You are on page 1of 48

Apakah Injil Firman Tuhan?

BERBAGAI VERSI INJIL

Sekarang akan lebih mudah bagi kita menganalisa pernyataan seorang Kristen tentang
kitab sucinya.

Memisahkan Gandum dari Bedak

Sebelum kita memeriksa dengan teliti berbagai versi, mari kita perjelas keyakinan kita
berkaitan dengan kitab Tu-han. Apa maksud sebenarnya ketika kita menyatakan ber-
iman kepada Taurat, Zabur, Injil dan Al-Qur'an? Kita semua mengetahui bahwa Al-Qur'an
adalah Firman Tuhan yang sempurna, diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW kata
demi kata, melalui perantara Malaikat Jibril, dan benar-benar dijaga serta dilindungi dari
kerusakan yang dibuat manusia selama lebih dari 1400 tahun!

Bahkan pengkritik Islam dengan segan telah menjamin kemurnian kitab suci Al-Qur'an
tersebut: "Di dunia ini mungkin tidak ada kitab lain yang teksnya tetap murni selama dua
belas abad (sekarang empat belas)." - (Sir William Muir).

Taurat yang diyakini umat Islam bukanlah "Taurat" orang-orang Yahudi dan Kristen, meski
tulisannya -yang satu bahasa Arab, dan yang lainnya bahasa Ibrani- sama. Kita percaya
bahwa apapun yang diajarkan Musa as kepada pengikutnya, adalah wahyu Tuhan, tetapi
Musa bukanlah pembuat kitab-kitab tersebut seperti yang diatributkan kepadanya oleh
orang-orang Yahudi dan Kristen.

Kita juga percaya bahwa Zabur adalah wahyu Tuhan yang diberikan kepada Nabi Daud
Alaihis-salam, tetapi Mazmur yang saat ini diasosiasikan dengan namanya bukanlah
wahyu tersebut. Umat Kristen sendiri tidak berkeras mengatakan bahwa Daud adalah
satu-satunya pembuat Mazmur.

Bagaimana dengan Injil?

Injil berarti "Gospel (ajaran)" atau "berita baik" yang diajarkan Yesus Kristus selama masa
tugasnya yang singkat. Penulis "Gospel" sering menyebut-kan Yesus melakukan dan
mengajarkan ajaran tersebut (Injil):

1. "Demikianlah Yesus berkeliling ... memberitakan Injil... serta melenyapkan segala


penyakit dan kelemahan." (Injil - Matius 9: 35).

2. "... barangsiapa kehilangan nyawanya karena aku dan karena Injil, ia akan
menyelamatkannya." (Injil - Markus 8: 35).

3. "... memberitakan Inji1...." (Injil - Lukas 20: 1 ).

Injil adalah kata yang sering digunakan, tetapi Injil yang bagaimanakah yang diajarkan
Yesus? Dari 27 kitab Per-janjian Baru, hanya sedikit yang dapat diterima sebagai per-

1
kataan Yesus. Umat Kristen bangga dengan Injil Matius, Injil Markus, Injil Lukas, dan Injil
Yohanes, tetapi tak ada sebuah pun Injil Yesus!

Dengan tulus kita meyakini bahwa segala sesuatu yang diajarkan Yesus berasal dari
Tuhan. Itulah Injil, berita baik dan petunjuk dari Tuhan untuk bani Israil. Dalam seluruh
hidupnya Yesus tidak pernah menulis sebuah kata pun, dan juga tidak memerintahkan
seorang pun untuk melakukan hal tersebut. Injil yang dipergunakan saat ini adalah hasil
pekerjaan tangan dari orang yang tidak diketahui namanya.

Pertanyaan kita sebelumnya: "Apakah Anda menerima bahwa Injil adalah Firman Tuhan?"
Pertanyaan tersebut benar-benar menantang. Penanya tidaklah hanya sedang mencari
keterangan. Pertanyaan tersebut diajukan dengan semangat debat. Kita mempunyai hak
untuk meminta de-ngan nada yang sama - dengan mengajukan pertanyaan "Injil yang
mana yang sedang Anda bicarakan?". Ia akan balik ber-tanya dengan tidak suka
"Mengapa, hanya ada satu Injil?"

Injil Katholik

Dengan memegang "Douay" (Injil versi Katholik Roma) di tangan, saya bertanya,
"Apakah Anda menerima Injil ini sebagai Firman Tuhan?". Pertanyaan terbaik bagi mereka
karena perkumpulan Katholik telah menerbitkan Injil versi mereka dalam bentuk yang
singkat dan membingungkan. Versi ini mempunyai bagian ekstra dari sejumlah versi
yang beredar di pasaran saat ini. Penanya Kristen tersebut kembali bertanya, "Injil
apakah itu?". "Kenapa, saya pikir Anda tadi mengatakan bahwa hanya ada satu Injil!"
saya mengingat-kannya. "Ya," ia dengan ragu-ragu menggumam, "tapi versi yang
mana?" "Kenapa, apakah ada perbedaan?" saya kemba-li bertanya. Tentu saja, dan
pendakwah profesional tentunya mengetahui hal tersebut. Ia hanya berpura-pura dengan
pernyataannya tentang "satu Injil".

Injil Katholik Roma diterbitkan di Rheims pada tahun 1582, dari terjemahan Injil
berbahasa latin Jerome dan dire-produksi di Douay pada tahun 1609. Nampaknya versi
Ka-tholik Roma (RCV = Roman Catholic Version) tersebut adalah versi tertua yang masih
dapat dibeli sampai saat ini. Berlawanan dengan keantikannya, seluruh dunia Kristen
Protestan, termasuk cults, menyalahkan RCV karena berisi tujuh kitab tambahan yang
dengan merendahkan dianggap "kebenarannya diragukan", yaitu kepenulisan yang
sepenuh-nya meragukan. Sekalipun peringatan yang menakutkan terdapat di dalam
Apocalypse, yaitu kitab terakhir dalam RCV (dinamakan "Wahyu" oleh Protestan), kitab
ini "diwahyu-kan" :

"... jika seseorangmenambahkan (atau mengurangi) sesuatu kepada perkataan


perkataan ini, maka Allah akan menambahkan kepadanya malapetaka-malapetaka yang
tertulis di dalam kitab ini." (Injil - Wahyu 22: 18-19).

Tetapi siapakah yang perduli! Mereka tidak sungguh-sungguh percaya! Umat Protestan
dengan berani telah menghapus keseluruhan tujuh kitab dari kitab Tuhan!

Yang dibuang adalah:

Kitab Yudit, Kitab Tobit, Kitab Barukh, Kitab Ester, dll

Injil Protestan

2
Ada beberapa hal yang dibicarakan Sir Winston Chur-chill berkaitan dengan versi Injil
Protestan yang diautorisasi (AV=Authorised Version), yang juga terkenal sebagai Versi
King James (King James Version=KJV).

"Versi Injil yang telah diautorisasi diterbitkan pada tahun 1611 dengan kehendak dan
perintah yang mulia Raja James (King James) yang namanya masih digunakan sampai
sekarang."

Para pengikut Katholik Roma, yang meyakini umat Protestan juga memiliki kitab Tuhan
yang sama dengan mereka, membantu dan bersekongkol dengan "penjahat" Protestan
dengan memaksa para pemeluk baru membeli Injil yang sudah diautorisasi (AV), yang
merupakan satu-satunya Injil yang tersedia dalam 1500 bahasa dari sedikit negara--
negara maju di dunia. Mayoritas umat Kristen -Katholik dan Protestan- menggunakan AV
atau sering disebut de-ngan KJV

Penghormatan Yang Tinggi

Sebagaimana yang dikatakan Sir Winston, Injil ini pertama kali diterbitkan pada tahun
1611 dan kemudian direvisi pada tahun 1881 (RV). Setelah direvisi kembali pada tahun
1952 menjadi versi standar yang telah direvisi (RSV=Revised Standard Version), Injil
tersebut direvisi lagi pada tahun 1971 (singkatannya masih tetap RSV). Lihatlah opini
dunia Kris-ten tentang Injil yang telah direvisi tersebut (RSV):

l. "Versi terbaik yang telah diterbitkan dalam abad seka-rang." (Surat kabar Church of
England)

2. "Terjemahan yang secara keseluruhan terbaru karya para sarjana termahsyur." -


(Tambahan Literatur Times)

3. "Karakteristik terbaik dari versi yang telah diautorisasi yang dikombinasikan dengan
keakuratan terjemahan yang baru." - (Life and Work)

4. "Terjemahan yang paling akurat dan dekat dengan asli-nya." - ( The Times)

Penerbitnya sendiri (Collins), dalam catatan pada Injil di akhir produksinya, berkata
dalam halaman I0, "Injil ini (RSV), adalah produk tiga-puluh-dua sarjana, dibantu oleh
komite penasehat yang mewakili limapuluh golongan yang bekerjasama." Mengapa
semua ini dibanggakan? Apakah agar membuat masyarakat yang mudah tertipu
membeli pro-duk mereka? Semua kesaksian ini meyakinkan pembeli bah-wa ia sedang
menunggang kuda yang benar, ketika pembeli sedikit berharap untuk menungganginya.

"Paling Laku di Dunia"

Tetapi bagaimana dengan versi Injil yang telah diautorisasi (AV), "Paling Laku di Dunia?"
Para perevisi ini, semua sales yang baik, mengatakan beberapa hal yang bagus tentang
hal itu. Pada halaman iii Injil RSV pada paragrap enam ba-gian pendahuluan dinyatakan:

"Versi King James (nama lain AV) diterminologikan dengan alasan yang bagus sebagai
'Monumen Prosa Inggris Yang Paling Mulia.' Perevisinya pada tahun 1881 mengeks-
presikan kekaguman terhadap 'kesederhanaannya, marta-batnya, kekuatannya, ekspresi
kebahagiaannya .... Irama musiknya, dan kebanggaan atas iramanya.' Tidak seperti kitab

3
lainnya, kitab ini masuk sampai pembuatan karakter individu dan institusi umum dari
masyarakat berbahasa Inggris. Kita berhutang dengan hutang yang tak terbayarkan
kepadanya."

Dapatkah Anda, pembaca yang terhormat, membayangkan atribut yang lebih baik yang
diberikan kepada "kitab suci" lebih dari yang di atas? Saya, sebagai manusia, tidak
dapat. Biarkan pengikut Kristen saat ini meneguhkan diri mereka sendiri terhadap
hembusan tidak enak dari para ahli hukum di kalangan agama mereka sendiri; dalam
nafas yang sama mereka mengatakan:

"Versi King James telah mengalami kerusakan yang penting."

Dan, "Kerusakan ini begitu banyak dan serius sehingga memerlukan revisi ...." Hal ini
langsung dari sumbernya, yaitu sarjana Kristen ortodoks ternama. Para Doktor teologi
sekarang juga perlu memproduksi sebuah ensiklopedi yang menerangkan penyebab
kerusakan yang penting dan serius dalam kitab suci mereka dan alasan
menghilangkannya.

-------------------------------------------------

Apakah Alkitab itu Wahyu Asli dari Allah?

Untuk mengetahui apakah Alkitab (Bibel) itu masih kekal sifatnya sebagai wahyu asli
daripada Allah, kita terlebih dahulu perlu memahami sifat-sifat Tuhan di dalam Alkitab itu
sendiri. Sifat-sifat Tuhan di dalam Alkitab ialah:

a) Tuhan tidak berdusta, tidak mengubah fikiran, Ia bertindak mengikut apa


yang difirmankan-Nya dan Ia akan tetap memenuhi janji-Nya. "Allah bukanlah manusia,
sehingga Ia berdusta bukan anak manusia, sehingga Ia menyesal. Masakan Ia berfirman
dan tidak melakukannya, atau berbicara dan tidak menepatinya?" (Bilangan 23:19)

b) Tuhan menyukai ketertiban dan bukan kekacauan.


"Allah ialah Allah yang suka akan ketertiban, bukan kekacauan." (1 Korintus 14:33)

c) Tuhan mengetahui segala-galanya


"...Tuhan mengetahui semuanya." (Yohanes 21:17) "Tiada sesuatupun yang dapat
disembunyikan daripada Allah. Segala sesuatu di alam semesta terbuka dan terbukti di
sisi Allah." (Ibrani 4:13)

d) Tuhan bisa dipercayai "Allah bisa dipercayai." (1 Korintus 1:9) "..karena


Allah bisa dipercayai dan Dia akan menepati janji-Nya." (Ibrani 10:23)

e) Tuhan tidak bertentangan dengan diri sendiri "Dia tidak dapat


bertentangan dengan diri-Nya sendiri." (2 Timotius 2:13)

f) Tuhan tidak memerlukan pertolongan manusia "Dia (Tuhan) juga tidak


memerlukan pertolongan manusia, karena dialah yang memberi hidup dan nafas serta
segala sesuatu kepada manusia." (Kisah 17:25)

Dengan perkataan lain bahwa jika di dalam isi Alkitab (Bibel) itu banyak terdapat
pertentangan maka Alkitab! itu sendiri bukan wahyu Allah mengikut garis panduan yang
ditetapkan oleh Alkitab itu sendiri. Oleh itu marilah kita membaca beberapa ayat di

4
dalam Alkitab dengan teliti dan hati-hati sehingga dapat menyimpulkan apakah isi
Alkitab itu banyak pertentangan dan percanggahan-percanggahan atau tidak. Di bawah
ini adalah beberapa contoh isi Alkitab yang bertentangan antara ayat yang satu dengan
ayat yang
lainnya:

1. Tentang Bilangan Orang Aram Samuel 10:18 "tetapi orang Aram itu lari dari
hadapan orang Israel, dan Daud membunuh dari orang Aram itu TUJUH RATUS ekor kuda
kereta dan empat puluh ribu orang PASUKAN BERKUDA. Sobakh, panglima tentara
mereka, dilukainya sedemikian, hingga ia mati di sana." Ini bertentangan dengan:
Tawarikh 19:18 "tetapi orang Aram itu lari dari hadapan orang Israel, dan Daud
membunuh dari orang Aram itu TUJUH RIBU ekor kuda kereta dan empat puluh ribu orang
PASUKAN BERJALAN KAKI; juga Sofakh, panglima tentara itu, dibunuhnya."

2. Tentang Tebal "Laut" Raja-Raja 7:26 T! ebal "laut" itu setapak tangan dan tepinya
serupa tepi piala, seperti bunga bakung yang berkembang. "Laut" itu dapat memuat DUA
RIBU bat air. Ini bertentangan dengan:Tawarikh 4:5 Tebal "laut" itu setapak tangan dan
tepinya serupa tepi piala, seperti bunga bakung yang berkembang. "Laut" itu dapat
memuat TIGA RIBU bat air.

3. Tentang Bilangan Kandang Kuda/Kuda Milik Salomo Raja-Raja 4:26 "Lagipula


Salomo mempunyai kuda EMPAT PULUH RIBU kandang untuk kereta-keretanya dan dua
belas ribu orang berkuda." Ini bertentangan dengan: Tawarikh 9:25 "Salomo mempunyai
juga EMPAT RIBU kandang untuk kuda-kudanya dan kereta-keretanya dan dua belas ribu
orang berkuda, yang ditempatkan dalam kota-kota kereta dan dekat raja di Yerusalem."

4. Tentang Anak Raja Hamat Tawarikh 18:9 "Ketika didengar Tou, raja Hamat, bahwa
Daud telah memukul kalah seluruh tentara Hadadezer, maka Tou mengutus Yoram,
anaknya, kepada raja Daud u! ntuk menyampaikan salam dan mengucapkan selamat
kepadanya, karena ia telah berperang melawan Hadadezer dan memukul dia kalah,
sebab Hadadezer sering memerangi Tou. Dan Yoram membawa barang-barang perak,
emas dan tembaga." Ini bertentangan dengan: Samuel 8:9-10 "Ketika didengar Tou, raja
Hamat, bahwa Daud telah memukul kalah seluruh tentara Hadadezer, raja Zoba, maka ia
mengutus Hadoram, anaknya, kepada raja Daud untuk menyampaikan salam dan
mengucapkan selamat kepadanya, karena ia telah berperang melawan Hadadezer dan
memukul dia kalah, sebab Hadadezer sering memerangi Tou. Dan Hadoram membawa
pelbagai barang-barang emas, perak dan tembaga."

5. Tentang Kota-Kota Raja Hadadezer Tawarikh 18:8 "Selain itu Raja Daud juga
menjarah banyak gangsa dari Tibhat dan Kun, kota-kota yang dahulu dikuasai oleh Raja
Hadadezer." Ini bertentangan dengan: Samuel 8:8 "Dan dari Betah dan dari Berotai, yaitu
kota-kotanya Hadadezer, raja Daud mengangkut amat banyak tembaga."

6. Tentang Bilangan Bani ! Arah Bilangan bani Arah TUJUH RATUS TUJUH PULUH LIMA
orang (Ezra 2:5) Ini bertentangan dengan: Bilangan Bani Arakh ENAM RATUS LIMA PULUH
DUA orang (Nehemia 7:10)

7. Pernahkah Orang Melihat Allah? Yohanes 1:18 "Tidak seorangpun yang pernah
melihat Allah; tetapi Anak Tunggal Allah, yang ada di pangkuan Bapa, Dialah yang
menyatakan-Nya." Ini bertentangan dengan: Kejadian 18:1 "Kemudian Tuhan
menampakkan diri kepada Abraham dekat pohon tarbantin di Mamre, sedang ia duduk di
pintu kemahnya waktu hari panas terik."

8. Tentang Siapa Yang Melihat Allah Akan Mati Keluaran 33:20 "Lagi firman-Nya:
'Engkau tidak bisa melihat Wajah-Ku, karena tiada manusia yang tetap hidup setelah
melihat wajah-Ku'" Ini bertentangan dengan: Kejadian 32:30 "Yakub berkata, 'Aku sudah

5
bertemu muka dengan Allah dan aku masih hidup' oleh itu ia menamakan tempat itu
Pniel"

Sebenarnya masih banyak lagi pertentangan di! dalam ayat-ayat Bibel tetapi penulis
cukupkan sampai di sini saja. Pe rtentangan-pertentangan ini telah menafikan
keseluruhan isi Alkitab itu dari Allah, sebaliknya telah dicemari oleh tangan-tangan
manusia. Tiada siapa yang dapat memastikan di antara ayat-ayat yang bertentangan itu
ayat yang manakah sebenarnya dari Allah, mustahil kedua-dua ayat yang bertentangan
itu datangnya dari Allah karena Allah tidak suka akan kekeliruan sebaliknya Dia lebih
menyukai akan ketertiban, dan Dia pasti tidak akan berdusta dan mengubah fikiran
seperti yang telah dinyatakan di atas.

Kalau penganut-penganut Kristian masih menganggap bahwa keseluruhan isi Alkitab itu
daripada Allah, apakah mereka menuduhkan kesalahan-kesalahan dalam Alkitab kepada
Tuhan? Adakah Tuhan berbuat salah? Sebaliknya jika mereka menafikan yang kesalahan-
kesalahan itu datangnya dari Allah, secara tidak langsung mereka telah mengakui bahwa
kandungan Alkitab telah dicemari oleh tangan-tangan manusia. Jadi ayat-ayat yang
saling bertentangan itu bukan datangnya daripada Allah tetap! i sebaliknya daripada
manusia sendiri.

Pertentangan-pertentangan ayat di atas sudah cukup untuk menjadi bukti bahwa Alkitab
telah mengalami banyak perubahan.

"Jika seorang menambahkan sesuatu kepada perkataan-perkataan ini, maka Allah akan
menambahkan kepadanya malapetaka-malapetaka yang tertulis di dalam kitab ini.
(Wahyu 22:18 -19)

Ada juga alasan-alasan dari pihak Kristian yang pertentangan itu masalah kecil dan tidak
menjejaskan kepercayaan ataupun keimanan. Sebenarnya tidak timbul persoalan baik
pertentangan itu masalah kecil ataupun besar karena jika ada walau satu kesalahan di
dalam sesebuah kitab yang dikatakan suci itu maka kitab itu tidak boleh dipanggil suci
lagi dan itu tentulah bukan wahyu dari Allah. Al-Kitab juga menekankan hal ini: "Siapa
yang tidak jujur dalam perkara kecil, tidak akan jujur dalam perkara besar" (Lukas 16:10)

Malah, ahli teologi dari kalangan orang-orang Kristian sendiri mengakui tentang
banyaknya ! kesalahan dalam Alkitab. Dr G.C Van Niftrik dan Ds B.Y Boland menulis di
dalam buku mereka Dogmatika Masa Kini bahwa,

"Kita tidak usah malu bahwa terdapat berbagai kesalahan dalam Alkitab, kesalahan
dalam angka-angka, perhitungan, tahun dan fakta-fakta. Dan tak perlu kita
pertanggungjawabkan kesalahan-kesalahan itu berdasarkan caranya isi Alkitab telah
disampaikan kepada kita, sehingga dapat kita berkata dalam naskah asli tentulah tidak
terdapat kesalahan-kesalahan, tetapi kesalahan-kesalahan itu barulah kemudian terjadi
didalam salinan-salinan naskah itu."

Jadi ajaran-ajaran Alkitab amat diragukan untuk dijadikan hujah dan dalil bagi amalan
dan pegangan (akidah) seseorang manusia ! karena ia telah ternyata dicemari oleh akal
perbuatan manusia. Keputusannya terserah kepada anda!

-------------------------------------------------

Sepak Terjang Yahudi

6
Tepatnya pada 14 Mei 1948 silam, kaum Yahudi memproklamirkan berdirinya negara
Israel. Dengan kemerdekaan ini, cita-cita orang orang Yahudi yang tersebar di berbagai
belahan dunia untuk mendirikan negara sendiri, tercapai. Mereka berhasil melaksanakan
"amanat" yang disampaikan Theodore Herzl dalam tulisannya Der Judenstaat (Negara
Yahudi) sejak 1896. Tidaklah mengherankan jika di tengah-tengah negara-negara Timur
Tengah yang mayoritas menganut agama Islam, ada sekelompok manusia yang
berkebudayaan dan bergaya hidup Barat. Mereka adalah para imigran Yahudi yang
didatangkan dari berbagai negara di dunia karena mengalami pembantaian oleh
penguasa setempat.

Sejak awal Israel sudah tidak diterima kehadirannya di Palestina, bahkan di daerah mana
pun mereka berada. Karena merasa memiliki keterikatan historis dengan Palestina,
akhirnya mereka berbondong-bondong datang ke Palestina. Imigrasi besar-besaran kaum
Yahudi ini terjadi sejak akhir tahun 1700-an. Akibat pembantaian diderita, maka mereka
merasa harus mencari tempat yang aman untuk ditempati. Oleh Inggris mereka
ditawarkan untuk memilih kawasan Argentina, Uganda, atau Palestina untuk ditempati,
tapi Herzl lebih memilih Palestina.

Herzl adalah The Founding Father of Zionism. Dia menggunakan zionisme sebagai
kendaraan politiknya dalam merebut Palestina. Kemampuannya dalam melobi para
penguasa dunia tidak diragukan lagi. Sederetan orang-orang terkenal di dunia seperti
Paus Roma, Kaisar Wilhelm Jerman, Ratu Victoria Inggris, dan Sultan Turki di Istambul
telah ditaklukkannya. Zionisme adalah otak dalam perebutan wilayah Palestina dan
serangkaian pembantaian yang dilakukan Yahudi.

Dengan berdatangannya bangsa Yahudi ke Palestina secara besar-besaran,


menyebabkan kemarahan besar penduduk Palestina. Gelombang pertama imigrasi
Yahudi terjadi pada tahun 1882 hingga 1903. Ketika itu sebanyak 25.000 orang Yahudi
berhasil dipindahkan ke Palestina. Mulailah terjadi perampasan tanah milik penduduk
Palestina oleh pendatang Yahudi. Bentrokan pun tidak dapat dapat dihindari. Kemudian
gelombang kedua pun berlanjut pada tahun 1904 hingga 1914. Pada masa inilah,
perlawanan sporadis bangsa Palestina mulai merebak.

Berdasarkan hasil perjanjian Sykes Picot tahun 1915 yang secara rahasia dan sepihak
telah menempatkan Palestina berada di bawah kekuasaan Inggris. Dengan berlakunya
sistem mandat atas Palestina, Inggris membuka pintu lebar-lebar untuk para imigran
Yahudi dan hal ini memancing protes keras bangsa Palestina.

Aksi Inggris selanjutnya adalah memberikan persetujuannya melalui Deklarasi Balfour


pada tahun 1917 agar Yahudi mempunyai tempat tinggal di Palestina. John Norton More
dalam bukunya The Arab-Israeli Conflict mengatakan bahwa Deklarasi Balfour telah
menina-bobokan penguasa Arab terhadap pengkhiatan Inggris yang menyerahkan
Palestina kepada Zionis.

Pada tahun 1947 mandat Inggris atas Palestina berakhir dan PBB mengambil alih
kekuasaan. Resolusi DK PBB No. 181 (II) tanggal 29 November 1947 membagi Palestina
menjadi tiga bagian. Hal ini mendapat protes keras dari penduduk Palestina. Mereka
menggelar demonstrasi besar-besaran menentang kebijakan PBB ini. Lain halnya yang
dilakukan dengan bangsa Yahudi. Dengan suka cita mereka mengadakan perayaan atas
kemenangan besar ini. Bantuan dari beberapa negara Arab dalam bentuk persenjataan
perang mengalir ke Palestina. Saat itu pula menyusul pembubaran gerakan Ikhwanul
Muslimin di Mesir dan pembunuhan terhadap Hasan al-Banna yang banyak berperan
dalam membela Palestina dari cengkraman Israel.

Apa yang dilakukan Yahudi dalam merebut Palestina tidaklah terlepas dari dukungan
Inggris dan Amerika. Berkat dua negara besar inilah akhirnya Yahudi dapat menduduki
Palestina secara paksa walaupun proses yang harus dilalui begitu panjang dan sulit.

7
Palestina menjadi negara yang tercabik-cabik selama 30 tahun pendudukan Inggris.
Sejak 1918 hingga 1948, sekitar 600.000 orang Yahudi diperbolehkan menempati
wilayah Palestina. Penjara-penjara dan kamp-kamp konsentrasi selalu dipadati penduduk
Palestina akibat pemberontakan yang mereka lakukan dalam melawan kekejaman Israel.

Tahun 1956, Gurun Sinai dan Jalur Gaza dikuasai Israel, setelah gerakan Islam di kawasan
Arab dipukul dan Abdul Qadir Audah, Muhammad Firgholi, dan Yusuf Thol'at yang terlibat
langsung dalam peperangan dengan Yahudi di Palestina dihukum mati oleh rezim Mesir.
Dan pada tahun 1967, semua kawasan Palestina jatuh ke tangan Israel. Peristiwa itu
terjadi setelah penggempuran terhadap Gerakan Islam dan hukuman gantung terhadap
Sayyid Qutb yang amat ditakuti kaum Yahudi. Tahun 1977, terjadi serangan terhadap
Libanon dan perjanjian Camp David yang disponsori oleh mendiang Anwar Sadat dari
Mesir.

Akhirnya pada Desember 1987, perjuangan rakyat Palestina terhimpun dalam satu
kekuatan setelah sekian lama melakukan perlawanan secara sporadis terhadap Israel.
Gerakan Intifadhah telah menyatukan solidaritas rakyat Palestina. Intifadhah merupakan
aksi pemberontakan massal yang didukung massa dalam jumlah terbesar sejak tahun
1930-an. Sifat perlawanan ini radikal revolusioner dalam bentuk aksi massal rakyat sipil.

Adanya kehendak kolektif untuk memberontak sudah tidak dapat ditahan lagi. Untuk
tetap bertahan dalam skema transformasi masyarakat yang menghindari aksi kekerasan,
maka atas prakarsa Syekh Ahmad Yassin dibentuklah HAMAS (Harakah al-Muqawwah al-
Islamiyah) pada bulan Januari 1988, sebagai wadah aspirasi rakyat Palestina yang
bertujuan mengusir Israel dari Palestina, mendirikan negara Islam Palestina, dan
memelihara kesucian Masjid Al-Aqsha. HAMAS merupakan "anak" dari Ikhwanul Muslimin
karena para anggotanya berasal dari para pengikut gerakan Ikhwanul Muslimin.
Perlawanan terhadap Israel semakin gencar dilakukan dan mengakibatkan kerugian
material bagi Israel berupa kehancuran pertumbuhan ekonomi, penurunan produksi
industri dan pertanian, serta penurunan investasi. Kerugian lainnya yaitu hilangnya
ketenangan dan rasa aman bangsa Israel.

Hingga hari ini Israel masih berdiri kokoh di atas bumi Palestina. Para pemuda Islam tidak
akan tinggal diam. Perlawanan akan tetap dilancarkan demi musnahnya bangsa Yahudi.
Dengan kekuatan yang dimiliki maka Israel akan dihancurkan dari bumi ini dengan
sehancur-hancurnya. Ini bukan hal yang mustahil dilakukan. Bukankah Israel telah
mundur dari Libanon akibat gempuran Hisbullah? Perjuangan yang dilakukan oleh rakyat
Palestina tidak akan sia-sia, Insya Allah seluruh wilayah Palestina akan kembali ke
pangkuan Islam dan Yahudi laknatullah akan musnah dari bumi ini.

-------------------------------------------------
Mata Allah

1. "Mata" Allah Dari Pandangan Mazhab Khalifah

Dalam kitab-kitab tafsir dan hadith, ulama dari mazhab di atas meriwayatkan dari Abu
Hurairah, berkata:

"Apabila Nabi SAWAW membaca ayat berikut:

"Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak


menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia
supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang
sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha
Melihat." (An-Nisa: 58)

8
"Aku melihat Nabi SAWAW menggambarkan sifat mendengar dan melihat Allah dengan
meletakkan ibu jari di telinga dan jari tunjuk di matanya."

Apabila Abu Hurairah meriwayatkan hadith di atas, beliau sering mengulangi bagaimana
yang ditunjukkan itu dengan meletakkan jari-jarinya sendiri pada mata dan telinga.
Beliau melakukan ini untuk menunjukkan Allah mendengar dengan telinga dan melihat
dengan mata.

"Jahmiyyah" adalah satu mazhab yang menolak pengertian seperti itu. Abu Daud ketika
menolak aqidah puak Jahmiyyah itu menyatakan:

"Hadith Abu Hurairah yang diriwayatkan itu dengan jelas menolak aqidah Jahmiyyah
(yang percaya Allah tidak mempunyai anggota atau tubuh badan.)"

Penjelasan Abu Hurairah itu menyebabkan mazhab khalifah percaya perkataan "Ayn"
dalam al-Qur'an yang dikaitkan dengan Allah, hendaklah difahami bahawa maksudnya
ialah mata sebenar iaitu sebahagian daripada anggota pada tubuh yang menjadi alat
untuk melihat. Justeru, kita dapati Ibn Khuzaimah yang menjadi imam kepada imam-
imam seperti mana yang didakwa oleh mazhab mereka, menulis satu bab dalam
kitabnya Tawhid,"untuk membuktikan Allah SWT mempunyai mata." Beliau menulis:

"Kami menjelaskan apa yang Allah berkata tentang diriNya dalam kitabNya dan apa yang
telah dikatakan oleh Nabi SAWAW memperkuatkan dalil bahawa Allah mempunyai mata."

Beliau meneruskan hujah-hujahnya dengan memetik ayat-ayat berikut:

1. (Allah SWT berfirman kepada Nabi Nuh AS)"Dan buatlah bahtera itu dengan (di
bawah) mata Kami." (Hud: 37).

2. "Yang belajar dengan (di bawah) mata Kami (tajri-bi-'aiyunina)."(al-Qamar: 14).

3. "Dan Aku telah melimpahkan kepadamu kasih sayang yang datang daripadaKu dan
supaya kamu diasuh di bawah mataKu (wa-li-tus-na-'a ala-'aini)." (Taha: 39)

4. "Dan bersabarlah dalam menunggu ketetapan Tuhanmu, maka sesungguhnya kamu


berada dalam penglihatan Kami." (at-Tur: 48)

Ibn Khuzaimah berkata:

"Berdasarkan ayat-ayat ini, maka adalah wajib bagi setiap mukmin untuk menyakini
aqidah bahawa Allah mempunyai mata, dan Dia telah mengesahkan untuk diriNya."[1]

"Dan barang siapa yang tidak mempercayai Allah telah mewahyukan dalam KitabNya
dan apa yang Ia nyatakan tentang DiriNya, maka orang itu bukan seorang muslim.
Maksud ayat Qur'an telah menunjukkan bukti yang terang yang telah digambarkan oleh
Nabi SAWAW sendiri, sebagaimana Allah telah memerintahkannya dalam Qur'an:

"Kami turunkan kepadamu al-Qur'an agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa
yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan."(An-Nahl: 44)

"Nabi SAWAW dalam tafsirannya telah menjelaskan dengan terang-benderang bahawa


Allah mempunyai sepasang mata! Penjelasan Nabi itu selaras dengan teks al-Qur'an,
Qur'an yang sama yang dalam bentuk kitab di antara dua kulit kitab, dan dibaca di
masjid-masjid dan di pusat-pusat pengajian."

9
Tidak puas dengan hujah di atas, beliau memetik hadith-hadith, di antaranya dari
riwayat Abu Hurairah. Akhirnya, beliau meriwayatkan hadith daripada Abdullah bin Umar:

"Nabi SAWAW bersabda:

"Allah tidak buta satu mata seperti Dajjal yang tidak mempunyai mata kanan. Ia
terapung seperti buah anggur."

2. "Mata" Menurut Pandangan Ahlul Bait AS:

Imam-imam Ahlul Bait AS telah menerangkan maksud sebenar dalam ayat-ayat tersebut.
Walau bagaimanapun, kita akan membahaskan perkara tersebut dengan terperinci
seperti berikut:

Ibn Khuzaimah telah mengambil perkataaan "Ayn" atau " 'ayunina" secara literal, untuk
menbuktikan hujahnya bahawa Allah SWT mempunyai mata. Pada hakikatnya perkataan
"Ayn" dan kata terbitannya mempunyai banyak makna dalam Bahasa Arab. Rujukan
lanjut bolehlah dibuat dengan mengkaji kitab-kitab bahasa arab seperti,"Lisanul Arab."
Dalam Mu'jamul Udaba (2/11) kami dapati seorang ahli gaya bahasa Arab Ibn Faris
Ahmed b. Zakariyya (w.369H) telah mengumpulkan setiap bait (rangkap) perkataan yang
berakhir dengan kata"Ayn", setiap satu mempunyai makna yang berbeza. Syed Muhsin
al-Ameen telah menuliskan enam puluh bait.

Al-Qur'an telah menggunakan perkataan tersebut dengan dua kaedah dan makna iaitu
secara literal dan metapora. Pada dua puluh satu tempat, al-Qur'an menggunakan "Ayn"
untuk menunjukkan mata air atau air sungai.

Tetapi yang lebih penting adalah ayat yang dipetik oleh Ibn Khuzaimah untuk
mengukuhkan aqidahnya pada hakikatnya mempunyai makna figuratif. Dalam Bahasa
Inggeris kita katakan:"to keep an eye on" bermaksud untuk mengawasi;"in the eyes of
law", bermaksud "dari segi undang-undang";"the eye of a dome", bermaksud bahagian
tengah dan seterusnya. Amat jelas bahawa penggunaan kata-kata itu tidak membawa
maknanya secara literal. Begitu juga kata-kata ini telah digunakan untuk maksud secara
metapora (kiasan).

Dalam Majma al-Lughat al-Arabiyyah yang dicetak di Mesir, kami dapati:

"Dalam al-Qur'an perkataan "Ayn" telah digunakan dalam dua bentuk sama ada secara
aktual atau metapora (kiasan). Sebagai contoh:

i) "Dan berkatalah isteri Fir'aun:"(Ia) biji mata bagiku dan bagimu." (al-Qasas: 9)

ii) "Maka makan, minum dan sejukkan matamu…"(Fa kuli was-rabi wa-qarri 'aina).
(Maryam: 26)

Dengan ini terbukti bahawa ayat-ayat yang menggunakan perkataan "Ayna" dan
"Aynin" menggambarkan kegembiraan dan kepuasan hati (bukan maknanya secara
literal seperti 'ia biji mataku' atau 'sejukkan matamu').

10
Sejarah menjelaskan kepada kita bahawa Allah memerintahkan ibu Nabi Musa AS
mencampakkannya ke dalam sungai. Ketika itu Nabi Musa AS masih lagi bayi kemudian
dibawa arus sungai tersebut dan sampai ke istana Fir'aun. Nabi Musa AS kemudian
dipelihara oleh Fir'aun sebagai anak angkat. Kisah lengkap tersebut diceritakan dalam al-
Qur'an seperti berikut:

" Dan berkatalah isteri Fir'aun:"(Ia) biji mata bagiku dan bagimu. Janganlah kamu
membunuhnya, mudah-mudahan ia bermanfa'at kepada kita atau kita ambil ia menjadi
anak," sedang mereka tidak menyedari." (al-Qasas: 9)

Pada contoh kedua, ayat tersebut mengaitkan dengan kisah Maryam, ibu kepada Nabi Isa
AS. Ketika ia melahirkan Nabi Isa AS, beliau mengeluh kerana beliau tahu orang ramai
tidak akan percaya beliau seorang wanita suci, dan Nabi Isa AS dilahirkan tanpa bapa
dengan perintah Allah SWT. Maka Allah berfirman:

"Maka makan, minum dan sejukkan matamu (bersenang hatilah) kamu. Jika kamu
melihat seseorang manusia, maka katakanlah:"Sesungguhnya aku telah bernazar
berpuasa untuk Tuhan Yang Maha Pemurah, maka aku tidak akan berbicara dengan
seseorang manusiapun pada hari ini." (Maryam: 26)

Sekarang ayat-ayat yang dipetik oleh Ibn Khuzaimah memerlukan analisa lanjut. Ayat
pertama, ditujukan kepada Nabi Nuh AS. Maksud sebenarnya ialah:

"Dan buatlah bahtera itu dengan dibawah mata (pengawasan) Kami."

Ayat kedua juga bermaksud bahtera Nabi Nuh AS belayar di bawah pemeliharaan dan
pengawasan Allah SWT.

Pada ayat ketiga, Allah mewahyukan kepada Nabi Musa AS: Pengertian sebenar ayat ini
ialah:

"Dan Aku telah melimpahkan kepadamu kasih sayang yang datang daripadaKu dan
supaya kamu diasuh di bawah pengawasan dan perlindunganKu."

Pada ayat terakhir, Allah SWT mewahyukan kepada Nabi Muhamamd SAWAW: Maksud
ayat tersebut ialah:

"(Wahai Nabi) - Dan bersabarlah dalam menunggu ketetapan Tuhanmu, maka


sesungguhnya kamu berada dalam penglihatan (pengawasan) Kami."

Akhir sekali, hadith-hadith yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Omar menekankan
bahawa Allah SWT tidak buta seperti Dajjal. Nampaknya ia memberikan petanda kepada
kita bahawa dia mahukan kita mempercayai Allah mempunyai sepasang mata yang sihat
dan tidak rosak (buta)! Namun berdasarkan penjelasan kami yang terang benderang di
atas, maka dapatkan kita nilaikan tentang kesahihan hadith tersebut! Kami telah pun
menekankan tentang kepalsuan hadith yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah dan teman-
teman sealiran dengannya, dan bagaimana mereka kekal dipengaruhi oleh ajaran Yahudi
dan Kristian. Ajaran Islam yang murni telah dicemarkan oleh riwayat-riwayat yang
menerima sisipan cerita-cerita dalam Taurat yang tercemar dan lain-lain sumber bukan
Islam.

-------------------------------------------------

11
Tangan Allah

"Tangan" Allah Mengikut Riwayat Mazhab Khalifah

Mazhab khalifah telah meriwayatkan dalam kitab-kitab mereka daripada Abu Hurairah
daripada Nabi SAWAW seperti berikut:

"Nabi Adam dan Musa telah bertengkar dalam satu perbualan:

Nabi Musa berkata:

"Wahai Adam! Allah telah menjadikan kamu dengan kedua belah TanganNya…..tetapi
kamu telah membawa semua manusia turun daripada taman syurga disebabkan dosa
kamu."

Adam menjawab:

"Wahai Musa, Allah telah memuliakan kamu dengan menulis Taurat dengan kedua belah
TanganNya."

Dalam riwayat yang lain diriwayatkan daripada Abu Hurairah:

"Allah turun ke langit dunia, dan membuka kedua belah tanganNya dan berkata…."

Tentang "Jari-Jari" Allah

Tidak ada ayat Qur'an yang menyebutkan perkataan jari-jari Allah, justeru Ibn Khuzaimah
telah bersandarkan kepada hadith untuk menguatkan dakwaannya tentang Allah SWT
mempunyai jari-jari seperti manusia. Hadith-hadith tersebut dapat dibaca dalam kitab
Tawheed Ibn Khuzaimah, dan dalam Sahih Bukhari, Sahih Muslim, Sunan Tirmudzi, Sunan
Ibn Majah, Tafsir Tabari, Ibn Kathir, dan Suyuti. Salah satu daripda hadith tersebut ialah:

"Abdullah meriwayatkan bahawa seorang rabbi Yahudi datang kepada Nabi SAWAW dab
berkata:

"Wahai Muhammad! Kami membaca dalam Taurat bahawa Allah memelihara langit
dengan satu jari, pohon-pohon dengan satu jari, air dengan satu jari, bumi dengan satu
jari, dan makhluk dengan satu jari! Dan Dia berfirman:"Akulah Raja!"

"Nabi SAWAW tersenyum untuk mengesahkan kata-kata rabbi Yahudi itu, dan bagi
menguatkan kenyataannya itu, membacakan ayat berikut:

"Dan mereka tidak mengagungkan Allah dengan pengagungan yang semestinya padahal
bumi seluruhnya dalam genggamanNya…" (Al-Zumar: 67)

12
Riwayat-riwayat ini adalah daripada Abu Hurairah dan lain-lainnya yang mengajak
golongan ulama daripada mazhab yang bertentangan dengan Ahlul Bait AS memilih
makna literal daripada perkataan "Yadullah" (tangan Allah) apabila mentafsirkannya
daripada ayat-ayat Qu'ran yang mempunyai perkataan tersebut. Ibn Khuzaimah telah
menulis satu bab dalam kitabnya Tawhid yang menyatakan:

"Hujah bahawa Allah Maha Pencipta, Maha Tinggi mempunyai tangan; sesungguhnya
Allah SWT mempunyai sepasang tangan sebagaimana yang telah kita pelajari dalam
ayat-ayat Qur'an yang menyatakan perkara tersebut."1

Kemudian beliau menghuraikan selanjutnya dengan memetik ayat-ayat berikut bagi


menyokong dakwaannya itu:

1."Orang-orang Yahudi berkata:"Tangan Allah terbelenggu," sebenarnya tangan


merekalah yang dibelenggu dan merekalah yang dilaknat disebabkan apa yang telah
mereka katakan itu. (Tidak demikian), tetapi kedua-dua tangan Allah terbuka. Dia
menafkahkan sebagaimana Dia kehendaki…." (Al-Maidah: 64)

2."Maka Maha Suci (Allah) yang di tanganNya kekuasaan atas segala sesuatu dan
kepadaNyalah kamu dikembalikan." (Yaasin: 83)

3."Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang
Engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha
Kuasa atas segala sesuatu. (Ali-Imran: 26).

Izinkan kami menghuraikan apa yang telah diterangkan oleh mazhab Ahlul Bait AS:

Jawapan-jawapan Daripada Ahlul Bait AS

a) Muhammad bin Muslim bertanya kepada Imam Muhammad Baqir AS tentang ayat
berikut:2

"Allah berfirman:"Hai Iblis, apakah yang menghalangi kamu sujud kepada yang telah Aku
ciptakan dengan kedua tanganKu…." (Sad: 75)

Imam Baqir AS menjawab:

"Yad (tangan) dalam Bahasa Arab bermaksud kuasa dan anugerah."

Kemudian beliau AS menghuraikan lanjut dengan contoh-contoh daripada ayat Qur'an


dan Bahasa Arab untuk menjelaskan maksud ucapan tersebut. Kami memetik
sebahagian daripada contoh-contoh itu:

1
Tawhid Ibn Khuzaimah, hlm.53

2
Tawhid al-Sadooq, hlm. 153

13
1."(Wahai Nabi SAWAW) bersabarlah atas segala apa yang mereka katakan; dan ingatlah
hamba Kami Daud yang mempunyai tangan (dhal-aidi) ; sesungguhnya dia amat taat
(kepada Tuhannya). (Sad: 17)

Imam AS menjelaskan bahawa istilah tangan dalam ayat ini menunjukan maksud kiasan
(kepada makna kekuatan). Apa yang Allah mahu sampaikan adalah Dia telah
menganugerahkan Nabi Daud AS dengan kekuatan. Kemudian Imam AS menghuraikan
beberapa lagi contoh kekuatan yang telah dianugerahkan kepada Nabi Daud AS.

2. "Dan langit itu Kami bangun dengan tangan (Kami) sesungguhnya Kami benar-benar
berkuasa." (Adz-Dzariyyat: 47)

Imam AS berkata:"Dalam ayat ini, tangan bermaksud kuasa."

3."Mereka itulah orang-orang yang Allah telah memberikan mereka tangan dengan ruh
daripadaNya…"(Al-Mujaadilah: 22)

Dalam ayat ini "tangan" bermaksud kekuatan atau kekuasaan.

Imam AS memetik daripada sastera Arab:

i) Mereka berkata:

"Si-polan dan si-polan mempunyai banyak tangan dengan saya."

Ini bermakna saya mempunyai hutang budi kepadanya.

ii) Sekali lagi, orang-orang Arab berkata:

"Dia ada tangan putih ke atas saya!"

Ini bermakna "Dia ada tanggungjawab kepada saya".Tangan dalam ayat ini bermaksud
sifat murah hati.

b) Muhammad bin Ubaidah merujuk ayat yang sama dari Surah Sad kepada Imam
Ridha AS. Jawapan Imam AS seperti berikut:

"Dengan tangan-tangan Kami" dalam ayat ini bermaksud "dengan Kekuasaan dan
Kekuatan".3

c) Suleiman bin Mahran berkata beliau bertanya kepada Imam Ja'far al-Sadiq AS
makna firman Allah dalam ayat al-Qur'an:

3
Tawhid al-Sadooq, hlm. 153-154.

14
"Dan mereka tidak mengagungkan Allah dengan pengagungan yang semestinya padahal
bumi seluruhnya dalam genggamanNya……" (Al-Zumar: 67)4

Imam AS berkata:

"Ia bermaksud kekuasaan mutlak - tidak ada sekutu dengan yang lain."

Muhammad bin Ubaidah bertanya tentang makna selanjutnya selepas ayat itu:

"…..dan langit digulungkan dengan (Yameen) kananNya…."

Imam AS menerangkan:

"Allah menggunakan istilah "Yameen" (kanan) yang membawa erti 'tangan' dan 'tangan'
bererti Maha KekuasaanNya. Langit akan digulungkan dengan KekuasaanNya.

Perkataan "tangan" atau "KananNya" tidak membawa makna genggaman tangan kanan.
Ia tidak merujuk kepada sebarang anggota tubuh badan seperti yang difahami oleh
mazhab khalifah.

Membayang sifat anggota tubuh wujud pada Zat Allah SWT akan membawa seseorang
kepada syirik - justeru Imam Ja'far al-Sadiq AS selepas mengemukakan hujah-hujahnya
yang menjawab persoalan itu telah membacakan keseluruhan ayat tersebut secara
lengkap. Beliau AS membacakan baris terakhir ayat tersebut:

"Maha Suci Tuhan dan Maha Tinggi Dia dari apa yang mereka persekutukan."

Pemerhatian:

Mazhab Ahlul Bait AS mengemukakan hujah berasaskan makna sebenar Tawhid, pada
masa yang sama bersandarkan kepada penggunaan umum istilah berkenaan di kalangan
orang Arab dan juga kesusasteraan mereka.

Raghib Isfahani dalam kitabnya yang masyhur Mufradatul Qur'an berkata:

"Yad bermakna 'tangan', iaitu anggota tubuh manusia. Tetapi ia juga mempunyai makna
yang lain seperti menguasai, kuasa dan arah."

Para ilmuan Mesir telah menyenaraikan sembilan makna berlainan untuk perkataan
"Yad', selain daripada makna tangan. Sebagai contoh, ayat berikut:

"Maka Maha Suci (Allah) yang di tangannya kekuasaan atas segala sesuatu dan
kepadaNya kamu dikembalikan." (Yaasin: 83).
4
Tawhid al-Sadooq, hlm. 160-161.

15
Ayat di atas diterjemahkan seperti berikut:

"Maka Maha Suci (Allah) yang di tangannya (Yang Maha Menguasai) segala sesuatu dan
kepadaNya kamu dikembalikan."

Perkara yang paling ganjil ialah apabila para ilmuan yang memilih makna literal tangan
dan lain-lain anggota kepada Allah SWT mengambil pula makna yang lain apabila
perkataan yang sama ditujukan oleh Nabi SAWAW.

Dalam ayat berikut, yang ditujukan kepada Nabi SAWAW, para penterjemah dan ahli
tafsir bersepakat bahawa makna 'Yad' bukan bererti 'tangan' secara literal:

"Dan janganlah jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan janganlah kamu terlalu
menghulurkannya kerana itu kamu menjadi tercela dan menyesal." (Al-Isra': 29).

Tidak ada seorang pun di kalangan mereka yang memilih makna 'tangan' secara literal
tetapi apabila perkataan yang sama ditujukan kepada Allah, mereka memilih pula makna
secara literal dan menolak maknanya secara metapora.

Hal ini jelas menunjukkan pengaruh atau penyisipan ajaran-ajaran Yahudi dan Kristian
yang telah tercemar dan kemudian ia diperkuatkan pula oleh sebahagian daripada
sahabat-sahabat yang tidak berhati-hati. Namun kisah ini tidak berakhir di sini. Masih
ada lagi perbahasan yang menarik selepas ini.

-------------------------------------------------

Tuhan yang Diciptakan

Ibn al-'Arabi (560-638/1165-1240), salah seorang Sufi terbesar, mengkritik orang


yang memutlakkan, atau, jika boleh, "menuhankan", kepercayaannya kepada Tuhan,
yang menganggap kepercayaannya itu sebagai satu-satunya yang benar dan
menyalahkan kepercayaan orang lain. Orang seperti itu memandang bahwa Tuhan yang
dipercayainya itu adalah Tuhan yang sebenarnya, yang berbeda dengan Tuhan yang
dipercayai oleh orang lain yang dianggapnya salah. Ibn al-'Arabi menyebut Tuhan yang
dipercayai manusia "Tuhan kepercayaan" (ilah al-mu'taqad), "Tuhan yang dipercayai" (al-
ilah al-mu'taqad), "Tuhan dalam kepercayaan" (al-ilah fi al-i'tiqad), "Tuhan kepercayaan"
(al-haqq al-i'tiqadi), "Tuhan yang dalam kepercayaan" (al-haqq al-ladzi fi al-mu'taqad),
dan "Tuhan yang diciptakan dalam kepercayaan" (al-haqq al-makhluq fi al-i'tiqad).

Kata i'tiqad data mu'taqad, yang dalam tulisan ini diterjemahkan dengan
"kepercayaan", berasal dari akar '-q-d, yang berarti merajut, membuhul, mengikat;
mengikatkan dengan sebuah buhul; memasang, mengumpulkan, menggabungkan,
mengunci; mengecilkan, menyempitkan, mengerutkan; mengarahkan, memusatkan;
melengkungkan, melekukkan; bertemu, berkumpul; mengadakan pertemuan,
mengadakan rapat, mengumpulkan; membuat perjanjian, mengikat kontrak. Kata i'tiqad
sendiri, secara literal (harfiah) atau figuratif (majazi), berarti menjadi terikat atau
tersusun dengan kuat. Maka i'tiqad, "kepercayaan", adalah suatu "ikatan" yang diikat

16
dengan kuat dalam kalbu atau pikiran, sebuah keyakinan bahwa sesuatu adalah benar.
Bagi Ibn al-'Arabi, "kepercayaan" adalah sebuah (peng)ikatan (binding) dan
(pem)batasan (delimitation) Wujud Yang Tak Terbatas, Wujud Absolut (al-wujud al-
muthlaq), yang dilakukan oleh dan berlangsung dalam subyek manusiawi.

Kepercayaan seorang hamba kepada Tuhannya ditentukan dan diwarnai oleh


kapasitas pengetahuan sang hamba. Kapasitas pengetahuan itu tergantung kepada
"kesiapan partikular" (al-isti'dad al-juz'i) masing-masing individu hamba sebagai bentuk
penampakan "kesiapan universal" (al-isti'dad al-kulli) atau "kesiapan azali" (al-isti'dad al-
azali) yang telah ada sejak azali dalam "entitas-entitas permanen" (al-a'yan al-tsabitah),
yang merupakan bentuk penampakan diri (tajalli) al-Haqq (yaitu Tuhan). Tuhan
menampakkan diri-Nya kepada hamba-Nya sesuai dengan kesiapan sang hamba untuk
mencapai pengetahuan tentang Tuhan yang akhirnya "diikat" atau "dibatasi" oleh dan
dalam kepercayaannya sesuai dengan pengetahuan yang dicapainya. Dengan demikian,
Tuhan yang diketahui oleh sang hamba adalah identik dengan Tuhan dalam
kepercayaannya. Dapat pula dikatakan bahwa Tuhan yang diketahuinya adalah identik
dengan kepercayaannya.

Tuhan memberikan kesiapan (al-isti'dad), sesuai dengan firman-Nya, "Dia


memberi segala sesuatu ciptaannya" [Q. s.Thaha/20:50]. Maka Dia mengangkat hijab
antara Dia dan hamba-Nya. Sang hamba melihat-Nya dalam bentuk kepercayaannya;
jadi Tuhan adalah identik dengan kepercayaannya sendiri. Baik kalbu maupun mata tidak
pernah melihat sesuatu kecuali bentuk kepercayaannya tentang Tuhan. Tuhan yang ada
dalam kepercayaan itu adalah Tuhan yang bentuk-Nya diliputi oleh kalbu; itulah Tuhan
yang menampakkan diri-Nya kepada kalbu sehingga Dia dikenal. Maka mata tidak
melihat selain Tuhan kepercayaan.

"Tuhan kepercayaan" adalah gambar atau bentuk Tuhan, atau pemikiran, konsep,
ide, atau gagasan tentang Tuhan yang diciptakan oleh akal manusia atau taklidnya.
Tuhan seperti itu bukanlah Tuhan sebagaimana Dia sebenarnya, Tuhan pada diri-Nya,
Zat-Nya, tetapi adalah Tuhan yang diciptakan oleh manusia sesuai dengan kemampuan,
pengetahuan, penangkapan, dan persepsinya. Tuhan seperti itu adalah Tuhan yang
"ditempatkan" oleh manusia dalam pemikiran, konsep, ide, atau gagasannya dan
"diikat"-nya dalam dan dengan kepercayaannya. "Bentuk", "gambar", atau "wajah" Tuhan
seperti itu ditentukan atau diwarnai oleh pengetahuan, penangkapan, dan persepsi
manusia yang mempunyai kepercayaan kepada-Nya. Apa yang diketahui diwarnai oleh
apa yang mengetahui. Dengan mengutip perkataan al-Junayd, Ibn al-'Arabi berkata:
"Warna air adalah warna bejana yang ditempatinya" (Lawn al ma' lawn ina'ihi). Itulah
sebabnya mengapa Tuhan melalui sebuah hadits qudsi berkata: "Aku adalah dalam
sangkaan hamba-Ku tentang Aku" (Ana 'inda zhann 'abdi bi). Tuhan disangka, bukan
diketahui. Dengan kata lain, Tuhan hanya dalam sangkaan manusia, bukan dalam
pengetahuannya. Tuhan tidak diketahui dan tidak dapat diketahui.

Menarik untuk memperhatikan lanjutan firman Tuhan dalam hadits qudsi yang
dikutip ini, yaitu: "Maka hendaklah ia [sang hamba] bersangka baik tentang Aku" (Fal-
yazhunn bi khayran).

Tuhan menyuruh agar kita bersangka baik tentang Dia dalam setiap keadaan dan
melarang kita bersangka buruk tentang Dia. Kita harus menjadikan sangkaan kita
sebagai pengetahuan bahwa Tuhan adalah Maha Pengasih, Maha Penyayang, Maha
Penolong, dan Maha Pengampun. Kita tidak boleh bersangka bahwa Tuhan adalah
"pengawas yang selalu mencari kesalahan", "petugas keamanan yang kasar dan galak",
atau "tuan besar yang bengis". Sangkaan baik tentang Tuhan mendorong kita untuk
mendekati dan mencintai-Nya agar kita mendapat rahmat-Nya. Nabi s.a.w. berkata:
"Rahmat Tuhan mendahului (mengalahkan) murka-Nya". Sangkaan buruk tentang Tuhan
membuat kita jauh dari-Nya, menyalahkan-Nya, dan akhirnya berputus asa. Tuhan tidak
menyenangi orang-orang yang berputus asa.

17
Kritik Ibn al-'Arabi terhadap orang yang memutlakkan Tuhan dalam
kepercayaannya, Tuhan yang diciptakannya dalam kepercayaannya, mengikatkan kita
kepada kritik Xenophanes (kira-kira 570-480 SM), seorang filsuf Yunani, terhadap
antropomorfisme Tuhan, atau tuhan-tuhan. Kritik tokoh dari Kolophon, Asia Kecil, ini
berbunyi sebagai berikut:

“Seandainya sapi, kuda, dan singa mempunyai tangan dan pandai menggambar
seperti manusia, tentu kuda akan menggambarkan tuhan-tuhan menyerupai kuda, sapi
akan menggambarkan tuhan-tuhan menyerupai sapi, dan dengan demikian mereka akan
mengenakan rupa yang sama kepada tuhan-tuhan seperti terdapat pada mereka sendiri.
Orang Etiopia mempunyai tuhan-tuhan hitam dan berhidung pesek, sedangkan orang
Trasia mengatakan bahwa tuhan-tuhan mereka bermata biru dan berambut merah.”

Sebagaimana dikatakan di atas, "Tuhan kepercayaan" adalah Tuhan ciptaan


manusia. Barangsiapa yang memuji ciptaannya memuji dirinya sendiri. Ibn al-'Arabi
berkata:

“Tuhan kepercayaan adalah ciptaan bagi yang mempersepsinya. Dia adalah


ciptaannya. Karena itu, pujiannya kepada apa yang dipercayainya adalah pujiannya
kepada dirinya sendiri. Itulah sebabnya mengapa ia mencela kepercayaan orang lain. Jika
ia menyadari [persoalan yang sebenarnya], tentu ia tidak akan berbuat demikian itu.
Tidak diragukan bahwa pemilik obyek penyembahan khusus itu adalah bodoh tentang itu
karena penolakannya terhadap apa yang dipercayai oleh orang lain tentang Allah. Jika ia
mengetahui apa yang dikatakan oleh al-Junayd, "Warna air adalah warna bejana yang
ditempatinya", ia akan memperkenankan apa yang dipercayai setiap orang yang
mempunyai kepercayaan dan mengakui Tuhan dalam setiap bentuk dan dalam setiap
kepercayaan”.

Teori Ibn al-'Arabi tentang "Tuhan kepercayaan" didasarkan pula kepada sebuah
hadits Nabi s.a.w. tentang penampakan diri Tuhan (tajalli al-haqq) pada hari kiamat. Nabi
menceritakan bahwa pada hari kiamat, Tuhan akan menampakkan diri-Nya kepada umat
manusia dalam berbagai bentuk, yang tiap-tiap bentuk akan ditolak oleh setiap orang
yang tidak mengenalnya dan akan diterima oleh setiap orang yang mengenalnya.
Akhirnya, semua orang atau kelompok akan menyadari bahwa sebenarnya Tuhan yang
menampakkan diri-Nya dalam berbagai bentuk itu adalah satu dan sama; itu juga, tidak
lain.

Pandangan Ibn al-'Arabi ini sesuai dengan larangan Nabi s.a.w. agar para
sahabatnya tidak menyalahkan seorang awam yang pernah mengatakan kepada beliau
di hadapan mereka bahwa Tuhan berada di langit, nun jauh di atas. Para sahabat
mempersoalkan kepercayaan orang awam itu karena Tuhan berada di mana saja, tidak
terikat oleh ruang dan waktu, dan tidak berbentuk. Tetapi Nabi memandang bahwa
"sangkaan" orang awam itu tentang Tuhan sudah memadai baginya. Nabi sendiri pernah
berkata: "Kasihilah siapa yang di bumi, niscaya engkau akan dikasihi oleh siapa yang di
langit" (Irham man fi al-ardi, yarham-ka man fi al-sama'). Yang dimaksud dengan
"siapayang di langit" dalam hadits ini adalah Tuhan. Tuhan berada di langit. Dengan
alasan ini, dapat dikatakan bahwa Tuhan dalam kepercayaan Islam adalah "Tuhan Langit"
("the Sky God"), "Tuhan Surgawi" [karena surga berada di langit] ("the Heavenly God"),
atau "Wujud Tertinggi Samawi" ("the Celestial Supreme Being"). Langit adalah simbol
ketinggian, keagungan, keindahan, dan keabadian. Karena itu, langit dijadikan simbol
Tuhan. Simbol bukan menunjukkan dirinya sendiri, tetapi menunjukkan sesuatu yang lain
di luar dirinya. Simbol Tuhan bukanlah Tuhan, tetapi menunjukkan Tuhan.

Tuhan dalam kepercayaan Islam adalah seorang "laki-laki", atau, lebih tepatnya,
disimbolkan dengan seorang "laki-laki". Tuhan dalam kepercayaan Islam, seperti Tuhan
dalam kepercayaan-kepercayaan Yahudi dan Kristen, adalah Huwa ("He"), bukan Hiya

18
("She"). Tuhan dalam kepercayaan Islam selalu dipahami dengan kata-kata maskulin.
(Pandangan yang menekankan aspek maskulin Tuhan atau memahami Tuhan sebagai
"Tuhan Laki-Laki" seperti ini ditentang oleh teologi feminis radikal yang menekankan
aspek feminin Tuhan atau memandang Tuhan sebagai "Tuhan Perempuan"). Dengan
demikian, Tuhan dalam kepercayaan Islam, sebagaimana dalam kepercayaan-
kepercayaan Yahudi dan Kristen, adalah seorang "person," seorang "pribadi". Itulah
sebabnya mengapa dikatakan bahwa Tuhan agama-agama monoteistik atau teistik,
termasuk Islam, adalah "personal", "berpribadi". Tuhan dalam arti ini bukan "impersonal",
bukan "tak-berpribadi", dan, karena itu, Dia bukan "Itu" ("It").

Pengaruh kebudayaan terhadap bentuk atau tipe kepercayaan kepada Tuhan,


terhadap "Tuhan kepercayaan", dibuktikan oleh sejarah agama agama. Tuhan dalam
kepercayaan orang-orang yang berkebudayaan patriarkal pastoral, yang berkebudayaan
perayahan yang hidup dengan menggembala, berbeda dengan Tuhan dalam
kepercayaan orang-orang yang berkebudayaan matriarkal agrikultural, yang
berkebudayaan peribuan yang hidup dengan bertani. Bapa Samawi atau Bapa Surgawi
adalah Tuhan tipikal orang-orang nomad yang hidup dari hasil kawanan ternak mereka;
kawanan ternak itu hidup di padang rumput, dan pada gilirannya padang rumput
tergantung kepada hujan dari langit. Ibu Bumi atau Ibu Pertiwi adalah Tuhan tipikal para
petani yang hidup dari hasil tanah atau bumi. Dalam kebudayaan patriarkal pastoral,
biasanya bapa dan langit dijadikan sebagai simbol Tuhan. Dalam kebudayaan matriarkal
agrikultural, ibu dan bumi sering dijadikan sebagai simbol Tuhan. Agama-agama Semitik
lebih cenderung kepada kebudayaan tipe pertama. Bukankah agama-agama Semitik,
karena diturunkan dari langit, sering disebut "agama-agama samawi", "agama-agama
langit?" Dalam ketiga agama ini, karena "Tuhan berada di langit", maka ungkapan-
ungkapan simbolis, seperti "turun dari langit", "naik ke langit", dan "berada di langit",
lazim digunakan untuk melukiskan peristiwa-peristiwa sakral dan pengalaman-
pengalaman spritual.

Sekali lagi, semua deskripsi dan ungkapan ini adalah simbol (yang menunjukkan)
Tuhan, bukan Tuhan itu sendiri. Di mata kaum monoteis, kekeliruan kaum politeis terletak
pada penuhanan mereka akan simbol-simbol seperti langit, matahari, bulan, dan bumi.
Kaum politeis tidak lagi sepenuhnya bertuhan kepada Tuhan, tetapi telah bertuhan
kepada simbol-simbol.

Di mata Ibn al-'Arabi, orang yang menyalahkan atau mencela kepercayaan-


kepercayaan lain tentang Tuhan adalah orang yang bodoh karena Tuhan dalam
kepercayaannya sendiri, sebagaimana dalam kepercayaan-kepercayaan yang
disalahkannya itu, bukanlah Tuhan sebagaimana Dia sebenarnya, karena Tuhan
sebagaimana Dia sebenarnya tidak dapat diketahui. Orang seperti itu mengakui hanya
Tuhan dalam bentuk kepercayaannya atau kepercayaan kelompoknya sendiri dan
mengingkari Tuhan dalam bentuk-bentuk berbagai kepercayaan lain. Padahal Tuhan yang
menampakkan diri-Nya dalam semua bentuk kepercayaan-kepercayaan yang berbeda itu
adalah satu dan sama. Kritik Ibn al-'Arabi ini, jika harus konsisten, tertuju kepada setiap
orang yang mencela kepercayaan-kepercayaan lain yang berbeda dengan
kepercayaannya tentang Tuhan, baik dalam lingkungan orang-orang yang seagama
dengannya maupun dalam lingkungan orang-orang yang berbeda agama.

Ibn al-'Arabi memperingatkan kita sebagai berikut:

Maka berhati-hatilah agar anda tidak mengikatkan diri kepada ikatan ('aqd) [yaitu
kepercayaan, doktrin, dogma, atau ajaran] tertentu dan mengingkari ikatan lain yang
mana pun, karena dengan demikian itu anda akan kehilangan kebaikan yang banyak;
sebenarnya anda akan kehilangan pengetahuan yang benar tentang apa itu yang
sebenarnya. Karena itu, hendaklah anda menerima sepenuhnya semua bentuk
kepercayaan-kepercayaan, karena Allah Ta'ala terlalu luas dan terlalu besar untuk

19
dibatasi dalam satu ikatan tanpa ikatan lain, Dia berkata: "Kemana pun kamu berpaling,
di situ ada wajah Allah", [Q 2:115] tanpa menyebutkan arah tertentu mana pun.

Pengetahuan yang benar tentang Tuhan, menurut Sufi dari Andalusia ini, adalah
pengetahuan yang tidak terikat oleh bentuk kepercayaan atau agama tertentu. Inilah
pengetahuan yang dimiliki oleh "para gnostik" (al- 'arifun). Karena itu, "para gnostik",
yaitu para Sufi, tidak pernah menolak Tuhan dalam kepercayaan, sekte, aliran, atau
agama apa pun. Ini berarti bahwa Tuhan, bagi mereka, dalam semua kepercayaan, sekte,
aliran, atau agama, adalah satu dan sama. Kata Ibn al-'Arabi, "Barangsiapa yang
membebaskan-Nya [yaitu Tuhan] dari pembatasan tidak akan mengingkari-Nya dan
mengakui-Nya dalam setiap bentuk tempat Dia mengubah diri-Nya."

-------------------------------------------------

Muhammad Rasulullah saww


Nabi yang ditunggu Umat Hindu?

New Delhi, India

Seorang professor bahasa dari Alahabad University India dalam salah satu buku
terakhirnya berjudul "Kalky Autar" (Petunjuk Yang Maha Agung) yang baru diterbitkan
memuat sebuah pernyataan yang sangat mengagetkan kalangan intelektual Hindu.

Sang professor secara terbuka dan dengan alasan-alasan ilmiah, mengajak para
penganut Hindu untuk segera memeluk agama Islam dan sekaligus mengimani risalah
yang dibawa oleh Rasulullah saww, karena menurutnnya, sebenarnya Muhammad
Rasulullah saww adalah sosok yang dinanti-nantikan sebagai sosok pembaharu spiritual.

Prof. Waid Barkash (penulis buku) yang masih berstatus pendeta besar kaum Brahmana
mengatakan bahwa ia telah menyerahkan hasil kajiannya kepada delapan pendeta besar
kaum Hindu dan mereka semuanya menyetujui kesimpulan dan ajakan yang telah
dinyatakan di dalam buku. semua kriteria yang disebutkan dalam buku suci kaum Hindu
(Wedha) tentang ciri-ciri "Kalky Autar" sama persis dengan ciri-ciri yang dimiliki oleh
Rasulullah Saww.

Dalam ajaran Hindu disebutkan mengenai ciri Kalky Autar diantaranya, bahwa dia akan
dilahirkan di jazirah, bapaknya bernama "Syanuyihkat" dan ibunya bernama "Sumaneb".
Dalam bahasa Sansekerta kata "Syanuyihkat" adalah paduan dua kata yaitu "Syanu"
artinya "Allah" sedangkan "Yahkat" artinya anak laki atau hamba yang dalam bahasa
Arab disebut "Abdun".

Dengan demikian kata Syanuyihkat artinya "Abdullah". Demikian juga kata "Sumaneb"
yang dalam bahasa Sansekerta artinya "Amana" atau "Amaan" yang terjemahan bahasa
Arabnya "Aminah". Sementara semua orang tahu bahwa nama bapak Rasulullah Saww
adalah Abdullah dan nama ibunya Aminah.

Dalam kitab Wedha juga disebutkan bahwa Tuhan akan mengirim utusan-Nya kedalam
sebiuah goa untuk mengajarkan Kalky Autar (Petunjuk Yang Maha Agung). Cerita yang
disebut dalam kitab Wedha ini mengingatkan akan kejadian di Gua Hira saat Rasulullah
didatangi malaikat Jibril untuk mengajarkan kepadanya wahyu tentang Islam.

20
Bukti lain yang dikemukakan oleh Prof Barkash bahwa kitab Wedha juga menceritakan
bahwa Tuhan akan memberikan Kalky Autar seekor kuda yang larinya sangat cepat yang
membawa kalky Autar mengelilingi tujuh lapis langit. Ini merupakan isyarat langsung
kejadian Isra' Mi'raj dimana Rasullah mengendarai Buroq.

-------------------------------------------------

Bagaimana Seharusnya Kita Beragama?

Pertanyaan di atas layak diketengahkan dalam rangka introspeksi diri atas keagamaan
kita, sehingga kita benar-benar beragama sebagaimana mestinya. Karena betapa banyak
orang beragama, namun keberagamaan mereka sekedar warisan dari orang tua atau
lingkungan sekitar mereka. Bahkan ada sebagian orang beranggapan, bahwa agama
hanya sebagai pelengkap kehidupan yang sifatnya eksidental.

Mereka tidak ambil peduli yang lazim terhadap agama. Karenanya mereka beragama
asal-asalan, sekedar tidak dikatakan tidak beragama. Gejala perpindahan dari satu
agama kepada agama yang lain bukanlah semata karena faktor ekonomi. Bahkan,
anggapan bahwa semua agama itu sama merupakan akibat dari ketidak pedulian yang
lazim terhadap agama. Gejala pluralisme semacam ini menjadi trend abad kedua puluh.

Dalam persepsi mereka, membicarakan agama adalah suatu hal yang sangat sensitif dan
akan merenggangkan hubungan antara manusia. Agama merupakan sesuatu yang
sangat personal dan tidak perlu diungkap dalam forum-forum umum dan terbuka. Jika
harus berbicara agama pun, maka ruang lingkupnya harus dibatasi pada sisi peribadatan
saja.

Agama telah dirampingkan, sedemikian rupa sehingga, hanya mengurus masalah-


masalah ritual belaka. Agama jangan dibawa-bawa ke dalam kancah politik, sosial dan
ekonomi. Karena jika agama dibawa ke dalam arena politik dan sosial, maka akan terjadi
perang antar agama dan penindasan atas agama tertentu oleh agama yang berkuasa.
Demikian pula, jika agama diperan aktifkan dalam urusan ekonomi, maka akan
membatasi kebebasan perilaku menimbun kekayaan, karena banyak lampu-lampu merah
dan peringatan-peringatan yang sudah tentu akan menghambat kelancaran bisnis.

Apakah benar demikian ?

Tentu, bagi mereka yang masih memiliki keterikatan dengan agama akan mengatakan,
bahwa pernyataan di atas relatif kebenarannya. Sebab, boleh jadi pernyataan di atas
adalah suatu kesimpulan dari beberapa kasus sejarah yang parsial dan situasional,
bahkan tidak bisa digeneralisasikan.

Namun bagi kaum muslimin, pernyataan di atas sama sekali tidak benar, karena secara
teoritis agama Islam adalah pegangan hidup (way of life) yang lengkap dan tidak dapat
dipisahkan dari kehidupan manusia, baik secara individu maupun kemasyarakatan. Islam
agama yang sangat luas dan fleksibel. Secara praktek hal ini telah dibuktikan, bahwa
dalam sebuah pemerintahan yang menjalankan syariat Islam dengan baik, kehidupan
masyarakatnya baik muslim atau non muslim aman, damai dan sejahtera, bahkan
perkembangan ilmu pengetahuan di dalamnya maju pesat.

Yang menjadi acuan kita, adalah bagaimana seharusnya kita beragama, agar ajarannya
benar-benar terasa dan mewarnai seluruh aspek kehidupan kita.

Sebagaimana telah kita bahas pada edisi sebelumnya, bahwa ajaran-ajaran Din terdiri
atas tiga macam, yaitu aqidah (keyakinan), syariah (hukum atau fiqih) dan akhlaq.

21
Semuanya harus kita perhatikan secara proporsional. Di sini kami akan menjelaskan,
walaupun ringkas, ketiga jenis ajaran tersebut.

1.Aqidah

Aqidah adalah perkara-perkara yang mengikat akal, pikiran dan jiwa seseorang (Mabani-e
Syenakht, Syeikh Muhammad Raysyahri). Misalnya, ketika seseorang meyakini adanya
satu Dzat yang senantiasa mengawasi gerak-gerik kita, maka keyakinan tersebut
mengikat kita sehingga kita tidak leluasa berbuat sesuatu yang akan menyebabkan-Nya
murka.

Pada dasarnya, inti dari aqidah semua agama, adalah keyakinan akan eksistensi Dzat
Pencipta alam raya ini dan ini merupakan fitrah manusia. Dengan demikian, dari sisi ini
semua agama sama, khususnya agama samawi. Allah Ta’ala berfirman, “Katakanlah
wahai ahli kitab, marilah kita menuju (membicarakan) kalimat (keyakinan) yang sama
antara kami dan kalian.” (QS. Ali Imran : 64).

Namun perbedaan muncul ketika berbicara tentang siapa pencipta alam raya ini,
bagaimana wujud-Nya, apakah tunggal atau berbilang, atau pertanyaan-pertanyaan lain
yang berkaitan dengan ketuhanan.

Tentu, tidak mungkin semua agama itu benar dalam memahami Dzat Pencipta. Oleh
karenanya, hanya ada satu agama yang benar dalam memahami siapa dan bagaimana
Dzat Pencipta itu.

Lalu bagaimana cara menentukan mana agama yang benar ?

Dalam hal ini, masing-masing agama tidak bisa membicarakan hal itu menurut kaca
matanya sendiri, baik melalui kitab sucinya atau pendapat para pakarnya. Umat Islam
tidak bisa membuktikan bahwa Tuhan itu Allah dengan Al-Qur’an maupun Hadis, atau
umat Kristiani dengan kitab Injilnya. Demikian pula umat lainnya.

Berbicara tentang siapa dan bagaimana Tuhan Pencipta, harus dengan sesuatu yang
disepakati dan dimiliki oleh setiap agama, yaitu akal. Keunggulan dan keberhasilan suatu
agama atau aliran, tergantung sejauh mana dapat dipertahankan kebenarannya oleh
akal. Maka di sinilah perlunya kita mempelajari aqidah melalui pendekatan akal, atau
yang sering disebut dengan ushuluddin, ilmu tauhid dan ilmu kalam (theologi).

Bagaimana kita beraqidah atau bagaimana cara kita mempelajari aqidah ?

Ayatullah Muhammad Ray Syahri dalam kitab Mabani-e Syenakht membagi manusia
yang beraqidah kepada dua kelompok, yaitu sebagian orang beraqidah atas dasar taqlid
dan lainnya beraqidah atas dasar tahqiq. Taqlid ialah menerima pendapat orang tanpa
dalil dan argumentasi (burhan) aqli, sebaliknya tahqiq adalah menerima pendapat
berdasarkan dalil dan argumentasi (burhan) aqli.

Beraqidah atas dasar taqlid, menurut akal tidak dapat dibenarkan. Karena masalah
aqidah adalah masalah keyakinan dan kemantapan, sementara taqlid tidak memberikan
keyakinan dan kemantapan. Oleh karenanya, alangkah banyak kalangan awam, dalam
masalah keagamaan, karena satu dan lain hal, pindah agama atau keluar dari agamanya.
Al-Qur’an sendiri, dalam beberapa ayatnya, mengkritik cara berpikir seperti ini, yang
merupakan cara berpikir yang biasa dijadikan alasan oleh orang-orang musyrik untuk
tidak mengikuti ajakan para Nabi. Misalnya, Al-Qur’an mengatakan, “Jika dikatakan
kepada mereka, Ikutilah apa yang Allah turunkan. Mereka menjawab, Tidak. Akan tetapi
kami mengikuti (melakukan) apa yang kami dapati dari pendahulu kami.” (QS. Luqman :
21).

22
Selain itu, Al-Qur’an juga melarang mengikuti sesuatu tanpa pengetahuan, “Dan
janganlah kalian mengikuti apa yang tidak kalian ketahui.” (QS. Al-Isra : 36). Bahkan Al-
Qur’an menyebut orang yang tidak menggunakan akalnya sebagai binatang yang paling
buruk, “Sesungguhnya binatang yang paling buruk di sisi Allah adalah orang yang bisu
dan tuli, yaitu orang-orang yang tidak berpikir.” (QS. Al-Anfal : 22) dan ayat-ayat lainnya.

Disamping itu, terdapat sejumlah Hadis Rasulullah saaw yang menganjurkan umatnya
agar beragama atas dasar pengetahuan. Antara lain Hadis yang berbunyi, “Jadilah kalian
orang yang berilmu atau yang sedang menuntut ilmu, dan jangan menjadi orang yang
ikut-ikutan.” (Kitab an-Nihayah Ibnu Atsir, jilid I hal. 67)

Ala kullihal, akal diciptakan sebagai sumber kekuatan manusia untuk mengetahui
kebenaran dan kesalahan. Salah seorang Ma’shumin berkata, “Allah mempunyai dua
hujjah (bukti kebenaran), hujjah lahiriah dan hujah batiniah. Hujah lahiriah adalah para
Rasul dan hujjah batiniah adalah akal.” Sementara itu, para Mutakalimin dan filosof
muslim telah bersusah payah membangun argumentasi-argumentasi rasional yang kuat
dan kokoh tentang pembuktian keberadaan Allah Ta’ala.

Dengan demikian, kesimpulan yang dapat kita tarik dari keterangan di atas, adalah
bahwa dalam masalah aqidah seseorang mesti bertahqiq dengan dalil-dalil akal, dan
tidak boleh ber-taqlid.

2. Syariat

Syariat menurut arti bahasa adalah tempat mengalirnya air. Lalu syariat diartikan lebih
luas, yaitu untuk segala jalan yang mengantarkan manusia kepada maksudnya (lihat
Tafsir Namuneh dan Tafsir Mizan dalam menafsirkan surat Al-Jatsiyah ayat 18).

Dengan demikian, Syariat Islamiyah berarti jalan yang mengantarkan umat manusia
kepada tujuan Islami.

Setelah seseorang meyakini keberadaan Allah sebagai Pencipta dan Pemberi kehidupan
sesuai dengan dalil-dalil akal, maka konsekuensi logisnya (bil mulazamah aqliyyah) dia
akan merasa berkewajiban untuk menaati dan menyembah-Nya. Namun sebelumnya,
tentu dia harus mengetahui cara bertaat dan menyembah kepada-Nya, agar tidak seperti
orang-orang Arab Jahiliyah yang menyembah Allah, namun melalui patung-patung (QS.
Az-Zumar : 3).

Mereka, sesuai dengan fitrah illahiah, meyakini keberadaan Tuhan Sang Pencipta alam
raya. Berkenaan dengan itu, Allah Ta’ala berfirman, “Jika kamu bertanya kepada mereka,
Siapakah yang menciptakan bumi dan langit ? Niscaya mereka menjawab, Allah.” (QS.
Lukman : 25). Kemudian, mereka ingin mengadakan hubungan dan berkomunikasi
dengan-Nya (menyembah-Nya), sebagaimana Allah lukiskan dalam firman-Nya,
“Sebenarnya kami menyembah patung-patung sebagai upaya mendekatkan diri kami
kepada Allah semata.” (QS. Az-Zumar : 3). Meskipun mereka meyakini keberadaan Allah
Ta’ala, namun mereka salah dalam cara mengadakan hubungan dan berkomunikasi
dengan-Nya.

Nah, agar tidak terjadi kesalahan dalam kontak dan komunikasi dengan Allah, maka kita
mesti melakukannya menurut cara yang dihendaki-Nya dan tidak mengikuti cara yang
kita inginkan. Allah dengan luthf-Nya (upaya mendekatkan hamba pada ketaatan dan
menjauhkannya dari kemaksiatan) mengutus para Nabi dan menurunkan kitab untuk
mengajarkan tata cara menyembah (beribadah). Oleh karena itu, kita mesti mengikuti
bagaimana Rasulullah saaw beribadah, ‘’Shalatlah kalian, sebagaimana kalian melihat
aku shalat.’’

23
Kaum muslimin yang menyaksikan Rasulullah beribadah secara langsung, tidak
mengalami kesulitan untuk mengikuti beliau. Namun, bagi kita yang telah dipisahkan dari
beliau dengan rentang waktu yang cukup panjang (lima belas abad), untuk mengetahui
cara beliau beribadah hanyalah dapat dilakukan melalui perantaraan Al-Qur’an dan
Hadis. Dan untuk memahami maksud Al-Qur’an dan Hadis tidaklah mudah.

Menyangkut Al-Qur’an, Imam Ali bin Abi Thalib as. berkata, “Kitab Tuhan kalian (berada)
di tengah-tengah kalian. Ia menjelaskan tentang halal dan haram, kewajiban dan
keutamaan, nasikh (ayat yang menghapus) dan mansukh (ayat yang dihapus), rukhshah
dan azimah, khusus dan umum, ibrah dan perumpamaan, mursal (mutlaq) dan mahdud
(muqayyad), muhkam (ayat yang jelas maksudnya)…” (Tashnif Nahjul Balaghah : 207).
Sedangkan mengenai Hadis yang sampai kepada kita, ribuan jumlahnya dari berbagai
kitab Hadis dan tidak sedikit darinya terdapat pertentangan satu dengan lainnya.

Dengan demikian, untuk dapat memahami maksud Al-Qur’an dan Hadis, harus terlebih
dahulu menguasai sejumlah disiplin ilmu dengan baik, antara lain Bahasa Arab, Tafsir,
Ulumul Qur’an, Ushul Fiqih, Mantiq, Ilmu Rijal, Ulumul Hadis dan sebagainya.

Orang yang telah menguasai semua disiplin ilmu tersebut dengan baik, dia dapat ber-
istinbath (meng-interpretasi-kan hukum) secara langsung dari Al-Qur’an dan Hadis
(pelakunya disebut mujtahid). Tetapi orang yang tidak menguasai semua ilmu di atas
dengan baik, maka cukup baginya mengikuti (bertaqlid) kepada hasil istinbath seorang
mujtahid. Dalam masalah aqidah taqlid tidak diperkenankan, sementara dalam masalah
syariat taqlid diperbolehkan.

3. Akhlak

Para ulama dalam mengartikan akhlak umumnya mengatakan, “Akhlak adalah ilmu yang
menjelaskan tentang mana yang baik dan yang buruk, serta apa yang harus diamalkan.”
Mereka membagi ilmu akhlak kepada dua bagian, yaitu akhlak teoritis dan akhlak praktis.
Mempelajari dan mengamalkan akhlak sangat diperlukan, sebagai proses mencapai
tujuan hidup, yaitu kesempurnaan.

Kalimat penutup, sebagai jawaban atas pertanyaan bagaimana seharusnya kita


beragama, adalah beraqidah atas dasar tahqiq dan menjalankan syariat dengan baik
atas dasar ijtihad atau taqlid dan berakhlak.

-------------------------------------------------

Ghadir Khum dan Saqifah

Salam,

Setelah turunnya [Q.S. Al-Maidah 67], maka kemudian Rasul SAWW menyampaikan
khutbahnya, di antara isinya yaitu :
1. Memerintahkan manusia untuk berpegang pada Al-Qur'an dan mentaati Ahlul Bait
Rasul (AS) sepeninggal beliau, karena keduanya tak akan pernah berpisah sampai
bertemu dengan beliau di Surga (Al-Haudh). Lihat posting saya yang bertajuk "Mentaati
Ahlul Bait (AS)".

2. Mengumumkan bahwa penerus kepemimpinan beliau adalah Ali (AS) dan


memerintahkan seluruh manusia untuk mengikuti kepemimpinan Ali (AS) sepeninggal
beliau.

24
Kalimat Rasul SAWW adalah :
"Siapa yang menjadikan aku pemimpinnya, maka inilah Ali pemimpinnya, Ya Allah
tolonglah orang yang menolong Ali, dan Musuhilah orang yang memusuhi Ali".

Tentang pengangkatan Ali (AS) telah banyak diriwayatkan oleh segala kalangan ulama,
seperti ahli hadits, ahli tarikh, tafsir, dll.

Berikut referensinya.

A. Ahli Hadits :

1. Al-Hakim, dalam "Mustadrak"


2. Adz-Dzahabi, dalam "Talkhisul Mustadrak"
3. Turmudzi, dalam "Nawadirul Ushul"
4. Muslim, dalam shohihnya
5. Nasa'i, dalam shohihnya
6. Ahmad bin Hambal, dalam musnadnya
7. Muttaqi Al-Hindi, dalam "Kanzul Ummal"
8. Ibnu Majah, dalam Sunan-nya

B. Sanad periwayatan :

110 sahabat, seperti Zaid bin Arqam, Anas bin Malik, Jabir Al-Anshori, Hudhaifah bin
Usaid Al-Ghifari, Ibnu Abbas, Abu Said Al-Khudri, Ibnu Mas'ud, Abu Hurairah,.....dst.
[selebihnya pada kitab: "Al-Ghodir" oleh Al-Amini].

C. Pemikir Muslim :

1. Ibn Taimiyyah dalam "Al-Aqidatul Wasithiyyah"


2. Al-Ghazali, dalam "Siyar Al-Alamin"
3. Ibnu Al-Jauzi, dalam "Tazkirah Al-Khawas"
4. Ibnu Katsir, dalam "Al-Bidayah Wan Nihayah"

D. Ahli Tarikh :

1. Al-Ya'qubi, dalam tarikhnya


2. Ibn Abil Hadid, dalam tarikhnya
3. Thabari, dalam "Riyadh An-Nadhirah" dan "Al-Wilayah fi Thuruqi Hadits Al-Ghodir"
4. Ibnu Asakir, dalam tarikhnya
5. Ibnu Atsir, dalam "Usudul Ghobah"
6. Ibnu Abdil Barr, dalam "Al-Isti'ab"
7. Ibnu Abdu Rabbih, dalam "Al-'Iqd al-Farid"
8. Al-Jahidz, dalam "Utsmaniyyah"
9. Ibn Katsir, dalam Tarikh-nya
10. Ibnu Abi Hatim.
11. Ibn Mardawaih.

E. Ahli Tafsir :

1. Fakhrur-Razi, dalam tafsirnya


2. Abu Ishaq Ats-Tsa'labi, dalam tafsirnya
3. Suyuthi, dalam "Al-Hawi lil Fatawi"

25
F. Penyair Muslim :

1. Hasan bin Tsabit Al-Anshori


2. Abu Tamam At-Tha'iy
3. Al-Kumait Al-Asdiy

Sumber-Sumber Rujukan lain :


1. Al-Hamid Al-Husaini, dalam "Imamul Muhtadin", penerbit Yayasan Al-Hamidiy.
2. KH. Abdullah Bin Nuh, dalam "Keutamaan Keluarga Rasulullah SAW", penerbit Toha
Putra.

Saat terjadi peristiwa Ghodir Khum, dimana Ali bin Abi Tholib dinobatkan sebagai
Pemimpin kaum muslimin, maka Abubakar dan Umar mengatakan :
"Selamat untukmu wahai putera Abi Tholib. Kini engkau adalah pemimpinku dan
pemimpin kaum mukmin dan mukminat"

Ref. ahlusunnah :
1. Ahmad, dalam Musnad, jilid 4, hal. 281.
2. Al-Ghazali, dalam "Siyar Al-Alamin".
3. Ibnu Al-Jauzi, dalam "Tarikh Al-Khawas".
4. Thabari, dalam "Riyadh An-Nadzirah".
5. Muttaqi Al-Hindi, dalam "Kanzul Ummal".
6. Tafsir Ar-Razi.
7. Ibnu Katsir, dalam "Al-Bidayah Wan Nihayah".
8. Tarikh Ibnu Asakir.
9. Habib Al-Hamid Al-Husaini, dalam "Imamul Muhtadin".
dll.

Berdasarkan keterangan saya di atas dan posting sebelumnya. Bahwa Rasul SAWW (atas
perintah Allah SWT) telah mengangkat Imam Ali (AS) sebagai penggantinya.
Yang hal ini diketahui oleh Abubakar dan Umar serta semua sahabat. Bahkan mereka
memberikan selamat pada Imam Ali.

Sehingga kalau kemudian terjadi peristiwa Saqifah, jelas ini bertentangan dengan wasiat
dan ketentuan Rasul SAWW tersebut. Sehingga tidak ada alasan lain selain alasan politik.

Pertemuan tersebut terjadi saat keluarga Rasul SAWW masih sibuk mengurusi jenazah
Rasul SAWW.

Terbukti pemilihan di saqifah tersebut telah menyebabkan perpecahan di antara sahabat.


Antara kubu Sa'ad bin Ubadah dan kubu Abubakar & Umar. Saat terjadi perdebatan dan
keributan di situ, lalu dengan serta merta Umar mengumumkan bahwa kekhalifahan
dipegang oleh Abubakar, dan yang menentangnya akan dibunuh.
Sampai akhirnya Sa'ad bin Ubadah tidak mau sholat bersama Abubakar dan Umar.

Ref. ahlusunnah :
1. Ibn Qutaibah, dalam "Tarikh Khulafa".
2. Ibnu Hisyam, dalam "Siroh Nabawiyyah".
3. Abubakar Al-Jauhari, dalam "Saqifah". dll.
Namun kemudian setelah peristiwa Saqifah tersebut, Umar sendiri mengatakan bahwa
pemilihan Abubakar di Saqifah oleh beberapa sahabat tersebut adalah "faltah"
(kesalahan), dan yang mengulangi cara bai'at tersebut mesti dibunuh, atau paling tidak
bai'at-nya tidak sah (tidak diakui). Atau istilah lain, faltah yang terjadi sebagaimana
faltah-nya jahiliyah.

Ref. ahlusunnah :

26
1. Shohih Bukhori, jilid 4, hal. 127.
2. Tarikh Thabari, jilid 2, hal. 244, bab "Saqifah".

Itulah akibat pelanggaran dari perintah Allah dan Rasul-Nya, yang akhirnya justru
menyebabkan perpecahan umat sampai sekarang.

Wassalaam,

-------------------------------------------------

Gelar Yang Terampas

Salam,

Allah berfirman dalam [Q.S. Al-Baqoroh 274] :

"Mereka yang meng-infak-kan hartanya di waktu malam dan di siang hari,


secara diam-diam dan secara terang-terangan, maka mereka mendapat pahala
di sisi Tuhannya. Tidak ada kekhawatiran bagi mereka dan tidak (pula) mereka
bersedih hati".

Para Ahli Tafsir mengatakan bahwa Asbabun Nuzul ayat tersebut adalah pada suatu hari
Imam Ali (AS) tidak memiliki apa-apa selain uang 4 dirham. Kemudian beliau (AS) meng-
infak-kan 1 dirham di waktu malam, 1 dirham di waktu siang, 1 dirham di-infak-kan
secara diam-diam dan 1 dirham di-infak-kan secara terang-terangan.

Sanad : Ibnu Abbas, ayah Mujahid.

Ref. ahlusunnah :

1. An-Naisaburi, dalam "Asbabun Nuzul".

2. Ibnu Atsir, dalam "Asadul Ghobah".

3. Al-Hamid Al-Husaini, dalam "Imamul Muhtadin". dll.

Namun sayang, gelar inipun mesti terampas dari beliau (AS) dan dilekatkan kepada Umar
bin Khottob yang dikatakan sebagai khalifah yang suka ber-infaq secara diam-diam.

Padahal sejarah membuktikan bahwa Umar adalah orang yang tidak adil dalam membagi
Baitul Mal. Ia telah merusak tatanan pembagian Baitul Mal yang ditetapkan oleh
Rasulullah SAWW. Umar telah membuat pengkelasan dalam pembagian Baitul Mal, orang
Arab mendapat lebih banyak dari orang Ajam, kaum Muhajirin mendapat lebih banyak
dari kaum Anshar, muhajirin Quraisy mendapat lebih banyak dari muhajirin non-Quraisy,
dll. Padahal Rasul SAWW membagikan Baitul Mal secara sama rata.

Ref. Ahlusunnah :

1. Ibn Abil Hadid, dalam "Syarh Nahjul Balaghah", jilid 8, hal. 111. 2. Tarikh Ya'qubi, jilid 2,
hal. 106. dll.

27
Dan saat Imam Ali (AS) menjadi khalifah, maka beliau mengembalikan pembagian Baitul
Mal sebagaimana sunnah Rasul SAWW. Sehingga hal ini menimbulkan protes oleh Talhah
dan Zubair.

Keduanya berkata : "Umar telah memberi bagian kepada kami lebih banyak dari
muslimin lainnya". Imam Ali AS menjawab : "Kalian diberi apa oleh Rasulullah ?".
Keduanya langsung terdiam. Beliau (AS) melanjutkan : "Tidakkah Rasulullah SAWW
senantiasa memberi bagian kepada seluruh kaum muslimin secara sama rata ?". Mereka
menjawab : "Ya". Beliau (AS) melanjutkan : "Apakah saya mesti mengikuti sunnah Rasul
SAWW ataukah cara-cara Umar ?". Mereka menjawab : "Jelas, sunnah Rasulullah". Beliau
(AS) berkata lagi : "Lantas mengapa kalian mengharap bagian lebih ?".....dan seterusnya.

Ref. syi'ah :

Prof. Muhsin Qira'ati, dalam "Mencari Tuhan", hal. 170-171, penerbit Cahaya. Yang
mengutip dari Biharul Anwar, jilid 41, hal. 116.

Sehingga jelaslah, siapa sebenarnya orang yang memperhatikan keadilan dan


memperhatikan nasib kaum muslimin.

Mengapa gelar Ali (AS) bisa terampas ?

Saya yakin hal ini tidak lepas dari peran Mu'awiyyah dan antek-anteknya seperti Abu
Hurairah, Samroh bin Jundub, dll.

Ahmad bin Hambal berkata :

"Ali banyak mempunyai musuh. Mereka berupaya untuk mencari sesuatu yang mungkin
bisa mencelanya, namun mereka tidak menemukannya. Kemudian mereka cari musuh-
musuhnya, lalu diciptakanlah keutamaan-keutamaan bagi musuh-musuhnya itu"

Ref. ahlusunnah :

Ibn Hajar Al-Asqolani, dalam "Fathul Bari'", jilid 7, hal. 83.

Mu'awiyah (la'natullahi 'alaih) pernah menulis surat kepada bawahannya : "Segera


setelah menerima surat ini, kamu harus memanggil orang-orang agar menyediakan
hadits-hadits tentang para sahabat dan KHALIFAH. Perhatikanlah, apabila seorang muslim
menyampaikan hadits tentang Abu Turab (Ali), maka kamupun harus menyediakan hadits
yang sama tentang sahabat lain untuk mengimbanginya. Hal ini sangat menyenangkan
saya dan mendinginkan hati saya, dan akan melemahkan kedudukan Abu Turab dan
syi'ahnya". Ia juga memerintahkan untuk mengkhotbahkannya di semua desa dan
mimbar.

Ref. :

O. Hashem, dalam "Saqifah", hal. 134-135, penerbit YAPI. Yang mengutip dari Abul Hasan
Ali bin Muhammad bin Abi Saif Al-Mada'ini, dalam kitab "Al-Ahdats".

28
Wassalaam,

-------------------------------------------------

Mengapa Kita Beragama?

“Dasar pertama agama (dîn) adalah mengenal-Nya”.

Perkataan di atas sangat tepat dan pada tempatnya, mengingat banyak orang yang
beragama, tetapi tidak mengenal agamanya dengan baik. Padahal, mengenal agama
seharusnya berada pada tahapan awal sebelum mengamalkan ajarannya. Tetapi secara
realita, keberagamaan sebagian besar dari mereka tidak sebagaimana mestinya. Nah
dalam kesempatan ini kami akan memberikan penjelasan tentang mengapa kita
beragama dan bagaimana seharusnya kita beragama dan bagaimana seharusnya kita
beragama? Sehingga kita beragama atas dasar bashirah (pengetahuan, pengertian dan
bukti).

Allah Ta’ala berfirman, “Katakanlah (wahai Muhammad), inilah jalan-Ku. Aku mengajak
kepada Allah dengan bashirah (hujjah yang nyata).” (Q.S. Yusuf, 108).

Namun, sebelum menjawab dua pertanyaan di atas, ada baiknya kami terlebih dahulu
membicarakan tentang din itu sendiri.

Apa itu din?

Din berasal dari bahasa Arab dan dalam Al-Qur’an disebutkan sebanyak 92 kali. Menurut
arti bahasa(etimologi), din diartikan sebagai balasan dan ketaatan. Dalam arti balasan,
Al-Qur’an menyebutkan kata din dalam surat Al-Fatihah ayat 4, maliki yawmiddin –
“(Dialah) Pemilik (raja) hari pembalasan.“ Demikian pula dalam sebuah hadis, din
diartikan sebagai ketaatan. Rasulullah saaw bersabda, “ad-dinu nashihah (Agama adalah
ketaatan).” Sedangkan menurut terminologi Teologi, din diartikan sebagai sekumpulan
keyakinan, hukum dan norma yang akan mengantarkan seseorang kepada kebahagiaan
manusia, baik di dunia maupun di akhirat.

Berdasarkan hal di atas, din mencakup tiga dimensi, (1) keyakinan (aqidah), (2) hukum
(syariat) dan (3) norma (akhlak). Ketiga dimensi tersebut dikemas sedemikian rupa
sehingga satu sama lain saling berkaitan dan tidak bisa dipisahkan antara satu dengan
lainnya. Dengan menjalankan din, kebahagiaan, kedamaian dan ketenangan akan teraih
di dunia dan di akhirat. Seseorang dikatakan mutadayyin (ber-din dengan baik), jika dia
dapat melengkapi dirinya dengan tiga dimensi agama tersebut secara proporsional,
sehingga dia pasti berbahagia.

Dalam dimensi keyakinan atau aqidah, seseorang harus meyakini dan mengimani
beberapa perkara dengan kokoh dan kuat, sehingga keyakinannya tersebut tidak dapat
digoyahkan lagi. Keyakinan seperti itu akan diperoleh seseorang dengan argumentasi
(dalil aqli) yang dapat dipertahankan. Keyakinan ini pada intinya berkisar pada keimanan
kepada Allah dan hari akhirat.

Adapun syariat adalah konsekuensi logis dan praktis dari keyakinan. Mengamalkan
syariat merupakan refresentasi dari keyakinan. Sehingga sulit dipercaya jika seseorang

29
mengaku beriman kepada Allah dan hari akhirat tetapi tidak mengindahkan syariat-Nya,
karena syariat merupakan kewajiban dan larangan yang datang dari-Nya.

Sedangkan akhlak adalah tuntutan akal-budi (aqal amali) yang mendorong seseorang
untuk mengindahkan norma-norma dan meninggalkan keburukan-keburukan. Seseorang
belum bisa dikatakan mutadayyin selagi tidak berakhlak - “la dina liman la akhlaqa lahu.”
Demikian pula, keliru sekali jika seseorang terlalu mementingkan akhlak dari pada
syariat.

Dari ketiga dimensi din tersebut, keyakinan (aqidah) menduduki posisi yang paling
prinsip dan menentukan. Dalam pengertian, bahwa yang menentukan seseorang itu
mutadayyin atau tidak adalah keyakinannya. Dengan kata lain, yang memisahkan
seseorang yang beragama dari yang tidak beragama (atheis) adalah keyakinannya. Lebih
khusus lagi, bahwa keyakinanlah yang menjadikan seseorang itu disebut muslim,
kristiani, yahudi atau lainnya.

Mengapa kita beragama ?

Marilah kita kembali pada pertanyaan semula, “mengapa kita beragama ?”

Manusia adalah satu spesies makhluk yang unik dan istimewa dibanding makhluk-
makhluk lainnya, termasuk malaikat, karena manusia dicipta dari unsur yang berbeda,
yaitu unsur hewani / materi dan unsur ruhani / immateri. Memang, dari unsur hewani
manusia tidak lebih dari binatang, bahkan lebih lemah darinya. Bukankah banyak
diantara binatang yang lebih kuat secara fisik dari manusia ? Bukankah ada binatang
yang memiliki ketajaman mata yang melebihi mata manusia ? Bukankah ada pula
binatang yang penciumannya lebih peka dan lebih tajam dari penciuman manusia ? Dan
sejumlah kelebihan-kelebihan lainnya yang dimiliki selain manusia.

Sehubungan ini Allah swt berfirman, “Dan manusia diciptakan dalam keadaan lemah.”
(QS. An-Nisa, 28). “Allah telah menciptakan kalian lemah, kemudian menjadi kuat, lalu
setelah kuat kalian menjadi lemah dan tua.” (QS. Rum, 54). Masih banyak ayat lainnya
yang menjelaskan hal serupa.

Karena itu, sangatlah tidak pantas bagi manusia berbangga dengan penampilan fisiknya,
disamping itu penampilan fisik adalah wahbi sifatnya (semata-mata pemberian dari
Allah, bukan hasil usahanya).

Kelebihan manusia terletak pada unsur ruhani (mencakup hati dan akal, keduanya bukan
materi). Dengan akalnya, manusia yang lemah secara fisik dapat menguasai dunia dan
mengatur segala yang ada di atasnya. Karena unsur inilah Allah menciptakan segala
yang ada di langit dan di bumi untuk manusia (Lihat surat Luqman ayat 20). Dalam salah
satu ayat Al-Qur’an ditegaskan, “Sungguh telah kami muliakan anak-anak Adam, kami
berikan kekuasaan kepada mereka di darat dan di laut, serta kami anugerahi mereka
rizki. Dan sungguh kami utamakan mereka di atas kebanyakan makhluk Kami lainnya.”
(QS. Al-Isra 70).

Unsur akal pada manusia, awalnya masih berupa potensi (bil-quwwah) yang perlu
difaktualkan (bil-fi’li) dan ditampakkan. Oleh karena itu, jika sebagian manusia lebih
utama dari sebagian lainnya, maka hal itu semata-mata karena hasil usahanya sendiri,
karena itu dia berhak berbangga atas lainnya. Sebagian mereka ada pula yang tidak
berusaha memfaktualkan dan menampakkan potensinya itu, atau memfaktualkannya
hanya untuk memuaskan tuntutan hewaninya, maka orang itu sama dengan binatang,
bahkan lebih hina dari binatang (QS. Al-A’raf 170 dan Al-Furqan 42).

30
Termasuk ke dalam unsur ruhani adalah fitrah. Manusia memiliki fitrah yang merupakan
modal terbesar manusia untuk maju dan sempurna. Din adalah bagian dari fitrah
manusia.

Dalam kitab Fitrat (edisi bahasa Parsi), Syahid Muthahhari menyebutkan adanya lima
macam fitrah (kecenderungan) dalam diri manusia, yaitu mencari kebenaran (haqiqat),
condong kepada kebaikan, condong kepada keindahan, berkarya (kreasi) dan cinta (isyq)
atau menyembah (beragama). Sedangkan menurut Syeikh Ja’far Subhani,terdapat empat
macam kecenderungan pada manusia,dengan tanpa memasukan kecenderungan
berkarya seperti pendapat Syahid Muthahhari (kitab al-Ilahiyyat, juz 1).

Kecenderungan beragama merupakan bagian dari fitrah manusia. Manusia diciptakan


oleh allah dalam bentuk cenderung beragama,dalam arti manusia mencintai
kesempurnaan yang mutlak dan hakiki serta ingin menyembah pemilik kesempurnaan
tersebut. Syeikh Taqi Mishbah Yazdi, dalam kitab Ma’arif Al-Qur’an juz 1 hal. 37,
menyebutkan adanya dua ciri fitrah, baik fitrah beragama maupun lainnya, yang
terdapat pada manusia, yaitu pertama kecenderungan-kecenderungan (fitrah) tersebut
diperoleh tanpa usaha atau ada dengan sendirinya, dan kedua fitrah tersebut ada pada
semua manusia walaupun keberadaannya pada setiap orang berbeda, ada yang kuat dan
ada pula yang lemah. Dengan demikian, manusia tidak harus dipaksa beragama, namun
cukup kembali pada dirinya untuk menyambut suara dan panggilan hatinya, bahwa ada
sesuatu yang menciptakan dirinya dan alam sekitarnya.

Meskipun kecenderungan beragama adalah suatu yang fitri, namun untuk menentukan
siapa atau apa yang pantas dicintai dan disembah bukan merupakan bagian dari fitrah,
melainkan tugas akal yang dapat menentukannya. Jadi jawaban dari pertanyaan
mengapa manusia harus beragama, adalah bahwa beragama merupakan fitrah manusia.
Allah Ta’ala berfirman, “Maka hadapkanlah wajahmu kepada din dengan lurus, sebagai
fitrah Allah yang atasnya manusia diciptakan.” (QS. Rum 30).

Sekilas Teori-teori Kemunculan Agama

Kaum materialis memiliki sejumlah teori tentang kemunculan agama, antara lain:

1. Agama muncul karena kebodohan manusia.

Sebagian mereka berpendapat, bahwa agama muncul karena kebodohan manusia.


August Comte peletak dasar aliran positivisme menyebutkan, bahwa perkembangan
pemikiran manusia dimulai dari kebodohan manusia tentang rahasia alam atau
ekosistem jagat raya. Pada mulanya periode primitif karena manusia tidak mengetahui
rahasia alam, maka mereka menyandarkan segala fenomena alam kepada Dzat yang
ghaib.

Namun, dengan berkembangnya ilmu pengetahuan (sains) sampai pada batas segala
sesuatu terkuak dengan ilmu yang empiris, maka keyakinan terhadap yang ghaib tidak
lagi mempunyai tempat di tengah-tengah mereka.

Konsekuensi logis teori di atas, adalah makin pandai seseorang akan makin jauh ia dari
agama bahkan akhirnya tidak beragama, dan makin bodoh seseorang maka makin kuat
agamanya. Padahal, betapa banyak orang pandai yang beragama, seperti Albert
Einstein, Charles Darwin, Hegel dan lainnya. Demikian sebaliknya, alangkah banyak
orang bodoh yang tidak beragama.

2. Agama muncul karena kelemahan jiwa (takut)

31
Teori ini mengatakan, bahwa munculnya agama karena perasaan takut terhadap Tuhan
dan akhir kehidupan. Namun, bagi orang-orang yang berani keyakinan seperti itu tidak
akan muncul. Teori ini dipelopori oleh Bertnart Russel. Jadi, menurut teori ini agama
adalah indikasi dari rasa takut. Memang takut kepada Tuhan dan hari akhirat, merupakan
ciri orang yang beragama. Tetapi agama muncul bukan karena faktor ini, sebab
seseorang merasa takut kepada Tuhan setelah ia meyakini adanya Tuhan. Jadi, takut
merupakan akibat dari meyakini adanya Tuhan (baca beragama).

3. Agama adalah produk penguasa

Karl Marx mengatakan bahwa agama merupakan produk para penguasa yang
diberlakukan atas rakyat yang tertindas, sebagai upaya agar mereka tidak berontak dan
menerima keberadaan sosial ekonomi. Mereka (rakyat tertindas) diharapkan terhibur
dengan doktrin-doktrin agama, seperti harus sabar, menerima takdir, jangan marah dan
lainnya.

Namun, ketika tatanan masyarakat berubah menjadi masyarakat sosial yang tidak
mengenal perbedaan kelas sosial dan ekonomi, sehingga tidak ada lagi perbedaan
antara penguasa dan rakyat yang tertindas dan tidak ada lagi perbedaan antara si kaya
dan si miskin, maka agama dengan sendirinya akan hilang. Kenyataannya, teori di atas
gagal. Terbukti bahwa negara komunis sosialis sebesar Uni Soviet pun tidak berhasil
menghapus agama dari para pemeluknya, sekalipun dengan cara kekerasan.

4. Agama adalah produk orang-orang lemah

Teori ini berseberangan dengan teori-teori sebelumnya. Teori ini mengatakan, bahwa
agama hanyalah suatu perisai yang diciptakan oleh orang-orang lemah untuk membatasi
kekuasaan orang-orang kuat. Norma-norma kemanusiaan seperti kedermawanan, belas
kasih, kesatriaan, keadilan dan lainnya sengaja disebarkan oleh orang-orang lemah untuk
menipu orang-orang kuat, sehingga mereka terpaksa mengurangi pengaruh kekuatan
dan kekuasaannya. Teori ini dipelopori Nietzche, seorang filusuf Jerman.

Teori di atas terbantahkan jika kita lihat kenyataan sejarah, bahwa tidak sedikit dari
pembawa agama adalah para penguasa dan orang kuat misalnya Nabi Sulaiman dan
Nabi Daud keduanya adalah raja yang kuat.

Sebenarnya, mereka ingin menghapus agama dan menggantikannya dengan sesuatu


yang mereka anggap lebih sempurna (seperti, ilmu pengetahuan menurut August Comte,
kekuasaan dan kekuatan menurut Nietszche, komunis sosialisme menurut Karl Marx dan
lainnya). Padahal mencintai dan menyembah kesempurnaan adalah fitrah.
Perbedaan kaum agamawan dengan mereka, adalah bahwa kaum agamawan
mendapatkan kesempurnaan yang mutlak hanya pada Tuhan. Jadi, sebenarnya mereka
(kaum Atheis) beragama dengan pikiran mereka sendiri. Atau dengan kata lain, mereka
mempertuhankan diri mereka sendiri.

-------------------------------------------------

Pengangkatan Khalifah
Nas atau Musyawarah?

32
Semua ulama sependapat bahwa apabila sesuatu masalah telah ditetapkan oleh Allah
Ta’ala dan Rasul-Nya secara jelas, maka memilih yang lain dari itu tidaklah dibolehkan.
Dengan kata lain, apabila telah ada nas (nash), maka orang tidak boleh berusaha
mencari hukum yang lain daripada yang telah ditetapkan nas. Apabila telah ada nas
tentang sesuatu, maka tidaklah boleh melakukan ijtihad mengenai masalah tersebut.
Demikian pula tentang pemilihan. Allah Ta’ala berfirman:

“Tuhanmu telah berfirman dan memilih apa yang Ia kehendaki. Bagi mereka tiada
pilihan. Mahasuci Allah dan Maha Tinggi diatas sekutu-sekutu yang mereka persekutukan
denganNya.” [ Al-Qashash:68 ]

Ayat ini menunjukkan dengan tegas bahwa manusia tidak boleh memilih selain apa yang
telah dipilih oleh Allah Ta’ala. Dalam surah yang lain, Allah Ta’ala berfirman:

“Ingatlah, kepunyaanNya ciptaan dan perintah.” [ Al-A’raf: 54 ]

Sebab turunnya ayat yang terkutip diatas itu, menurut ahli tafsir sunni, al-hazm (Al-
hazm, tafsir jilid V halaman 195) dan banyak tafsir lainnya, adalah jawaban kepada kaum
musyrikin yang menuntut kepada Rasul Allah saw agar dua orang, Walid bin Mughirah di
Makkah, dan Urwah bin Mas’ud ats-Tsaqafi di Thaif, diangkat menjadi Nabi atau agar
mereka menerima wahyu, sebagaimana tersebut dalam Al-Quran:

“Dan mereka berkata (pula), ‘Mengapa Al-Quran ini tiada diturunkan kepada seseorang
yang besar dalam salah satu dari kedua kota (Makkah dan Thaif)?” [ Az-Zukhruf: 31 ]

Maka Allah Ta’ala memberitahukan bahwa Allah tiada akan mengutus seseorang dengan
mengikuti pilihan orang lain. Dalam surah al-ahzab, Allah Ta’ala berfirman:

“Tiada dibenarkan bagi orang mukminin dan mukminat, apabila Allah dan Rasul-Nya
telah menetapkan sesuatu keputusan, bahwa mereka akan ambil pilihan(lain) dalam soal
mereka itu. Barangsiapa yang durhaka kepada Allah dan Rasul Nya, pastilah ia tersesat
dalam kesesatan yang nyata.” [Al-ahzab: 36 ]

Allah juga berfirman dalam surah ‘Ali Imran: 154

“Mereka berkata: ‘Apakah ada sesuatu kekuasaan bagi kami?’ Katakanlah,


‘Sesungguhnya kekuasaan adalah urusan Allah.”

Dalam surah Al-Hujarat: 1

“Hai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul
Nya. Tapi taqwalah kepada Allah. Sungguh Allah Maha Mendengar, Maha
Mengetahui.”

Ayat berikut ini ditujukan kepada Ibrahim, dalam Al-Quran:

“Akan kujadikan kau Imam bagi manusia.’ Ibrahim memohon, ‘Dari


keturunanku juga, jadikan pemimpin-pemimpin.’ Menjawab (Tuhan) dan
berfirman, ‘Janji-Ku tidak berlaku bagi orang yang zalim.” [Al-Baqarah: 124 ]

33
Ayat ini dengan tegas menunjukkan bahwa kepemimpinan itu janji Allah, sedang manusia
tidak mempunyai hak untuk memilih. Kepemimpinan (imamah) adalah hak mutlak dari
Allah Ta’ala.

Allah Ta’ala juga berfirman dalam surah Asy-Syura: 38

“Dan urusan mereka dimusyawarahkan antara sesamanya.”

Ayat ini tidaklah bertentangan dengan ayat yang dikutipkan sebelumnya, karena,
sebagaimana telah dikatakan, apabila telah jelas nas dari suatu masalah, maka tidak
boleh dimusyawarahkan lagi. Perintah Allah serta janji-Nya telah demikian jelasnya,
sehingga kaum muslimin tidak boleh lagi memusyawarahkannya.

Demikian pula pada ayat Al Quran:

“Dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam (segala) urusan” [‘Ali-Imran:


157 ]

Para Ulama sependapat bahwa segala sesuatu dapat dimusyawarahkan, kecuali yang
telah ditentukan Allah dan Rasul-Nya.

Masalahnya sekarang, adakah pengganti Rasul oleh Allah Ta’ala dan Rasul-Nya?
Sekiranya tidak ada, maka masalah yang luar biasa pentingnya ini, yaitu pengangkatan
pemimpin umat pengganti Rasul, harus dilakukan dengan musyawarah.

Akan tetapi!!!

Pada tahun ke-10 dari hijriahnya Rasulullah saw, terdengar gemuruh gema suara
panggilan dan pujian kepada Allah Ta’ala. “Labbaikallahumma labaik, labbaikalaa syarika
laka labbaik.” Terdengar disetiap tempat. Kepulan debu dan suara derap langkah dapat
terlihat dan terdengar dari kejauhan. Rasulullah saw dan ummatnya sedang melakukan
ibadah suci yang diperintahkan Allah Ta’ala. Berbaiat pada ketauhidan dan melepaskan
diri dari kemusyrikan. Mendemonstrasikan Keagungan Tuhan dengan nya mewujudkan
ketaatan.

Hari ke 18 Dzulhijjah pada tahun itu, merupakan hari yang menjadikan kaum musyrikin
berputus asa dari yang mereka cita-citakan. Yaitu terpecah belahnya ummat Islam
sepeninggal pemimpin mereka Muhammad saw. Pada hari itu, Allah Ta’ala mengutus
malaikat Jibril as menyampaikan tugas yang sangat berat kepada Rasul saw.

“Wahai Rasul, sampaikanlah apa yang telah diturunkan Tuhanmu kepadamu. Bila engkau
tidak melakukannya maka engkau tidak menyampaikan Risalah Tuhanmu. Dan Allah akan
menjagamu dari (kejahatan) manusia. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk
kepada kaum yang kafir. ” [ Q.S 5:67 ]

Allah Ta’ala memerintahkan Rasulullah saw untuk mengumumkan pengangkatan


saudaranya Ali bin Abi Thalib as salah seorang dari ahlul baytnya yang telah disucikan
Allah Ta’ala ( Q.S 33:33), sebagai pemimpin ummat sepeninggal beliau. Maka itu disuatu
lembah (Ghadir) yang dinamakan dengan Khum.

Kisah Ghadir Khum!

34
Sabda Rasul : “ Barang siapa yang mengakui saya sebagai maulanya, maka inilah
saudaranya! Ya Allah cintailah siapa yang memperwalikannya dan musuhilah siapa yang
memusuhinya.” ( Musnad Imam Ahmad jilid IV, halaman 370; jilid I halaman 119 )

Dengan kata lain, Ali bin Abi Thalib telah ditunjuk oleh Rasul sebagai penggantinya.
Kuatnya hadith Ghadir khum ini tidak dapat disangkal lagi. Diantara para ahli yang
menguatkan hadith ini adalah: Imam Ahmad ibn Hanbal, Tirmdzi, Nasa’i, Ibnu Maja, Abu
Daud, dan penulis-penulis sunni lain, seperti Ibn Atsir dalam Usdul Ghabah, Ibn Abdil Barr
dalam Isti’ab, Ibn ‘Abdi Rabbih dalam “Iqdul Farid, dan Jahizh dalam Utsmainiyyah. Ibnu
katsir, ulema sunni, menulis tujuh setengah halaman tentang peristiwa ini.

Ayat Al Quran surah 5:67 , ayat yang terkenal dengan nama Ayat Tabligh (sampaikan)
turun dalam peristiwa Ali bin Abi Thalib di Ghadir Khum. As-suyuthi dalam tafsirnya,
mencatat riwayat dari Ibn Mas’ud yang mengatakan: “Pada waktu Rasul masih hidup,
kaum muslimin membaca ayat itu (dengan pengertian) demikian:

“Hai, Rasul! Sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu bahwa ‘Ali
adalah wali mukmin, dan jika tiada kau melakukannya, tiadalah kau menyampaikan
amanatnya. Allah akan melindungi dari orang (berniat jahat). Sesungguhnya Allah tidak
memberi petunjuk orang yang ingkar.” ( Suyuthi ad Durrul Mansur, halaman 289 )

Ghadir Khum, tidak mungkin menolaknya!

Paling sedikit dari 110 sahabat Nabi, 84 tabi’in, 355 Ulama, 25 ahli sejarah, 27 ahli
hadith, 11 musafir, 18 ahli ilmu kalam, 5 ahli bahasa yang merekamnya. Ini ulasan
didapat oleh Husain al Manfuzh, dalam bukunya Tarikh Asy-Syi’ah.

Bukankah sudah jelas kalau pada ayat Tabligh ini, Rasul enggan untuk
menyampaikannya, karena akan mendapat tantangan, tapi Allah Ta’ala mengatakan
dengan tegas:
“....... Bila engkau tidak melakukannya maka engkau tidak menyampaikan Risalah
Tuhanmu. Dan Allah akan menjagamu dari (kejahatan) manusia. Sesungguhnya Allah
tidak memberi petunjuk kepada kaum yang kafir. ” [ Q.S 5:67 ]

Maka itu, Ghadir Khum, tidak mungkin menolaknya!

-------------------------------------------------

Pertemuan Malik dengan


Abu Ja’far Al-Manshur

Riwayat ini disampaikan oleh Ibnu Qutaibah seorang sejarawan terbesar dalam kitabnya
Tarikh khulafa’ adalah bersumber dari Malik sendiri, maka hal ini perlu mendapat
perhatian dan dijadikan materi pelajaran. Malik telah mengatakan, “Ketika saya berada di

35
Mina, saya mendatangi beberapa kemah, dansaya sendiri meminta izin maka saya diberi
izin. Kemudian orang yang memberi izin itu keluar menemuiku dan memasukkanku, saya
berkata padanya, “Jika kamu dan saya telah sampai pada kemah di mana Amirul
Mukminin berada maka beritahukanlah saya .” Lalu ia berjalan bersamaku dari suatu
kemah kekemah lain, dalam setiap kemah terhadap kelompok lelaki yang pada tengah
mereka padang-padang yang terkenal dan tangan-tangan terangkat, sehingga orang itu
mengatakan pada saya, ‘Dia berada di kemah itu, lalu ia meninggalkan saya dan berada
dibelakang saya.

“Kemudian saya berjalan sampai pada kemah yang dia berada di dalamnya, tiba-
tiba ia telah turun dari tempat ia duduk menuju ke hampaaran di bahwahnya dan ia telah
mengenakan pakaian sederhana sekali yang kurang layak bagi orang yang semisalnya
sebagai sikap merendah karena kedatanganku dan tidak ada bersamanya selain sebuah
pemancang yang pada ujungnya sebilah pedang yang tersarungkan. Ketika saya
mendekat padanya, ia mempersilahkan dan mendekatkan saya lalu ia berkata, “Silahkan
mendekat padaku, maka saya berisyarat mau duduk, ia mengatakan, ‘Ke sini! ia
senantiasa memanggilku untuk mendekat, sehingga ia mendudukanku di depannya dan
berhimpitan kedua lututku dengan kedua lututnya.

“Selanjutnya yang pertama kali dia ucapkan ialah, Demi Allah yang tidak ada
Tuhan kecuali Dia, wahai Abu Abdullah! sungguh aku tidak pernah memerintahkan aapa
yang telah terjadi itu dan aku tidak mengetahui sebelum terjadinya serta aku tidak pula
merelakannya (Yakni peristiwa pemukulan).’ Malik berkata, maka saya memuji Allah SWT
pada setiap saat dan saya bersalawat pada Rasulullah saww, kemudian saya
membebaskan dia dari perkara tersebut dan menyatakan kerelaan tentangnya.
Kemudian ia berkata, ‘wahai Abu Abdullah! penduduk Haramain senantiasa dalam
kebaikan selama engkau di belakang mereka, sungguh aku mempercayakan padamu
keamanan bagi mereka dari siksaan Allah dan kemurkaan-Nya dan denganmu Allah SWT
telah menahan mereka dari bencana yang besar. Sesungguhnya mereka itu seperti yang
aku ketahui adalah orang-orang yang paling cepat mendapat bencana dan yang paling
lemah untuk terhindar dari padanya, semoga Allah membinasakan mereka di mana saja
berada. Aku telah memerintahkan untuk menghadapkan musuh Allah SWT itu dari
Madinah dalam keadaan terhina (yakni Ja’far bin Sulaiman) dan aku telah
memerintahkan untuk mempersempit tempat duduknya serta secara terang-terangan
penghinaannya, dan sepatutnyalah aku menimpahkan siksaan padanya yang melebihi
dari apa yang telah engkau terima darinya.

“Maka saya pun menjawab, ‘Semoga Allah SWT memaafkan Amirul Mukminin dan
memuliakan kedudukannya, sungguh saya telah memaafkan dirinya lantaran
kekerabatannya dengan Rasulullah saww, dan denganmu.’ Abu Ja’far al-Manshur berkata,
‘Dan juga engkau semoga diampuni oleh Allah dan didekatkan. ’Malik berkata ‘Kemudian
ia telah membeberkan padaku tentang orang yang telah lalu dari kalangan para
pendahulu, maka saya dapati ia adalah seorang yang paling tahu terhadap perkara yang
mereka sepakati dan yang mereka perselisihkan karena ia bersikap menjaga apa yang
diriwayatkan dan menyadari apa yang didengar.’

“Lalu ia berkata kepadaku, ‘Wahai Abu Aabdullah! Letakkan ilmu ini dan catatlah,
tulislah darinya menjadi beberapa kitab, jauhilah kekerasan Abdullah bin Umar,
peringatan Abdullah bin Abbas dan keasingan Abdullah bin Mas’ud, ambilah jalan
pertengahan dan yang telah disepakati oleh para pemimpin dan sahabat ra, supaya kami
dapat membebani manusia insya Allah dengan ilmumu dan kitab-kitabmu dan kami
kirimkan keseluruh kota-kota serta kami pesankan pada mereka agar mereka tidak
menyimpang darinya dan tidak menentukan hukum dengan selainnya. Saya pun
menyatakan padanya, ‘Semoga Allah memperbaiki keadaan Amirul Mukminin,
sesungguhnya penduduk Iraq tidak mau menerima ilmu kami dan tidak mau
memperhatikan pendapat kami dalam ilmu mereka.’ Maka Abu Ja’far al-Manshur
menjawab, ‘Mereka akan dipaksa dengan dan kami akan memukul kemauan mereka

36
dengan pedang serta memutuskan kekuatan punggung mereka dengan cambuk, maka
segeralah perbuat dan tetapkanlah, anakku Muhammad al-Mahdi akan datang padamu
tahun depan insya Allah di Madinah untuk mendengarnya darimu dan ia akan
mendapatkanmu telah menyelesaikan kitab itu insya Allah.

“Malik berkata, ‘Tatkala kami tengah duduk, tiba-tiba muncul seorang anaknya
yang kecil dari kemah sebelah belakang kemah temapat kami berada, dan ketika anak
kecil itu melihat padaku maka ia ketakutan dan berbalik kebelakang, ia tidak mau maju
ke depan,’ Lalu Abu Ja’far al-Manshur berkata padanya, ‘Majulah wahai sayangku,
sesungguhnya ia ini adalah Abu Abdullah seorang faqih penduduk hijaz, ’kemudian ia
berpaling kepadaku sambil berkata, ‘Hai Abu Abdullah, tahukah engkau mengapa anak
itu takut dan tidak mau ke depan? ‘ Aku menjawab , ‘Tidak!’ Ia berkata, ‘Demi Allah, ia
telah memungkiri kedekatan tempat dudukmu denganku, karena ia belum pernah
melihat hal ini terhadap seseorang selain engkau sendiri, oleh sebab itu ia berbalik.’

“Selanjutnya Malik berkata, ’kemudian ia memerintahkan untuk memberikan


uaang padaku seribu dinar berupa emas dan sebuah baju besar dan memerintahkan
untuk memberi anakku seribu dinar, lalu saya mohon diri dan ia mempersilahkan. Maka
saya pun berdiri dan ia melepasku serta mendoakan untukku. Saya berjalan keluar dan
seorang pelayan menemuiku dengan membawa baju besar lalu meletakkannya pada
bahuku, demikian itulah yang diperbuat terhadap orang yang diberi pakaian jika ia
dimuliakan lalu keluar dengan baju tersebut ke kalangan manusia dan ia membawanya
kemudian menyerahkannya kepada anaknya. Maka tatkala si pembantu itu meletakkan
baju itu pada bahuku saya mengelah darinya karena tidak suka membawanya dan demi
membebaskan diri darinya. Maka Abu Ja’far memanggilnya dengan berkata, ‘Antarkan ke
kendaraan Abu Abdullah!”5

-------------------------------------------------

Puasa Asyura

Beberapa hadis yang dijumpai dalam kitab-kitab Sunni memuat riwayat bahwa Nabi
Saw. ketika hijrah ke Madinah menemukan kaum Yahudi sedang berpuasa pada 10
Muharram. Beliau bertanya kepada mereka apa alasan mereka berpuasa. Mereka
menjawab, “Ini hari kemenangan: hari ketika Tuhan menyelamatkan Bani Israil dari
musuh mereka (yakni Fir’aun). Oleh karenanya, Mûsâ berpuasa pada hari itu.” Nabi Saw.
berkata, “Aku lebih berhak berpuasa daripada kalian.” Oleh karenanya, beliau berpuasa
pada hari itu dan memerintahkan kaum Muslim untuk berbuat sama. (Al-Shahih, al-
Bukharî, Jilid 3, edisi Mesir, hal.54; Misykat al-Masabih, edisi Delhi, 1307 H, hal.172).
Disebutkan oleh pensyarah Misykat al-Masabih bahwa “peristiwa itu terjadi pada tahun
kedua, karena pada tahun pertama, Nabi sampai di Madinah setelah ‘Asyura, di bulan
Rabi’ Al-Awwal.”

Begitu pentingnya puasa pada hari tersebut bisa disimpulkan dari hadis lain yang
diriwayatkan dalam Al-Shahih al-Bukhari: “Nabi Saw. menyuruh seorang laki-laki dari
suku Aslam: ‘Kabarkanlah kepada manusia bahwa barangsiapa yang telah makan harus
berpuasa pada sebagian siang, dan barangsiapa yang belum makan harus berpuasa
(sepanjang hari), karena ini hari ‘Asyura (hari kesepuluh bulan Muharram).”

5
Lihat Tarikh Khulafa’ oleh Ibnu Qutaibah, II, hal.150

37
Pada tahun itu juga puasa Ramadhan diwajibkan dan kewajiban berpuasa pada hari
‘Asyura dihapus [diubah hukumnya, pen.], sebagaimana telah disebutkan dalam hadis-
hadis lain yang diriwayatkan dalam kitab yang sama. Dengan demikian, puasa tersebut
berubah hukumnya menjadi puasa sunnah.

Untuk mengetahui lebih jelas, mari kita lihat hadis-hadis berikut.

Pertama, kaum Yahudi mempunyai penanggalan dan bulan tersendiri. Tidak logis
mengatakan bahwa mereka berpuasa pada 10 Muharram — kecuali jika itu bisa
dibuktikan bahwa tanggal tersebut selalu bersamaan dengan hari puasanya Yahudi.

Saya telah menyebutkan hal ini dalam artikel berjudul “Martyrdom of Imam Husayn and
the Muslim and the Jewish Calendars” (al-Serat, Jilid 6, No. 3 -4, Muharram 1401
November 1980) bahwa bulan pertama kaum Yahudi (Abib, belakangan dinamai Nisan)
bersamaan dengan bulan Rajab pada bangsa Arab. W.O.E. Oesterley dan Theodore H.
Robinson telah menulis bahwa di Arabia “perayaan bulan baru yang paling penting jatuh
pada bulan Rajab (sic), yang bertepatan dengan bulan Abib kaum Yahudi, karena bulan
itu masa ketika bangsa Arab kuno merayakan festival musim semi.” (Hebrew Religion,
SPCK, London, 1955, hal.128).

Mungkin saja, pada zaman dulu dua cabang keturunan Nabi Ibrahim as. mempunyai
sistem penanggalan yang sama dengan penambahan satu bulan tujuh kali setiap 19
tahun. Dan, dengan cara yang sama bulan ketujuh kaum Yahudi, Tishri I, bertepatan
dengan bulan Muharram. Sedangkan hari kesepuluh (‘Asyura) Muharram berbarengan
dengan 10 Tishri I, Hari Pengampunan bangsa Yahudi — yakni hari puasa mereka. Dalam
artikel tersebut, dikatakan bahwa dua penanggalan tersebut kehilangan sinkronisasinya
ketika Islam, dalam tahun ke-9 Hijrah, tidak membolehkan penanggalan. Namun pada
konsiderasi yang lebih dalam, hal itu terjadi kesamaan sejak lama sebelum kemunculan
Islam, karena bangsa Arab tidak mengikuti kalkulasi matematik apapun dalam
penanggalan mereka. Itulah mengapa Muharram pada tahun ke-2 Hijrah berawal pada 5
Juli 623 (al-Munjid, edisi ke-21), bulan-bulan sebelum Tishri I (yang selalu bertepatan
dengan September-Oktober).

Pendek kata, ‘Asyura Muharram pada tahun itu (atau untuk masalah tersebut, selama
keseluruhan hidup Nabi di Madinah) tidak memiliki signifikansi apapun dengan kaum
Yahudi.

Pertanyaannya adalah: Mengapa mereka berpuasa pada hari tersebut?

Kedua, literatur Midrashic kaum Yahudi ihwal hari ke-10 bulan ke-7 (Yom Hakippurim —
Hari Pengampunan) berkaitan dengan peristiwa pengambilan lembar-lembar Perjanjian
dari Gunung Sinai, sebagaimana yang telah ditulis Dr Mishael Maswari-Caspi dalam
suratnya, mengutip pada artikel saya sebelumnya, yang disebutkan di muka.

Pertanyaan: Jika kaum Yahudi ingin tetap menyesuaikan bulan Tishri dengan Muharram,
bagaimana mereka bisa lupa meriwayatkan hadis ini dari Nabi?

Ketiga, bulan yang di dalamnya Tuhan menyelamatkan Bani Israil dari Fir’aun adalah Abib
(yakni Rajab), sebagaimana disebutkan Injil dengan jelas: “Perhatikanlah bulan Abib,
tetaplah pada jalur Allah Tuhanmu; karena pada bulan Abib Allah Tuhanmu mengeluarkan
kalian dari Mesir pada malam hari.” (Deut., 16:1).

Pertanyaan: Bagaimana kaum Yahudi bisa mengubah sebuah peristiwa Abib (yang
semula bertepatan dengan Rajab) ke Muharram, dengan penyangkalan terang-terangan
terhadap Taurat mereka?

38
Dan terakhir, di sini ada satu noktah untuk menilai kaum Muslim: Nabi Saw. diutus
dengan sebuah agama untuk menghapus semua agama dan syariat sebelumnya.
Bagaimana bisa beliau merendahkan martabat dengan meniru kebiasaan kaum Yahudi?

Adalah jelas dari fakta yang disebutkan di atas bahwa kaum Yahudi tidak mempunyai
alasan sama sekali untuk berpuasa pada ‘Asyura Muharram pada periode tersebut; dan
kisah ini yang terbangun pada premis tersebut, adalah sekadar fiksi. Dengan gamblang,
peristiwa itu direkayasa oleh periwayat yang hanya tahu bahwa pada suatu ketika di
bulan Muharram bertepatan dengan Tishri I-nya kaum Yahudi; namun tidak menyadari
sepenuhnya agama dan kebudayaan kaum Yahudi kontemporer.

Orang merasa enggan menyebutkan hal ini di sini dan hadis-hadis sejenisnya diciptakan
oleh para pengikut Bani Umayyah, setelah kesyahidan Imam Husain, sebagai bagian
kampanye mereka untuk mengubah hari 10 Muharram sebagai hari bersuka cita. Hadis-
hadis ini dari genre yang sama karena hadis-hadis itu menyatakan bahwa berbagai
peristiwa muncul pada 10 Muharram seperti di mana perahu Nabi Nuh as. terdampar di
Gunung Arafat, api menjadi dingin dan aman bagi Nabi Ibrahim as., dan Nabi Isa diangkat
ke langit. Dalam kategori yang sama muncul hadis-hadis yang mendorong kaum Muslim
untuk menjadikan ‘Asyura sebagai hari suka cita, dan sebagian makanan yang disimpan
pada hari tersebut akan menambah berkah dan mendatangkan rahmat Allah bagi
penghuni rumah.

-------------------------------------------------

Rezeki Burung

Syaqiq al-Balkhisalah, sufi yang saleh, pergi berdagang. Di jalan, ia melihat burung yang
lumpuh dan buta. Ia berpikir bagaimana burung itu dapat bertahan hidup. Seketika itu
pula datang burung lain membawa makanan untuknya. Akhirnya, sang sufi
mengurungkan niat berniaga dengan anggapan burung saja ada jaminan rezekinya
apalagi manusia.

Kepulangan Syaqiq menimbulkan tanda tanya Ibrahim bin Adham yang juga seorang sufi
besar. Mendengar penjelasan Syaqiq, Ibrahim berkata, ''Aneh, kau Syaqiq! Mengapa yang
kaucontoh burung yang buta dan lumpuh, bukan burung lainnya yang suka memberi
makan burung lumpuh itu?''

Syaqiq tersadar bahwa ''tangan di atas'' lebih mulia daripada ''tangan di bawah''.
Memberi sadaqah atau infak adalah tanda kemuliaan, sementara meminta-minta hanya
membawa kehinaan.

Untuk menghindari sikap meminta-minta, tidak ada cara lain selain bekerja. Sudah
seharusnya kita juga bisa ''terbang'' menemukan jatah rezeki seperti burung kedua itu.
Menjemput rezeki yang telah disediakan Allah seoptimal mungkin adalah tugas kita.

39
Selama ini, bangsa Indonesia terlalu dimanja dengan segala potensi kekayaan alam,
namun telah lama dijarah. Tanpa sadar negeri ini hanya menjadi tempat pemodal asing
mengeruk kekayaan. Mereka menyisakan beban utang yang sangat besar. Rakyat dalam
keadaan miskin. Hampir di setiap sudut kota kita dapat menjumpai orang yang meminta-
minta, mulai dari pengemis hingga pemalak uang recehan, bahkan peminta sumbangan
untuk pembangunan rumah ibadah.

Fenomena yang memprihatinkan ini setidaknya mengetuk kesadaran kita semua untuk
tidak hidup bermalas-malasan dalam kebodohan. Kita yang memiliki segala potensi
kekayaan alam tidak selayaknya hanya menerima upah minimum, atau merasa senang
dengan pinjaman utang baru tanpa kemampuan membayar. Itu sama saja dengan
menggiring bangsa ini dalam lumpur kehinaan.

Saatnya kini kita membangun kembali kehormatan bangsa dengan bekerja secara
optimal. Tidak hanya tenaga, tetapi pikiran dan hati pun turut bekerja. Terbanglah seperti
burung yang memberi makan kepada burung yang lumpuh dan buta. ''Dialah yang
menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, maka berjalanlah di segala penjurunya dan
makanlah sebagian dari rezeki-Nya...'' demikian Allah memerintahkan kita dalam QS Al-
Mulk:15).

-------------------------------------------------

Syahadah
Kematian Nan Agung

Kesyahidan adalah kematian seseorang yang, meskipun menyadari sepenuhnya resiko


yang ditimbulkan, bersedia menghadapinya demi satu tujuan suci, atau, sebagaimana
dikatakan dalam al-Qur'an, di jalan Allah. Kesyahidan mempunyai dua unsur utama :

a) nyawa yang dikorbankan untuk suatu tujuan, dan

b) pengorbanan itu diberikan dengan kesadaran.

Masalah kesyahidan biasanya berhubungan dengan sisi kejahatan, dan sepanjang


menyangkut korbannya, kematiannnya adalah suci. Tetapi yang menyangkut
pembunuhnya, tindakannya itu merupakan kejahatan yang amat keji. Kebanyakan orang
meratapi Imam Husain as karena kesuciannya, (Imam tidak bersalah). Karena Imam
menjadi korban keegoisan orang yang haus kuasa. Yang menumpahkan darah Imam
tanpa disebabkan suatu kesalahan. Seandainya memang demikian sederhana, Imam
Husain tentu hanya akan dianggap sebagai seorang tak berdosa yang menjadi korban
perlakuan yang sangat tidak adil. Tak dapat disebut seorang syahid. Apalagi penghulu
para syuhada.

40
Persoalannya ialah Imam Husain as bukan sekedar korban tujuan-tujuan egois.
Pelaku-pelaku tragedi itu memang telah melakukan kejahatan karena keegoisan mereka.
Tetapi Imam dengan penuh kesadaran memberikan pengorbanan yang paling luhur.
Musuh- musuh Imam menghendaki Imam menyerah, tetapi karena menyadari
sepenuhnya akan akibatnya, Imam memilih melawan tuntutan mereka.

Imam Husain menganggap bahwa berdiam diri pada masa yang genting itu
merupakan dosa besar. Sejarah kesyahidannya, dan terutama penyataan- pernyataanya
menjadi saksi atas fakta ini.

Ketika Imam Husain memutuskan berangkat ke Kufah, beberapa anggota keluarganya


berusaha mencegahnya. Alasan mereka, tindakan Imam tidak logis. Mereka benar,
menurut jalan pikiran mereka sendiri. Keputusan Imam tidak sesuai dengan logika
mereka. Logika yang hanya mampu menjangkau dunia. Tetapi Imam Husain as
mempunyai logika yang lebih tinggi. Logika lmam adalah logika seorang syahid yang
jangkauannya tidak dapat dimengerti orang awam.

Abdullah Ibn Abbas bukanlah orang kecil. Muhammad Ibn Hanafiyyah bukan orang biasa.
Tetapi logika mereka didasarkan pada kepentingan-kepentingan pribadi dan keuntungan
politis. Dari sisi pandang mereka, tindakan Imam Husain as tidak bijaksana sama sekali.
Ibn Abbas mengajukan usulan yang sangat politis. la berkata kepada Imam Husain as,
"Penduduk Kufah berkirim surat memberitahu bahwa mereka siap berjuang demi
tujuanmu. Sebaiknya engkau membalasnya dan meminta mereka menyingkirkan

para pejabat pemerintah Yazid dari sana. Mereka akan menerima atau menolak usulmu.
Bila mereka melaksanakannya, engkau dapat pergi ke sana dengan aman. Bila mereka
tidak mampu melakukannya, tidak akan mempengaruhi posisimu.

Imam tidak mendengarkan nasihat itu. Imam menjelaskan bahwa ia telah memutuskan
untuk maju. Ibn Abbas berkata:

"Engkau akan terbunuh."

"Engkau akan terbunuh."

"Lalu kenapa ?" kata Imam.

"Orang yang pergi dan tahu bahwa ia bakal terbunuh tidak akan mengajak istri dan anak-
anaknya," tambah Ibn Abbas.

"Tapi aku harus mengajak mereka," tegas Imam.

Logika seorang syahid adalah unik, tak dapat dimengerti orang awam. ltulah sebabnya
kata syahid dilingkari pusaran cahaya kesucian. Kata itu menduduki tempat yang luar
biasa dalam kosa kata su atau pembaharu. Kata syahid tidak dapat diganti dengan kata
lain.

Darah Syuhada

Apakah yang dilakukan seorang syahid? Manfaatnya tidak hanya sebatas


melawan musuh, dan dalam prosesnya, memberi pukulan pada musuh atau terkena
pukulan musuh. Bila itu masalahnya, dapat kita katakan bahwa darahnya akan sia-sia.
Tetapi darah syuhada tidak pernah sia-sia. Darah itu tidak mengalir di atas tanah. Setiap
tetesan darah berubah menjadi ratusan dan ribuan tetes, bahkan menjadi berton-ton
darah, dan ditranfusikan ke dalam tubuh masyarakat. ltulah sebabnya Rasul yang suci
bersabda, " Allah tidak menyukai tetesan apa pun melebihi tetesan darah yang tercecer
di jalan-Nya." Kesyahidan berarti tranfusi darah ke dalam tubuh masyarakat, terutama

41
masyarakat yang menderita anemia. Para syuhadalah yang menginfuskan darah segar
ke dalam nadi masyarakat.

Keberanian dan Semangat Syuhada

Karakteristik khas seorang syahid adalah bahwa ia mengisi suasana dengan


penuh semangat dan keberanian. la menghidupkan semangat keberanian dan kegigihan,
kesatria, dan terutama semangat ilahiah, di antara orang-orang yang telah kehilangan
semua itu. ltulah sebabnya Islam selalu membutuhkan para syuhada. Penghidupan
kembali keberanian dan semangat sangatlah penting bagi kebangkitan suatu bangsa.

Imam Husain berkata, "Kakekku memberitahuku bahwa aku ditakdirkan mencapai


kedudukan spiritual yang sangat tinggi, tetapi tak dapat diraih kecuali dengan
kesyahidan."

Dengan demikian dapat dipastikan bahwa kesyahidan sebenarnya merupakan


peristiwa bahagia. Bukan peristiwa duka. ltulah sebabnya, seorang ulama besar, Ibn
Tawus, berkata, "Seandainya kita tidak diperintahkan untuk berduka cita, saya memilih
merayakan hari-hari kesyahidan dengan pesta."

Ajaran moral yang harus kita petik dari kesyahidan adalah bahwa kita tidak boleh
membiarkan keadaan serupa terjadi di masa mendatang. Gagasan duka cita adalah
untuk memproyeksikan tragedi tersebut sebagai suatu peristiwa yang seharusnya tidak
terjadi. Berbagai emosi diungkapkan untuk mengutuk penjahat-penjahat pelaku
penindasan dan para pembunuh syuhada, dengan maksud untuk mencegah warga
masyarakat meniru kejahatan-kejahatan semacam itu. Dengan demikian kita tahu bahwa
tak seorang pun yang terdidik dalam ajaran yang meratapi Imam Husain as
menginginkan kemiripan terkecil sekalipun dari Yazid, Ziyad atau yang serupa
dengannya.

Ajaran moral lainnya yang mesti ditarik masyarakat adalah bahwa kapan saja muncul
situasi yang menuntut pengorbanan, rakyat harus mempunyai perasaan-perasaan
seorang syahid dan bersedia mengikuti teladan kepahlawanannya.

Dalam dunia modern ini, adalah merupakan kebiasaan umum untuk mempersembahkan
satu hari

setiap tahun kepada kelompok atau golongan tertentu untuk menghormati mereka.
Misalnya Hari Ibu atau Hari Guru. Tetapi tidak ada hari yang dipersembahkan , rakyat
untuk para syuhada kecuali oleh orang-orang Muslim. Hari itu adalah hari Asyura, yang
jatuh pada tanggal 10 Muharram. Malamnya dianggap sebagai malam syahid.

Kedudukan Syuhada

Dikisahkan oleh penulis Perang Karbala bahwa : pada malam 10 Muharam, Imam Husein
as mengirim putranya bersama rombongan kecil untuk mengambil air. Misi ini berhasil
dilaksanakan. Semua minum air yang dibawanya. Kemudian Imam Husain as menyuruh
mereka mandi dan membersihkan diri. Imam memberitahu mereka bahwa ini adalah
persediaan air terakhir yang dapat mereka peroleh. Bagaimanapun halnya, Imam
mengumpulkan segenap sahabatnya dan mengizinkan siapa pun untuk pergi
meninggalkannya, jika mereka menghendaki. Imam menyampaikan khotbah yang
mengesankan dan penuh dorongan, di mana beliau merujuk peristiwa yang bakal terjadi
di siang harinya.

Anda pasti telah mendengar bahwa musuh telah ultimatum terakhimya pada
malam 9 Muharram. Berdasarkan itu Imam membuat keputusan terakhir menjelang pagi
hari tanggal 10 Muharram. Imam Zainal Abidin yang hadir pada kesempatan itu,

42
mengisahkan bahwa Imam Husain as. mengumpulkan para sahabatnya di tenda yang
bersebelahan dengan tempat Imam Zainal Abidin tidur. Imam Husain berkata, "Segala
puji bagi Allah. Aku bersyukur kepada-Nya dalam segala keadaan, yang menyenangkan
atau yang sebaliknya." Bagi orang yang melangkah menuju kebenaran dan keadilan,
semua yang bakal terjadi pasti baik. Orang yang takwa dengan sadar melaksanakan
kewajiban dalam segala keadaan, tak peduli apa pun konsekuensinya.

Berkaitan dengan ini, Imam Husain as memberi jawaban sangat menarik kepada
Farazdaq, penyair kenamaan, ketika berjumpa dengannya dalam perjalanan menuju
Karbala. Farazdaq menjelaskan situasi berbahaya di Iraq. Imam menjawab, "Bila
segalanya berjalan sebagaimana yang kita kehendaki, kami bersyukur kehadirat Allah
dan memohon pertolongan-Nya untuk bersyukur kepada-Nya. Tetapi bila terjadi yang
tidak menguntungkan, kami tidak rugi, karena maksud kami baik dan kata hati nurani
kami jelas. Jadi apa pun yang bakal terjadi pasti baik, bukan buruk. Aku bersyukur
kepada-Nya dalam segala keadaan, yang menyenangkan atau sebaliknya."

Yang Imam maksud adalah bahwa Imam telah melihat hari-hari menyenangkan
dan hari-hari tidak menyenangkan dalam hidupanya. Masa menyenangkannya adalah
ketika kanak-kanak dan duduk dalam pangkuan Nabi atau saat Imam menunggang di
punggung Nabi. Ada masa ketika ia menjadi bocah kesayangan kaum Muslimin. Imam
sangat bersyukur pada Allah atas hari-hari itu. Imam juga bersyukur kehadirat Allah atas
kesukaran- kesukaran yang terjadi saat ini juga. Karena semua yang terjadi adalah baik
baginya. Imam bersyukur pada Allah telah memilih keluarganya mengemban tugas suci,
menjadikan mereka mampu memahami Kitab Suci Al-Qur'an sepenuhnya, dan
mempunyai wawasan yang benar tentang agama Islam.

Setelah menyatakan itu, Imam menyampaikan pernyataan historis mengenai


para sahabat dan anggota keluarganya. Imam Husain berkata, "Saya tidak mengenal
sahabat siapa pun yang lebih baik atau lebih setia dari sahabat saya sendiri, dan tidak
menyampaikan pemah ada keluarga yang lebih taat dan patuh, dari pada keluargaku
sendiri."

Jadi, Imam Husain memberi para sahabatnya status yang lebih tinggi dari status para
sahabat Rasulullah yang syahid pada peperangan bersama Rasulullah, dan lebih tinggi
dari status para sahabat ayahnya, Imam Ali as, yang syahid pada perang Jamal, Sifin dan
Nahrawan. Imam berkata bahwa ia tidak pemah tahu keluarga siapa pun yang lebih luhur
dan lebih patuh dari pada keluarganya sendiri. Demikianlah, Imam memberikan
pengakuan pada kedudukan tinggi mereka dan mengucapkan terima kasihnya kepada
mereka. Selanjutnya Imam berkata, "Saudara-saudara! Akan kuberitahu kalian
semuanya, sahabat, dan keluargaku, bahwa orang-orang ini tidak punya urusan dengan
siapa pun kecuali aku. Mereka menganggapku sebagai satu-satunya musuh mereka.
Mereka menghendaki agar aku menyerah. Sekarang Aku bebaskan kalian dari janji
kalian. Kalian tidak harus tinggal di sini. Kalian tidak dipaksa oleh kawan atau lawan.
Kalian bebas sepenuhnya. Siapa saja yang hendak pergi, boleh pergi." Kemudian kepada
para sahabat Imam berkata, "Hendaklah kalian masing- masing menggandeng tangan
salah seorang keluargaku dan pergilah."

Anggota keluarga Imam Husain as, dewasa dan anak-anak semuanya


bergabung.Terlebih-lebih mereka semua asing di sana. Imam tidak menghendaki mereka
semua pergi bersama-sama. Karena itu Imam meminta masing-masing sahabatnya untuk
menggandeng seorang di antara mereka dan meninggalkan medan pertempuran.

Peristiwa ini memancarkan kepribadian luhur para sahabat Imam. Mereka tidak dipaksa
pihak mana pun. Musuh tidak mempunyai kepentingan langsung dengan mereka. Imam
telah membebaskan mereka dari kewajibannya. Dalam keadaan ini, jawaban yang
menghangatkan hati disampaikan setiap sahabat dan anggota keluarga Imam. Sungguh
luar biasa.

43
Peristiwa yang Melegakan

Tanggal 10 Muharram dan malam hari sebelumnya merupakan saat yang sangat
melegakan hati Imam karena menyaksikan segenap kerabat, dari yang paling kecil
hingga yang lanjut usia, mengikuti jejaknya. Kelegaan lain yang dirasakan Imam Husain
adalah kenyataan bahwa tak seorang pun sahabatnya menampakkan tanda kelemahan.
Tak seorang pun berbalik bergabung dengan musuh. Sebaliknya, mereka berhasil
menginsafkan sejumlah tentara yang memusuhinya hingga berpihak pada mereka.
Orang- orang itu bergabung dengan mereka saat hari Asyura dan malam sebelumnya.
Salah seorang diantaranya adalah Hur bin Yazid. Sejumlah 30 orang bergabung
dengannya sepanjang malam Asyura. Ini merupakan peristiwa yang melegakan Imam.

Seorang demi seorang sahabat Imam Husain berkata padanya, "Junjungan kami!
Engkau mengizinkan kami pergi, tapi harus meninggalkanmu sendiri? Itu tak mungkin.
Hidup tiada nilainya dibanding dengan diri Yang Mulia." Seorang di antara mereka
berkata, “Andai kata saya dibunuh, tubuhku di bakar dan abunya berceceran, sampai
tujuh puluh kali, itu belum ada artinya sama sekali dibanding Engkau.”

Yang pertama berbicara malam itu adalah saudaranya Abu al-Fadhl al-Abbas.
Sahabat-sahabat lainnya mengulangi apa yang dikatakannya.

Ini adalah ujian terakhir buat mereka. Setelah mereka semua mengumumkan
keputusan mereka, Imam Husain as mengungkapkan apa yang bakal terjadi esok. Imam
mengatakan, “Saya beritahu bahwa kalian semua bakal syahid besok.” Mereka bersyukur
ke hadirat Allah karena diberi kesempatan untuk mengorbankan hidupnya demi
keturunan Rasul yang suci.

Di sini, ada tauladan baik untuk dicamkan. Seandainya ini bukan masalah logika
seorang syuhada, pembelaan mereka akan sia-sia. Bila memang Imam Husain harus
wafat, untuk apa lagi pejuang-pejuang itu mengorbankan nyawa mereka. Imam Husain
as tidak mendorong mereka untuk pergi meninggalkannya. Imam tidak pernah
mengatakan bahwa kesediaan mereka bertahan tidak berguna. Imam juga tidak pernah
menyatakan kehilangan nyawa mereka sia-sia. Seandainya demikian, pertahanan
mereka tidak dapat dibenarkan. Imam Husain tidak berkata seperti itu. Sebaliknya Imam
menyambut kesiapan mereka untuk , memberikan pengorbanan tertinggi. Hal ini
menggambarkan bahwa logika seorang syuhada berbeda dengan logika orang lain.
Seorang syuhada sering mengorbankan hidupnya untuk mengobarkan semangat juang,
untuk menyinari masyarakat, untuk menghidupkannya kembali dan untuk memasukkan
darah segar ke dalam tubuhnya. Salah satu contohnya adalah peristiwa ini.

Menaklukkan musuh bukanlah satu-satunya tujuan kesyahidan. Kesyahidan juga


bertujuan mengobarkan semangat. Seandainya sahabat, sahabat Imam Husain as tidak
mengorbankan nyawa mereka saat itu, bagaimana mungkin telah demikian banyak
semangat berkobar-kobar dibangkitkan? Meskipun Imam Husein merupakan tokoh utama
dalam peristiwa kesyahidan ini, tetapi para sahabatnya telah menambah gairah,
keagungan semua dan keluhuran peristiwa itu. Tanpa sumbangan mereka, Imam Husain
boleh jadi tidak akan dapat menjadikan peristiwa itu demikian penting, hingga
menggerakkan, mendidik dan mendorong ummat selama ratusan, bahkan ribuan tahun.

-------------------------------------------------

Anti AS yang Tak Kunjung Padam

44
Republika - Minggu, 17 Februari 2002
23 Tahun Revolusi Islam Iran

'Nanti Anda akan berjumpa dengan banyak perempuan lain. Mereka boleh jadi sangat
miskin, tapi mereka sangat mencintai revolusi,'' kata Leila Rokn Abadi, salah seorang
penerjemah dalam acara Pertemuan Perempuan Pengikut Ahl-ul-Bayt Sedunia yang
diselenggarakan di Teheran, 24-25 Januari lalu.

Ketika itu, beberapa peserta pertemuan tengah menanti bus yang akan membawa
mereka ke Universitas Teheran, untuk mengikuti shalat Jumat. Jadwal pertemuan begitu
ketat, sehingga semua peserta yang jumlahnya 250 orang dan berasal dari 58 negara
menghadiri shalat jamaah yang menurut Islam Syiah hukumnya sunah selama masa
gaibnya Imam Mahdi ini. Jadilah hanya sekitar sepuluh orang yang berangkat.

Bagi peserta yang baru pertama kali ikut, ini adalah kesempatan langka. Selain karena
berkunjung ke Iran tak bisa dilakukan setiap saat, shalat Jumat di Iran pun tidak
dilakukan di setiap masjid. Hanya satu tempat di setiap kota yang
menyelenggarakannya.

Untuk Ibukota Teheran, tempat shalat ya di Universitas Teheran. Setelah melalui


pemeriksaan ketat, rombongan dipersilakan masuk ke area shalat khusus perempuan.
Kecuali kain shalat, tak ada barang yang boleh dibawa. Kamera dan tas tangan pun harus
ditinggal di dalam bus.
Meski tak memahami Bahasa Persia --yang digunakan sebagai bahasa khutbah, seorang
peserta tetap saja mengikuti shalat Jumat itu. Di dalam rombongan, ada tiga perempuan
asal Indonesia yang saat ini sedang menuntut ilmu di hawzah (madrasah) di Qom, salah
satu kota suci muslim Syiah. Mereka berjanji akan meringkaskan materi khutbah usai
shalat untuk peserta yang mengaku tak memahami Bahas Persia itu.

Khutbah pertama, berisikan pesan-pesan akhlak, berlalu dengan tenang. Tapi khutbah
kedua, suasananya lebih hidup. Peserta yang tak memahami Bahasa Persia itu mengaku
hanya dapat menangkap tiga kata yang telontar: Amerika, Israel, dan zionisme. Satu lagi
yang samar-samar adalah kata rezim. Tapi rasa-rasanya ketiga kata itu cukup
menjelaskan sambutan bersemangat yang ditunjukkan oleh para jamaah.
Benar saja. Khutbah kedua memang umumnya bertemakan politik.

Hujatan kepada Amerika dan Israel disambut dengan yel-yel penuh semangat dari para
jamaah. Termasuk jamaah perempuan. Tapi sanjungan kepada Ayatullah Khomeini pun
tak kurang semangatnya. Beberapa perempuan tertunduk sambil memejamkan mata.
Mungkin mencoba menghadirkan sosok terpenting pada Revolusi Islam 23 tahun lalu itu
dalam benaknya. Sementara yang lainnya menyerukan ''Khomeini Rahbar'' dengan suara
melengking sambil mengepalkan tangan. Ketika itulah, dapat disaksikan apa yang
dikatakan oleh khanum Leila: kecintaan mendalam orang terhadap Revolusi Islam.

Tahun ini rakyat Iran memperingati ulang tahun ke-23 revolusi tanpa darah yang
membalikkan sejarah Iran. Crane Brinton, penulis buku An Anatomy of a Revolution
menyebutkan beberapa kondisi yang berujung pada terjungkalnya Shah Reza Pahlavi dari
tahta meraknya pada 1978.

Salah satunya adalah besarnya perbedaan pendapatan di antara kelompok kelas yang
berbeda di Iran. Kelas elite yang terdiri dari para tuan tanah kaya, kaum terpelajar,
perwira militer, politisi, dan kalangan diplomat dikenal dekat dengan Shah dan
merupakan pendukung monarki yang utama.

45
Masyarakat Iran pada periode 1960-an hingga 1970-an awal adalah gambaran
masyarakat Barat yang makmur. Tingkat pendapatan per kapita yang tinggi ditunjukkan
oleh gaya hidup dugem alias dunia gemerlap.

Di sisi lain ada masyarakat petani yang harapan-harapan politiknya tak terpenuhi. Situasi
itu diperburuk lagi dengan aksi-aksi dinas kepolisian rahasia serta perubahan sosial-
ekonomi yang dibawa oleh modernisasi.
Kelas menengah yang terdiri dari mahasiswa, teknokrat serta kalangan profesional-
modernis, seperti lazimnya, adalah kelompok yang paling bisa diharapkan untuk
membawa masyarakat yang termarjinalisasi keluar dari kesuntukan tersebut. Kelompok
ini di satu sisi berbagi privilege dengan kelompok elite dan berusaha
mempertahankannya. Namun, di sisi lain, mereka juga merasa dibohongi oleh kelompok
elite dalam hal pembagian keuntungan dari sektor industri.

Ketidakpuasan yang dirasakan kelas menengah sepanjang dekade 1970-an itu ditandai
pula oleh desersi sejumlah besar kaum intelektual Iran. Salah satunya adalah Ayatullah
Ruhullah Khomeini, yang mewakili kekecewaan kalangan religius. Keterusterangannya
melawan pemerintahan otokratik Shah menyebabkan Khomeini dibuang ke Turki pada
1963.

Pada 1965 Imam Khomeini pindah ke Irak. Di negara jiran ini ia menjadi juru bicara yang
lantang bagi para penentang Shah di luar negeri. Pada 6 Oktober 1978, karena aktivitas
politiknya yang dianggap kian membahayakan, Khomeini disingkirkan ke Paris, Prancis.
Tapi, justru di kota cantik ini hubungannya dengan kelompok-kelompok oposisi yang lebih
luas dan pers asing terjalin dengan lebih kokoh. Secara terbuka ia pun mulai
mengungkapkan niatnya untuk menjatuhkan Shah dan menegakkan nilai-nilai
keagamaan dan tradisional Iran. Selain itu, Khomeini juga berbicara mengenai
pentingnya menggantikan skema industri besar - yang selama ini dipakai sebagai basis
untuk membangun perekonomian Iran - dengan skema perekonomian yang lebih
berorientasi pada rakyat kecil.

Sepanjang dekade 1970-an tersebut popularitas Imam Khomeini terus memuncak. Ia pun
menjadi simbol bagi gerakan oposisi menentang tirani Shah. Popularitas tersebut, pada
saat yang sama, juga menjadi pupuk yang menyuburkan banyak kelompok religius.
Termasuk meningkatkan status sosial mereka.

Kenyataan ini menjadi tantangan sangat serius untuk Shah. Meskipun AS setia di
belakangnya, kekuasaan Shah semakin lama semakin lemah. Gelombang oposisi
semakin membesar setelah 1975, yakni setelah pembentukan Rastakhiz, sebuah partai
politik resmi, serta pelarangan partai-partai politik oposisi. Kejengkelan kalangan oposisi
juga disulut oleh kenyataan bahwa keuntungan dari minyak digunakan untuk membeli
persenjataan dan membiayai industri yang hanya menguntungkan sekelompok kecil
masyarakat.

Setelah aksi-aksi yang sinambung menentangnya, pada akhir 1978 Shah sampai pada
kesimpulan bahwa tekanan militeristik yang dipakainya untuk menekan para
penentangnya tak lagi bertaji untuk melanggengkan tahtanya. Puncaknya, pada 10
Desember 1978, delapan juta rakyat Iran turun ke jalan untuk mengungkapkan
penolakan mereka terhadap Shah. Turut serta dalam barisan itu adalah seperlima
pegawai pemerintahan.

Kali ini aksi sangat masif itu berjalan damai, meski sebelumnya sudah ribuan nyawa
rakyat Iran sudah melayang akibat tindakan keras penguasa. Poster-poster dan slogan
yang diteriakkan jelas menunjukkan aspirasi religius dan politik yang kental dari
kalangan yang sekian lama terpinggirkan. Dan jika tadinya cuma meriang, maka
sekarang Shah benar-benar ''demam''. Ia tahu bahwa dengan cara apa pun revolusi tak

46
lagi bisa dibendung. Akhirnya pada 16 Januari 1979 Shah Iran meninggalkan Teheran
untuk sebuah ''liburan panjang''.

Tanggal 1 April 1979, setelah hasil referendum menunjukkan kemenangan berpihak pada
oposisi, Imam Khomeini mendeklarasikan Iran sebagai sebuah republik Islam. Konstitusi
negara merefleksikan gagasan Khomeini mengenai sebuah negara Islam. Hijab atau
chador diwajibkan bagi kaum perempuan. Musik Barat dan alkohol dilarang. Dan mereka
yang dulu berada di pihak Shah pun dijatuhi hukuman mati.

Kini, 23 tahun kemudian, wajah keras Iran perlahan mulai melunak. Chador masih dipakai
oleh sebagian perempuan Iran ketika mereka keluar rumah. Namun sebagian lagi lebih
suka memakai tunik panjang dan longgar dan memperlihatkan sedikit rambut di atas
dahi. Di sebuah hotel di Teheran bahkan tamu bisa melihat beberapa perempuan Iran
berdandan penuh gaya: kerudung tipis, dan memakai rok setengah betis dan sepatu bot
kulit. Satu-dua dari mereka pun tak sungkan merokok di dalam restoran hotel, sementara
chador mereka sampirkan di kursi.

Supir taksi yang membawa rombongan ke Qom pun bercerita bahwa saat ini
pemerintahan Presiden Khatami sedang direpotkan oleh berbagai kasus korupsi di
kabinetnya. ''Presiden sendiri 'bersih', tapi dia harus berusaha meras membersihkan
anak buahnya,'' kata sopir tadi.

Cerita lain yang cukup mengagetkan datang dari seorang mahasiswi di Qom. Menurut
dia, meski Qom dikenal sebagai kota suci dan pusat pendidikan, narkotika beredar cukup
luas di kota itu. ''Bahkan di seputar Haram ini,'' katanya sambil menunjuk masjid dan
musoleum Hazrat Fathima binti Imam Musa Kadzim as, saudara perempuan Imam Ali
Ridha as atau imam kedelapan muslim Syiah. ''Sudah 20 ribu lebih tentara Iran syahid
dalam perang melawan bandar narkotika,'' lanjutnya.

Pada saat yang sama, hubungan Iran dengan AS yang sejak 1979 memang merosot
tajam kini memburuk lagi gara-gara tudingan Presiden George Walker Bush yang
menyebut Iran - bersama Irak dan Korea Utara - sebagai the axis-evil. Padahal selama
heboh peristiwa 11 September lalu Iran termasuk negara Islam yang cukup cantik
bermain dengan tidak memberikan dukungan terhadap Usamah bin Ladin.
Tapi di sisi lain, tampaknya tudingan Amerika itu justru akan mempertebal kebenciaan
rakyat Iran terhadap musuh utama mereka sembari memupuk terus kecintaan terhadap
revolusi. Apa pun yang sedang mereka hadapi di dalam negerinya.

Kronologi Revolusi Islam Iran :

6 Juni 1963: Pemberlakuan hukum militer diterapkan untuk mengatasi berbagai


kerusuhan yang marak menyusul penahanan Ayatullah Ruhullah Khomeini.

16 Januari 1979: Shah Iran melarikan diri dari negara yang dipimpinnya sejak 1941,
setelah ia gagal meredam kemarahan rakyat yang terus memuncak terhadap dirinya.

1 Februari 1979: Kekuatan revolusioner yang dipimpin Ayatullah Khomeini berhasil


merebut kekuasaan. Khomeini sendiri ketika itu baru kembali dari pengasingan yang
dijalaninya sejak 1963.

31 Maret 1979: Referendum menyetujui pembentukan negara Islam. Ayatullah Khomeini


memegang kekuasaan de facto.

1 April 1979: Negara Islam Iran resmi berdiri.

47
7 April 1979: Hukuman mati bagi para pendukung utama Shah dilaksanakan.

4 November 1979: Sekelompok mahasiswa militan menyerang kedutaan besar AS di


Tehran dan menyandera 66 orang penghuninya. Tujuan tindakan tersebut adalah
mendesak AS untuk memulangkan Shah Iran yang melarikan diri ke AS.

27 Juli 1980: Shah Iran, Reza Pahlavi, meninggal di Mesir. Kesepakatan berhasil dicapai
antara pihak Iran dan AS yang berujung pada pembebasan sandera pada tanggal 20
Januari 1981.

November 1980: Perang Teluk Pertama antara Iran Irak pecah dan berlangsung hingga
1988.

48

You might also like