Professional Documents
Culture Documents
Sekarang akan lebih mudah bagi kita menganalisa pernyataan seorang Kristen tentang
kitab sucinya.
Sebelum kita memeriksa dengan teliti berbagai versi, mari kita perjelas keyakinan kita
berkaitan dengan kitab Tu-han. Apa maksud sebenarnya ketika kita menyatakan ber-
iman kepada Taurat, Zabur, Injil dan Al-Qur'an? Kita semua mengetahui bahwa Al-Qur'an
adalah Firman Tuhan yang sempurna, diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW kata
demi kata, melalui perantara Malaikat Jibril, dan benar-benar dijaga serta dilindungi dari
kerusakan yang dibuat manusia selama lebih dari 1400 tahun!
Bahkan pengkritik Islam dengan segan telah menjamin kemurnian kitab suci Al-Qur'an
tersebut: "Di dunia ini mungkin tidak ada kitab lain yang teksnya tetap murni selama dua
belas abad (sekarang empat belas)." - (Sir William Muir).
Taurat yang diyakini umat Islam bukanlah "Taurat" orang-orang Yahudi dan Kristen, meski
tulisannya -yang satu bahasa Arab, dan yang lainnya bahasa Ibrani- sama. Kita percaya
bahwa apapun yang diajarkan Musa as kepada pengikutnya, adalah wahyu Tuhan, tetapi
Musa bukanlah pembuat kitab-kitab tersebut seperti yang diatributkan kepadanya oleh
orang-orang Yahudi dan Kristen.
Kita juga percaya bahwa Zabur adalah wahyu Tuhan yang diberikan kepada Nabi Daud
Alaihis-salam, tetapi Mazmur yang saat ini diasosiasikan dengan namanya bukanlah
wahyu tersebut. Umat Kristen sendiri tidak berkeras mengatakan bahwa Daud adalah
satu-satunya pembuat Mazmur.
Injil berarti "Gospel (ajaran)" atau "berita baik" yang diajarkan Yesus Kristus selama masa
tugasnya yang singkat. Penulis "Gospel" sering menyebut-kan Yesus melakukan dan
mengajarkan ajaran tersebut (Injil):
2. "... barangsiapa kehilangan nyawanya karena aku dan karena Injil, ia akan
menyelamatkannya." (Injil - Markus 8: 35).
Injil adalah kata yang sering digunakan, tetapi Injil yang bagaimanakah yang diajarkan
Yesus? Dari 27 kitab Per-janjian Baru, hanya sedikit yang dapat diterima sebagai per-
1
kataan Yesus. Umat Kristen bangga dengan Injil Matius, Injil Markus, Injil Lukas, dan Injil
Yohanes, tetapi tak ada sebuah pun Injil Yesus!
Dengan tulus kita meyakini bahwa segala sesuatu yang diajarkan Yesus berasal dari
Tuhan. Itulah Injil, berita baik dan petunjuk dari Tuhan untuk bani Israil. Dalam seluruh
hidupnya Yesus tidak pernah menulis sebuah kata pun, dan juga tidak memerintahkan
seorang pun untuk melakukan hal tersebut. Injil yang dipergunakan saat ini adalah hasil
pekerjaan tangan dari orang yang tidak diketahui namanya.
Pertanyaan kita sebelumnya: "Apakah Anda menerima bahwa Injil adalah Firman Tuhan?"
Pertanyaan tersebut benar-benar menantang. Penanya tidaklah hanya sedang mencari
keterangan. Pertanyaan tersebut diajukan dengan semangat debat. Kita mempunyai hak
untuk meminta de-ngan nada yang sama - dengan mengajukan pertanyaan "Injil yang
mana yang sedang Anda bicarakan?". Ia akan balik ber-tanya dengan tidak suka
"Mengapa, hanya ada satu Injil?"
Injil Katholik
Dengan memegang "Douay" (Injil versi Katholik Roma) di tangan, saya bertanya,
"Apakah Anda menerima Injil ini sebagai Firman Tuhan?". Pertanyaan terbaik bagi mereka
karena perkumpulan Katholik telah menerbitkan Injil versi mereka dalam bentuk yang
singkat dan membingungkan. Versi ini mempunyai bagian ekstra dari sejumlah versi
yang beredar di pasaran saat ini. Penanya Kristen tersebut kembali bertanya, "Injil
apakah itu?". "Kenapa, saya pikir Anda tadi mengatakan bahwa hanya ada satu Injil!"
saya mengingat-kannya. "Ya," ia dengan ragu-ragu menggumam, "tapi versi yang
mana?" "Kenapa, apakah ada perbedaan?" saya kemba-li bertanya. Tentu saja, dan
pendakwah profesional tentunya mengetahui hal tersebut. Ia hanya berpura-pura dengan
pernyataannya tentang "satu Injil".
Injil Katholik Roma diterbitkan di Rheims pada tahun 1582, dari terjemahan Injil
berbahasa latin Jerome dan dire-produksi di Douay pada tahun 1609. Nampaknya versi
Ka-tholik Roma (RCV = Roman Catholic Version) tersebut adalah versi tertua yang masih
dapat dibeli sampai saat ini. Berlawanan dengan keantikannya, seluruh dunia Kristen
Protestan, termasuk cults, menyalahkan RCV karena berisi tujuh kitab tambahan yang
dengan merendahkan dianggap "kebenarannya diragukan", yaitu kepenulisan yang
sepenuh-nya meragukan. Sekalipun peringatan yang menakutkan terdapat di dalam
Apocalypse, yaitu kitab terakhir dalam RCV (dinamakan "Wahyu" oleh Protestan), kitab
ini "diwahyu-kan" :
Tetapi siapakah yang perduli! Mereka tidak sungguh-sungguh percaya! Umat Protestan
dengan berani telah menghapus keseluruhan tujuh kitab dari kitab Tuhan!
Injil Protestan
2
Ada beberapa hal yang dibicarakan Sir Winston Chur-chill berkaitan dengan versi Injil
Protestan yang diautorisasi (AV=Authorised Version), yang juga terkenal sebagai Versi
King James (King James Version=KJV).
"Versi Injil yang telah diautorisasi diterbitkan pada tahun 1611 dengan kehendak dan
perintah yang mulia Raja James (King James) yang namanya masih digunakan sampai
sekarang."
Para pengikut Katholik Roma, yang meyakini umat Protestan juga memiliki kitab Tuhan
yang sama dengan mereka, membantu dan bersekongkol dengan "penjahat" Protestan
dengan memaksa para pemeluk baru membeli Injil yang sudah diautorisasi (AV), yang
merupakan satu-satunya Injil yang tersedia dalam 1500 bahasa dari sedikit negara--
negara maju di dunia. Mayoritas umat Kristen -Katholik dan Protestan- menggunakan AV
atau sering disebut de-ngan KJV
Sebagaimana yang dikatakan Sir Winston, Injil ini pertama kali diterbitkan pada tahun
1611 dan kemudian direvisi pada tahun 1881 (RV). Setelah direvisi kembali pada tahun
1952 menjadi versi standar yang telah direvisi (RSV=Revised Standard Version), Injil
tersebut direvisi lagi pada tahun 1971 (singkatannya masih tetap RSV). Lihatlah opini
dunia Kris-ten tentang Injil yang telah direvisi tersebut (RSV):
l. "Versi terbaik yang telah diterbitkan dalam abad seka-rang." (Surat kabar Church of
England)
3. "Karakteristik terbaik dari versi yang telah diautorisasi yang dikombinasikan dengan
keakuratan terjemahan yang baru." - (Life and Work)
4. "Terjemahan yang paling akurat dan dekat dengan asli-nya." - ( The Times)
Penerbitnya sendiri (Collins), dalam catatan pada Injil di akhir produksinya, berkata
dalam halaman I0, "Injil ini (RSV), adalah produk tiga-puluh-dua sarjana, dibantu oleh
komite penasehat yang mewakili limapuluh golongan yang bekerjasama." Mengapa
semua ini dibanggakan? Apakah agar membuat masyarakat yang mudah tertipu
membeli pro-duk mereka? Semua kesaksian ini meyakinkan pembeli bah-wa ia sedang
menunggang kuda yang benar, ketika pembeli sedikit berharap untuk menungganginya.
Tetapi bagaimana dengan versi Injil yang telah diautorisasi (AV), "Paling Laku di Dunia?"
Para perevisi ini, semua sales yang baik, mengatakan beberapa hal yang bagus tentang
hal itu. Pada halaman iii Injil RSV pada paragrap enam ba-gian pendahuluan dinyatakan:
"Versi King James (nama lain AV) diterminologikan dengan alasan yang bagus sebagai
'Monumen Prosa Inggris Yang Paling Mulia.' Perevisinya pada tahun 1881 mengeks-
presikan kekaguman terhadap 'kesederhanaannya, marta-batnya, kekuatannya, ekspresi
kebahagiaannya .... Irama musiknya, dan kebanggaan atas iramanya.' Tidak seperti kitab
3
lainnya, kitab ini masuk sampai pembuatan karakter individu dan institusi umum dari
masyarakat berbahasa Inggris. Kita berhutang dengan hutang yang tak terbayarkan
kepadanya."
Dapatkah Anda, pembaca yang terhormat, membayangkan atribut yang lebih baik yang
diberikan kepada "kitab suci" lebih dari yang di atas? Saya, sebagai manusia, tidak
dapat. Biarkan pengikut Kristen saat ini meneguhkan diri mereka sendiri terhadap
hembusan tidak enak dari para ahli hukum di kalangan agama mereka sendiri; dalam
nafas yang sama mereka mengatakan:
Dan, "Kerusakan ini begitu banyak dan serius sehingga memerlukan revisi ...." Hal ini
langsung dari sumbernya, yaitu sarjana Kristen ortodoks ternama. Para Doktor teologi
sekarang juga perlu memproduksi sebuah ensiklopedi yang menerangkan penyebab
kerusakan yang penting dan serius dalam kitab suci mereka dan alasan
menghilangkannya.
-------------------------------------------------
Untuk mengetahui apakah Alkitab (Bibel) itu masih kekal sifatnya sebagai wahyu asli
daripada Allah, kita terlebih dahulu perlu memahami sifat-sifat Tuhan di dalam Alkitab itu
sendiri. Sifat-sifat Tuhan di dalam Alkitab ialah:
Dengan perkataan lain bahwa jika di dalam isi Alkitab (Bibel) itu banyak terdapat
pertentangan maka Alkitab! itu sendiri bukan wahyu Allah mengikut garis panduan yang
ditetapkan oleh Alkitab itu sendiri. Oleh itu marilah kita membaca beberapa ayat di
4
dalam Alkitab dengan teliti dan hati-hati sehingga dapat menyimpulkan apakah isi
Alkitab itu banyak pertentangan dan percanggahan-percanggahan atau tidak. Di bawah
ini adalah beberapa contoh isi Alkitab yang bertentangan antara ayat yang satu dengan
ayat yang
lainnya:
1. Tentang Bilangan Orang Aram Samuel 10:18 "tetapi orang Aram itu lari dari
hadapan orang Israel, dan Daud membunuh dari orang Aram itu TUJUH RATUS ekor kuda
kereta dan empat puluh ribu orang PASUKAN BERKUDA. Sobakh, panglima tentara
mereka, dilukainya sedemikian, hingga ia mati di sana." Ini bertentangan dengan:
Tawarikh 19:18 "tetapi orang Aram itu lari dari hadapan orang Israel, dan Daud
membunuh dari orang Aram itu TUJUH RIBU ekor kuda kereta dan empat puluh ribu orang
PASUKAN BERJALAN KAKI; juga Sofakh, panglima tentara itu, dibunuhnya."
2. Tentang Tebal "Laut" Raja-Raja 7:26 T! ebal "laut" itu setapak tangan dan tepinya
serupa tepi piala, seperti bunga bakung yang berkembang. "Laut" itu dapat memuat DUA
RIBU bat air. Ini bertentangan dengan:Tawarikh 4:5 Tebal "laut" itu setapak tangan dan
tepinya serupa tepi piala, seperti bunga bakung yang berkembang. "Laut" itu dapat
memuat TIGA RIBU bat air.
4. Tentang Anak Raja Hamat Tawarikh 18:9 "Ketika didengar Tou, raja Hamat, bahwa
Daud telah memukul kalah seluruh tentara Hadadezer, maka Tou mengutus Yoram,
anaknya, kepada raja Daud u! ntuk menyampaikan salam dan mengucapkan selamat
kepadanya, karena ia telah berperang melawan Hadadezer dan memukul dia kalah,
sebab Hadadezer sering memerangi Tou. Dan Yoram membawa barang-barang perak,
emas dan tembaga." Ini bertentangan dengan: Samuel 8:9-10 "Ketika didengar Tou, raja
Hamat, bahwa Daud telah memukul kalah seluruh tentara Hadadezer, raja Zoba, maka ia
mengutus Hadoram, anaknya, kepada raja Daud untuk menyampaikan salam dan
mengucapkan selamat kepadanya, karena ia telah berperang melawan Hadadezer dan
memukul dia kalah, sebab Hadadezer sering memerangi Tou. Dan Hadoram membawa
pelbagai barang-barang emas, perak dan tembaga."
5. Tentang Kota-Kota Raja Hadadezer Tawarikh 18:8 "Selain itu Raja Daud juga
menjarah banyak gangsa dari Tibhat dan Kun, kota-kota yang dahulu dikuasai oleh Raja
Hadadezer." Ini bertentangan dengan: Samuel 8:8 "Dan dari Betah dan dari Berotai, yaitu
kota-kotanya Hadadezer, raja Daud mengangkut amat banyak tembaga."
6. Tentang Bilangan Bani ! Arah Bilangan bani Arah TUJUH RATUS TUJUH PULUH LIMA
orang (Ezra 2:5) Ini bertentangan dengan: Bilangan Bani Arakh ENAM RATUS LIMA PULUH
DUA orang (Nehemia 7:10)
7. Pernahkah Orang Melihat Allah? Yohanes 1:18 "Tidak seorangpun yang pernah
melihat Allah; tetapi Anak Tunggal Allah, yang ada di pangkuan Bapa, Dialah yang
menyatakan-Nya." Ini bertentangan dengan: Kejadian 18:1 "Kemudian Tuhan
menampakkan diri kepada Abraham dekat pohon tarbantin di Mamre, sedang ia duduk di
pintu kemahnya waktu hari panas terik."
8. Tentang Siapa Yang Melihat Allah Akan Mati Keluaran 33:20 "Lagi firman-Nya:
'Engkau tidak bisa melihat Wajah-Ku, karena tiada manusia yang tetap hidup setelah
melihat wajah-Ku'" Ini bertentangan dengan: Kejadian 32:30 "Yakub berkata, 'Aku sudah
5
bertemu muka dengan Allah dan aku masih hidup' oleh itu ia menamakan tempat itu
Pniel"
Sebenarnya masih banyak lagi pertentangan di! dalam ayat-ayat Bibel tetapi penulis
cukupkan sampai di sini saja. Pe rtentangan-pertentangan ini telah menafikan
keseluruhan isi Alkitab itu dari Allah, sebaliknya telah dicemari oleh tangan-tangan
manusia. Tiada siapa yang dapat memastikan di antara ayat-ayat yang bertentangan itu
ayat yang manakah sebenarnya dari Allah, mustahil kedua-dua ayat yang bertentangan
itu datangnya dari Allah karena Allah tidak suka akan kekeliruan sebaliknya Dia lebih
menyukai akan ketertiban, dan Dia pasti tidak akan berdusta dan mengubah fikiran
seperti yang telah dinyatakan di atas.
Kalau penganut-penganut Kristian masih menganggap bahwa keseluruhan isi Alkitab itu
daripada Allah, apakah mereka menuduhkan kesalahan-kesalahan dalam Alkitab kepada
Tuhan? Adakah Tuhan berbuat salah? Sebaliknya jika mereka menafikan yang kesalahan-
kesalahan itu datangnya dari Allah, secara tidak langsung mereka telah mengakui bahwa
kandungan Alkitab telah dicemari oleh tangan-tangan manusia. Jadi ayat-ayat yang
saling bertentangan itu bukan datangnya daripada Allah tetap! i sebaliknya daripada
manusia sendiri.
Pertentangan-pertentangan ayat di atas sudah cukup untuk menjadi bukti bahwa Alkitab
telah mengalami banyak perubahan.
"Jika seorang menambahkan sesuatu kepada perkataan-perkataan ini, maka Allah akan
menambahkan kepadanya malapetaka-malapetaka yang tertulis di dalam kitab ini.
(Wahyu 22:18 -19)
Ada juga alasan-alasan dari pihak Kristian yang pertentangan itu masalah kecil dan tidak
menjejaskan kepercayaan ataupun keimanan. Sebenarnya tidak timbul persoalan baik
pertentangan itu masalah kecil ataupun besar karena jika ada walau satu kesalahan di
dalam sesebuah kitab yang dikatakan suci itu maka kitab itu tidak boleh dipanggil suci
lagi dan itu tentulah bukan wahyu dari Allah. Al-Kitab juga menekankan hal ini: "Siapa
yang tidak jujur dalam perkara kecil, tidak akan jujur dalam perkara besar" (Lukas 16:10)
Malah, ahli teologi dari kalangan orang-orang Kristian sendiri mengakui tentang
banyaknya ! kesalahan dalam Alkitab. Dr G.C Van Niftrik dan Ds B.Y Boland menulis di
dalam buku mereka Dogmatika Masa Kini bahwa,
"Kita tidak usah malu bahwa terdapat berbagai kesalahan dalam Alkitab, kesalahan
dalam angka-angka, perhitungan, tahun dan fakta-fakta. Dan tak perlu kita
pertanggungjawabkan kesalahan-kesalahan itu berdasarkan caranya isi Alkitab telah
disampaikan kepada kita, sehingga dapat kita berkata dalam naskah asli tentulah tidak
terdapat kesalahan-kesalahan, tetapi kesalahan-kesalahan itu barulah kemudian terjadi
didalam salinan-salinan naskah itu."
Jadi ajaran-ajaran Alkitab amat diragukan untuk dijadikan hujah dan dalil bagi amalan
dan pegangan (akidah) seseorang manusia ! karena ia telah ternyata dicemari oleh akal
perbuatan manusia. Keputusannya terserah kepada anda!
-------------------------------------------------
6
Tepatnya pada 14 Mei 1948 silam, kaum Yahudi memproklamirkan berdirinya negara
Israel. Dengan kemerdekaan ini, cita-cita orang orang Yahudi yang tersebar di berbagai
belahan dunia untuk mendirikan negara sendiri, tercapai. Mereka berhasil melaksanakan
"amanat" yang disampaikan Theodore Herzl dalam tulisannya Der Judenstaat (Negara
Yahudi) sejak 1896. Tidaklah mengherankan jika di tengah-tengah negara-negara Timur
Tengah yang mayoritas menganut agama Islam, ada sekelompok manusia yang
berkebudayaan dan bergaya hidup Barat. Mereka adalah para imigran Yahudi yang
didatangkan dari berbagai negara di dunia karena mengalami pembantaian oleh
penguasa setempat.
Sejak awal Israel sudah tidak diterima kehadirannya di Palestina, bahkan di daerah mana
pun mereka berada. Karena merasa memiliki keterikatan historis dengan Palestina,
akhirnya mereka berbondong-bondong datang ke Palestina. Imigrasi besar-besaran kaum
Yahudi ini terjadi sejak akhir tahun 1700-an. Akibat pembantaian diderita, maka mereka
merasa harus mencari tempat yang aman untuk ditempati. Oleh Inggris mereka
ditawarkan untuk memilih kawasan Argentina, Uganda, atau Palestina untuk ditempati,
tapi Herzl lebih memilih Palestina.
Herzl adalah The Founding Father of Zionism. Dia menggunakan zionisme sebagai
kendaraan politiknya dalam merebut Palestina. Kemampuannya dalam melobi para
penguasa dunia tidak diragukan lagi. Sederetan orang-orang terkenal di dunia seperti
Paus Roma, Kaisar Wilhelm Jerman, Ratu Victoria Inggris, dan Sultan Turki di Istambul
telah ditaklukkannya. Zionisme adalah otak dalam perebutan wilayah Palestina dan
serangkaian pembantaian yang dilakukan Yahudi.
Berdasarkan hasil perjanjian Sykes Picot tahun 1915 yang secara rahasia dan sepihak
telah menempatkan Palestina berada di bawah kekuasaan Inggris. Dengan berlakunya
sistem mandat atas Palestina, Inggris membuka pintu lebar-lebar untuk para imigran
Yahudi dan hal ini memancing protes keras bangsa Palestina.
Pada tahun 1947 mandat Inggris atas Palestina berakhir dan PBB mengambil alih
kekuasaan. Resolusi DK PBB No. 181 (II) tanggal 29 November 1947 membagi Palestina
menjadi tiga bagian. Hal ini mendapat protes keras dari penduduk Palestina. Mereka
menggelar demonstrasi besar-besaran menentang kebijakan PBB ini. Lain halnya yang
dilakukan dengan bangsa Yahudi. Dengan suka cita mereka mengadakan perayaan atas
kemenangan besar ini. Bantuan dari beberapa negara Arab dalam bentuk persenjataan
perang mengalir ke Palestina. Saat itu pula menyusul pembubaran gerakan Ikhwanul
Muslimin di Mesir dan pembunuhan terhadap Hasan al-Banna yang banyak berperan
dalam membela Palestina dari cengkraman Israel.
Apa yang dilakukan Yahudi dalam merebut Palestina tidaklah terlepas dari dukungan
Inggris dan Amerika. Berkat dua negara besar inilah akhirnya Yahudi dapat menduduki
Palestina secara paksa walaupun proses yang harus dilalui begitu panjang dan sulit.
7
Palestina menjadi negara yang tercabik-cabik selama 30 tahun pendudukan Inggris.
Sejak 1918 hingga 1948, sekitar 600.000 orang Yahudi diperbolehkan menempati
wilayah Palestina. Penjara-penjara dan kamp-kamp konsentrasi selalu dipadati penduduk
Palestina akibat pemberontakan yang mereka lakukan dalam melawan kekejaman Israel.
Tahun 1956, Gurun Sinai dan Jalur Gaza dikuasai Israel, setelah gerakan Islam di kawasan
Arab dipukul dan Abdul Qadir Audah, Muhammad Firgholi, dan Yusuf Thol'at yang terlibat
langsung dalam peperangan dengan Yahudi di Palestina dihukum mati oleh rezim Mesir.
Dan pada tahun 1967, semua kawasan Palestina jatuh ke tangan Israel. Peristiwa itu
terjadi setelah penggempuran terhadap Gerakan Islam dan hukuman gantung terhadap
Sayyid Qutb yang amat ditakuti kaum Yahudi. Tahun 1977, terjadi serangan terhadap
Libanon dan perjanjian Camp David yang disponsori oleh mendiang Anwar Sadat dari
Mesir.
Akhirnya pada Desember 1987, perjuangan rakyat Palestina terhimpun dalam satu
kekuatan setelah sekian lama melakukan perlawanan secara sporadis terhadap Israel.
Gerakan Intifadhah telah menyatukan solidaritas rakyat Palestina. Intifadhah merupakan
aksi pemberontakan massal yang didukung massa dalam jumlah terbesar sejak tahun
1930-an. Sifat perlawanan ini radikal revolusioner dalam bentuk aksi massal rakyat sipil.
Adanya kehendak kolektif untuk memberontak sudah tidak dapat ditahan lagi. Untuk
tetap bertahan dalam skema transformasi masyarakat yang menghindari aksi kekerasan,
maka atas prakarsa Syekh Ahmad Yassin dibentuklah HAMAS (Harakah al-Muqawwah al-
Islamiyah) pada bulan Januari 1988, sebagai wadah aspirasi rakyat Palestina yang
bertujuan mengusir Israel dari Palestina, mendirikan negara Islam Palestina, dan
memelihara kesucian Masjid Al-Aqsha. HAMAS merupakan "anak" dari Ikhwanul Muslimin
karena para anggotanya berasal dari para pengikut gerakan Ikhwanul Muslimin.
Perlawanan terhadap Israel semakin gencar dilakukan dan mengakibatkan kerugian
material bagi Israel berupa kehancuran pertumbuhan ekonomi, penurunan produksi
industri dan pertanian, serta penurunan investasi. Kerugian lainnya yaitu hilangnya
ketenangan dan rasa aman bangsa Israel.
Hingga hari ini Israel masih berdiri kokoh di atas bumi Palestina. Para pemuda Islam tidak
akan tinggal diam. Perlawanan akan tetap dilancarkan demi musnahnya bangsa Yahudi.
Dengan kekuatan yang dimiliki maka Israel akan dihancurkan dari bumi ini dengan
sehancur-hancurnya. Ini bukan hal yang mustahil dilakukan. Bukankah Israel telah
mundur dari Libanon akibat gempuran Hisbullah? Perjuangan yang dilakukan oleh rakyat
Palestina tidak akan sia-sia, Insya Allah seluruh wilayah Palestina akan kembali ke
pangkuan Islam dan Yahudi laknatullah akan musnah dari bumi ini.
-------------------------------------------------
Mata Allah
Dalam kitab-kitab tafsir dan hadith, ulama dari mazhab di atas meriwayatkan dari Abu
Hurairah, berkata:
8
"Aku melihat Nabi SAWAW menggambarkan sifat mendengar dan melihat Allah dengan
meletakkan ibu jari di telinga dan jari tunjuk di matanya."
Apabila Abu Hurairah meriwayatkan hadith di atas, beliau sering mengulangi bagaimana
yang ditunjukkan itu dengan meletakkan jari-jarinya sendiri pada mata dan telinga.
Beliau melakukan ini untuk menunjukkan Allah mendengar dengan telinga dan melihat
dengan mata.
"Jahmiyyah" adalah satu mazhab yang menolak pengertian seperti itu. Abu Daud ketika
menolak aqidah puak Jahmiyyah itu menyatakan:
"Hadith Abu Hurairah yang diriwayatkan itu dengan jelas menolak aqidah Jahmiyyah
(yang percaya Allah tidak mempunyai anggota atau tubuh badan.)"
Penjelasan Abu Hurairah itu menyebabkan mazhab khalifah percaya perkataan "Ayn"
dalam al-Qur'an yang dikaitkan dengan Allah, hendaklah difahami bahawa maksudnya
ialah mata sebenar iaitu sebahagian daripada anggota pada tubuh yang menjadi alat
untuk melihat. Justeru, kita dapati Ibn Khuzaimah yang menjadi imam kepada imam-
imam seperti mana yang didakwa oleh mazhab mereka, menulis satu bab dalam
kitabnya Tawhid,"untuk membuktikan Allah SWT mempunyai mata." Beliau menulis:
"Kami menjelaskan apa yang Allah berkata tentang diriNya dalam kitabNya dan apa yang
telah dikatakan oleh Nabi SAWAW memperkuatkan dalil bahawa Allah mempunyai mata."
1. (Allah SWT berfirman kepada Nabi Nuh AS)"Dan buatlah bahtera itu dengan (di
bawah) mata Kami." (Hud: 37).
3. "Dan Aku telah melimpahkan kepadamu kasih sayang yang datang daripadaKu dan
supaya kamu diasuh di bawah mataKu (wa-li-tus-na-'a ala-'aini)." (Taha: 39)
"Berdasarkan ayat-ayat ini, maka adalah wajib bagi setiap mukmin untuk menyakini
aqidah bahawa Allah mempunyai mata, dan Dia telah mengesahkan untuk diriNya."[1]
"Dan barang siapa yang tidak mempercayai Allah telah mewahyukan dalam KitabNya
dan apa yang Ia nyatakan tentang DiriNya, maka orang itu bukan seorang muslim.
Maksud ayat Qur'an telah menunjukkan bukti yang terang yang telah digambarkan oleh
Nabi SAWAW sendiri, sebagaimana Allah telah memerintahkannya dalam Qur'an:
"Kami turunkan kepadamu al-Qur'an agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa
yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan."(An-Nahl: 44)
9
Tidak puas dengan hujah di atas, beliau memetik hadith-hadith, di antaranya dari
riwayat Abu Hurairah. Akhirnya, beliau meriwayatkan hadith daripada Abdullah bin Umar:
"Allah tidak buta satu mata seperti Dajjal yang tidak mempunyai mata kanan. Ia
terapung seperti buah anggur."
Imam-imam Ahlul Bait AS telah menerangkan maksud sebenar dalam ayat-ayat tersebut.
Walau bagaimanapun, kita akan membahaskan perkara tersebut dengan terperinci
seperti berikut:
Ibn Khuzaimah telah mengambil perkataaan "Ayn" atau " 'ayunina" secara literal, untuk
menbuktikan hujahnya bahawa Allah SWT mempunyai mata. Pada hakikatnya perkataan
"Ayn" dan kata terbitannya mempunyai banyak makna dalam Bahasa Arab. Rujukan
lanjut bolehlah dibuat dengan mengkaji kitab-kitab bahasa arab seperti,"Lisanul Arab."
Dalam Mu'jamul Udaba (2/11) kami dapati seorang ahli gaya bahasa Arab Ibn Faris
Ahmed b. Zakariyya (w.369H) telah mengumpulkan setiap bait (rangkap) perkataan yang
berakhir dengan kata"Ayn", setiap satu mempunyai makna yang berbeza. Syed Muhsin
al-Ameen telah menuliskan enam puluh bait.
Al-Qur'an telah menggunakan perkataan tersebut dengan dua kaedah dan makna iaitu
secara literal dan metapora. Pada dua puluh satu tempat, al-Qur'an menggunakan "Ayn"
untuk menunjukkan mata air atau air sungai.
Tetapi yang lebih penting adalah ayat yang dipetik oleh Ibn Khuzaimah untuk
mengukuhkan aqidahnya pada hakikatnya mempunyai makna figuratif. Dalam Bahasa
Inggeris kita katakan:"to keep an eye on" bermaksud untuk mengawasi;"in the eyes of
law", bermaksud "dari segi undang-undang";"the eye of a dome", bermaksud bahagian
tengah dan seterusnya. Amat jelas bahawa penggunaan kata-kata itu tidak membawa
maknanya secara literal. Begitu juga kata-kata ini telah digunakan untuk maksud secara
metapora (kiasan).
"Dalam al-Qur'an perkataan "Ayn" telah digunakan dalam dua bentuk sama ada secara
aktual atau metapora (kiasan). Sebagai contoh:
i) "Dan berkatalah isteri Fir'aun:"(Ia) biji mata bagiku dan bagimu." (al-Qasas: 9)
ii) "Maka makan, minum dan sejukkan matamu…"(Fa kuli was-rabi wa-qarri 'aina).
(Maryam: 26)
Dengan ini terbukti bahawa ayat-ayat yang menggunakan perkataan "Ayna" dan
"Aynin" menggambarkan kegembiraan dan kepuasan hati (bukan maknanya secara
literal seperti 'ia biji mataku' atau 'sejukkan matamu').
10
Sejarah menjelaskan kepada kita bahawa Allah memerintahkan ibu Nabi Musa AS
mencampakkannya ke dalam sungai. Ketika itu Nabi Musa AS masih lagi bayi kemudian
dibawa arus sungai tersebut dan sampai ke istana Fir'aun. Nabi Musa AS kemudian
dipelihara oleh Fir'aun sebagai anak angkat. Kisah lengkap tersebut diceritakan dalam al-
Qur'an seperti berikut:
" Dan berkatalah isteri Fir'aun:"(Ia) biji mata bagiku dan bagimu. Janganlah kamu
membunuhnya, mudah-mudahan ia bermanfa'at kepada kita atau kita ambil ia menjadi
anak," sedang mereka tidak menyedari." (al-Qasas: 9)
Pada contoh kedua, ayat tersebut mengaitkan dengan kisah Maryam, ibu kepada Nabi Isa
AS. Ketika ia melahirkan Nabi Isa AS, beliau mengeluh kerana beliau tahu orang ramai
tidak akan percaya beliau seorang wanita suci, dan Nabi Isa AS dilahirkan tanpa bapa
dengan perintah Allah SWT. Maka Allah berfirman:
"Maka makan, minum dan sejukkan matamu (bersenang hatilah) kamu. Jika kamu
melihat seseorang manusia, maka katakanlah:"Sesungguhnya aku telah bernazar
berpuasa untuk Tuhan Yang Maha Pemurah, maka aku tidak akan berbicara dengan
seseorang manusiapun pada hari ini." (Maryam: 26)
Sekarang ayat-ayat yang dipetik oleh Ibn Khuzaimah memerlukan analisa lanjut. Ayat
pertama, ditujukan kepada Nabi Nuh AS. Maksud sebenarnya ialah:
Ayat kedua juga bermaksud bahtera Nabi Nuh AS belayar di bawah pemeliharaan dan
pengawasan Allah SWT.
Pada ayat ketiga, Allah mewahyukan kepada Nabi Musa AS: Pengertian sebenar ayat ini
ialah:
"Dan Aku telah melimpahkan kepadamu kasih sayang yang datang daripadaKu dan
supaya kamu diasuh di bawah pengawasan dan perlindunganKu."
Pada ayat terakhir, Allah SWT mewahyukan kepada Nabi Muhamamd SAWAW: Maksud
ayat tersebut ialah:
Akhir sekali, hadith-hadith yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Omar menekankan
bahawa Allah SWT tidak buta seperti Dajjal. Nampaknya ia memberikan petanda kepada
kita bahawa dia mahukan kita mempercayai Allah mempunyai sepasang mata yang sihat
dan tidak rosak (buta)! Namun berdasarkan penjelasan kami yang terang benderang di
atas, maka dapatkan kita nilaikan tentang kesahihan hadith tersebut! Kami telah pun
menekankan tentang kepalsuan hadith yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah dan teman-
teman sealiran dengannya, dan bagaimana mereka kekal dipengaruhi oleh ajaran Yahudi
dan Kristian. Ajaran Islam yang murni telah dicemarkan oleh riwayat-riwayat yang
menerima sisipan cerita-cerita dalam Taurat yang tercemar dan lain-lain sumber bukan
Islam.
-------------------------------------------------
11
Tangan Allah
Mazhab khalifah telah meriwayatkan dalam kitab-kitab mereka daripada Abu Hurairah
daripada Nabi SAWAW seperti berikut:
"Wahai Adam! Allah telah menjadikan kamu dengan kedua belah TanganNya…..tetapi
kamu telah membawa semua manusia turun daripada taman syurga disebabkan dosa
kamu."
Adam menjawab:
"Wahai Musa, Allah telah memuliakan kamu dengan menulis Taurat dengan kedua belah
TanganNya."
"Allah turun ke langit dunia, dan membuka kedua belah tanganNya dan berkata…."
Tidak ada ayat Qur'an yang menyebutkan perkataan jari-jari Allah, justeru Ibn Khuzaimah
telah bersandarkan kepada hadith untuk menguatkan dakwaannya tentang Allah SWT
mempunyai jari-jari seperti manusia. Hadith-hadith tersebut dapat dibaca dalam kitab
Tawheed Ibn Khuzaimah, dan dalam Sahih Bukhari, Sahih Muslim, Sunan Tirmudzi, Sunan
Ibn Majah, Tafsir Tabari, Ibn Kathir, dan Suyuti. Salah satu daripda hadith tersebut ialah:
"Abdullah meriwayatkan bahawa seorang rabbi Yahudi datang kepada Nabi SAWAW dab
berkata:
"Wahai Muhammad! Kami membaca dalam Taurat bahawa Allah memelihara langit
dengan satu jari, pohon-pohon dengan satu jari, air dengan satu jari, bumi dengan satu
jari, dan makhluk dengan satu jari! Dan Dia berfirman:"Akulah Raja!"
"Nabi SAWAW tersenyum untuk mengesahkan kata-kata rabbi Yahudi itu, dan bagi
menguatkan kenyataannya itu, membacakan ayat berikut:
"Dan mereka tidak mengagungkan Allah dengan pengagungan yang semestinya padahal
bumi seluruhnya dalam genggamanNya…" (Al-Zumar: 67)
12
Riwayat-riwayat ini adalah daripada Abu Hurairah dan lain-lainnya yang mengajak
golongan ulama daripada mazhab yang bertentangan dengan Ahlul Bait AS memilih
makna literal daripada perkataan "Yadullah" (tangan Allah) apabila mentafsirkannya
daripada ayat-ayat Qu'ran yang mempunyai perkataan tersebut. Ibn Khuzaimah telah
menulis satu bab dalam kitabnya Tawhid yang menyatakan:
"Hujah bahawa Allah Maha Pencipta, Maha Tinggi mempunyai tangan; sesungguhnya
Allah SWT mempunyai sepasang tangan sebagaimana yang telah kita pelajari dalam
ayat-ayat Qur'an yang menyatakan perkara tersebut."1
2."Maka Maha Suci (Allah) yang di tanganNya kekuasaan atas segala sesuatu dan
kepadaNyalah kamu dikembalikan." (Yaasin: 83)
3."Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang
Engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha
Kuasa atas segala sesuatu. (Ali-Imran: 26).
Izinkan kami menghuraikan apa yang telah diterangkan oleh mazhab Ahlul Bait AS:
a) Muhammad bin Muslim bertanya kepada Imam Muhammad Baqir AS tentang ayat
berikut:2
"Allah berfirman:"Hai Iblis, apakah yang menghalangi kamu sujud kepada yang telah Aku
ciptakan dengan kedua tanganKu…." (Sad: 75)
1
Tawhid Ibn Khuzaimah, hlm.53
2
Tawhid al-Sadooq, hlm. 153
13
1."(Wahai Nabi SAWAW) bersabarlah atas segala apa yang mereka katakan; dan ingatlah
hamba Kami Daud yang mempunyai tangan (dhal-aidi) ; sesungguhnya dia amat taat
(kepada Tuhannya). (Sad: 17)
Imam AS menjelaskan bahawa istilah tangan dalam ayat ini menunjukan maksud kiasan
(kepada makna kekuatan). Apa yang Allah mahu sampaikan adalah Dia telah
menganugerahkan Nabi Daud AS dengan kekuatan. Kemudian Imam AS menghuraikan
beberapa lagi contoh kekuatan yang telah dianugerahkan kepada Nabi Daud AS.
2. "Dan langit itu Kami bangun dengan tangan (Kami) sesungguhnya Kami benar-benar
berkuasa." (Adz-Dzariyyat: 47)
3."Mereka itulah orang-orang yang Allah telah memberikan mereka tangan dengan ruh
daripadaNya…"(Al-Mujaadilah: 22)
i) Mereka berkata:
Ini bermakna "Dia ada tanggungjawab kepada saya".Tangan dalam ayat ini bermaksud
sifat murah hati.
b) Muhammad bin Ubaidah merujuk ayat yang sama dari Surah Sad kepada Imam
Ridha AS. Jawapan Imam AS seperti berikut:
"Dengan tangan-tangan Kami" dalam ayat ini bermaksud "dengan Kekuasaan dan
Kekuatan".3
c) Suleiman bin Mahran berkata beliau bertanya kepada Imam Ja'far al-Sadiq AS
makna firman Allah dalam ayat al-Qur'an:
3
Tawhid al-Sadooq, hlm. 153-154.
14
"Dan mereka tidak mengagungkan Allah dengan pengagungan yang semestinya padahal
bumi seluruhnya dalam genggamanNya……" (Al-Zumar: 67)4
Imam AS berkata:
"Ia bermaksud kekuasaan mutlak - tidak ada sekutu dengan yang lain."
Muhammad bin Ubaidah bertanya tentang makna selanjutnya selepas ayat itu:
Imam AS menerangkan:
"Allah menggunakan istilah "Yameen" (kanan) yang membawa erti 'tangan' dan 'tangan'
bererti Maha KekuasaanNya. Langit akan digulungkan dengan KekuasaanNya.
Perkataan "tangan" atau "KananNya" tidak membawa makna genggaman tangan kanan.
Ia tidak merujuk kepada sebarang anggota tubuh badan seperti yang difahami oleh
mazhab khalifah.
Membayang sifat anggota tubuh wujud pada Zat Allah SWT akan membawa seseorang
kepada syirik - justeru Imam Ja'far al-Sadiq AS selepas mengemukakan hujah-hujahnya
yang menjawab persoalan itu telah membacakan keseluruhan ayat tersebut secara
lengkap. Beliau AS membacakan baris terakhir ayat tersebut:
"Maha Suci Tuhan dan Maha Tinggi Dia dari apa yang mereka persekutukan."
Pemerhatian:
Mazhab Ahlul Bait AS mengemukakan hujah berasaskan makna sebenar Tawhid, pada
masa yang sama bersandarkan kepada penggunaan umum istilah berkenaan di kalangan
orang Arab dan juga kesusasteraan mereka.
"Yad bermakna 'tangan', iaitu anggota tubuh manusia. Tetapi ia juga mempunyai makna
yang lain seperti menguasai, kuasa dan arah."
Para ilmuan Mesir telah menyenaraikan sembilan makna berlainan untuk perkataan
"Yad', selain daripada makna tangan. Sebagai contoh, ayat berikut:
"Maka Maha Suci (Allah) yang di tangannya kekuasaan atas segala sesuatu dan
kepadaNya kamu dikembalikan." (Yaasin: 83).
4
Tawhid al-Sadooq, hlm. 160-161.
15
Ayat di atas diterjemahkan seperti berikut:
"Maka Maha Suci (Allah) yang di tangannya (Yang Maha Menguasai) segala sesuatu dan
kepadaNya kamu dikembalikan."
Perkara yang paling ganjil ialah apabila para ilmuan yang memilih makna literal tangan
dan lain-lain anggota kepada Allah SWT mengambil pula makna yang lain apabila
perkataan yang sama ditujukan oleh Nabi SAWAW.
Dalam ayat berikut, yang ditujukan kepada Nabi SAWAW, para penterjemah dan ahli
tafsir bersepakat bahawa makna 'Yad' bukan bererti 'tangan' secara literal:
"Dan janganlah jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan janganlah kamu terlalu
menghulurkannya kerana itu kamu menjadi tercela dan menyesal." (Al-Isra': 29).
Tidak ada seorang pun di kalangan mereka yang memilih makna 'tangan' secara literal
tetapi apabila perkataan yang sama ditujukan kepada Allah, mereka memilih pula makna
secara literal dan menolak maknanya secara metapora.
Hal ini jelas menunjukkan pengaruh atau penyisipan ajaran-ajaran Yahudi dan Kristian
yang telah tercemar dan kemudian ia diperkuatkan pula oleh sebahagian daripada
sahabat-sahabat yang tidak berhati-hati. Namun kisah ini tidak berakhir di sini. Masih
ada lagi perbahasan yang menarik selepas ini.
-------------------------------------------------
Kata i'tiqad data mu'taqad, yang dalam tulisan ini diterjemahkan dengan
"kepercayaan", berasal dari akar '-q-d, yang berarti merajut, membuhul, mengikat;
mengikatkan dengan sebuah buhul; memasang, mengumpulkan, menggabungkan,
mengunci; mengecilkan, menyempitkan, mengerutkan; mengarahkan, memusatkan;
melengkungkan, melekukkan; bertemu, berkumpul; mengadakan pertemuan,
mengadakan rapat, mengumpulkan; membuat perjanjian, mengikat kontrak. Kata i'tiqad
sendiri, secara literal (harfiah) atau figuratif (majazi), berarti menjadi terikat atau
tersusun dengan kuat. Maka i'tiqad, "kepercayaan", adalah suatu "ikatan" yang diikat
16
dengan kuat dalam kalbu atau pikiran, sebuah keyakinan bahwa sesuatu adalah benar.
Bagi Ibn al-'Arabi, "kepercayaan" adalah sebuah (peng)ikatan (binding) dan
(pem)batasan (delimitation) Wujud Yang Tak Terbatas, Wujud Absolut (al-wujud al-
muthlaq), yang dilakukan oleh dan berlangsung dalam subyek manusiawi.
"Tuhan kepercayaan" adalah gambar atau bentuk Tuhan, atau pemikiran, konsep,
ide, atau gagasan tentang Tuhan yang diciptakan oleh akal manusia atau taklidnya.
Tuhan seperti itu bukanlah Tuhan sebagaimana Dia sebenarnya, Tuhan pada diri-Nya,
Zat-Nya, tetapi adalah Tuhan yang diciptakan oleh manusia sesuai dengan kemampuan,
pengetahuan, penangkapan, dan persepsinya. Tuhan seperti itu adalah Tuhan yang
"ditempatkan" oleh manusia dalam pemikiran, konsep, ide, atau gagasannya dan
"diikat"-nya dalam dan dengan kepercayaannya. "Bentuk", "gambar", atau "wajah" Tuhan
seperti itu ditentukan atau diwarnai oleh pengetahuan, penangkapan, dan persepsi
manusia yang mempunyai kepercayaan kepada-Nya. Apa yang diketahui diwarnai oleh
apa yang mengetahui. Dengan mengutip perkataan al-Junayd, Ibn al-'Arabi berkata:
"Warna air adalah warna bejana yang ditempatinya" (Lawn al ma' lawn ina'ihi). Itulah
sebabnya mengapa Tuhan melalui sebuah hadits qudsi berkata: "Aku adalah dalam
sangkaan hamba-Ku tentang Aku" (Ana 'inda zhann 'abdi bi). Tuhan disangka, bukan
diketahui. Dengan kata lain, Tuhan hanya dalam sangkaan manusia, bukan dalam
pengetahuannya. Tuhan tidak diketahui dan tidak dapat diketahui.
Menarik untuk memperhatikan lanjutan firman Tuhan dalam hadits qudsi yang
dikutip ini, yaitu: "Maka hendaklah ia [sang hamba] bersangka baik tentang Aku" (Fal-
yazhunn bi khayran).
Tuhan menyuruh agar kita bersangka baik tentang Dia dalam setiap keadaan dan
melarang kita bersangka buruk tentang Dia. Kita harus menjadikan sangkaan kita
sebagai pengetahuan bahwa Tuhan adalah Maha Pengasih, Maha Penyayang, Maha
Penolong, dan Maha Pengampun. Kita tidak boleh bersangka bahwa Tuhan adalah
"pengawas yang selalu mencari kesalahan", "petugas keamanan yang kasar dan galak",
atau "tuan besar yang bengis". Sangkaan baik tentang Tuhan mendorong kita untuk
mendekati dan mencintai-Nya agar kita mendapat rahmat-Nya. Nabi s.a.w. berkata:
"Rahmat Tuhan mendahului (mengalahkan) murka-Nya". Sangkaan buruk tentang Tuhan
membuat kita jauh dari-Nya, menyalahkan-Nya, dan akhirnya berputus asa. Tuhan tidak
menyenangi orang-orang yang berputus asa.
17
Kritik Ibn al-'Arabi terhadap orang yang memutlakkan Tuhan dalam
kepercayaannya, Tuhan yang diciptakannya dalam kepercayaannya, mengikatkan kita
kepada kritik Xenophanes (kira-kira 570-480 SM), seorang filsuf Yunani, terhadap
antropomorfisme Tuhan, atau tuhan-tuhan. Kritik tokoh dari Kolophon, Asia Kecil, ini
berbunyi sebagai berikut:
“Seandainya sapi, kuda, dan singa mempunyai tangan dan pandai menggambar
seperti manusia, tentu kuda akan menggambarkan tuhan-tuhan menyerupai kuda, sapi
akan menggambarkan tuhan-tuhan menyerupai sapi, dan dengan demikian mereka akan
mengenakan rupa yang sama kepada tuhan-tuhan seperti terdapat pada mereka sendiri.
Orang Etiopia mempunyai tuhan-tuhan hitam dan berhidung pesek, sedangkan orang
Trasia mengatakan bahwa tuhan-tuhan mereka bermata biru dan berambut merah.”
Teori Ibn al-'Arabi tentang "Tuhan kepercayaan" didasarkan pula kepada sebuah
hadits Nabi s.a.w. tentang penampakan diri Tuhan (tajalli al-haqq) pada hari kiamat. Nabi
menceritakan bahwa pada hari kiamat, Tuhan akan menampakkan diri-Nya kepada umat
manusia dalam berbagai bentuk, yang tiap-tiap bentuk akan ditolak oleh setiap orang
yang tidak mengenalnya dan akan diterima oleh setiap orang yang mengenalnya.
Akhirnya, semua orang atau kelompok akan menyadari bahwa sebenarnya Tuhan yang
menampakkan diri-Nya dalam berbagai bentuk itu adalah satu dan sama; itu juga, tidak
lain.
Pandangan Ibn al-'Arabi ini sesuai dengan larangan Nabi s.a.w. agar para
sahabatnya tidak menyalahkan seorang awam yang pernah mengatakan kepada beliau
di hadapan mereka bahwa Tuhan berada di langit, nun jauh di atas. Para sahabat
mempersoalkan kepercayaan orang awam itu karena Tuhan berada di mana saja, tidak
terikat oleh ruang dan waktu, dan tidak berbentuk. Tetapi Nabi memandang bahwa
"sangkaan" orang awam itu tentang Tuhan sudah memadai baginya. Nabi sendiri pernah
berkata: "Kasihilah siapa yang di bumi, niscaya engkau akan dikasihi oleh siapa yang di
langit" (Irham man fi al-ardi, yarham-ka man fi al-sama'). Yang dimaksud dengan
"siapayang di langit" dalam hadits ini adalah Tuhan. Tuhan berada di langit. Dengan
alasan ini, dapat dikatakan bahwa Tuhan dalam kepercayaan Islam adalah "Tuhan Langit"
("the Sky God"), "Tuhan Surgawi" [karena surga berada di langit] ("the Heavenly God"),
atau "Wujud Tertinggi Samawi" ("the Celestial Supreme Being"). Langit adalah simbol
ketinggian, keagungan, keindahan, dan keabadian. Karena itu, langit dijadikan simbol
Tuhan. Simbol bukan menunjukkan dirinya sendiri, tetapi menunjukkan sesuatu yang lain
di luar dirinya. Simbol Tuhan bukanlah Tuhan, tetapi menunjukkan Tuhan.
Tuhan dalam kepercayaan Islam adalah seorang "laki-laki", atau, lebih tepatnya,
disimbolkan dengan seorang "laki-laki". Tuhan dalam kepercayaan Islam, seperti Tuhan
dalam kepercayaan-kepercayaan Yahudi dan Kristen, adalah Huwa ("He"), bukan Hiya
18
("She"). Tuhan dalam kepercayaan Islam selalu dipahami dengan kata-kata maskulin.
(Pandangan yang menekankan aspek maskulin Tuhan atau memahami Tuhan sebagai
"Tuhan Laki-Laki" seperti ini ditentang oleh teologi feminis radikal yang menekankan
aspek feminin Tuhan atau memandang Tuhan sebagai "Tuhan Perempuan"). Dengan
demikian, Tuhan dalam kepercayaan Islam, sebagaimana dalam kepercayaan-
kepercayaan Yahudi dan Kristen, adalah seorang "person," seorang "pribadi". Itulah
sebabnya mengapa dikatakan bahwa Tuhan agama-agama monoteistik atau teistik,
termasuk Islam, adalah "personal", "berpribadi". Tuhan dalam arti ini bukan "impersonal",
bukan "tak-berpribadi", dan, karena itu, Dia bukan "Itu" ("It").
Sekali lagi, semua deskripsi dan ungkapan ini adalah simbol (yang menunjukkan)
Tuhan, bukan Tuhan itu sendiri. Di mata kaum monoteis, kekeliruan kaum politeis terletak
pada penuhanan mereka akan simbol-simbol seperti langit, matahari, bulan, dan bumi.
Kaum politeis tidak lagi sepenuhnya bertuhan kepada Tuhan, tetapi telah bertuhan
kepada simbol-simbol.
Maka berhati-hatilah agar anda tidak mengikatkan diri kepada ikatan ('aqd) [yaitu
kepercayaan, doktrin, dogma, atau ajaran] tertentu dan mengingkari ikatan lain yang
mana pun, karena dengan demikian itu anda akan kehilangan kebaikan yang banyak;
sebenarnya anda akan kehilangan pengetahuan yang benar tentang apa itu yang
sebenarnya. Karena itu, hendaklah anda menerima sepenuhnya semua bentuk
kepercayaan-kepercayaan, karena Allah Ta'ala terlalu luas dan terlalu besar untuk
19
dibatasi dalam satu ikatan tanpa ikatan lain, Dia berkata: "Kemana pun kamu berpaling,
di situ ada wajah Allah", [Q 2:115] tanpa menyebutkan arah tertentu mana pun.
Pengetahuan yang benar tentang Tuhan, menurut Sufi dari Andalusia ini, adalah
pengetahuan yang tidak terikat oleh bentuk kepercayaan atau agama tertentu. Inilah
pengetahuan yang dimiliki oleh "para gnostik" (al- 'arifun). Karena itu, "para gnostik",
yaitu para Sufi, tidak pernah menolak Tuhan dalam kepercayaan, sekte, aliran, atau
agama apa pun. Ini berarti bahwa Tuhan, bagi mereka, dalam semua kepercayaan, sekte,
aliran, atau agama, adalah satu dan sama. Kata Ibn al-'Arabi, "Barangsiapa yang
membebaskan-Nya [yaitu Tuhan] dari pembatasan tidak akan mengingkari-Nya dan
mengakui-Nya dalam setiap bentuk tempat Dia mengubah diri-Nya."
-------------------------------------------------
Seorang professor bahasa dari Alahabad University India dalam salah satu buku
terakhirnya berjudul "Kalky Autar" (Petunjuk Yang Maha Agung) yang baru diterbitkan
memuat sebuah pernyataan yang sangat mengagetkan kalangan intelektual Hindu.
Sang professor secara terbuka dan dengan alasan-alasan ilmiah, mengajak para
penganut Hindu untuk segera memeluk agama Islam dan sekaligus mengimani risalah
yang dibawa oleh Rasulullah saww, karena menurutnnya, sebenarnya Muhammad
Rasulullah saww adalah sosok yang dinanti-nantikan sebagai sosok pembaharu spiritual.
Prof. Waid Barkash (penulis buku) yang masih berstatus pendeta besar kaum Brahmana
mengatakan bahwa ia telah menyerahkan hasil kajiannya kepada delapan pendeta besar
kaum Hindu dan mereka semuanya menyetujui kesimpulan dan ajakan yang telah
dinyatakan di dalam buku. semua kriteria yang disebutkan dalam buku suci kaum Hindu
(Wedha) tentang ciri-ciri "Kalky Autar" sama persis dengan ciri-ciri yang dimiliki oleh
Rasulullah Saww.
Dalam ajaran Hindu disebutkan mengenai ciri Kalky Autar diantaranya, bahwa dia akan
dilahirkan di jazirah, bapaknya bernama "Syanuyihkat" dan ibunya bernama "Sumaneb".
Dalam bahasa Sansekerta kata "Syanuyihkat" adalah paduan dua kata yaitu "Syanu"
artinya "Allah" sedangkan "Yahkat" artinya anak laki atau hamba yang dalam bahasa
Arab disebut "Abdun".
Dengan demikian kata Syanuyihkat artinya "Abdullah". Demikian juga kata "Sumaneb"
yang dalam bahasa Sansekerta artinya "Amana" atau "Amaan" yang terjemahan bahasa
Arabnya "Aminah". Sementara semua orang tahu bahwa nama bapak Rasulullah Saww
adalah Abdullah dan nama ibunya Aminah.
Dalam kitab Wedha juga disebutkan bahwa Tuhan akan mengirim utusan-Nya kedalam
sebiuah goa untuk mengajarkan Kalky Autar (Petunjuk Yang Maha Agung). Cerita yang
disebut dalam kitab Wedha ini mengingatkan akan kejadian di Gua Hira saat Rasulullah
didatangi malaikat Jibril untuk mengajarkan kepadanya wahyu tentang Islam.
20
Bukti lain yang dikemukakan oleh Prof Barkash bahwa kitab Wedha juga menceritakan
bahwa Tuhan akan memberikan Kalky Autar seekor kuda yang larinya sangat cepat yang
membawa kalky Autar mengelilingi tujuh lapis langit. Ini merupakan isyarat langsung
kejadian Isra' Mi'raj dimana Rasullah mengendarai Buroq.
-------------------------------------------------
Pertanyaan di atas layak diketengahkan dalam rangka introspeksi diri atas keagamaan
kita, sehingga kita benar-benar beragama sebagaimana mestinya. Karena betapa banyak
orang beragama, namun keberagamaan mereka sekedar warisan dari orang tua atau
lingkungan sekitar mereka. Bahkan ada sebagian orang beranggapan, bahwa agama
hanya sebagai pelengkap kehidupan yang sifatnya eksidental.
Mereka tidak ambil peduli yang lazim terhadap agama. Karenanya mereka beragama
asal-asalan, sekedar tidak dikatakan tidak beragama. Gejala perpindahan dari satu
agama kepada agama yang lain bukanlah semata karena faktor ekonomi. Bahkan,
anggapan bahwa semua agama itu sama merupakan akibat dari ketidak pedulian yang
lazim terhadap agama. Gejala pluralisme semacam ini menjadi trend abad kedua puluh.
Dalam persepsi mereka, membicarakan agama adalah suatu hal yang sangat sensitif dan
akan merenggangkan hubungan antara manusia. Agama merupakan sesuatu yang
sangat personal dan tidak perlu diungkap dalam forum-forum umum dan terbuka. Jika
harus berbicara agama pun, maka ruang lingkupnya harus dibatasi pada sisi peribadatan
saja.
Tentu, bagi mereka yang masih memiliki keterikatan dengan agama akan mengatakan,
bahwa pernyataan di atas relatif kebenarannya. Sebab, boleh jadi pernyataan di atas
adalah suatu kesimpulan dari beberapa kasus sejarah yang parsial dan situasional,
bahkan tidak bisa digeneralisasikan.
Namun bagi kaum muslimin, pernyataan di atas sama sekali tidak benar, karena secara
teoritis agama Islam adalah pegangan hidup (way of life) yang lengkap dan tidak dapat
dipisahkan dari kehidupan manusia, baik secara individu maupun kemasyarakatan. Islam
agama yang sangat luas dan fleksibel. Secara praktek hal ini telah dibuktikan, bahwa
dalam sebuah pemerintahan yang menjalankan syariat Islam dengan baik, kehidupan
masyarakatnya baik muslim atau non muslim aman, damai dan sejahtera, bahkan
perkembangan ilmu pengetahuan di dalamnya maju pesat.
Yang menjadi acuan kita, adalah bagaimana seharusnya kita beragama, agar ajarannya
benar-benar terasa dan mewarnai seluruh aspek kehidupan kita.
Sebagaimana telah kita bahas pada edisi sebelumnya, bahwa ajaran-ajaran Din terdiri
atas tiga macam, yaitu aqidah (keyakinan), syariah (hukum atau fiqih) dan akhlaq.
21
Semuanya harus kita perhatikan secara proporsional. Di sini kami akan menjelaskan,
walaupun ringkas, ketiga jenis ajaran tersebut.
1.Aqidah
Aqidah adalah perkara-perkara yang mengikat akal, pikiran dan jiwa seseorang (Mabani-e
Syenakht, Syeikh Muhammad Raysyahri). Misalnya, ketika seseorang meyakini adanya
satu Dzat yang senantiasa mengawasi gerak-gerik kita, maka keyakinan tersebut
mengikat kita sehingga kita tidak leluasa berbuat sesuatu yang akan menyebabkan-Nya
murka.
Pada dasarnya, inti dari aqidah semua agama, adalah keyakinan akan eksistensi Dzat
Pencipta alam raya ini dan ini merupakan fitrah manusia. Dengan demikian, dari sisi ini
semua agama sama, khususnya agama samawi. Allah Ta’ala berfirman, “Katakanlah
wahai ahli kitab, marilah kita menuju (membicarakan) kalimat (keyakinan) yang sama
antara kami dan kalian.” (QS. Ali Imran : 64).
Namun perbedaan muncul ketika berbicara tentang siapa pencipta alam raya ini,
bagaimana wujud-Nya, apakah tunggal atau berbilang, atau pertanyaan-pertanyaan lain
yang berkaitan dengan ketuhanan.
Tentu, tidak mungkin semua agama itu benar dalam memahami Dzat Pencipta. Oleh
karenanya, hanya ada satu agama yang benar dalam memahami siapa dan bagaimana
Dzat Pencipta itu.
Dalam hal ini, masing-masing agama tidak bisa membicarakan hal itu menurut kaca
matanya sendiri, baik melalui kitab sucinya atau pendapat para pakarnya. Umat Islam
tidak bisa membuktikan bahwa Tuhan itu Allah dengan Al-Qur’an maupun Hadis, atau
umat Kristiani dengan kitab Injilnya. Demikian pula umat lainnya.
Berbicara tentang siapa dan bagaimana Tuhan Pencipta, harus dengan sesuatu yang
disepakati dan dimiliki oleh setiap agama, yaitu akal. Keunggulan dan keberhasilan suatu
agama atau aliran, tergantung sejauh mana dapat dipertahankan kebenarannya oleh
akal. Maka di sinilah perlunya kita mempelajari aqidah melalui pendekatan akal, atau
yang sering disebut dengan ushuluddin, ilmu tauhid dan ilmu kalam (theologi).
Ayatullah Muhammad Ray Syahri dalam kitab Mabani-e Syenakht membagi manusia
yang beraqidah kepada dua kelompok, yaitu sebagian orang beraqidah atas dasar taqlid
dan lainnya beraqidah atas dasar tahqiq. Taqlid ialah menerima pendapat orang tanpa
dalil dan argumentasi (burhan) aqli, sebaliknya tahqiq adalah menerima pendapat
berdasarkan dalil dan argumentasi (burhan) aqli.
Beraqidah atas dasar taqlid, menurut akal tidak dapat dibenarkan. Karena masalah
aqidah adalah masalah keyakinan dan kemantapan, sementara taqlid tidak memberikan
keyakinan dan kemantapan. Oleh karenanya, alangkah banyak kalangan awam, dalam
masalah keagamaan, karena satu dan lain hal, pindah agama atau keluar dari agamanya.
Al-Qur’an sendiri, dalam beberapa ayatnya, mengkritik cara berpikir seperti ini, yang
merupakan cara berpikir yang biasa dijadikan alasan oleh orang-orang musyrik untuk
tidak mengikuti ajakan para Nabi. Misalnya, Al-Qur’an mengatakan, “Jika dikatakan
kepada mereka, Ikutilah apa yang Allah turunkan. Mereka menjawab, Tidak. Akan tetapi
kami mengikuti (melakukan) apa yang kami dapati dari pendahulu kami.” (QS. Luqman :
21).
22
Selain itu, Al-Qur’an juga melarang mengikuti sesuatu tanpa pengetahuan, “Dan
janganlah kalian mengikuti apa yang tidak kalian ketahui.” (QS. Al-Isra : 36). Bahkan Al-
Qur’an menyebut orang yang tidak menggunakan akalnya sebagai binatang yang paling
buruk, “Sesungguhnya binatang yang paling buruk di sisi Allah adalah orang yang bisu
dan tuli, yaitu orang-orang yang tidak berpikir.” (QS. Al-Anfal : 22) dan ayat-ayat lainnya.
Disamping itu, terdapat sejumlah Hadis Rasulullah saaw yang menganjurkan umatnya
agar beragama atas dasar pengetahuan. Antara lain Hadis yang berbunyi, “Jadilah kalian
orang yang berilmu atau yang sedang menuntut ilmu, dan jangan menjadi orang yang
ikut-ikutan.” (Kitab an-Nihayah Ibnu Atsir, jilid I hal. 67)
Ala kullihal, akal diciptakan sebagai sumber kekuatan manusia untuk mengetahui
kebenaran dan kesalahan. Salah seorang Ma’shumin berkata, “Allah mempunyai dua
hujjah (bukti kebenaran), hujjah lahiriah dan hujah batiniah. Hujah lahiriah adalah para
Rasul dan hujjah batiniah adalah akal.” Sementara itu, para Mutakalimin dan filosof
muslim telah bersusah payah membangun argumentasi-argumentasi rasional yang kuat
dan kokoh tentang pembuktian keberadaan Allah Ta’ala.
Dengan demikian, kesimpulan yang dapat kita tarik dari keterangan di atas, adalah
bahwa dalam masalah aqidah seseorang mesti bertahqiq dengan dalil-dalil akal, dan
tidak boleh ber-taqlid.
2. Syariat
Syariat menurut arti bahasa adalah tempat mengalirnya air. Lalu syariat diartikan lebih
luas, yaitu untuk segala jalan yang mengantarkan manusia kepada maksudnya (lihat
Tafsir Namuneh dan Tafsir Mizan dalam menafsirkan surat Al-Jatsiyah ayat 18).
Dengan demikian, Syariat Islamiyah berarti jalan yang mengantarkan umat manusia
kepada tujuan Islami.
Setelah seseorang meyakini keberadaan Allah sebagai Pencipta dan Pemberi kehidupan
sesuai dengan dalil-dalil akal, maka konsekuensi logisnya (bil mulazamah aqliyyah) dia
akan merasa berkewajiban untuk menaati dan menyembah-Nya. Namun sebelumnya,
tentu dia harus mengetahui cara bertaat dan menyembah kepada-Nya, agar tidak seperti
orang-orang Arab Jahiliyah yang menyembah Allah, namun melalui patung-patung (QS.
Az-Zumar : 3).
Mereka, sesuai dengan fitrah illahiah, meyakini keberadaan Tuhan Sang Pencipta alam
raya. Berkenaan dengan itu, Allah Ta’ala berfirman, “Jika kamu bertanya kepada mereka,
Siapakah yang menciptakan bumi dan langit ? Niscaya mereka menjawab, Allah.” (QS.
Lukman : 25). Kemudian, mereka ingin mengadakan hubungan dan berkomunikasi
dengan-Nya (menyembah-Nya), sebagaimana Allah lukiskan dalam firman-Nya,
“Sebenarnya kami menyembah patung-patung sebagai upaya mendekatkan diri kami
kepada Allah semata.” (QS. Az-Zumar : 3). Meskipun mereka meyakini keberadaan Allah
Ta’ala, namun mereka salah dalam cara mengadakan hubungan dan berkomunikasi
dengan-Nya.
Nah, agar tidak terjadi kesalahan dalam kontak dan komunikasi dengan Allah, maka kita
mesti melakukannya menurut cara yang dihendaki-Nya dan tidak mengikuti cara yang
kita inginkan. Allah dengan luthf-Nya (upaya mendekatkan hamba pada ketaatan dan
menjauhkannya dari kemaksiatan) mengutus para Nabi dan menurunkan kitab untuk
mengajarkan tata cara menyembah (beribadah). Oleh karena itu, kita mesti mengikuti
bagaimana Rasulullah saaw beribadah, ‘’Shalatlah kalian, sebagaimana kalian melihat
aku shalat.’’
23
Kaum muslimin yang menyaksikan Rasulullah beribadah secara langsung, tidak
mengalami kesulitan untuk mengikuti beliau. Namun, bagi kita yang telah dipisahkan dari
beliau dengan rentang waktu yang cukup panjang (lima belas abad), untuk mengetahui
cara beliau beribadah hanyalah dapat dilakukan melalui perantaraan Al-Qur’an dan
Hadis. Dan untuk memahami maksud Al-Qur’an dan Hadis tidaklah mudah.
Menyangkut Al-Qur’an, Imam Ali bin Abi Thalib as. berkata, “Kitab Tuhan kalian (berada)
di tengah-tengah kalian. Ia menjelaskan tentang halal dan haram, kewajiban dan
keutamaan, nasikh (ayat yang menghapus) dan mansukh (ayat yang dihapus), rukhshah
dan azimah, khusus dan umum, ibrah dan perumpamaan, mursal (mutlaq) dan mahdud
(muqayyad), muhkam (ayat yang jelas maksudnya)…” (Tashnif Nahjul Balaghah : 207).
Sedangkan mengenai Hadis yang sampai kepada kita, ribuan jumlahnya dari berbagai
kitab Hadis dan tidak sedikit darinya terdapat pertentangan satu dengan lainnya.
Dengan demikian, untuk dapat memahami maksud Al-Qur’an dan Hadis, harus terlebih
dahulu menguasai sejumlah disiplin ilmu dengan baik, antara lain Bahasa Arab, Tafsir,
Ulumul Qur’an, Ushul Fiqih, Mantiq, Ilmu Rijal, Ulumul Hadis dan sebagainya.
Orang yang telah menguasai semua disiplin ilmu tersebut dengan baik, dia dapat ber-
istinbath (meng-interpretasi-kan hukum) secara langsung dari Al-Qur’an dan Hadis
(pelakunya disebut mujtahid). Tetapi orang yang tidak menguasai semua ilmu di atas
dengan baik, maka cukup baginya mengikuti (bertaqlid) kepada hasil istinbath seorang
mujtahid. Dalam masalah aqidah taqlid tidak diperkenankan, sementara dalam masalah
syariat taqlid diperbolehkan.
3. Akhlak
Para ulama dalam mengartikan akhlak umumnya mengatakan, “Akhlak adalah ilmu yang
menjelaskan tentang mana yang baik dan yang buruk, serta apa yang harus diamalkan.”
Mereka membagi ilmu akhlak kepada dua bagian, yaitu akhlak teoritis dan akhlak praktis.
Mempelajari dan mengamalkan akhlak sangat diperlukan, sebagai proses mencapai
tujuan hidup, yaitu kesempurnaan.
-------------------------------------------------
Salam,
Setelah turunnya [Q.S. Al-Maidah 67], maka kemudian Rasul SAWW menyampaikan
khutbahnya, di antara isinya yaitu :
1. Memerintahkan manusia untuk berpegang pada Al-Qur'an dan mentaati Ahlul Bait
Rasul (AS) sepeninggal beliau, karena keduanya tak akan pernah berpisah sampai
bertemu dengan beliau di Surga (Al-Haudh). Lihat posting saya yang bertajuk "Mentaati
Ahlul Bait (AS)".
24
Kalimat Rasul SAWW adalah :
"Siapa yang menjadikan aku pemimpinnya, maka inilah Ali pemimpinnya, Ya Allah
tolonglah orang yang menolong Ali, dan Musuhilah orang yang memusuhi Ali".
Tentang pengangkatan Ali (AS) telah banyak diriwayatkan oleh segala kalangan ulama,
seperti ahli hadits, ahli tarikh, tafsir, dll.
Berikut referensinya.
A. Ahli Hadits :
B. Sanad periwayatan :
110 sahabat, seperti Zaid bin Arqam, Anas bin Malik, Jabir Al-Anshori, Hudhaifah bin
Usaid Al-Ghifari, Ibnu Abbas, Abu Said Al-Khudri, Ibnu Mas'ud, Abu Hurairah,.....dst.
[selebihnya pada kitab: "Al-Ghodir" oleh Al-Amini].
C. Pemikir Muslim :
D. Ahli Tarikh :
E. Ahli Tafsir :
25
F. Penyair Muslim :
Saat terjadi peristiwa Ghodir Khum, dimana Ali bin Abi Tholib dinobatkan sebagai
Pemimpin kaum muslimin, maka Abubakar dan Umar mengatakan :
"Selamat untukmu wahai putera Abi Tholib. Kini engkau adalah pemimpinku dan
pemimpin kaum mukmin dan mukminat"
Ref. ahlusunnah :
1. Ahmad, dalam Musnad, jilid 4, hal. 281.
2. Al-Ghazali, dalam "Siyar Al-Alamin".
3. Ibnu Al-Jauzi, dalam "Tarikh Al-Khawas".
4. Thabari, dalam "Riyadh An-Nadzirah".
5. Muttaqi Al-Hindi, dalam "Kanzul Ummal".
6. Tafsir Ar-Razi.
7. Ibnu Katsir, dalam "Al-Bidayah Wan Nihayah".
8. Tarikh Ibnu Asakir.
9. Habib Al-Hamid Al-Husaini, dalam "Imamul Muhtadin".
dll.
Berdasarkan keterangan saya di atas dan posting sebelumnya. Bahwa Rasul SAWW (atas
perintah Allah SWT) telah mengangkat Imam Ali (AS) sebagai penggantinya.
Yang hal ini diketahui oleh Abubakar dan Umar serta semua sahabat. Bahkan mereka
memberikan selamat pada Imam Ali.
Sehingga kalau kemudian terjadi peristiwa Saqifah, jelas ini bertentangan dengan wasiat
dan ketentuan Rasul SAWW tersebut. Sehingga tidak ada alasan lain selain alasan politik.
Pertemuan tersebut terjadi saat keluarga Rasul SAWW masih sibuk mengurusi jenazah
Rasul SAWW.
Ref. ahlusunnah :
1. Ibn Qutaibah, dalam "Tarikh Khulafa".
2. Ibnu Hisyam, dalam "Siroh Nabawiyyah".
3. Abubakar Al-Jauhari, dalam "Saqifah". dll.
Namun kemudian setelah peristiwa Saqifah tersebut, Umar sendiri mengatakan bahwa
pemilihan Abubakar di Saqifah oleh beberapa sahabat tersebut adalah "faltah"
(kesalahan), dan yang mengulangi cara bai'at tersebut mesti dibunuh, atau paling tidak
bai'at-nya tidak sah (tidak diakui). Atau istilah lain, faltah yang terjadi sebagaimana
faltah-nya jahiliyah.
Ref. ahlusunnah :
26
1. Shohih Bukhori, jilid 4, hal. 127.
2. Tarikh Thabari, jilid 2, hal. 244, bab "Saqifah".
Itulah akibat pelanggaran dari perintah Allah dan Rasul-Nya, yang akhirnya justru
menyebabkan perpecahan umat sampai sekarang.
Wassalaam,
-------------------------------------------------
Salam,
Para Ahli Tafsir mengatakan bahwa Asbabun Nuzul ayat tersebut adalah pada suatu hari
Imam Ali (AS) tidak memiliki apa-apa selain uang 4 dirham. Kemudian beliau (AS) meng-
infak-kan 1 dirham di waktu malam, 1 dirham di waktu siang, 1 dirham di-infak-kan
secara diam-diam dan 1 dirham di-infak-kan secara terang-terangan.
Ref. ahlusunnah :
Namun sayang, gelar inipun mesti terampas dari beliau (AS) dan dilekatkan kepada Umar
bin Khottob yang dikatakan sebagai khalifah yang suka ber-infaq secara diam-diam.
Padahal sejarah membuktikan bahwa Umar adalah orang yang tidak adil dalam membagi
Baitul Mal. Ia telah merusak tatanan pembagian Baitul Mal yang ditetapkan oleh
Rasulullah SAWW. Umar telah membuat pengkelasan dalam pembagian Baitul Mal, orang
Arab mendapat lebih banyak dari orang Ajam, kaum Muhajirin mendapat lebih banyak
dari kaum Anshar, muhajirin Quraisy mendapat lebih banyak dari muhajirin non-Quraisy,
dll. Padahal Rasul SAWW membagikan Baitul Mal secara sama rata.
Ref. Ahlusunnah :
1. Ibn Abil Hadid, dalam "Syarh Nahjul Balaghah", jilid 8, hal. 111. 2. Tarikh Ya'qubi, jilid 2,
hal. 106. dll.
27
Dan saat Imam Ali (AS) menjadi khalifah, maka beliau mengembalikan pembagian Baitul
Mal sebagaimana sunnah Rasul SAWW. Sehingga hal ini menimbulkan protes oleh Talhah
dan Zubair.
Keduanya berkata : "Umar telah memberi bagian kepada kami lebih banyak dari
muslimin lainnya". Imam Ali AS menjawab : "Kalian diberi apa oleh Rasulullah ?".
Keduanya langsung terdiam. Beliau (AS) melanjutkan : "Tidakkah Rasulullah SAWW
senantiasa memberi bagian kepada seluruh kaum muslimin secara sama rata ?". Mereka
menjawab : "Ya". Beliau (AS) melanjutkan : "Apakah saya mesti mengikuti sunnah Rasul
SAWW ataukah cara-cara Umar ?". Mereka menjawab : "Jelas, sunnah Rasulullah". Beliau
(AS) berkata lagi : "Lantas mengapa kalian mengharap bagian lebih ?".....dan seterusnya.
Ref. syi'ah :
Prof. Muhsin Qira'ati, dalam "Mencari Tuhan", hal. 170-171, penerbit Cahaya. Yang
mengutip dari Biharul Anwar, jilid 41, hal. 116.
Saya yakin hal ini tidak lepas dari peran Mu'awiyyah dan antek-anteknya seperti Abu
Hurairah, Samroh bin Jundub, dll.
"Ali banyak mempunyai musuh. Mereka berupaya untuk mencari sesuatu yang mungkin
bisa mencelanya, namun mereka tidak menemukannya. Kemudian mereka cari musuh-
musuhnya, lalu diciptakanlah keutamaan-keutamaan bagi musuh-musuhnya itu"
Ref. ahlusunnah :
Ref. :
O. Hashem, dalam "Saqifah", hal. 134-135, penerbit YAPI. Yang mengutip dari Abul Hasan
Ali bin Muhammad bin Abi Saif Al-Mada'ini, dalam kitab "Al-Ahdats".
28
Wassalaam,
-------------------------------------------------
Perkataan di atas sangat tepat dan pada tempatnya, mengingat banyak orang yang
beragama, tetapi tidak mengenal agamanya dengan baik. Padahal, mengenal agama
seharusnya berada pada tahapan awal sebelum mengamalkan ajarannya. Tetapi secara
realita, keberagamaan sebagian besar dari mereka tidak sebagaimana mestinya. Nah
dalam kesempatan ini kami akan memberikan penjelasan tentang mengapa kita
beragama dan bagaimana seharusnya kita beragama dan bagaimana seharusnya kita
beragama? Sehingga kita beragama atas dasar bashirah (pengetahuan, pengertian dan
bukti).
Allah Ta’ala berfirman, “Katakanlah (wahai Muhammad), inilah jalan-Ku. Aku mengajak
kepada Allah dengan bashirah (hujjah yang nyata).” (Q.S. Yusuf, 108).
Namun, sebelum menjawab dua pertanyaan di atas, ada baiknya kami terlebih dahulu
membicarakan tentang din itu sendiri.
Din berasal dari bahasa Arab dan dalam Al-Qur’an disebutkan sebanyak 92 kali. Menurut
arti bahasa(etimologi), din diartikan sebagai balasan dan ketaatan. Dalam arti balasan,
Al-Qur’an menyebutkan kata din dalam surat Al-Fatihah ayat 4, maliki yawmiddin –
“(Dialah) Pemilik (raja) hari pembalasan.“ Demikian pula dalam sebuah hadis, din
diartikan sebagai ketaatan. Rasulullah saaw bersabda, “ad-dinu nashihah (Agama adalah
ketaatan).” Sedangkan menurut terminologi Teologi, din diartikan sebagai sekumpulan
keyakinan, hukum dan norma yang akan mengantarkan seseorang kepada kebahagiaan
manusia, baik di dunia maupun di akhirat.
Berdasarkan hal di atas, din mencakup tiga dimensi, (1) keyakinan (aqidah), (2) hukum
(syariat) dan (3) norma (akhlak). Ketiga dimensi tersebut dikemas sedemikian rupa
sehingga satu sama lain saling berkaitan dan tidak bisa dipisahkan antara satu dengan
lainnya. Dengan menjalankan din, kebahagiaan, kedamaian dan ketenangan akan teraih
di dunia dan di akhirat. Seseorang dikatakan mutadayyin (ber-din dengan baik), jika dia
dapat melengkapi dirinya dengan tiga dimensi agama tersebut secara proporsional,
sehingga dia pasti berbahagia.
Dalam dimensi keyakinan atau aqidah, seseorang harus meyakini dan mengimani
beberapa perkara dengan kokoh dan kuat, sehingga keyakinannya tersebut tidak dapat
digoyahkan lagi. Keyakinan seperti itu akan diperoleh seseorang dengan argumentasi
(dalil aqli) yang dapat dipertahankan. Keyakinan ini pada intinya berkisar pada keimanan
kepada Allah dan hari akhirat.
Adapun syariat adalah konsekuensi logis dan praktis dari keyakinan. Mengamalkan
syariat merupakan refresentasi dari keyakinan. Sehingga sulit dipercaya jika seseorang
29
mengaku beriman kepada Allah dan hari akhirat tetapi tidak mengindahkan syariat-Nya,
karena syariat merupakan kewajiban dan larangan yang datang dari-Nya.
Sedangkan akhlak adalah tuntutan akal-budi (aqal amali) yang mendorong seseorang
untuk mengindahkan norma-norma dan meninggalkan keburukan-keburukan. Seseorang
belum bisa dikatakan mutadayyin selagi tidak berakhlak - “la dina liman la akhlaqa lahu.”
Demikian pula, keliru sekali jika seseorang terlalu mementingkan akhlak dari pada
syariat.
Dari ketiga dimensi din tersebut, keyakinan (aqidah) menduduki posisi yang paling
prinsip dan menentukan. Dalam pengertian, bahwa yang menentukan seseorang itu
mutadayyin atau tidak adalah keyakinannya. Dengan kata lain, yang memisahkan
seseorang yang beragama dari yang tidak beragama (atheis) adalah keyakinannya. Lebih
khusus lagi, bahwa keyakinanlah yang menjadikan seseorang itu disebut muslim,
kristiani, yahudi atau lainnya.
Manusia adalah satu spesies makhluk yang unik dan istimewa dibanding makhluk-
makhluk lainnya, termasuk malaikat, karena manusia dicipta dari unsur yang berbeda,
yaitu unsur hewani / materi dan unsur ruhani / immateri. Memang, dari unsur hewani
manusia tidak lebih dari binatang, bahkan lebih lemah darinya. Bukankah banyak
diantara binatang yang lebih kuat secara fisik dari manusia ? Bukankah ada binatang
yang memiliki ketajaman mata yang melebihi mata manusia ? Bukankah ada pula
binatang yang penciumannya lebih peka dan lebih tajam dari penciuman manusia ? Dan
sejumlah kelebihan-kelebihan lainnya yang dimiliki selain manusia.
Sehubungan ini Allah swt berfirman, “Dan manusia diciptakan dalam keadaan lemah.”
(QS. An-Nisa, 28). “Allah telah menciptakan kalian lemah, kemudian menjadi kuat, lalu
setelah kuat kalian menjadi lemah dan tua.” (QS. Rum, 54). Masih banyak ayat lainnya
yang menjelaskan hal serupa.
Karena itu, sangatlah tidak pantas bagi manusia berbangga dengan penampilan fisiknya,
disamping itu penampilan fisik adalah wahbi sifatnya (semata-mata pemberian dari
Allah, bukan hasil usahanya).
Kelebihan manusia terletak pada unsur ruhani (mencakup hati dan akal, keduanya bukan
materi). Dengan akalnya, manusia yang lemah secara fisik dapat menguasai dunia dan
mengatur segala yang ada di atasnya. Karena unsur inilah Allah menciptakan segala
yang ada di langit dan di bumi untuk manusia (Lihat surat Luqman ayat 20). Dalam salah
satu ayat Al-Qur’an ditegaskan, “Sungguh telah kami muliakan anak-anak Adam, kami
berikan kekuasaan kepada mereka di darat dan di laut, serta kami anugerahi mereka
rizki. Dan sungguh kami utamakan mereka di atas kebanyakan makhluk Kami lainnya.”
(QS. Al-Isra 70).
Unsur akal pada manusia, awalnya masih berupa potensi (bil-quwwah) yang perlu
difaktualkan (bil-fi’li) dan ditampakkan. Oleh karena itu, jika sebagian manusia lebih
utama dari sebagian lainnya, maka hal itu semata-mata karena hasil usahanya sendiri,
karena itu dia berhak berbangga atas lainnya. Sebagian mereka ada pula yang tidak
berusaha memfaktualkan dan menampakkan potensinya itu, atau memfaktualkannya
hanya untuk memuaskan tuntutan hewaninya, maka orang itu sama dengan binatang,
bahkan lebih hina dari binatang (QS. Al-A’raf 170 dan Al-Furqan 42).
30
Termasuk ke dalam unsur ruhani adalah fitrah. Manusia memiliki fitrah yang merupakan
modal terbesar manusia untuk maju dan sempurna. Din adalah bagian dari fitrah
manusia.
Dalam kitab Fitrat (edisi bahasa Parsi), Syahid Muthahhari menyebutkan adanya lima
macam fitrah (kecenderungan) dalam diri manusia, yaitu mencari kebenaran (haqiqat),
condong kepada kebaikan, condong kepada keindahan, berkarya (kreasi) dan cinta (isyq)
atau menyembah (beragama). Sedangkan menurut Syeikh Ja’far Subhani,terdapat empat
macam kecenderungan pada manusia,dengan tanpa memasukan kecenderungan
berkarya seperti pendapat Syahid Muthahhari (kitab al-Ilahiyyat, juz 1).
Meskipun kecenderungan beragama adalah suatu yang fitri, namun untuk menentukan
siapa atau apa yang pantas dicintai dan disembah bukan merupakan bagian dari fitrah,
melainkan tugas akal yang dapat menentukannya. Jadi jawaban dari pertanyaan
mengapa manusia harus beragama, adalah bahwa beragama merupakan fitrah manusia.
Allah Ta’ala berfirman, “Maka hadapkanlah wajahmu kepada din dengan lurus, sebagai
fitrah Allah yang atasnya manusia diciptakan.” (QS. Rum 30).
Kaum materialis memiliki sejumlah teori tentang kemunculan agama, antara lain:
Namun, dengan berkembangnya ilmu pengetahuan (sains) sampai pada batas segala
sesuatu terkuak dengan ilmu yang empiris, maka keyakinan terhadap yang ghaib tidak
lagi mempunyai tempat di tengah-tengah mereka.
Konsekuensi logis teori di atas, adalah makin pandai seseorang akan makin jauh ia dari
agama bahkan akhirnya tidak beragama, dan makin bodoh seseorang maka makin kuat
agamanya. Padahal, betapa banyak orang pandai yang beragama, seperti Albert
Einstein, Charles Darwin, Hegel dan lainnya. Demikian sebaliknya, alangkah banyak
orang bodoh yang tidak beragama.
31
Teori ini mengatakan, bahwa munculnya agama karena perasaan takut terhadap Tuhan
dan akhir kehidupan. Namun, bagi orang-orang yang berani keyakinan seperti itu tidak
akan muncul. Teori ini dipelopori oleh Bertnart Russel. Jadi, menurut teori ini agama
adalah indikasi dari rasa takut. Memang takut kepada Tuhan dan hari akhirat, merupakan
ciri orang yang beragama. Tetapi agama muncul bukan karena faktor ini, sebab
seseorang merasa takut kepada Tuhan setelah ia meyakini adanya Tuhan. Jadi, takut
merupakan akibat dari meyakini adanya Tuhan (baca beragama).
Karl Marx mengatakan bahwa agama merupakan produk para penguasa yang
diberlakukan atas rakyat yang tertindas, sebagai upaya agar mereka tidak berontak dan
menerima keberadaan sosial ekonomi. Mereka (rakyat tertindas) diharapkan terhibur
dengan doktrin-doktrin agama, seperti harus sabar, menerima takdir, jangan marah dan
lainnya.
Namun, ketika tatanan masyarakat berubah menjadi masyarakat sosial yang tidak
mengenal perbedaan kelas sosial dan ekonomi, sehingga tidak ada lagi perbedaan
antara penguasa dan rakyat yang tertindas dan tidak ada lagi perbedaan antara si kaya
dan si miskin, maka agama dengan sendirinya akan hilang. Kenyataannya, teori di atas
gagal. Terbukti bahwa negara komunis sosialis sebesar Uni Soviet pun tidak berhasil
menghapus agama dari para pemeluknya, sekalipun dengan cara kekerasan.
Teori ini berseberangan dengan teori-teori sebelumnya. Teori ini mengatakan, bahwa
agama hanyalah suatu perisai yang diciptakan oleh orang-orang lemah untuk membatasi
kekuasaan orang-orang kuat. Norma-norma kemanusiaan seperti kedermawanan, belas
kasih, kesatriaan, keadilan dan lainnya sengaja disebarkan oleh orang-orang lemah untuk
menipu orang-orang kuat, sehingga mereka terpaksa mengurangi pengaruh kekuatan
dan kekuasaannya. Teori ini dipelopori Nietzche, seorang filusuf Jerman.
Teori di atas terbantahkan jika kita lihat kenyataan sejarah, bahwa tidak sedikit dari
pembawa agama adalah para penguasa dan orang kuat misalnya Nabi Sulaiman dan
Nabi Daud keduanya adalah raja yang kuat.
-------------------------------------------------
Pengangkatan Khalifah
Nas atau Musyawarah?
32
Semua ulama sependapat bahwa apabila sesuatu masalah telah ditetapkan oleh Allah
Ta’ala dan Rasul-Nya secara jelas, maka memilih yang lain dari itu tidaklah dibolehkan.
Dengan kata lain, apabila telah ada nas (nash), maka orang tidak boleh berusaha
mencari hukum yang lain daripada yang telah ditetapkan nas. Apabila telah ada nas
tentang sesuatu, maka tidaklah boleh melakukan ijtihad mengenai masalah tersebut.
Demikian pula tentang pemilihan. Allah Ta’ala berfirman:
“Tuhanmu telah berfirman dan memilih apa yang Ia kehendaki. Bagi mereka tiada
pilihan. Mahasuci Allah dan Maha Tinggi diatas sekutu-sekutu yang mereka persekutukan
denganNya.” [ Al-Qashash:68 ]
Ayat ini menunjukkan dengan tegas bahwa manusia tidak boleh memilih selain apa yang
telah dipilih oleh Allah Ta’ala. Dalam surah yang lain, Allah Ta’ala berfirman:
Sebab turunnya ayat yang terkutip diatas itu, menurut ahli tafsir sunni, al-hazm (Al-
hazm, tafsir jilid V halaman 195) dan banyak tafsir lainnya, adalah jawaban kepada kaum
musyrikin yang menuntut kepada Rasul Allah saw agar dua orang, Walid bin Mughirah di
Makkah, dan Urwah bin Mas’ud ats-Tsaqafi di Thaif, diangkat menjadi Nabi atau agar
mereka menerima wahyu, sebagaimana tersebut dalam Al-Quran:
“Dan mereka berkata (pula), ‘Mengapa Al-Quran ini tiada diturunkan kepada seseorang
yang besar dalam salah satu dari kedua kota (Makkah dan Thaif)?” [ Az-Zukhruf: 31 ]
Maka Allah Ta’ala memberitahukan bahwa Allah tiada akan mengutus seseorang dengan
mengikuti pilihan orang lain. Dalam surah al-ahzab, Allah Ta’ala berfirman:
“Tiada dibenarkan bagi orang mukminin dan mukminat, apabila Allah dan Rasul-Nya
telah menetapkan sesuatu keputusan, bahwa mereka akan ambil pilihan(lain) dalam soal
mereka itu. Barangsiapa yang durhaka kepada Allah dan Rasul Nya, pastilah ia tersesat
dalam kesesatan yang nyata.” [Al-ahzab: 36 ]
“Hai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul
Nya. Tapi taqwalah kepada Allah. Sungguh Allah Maha Mendengar, Maha
Mengetahui.”
33
Ayat ini dengan tegas menunjukkan bahwa kepemimpinan itu janji Allah, sedang manusia
tidak mempunyai hak untuk memilih. Kepemimpinan (imamah) adalah hak mutlak dari
Allah Ta’ala.
Ayat ini tidaklah bertentangan dengan ayat yang dikutipkan sebelumnya, karena,
sebagaimana telah dikatakan, apabila telah jelas nas dari suatu masalah, maka tidak
boleh dimusyawarahkan lagi. Perintah Allah serta janji-Nya telah demikian jelasnya,
sehingga kaum muslimin tidak boleh lagi memusyawarahkannya.
Para Ulama sependapat bahwa segala sesuatu dapat dimusyawarahkan, kecuali yang
telah ditentukan Allah dan Rasul-Nya.
Masalahnya sekarang, adakah pengganti Rasul oleh Allah Ta’ala dan Rasul-Nya?
Sekiranya tidak ada, maka masalah yang luar biasa pentingnya ini, yaitu pengangkatan
pemimpin umat pengganti Rasul, harus dilakukan dengan musyawarah.
Akan tetapi!!!
Pada tahun ke-10 dari hijriahnya Rasulullah saw, terdengar gemuruh gema suara
panggilan dan pujian kepada Allah Ta’ala. “Labbaikallahumma labaik, labbaikalaa syarika
laka labbaik.” Terdengar disetiap tempat. Kepulan debu dan suara derap langkah dapat
terlihat dan terdengar dari kejauhan. Rasulullah saw dan ummatnya sedang melakukan
ibadah suci yang diperintahkan Allah Ta’ala. Berbaiat pada ketauhidan dan melepaskan
diri dari kemusyrikan. Mendemonstrasikan Keagungan Tuhan dengan nya mewujudkan
ketaatan.
Hari ke 18 Dzulhijjah pada tahun itu, merupakan hari yang menjadikan kaum musyrikin
berputus asa dari yang mereka cita-citakan. Yaitu terpecah belahnya ummat Islam
sepeninggal pemimpin mereka Muhammad saw. Pada hari itu, Allah Ta’ala mengutus
malaikat Jibril as menyampaikan tugas yang sangat berat kepada Rasul saw.
“Wahai Rasul, sampaikanlah apa yang telah diturunkan Tuhanmu kepadamu. Bila engkau
tidak melakukannya maka engkau tidak menyampaikan Risalah Tuhanmu. Dan Allah akan
menjagamu dari (kejahatan) manusia. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk
kepada kaum yang kafir. ” [ Q.S 5:67 ]
34
Sabda Rasul : “ Barang siapa yang mengakui saya sebagai maulanya, maka inilah
saudaranya! Ya Allah cintailah siapa yang memperwalikannya dan musuhilah siapa yang
memusuhinya.” ( Musnad Imam Ahmad jilid IV, halaman 370; jilid I halaman 119 )
Dengan kata lain, Ali bin Abi Thalib telah ditunjuk oleh Rasul sebagai penggantinya.
Kuatnya hadith Ghadir khum ini tidak dapat disangkal lagi. Diantara para ahli yang
menguatkan hadith ini adalah: Imam Ahmad ibn Hanbal, Tirmdzi, Nasa’i, Ibnu Maja, Abu
Daud, dan penulis-penulis sunni lain, seperti Ibn Atsir dalam Usdul Ghabah, Ibn Abdil Barr
dalam Isti’ab, Ibn ‘Abdi Rabbih dalam “Iqdul Farid, dan Jahizh dalam Utsmainiyyah. Ibnu
katsir, ulema sunni, menulis tujuh setengah halaman tentang peristiwa ini.
Ayat Al Quran surah 5:67 , ayat yang terkenal dengan nama Ayat Tabligh (sampaikan)
turun dalam peristiwa Ali bin Abi Thalib di Ghadir Khum. As-suyuthi dalam tafsirnya,
mencatat riwayat dari Ibn Mas’ud yang mengatakan: “Pada waktu Rasul masih hidup,
kaum muslimin membaca ayat itu (dengan pengertian) demikian:
“Hai, Rasul! Sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu bahwa ‘Ali
adalah wali mukmin, dan jika tiada kau melakukannya, tiadalah kau menyampaikan
amanatnya. Allah akan melindungi dari orang (berniat jahat). Sesungguhnya Allah tidak
memberi petunjuk orang yang ingkar.” ( Suyuthi ad Durrul Mansur, halaman 289 )
Paling sedikit dari 110 sahabat Nabi, 84 tabi’in, 355 Ulama, 25 ahli sejarah, 27 ahli
hadith, 11 musafir, 18 ahli ilmu kalam, 5 ahli bahasa yang merekamnya. Ini ulasan
didapat oleh Husain al Manfuzh, dalam bukunya Tarikh Asy-Syi’ah.
Bukankah sudah jelas kalau pada ayat Tabligh ini, Rasul enggan untuk
menyampaikannya, karena akan mendapat tantangan, tapi Allah Ta’ala mengatakan
dengan tegas:
“....... Bila engkau tidak melakukannya maka engkau tidak menyampaikan Risalah
Tuhanmu. Dan Allah akan menjagamu dari (kejahatan) manusia. Sesungguhnya Allah
tidak memberi petunjuk kepada kaum yang kafir. ” [ Q.S 5:67 ]
-------------------------------------------------
Riwayat ini disampaikan oleh Ibnu Qutaibah seorang sejarawan terbesar dalam kitabnya
Tarikh khulafa’ adalah bersumber dari Malik sendiri, maka hal ini perlu mendapat
perhatian dan dijadikan materi pelajaran. Malik telah mengatakan, “Ketika saya berada di
35
Mina, saya mendatangi beberapa kemah, dansaya sendiri meminta izin maka saya diberi
izin. Kemudian orang yang memberi izin itu keluar menemuiku dan memasukkanku, saya
berkata padanya, “Jika kamu dan saya telah sampai pada kemah di mana Amirul
Mukminin berada maka beritahukanlah saya .” Lalu ia berjalan bersamaku dari suatu
kemah kekemah lain, dalam setiap kemah terhadap kelompok lelaki yang pada tengah
mereka padang-padang yang terkenal dan tangan-tangan terangkat, sehingga orang itu
mengatakan pada saya, ‘Dia berada di kemah itu, lalu ia meninggalkan saya dan berada
dibelakang saya.
“Kemudian saya berjalan sampai pada kemah yang dia berada di dalamnya, tiba-
tiba ia telah turun dari tempat ia duduk menuju ke hampaaran di bahwahnya dan ia telah
mengenakan pakaian sederhana sekali yang kurang layak bagi orang yang semisalnya
sebagai sikap merendah karena kedatanganku dan tidak ada bersamanya selain sebuah
pemancang yang pada ujungnya sebilah pedang yang tersarungkan. Ketika saya
mendekat padanya, ia mempersilahkan dan mendekatkan saya lalu ia berkata, “Silahkan
mendekat padaku, maka saya berisyarat mau duduk, ia mengatakan, ‘Ke sini! ia
senantiasa memanggilku untuk mendekat, sehingga ia mendudukanku di depannya dan
berhimpitan kedua lututku dengan kedua lututnya.
“Selanjutnya yang pertama kali dia ucapkan ialah, Demi Allah yang tidak ada
Tuhan kecuali Dia, wahai Abu Abdullah! sungguh aku tidak pernah memerintahkan aapa
yang telah terjadi itu dan aku tidak mengetahui sebelum terjadinya serta aku tidak pula
merelakannya (Yakni peristiwa pemukulan).’ Malik berkata, maka saya memuji Allah SWT
pada setiap saat dan saya bersalawat pada Rasulullah saww, kemudian saya
membebaskan dia dari perkara tersebut dan menyatakan kerelaan tentangnya.
Kemudian ia berkata, ‘wahai Abu Abdullah! penduduk Haramain senantiasa dalam
kebaikan selama engkau di belakang mereka, sungguh aku mempercayakan padamu
keamanan bagi mereka dari siksaan Allah dan kemurkaan-Nya dan denganmu Allah SWT
telah menahan mereka dari bencana yang besar. Sesungguhnya mereka itu seperti yang
aku ketahui adalah orang-orang yang paling cepat mendapat bencana dan yang paling
lemah untuk terhindar dari padanya, semoga Allah membinasakan mereka di mana saja
berada. Aku telah memerintahkan untuk menghadapkan musuh Allah SWT itu dari
Madinah dalam keadaan terhina (yakni Ja’far bin Sulaiman) dan aku telah
memerintahkan untuk mempersempit tempat duduknya serta secara terang-terangan
penghinaannya, dan sepatutnyalah aku menimpahkan siksaan padanya yang melebihi
dari apa yang telah engkau terima darinya.
“Maka saya pun menjawab, ‘Semoga Allah SWT memaafkan Amirul Mukminin dan
memuliakan kedudukannya, sungguh saya telah memaafkan dirinya lantaran
kekerabatannya dengan Rasulullah saww, dan denganmu.’ Abu Ja’far al-Manshur berkata,
‘Dan juga engkau semoga diampuni oleh Allah dan didekatkan. ’Malik berkata ‘Kemudian
ia telah membeberkan padaku tentang orang yang telah lalu dari kalangan para
pendahulu, maka saya dapati ia adalah seorang yang paling tahu terhadap perkara yang
mereka sepakati dan yang mereka perselisihkan karena ia bersikap menjaga apa yang
diriwayatkan dan menyadari apa yang didengar.’
“Lalu ia berkata kepadaku, ‘Wahai Abu Aabdullah! Letakkan ilmu ini dan catatlah,
tulislah darinya menjadi beberapa kitab, jauhilah kekerasan Abdullah bin Umar,
peringatan Abdullah bin Abbas dan keasingan Abdullah bin Mas’ud, ambilah jalan
pertengahan dan yang telah disepakati oleh para pemimpin dan sahabat ra, supaya kami
dapat membebani manusia insya Allah dengan ilmumu dan kitab-kitabmu dan kami
kirimkan keseluruh kota-kota serta kami pesankan pada mereka agar mereka tidak
menyimpang darinya dan tidak menentukan hukum dengan selainnya. Saya pun
menyatakan padanya, ‘Semoga Allah memperbaiki keadaan Amirul Mukminin,
sesungguhnya penduduk Iraq tidak mau menerima ilmu kami dan tidak mau
memperhatikan pendapat kami dalam ilmu mereka.’ Maka Abu Ja’far al-Manshur
menjawab, ‘Mereka akan dipaksa dengan dan kami akan memukul kemauan mereka
36
dengan pedang serta memutuskan kekuatan punggung mereka dengan cambuk, maka
segeralah perbuat dan tetapkanlah, anakku Muhammad al-Mahdi akan datang padamu
tahun depan insya Allah di Madinah untuk mendengarnya darimu dan ia akan
mendapatkanmu telah menyelesaikan kitab itu insya Allah.
“Malik berkata, ‘Tatkala kami tengah duduk, tiba-tiba muncul seorang anaknya
yang kecil dari kemah sebelah belakang kemah temapat kami berada, dan ketika anak
kecil itu melihat padaku maka ia ketakutan dan berbalik kebelakang, ia tidak mau maju
ke depan,’ Lalu Abu Ja’far al-Manshur berkata padanya, ‘Majulah wahai sayangku,
sesungguhnya ia ini adalah Abu Abdullah seorang faqih penduduk hijaz, ’kemudian ia
berpaling kepadaku sambil berkata, ‘Hai Abu Abdullah, tahukah engkau mengapa anak
itu takut dan tidak mau ke depan? ‘ Aku menjawab , ‘Tidak!’ Ia berkata, ‘Demi Allah, ia
telah memungkiri kedekatan tempat dudukmu denganku, karena ia belum pernah
melihat hal ini terhadap seseorang selain engkau sendiri, oleh sebab itu ia berbalik.’
-------------------------------------------------
Puasa Asyura
Beberapa hadis yang dijumpai dalam kitab-kitab Sunni memuat riwayat bahwa Nabi
Saw. ketika hijrah ke Madinah menemukan kaum Yahudi sedang berpuasa pada 10
Muharram. Beliau bertanya kepada mereka apa alasan mereka berpuasa. Mereka
menjawab, “Ini hari kemenangan: hari ketika Tuhan menyelamatkan Bani Israil dari
musuh mereka (yakni Fir’aun). Oleh karenanya, Mûsâ berpuasa pada hari itu.” Nabi Saw.
berkata, “Aku lebih berhak berpuasa daripada kalian.” Oleh karenanya, beliau berpuasa
pada hari itu dan memerintahkan kaum Muslim untuk berbuat sama. (Al-Shahih, al-
Bukharî, Jilid 3, edisi Mesir, hal.54; Misykat al-Masabih, edisi Delhi, 1307 H, hal.172).
Disebutkan oleh pensyarah Misykat al-Masabih bahwa “peristiwa itu terjadi pada tahun
kedua, karena pada tahun pertama, Nabi sampai di Madinah setelah ‘Asyura, di bulan
Rabi’ Al-Awwal.”
Begitu pentingnya puasa pada hari tersebut bisa disimpulkan dari hadis lain yang
diriwayatkan dalam Al-Shahih al-Bukhari: “Nabi Saw. menyuruh seorang laki-laki dari
suku Aslam: ‘Kabarkanlah kepada manusia bahwa barangsiapa yang telah makan harus
berpuasa pada sebagian siang, dan barangsiapa yang belum makan harus berpuasa
(sepanjang hari), karena ini hari ‘Asyura (hari kesepuluh bulan Muharram).”
5
Lihat Tarikh Khulafa’ oleh Ibnu Qutaibah, II, hal.150
37
Pada tahun itu juga puasa Ramadhan diwajibkan dan kewajiban berpuasa pada hari
‘Asyura dihapus [diubah hukumnya, pen.], sebagaimana telah disebutkan dalam hadis-
hadis lain yang diriwayatkan dalam kitab yang sama. Dengan demikian, puasa tersebut
berubah hukumnya menjadi puasa sunnah.
Pertama, kaum Yahudi mempunyai penanggalan dan bulan tersendiri. Tidak logis
mengatakan bahwa mereka berpuasa pada 10 Muharram — kecuali jika itu bisa
dibuktikan bahwa tanggal tersebut selalu bersamaan dengan hari puasanya Yahudi.
Saya telah menyebutkan hal ini dalam artikel berjudul “Martyrdom of Imam Husayn and
the Muslim and the Jewish Calendars” (al-Serat, Jilid 6, No. 3 -4, Muharram 1401
November 1980) bahwa bulan pertama kaum Yahudi (Abib, belakangan dinamai Nisan)
bersamaan dengan bulan Rajab pada bangsa Arab. W.O.E. Oesterley dan Theodore H.
Robinson telah menulis bahwa di Arabia “perayaan bulan baru yang paling penting jatuh
pada bulan Rajab (sic), yang bertepatan dengan bulan Abib kaum Yahudi, karena bulan
itu masa ketika bangsa Arab kuno merayakan festival musim semi.” (Hebrew Religion,
SPCK, London, 1955, hal.128).
Mungkin saja, pada zaman dulu dua cabang keturunan Nabi Ibrahim as. mempunyai
sistem penanggalan yang sama dengan penambahan satu bulan tujuh kali setiap 19
tahun. Dan, dengan cara yang sama bulan ketujuh kaum Yahudi, Tishri I, bertepatan
dengan bulan Muharram. Sedangkan hari kesepuluh (‘Asyura) Muharram berbarengan
dengan 10 Tishri I, Hari Pengampunan bangsa Yahudi — yakni hari puasa mereka. Dalam
artikel tersebut, dikatakan bahwa dua penanggalan tersebut kehilangan sinkronisasinya
ketika Islam, dalam tahun ke-9 Hijrah, tidak membolehkan penanggalan. Namun pada
konsiderasi yang lebih dalam, hal itu terjadi kesamaan sejak lama sebelum kemunculan
Islam, karena bangsa Arab tidak mengikuti kalkulasi matematik apapun dalam
penanggalan mereka. Itulah mengapa Muharram pada tahun ke-2 Hijrah berawal pada 5
Juli 623 (al-Munjid, edisi ke-21), bulan-bulan sebelum Tishri I (yang selalu bertepatan
dengan September-Oktober).
Pendek kata, ‘Asyura Muharram pada tahun itu (atau untuk masalah tersebut, selama
keseluruhan hidup Nabi di Madinah) tidak memiliki signifikansi apapun dengan kaum
Yahudi.
Kedua, literatur Midrashic kaum Yahudi ihwal hari ke-10 bulan ke-7 (Yom Hakippurim —
Hari Pengampunan) berkaitan dengan peristiwa pengambilan lembar-lembar Perjanjian
dari Gunung Sinai, sebagaimana yang telah ditulis Dr Mishael Maswari-Caspi dalam
suratnya, mengutip pada artikel saya sebelumnya, yang disebutkan di muka.
Pertanyaan: Jika kaum Yahudi ingin tetap menyesuaikan bulan Tishri dengan Muharram,
bagaimana mereka bisa lupa meriwayatkan hadis ini dari Nabi?
Ketiga, bulan yang di dalamnya Tuhan menyelamatkan Bani Israil dari Fir’aun adalah Abib
(yakni Rajab), sebagaimana disebutkan Injil dengan jelas: “Perhatikanlah bulan Abib,
tetaplah pada jalur Allah Tuhanmu; karena pada bulan Abib Allah Tuhanmu mengeluarkan
kalian dari Mesir pada malam hari.” (Deut., 16:1).
Pertanyaan: Bagaimana kaum Yahudi bisa mengubah sebuah peristiwa Abib (yang
semula bertepatan dengan Rajab) ke Muharram, dengan penyangkalan terang-terangan
terhadap Taurat mereka?
38
Dan terakhir, di sini ada satu noktah untuk menilai kaum Muslim: Nabi Saw. diutus
dengan sebuah agama untuk menghapus semua agama dan syariat sebelumnya.
Bagaimana bisa beliau merendahkan martabat dengan meniru kebiasaan kaum Yahudi?
Adalah jelas dari fakta yang disebutkan di atas bahwa kaum Yahudi tidak mempunyai
alasan sama sekali untuk berpuasa pada ‘Asyura Muharram pada periode tersebut; dan
kisah ini yang terbangun pada premis tersebut, adalah sekadar fiksi. Dengan gamblang,
peristiwa itu direkayasa oleh periwayat yang hanya tahu bahwa pada suatu ketika di
bulan Muharram bertepatan dengan Tishri I-nya kaum Yahudi; namun tidak menyadari
sepenuhnya agama dan kebudayaan kaum Yahudi kontemporer.
Orang merasa enggan menyebutkan hal ini di sini dan hadis-hadis sejenisnya diciptakan
oleh para pengikut Bani Umayyah, setelah kesyahidan Imam Husain, sebagai bagian
kampanye mereka untuk mengubah hari 10 Muharram sebagai hari bersuka cita. Hadis-
hadis ini dari genre yang sama karena hadis-hadis itu menyatakan bahwa berbagai
peristiwa muncul pada 10 Muharram seperti di mana perahu Nabi Nuh as. terdampar di
Gunung Arafat, api menjadi dingin dan aman bagi Nabi Ibrahim as., dan Nabi Isa diangkat
ke langit. Dalam kategori yang sama muncul hadis-hadis yang mendorong kaum Muslim
untuk menjadikan ‘Asyura sebagai hari suka cita, dan sebagian makanan yang disimpan
pada hari tersebut akan menambah berkah dan mendatangkan rahmat Allah bagi
penghuni rumah.
-------------------------------------------------
Rezeki Burung
Syaqiq al-Balkhisalah, sufi yang saleh, pergi berdagang. Di jalan, ia melihat burung yang
lumpuh dan buta. Ia berpikir bagaimana burung itu dapat bertahan hidup. Seketika itu
pula datang burung lain membawa makanan untuknya. Akhirnya, sang sufi
mengurungkan niat berniaga dengan anggapan burung saja ada jaminan rezekinya
apalagi manusia.
Kepulangan Syaqiq menimbulkan tanda tanya Ibrahim bin Adham yang juga seorang sufi
besar. Mendengar penjelasan Syaqiq, Ibrahim berkata, ''Aneh, kau Syaqiq! Mengapa yang
kaucontoh burung yang buta dan lumpuh, bukan burung lainnya yang suka memberi
makan burung lumpuh itu?''
Syaqiq tersadar bahwa ''tangan di atas'' lebih mulia daripada ''tangan di bawah''.
Memberi sadaqah atau infak adalah tanda kemuliaan, sementara meminta-minta hanya
membawa kehinaan.
Untuk menghindari sikap meminta-minta, tidak ada cara lain selain bekerja. Sudah
seharusnya kita juga bisa ''terbang'' menemukan jatah rezeki seperti burung kedua itu.
Menjemput rezeki yang telah disediakan Allah seoptimal mungkin adalah tugas kita.
39
Selama ini, bangsa Indonesia terlalu dimanja dengan segala potensi kekayaan alam,
namun telah lama dijarah. Tanpa sadar negeri ini hanya menjadi tempat pemodal asing
mengeruk kekayaan. Mereka menyisakan beban utang yang sangat besar. Rakyat dalam
keadaan miskin. Hampir di setiap sudut kota kita dapat menjumpai orang yang meminta-
minta, mulai dari pengemis hingga pemalak uang recehan, bahkan peminta sumbangan
untuk pembangunan rumah ibadah.
Fenomena yang memprihatinkan ini setidaknya mengetuk kesadaran kita semua untuk
tidak hidup bermalas-malasan dalam kebodohan. Kita yang memiliki segala potensi
kekayaan alam tidak selayaknya hanya menerima upah minimum, atau merasa senang
dengan pinjaman utang baru tanpa kemampuan membayar. Itu sama saja dengan
menggiring bangsa ini dalam lumpur kehinaan.
Saatnya kini kita membangun kembali kehormatan bangsa dengan bekerja secara
optimal. Tidak hanya tenaga, tetapi pikiran dan hati pun turut bekerja. Terbanglah seperti
burung yang memberi makan kepada burung yang lumpuh dan buta. ''Dialah yang
menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, maka berjalanlah di segala penjurunya dan
makanlah sebagian dari rezeki-Nya...'' demikian Allah memerintahkan kita dalam QS Al-
Mulk:15).
-------------------------------------------------
Syahadah
Kematian Nan Agung
40
Persoalannya ialah Imam Husain as bukan sekedar korban tujuan-tujuan egois.
Pelaku-pelaku tragedi itu memang telah melakukan kejahatan karena keegoisan mereka.
Tetapi Imam dengan penuh kesadaran memberikan pengorbanan yang paling luhur.
Musuh- musuh Imam menghendaki Imam menyerah, tetapi karena menyadari
sepenuhnya akan akibatnya, Imam memilih melawan tuntutan mereka.
Imam Husain menganggap bahwa berdiam diri pada masa yang genting itu
merupakan dosa besar. Sejarah kesyahidannya, dan terutama penyataan- pernyataanya
menjadi saksi atas fakta ini.
Abdullah Ibn Abbas bukanlah orang kecil. Muhammad Ibn Hanafiyyah bukan orang biasa.
Tetapi logika mereka didasarkan pada kepentingan-kepentingan pribadi dan keuntungan
politis. Dari sisi pandang mereka, tindakan Imam Husain as tidak bijaksana sama sekali.
Ibn Abbas mengajukan usulan yang sangat politis. la berkata kepada Imam Husain as,
"Penduduk Kufah berkirim surat memberitahu bahwa mereka siap berjuang demi
tujuanmu. Sebaiknya engkau membalasnya dan meminta mereka menyingkirkan
para pejabat pemerintah Yazid dari sana. Mereka akan menerima atau menolak usulmu.
Bila mereka melaksanakannya, engkau dapat pergi ke sana dengan aman. Bila mereka
tidak mampu melakukannya, tidak akan mempengaruhi posisimu.
Imam tidak mendengarkan nasihat itu. Imam menjelaskan bahwa ia telah memutuskan
untuk maju. Ibn Abbas berkata:
"Orang yang pergi dan tahu bahwa ia bakal terbunuh tidak akan mengajak istri dan anak-
anaknya," tambah Ibn Abbas.
Logika seorang syahid adalah unik, tak dapat dimengerti orang awam. ltulah sebabnya
kata syahid dilingkari pusaran cahaya kesucian. Kata itu menduduki tempat yang luar
biasa dalam kosa kata su atau pembaharu. Kata syahid tidak dapat diganti dengan kata
lain.
Darah Syuhada
41
masyarakat yang menderita anemia. Para syuhadalah yang menginfuskan darah segar
ke dalam nadi masyarakat.
Ajaran moral yang harus kita petik dari kesyahidan adalah bahwa kita tidak boleh
membiarkan keadaan serupa terjadi di masa mendatang. Gagasan duka cita adalah
untuk memproyeksikan tragedi tersebut sebagai suatu peristiwa yang seharusnya tidak
terjadi. Berbagai emosi diungkapkan untuk mengutuk penjahat-penjahat pelaku
penindasan dan para pembunuh syuhada, dengan maksud untuk mencegah warga
masyarakat meniru kejahatan-kejahatan semacam itu. Dengan demikian kita tahu bahwa
tak seorang pun yang terdidik dalam ajaran yang meratapi Imam Husain as
menginginkan kemiripan terkecil sekalipun dari Yazid, Ziyad atau yang serupa
dengannya.
Ajaran moral lainnya yang mesti ditarik masyarakat adalah bahwa kapan saja muncul
situasi yang menuntut pengorbanan, rakyat harus mempunyai perasaan-perasaan
seorang syahid dan bersedia mengikuti teladan kepahlawanannya.
Dalam dunia modern ini, adalah merupakan kebiasaan umum untuk mempersembahkan
satu hari
setiap tahun kepada kelompok atau golongan tertentu untuk menghormati mereka.
Misalnya Hari Ibu atau Hari Guru. Tetapi tidak ada hari yang dipersembahkan , rakyat
untuk para syuhada kecuali oleh orang-orang Muslim. Hari itu adalah hari Asyura, yang
jatuh pada tanggal 10 Muharram. Malamnya dianggap sebagai malam syahid.
Kedudukan Syuhada
Dikisahkan oleh penulis Perang Karbala bahwa : pada malam 10 Muharam, Imam Husein
as mengirim putranya bersama rombongan kecil untuk mengambil air. Misi ini berhasil
dilaksanakan. Semua minum air yang dibawanya. Kemudian Imam Husain as menyuruh
mereka mandi dan membersihkan diri. Imam memberitahu mereka bahwa ini adalah
persediaan air terakhir yang dapat mereka peroleh. Bagaimanapun halnya, Imam
mengumpulkan segenap sahabatnya dan mengizinkan siapa pun untuk pergi
meninggalkannya, jika mereka menghendaki. Imam menyampaikan khotbah yang
mengesankan dan penuh dorongan, di mana beliau merujuk peristiwa yang bakal terjadi
di siang harinya.
Anda pasti telah mendengar bahwa musuh telah ultimatum terakhimya pada
malam 9 Muharram. Berdasarkan itu Imam membuat keputusan terakhir menjelang pagi
hari tanggal 10 Muharram. Imam Zainal Abidin yang hadir pada kesempatan itu,
42
mengisahkan bahwa Imam Husain as. mengumpulkan para sahabatnya di tenda yang
bersebelahan dengan tempat Imam Zainal Abidin tidur. Imam Husain berkata, "Segala
puji bagi Allah. Aku bersyukur kepada-Nya dalam segala keadaan, yang menyenangkan
atau yang sebaliknya." Bagi orang yang melangkah menuju kebenaran dan keadilan,
semua yang bakal terjadi pasti baik. Orang yang takwa dengan sadar melaksanakan
kewajiban dalam segala keadaan, tak peduli apa pun konsekuensinya.
Berkaitan dengan ini, Imam Husain as memberi jawaban sangat menarik kepada
Farazdaq, penyair kenamaan, ketika berjumpa dengannya dalam perjalanan menuju
Karbala. Farazdaq menjelaskan situasi berbahaya di Iraq. Imam menjawab, "Bila
segalanya berjalan sebagaimana yang kita kehendaki, kami bersyukur kehadirat Allah
dan memohon pertolongan-Nya untuk bersyukur kepada-Nya. Tetapi bila terjadi yang
tidak menguntungkan, kami tidak rugi, karena maksud kami baik dan kata hati nurani
kami jelas. Jadi apa pun yang bakal terjadi pasti baik, bukan buruk. Aku bersyukur
kepada-Nya dalam segala keadaan, yang menyenangkan atau sebaliknya."
Yang Imam maksud adalah bahwa Imam telah melihat hari-hari menyenangkan
dan hari-hari tidak menyenangkan dalam hidupanya. Masa menyenangkannya adalah
ketika kanak-kanak dan duduk dalam pangkuan Nabi atau saat Imam menunggang di
punggung Nabi. Ada masa ketika ia menjadi bocah kesayangan kaum Muslimin. Imam
sangat bersyukur pada Allah atas hari-hari itu. Imam juga bersyukur kehadirat Allah atas
kesukaran- kesukaran yang terjadi saat ini juga. Karena semua yang terjadi adalah baik
baginya. Imam bersyukur pada Allah telah memilih keluarganya mengemban tugas suci,
menjadikan mereka mampu memahami Kitab Suci Al-Qur'an sepenuhnya, dan
mempunyai wawasan yang benar tentang agama Islam.
Jadi, Imam Husain memberi para sahabatnya status yang lebih tinggi dari status para
sahabat Rasulullah yang syahid pada peperangan bersama Rasulullah, dan lebih tinggi
dari status para sahabat ayahnya, Imam Ali as, yang syahid pada perang Jamal, Sifin dan
Nahrawan. Imam berkata bahwa ia tidak pemah tahu keluarga siapa pun yang lebih luhur
dan lebih patuh dari pada keluarganya sendiri. Demikianlah, Imam memberikan
pengakuan pada kedudukan tinggi mereka dan mengucapkan terima kasihnya kepada
mereka. Selanjutnya Imam berkata, "Saudara-saudara! Akan kuberitahu kalian
semuanya, sahabat, dan keluargaku, bahwa orang-orang ini tidak punya urusan dengan
siapa pun kecuali aku. Mereka menganggapku sebagai satu-satunya musuh mereka.
Mereka menghendaki agar aku menyerah. Sekarang Aku bebaskan kalian dari janji
kalian. Kalian tidak harus tinggal di sini. Kalian tidak dipaksa oleh kawan atau lawan.
Kalian bebas sepenuhnya. Siapa saja yang hendak pergi, boleh pergi." Kemudian kepada
para sahabat Imam berkata, "Hendaklah kalian masing- masing menggandeng tangan
salah seorang keluargaku dan pergilah."
Peristiwa ini memancarkan kepribadian luhur para sahabat Imam. Mereka tidak dipaksa
pihak mana pun. Musuh tidak mempunyai kepentingan langsung dengan mereka. Imam
telah membebaskan mereka dari kewajibannya. Dalam keadaan ini, jawaban yang
menghangatkan hati disampaikan setiap sahabat dan anggota keluarga Imam. Sungguh
luar biasa.
43
Peristiwa yang Melegakan
Tanggal 10 Muharram dan malam hari sebelumnya merupakan saat yang sangat
melegakan hati Imam karena menyaksikan segenap kerabat, dari yang paling kecil
hingga yang lanjut usia, mengikuti jejaknya. Kelegaan lain yang dirasakan Imam Husain
adalah kenyataan bahwa tak seorang pun sahabatnya menampakkan tanda kelemahan.
Tak seorang pun berbalik bergabung dengan musuh. Sebaliknya, mereka berhasil
menginsafkan sejumlah tentara yang memusuhinya hingga berpihak pada mereka.
Orang- orang itu bergabung dengan mereka saat hari Asyura dan malam sebelumnya.
Salah seorang diantaranya adalah Hur bin Yazid. Sejumlah 30 orang bergabung
dengannya sepanjang malam Asyura. Ini merupakan peristiwa yang melegakan Imam.
Seorang demi seorang sahabat Imam Husain berkata padanya, "Junjungan kami!
Engkau mengizinkan kami pergi, tapi harus meninggalkanmu sendiri? Itu tak mungkin.
Hidup tiada nilainya dibanding dengan diri Yang Mulia." Seorang di antara mereka
berkata, “Andai kata saya dibunuh, tubuhku di bakar dan abunya berceceran, sampai
tujuh puluh kali, itu belum ada artinya sama sekali dibanding Engkau.”
Yang pertama berbicara malam itu adalah saudaranya Abu al-Fadhl al-Abbas.
Sahabat-sahabat lainnya mengulangi apa yang dikatakannya.
Ini adalah ujian terakhir buat mereka. Setelah mereka semua mengumumkan
keputusan mereka, Imam Husain as mengungkapkan apa yang bakal terjadi esok. Imam
mengatakan, “Saya beritahu bahwa kalian semua bakal syahid besok.” Mereka bersyukur
ke hadirat Allah karena diberi kesempatan untuk mengorbankan hidupnya demi
keturunan Rasul yang suci.
Di sini, ada tauladan baik untuk dicamkan. Seandainya ini bukan masalah logika
seorang syuhada, pembelaan mereka akan sia-sia. Bila memang Imam Husain harus
wafat, untuk apa lagi pejuang-pejuang itu mengorbankan nyawa mereka. Imam Husain
as tidak mendorong mereka untuk pergi meninggalkannya. Imam tidak pernah
mengatakan bahwa kesediaan mereka bertahan tidak berguna. Imam juga tidak pernah
menyatakan kehilangan nyawa mereka sia-sia. Seandainya demikian, pertahanan
mereka tidak dapat dibenarkan. Imam Husain tidak berkata seperti itu. Sebaliknya Imam
menyambut kesiapan mereka untuk , memberikan pengorbanan tertinggi. Hal ini
menggambarkan bahwa logika seorang syuhada berbeda dengan logika orang lain.
Seorang syuhada sering mengorbankan hidupnya untuk mengobarkan semangat juang,
untuk menyinari masyarakat, untuk menghidupkannya kembali dan untuk memasukkan
darah segar ke dalam tubuhnya. Salah satu contohnya adalah peristiwa ini.
-------------------------------------------------
44
Republika - Minggu, 17 Februari 2002
23 Tahun Revolusi Islam Iran
'Nanti Anda akan berjumpa dengan banyak perempuan lain. Mereka boleh jadi sangat
miskin, tapi mereka sangat mencintai revolusi,'' kata Leila Rokn Abadi, salah seorang
penerjemah dalam acara Pertemuan Perempuan Pengikut Ahl-ul-Bayt Sedunia yang
diselenggarakan di Teheran, 24-25 Januari lalu.
Ketika itu, beberapa peserta pertemuan tengah menanti bus yang akan membawa
mereka ke Universitas Teheran, untuk mengikuti shalat Jumat. Jadwal pertemuan begitu
ketat, sehingga semua peserta yang jumlahnya 250 orang dan berasal dari 58 negara
menghadiri shalat jamaah yang menurut Islam Syiah hukumnya sunah selama masa
gaibnya Imam Mahdi ini. Jadilah hanya sekitar sepuluh orang yang berangkat.
Bagi peserta yang baru pertama kali ikut, ini adalah kesempatan langka. Selain karena
berkunjung ke Iran tak bisa dilakukan setiap saat, shalat Jumat di Iran pun tidak
dilakukan di setiap masjid. Hanya satu tempat di setiap kota yang
menyelenggarakannya.
Khutbah pertama, berisikan pesan-pesan akhlak, berlalu dengan tenang. Tapi khutbah
kedua, suasananya lebih hidup. Peserta yang tak memahami Bahasa Persia itu mengaku
hanya dapat menangkap tiga kata yang telontar: Amerika, Israel, dan zionisme. Satu lagi
yang samar-samar adalah kata rezim. Tapi rasa-rasanya ketiga kata itu cukup
menjelaskan sambutan bersemangat yang ditunjukkan oleh para jamaah.
Benar saja. Khutbah kedua memang umumnya bertemakan politik.
Hujatan kepada Amerika dan Israel disambut dengan yel-yel penuh semangat dari para
jamaah. Termasuk jamaah perempuan. Tapi sanjungan kepada Ayatullah Khomeini pun
tak kurang semangatnya. Beberapa perempuan tertunduk sambil memejamkan mata.
Mungkin mencoba menghadirkan sosok terpenting pada Revolusi Islam 23 tahun lalu itu
dalam benaknya. Sementara yang lainnya menyerukan ''Khomeini Rahbar'' dengan suara
melengking sambil mengepalkan tangan. Ketika itulah, dapat disaksikan apa yang
dikatakan oleh khanum Leila: kecintaan mendalam orang terhadap Revolusi Islam.
Tahun ini rakyat Iran memperingati ulang tahun ke-23 revolusi tanpa darah yang
membalikkan sejarah Iran. Crane Brinton, penulis buku An Anatomy of a Revolution
menyebutkan beberapa kondisi yang berujung pada terjungkalnya Shah Reza Pahlavi dari
tahta meraknya pada 1978.
Salah satunya adalah besarnya perbedaan pendapatan di antara kelompok kelas yang
berbeda di Iran. Kelas elite yang terdiri dari para tuan tanah kaya, kaum terpelajar,
perwira militer, politisi, dan kalangan diplomat dikenal dekat dengan Shah dan
merupakan pendukung monarki yang utama.
45
Masyarakat Iran pada periode 1960-an hingga 1970-an awal adalah gambaran
masyarakat Barat yang makmur. Tingkat pendapatan per kapita yang tinggi ditunjukkan
oleh gaya hidup dugem alias dunia gemerlap.
Di sisi lain ada masyarakat petani yang harapan-harapan politiknya tak terpenuhi. Situasi
itu diperburuk lagi dengan aksi-aksi dinas kepolisian rahasia serta perubahan sosial-
ekonomi yang dibawa oleh modernisasi.
Kelas menengah yang terdiri dari mahasiswa, teknokrat serta kalangan profesional-
modernis, seperti lazimnya, adalah kelompok yang paling bisa diharapkan untuk
membawa masyarakat yang termarjinalisasi keluar dari kesuntukan tersebut. Kelompok
ini di satu sisi berbagi privilege dengan kelompok elite dan berusaha
mempertahankannya. Namun, di sisi lain, mereka juga merasa dibohongi oleh kelompok
elite dalam hal pembagian keuntungan dari sektor industri.
Ketidakpuasan yang dirasakan kelas menengah sepanjang dekade 1970-an itu ditandai
pula oleh desersi sejumlah besar kaum intelektual Iran. Salah satunya adalah Ayatullah
Ruhullah Khomeini, yang mewakili kekecewaan kalangan religius. Keterusterangannya
melawan pemerintahan otokratik Shah menyebabkan Khomeini dibuang ke Turki pada
1963.
Pada 1965 Imam Khomeini pindah ke Irak. Di negara jiran ini ia menjadi juru bicara yang
lantang bagi para penentang Shah di luar negeri. Pada 6 Oktober 1978, karena aktivitas
politiknya yang dianggap kian membahayakan, Khomeini disingkirkan ke Paris, Prancis.
Tapi, justru di kota cantik ini hubungannya dengan kelompok-kelompok oposisi yang lebih
luas dan pers asing terjalin dengan lebih kokoh. Secara terbuka ia pun mulai
mengungkapkan niatnya untuk menjatuhkan Shah dan menegakkan nilai-nilai
keagamaan dan tradisional Iran. Selain itu, Khomeini juga berbicara mengenai
pentingnya menggantikan skema industri besar - yang selama ini dipakai sebagai basis
untuk membangun perekonomian Iran - dengan skema perekonomian yang lebih
berorientasi pada rakyat kecil.
Sepanjang dekade 1970-an tersebut popularitas Imam Khomeini terus memuncak. Ia pun
menjadi simbol bagi gerakan oposisi menentang tirani Shah. Popularitas tersebut, pada
saat yang sama, juga menjadi pupuk yang menyuburkan banyak kelompok religius.
Termasuk meningkatkan status sosial mereka.
Kenyataan ini menjadi tantangan sangat serius untuk Shah. Meskipun AS setia di
belakangnya, kekuasaan Shah semakin lama semakin lemah. Gelombang oposisi
semakin membesar setelah 1975, yakni setelah pembentukan Rastakhiz, sebuah partai
politik resmi, serta pelarangan partai-partai politik oposisi. Kejengkelan kalangan oposisi
juga disulut oleh kenyataan bahwa keuntungan dari minyak digunakan untuk membeli
persenjataan dan membiayai industri yang hanya menguntungkan sekelompok kecil
masyarakat.
Setelah aksi-aksi yang sinambung menentangnya, pada akhir 1978 Shah sampai pada
kesimpulan bahwa tekanan militeristik yang dipakainya untuk menekan para
penentangnya tak lagi bertaji untuk melanggengkan tahtanya. Puncaknya, pada 10
Desember 1978, delapan juta rakyat Iran turun ke jalan untuk mengungkapkan
penolakan mereka terhadap Shah. Turut serta dalam barisan itu adalah seperlima
pegawai pemerintahan.
Kali ini aksi sangat masif itu berjalan damai, meski sebelumnya sudah ribuan nyawa
rakyat Iran sudah melayang akibat tindakan keras penguasa. Poster-poster dan slogan
yang diteriakkan jelas menunjukkan aspirasi religius dan politik yang kental dari
kalangan yang sekian lama terpinggirkan. Dan jika tadinya cuma meriang, maka
sekarang Shah benar-benar ''demam''. Ia tahu bahwa dengan cara apa pun revolusi tak
46
lagi bisa dibendung. Akhirnya pada 16 Januari 1979 Shah Iran meninggalkan Teheran
untuk sebuah ''liburan panjang''.
Tanggal 1 April 1979, setelah hasil referendum menunjukkan kemenangan berpihak pada
oposisi, Imam Khomeini mendeklarasikan Iran sebagai sebuah republik Islam. Konstitusi
negara merefleksikan gagasan Khomeini mengenai sebuah negara Islam. Hijab atau
chador diwajibkan bagi kaum perempuan. Musik Barat dan alkohol dilarang. Dan mereka
yang dulu berada di pihak Shah pun dijatuhi hukuman mati.
Kini, 23 tahun kemudian, wajah keras Iran perlahan mulai melunak. Chador masih dipakai
oleh sebagian perempuan Iran ketika mereka keluar rumah. Namun sebagian lagi lebih
suka memakai tunik panjang dan longgar dan memperlihatkan sedikit rambut di atas
dahi. Di sebuah hotel di Teheran bahkan tamu bisa melihat beberapa perempuan Iran
berdandan penuh gaya: kerudung tipis, dan memakai rok setengah betis dan sepatu bot
kulit. Satu-dua dari mereka pun tak sungkan merokok di dalam restoran hotel, sementara
chador mereka sampirkan di kursi.
Supir taksi yang membawa rombongan ke Qom pun bercerita bahwa saat ini
pemerintahan Presiden Khatami sedang direpotkan oleh berbagai kasus korupsi di
kabinetnya. ''Presiden sendiri 'bersih', tapi dia harus berusaha meras membersihkan
anak buahnya,'' kata sopir tadi.
Cerita lain yang cukup mengagetkan datang dari seorang mahasiswi di Qom. Menurut
dia, meski Qom dikenal sebagai kota suci dan pusat pendidikan, narkotika beredar cukup
luas di kota itu. ''Bahkan di seputar Haram ini,'' katanya sambil menunjuk masjid dan
musoleum Hazrat Fathima binti Imam Musa Kadzim as, saudara perempuan Imam Ali
Ridha as atau imam kedelapan muslim Syiah. ''Sudah 20 ribu lebih tentara Iran syahid
dalam perang melawan bandar narkotika,'' lanjutnya.
Pada saat yang sama, hubungan Iran dengan AS yang sejak 1979 memang merosot
tajam kini memburuk lagi gara-gara tudingan Presiden George Walker Bush yang
menyebut Iran - bersama Irak dan Korea Utara - sebagai the axis-evil. Padahal selama
heboh peristiwa 11 September lalu Iran termasuk negara Islam yang cukup cantik
bermain dengan tidak memberikan dukungan terhadap Usamah bin Ladin.
Tapi di sisi lain, tampaknya tudingan Amerika itu justru akan mempertebal kebenciaan
rakyat Iran terhadap musuh utama mereka sembari memupuk terus kecintaan terhadap
revolusi. Apa pun yang sedang mereka hadapi di dalam negerinya.
16 Januari 1979: Shah Iran melarikan diri dari negara yang dipimpinnya sejak 1941,
setelah ia gagal meredam kemarahan rakyat yang terus memuncak terhadap dirinya.
47
7 April 1979: Hukuman mati bagi para pendukung utama Shah dilaksanakan.
27 Juli 1980: Shah Iran, Reza Pahlavi, meninggal di Mesir. Kesepakatan berhasil dicapai
antara pihak Iran dan AS yang berujung pada pembebasan sandera pada tanggal 20
Januari 1981.
November 1980: Perang Teluk Pertama antara Iran Irak pecah dan berlangsung hingga
1988.
48