You are on page 1of 4

Anti AS yang Tak Kunjung Padam

Republika - Minggu, 17 Februari 2002


23 Tahun Revolusi Islam Iran

'Nanti Anda akan berjumpa dengan banyak perempuan lain. Mereka boleh jadi sangat
miskin, tapi mereka sangat mencintai revolusi,'' kata Leila Rokn Abadi, salah seorang
penerjemah dalam acara Pertemuan Perempuan Pengikut Ahl-ul-Bayt Sedunia yang
diselenggarakan di Teheran, 24-25 Januari lalu.

Ketika itu, beberapa peserta pertemuan tengah menanti bus yang akan membawa
mereka ke Universitas Teheran, untuk mengikuti shalat Jumat. Jadwal pertemuan
begitu ketat, sehingga semua peserta yang jumlahnya 250 orang dan berasal dari 58
negara menghadiri shalat jamaah yang menurut Islam Syiah hukumnya sunah
selama masa gaibnya Imam Mahdi ini. Jadilah hanya sekitar sepuluh orang yang
berangkat.

Bagi peserta yang baru pertama kali ikut, ini adalah kesempatan langka. Selain
karena berkunjung ke Iran tak bisa dilakukan setiap saat, shalat Jumat di Iran pun
tidak dilakukan di setiap masjid. Hanya satu tempat di setiap kota yang
menyelenggarakannya.

Untuk Ibukota Teheran, tempat shalat ya di Universitas Teheran. Setelah melalui


pemeriksaan ketat, rombongan dipersilakan masuk ke area shalat khusus
perempuan. Kecuali kain shalat, tak ada barang yang boleh dibawa. Kamera dan tas
tangan pun harus ditinggal di dalam bus.
Meski tak memahami Bahasa Persia --yang digunakan sebagai bahasa khutbah,
seorang peserta tetap saja mengikuti shalat Jumat itu. Di dalam rombongan, ada tiga
perempuan asal Indonesia yang saat ini sedang menuntut ilmu di hawzah (madrasah)
di Qom, salah satu kota suci muslim Syiah. Mereka berjanji akan meringkaskan
materi khutbah usai shalat untuk peserta yang mengaku tak memahami Bahas Persia
itu.

Khutbah pertama, berisikan pesan-pesan akhlak, berlalu dengan tenang. Tapi


khutbah kedua, suasananya lebih hidup. Peserta yang tak memahami Bahasa Persia
itu mengaku hanya dapat menangkap tiga kata yang telontar: Amerika, Israel, dan
zionisme. Satu lagi yang samar-samar adalah kata rezim. Tapi rasa-rasanya ketiga
kata itu cukup menjelaskan sambutan bersemangat yang ditunjukkan oleh para
jamaah.
Benar saja. Khutbah kedua memang umumnya bertemakan politik.

Hujatan kepada Amerika dan Israel disambut dengan yel-yel penuh semangat dari
para jamaah. Termasuk jamaah perempuan. Tapi sanjungan kepada Ayatullah
Khomeini pun tak kurang semangatnya. Beberapa perempuan tertunduk sambil
memejamkan mata. Mungkin mencoba menghadirkan sosok terpenting pada Revolusi
Islam 23 tahun lalu itu dalam benaknya. Sementara yang lainnya menyerukan
''Khomeini Rahbar'' dengan suara melengking sambil mengepalkan tangan. Ketika
itulah, dapat disaksikan apa yang dikatakan oleh khanum Leila: kecintaan mendalam
orang terhadap Revolusi Islam.

Tahun ini rakyat Iran memperingati ulang tahun ke-23 revolusi tanpa darah yang
membalikkan sejarah Iran. Crane Brinton, penulis buku An Anatomy of a Revolution
menyebutkan beberapa kondisi yang berujung pada terjungkalnya Shah Reza Pahlavi
dari tahta meraknya pada 1978.

Salah satunya adalah besarnya perbedaan pendapatan di antara kelompok kelas


yang berbeda di Iran. Kelas elite yang terdiri dari para tuan tanah kaya, kaum
terpelajar, perwira militer, politisi, dan kalangan diplomat dikenal dekat dengan Shah
dan merupakan pendukung monarki yang utama.

Masyarakat Iran pada periode 1960-an hingga 1970-an awal adalah gambaran
masyarakat Barat yang makmur. Tingkat pendapatan per kapita yang tinggi
ditunjukkan oleh gaya hidup dugem alias dunia gemerlap.

Di sisi lain ada masyarakat petani yang harapan-harapan politiknya tak terpenuhi.
Situasi itu diperburuk lagi dengan aksi-aksi dinas kepolisian rahasia serta perubahan
sosial-ekonomi yang dibawa oleh modernisasi.
Kelas menengah yang terdiri dari mahasiswa, teknokrat serta kalangan profesional-
modernis, seperti lazimnya, adalah kelompok yang paling bisa diharapkan untuk
membawa masyarakat yang termarjinalisasi keluar dari kesuntukan tersebut.
Kelompok ini di satu sisi berbagi privilege dengan kelompok elite dan berusaha
mempertahankannya. Namun, di sisi lain, mereka juga merasa dibohongi oleh
kelompok elite dalam hal pembagian keuntungan dari sektor industri.

Ketidakpuasan yang dirasakan kelas menengah sepanjang dekade 1970-an itu


ditandai pula oleh desersi sejumlah besar kaum intelektual Iran. Salah satunya
adalah Ayatullah Ruhullah Khomeini, yang mewakili kekecewaan kalangan religius.
Keterusterangannya melawan pemerintahan otokratik Shah menyebabkan Khomeini
dibuang ke Turki pada 1963.

Pada 1965 Imam Khomeini pindah ke Irak. Di negara jiran ini ia menjadi juru bicara
yang lantang bagi para penentang Shah di luar negeri. Pada 6 Oktober 1978, karena
aktivitas politiknya yang dianggap kian membahayakan, Khomeini disingkirkan ke
Paris, Prancis. Tapi, justru di kota cantik ini hubungannya dengan kelompok-kelompok
oposisi yang lebih luas dan pers asing terjalin dengan lebih kokoh. Secara terbuka ia
pun mulai mengungkapkan niatnya untuk menjatuhkan Shah dan menegakkan nilai-
nilai keagamaan dan tradisional Iran. Selain itu, Khomeini juga berbicara mengenai
pentingnya menggantikan skema industri besar - yang selama ini dipakai sebagai
basis untuk membangun perekonomian Iran - dengan skema perekonomian yang
lebih berorientasi pada rakyat kecil.

Sepanjang dekade 1970-an tersebut popularitas Imam Khomeini terus memuncak. Ia


pun menjadi simbol bagi gerakan oposisi menentang tirani Shah. Popularitas
tersebut, pada saat yang sama, juga menjadi pupuk yang menyuburkan banyak
kelompok religius. Termasuk meningkatkan status sosial mereka.

Kenyataan ini menjadi tantangan sangat serius untuk Shah. Meskipun AS setia di
belakangnya, kekuasaan Shah semakin lama semakin lemah. Gelombang oposisi
semakin membesar setelah 1975, yakni setelah pembentukan Rastakhiz, sebuah
partai politik resmi, serta pelarangan partai-partai politik oposisi. Kejengkelan
kalangan oposisi juga disulut oleh kenyataan bahwa keuntungan dari minyak
digunakan untuk membeli persenjataan dan membiayai industri yang hanya
menguntungkan sekelompok kecil masyarakat.

Setelah aksi-aksi yang sinambung menentangnya, pada akhir 1978 Shah sampai
pada kesimpulan bahwa tekanan militeristik yang dipakainya untuk menekan para
penentangnya tak lagi bertaji untuk melanggengkan tahtanya. Puncaknya, pada 10
Desember 1978, delapan juta rakyat Iran turun ke jalan untuk mengungkapkan
penolakan mereka terhadap Shah. Turut serta dalam barisan itu adalah seperlima
pegawai pemerintahan.

Kali ini aksi sangat masif itu berjalan damai, meski sebelumnya sudah ribuan nyawa
rakyat Iran sudah melayang akibat tindakan keras penguasa. Poster-poster dan
slogan yang diteriakkan jelas menunjukkan aspirasi religius dan politik yang kental
dari kalangan yang sekian lama terpinggirkan. Dan jika tadinya cuma meriang, maka
sekarang Shah benar-benar ''demam''. Ia tahu bahwa dengan cara apa pun revolusi
tak lagi bisa dibendung. Akhirnya pada 16 Januari 1979 Shah Iran meninggalkan
Teheran untuk sebuah ''liburan panjang''.

Tanggal 1 April 1979, setelah hasil referendum menunjukkan kemenangan berpihak


pada oposisi, Imam Khomeini mendeklarasikan Iran sebagai sebuah republik Islam.
Konstitusi negara merefleksikan gagasan Khomeini mengenai sebuah negara Islam.
Hijab atau chador diwajibkan bagi kaum perempuan. Musik Barat dan alkohol
dilarang. Dan mereka yang dulu berada di pihak Shah pun dijatuhi hukuman mati.

Kini, 23 tahun kemudian, wajah keras Iran perlahan mulai melunak. Chador masih
dipakai oleh sebagian perempuan Iran ketika mereka keluar rumah. Namun sebagian
lagi lebih suka memakai tunik panjang dan longgar dan memperlihatkan sedikit
rambut di atas dahi. Di sebuah hotel di Teheran bahkan tamu bisa melihat beberapa
perempuan Iran berdandan penuh gaya: kerudung tipis, dan memakai rok setengah
betis dan sepatu bot kulit. Satu-dua dari mereka pun tak sungkan merokok di dalam
restoran hotel, sementara chador mereka sampirkan di kursi.

Supir taksi yang membawa rombongan ke Qom pun bercerita bahwa saat ini
pemerintahan Presiden Khatami sedang direpotkan oleh berbagai kasus korupsi di
kabinetnya. ''Presiden sendiri 'bersih', tapi dia harus berusaha meras membersihkan
anak buahnya,'' kata sopir tadi.

Cerita lain yang cukup mengagetkan datang dari seorang mahasiswi di Qom.
Menurut dia, meski Qom dikenal sebagai kota suci dan pusat pendidikan, narkotika
beredar cukup luas di kota itu. ''Bahkan di seputar Haram ini,'' katanya sambil
menunjuk masjid dan musoleum Hazrat Fathima binti Imam Musa Kadzim as, saudara
perempuan Imam Ali Ridha as atau imam kedelapan muslim Syiah. ''Sudah 20 ribu
lebih tentara Iran syahid dalam perang melawan bandar narkotika,'' lanjutnya.

Pada saat yang sama, hubungan Iran dengan AS yang sejak 1979 memang merosot
tajam kini memburuk lagi gara-gara tudingan Presiden George Walker Bush yang
menyebut Iran - bersama Irak dan Korea Utara - sebagai the axis-evil. Padahal selama
heboh peristiwa 11 September lalu Iran termasuk negara Islam yang cukup cantik
bermain dengan tidak memberikan dukungan terhadap Usamah bin Ladin.
Tapi di sisi lain, tampaknya tudingan Amerika itu justru akan mempertebal
kebenciaan rakyat Iran terhadap musuh utama mereka sembari memupuk terus
kecintaan terhadap revolusi. Apa pun yang sedang mereka hadapi di dalam
negerinya.

Kronologi Revolusi Islam Iran :

6 Juni 1963: Pemberlakuan hukum militer diterapkan untuk mengatasi berbagai


kerusuhan yang marak menyusul penahanan Ayatullah Ruhullah Khomeini.
16 Januari 1979: Shah Iran melarikan diri dari negara yang dipimpinnya sejak 1941,
setelah ia gagal meredam kemarahan rakyat yang terus memuncak terhadap dirinya.

1 Februari 1979: Kekuatan revolusioner yang dipimpin Ayatullah Khomeini berhasil


merebut kekuasaan. Khomeini sendiri ketika itu baru kembali dari pengasingan yang
dijalaninya sejak 1963.

31 Maret 1979: Referendum menyetujui pembentukan negara Islam. Ayatullah


Khomeini memegang kekuasaan de facto.

1 April 1979: Negara Islam Iran resmi berdiri.

7 April 1979: Hukuman mati bagi para pendukung utama Shah dilaksanakan.

4 November 1979: Sekelompok mahasiswa militan menyerang kedutaan besar AS di


Tehran dan menyandera 66 orang penghuninya. Tujuan tindakan tersebut adalah
mendesak AS untuk memulangkan Shah Iran yang melarikan diri ke AS.

27 Juli 1980: Shah Iran, Reza Pahlavi, meninggal di Mesir. Kesepakatan berhasil
dicapai antara pihak Iran dan AS yang berujung pada pembebasan sandera pada
tanggal 20 Januari 1981.

November 1980: Perang Teluk Pertama antara Iran Irak pecah dan berlangsung
hingga 1988.

You might also like