanad dengan jumlah
penutur/perawi bervariasi dalam lapisan sanadnya, lapisan dalam sanad
disebut dengan thaqabah. Signifikansi jumlah sanad dan penutur dalam
tiap thaqabah sanad akan menentukan derajat hadits tersebut, hal ini
dijelaskan lebih jauh pada klasifikasi hadits. Jadi yang perlu dicermati
dalam memahami Al Hadits terkait dengan sanadnya ialah :

23
1) Keutuhan sanadnya
2) Jumlahnya
3) Perawi akhirnya

Sebenarnya, penggunaan sanad sudah dikenal sejak sebelum


datangnya Islam.Hal ini diterapkan di dalam mengutip berbagai buku
dan ilmu pengetahuan lainnya. Akan tetapi mayoritas penerapan sanad
digunakan dalam mengutip hadits-hadits nabawi.

b. Matan

Matan ialah redaksi dari hadits. Dari contoh sebelumnya maka matan
hadits bersangkutan ialah:

"Tidak sempurna iman seseorang di antara kalian sehingga ia cinta


untuk saudaranya apa yang ia cinta untuk dirinya sendiri"

Terkait dengan matan atau redaksi, maka yang perlu dicermati dalam
mamahami hadist ialah:

1) Ujung sanad sebagai sumber redaksi, apakah berujung pada Nabi


Muhammad atau bukan,
2) Matan hadist itu sendiri dalam hubungannya dengan hadist lain yang
lebih kuat sanadnya (apakah ada yang melemahkan atau menguatkan)
dan selanjutnya dengan ayat dalam Al Quran (apakah ada yang
bertolak belakang).

3. Klasifikasi Hadits

Hadits dapat diklasifikasikan berdasarkan beberapa kriteria yakni


bermulanya ujung sanad, keutuhan rantai sanad, jumlah penutur (periwayat)

24
serta tingkat keaslian hadits (dapat diterima atau tidaknya hadits
bersangkutan)

a. Berdasarkan ujung sanad

Berdasarkan klasifikasi ini hadits dibagi menjadi 3 golongan yakni marfu'


(terangkat), mauquf (terhenti) dan maqtu' :

1) Hadits Marfu' adalah hadits yang sanadnya berujung langsung pada


Nabi Muhammad SAW (contoh:hadits sebelumnya)
2) Hadits Mauquf adalah hadits yang sanadnya terhenti pada para
sahabat nabi tanpa ada tanda-tanda baik secara perkataan maupun
perbuatan yang menunjukkan derajat marfu.

Contoh:

Al Bukhari dalam kitab Al-Fara'id (hukum waris) menyampaikan


bahwa Abu Bakar, Ibnu Abbas dan Ibnu Al-Zubair mengatakan:
"Kakek adalah (diperlakukan seperti) ayah". Namun jika ekspresi
yang digunakan sahabat seperti "Kami diperintahkan..", "Kami
dilarang untuk...", "Kami terbiasa... jika sedang bersama rasulullah"
maka derajat hadits tersebut tidak lagi mauquf melainkan setara
dengan marfu.

3) Hadits Maqtu' adalah hadits yang sanadnya berujung pada para


Tabi'in (penerus).

Contoh hadits ini adalah:

25
Imam Muslim meriwayatkan dalam pembukaan sahihnya bahwa
Ibnu Sirin mengatakan: "Pengetahuan ini (hadits) adalah agama,
maka berhati-hatilah kamu darimana kamu mengambil agamamu".

Keaslian hadits yang terbagi atas golongan ini sangat


bergantung pada beberapa faktor lain seperti keadaan rantai sanad
maupun penuturnya. Namun klasifikasi ini tetap sangat penting
mengingat klasifikasi ini membedakan ucapan dan tindakan
Rasulullah SAW dari ucapan para sahabat maupun tabi'in dimana hal
ini sangat membantu dalam area perdebatan dalam fikih ( Suhaib
Hasan, Science of Hadits).

b. Berdasarkan keutuhan rantai/lapisan sanad

Berdasarkan klasifikasi ini hadits terbagi menjadi beberapa golongan


yakni Musnad, Munqati', Mu'allaq, Mu'dal dan Mursal. Keutuhan rantai
sanad maksudnya ialah setiap penutur pada tiap tingkatan dimungkinkan
secara waktu dan kondisi untuk mendengar dari penutur diatasnya.
Ilustrasi sanad : Pencatat Hadits > penutur 4> penutur 3 > penutur 2
(tabi'in) > penutur 1(Para sahabat) > Rasulullah SAW

1) Hadits Musnad, sebuah hadits tergolong musnad apabila urutan


sanad yang dimiliki hadits tersebut tidak terpotong pada bagian
tertentu. Yakni urutan penutur memungkinkan terjadinya transfer
hadits berdasarkan waktu dan kondisi.
2) Hadits Mursal. Bila penutur 1 tidak dijumpai atau dengan kata lain
seorang tabi'in menisbatkan langsung kepada Rasulullah SAW
(contoh: seorang tabi'in (penutur2) mengatakan "Rasulullah
berkata" tanpa ia menjelaskan adanya sahabat yang menuturkan
kepadanya).

26
3) Hadits Munqati' . Bila sanad putus pada salah satu penutur yakni
penutur 4 atau 3
4) Hadits Mu'dal bila sanad terputus pada dua generasi penutur
berturut-turut.
5) Hadits Mu'allaq bila sanad terputus pada penutur 4 hingga penutur 1
(Contoh: "Seorang pencatat hadits mengatakan, telah sampai
kepadaku bahwa Rasulullah mengatakan...." tanpa ia menjelaskan
sanad antara dirinya hingga Rasulullah).

c. Berdasarkan jumlah penutur

Jumlah penutur yang dimaksud adalah jumlah penutur dalam tiap


tingkatan dari sanad, atau ketersediaan beberapa jalur berbeda yang
menjadi sanad hadits tersebut. Berdasarkan klasifikasi ini hadits dibagi
atas hadits Mutawatir dan hadits Ahad.

1) Hadits mutawatir, adalah hadits yang diriwayatkan oleh sekelompok


orang dari beberapa sanad dan tidak terdapat kemungkinan bahwa
mereka semua sepakat untuk berdusta bersama akan hal itu. Jadi hadits
mutawatir memiliki beberapa sanad dan jumlah penutur pada tiap
lapisan (thaqabah) berimbang. Para ulama berbeda pendapat mengenai
jumlah sanad minimum hadits mutawatir (sebagian menetapkan 20 dan
40 orang pada tiap lapisan sanad). Hadits mutawatir sendiri dapat
dibedakan antara dua jenis yakni mutawatir lafzhy (redaksional sama
pada tiap riwayat) dan ma'nawy (pada redaksional terdapat perbedaan
namun makna sama pada tiap riwayat)
2) Hadits ahad, hadits yang diriwayatkan oleh sekelompok orang namun
tidak mencapai tingkatan mutawatir. Hadits ahad kemudian dibedakan
atas tiga jenis antara lain :

27
a) Gharib, bila hanya terdapat satu jalur sanad (pada salah satu lapisan
terdapat hanya satu penutur, meski pada lapisan lain terdapat
banyak penutur)
b) Aziz, bila terdapat dua jalur sanad (dua penutur pada salah satu
lapisan)
c) Mashur, bila terdapat lebih dari dua jalur sanad (tiga atau lebih
penutur pada salah satu lapisan) namun tidak mencapai derajat
mutawatir.

d. Berdasarkan tingkat keaslian hadits

Kategorisasi tingkat keaslian hadits adalah klasifikasi yang paling


penting dan merupakan kesimpulan terhadap tingkat penerimaan atau
penolakan terhadap hadits tersebut. Tingkatan hadits pada klasifikasi ini
terbagi menjadi 4 tingkat yakni shahih, hasan, da'if dan maudu.

1) Hadits Shahih, yakni tingkatan tertinggi penerimaan pada suatu hadits.


Hadits shahih memenuhi persyaratan sebagai berikut:

a) Sanadnya bersambung;
b) Diriwayatkan oleh penutur/perawi yg adil, memiliki sifat
istiqomah, berakhlak baik, tidak fasik, terjaga
muruah(kehormatan)-nya, dan kuat ingatannya.
c) Matannya tidak mengandung kejanggalan/bertentangan (syadz)
serta tidak ada sebab tersembunyi atau tidak nyata yg
mencacatkan hadits .

2) Hadits Hasan, bila hadits yg tersebut sanadnya bersambung,


diriwayatkan oleh rawi yg adil namun tidak sempurna ingatannya,
serta matannya tidak syadz serta cacat.

28
3) Hadits Dhaif (lemah), ialah hadits yang sanadnya tidak bersambung
(dapat berupa mursal, mu’allaq, mudallas, munqati’ atau mu’dal)dan
diriwayatkan oleh orang yang tidak adil atau tidak kuat ingatannya,
mengandung kejanggalan atau cacat.
4) Hadits Maudu', bila hadits dicurigai palsu atau buatan karena dalam
sanadnya dijumpai penutur yang memiliki kemungkinan berdusta.
e. Perbedaan Hadits dengan as-Sunnah, al-Khabar, dan al-Atsar
Dari keempat istilah yaitu Hadits, Sunnah, Khabar, dan Atsar, menurut
jumhur ulama Hadits dapat dipergunakan untuk maksud yang sama, yaitu
bahwa hadits disebut juga dengan sunnah, khabar atau atsar. Begitu pula
halnya sunnah, dapat disebut dengan hadits, khabar dan atsar. Maka
Hadits Mutawatir dapat juga disebut dengan Sunnah Mutawatir atau
Khabar Mutawatir. Begitu juga Hadits Shahih dapat disebut dengan
Sunnah Shahih, Khabar Shahih, dan Atsar Shahih. Tetapi berdasarkan
penjelasan mengenai Hadits, Sunnah, Khabar, dan Atsar ada sedikit
perbedaan yang perlu diperhatikan antara hadits dan sunnah menurut
pendapat dan pandangan ulama, baik ulama hadits maupun ulama ushul
dan juga perbedaan antara hadits dengan khabar dan atsar dari penjelasan
ulama yang telah dibahas.
Perbedaan-perbedaan pendapat ulama tersebut dapat disimpulkan
sebagai berikut :
1) Hadits dan Sunnah
Hadits terbatas pada perkataan, perbuatan, taqrir yang bersumber dari
Nabi SAW, sedangkan Sunnah segala yang bersumber dari Nabi
SAW baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir, tabiat, budi pekerti,
atau perjalan hidupnya, baik sebelum diangkat menjadi Rasul
maupun sesudahnya.
2) Hadits dan Khabar

29
Sebagian ulama hadits berpendapat bahwa Khabar sebagai sesuatu
yang berasal atau disandarkan kepada selain Nabi SAW., Hadits
sebagai sesuatu yang berasal atau disandarkan kepada Nabi SAW.
Tetapi ada ulama yang mengatakan Khabar lebih umum daripada
Hadits, karena perkataan khabar merupakan segala yang
diriwayatkan, baik dari Nabi SAW., maupun dari yang selainnya,
sedangkan hadits khusus bagi yang diriwayatkan dari Nabi SAW.
saja. "Ada juga pendapat yang mengatakan, khabar dan hadits,
diithlaqkan kepada yang sampai dari Nabi saja, sedangkan yang
diterima dari sahabat dinamai Atsar".
3) Hadits dan Atsar
Jumhur ulama berpendapat bahwa Atsar sama artinya dengan khabar
dan Hadits. Ada juga ulama yang berpendapat bahwa Atsar sama
dengan Khabar, yaitu sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW.,
sahabat dan tabi'in. "Az Zarkasyi, memakai kata atsar untuk hadits
mauquf. Namun membolehkan memakainya untuk perkataan Rasul
SAW. (hadits marfu)". Dengan demikian, Hadits sebagai sesuatu
yang berasal atau disandarkan kepada Nabi SAW. saja, sedangkan
Atsar sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW., sahabat dan
tabi'in.

f. Cara Penyampaian Hadits pada Masa Nabi


Nabi SAW hidup di tengah-tengah masyarakat dan sahabatnya.
Mereka selalu bertemu dan berinteraksi dengan beliau secara bebas.
Menurut T.M.Hasbi Ash Shiddieqy, bahwa tidak ada ketentuan protokol
yang menghalangi mereka bergaul dengan beliau. Yang tidak dibenarkan,
hanyalah mereka langsung masuk ke rumah Nabi, dikala beliau tak ada di
rumah, dan berbicara dengan para isteri Nabi, tanpa hijab. Nabi bergaul
dengan mereka di rumah, di mesjid, di pasar, di jalan, di dalam safar dan

30
di dalam hadlar. Seluruh perbuatan Nabi, demikian juga ucapan dan tutur
kata Nabi menjadi tumpuan perhatian para sahabat. Segala gerak-gerik
Nabi menjadi contoh dan pedoman hidup mereka. Para sahabat sangat
memperhatikan perilaku Nabi dan sangat memerlukan untuk mengetahui
segala apa yang disabdakan Nabi. Mereka tentu meyakini, bahwa mereka
diperintahkan mengikuti dan mentaati apa-apa yang diperintahkan Nabi.
Sebagai seorang Nabi tentu memiliki teknik atau cara-cara untuk
mencontohkan perilaku dan menyampaikan sesuatu kepada para
sahabatnya. Untuk itu, "menurut riwayat al-Bukhari, Ibnu Mas'ud pernah
bercerita bahwa untuk tidak melahirkan rasa jenuh di kalangan sahabat,
Rasul SAW menyampaikan haditsnya dengan berbagai cara, sehingga
membuat para sahabat selalu ingin mengikuti pengajiannya".
Ada beberapa teknik atau cara Rasul SAW dalam menyampaikan
Hadits kepada para sahabat, yang disesuaikan dengan kondisi para
sahabatnya. Untuk itu, teknik atau cara yang digunakan Nabi SAW dalam
menyampaikan Hadits, sebagai berikut :
1) Melalui para jama'ah pada pusat pembinaannya yang disebut majlis
al-'Ilmi.
2) Melalui majlis ini para sahabat memperoleh banyak peluang untuk
menerimahadits, sehingga mereka berusaha untuk selalu
mengkonsentrasikan diri untuk mengikuti kegiatannya.
3) Dalam banyak kesempatan Rasul SAW juga menyampaikan
haditsnya melalui
4) para sahabat tertentu, yang kemudian oleh para tersebut
disampaikannya kepada orang lain. Hal ini karena terkadang ketika ia
mewurudkan suatu Hadits, para sahabat yang hadir hanya beberapa
orang saja, baik karena disengaja oleh Rasul SAW sendiri atau secara
kebetulan para sahabat yang hadir hanya beberapa orang saja, bahkan
hanya satu orang, seperti Hadits-hadits yang ditulis oleh Abdullah bin

31
Amr bin al-'Ash. Untuk hal-hal yang sensitif, seperti yang berkaitan
dengan soal keluarga dan kebutuhan biologis (terutama yang
menyangkut hubungan suami isteri), ia sampaikan melalui isteri-
isterinya. Begitu juga sikap para sahabat, jika ada hal-hal yang
berkaitan dengan soal di atas, karena segan bertanya kepada Rasul
SAW, seringkali ditanyakan melalui isteri-isterinya.
5) Melalui ceramah atau pidato di tempat terbuka, seperti ketika haji
wada' dan fathu Makkah.
6) Melalui perbuatan langsung yang disaksikan oleh para sahabatnya
(jalan musya'hadah), seperti yang berkaitan dengan praktek-praktek
ibadah dan muamalah.
7) Para sahabat yang mengemukana masalah atau bertanya dan
berdiolog langsung kepada Nabi SAW. Melihat kenyataan ini, umat
Islam pada saat itu secara langsung memperoleh Hadits dari Rasul
SAW sebagai sumber Hadits, baik itu berupa perkataan, perbuatan
dan taqrir. Antara Rasul SAW dengan mereka tidak ada jarak atau
hijab yang dapat menghambat atau mempersulit pertemuan mereka.

C. HADITS QUDSI

Menurut para ahli hadits, Hadits Qudsi adalah setiap ucapan yang
disandarkan kepada Allah swt. oleh Rasulullah saw. Karena itu, hadits qudsi
sering diawali dengan kalimat “… dari Rasulullah saw. dari hadits yang beliau
riwayatkan dari Tuhannya,…” atau “Rasulullah saw. bersabda, Allah swt
berfirman,…”

32
Berikut ini salah satu contohnya

Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a., sesungguhnya Rasulullah saw


bersabda, Allah swt. berfirman, “Aku adalah menurut persangkaan hamba-Ku
kepada-Ku. Dan Aku bersamanya ketika ia menyebut-Ku. Jika ia menyebut-Ku
dalam dirinya, Aku menyebutnya dalam diri-Ku. Ketika ia menyebut-Ku
ditengah-tengah sekelompok orang, Aku menyebutnya ditengah-tengah kelompok
yang lebih baik dari mereka (kelompok malaikat).” (H.R.Imam Ahmad, Imam
Bukhari, Imam Muslim, At Tirmidzi, dan Ibnu Majah).

1. Perbedaan antara Al-Qur’an dan Hadits qudsi

Para ulama berbeda pendapat tentang hakikat hadist qudsi ini, sebagian
ulama seperti Abu Al Biqai berpendapat bahwa hadits qudsi merupakan
wahyu Allah yang dihembuskan kepada pribadi Nabi baik melalui ilham
maupun mimpi sedangkan susunan redaksinya dilakukan oleh Rasulullah Saw
sendiri. Artinya hadits qudsi adalah maknanya dari Allah sedangkan lafadznya
dari Rasulullah Saw. Jika pemahaman hadits qudsi seperti ini jelas tidak
menimbulkan masalah. namun sementara ulama berpendapat, bahwa hadits
qudsi adalah makna dan lafadznya dua-duanya dari Allah Swt. Kalau
demikian jelas akan menimbulkan masalah sebab Al Qur’an juga begitu lafadz
dan maknanya dari Allah. oleh sebab itu perlu dibuat rumusan yang jelas
tentang perbedaan antara Al Qur’an dengan hadits qudsi agar tidak terjadi
kerancuan dalam memberikan interpretasi.

Dr Syu’ban Muhammad Ismail dalam kitabnya Ma’a Al Qur’an Al


Karin Fi Tarikhihi menulis sebelas perbedaan pokok antara Al Qur’an dan
hadits qudsi.

33
a. Al Qur’an adalah wahyu yang jelas, artinya Al Qur’an diturunkan oleh
Allah melalui Jibril kepada Nabi Muhammad yang dalam keadaan sadar,
sedangkan hadits qudsi bisa jadi diterima dalam bentuk ilham ataupun
mimpi.
b. Al Qur’an merupakan mukjizat sehingga tidak ada seorangpun yang dapat
menandinginya, ia juga terjaga dari perubahan, sedangkan hadits qudsi
tidak.
c. Membaca Al Qur’an merupakan ibadah sedangkan hadits qudsi tidak
demikian.
d. Bagi orang yang hadats dilarang menyentuh al qur’an dan bagi yang junub
dilarang menyentuh dan membacanya, sedangkan hadist qudsi tidak.
e. Al Qur’an tidak boleh diriwayatkan dengan maknanya saja, sedangkan
hadits qudsi boleh.
f. Al Qur’an diriwayatkan secara mutawatir, sedangkan hadits qudsi
diriwayatkan secara ahad.
g. Menurut Imam Ahmad dilarang menjual Al Qur’an sementara Imam
Syafi’i Makruh, sedangkan hadist Qudsi tidak demikian.
h. Al Qur’an merupakan bacaan tertentu dalam sholat, tidak sah sholat
seseorang bila tidak membaca Al Qur’an sedangkan hadits qudsi tidak.
i. Lafadz Al Qur’an berasal dari Allah, sedangkan hadist qudsi berasal dari
Nabi Saw.
j. Bagian-bagian dari Al Qur’an disebut ayat dan surat sedangkan hadist
qudsi tidak demikian.

34
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Adapun beberapa kesimpulan yang dapat penulis ambil dari pembahasan
makalah diatas adalah :
1. Al-Qur'an adalah firman Allah yang tiada tandingannya, diturunkan kepada
Nabi Muhammad SAW penutup para Nabi dan Rasul, dengan perantaraan
Malaikat Jibril a.s. dan ditulis pada mushaf-mushaf yang kemudian disampaikan
kepada kita secara mutawatir, serta membaca dan mempelajarinya merupakan
ibadah, yang dimulai dengan surat Al-Fatihah dan ditutup dengan surat An-Nas.
2. Al-Quran dan Hadits merupakan dua sumber hukum dalam islam yang harus
dijalankan secara bersamaan.
3. Pendefenisian makna dari hadits itu sendiri memiliki persamaan dan kesamaan
yang mendasar pada beberapa ulama, salah satu pengertian dari hadits itu adalah
sesuatu yang didasarkan kepada Nabi SAW. baik berupa perkataan, perbuatan,
taqrir, maupun sifatnya.
4. Hadits qudsi merupakan hadits yang maknanya berasal dari Allah SWT. dan
lafadzhnya berasal dari Nabi Muhammad SAW.

B. Saran
1. Semoga makalah ini menjadi penambahan pengetahuan pembaca dalam
mengetahui makna Al-Qur’an, Hadits Qudsi dan Hadits itu sendiri dan dapat
mensosialisasikannya pada masyarakat luas.
2. Semoga makalah ini menjadi sebuah inspirasi dan referensi dapat penulisan
makalah berikutnya.

35
Daftar Pustaka

Faridl, Miftah dan Syihabudin, Agus.1989.Al-Qur'an, Sumber Hukum Islam yang


Pertama, Penerbit Pustaka, Bandung,.
Kaelani, HD. 2009. Islam Agama Universal.Jakarta: Midada Rahma.
Malik, M. Abduh, dkk. 2009. Pengembangan Kepribadian Pendidikan Agama
Islam.Jakarta: Departemen Agama.
Mubarak, Zakky. 2007. Menjadi Cendekiawan Muslim. Jakarta: Yayasan
UkhuwahInsaniah.Fahrudin.
Qardawi, Yusuf. 2003. Bagaimana Berinteraksi dengan Al-Qur’an. (terjemahan:
Kathur Suhardi). Jakarta. Pustaka Al-Kautsar.
Sunnah. Abdullah, Amin. 2015. Al-Quran Terjemahan. Bandung: CV. Darus

36

You might also like