Professional Documents
Culture Documents
Luca Tacconi
ISSN 0854-9818
Luca Tacconi
Center for International Forestry Research (CIFOR)
Bogor, Indonesia
Daftar Isi
Studi ini dilakukan untuk proyek 'Akar Penyebab dan Dampak Kebakaran
Hutan yang Terjadi di Indonesia' (The Underlying Causes and Impacts of
Fires in Indonesia) dengan bantuan dana dari European Commission SCR
Common Service for External Relations Budget Line (B7-6201).
Terima kasih atas masukan yang diberikan oleh Jozsef
Micski, Forest Liaison Bureau of the European Commission, Jakarta;
NG Ginting, Badan Pengembangan dan Penelitian Kehutanan,
Departemen Kehutanan, 1ndonesia; Jeff Bennett, Australian
National University; 1van Anderson, dulu terlibat dalam Proyek
Pengendalian dan Penanggulangan Kebakaran Hutan (Forest Fire
Prevention and Control Project) (European Commission); Anja
Hoffmann, dulu terlibat dalam Proyek Pengelolaan Kebakaran Hutan
(Integrated Forest Fire Management project) (GTZ); Peter Moore dan
Nina Hasse, proyek FireFight Southeast Asia (WWF-1UCN); Pete
Vayda, Rutgers University dan rekan-rekan saya di C1FOR Unna
Chokkalingam, Ken MacDicken, Mike Spilsbury dan Takeshi Toma.
Terima kasih untuk Soni Mulyadi dan Yayat Ruchiat yang
menyiapkan peta untuk laporan ini. Juga ucapan terima kasih
kepada Petrus Gunarso yang telah turut memberikan masukan
dalam perbaikan Occasional Paper versi bahasa 1ndonesia. Gideon
Suharyanto dan Paul Stepleton memberikan masukan yang
konstruktif dalam proses penyuntingan dan tata letak publikasi.
Ringkasan eksekutif
Belakangan ini kebakaran hutan menjadi Valuasi biaya yang terkait dengan emisi karbon
perhatian internasional sebagai isu lingkungan menunjukkan bahwa kemungkinan biayanya
dan ekonomi, khususnya setelah bencana El Nino mencapai 2,8 miliar dolar.
(EN SO) 1997/98 yang menghanguskan lahan Revisi estimasi biaya ekonomi akibat kebakaran
hutan seluas 25 juta hektar di seluruh dunia. hutan dan kabut asap tetap penting dan
Kebakaran dianggap sebagai ancaman potensial mengarahkan ke berbagai masalah penting yang
bagi pembangunan berkelanjutan karena efeknya perlu diselesaikan untuk menghindari dampak
secara langsung pada ekosistem, kontribusi emisi serupa, khususnya selama EN SO berlangsung.
karbon dan dampaknya bagi keanekaragaman Namun, langkah-langkah yang diambil perlu
hayati. Pencemaran kabut asap merupakan mencakup masalah kebijakan yang spesifik,
masalah berulang bahkan selama tahun-tahun memperhitungkan biaya yang relevan untuk
ketika peristiwa EN SO di 1ndonesia dan negara- menghitung keuntungan yang diperoleh dari
negara tetangganya tidak terjadi. Selama kebijakan yang diusulkan dan dapat menyelesaikan
peristiwa EN SO 1997/98, 1ndonesia mengalami penyebab spesifik masalah kebakaran hutan.
kebakaran hutan yang paling hebat di dunia. Artinya, kebijakan yang diambil harus dikaji sesuai
Masalah yang sama terulang pada 2002. dengan kelayakannya untuk mengatasi masalah
Walaupun berbagai studi mengenai degradasi hutan dan deforestasi atau terjadinya
kebakaran hutan sudah dilakukan, belum kabut asap pada skala besar.
banyak kemajuan yang dicapai untuk mengatasi
masalah ini di 1ndonesia. Alasan-alasannya
Kesimpulan dan rekomendasi
antara lain adalah kerancuan kebijakan,
keterbatasan pemahaman tentang dampaknya
Kebakaran, degradasi dan deforestasi serta
terhadap ekosistem, dan kekaburan tentang
alokasi tata guna lahan
berbagai penyebab kebakaran hutan sebagai
Di banyak tempat masalah alokasi hutan untuk
akibat ketidakpastian tanggapan secara
kepentingan pemanfaatan lahan lainnya,
ekonomi dan kelembagaan terhadap kebakaran
seperti perkebunan kelapa sawit, dan faktor-
hutan. Masalah kebijakan yang terkait dengan
faktor yang menjadi dasar pengambilan
kebakaran dapat didefinisikan sebagai berikut:
keputusan alokasi lahan ini umumnya
merupakan akar penyebab deforestasi hutan,
pencemaran kabut asap;
kebakaran bukan penyebabnya;
degradasi hutan dan deforestasi (beserta hasil
Oleh karena itu dalam banyak kasus, bukan
hutan dan jasanya yang juga hilang); dan
kebakaran hutan sendiri yang merupakan
dampak negatifnya bagi sektor pedesaan.
penyebab masalah kebijakan, sehingga
penggunaan api dalam pengelolaan
Beberapa penyebab utama masalah
perkebunan tidak perlu dilarang sama sekali
kebijakan yang terkait dengan kebakaran hutan
seperti yang sekarang dicantumkan di
kemudian diselidiki. Ternyata, ada berbagai
dalam undang-undang;
penyebab utama selain masalah kebijakan, dan
Pengenalan praktik-praktik pengelolaan
di samping itu masalah kebijakan di masing-
hutan yang lebih baik mungkin
masing negara juga berbeda. 1nformasi tentang
mengakibatkan pengurangan risiko
luas dan lokasi kebakaran hutan pada 1997/98
kebakaran hutan, mengingat kondisi-kondisi
dikumpulkan dan perkiraan luas kawasan yang
sosial-ekonomi dan kelembagaan yang ada;
dilanda kebakaran hutan direvisi dari 9,7 juta
Untuk mendukung pengelolaan sumber daya
hektar menjadi 11,7 juta hektar.
yang lebih baik, diperlukan penelitian untuk
Dampak kebakaran hutan 1997/98 bagi
menilai kawasan hutan yang aksesnya rendah
ekosistem juga direvisi. Kebakaran yang
(menggunakan parameter-parameter konser-
mengakibatkan degradasi hutan dan deforestasi
vatif yang terkait dengan akses manusia),
menelan biaya ekonomi sekitar 1,62-2,7 miliar
kawasan hutan primer dan hutan sekunder
dolar'. Biaya akibat pencemaran kabut asap
yang secara potensial menghadirkan kondisi-
sekitar 674-799 juta dolar; biaya ini kemungkinan
kondisi lingkungan yang mengarah ke risiko
lebih tinggi karena perkiraan dampak ekonomi
kebakaran hutan signifikan.
bagi kegiatan bisnis di 1ndonesia tidak tersedia.
vi
Kebakaran dan pencemaran kabut asap tidak sah perlu dituntut. Jika mereka
Dibutuhkan analisis lebih lanjut untuk terbukti bersalah maka akan dikenakan
menjelaskan kaitan kontribusi relatif denda yang jumlahnya cukup besar sehingga
berbagai kegiatan dengan pencemaran kabut membuat mereka jera;
asap. Namun, dari sajian informasi umum Jika kegiatan mata pencaharian masyarakat
yang ada jelas bahwa kegiatan perkebunan terkait dengan masalah kebakaran hutan
bukan satu-satunya faktor yang ikut andil, atau kabut asap, maka hanya inisiatif atau
paling sedikit selama EN SO terjadi. Selama kegiatan berbasis masyarakat saja, yang
periode yang tidak dipengaruhi EN SO, didukung oleh perangkat perundangan, yang
kegiatan perkebunan memang merupakan akan berhasil.
faktor utama, tetapi peran kegiatan para
pengguna lahan skala kecil yang semakin Tempat penampungan karbon
meningkat, khususnya di Kalimantan Barat Karena kebakaran hutan gambut memiliki
dan Tengah, juga perlu dikaji; andil besar dalam emisi karbon, maka perlu
Selama periode EN SO berlangsung, lahan perhatian apakah konservasi lahan gambut
gambut yang terdegradasi kemungkinan seharusnya dimasukkan dalam komitmen
menjadi faktor risiko tertinggi terjadinya kedua jangka waktu protokol Kyoto.
kabut asap. Pengelolaan dan akhirnya
regenerasi/restorasi lahan gambut mungkin Kebakaran, ENSO dan faktor manusia
perlu dilakukan untuk menghindari bencana- Pemerintah 1ndonesia, kalangan industri
bencana pencemaran udara yang berat; dan L SM harus bertindak lebih dari
Pengurangan dan/atau pengelolaan sekedar mencari pelaku kebakaran hutan
pembakaran hutan untuk pembukaan hutan dan berusaha menjalin kemitraan yang
gambut mungkin akan sangat berpengaruh serius untuk mengatasi kesulitan masalah
dalam menghilangkan masalah kabut asap lingkungan, ekonomi dan sosial ini secara
selama EN SO tidak berlangsung. Namun, biaya, nasional dan internasional.
keuntungan dan aspek penyebaran inisiatif
kebijakan yang ditujukan untuk mengurangi Biaya ekonomi dan penilaiannya
dampak kebakaran hutan ini perlu dikaji; 1nisiatif-inisiatif kebijakan yang bertujuan
Masih ada keterbatasan pengetahuan yang menyelesaikan masalah yang berhubungan
signifikan, di tingkat pembuatan kebijakan dengan kebakaran hutan perlu
(kabupaten dan provinsi), tentang kegiatan memperhitungkan biaya dan keuntungan
manusia yang memberi andil dalam masalah yang terkait dengan penggunaan api, dan
ini di sebagian besar 1ndonesia, termasuk hal- juga penyebarannya;
hal yang disebutkan di atas. Kesenjangan Kajian ekonomi terhadap kebijakan yang
pengetahuan ini perlu dipenuhi untuk bertujuan untuk menyelesaikan masalah
mengembangkan respon kebijakan yang tepat. spesifik kebijakan, seperti deforestasi dan
degradasi hutan atau pencemaran kabut
Kebakaran dan undang-undang asap, harus juga mempertimbangkan
Peraturan perundangan harus direvisi. Harus berbagai penyebab kebakaran hutan dan
ada larangan untuk melakukan pembakaran dampaknya yang berbeda-beda;
yang menyebabkan kabut asap yang signifikan, 1nsentif bagi para pemegang HPH yang
seperti pembakaran di lahan gambut, menanamkan modal dalam usaha
meskipun penggunaan api dalam situasi dan pencegahan dan pemadaman kebakaran
lokasi yang mungkin menimbulkan efek lokal hutan perlu dipahami;
yang tidak diinginkan dari asap, misalnya, Penyelesaian masalah kabut asap memang
terhadap kesehatan atau transportasi, harus penting, tetapi masalah deforestasi dan
diatur. Dalam hal kebakaran hutan yang degradasi hutan akibat kebakaran hutan
mengakibatkan deforestasi yang tidak juga perlu diselesaikan karena dapat
diinginkan, pihak yang berwenang harus diberi menyebabkan kerugian besar;
kekuasaan untuk mengatur (termasuk Penelitian lebih lanjut dan kajian kebijakan
melarang) penggunaan api pada waktu-waktu harus diarahkan untuk meningkatkan
tertentu, seperti selama periode EN SO; pemahaman atas kerusakan yang disebabkan
Dibutuhkan analisis kelayakan tentang oleh kebakaran hutan terhadap fungsi-fungsi
undang-undang yang mengatur pembangunan hutan, untuk memperkirakan seluruh kerugian
lahan gambut, termasuk implikasi sosial, potensial akibat pencemaran kabut asap;
ekonomi dan lingkungan; 1ndikator ekonomi, begitu juga indikator
Perlu diberikan contoh-contoh hukuman yang lingkungan perlu dipertimbangkan dalam
jelas untuk mengefektifkan perubahan dalam pengembangan kebijakan yang bertujuan
penggunaan api oleh perusahaan; artinya untuk meminimumkan dampak kebakaran
perusahaan yang menggunakan api secara hutan dan pencemaran kabut asap.
Kebakaran Hutan di Indonesia: Penyebab, Biaya dan Implikasi Kebijakan 1
dampaknya terbatas dan tidak digunakan dengan mendapat perhatian yang lebih besar. 1su yang
tepat dalam mengevaluasi perbaikan kebijakan- terkait dengan metodologi yang muncul dalam
kebijakan. Oleh karena itu, laporan ini berusaha laporan ini diharapkan akan bermanfaat bagi
menyajikan estimasi dan komentar untuk studi serupa di wilayah lain.
penggunaan selanjutnya dalam studi selanjutnya
dengan sasaran untuk menilai kebijakan-
kebijakan secara spesifik. Studi ini merupakan
langkah pertama yang dibutuhkan untuk
2. Luas kebakaran hutan
mengidentifikasi penelitian selanjutnya yang selama peristiwa ENSO
diperlukan untuk melakukan klarifikasi i) rincian 1997/98
penyebab langsung dan akar penyebab masalah Pengkajian nasional paling lengkap mengenai
dan ii) berbagai respon kebijakan yang tepat. luas lahan yang terbakar selama peristiwa ENSO
Komentar mengenai kedua isu ini juga disajikan 199 7/98 memperkirakan total lahan yang
di bagian akhir laporan ini. terbakar sekitar 9, 75 juta ha (BAPPENAS-ADB
Sebelum memulai analisis perlu 1999, selanjutnya, studi ADB [ADB, Asian
diperhatikan bahwa karena tingkat keparahan Development Bank; BAPPENAS, National
kebakaran hutan dan dampaknya semakin Development Planning Agency of 1ndonesia])
meningkat di dunia ini, maka analisis kebijakan (label 1). Perkiraan ini diperbarui berdasarkan
dan ekonomi akibat kebakaran hutan perlu pembahasan berikut dan hasil ringkasannya
Tabel 1. Perhitungan ADB untuk kawasan yang dilanda kebakaran tahun 199 7/98 (hektar)
Map 1. Propinsi yang dilanda kebakaran dan persebaran pencemaran kabut asap pada tahun 199 7/98
Sumber: Penyebaran kabut asap diperoleh dari Barber and Schweithelm (2000)
Kebakaran Hutan di Indonesia: Penyebab, Biaya dan Implikasi Kebijakan 3
disajikan dalam Tabel 4. Deskripsi wilayah mirip. Namun, perhatikan bahwa dalam Tabel 1
geografi yang dibahas dalam laporan ini hanya 3 75,000 ha yang termasuk 'semak kering
disajikan dalam Peta 1. Studi ADB dan rumput', yang luasnya lebih kecil daripada
dikembangkan dari pengkajian nasional awal kebakaran hutan lahan yang diklasifikasikan
yang dilakukan tahun 199 7 oleh Liew dkk. dalam kategori 'lahan kering yang tidak
(1998) kemudian direvisi, termasuk kawasan produktif' di Kalimantan Timur (Tabel 2). Oleh
rawa gambut tambahan yang terbakar di karena itu dapat diasumsikan bahwa kebakaran
Sumatera seluas 316,000 ha (Liew dkk. 2001). hutan di bagian kawasan lahan kering yang tidak
Dengan demikian perkiraan ADB disesuaikan produktif dimasukkan dalam kategori 'pertanian'
berdasarkan data terbaru ini.; oleh ADB. Kategori lahan pertanian berkurang,
Proyek Integrated Forest Fire Management tetapi tidak untuk semua kategori pertanian
(1FFM) (yang didanai Pemerintah Jerman, yang lain karena estimasi untuk kategori
selanjutnya dikenal dengan studi GTZ [Deutsche 'pertanian' dalam studi ADB terlalu rendah.
Gesellschaft fur Technische Zusammenarbeit]), Ada perbedaan mendasar untuk kategori
melakukan penilaian secara rinci terhadap 'hutan tanaman industri'. Perbedaan ini tidak
kebakaran hutan di Kalimantan Timur pada 199 mengherankan karena studi ADB yang dilakukan
7/98 (Hoffmann dkk. 1999).4 Ada beberapa mengandalkan data yang disediakan oleh Dinas
perbedaan antara estimasi hasil studi GTZ Kehutanan di Kalimantan Timur, yang tidak
dengan estimasi ADB (Tabel 2). Estimasi hutan didasarkan pada penilaian menyeluruh
rawa dan lahan basah mangrove yang terbakar terhadap data penginderaan jauh. Argumen
50% lebih tinggi daripada hasil studi GTZ. serupa berlaku juga untuk kategori
Namun, hasil studi ADB tidak memberikan 'perkebunan'. Karena itu estimasi ADB lebih
rincian yang sama untuk kategori ini seperti yang tinggi. Perbedaan antara estimasi yang
diberikan oleh GTZ, maka integrasi data tidak dilakukan berdasarkan dua studi ini ternyata
dapat diberikan. 1ni karena hutan rawa gambut cukup besar. Namun, setelah angka-angka
yang terbakar akan melepaskan jumlah karbon untuk hutan tanaman industri dan perkebunan
yang jauh lebih banyak daripada mangrove yang (yang dalam studi ADB tidak didasarkan analisis
terbakar. Oleh karena itu, estimasi ADB dapat penginderaan jauh) telah disesuaikan, dan
dianggap konservatif. sekarang perbedaannya hanya sekitar 10%.
Hutan dataran rendah dan subpegunungan Studi untuk menilai kebakaran hutan
merupakan kategori yang mirip dalam dua studi gambut di Kalimantan Tengah (Page dkk. 2002)
yang dilakukan dan karena itu dapat memperkirakan bahwa di kawasan studi yang
diintegrasikan. 'Lahan kering yang tidak luasnya sekitar 2,5 juta ha, termasuk kawasan
produktif' dan 'Lahan terbuka (savana), alang- proyek Sawah Sejuta Hektar, kebakaran hutan
alang, dan semak belukar' adalah kategori yang mencakup luas sekitar 79 7.000 ha. Dari total
Tabel 2. Perbandingan perhitungan luas kawasan yang terbakar di Kalimantan Timur, 199 7/98
kawasan hutan yang terbakar, kebakaran hutan memperbarui angka-angka hasil studi ADB, maka
terjadi di hutan gambut seluas 729.500 ha, estimasi yang dilakukan ADB tidak direvisi.
hampir sama dengan estimasi ADB, yaitu Estimasi konservatif yang disajikan dalam
750.000 ha yang terbakar di seluruh Kalimantan. Tabel 4 menunjukkan peningkatan luas kawasan
Mengingat angka estimasi luas hutan gambut yang dilanda kebakaran hutan sekitar 1,94 juta
yang terbakar di Kalimantan Timur oleh GTZ ha. Peningkatan ini terjadi di hutan dataran
(311.000 ha), dan luas hutan gambut lainnya rendah dan hutan rawa gambut, berturut-turut
yang tidak termasuk dalam studi Page dkk. sekitar 315.000 ha dan 666.000 ha.
(2002), yaitu di Kalimantan Tengah dan juga di
Kalimantan Barat, maka jelas bahwa luas hutan
rawa gambut yang terbakar di seluruh
Kalimantan pada 199 7/98 jauh melebihi 3. Masalah kebijakan
1.000.000 ha. Oleh karena itu, dengan yang terkait dengan
menambahkan estimasi hutan rawa gambut yang
dilakukan Page dkk. 2002 ke dalam estimasi
kebakaran hutan
GTZ, estimasi gabungan untuk Kalimantan LSM nasional dan internasional, badan-badan
adalah 1.100.000 ha. yang memberikan bantuan dan media telah
Estimasi luas lahan gambut yang terbakar di menggunakan angka estimasi biaya kebakaran
seluruh 1ndonesia juga disajikan oleh Page dkk. hutan 199 7/98 untuk menekankan keparahan
2002, tetapi tidak diadopsi di sini karena alasan- 'masalah kebakaran hutan,' kebutuhan akan
alasan berikut. Estimasi ini menghasilkan kisaran tindakan pemerintah untuk mencegah
yang lebih tinggi sekitar 7 juta hektar dengan timbulnya kebakaran hutan selanjutnya dan
memasukkan proporsi perkiraan kawasan yang mengendalikannya. Kebijakan yang
terbakar di kawasan studi di Kalimantan Tengah direkomendasikan sangat bervariasi dan
(33,9%) ke dalam luas lahan gambut nasional menyangkut sektor-sektor kehutanan dan
(20,07 juta ha). Namun, tidak ada bukti bahwa pertanian, termasuk perkebunan kelapa sawit
proporsi ini mungkin benar di tingkat nasional. dan HT1, begitu juga perkebunan rakyat.
Karena itu estimasi yang diusulkan kisarannya Kebijakan-kebijakan ini meliputi pelarangan
lebih rendah, yaitu 2,44 ha berdasarkan atau pembekuan konversi hutan sampai ke
'kombinasi sumber-sumber yang bisa diverifikasi perbaikan kebijakan alokasi lahan dan prosedur
dan yang tidak' tetapi penjelasan tentang pengendalian kebakaran hutan telah tersedia,
sumber-sumber tersebut tidak ada. dengan adopsi pengurangan dampak kegiatan
Estimasi rinci mengenai luas kawasan yang pembalakan, memperkokoh peraturan dan
terbakar di seluruh Sumatera belum ada, selain hukuman bagi yang membuka lahan di
yang telah dihitung di atas (Liew dkk. 1998; Liew perkebunan dengan cara membakar lahan dan
dkk. 2001). Penilaian terhadap kawasan yang rasionalisasi tata guna lahan yang melibatkan
terbakar di Provinsi Lampung dan Sumatera masyarakat untuk mengembangkan konsensus
Selatan menghasilkan estimasi total kawasan tata guna lahan dan menetapkan tanggung
yang terbakar sekitar satu juta hektar (Legg dan jawab dan komitmen masyarakat (BAPPENAS-
Laumonier 1999), tetapi rincian tipe vegetasi ADB 1999; Barber dan Schweithelm 2000;
yang terbakar tidak dilakukan. Penilaian lebih Applegate dkk. 2001; Glover 2001; Qadri 2001;
lanjut mengenai kawasan yang terbakar tersedia Siegert dkk. 2001).
Pemikiran bahwa 'kebakaran hutan'
untuk kawasan Sumatera Selatan (Forest Fire
merupakan masalah kebijakan, atau sebagai
Prevention dan Control Project 1999). Studi ini
masalah tunggal kebijakan sehingga perlu
menghasilkan estimasi kawasan yang terbakar
rekomendasi umum untuk menyelesaikannya
sekitar 2,8 juta hektar. Jika diperhatikan
adalah pemikiran yang keliru. Dampak
estimasi luas kawasan yang terbakar ini lebih
kebakaran hutan merupakan rangkaian berbagai
tinggi daripada luas total yang dilaporkan oleh
masalah. Tanpa mengakui bahwa inilah masalah
ADB untuk seluruh Sumatera. 1ni dapat dijadikan
sebenarnya menimbulkan dua implikasi penting:
indikasi bahwa estimasi ADB lebih konservatif.
Namun, data yang disajikan dalam Tabel 3
a) Ada risiko bahwa semua kebakaran hutan
memang hampir pasti menunjukkan angka
dianggap sebagai masalah daripada
estimasi yang lebih tinggi daripada luas aktual
memikirkan dalam keadaan bagaimana api
kawasan yang terbakar.5 Karena ada faktor
bisa menjadi alat pengelolaan lahan yang
ketidakpastian data dan kenyataan bahwa
sesuai;
estimasi tersebut tidak memungkinkan untuk
Kebakaran Hutan di Indonesia: Penyebab, Biaya dan Implikasi Kebijakan 5
Tabel 3. Perhitungan kawasan yang terbakar selama musim kemarau tahun 199 7 di Sumatera Selatan
Tabel 4. Perhitungan revisi luas kawasan yang dilanda kebakaran tahun 199 7/98 (hektar)
b) Kita mungkin kehilangan kesempatan untuk beberapa peristiwa pencemaran kabut asap yang
menyoroti kenyataan bahwa kebakaran melintasi batas negara selama dua dekade
hutan mungkin memiliki dampak-dampak terakhir, dan yang terpenting adalah peristiwa
yang berbeda (misalnya, sesuai dengan lokasi yang terkait dengan kebakaran hutan terbesar
dan kawasan yang terkena dampak) sehingga tahun 199 7.
perlu diselesaikan dengan kebijakan yang Di 1ndonesia, kebakaran hutan gambut
berbeda pula. merupakan penyumbang pencemaran kabut asap
yang terbesar. Tahun 199 7/98, kebakaran hutan
Berkaitan dengan butir yang pertama, gambut mungkin menghasilkan 60-90% emisi yang
sudah banyak diskusi serius di 1ndonesia menyebabkan kabut asap dan kebakaran hutan
mengenai luas kebakaran hutan, tetapi belum ini juga merupakan sumber utama emisi karbon
dijelaskan kebakaran hutan mana yang (BAPPENAS-ADB 1999). Tahun 199 7,
dianggap sebagai masalah, artinya kebakaran penyumbang utama pencemaran kabut asap yang
hutan mana yang menimbulkan dampak yang menyebar hingga ke Singapura, daratan utama
tidak dikehendaki. Untuk kasus kebakaran Malaysia dan Sumatera adalah kebakaran hutan
hutan di 1ndonesia, tiga masalah kebijakan gambut di Provinsi Jambi, Riau6 dan Sumatera
utama yang diidentifikasi terkait dengan Selatan. Kebakaran ini terutama akibat
kebakaran hutan adalah sebagai berikut: pembukaan lahan untuk dijadikan perkebunan
kelapa sawit dan HT1. Di Sumatera Selatan,
pencemaran kabut asap, emisi karbon dan kebakaran yang terjadi di lahan basah juga
dampak-dampak terkait lainnya; disebabkan oleh kegiatan-kegiatan mata
degradasi hutan dan deforestasi, dan pencaharian masyarakat seperti persawahan,
hilangnya hasil hutan dan berbagai jasa penangkapan ikan dan pembalakan7, tetapi
lingkungan yang diberikan hutan, termasuk sejauh mana tingkat penyebab masing-masing
kayu, hasil hutan nonkayu, erosi tanah dan masih belum diketahui (Anderson dan Bowen
lenyapnya fungsi pengendali banjir, 2000; Barber dan Schweithelm 2000, peta 2;
keanekaragaman hayati; dan Tapper dkk. 2001). Selama tahun-tahun di luar
kerugian di sektor pedesaan akibat masa ENSO, pembukaan lahan gambut untuk
kebakaran hutan liar dan anomali cuaca perkebunan tampaknya merupakan sumber
yang dipicu oleh kebakaran hutan. utama kabut asap (Sargeant 2001).
Meskipun peran perusahaan-perusahaan
Emisi karbon dapat juga dianggap sebagai besar telah didokumentasikan dengan baik, ada
masalah terpisah karena merupakan isu juga peningkatan pengaruh aktivitas petani kecil
lingkungan yang terjadi secara global. Namun sebagai faktor penyumbang masalah kabut asap.
masalah emisi karbon akibat kebakaran hutan Tahun 199 7, kebakaran hutan gambut di kawasan
yang tidak dipandang terlalu penting oleh Proyek Sawah Sejuta Hektar yang dibuat oleh
pemerintah, akan dibahas kemudian. Kehilangan pemerintah di Kalimantan Tengah merupakan
keanekaragaman hayati mungkin lebih sumber utama kabut asap di Kalimantan (Barber,
merupakan keprihatinan kelompok-kelompok 2000; Siegert, 2001) yang juga melanda Sarawak.
internasional daripada pemerintah sendiri. Sekali lagi, tahun 2002, terjadi kebakaran hutan
Ketiga masalah-masalah kebijakan ini akan di kawasan yang sama, yang menghasilkan kabut
dibahas satu persatu nanti. Masalah kerugian di asap tebal yang menyelimuti Kalimantan Tengah
sektor pedesaan disoroti secara singkat. Masalah mulai Agustus hingga Oktober. Kebakaran yang
ini tidak menonjol dalam agenda kebijakan menimbulkan kabut asap tebal juga melanda
penting di tingkat internasional, nasional dan kawasan yang sama pada Agustus 2001 (Anderson
bahkan provinsi dan belum menjadi fokus 2001).
penelitian mendalam. Pembakaran hutan secara ektensif di
Kalimantan Barat tahun 199 7, mungkin untuk
membuka lahan perkebunan kelapa sawit dan
3.1 Pencemaran kabut asap dan emisi HT1 (Potter dan Lee 1999) di lahan gambut dan
karbon juga karena kegiatan mata pencaharian
Pencemaran kabut asap merupakan masalah penduduk di kawasan Danau Sentarum (Dennis
utama kebijakan yang terkait dengan kebakaran dkk. 2000) menyebabkan pencemaran kabut
dan menarik perhatian negara-negara tetangga asap di Kalimantan Barat dan Sarawak. Selama
dan melalui tekanan yang mereka berikan, Januari-April 1998, kebakaran hutan di kawasan
menarik perhatian pemerintah 1ndonesia. Ada Danau Mahakam bagian Tengah, tampaknya
Kebakaran Hutan di Indonesia: Penyebab, Biaya dan Implikasi Kebijakan
berkaitan dengan kegiatan mata pencaharian tampaknya terjadi degradasi hutan skala besar
penduduk, (Chokkalingam dkk. 2001), yang tidak disengaja. Apakah deforestasi skala
demikian juga kebakaran hutan skala besar di besar juga terjadi, masih memerlukan kajian
kawasan lain di Kalimantan Timur, mempunyai lebih lanjut.
andil besar dalam pencemaran kabut asap di Kebakaran hutan tahun 199 7 jauh lebih
provinsi ini. Kebakaran-kebakaran hutan ini ekstensif dibandingkan periode di luar ENSO
tidak mengakibatkan pencemaran lintas batas (Anderson dkk. 1999), ini menunjukkan bahwa
yang signifikan. kemungkinan terjadi kebakaran yang tidak
Kebakaran di Papua bagian selatan memiliki disengaja. Namun kebakaran hutan di Sumatera,
andil besar dalam kabut asap pada tahun 199 7. Sulawesi, Papua Barat dan Kalimantan Barat dan
Namun peristiwa ini tidak begitu diperhatikan Kalimantan Selatan tampaknya terjadi di lahan-
karena kabut asap menyebar ke barat ke arah lahan yang sedang dibuka. Di Sumatera Selatan
laut (Legg dan Laumonier 1999; Tapper dkk. kebakaran hutan melanda sebagian besar hutan
2001) dan melanda kawasan Papua Barat sendiri yang terdegradasi dan semak belukar (Achard
yang memiliki kepadatan penduduk yang rendah dkk. 1998; Potter dan Lee 1999; Anderson dan
dan tidak ada kota besar. Bowen 2000; FW1/GFW 2002). Dengan
Kesimpulannya, pencemaran kabut asap dan memperhatikan perbedaan antara pembukaan
emisi karbon terutama disebabkan oleh kebakaran hutan yang direncanakan dengan kebakaran
hutan yang disengaja dan rambatan api dari hutan liar yang masih terjadi di kawasan yang
kawasan lahan gambut. Hubungan antara kegiatan dialokasikan untuk pembukaan lahan dan tidak
pembakaran di dalam hutan dan perkebunan selain disengaja, angka kehilangan hutan akibat
di lahan gambut, padang rumput dan lahan kebakaran hutan yang tidak sengaja ternyata
pertanian lainnya, lebih terbatas relevansinya cukup penting dalam estimasi kerugian ekonomi,
dengan masalah kebijakan ini. yang diuraikan secara rinci dalam Bagian 4, dan
bagi perbaikan kebijakan yang akan
dikembangkan kemudian.
3.2 Degradasi dan deforestasi hutan
serta hilangnya berbagai hasil hutan
dan jasanya 3.3 Kerugian di sektor pedesaan
Lenyapnya hutan berikut berbagai hasil dan Kerugian di sektor pedesaan mungkin disebabkan
jasanya merupakan sebagian besar masalah oleh kebakaran hutan liar oleh kegiatan pertanian
kebijakan nasional yang kerugiannya ditanggung atau kegiatan lainnya. Data tentang kerugian
oleh 1ndonesia. Tentu saja ada pemangku potensial di tingkat nasional dan juga lokal sangat
kepentingan asing yang juga prihatin atas jarang tersedia. Kemungkinan isu ini kurang
besarnya kerugian yang harus ditanggung, mendapat perhatian karena kebanyakan
khususnya yang terkait dengan keanekaragaman organisasi yang terlibat dalam penilaian dampak
hayati. Tahun 199 7/98, hutan dataran rendah kebakaran hutan sebagian besar menaruh
Kalimantan Timur mengalami kebakaran hutan perhatian pada hutan dan keanekaragaman
yang paling ekstensif, sekitar 60% dari total luas hayati. Kemungkinan dampaknya terhadap sektor
hutan ini. Kawasan ini juga mengalami musim pedesaan kurang penting, sehingga membatasi
kemarau yang paling hebat karena pengaruh perhatian para pemangku kepentingan nasional
ENSO (Fuchs dan Schneider 2002). Sumber api dan lokal mengenai topik ini dan/atau juga
masih belum dipahami dengan baik, tetapi zona- merupakan penilaian yang sulit dan mahal untuk
zona titik api tersebar dan tidak dipengaruhi oleh dilakukan. Data yang tersedia (Jhamtani dan
perbedaan tipe lahan (Steenis dan Fogarty 2001). Badawi 1998; Oosterman dan Widayat 2001)
1ni mengindikasikan bahwa kebakaran hutan menunjukkan bahwa paling sedikit ada beberapa
dengan tingkat yang sama melanda semua lahan kawasan pedesaan yang kemungkinan terkena
garapan dan bahwa kebakaran hutan liar dampak kebakaran hutan liar. Selain itu ada
memiliki kaitan dengan serangkaian kegiatan laporan-laporan potensi dampak negatif kabut
komersial dan mata pencaharian utama. asap terhadap produksi pertanian, misalnya
Berbagai kegiatan yang memiliki andil terhadap kelapa sawit (Casson 2000), karena
peristiwa kebakaran hutan selanjutnya perlu mempengaruhi proses fotosintesis, tetapi laporan
dijajaki. Mengingat luas yang terbakar di lain menyatakan bahwa penyebabnya adalah
kawasan HPH dan hutan lindung cukup signifikan, musim kemarau (United States Department of
masing-masing 2.34 7. 71 7 ha dan 440.381 ha Agriculture 1998). Namun, ada beberapa bukti
(Hoffmann dkk. 1999, h 21) - yang menunjukkan bahwa asap akibat kebakaran
8 CIFOR Occasional Paper No . 38(i) Luca Tacconi
hutan tahun 1998 di Kalimantan telah menahan (biaya tidak langsung). Biaya intangible lebih
hujan (Rosenfeld 1999). Penelitian lebih lanjut sulit dihitung, sehingga harus didasarkan pada
mengenai dampak kabut asap dan kebakaran berbagai macam perkiraan. Kepentingan biaya
hutan terhadap sektor pedesaan secara khusus intangible tidak boleh dianggap remeh hanya
diperlukan di kawasan yang dilanda kebakaran karena biaya ini sulit dihitung, walaupun,
hutan liar yang signifikan seperti di Kalimantan keandalan estimasi mungkin diragukan dan
Timur. mungkin diabaikan oleh pemangku kepentingan
tertentu.
Data berikut ini disajikan untuk menyoroti
4. Menghitung kembali berbagai dampak kebakaran hutan di 1ndonesia
dan negara lainnya, dan juga biaya langsung
biaya ekonomi akibat akibat kebakaran hutan dan kabut asap yang
kebakaran hutan ditimbulkannya. Estimasi nilai agregat akan
1997/98 dibahas lebih dulu. Kemudian diikuti dengan
Pada peristiwa kebakaran hutan tahun 199 7/98 rincian biaya lainnya. Bila perlu estimasi telah
ada tiga studi yang dilakukan di tingkat direvisi dan ringkasannya disajikan dalam Tabel
nasional (Jhamtani dan Badawi 1998; 8 dan 9.
BAPPENAS-ADB 1999; Glover dan Jessup 1999,
selanjutnya disebut studi 1SAS [1nstitute of
Southeast Asian Studies]). Studi ADB 4.1 Estimasi nilai agregat
dikembangkan dari Jhamtani dan Badawi Studi 1SAS menggunakan nilai tukar Rupiah
(1998). Oleh karena itu, hanya studi ADB dan rata-rata tahun 199 7 sebesar 2500 rupiah per
1SAS yang dianggap rinci dan ringkasan dari dolar, sedangkan studi ADB memakai nilai tukar
asumsi dan parameter utamanya disajikan Rupiah rata-rata tahun 1998 sebesar 8000
dalam Lampiran. Kedua studi utama ini dikaji rupiah per dolar. Krisis di Asia pada tahun 199
berdasarkan alasan-alasan berikut ini: 7/98 menyingkapkan kelemahan perekonomian
di 1ndonesia, termasuk nilai tukar Rupiah yang
banyak praktisi yang berpendapat bahwa terlalu tinggi. Dengan meninjau kembali hal ini,
kedua studi ini saling mendukung temuan maka nilai tukar yang lebih tepat digunakan
masing-masing, karena itu hasilnya mendapat adalah dari tahun 1998.
sambutan yang luas. Keyakinan ini berdasarkan Dalam studi 1SAS, biaya yang terkait dengan
kenyataan bahwa studi ADB, yang meliput pertanian dan kesehatan di 1ndonesia, yang
insiden kebakaran hutan yang terjadi pada merupakan kategori biaya yang dihitung dalam
tahun 199 7 dan 1998, menghitung luas rupiah kemudian dikonversi ke dolar, masing-
kawasan yang terbakar dan juga kerugian total masing turun dari 4 70 juta dolar menjadi 147
di sektor ekonomi, yang nilainya hampir dua juta dolar untuk pertanian dan dari 924 juta
kali lipat dari nilai dalam studi 1SAS, yang dolar menjadi 289 juta dolar untuk kesehatan
hanya meliput tahun 199 7 saja; (Tabel 5).
kekurangan atau kelemahan di satu studi Studi ADB menghitung biaya total
dapat disoroti oleh temuan studi lainnya; 'kebakaran hutan dan kekeringan' di 1ndonesia.
estimasinya dapat digunakan untuk saling Namun, hasil dari studi ini sering dikutip oleh
melengkapi. media, dalam publikasi ilmiah (misalnya, Barber
dan Schweithelm 2000), dan juga dalam
Penghitungan kembali kerugian ekonomi dokumen-dokumen resmi (misalnya, Qadri 2001)
dilakukan dalam kerangka yang menyoroti sebagai kerugian akibat 'kebakaran hutan' saja.
perbedaan antara biaya nyata yang bisa diukur Oleh karena itu biaya pertanian yang terkait
secara moneter (tangible) dan biaya yang tidak dengan kekeringan (2431 miliar dolar) tidak ikut
dapat langsung diukur dengan nilai uang dihitung (Tabel 6).
(intangible) (Bureau of Transport Economics Ada kesamaan dan juga perbedaan yang
2002). Biaya tangible ini dihitung melalui nilai- signifikan antara dua studi ini (Tabel 7).
nilai pasar seperti kerusakan infrastruktur (biaya Keduanya mengaitkan biaya kebakaran sebagai
langsung) dan kerugian produksi (biaya tidak bagian paling besar biaya total yang ditanggung
langsung). Sedangkan biaya intangible oleh 1ndonesia. Dalam dua studi ini, kabut asap
merupakan biaya yang tidak memiliki nilai pasar memiliki proporsi biaya yang lebih kecil
seperti dampak negatif terhadap kesehatan dibandingkan kebakaran hutan. Jika biaya
(biaya langsung) dan gangguan kegiatan sosial regional akibat pencemaran kabut asap
Kebakaran Hutan di Indonesia: Penyebab, Biaya dan Implikasi Kebijakan 9
Tabel 7. Perbandingan hasil-hasil utama studi yang dilakukan ADB dan 1SAS
kawasan yang rusak karena kebakaran hutan belum ditanami (Steenis dan Fogarty 2001).
1997/98." (Hoffmann dkk. 1999, p 21.) Estimasi ADB yang terkait dengan kebakaran
hutan yang dilaporkan dari hutan tanaman
Data yang digunakan dalam laporan ADB industri masih belum disesuaikan.
diperkuat melalui penelitian lapangan yang agak
terbatas tetapi data yang terkait dengan laporan 4.2.5 HHNK dan manfaat Iangsung hutan
di Kalimantan Timur ini didukung oleh Siegert Iainnya Studi 1SAS mengadopsi estimasi global
dkk. (2001). Oleh karena itu, estimasi ADB untuk hasil hutan nonkayu (HHNK) dan nilai
digunakan dan dianggap sebagai tingkat estimasi rekreasi hutan (Costanza dkk. 199 7) dan
yang lebih tinggi. kemudian menerapkannya untuk 1ndonesia.
Estimasi yang direvisi untuk nilai minimum Namun hasil estimasi ini tidak divalidasi dengan
kerugian berupa kayu didasarkan atas merujuk pada nilai aktual yang relevan dengan
pertimbangan bahwa, seperti yang dibahas dalam ekosistem hutan di 1ndonesia, sehingga estimasi
Bagian 3, kebakaran hutan di Sumatera, Sulawesi, ini menjadi tidak sah. Alasan-alasan bahwa
Papua, Kalimantan Barat dan Tengah kemungkinan penerapan estimasi global tersebut tidak tepat
terjadi di kawasan pembukaan lahan, yang akan dijelaskan dalam pembahasan berikut ini.
hutannya telah dibalak secara komersial. Selain Studi ADB memperoleh data kerugian HHNK
itu, kawasan hutan yang terbakar karena dengan menerapkan nilai total sumber daya alam
ketidaksengajaan di Sumatera Selatan terjadi di yang diekstraksi per hektar, berdasarkan studi
kawasan yang telah terdegradasi (Proyek yang dilakukan di lahan basah Danau Sentarum di
Pencegahan dan Pengendalian Kebakaran Hutan - Kalimantan Barat (Aglionby dan Whiteman 1996),
Forest Fire Prevention and Control Project 1999). sebagai bagian dari total kawasan hutan yang
Oleh karena itu, estimasi minimum kerugian kayu terbakar. Berdasarkan sebuah sampel rumah
hanya mencakup kawasan yang terbakar di tangga, studi di Danau Sentarum
Kalimantan Timur. mengekstrapolasikan total keuntungan bersih
Biaya nyata dari kayu yang terbakar manfaat langsung ekosistem yang diperoleh
mungkin juga lebih rendah daripada yang semua rumah tangga yang tinggal di kawasan
diasumsikan di sini karena segera setelah lindung ini. Studi ADB membagi keuntungan total
kebakaran hutan, Pemerintah 1ndonesia manfaat langsung dengan luas kawasan lindung
mengeluarkan peraturan yang memperbolehkan untuk memperoleh nilai per hektarnya.
'pembalakan penyelamatan', yaitu pohon-pohon Perhitungan seperti ini sebagai perkiraan nilai
yang terbakar dapat diambil kayunya (van kerugian HHNK per hektar hutan yang terbakar
Nieuwstadt dkk. 2001). Namun data tentang tidak sesuai karena alasan-alasan berikut.
nilai ekstraksi kayu yang terbakar ini tidak ada. Pertama, mari kita pertimbangkan isu
penerapan nilai per hektar ke berbagai ekosistem
yang berbeda. Sekitar 60% total manfaat bersih
4.2.3 Kerugian berupa kematian p oh on langsung di kawasan lindung Danau Sentarum
Secara teori, kematian pohon memang dapat diperoleh dari kegiatan menangkap ikan. Namun
diperhitungkan sebagai bagian dari biaya kegiatan ini tidak terjadi pada tingkat yang sama
kebakaran. Namun, ini hanya berlaku jika hutan di ekosistem hutan yang estimasinya diterapkan
tidak dibakar untuk kepentingan pemanfaatan dalam penghitungan. Selain itu, tidak ada bukti
lahan alternatif. Banyak kawasan yang terbakar jelas yang menunjukkan bahwa jumlah
dikonversi menjadi perkebunan. Oleh karena itu tangkapan ikan di danau dan sungai di
hasil perhitungan dalam studi ADB terhadap nilai Kalimantan Timur itu terpengaruh oleh
pohon yang mati terlalu tinggi. Seperti dalam kasus kebakaran hutan (Sarwono 1989). Bahkan ada
kayu, estimasi yang direvisi untuk nilai minimum kemungkinan, meskipun dalam jangka pendek,
pohon yang mati memperhitungkan bahwa hasil tangkapan ikan meningkat karena peristiwa
kebakaran hutan di Sumatera, Sulawesi, Papua kebakaran hutan, karena masyarakat secara aktif
Barat, Kalimantan Barat dan Tengah kemungkinan mulai meningkatkan penangkapan ikan
terjadi di kawasan pembukaan lahan. (Chokkalingam dkk. 2001).
Kedua dan berkaitan dengan butir di atas,
nilai kerugian HHNK per hektar akibat kebakaran
4.2.4 Hutan tanaman industri hutan sebenarnya jauh lebih rendah dibandingkan
Meskipun kawasan HT1 yang sangat luas dengan yang diadopsi oleh ADB (23 dolar). Studi
dilaporkan terbakar di Kalimantan Timur (Tabel yang dilakukan di dua desa di Kalimantan Timur
4), sebagian besar kawasan ini sebenarnya (Grossmann 199 7) menemukan bahwa:
12 CIFOR Occasional Paper No . 38(i) Luca Tacconi
HHNK memberikan sumbangan sekitar 9% (26 untuk pencegahan banjir. Hutan produksi,
dolar) dari total pendapatan tunai rumah kategori tata guna lahan yang sebagian besar
tangga setiap tahun (sekitar 290 dolar) dan berada di dataran rendah, jauh kurang penting
hampir semua pendapatan dari HHNK (sekitar dalam memenuhi fungsi ini.'° Biaya tambahan
77%) berasal dari penangkapan satwa ilegal; untuk banjir akibat pengurangan tutupan hutan
Nilai pengganti tahunan dari semua HHNK mencakup biaya untuk infrastruktur perkotaan
yang dikonsumsi oleh rumah tangga adalah dan pedesaan, seperti sekolah, pasar, gedung-
sekitar 20% (58 dolar) dari pendapatan gedung pemerintah, masjid dan jalan.
tunai setiap tahun; Kepadatan perumahan dan jalanan di
Sebagian besar HHNK memiliki kerapatan perkotaan sekitar 11 kali lebih besar daripada
yang sangat rendah dan sebagian besar di pedesaan. Karena itu, biayanya juga harus
tumbuhan yang dipanen adalah dari spesies dibagi secara proporsional.
yang dibudidayakan; Dalam hal kerusakan tanaman perdagangan,
Khusus spesies liar dikumpulkan dari ruang mereka mengasumsikan bahwa padi merupakan
terbuka, di sepanjang bantaran sungai dan tanaman utama yang mengalami kerusakan
di lahan bera (jekau) baru yang belum akibat banjir. 1mplikasi-implikasi bagi asumsi
ditanami. biaya tambahan akibat banjir yang disebabkan
oleh kebakaran hutan 199 7/98 adalah sebagai
Ketiga, keuntungan manfaat langsung (yaitu, berikut. Hutan produksi, yaitu, hutan dataran
nilai total) merupakan ukuran yang tidak tepat rendah, dan bukan hutan konservasi dan hutan
untuk menilai manfaat ekonomi HHNK. "Nilai lindung, adalah kategori tata guna lahan yang
HHNK dari satu hektar hutan setara dengan paling besar dilanda kebakaran hutan. Kawasan
harga sewa yang akan dibayarkan untuk yang dilanda kebakaran memiliki dampak yang
memanen hutan seluas satu hektar itu." terbatas, jika ada, pada infrastruktur kota di
(Chomitz dan Kumari 1998, h. 26). Nilai rente bagian hilir, demikian juga dengan infrastruktur
ekonomi HHNK mendekati nol mengingat biaya desa di bagian hilir. Kawasan hutan yang
ekstraksi, yaitu biaya untuk tenaga kerja, terbakar tidak memiliki dampak berarti pada
hampir sama besar dengan nilai penjualan sawah di bagian hilir. Berkaitan dengan
HHNK (Chomitz dan Kumari 1998). peristiwa banjir aktual yang mungkin terjadi di
Keempat, kerugian karena kehilangan kawasan yang benar-benar dilanda kebakaran
spesies yang dibudidayakan, seperti rotan, hutan 199 7/98, hanya kebanjiran yang terjadi
mungkin bisa cukup besar (dan memerlukan di Kalimantan Timur pada 1998 merupakan
perhatian lebih lanjut) tetapi spesies ini lebih kejadian yang mungkin berkaitan langsung
baik dimasukkan dalam kerugian yang terkait dengan kebakaran hutan (Glover dan Jessup
dengan hasil-hasil pertanian karena spesies ini 1999). Kenyataannya, peristiwa banjir di
dibudidayakan, daripada menggelembungkan Kalimantan Timur dicatat jauh sebelum
nilai ekonominya per hektar hutan. peristiwa kebakaran hutan 1982/ 83 (Massing
Berdasarkan alasan-alasan tersebut, 1981) dan tidak ada indikasi yang jelas apakah
kerugian ekonomi HHNK per hektar bisa pola banjir telah berubah. Banjir merupakan
diasumsikan sebesar nol. Dan nilai ini dapat bagian integral dari ekosistem Danau Mahakam
dimasukkan sebagai estimasi minimum. Estimasi bagian tengah di Sungai Mahakam (Wetlands
maksimum nilai kerugian di Kalimantan Timur 1nternational 2002), sungai terbesar di
sebesar 1 dolar/ha,9 selama 10 tahun dengan Kalimantan Timur yang mengalir melalui
nilai diskon 10%. Kebakaran hutan di provinsi- kawasan yang dilanda kebakaran hutan.
provinsi lain diasumsikan merupakan kebakaran Berkaitan dengan erosi tanah dan
hutan untuk pembukaan lahan. pengendapan, ada tiga aspek penghitungan
biaya. Pertama, adalah biaya yang terkait
4.2.6 Manfaat hutan yang tidak langsung dengan erosi tanah yang terjadi. Kedua, erosi ini
Studi ADB menghitung nilai pencegahan banjir akan menyebabkan pengendapan. Ketiga, biaya
dan erosi dan pengendapan berdasarkan laporan ekonomi akan muncul dari proses-proses ini.
yang mempertimbangkan nilai total ekonomi Nilai ekonomi hutan yang terkait dengan
hutan di 1ndonesia (Whiteman dan Fraser 199 7). fungsi-fungsi tanah dan perlindungan
Berkaitan dengan pencegahan banjir, konversi pengendapan diperoleh dengan menghitung biaya
dan perlindungan hutan, ADB memperhitungkan ekonomi untuk 52 bendungan besar dan delapan
bahwa kategori tata guna lahan yang berada di pelabuhan (Whiteman dan Fraser 199 7). Nama
kemiringan yang lebih tinggi, terutama penting dan lokasi bendungan tidak tersedia dalam
Kebakaran Hutan di Indonesia: Penyebab, Biaya dan Implikasi Kebijakan
laporan yang dirujuk ini. Kami mengetahui didukung oleh kenyataan bahwa tidak ada
bahwa ada 68 bendungan besar yang terdaftar peristiwa banjir yang relevan dalam 2 tahun
sejak tahun 1995," dan tidak ada bendungan setelah kebakaran hutan yang dikaitkan dengan
besar di kawasan yang dilanda kebakaran hutan. penghitungan itu terjadi. Jika diasumsikan
Delapan pelabuhan nasional yang disebutkan bahwa hutan yang terbakar tersebut benar-
juga tidak berada di kawasan yang dilanda benar berfungsi untuk pencegahan banjir (nilai
kebakaran dan begitu juga potensi erosi dan maksimum), dan mengingat bahwa kawasan
pendangkalan yang dihitungnya. yang terbakar itu adalah daerah pedesaan dan
Untuk penghitungan nilai erosi tanah setelah bukan perkotaan, nilai ekonomi fungsi ini
peristiwa kebakaran hutan di Kalimantan Timur, seharusnya tidak lebih dari 9% yang diasumsikan
bukti kuantitatif yang masih terbatas dalam laporan ADB (berdasarkan perbandingan
menunjukkan bahwa "laju erosi tanah di lahan 1:11 untuk infrastruktur pedesaan dengan
hutan yang telah dibalak (dengan tingkat perkotaan yang dibahas sebelumnya). Biaya
kerapatan pembalakan berat, ringan dan tidak akibat erosi tanah dan pendangkalan mungkin
ada pembalakan) yang kemudian mengalami terbatas (maksimum: 9% studi ADB), atau sama
kebakaran hutan yang hebat, masih dapat sekali tidak ada (minimum).
diterima/ditolerir, berdasarkan penelitian yang Estimasi-estimasi ini diberikan untuk
dilakukan 1,5 tahun setelah pembalakan dan 610 memperlihatkan gambaran yang didasarkan atas
bulan setelah kebakaran hutan" (Sudarmadji fakta-fakta yang diketahui. Namun ada juga
2001, h. 43). Penelitian ini dilakukan di kawasan kemungkinan bahwa biaya yang lebih tinggi
kebakaran hutan yang tidak begitu luas dan sama terkait dengan erosi tanah dan pengendapan
sekali tidak mewakili seluruh kawasan. Untuk seharusnya tidak diabaikan. Ada beberapa
kebakaran hutan tahun 1982/83, erosi tanah contoh yang menunjukkan bahwa penurunan
secara luas memang terjadi tetapi tidak ada data tutupan hutan pada tingkat yang signifikan tidak
kuantitatif yang dikumpulkan (Leighton dan menyebabkan peningkatan pendangkalan (Alford
Wirawan 1986). Di provinsi yang sama, 1992). Namun, selain ada juga bukti bahwa
Kalimantan Timur, tingkat erosi di hutan-hutan kebakaran hutan, khususnya pada tingkat yang
yang telah dibalak diketahui hampir sama tinggi parah, biasanya memang menyebabkan erosi
dengan hutan yang dibalak dan yang terbakar. tanah dan pendangkalan, meskipun efek-
Artinya, kebakaran hutan tidak membuat tingkat efeknya di tingkat DAS tidak diketahui dengan
erosi bertambah. Selain itu beberapa kegiatan baik (DeBano 2000). Oleh karena itu, penilaian
pertanian yang dilakukan di Kalimantan Timur, lebih lanjut tentang dampak-dampak biofisik ini
seperti perkebunan lada tradisional (Kartawinata diperlukan supaya implikasi kebakaran hutan
dan Vayda 1984) mengakibatkan tingkat erosi terhadap lingkungan dan perekonomian dapat
yang lebih tinggi daripada hutan yang dibalak dipahami dengan lebih baik lagi.
dan yang terbakar.
Untuk kerugian berupa pendangkalan, tidak
ada informasi yang menegaskan bahwa 4.2.7 Keanekaragaman hayati
pendangkalan ini terjadi. Studi yang dilakukan Untuk menghitung kerugian dari segi
untuk menilai dampak erosi tanah dan keanekaragaman hayati, studi 1SAS
pendangkalan terhadap kegiatan ekonomi juga menggunakan nilai 300 dolar per km', yang
belum ada. Misalnya, belum diketahui adanya didasarkan pada pengalaman internasional;
hubungan jelas antara penurunan hasil dengan indikasi pembayaran berkisar antara
penangkapan ikan dan pendangkalan di 303000 dolar/km' untuk perlindungan hutan
Kalimantan Timur setelah kebakaran hutan tropis. Studi ini menunjukkan bahwa ini bukan
tahun 1982/83 (Schindele dkk. 1989). estimasi yang 'sebenarnya' bagi nilai
Penyusutan yang terjadi pada spesies tertentu keanekaragaman hayati, tetapi 'nilai yang bisa
tampaknya lebih terkait dengan kombinasi efek diperoleh', yaitu, nilai yang dapat diperoleh
kekeringan, kebakaran hutan menyebabkan dari pasar internasional yang terbatas untuk
kemerosotan habitat tertentu dan karena ikut membayarnya. Estimasi ini menimbulkan
penangkapan ikan yang berlebihan. beberapa pertanyaan.
Berdasarkan alasan-alasan di atas, hasil Pertama, kerelaan untuk membayar hutan
revisi estimasi biaya adalah sebagai berikut. sekunder (sebagian besar hutan dataran rendah
Hutan yang dilanda kebakaran hutan tidak yang terbakar telah dibalak, bahkan di kawasan
memiliki nilai ekonomi dari segi pencegahan lindung yang ditebang secara ilegal) diduga jauh
banjir (nilai minimum), yang tampaknya lebih rendah daripada nilai yang disebutkan.
14 CIFOR Occasional Paper No . 38(i) Luca Tacconi
Kedua, perkiraan kerugian dari segi estimasi ADB sebenarnya adalah lahan gambut.
keanekaragaman hayati dan juga kayu yang Jika sebenarnya semua kawasan yang
hilang berarti terjadi penghitungan ganda. Jika diidentifikasi sebagai 'hutan rawa gambut' adalah
nilai kayu memang diperoleh seluruhnya, yaitu gambut dan kita mengadopsi kawasan yang
semua kayunya dipanen, nilai keanekaragaman dilaporkan dalam Tabel 4, maka emisi karbon dari
hayati memang akan lenyap sampai tingkat gambut bisa menjadi 442 juta ton, sehingga total
signifikan, kecuali jika teknik pembalakan emisi karbon hingga 493 juta ton.'3 Angka ini
berdampak ringan diterapkan. Namun, nilai setara dengan sekitar 30% emisi global rata-rata
yang diperoleh dari pemanenan kayu akan tahunan dari perubahan tata guna lahan yang
menghasilkan berbagai macam keuntungan dan berlangsung selama tahun 1989-1995 (1PCC
akan tercermin dalam kerugian dari segi kayu 2000), dan kebakaran hutan gambut memberikan
yang nilainya akan lebih rendah. Ketiga, kontribusi 2 7% dari emisi global yang disebabkan
dengan mencantumkan nilai kerugian oleh perubahan tata guna lahan. Dengan
keanekaragaman hayati yang hilang untuk menggunakan nilai yang diadopsi dari studi ADB (
selamanya berarti bahwa kebakaran hutan 7 dolar/ton), maka total kerugiannya akan
menyebabkan kehilangan hutan secara mencapai sekitar 2,8 miliar dolar.
permanen, padahal kenyataannya tidak Dari perspektif kelembagaan, emisi karbon
demikian. Biasanya kebakaran hutan akibat pembukaan lahan atau tipe kebakaran
mengakibatkan kerusakan" di sebagian hutan lainnya bukan berupa biaya bagi suatu
kawasan dan hutan akan bergenerasi, jika negara atau masyarakat global. Negara-negara
faktor-faktor lain, biasanya yang terkait berkembang (dalam persyaratan protokol Kyoto,
dengan kegiatan manusia, tidak negara-negara yang tidak tercantum dalam
menghalanginya. Oleh karena itu, hubungan Lampiran 1) tidak harus memenuhi target
antara gangguan yang ditimbulkan manusia dan pengurangan emisi karbon dan emisi karbon dari
kebakaran hutan yang membuat hutan rentan proyek-proyek yang menghindarkan deforestasi
terhadap kebakaran berulang dan gangguan tidak diijinkan dalam Mekanisme Pembangunan
lainnya adalah penyebab deforestasi. Bersih (Clean Development Mechanism) selama
Berdasarkan alasan-alasan yang disebutkan komitmen pertama. Oleh karena itu, meskipun
di atas, maka estimasi minimum yang direvisi kontribusinya bagi emisi dunia cukup berarti,
mengasumsikan bahwa nilai keanekaragaman emisi karbon akibat kebakaran hutan di
hayati yang hilang adalah nol. Estimasi 1ndonesia sekarang masih belum dapat dihitung
maksimum menggunakan kisaran nilai minimum sebagai biaya bagi negara lain dan tidak mewakili
yang tersedia dari studi 1SAS (30 dolar ha) yang potensi keuntungan yang seharusnya dapat
mempertimbangkan bahwa sebenarnya sebagian diperoleh dari proyek-proyek yang diterapkan
besar kawasan yang terbakar adalah hutan melalui Mekanisme Pembangunan Bersih. Karena
sekunder dan kerelaan membayar untuk tipe itu, biaya yang terkait dengan emisi karbon tidak
hutan ini pasti lebih rendah daripada untuk dimasukkan dalam estimasi kerugian yang
hutan primer. direvisi. Namun, ada implikasi kebijakan yang
akan dibahas dalam bagian lain tulisan ini.
data kematian tidak tercatat. Namun demikian, 5.1 Biaya dan penilaian ekonomi
setelah mengkaji kembali penelitian-penelitian Biaya total kebakaran dan pencemaran kabut
epidemiologi mereka menyatakan bahwa: asap pada tahun 199 7/98 mungkin lebih rendah
daripada yang diperkirakan sebelumnya. Angka
"penelitian tentang keterpaparan musiman kerugian total tidak dicantumkan di dalam tabel
terhadap asap kebakaran memerlukan karena agak menyesatkan jika menambahkan
pengamatan terhadap jangka waktu biaya kebakaran hutan pada biaya kebakaran
keterpaparan yang dapat dibandingkan yang lebih disebabkan oleh kabut asap. Bagi
dengan peristiwa-peristiwa kebakaran yang mereka yang ingin mengetahui angka seluruhnya,
terjadi di Asia Tenggara. Berdasarkan studi estimasi biaya totalnya kira-kira antara $2,3
ini, maka beralasan untuk menduga bahwa miliar dan $3,2 miliar. Ada kemungkinan bahwa
peristiwa kabut asap di Asia Tenggara kerugian akibat kabut asap ternyata lebih tinggi
menimbulkan serangkaian dampak dari dari yang dilaporkan. Penilaian dampak kabut
yang akut, termasuk kematian yang asap terhadap kegiatan bisnis di 1ndonesia tidak
meningkat, dan juga efek-efek subkronis dilakukan, seperti terlihat dalam Tabel 9. Jika
(berkala) bagi fungsi paru-paru, gejala dan dianggap tepat untuk menyertakan emisi karbon
penyakit pernafasan. Untuk ini penentuan ke dalam biaya, biaya total dapat berkisar antara
efek jangka panjang akibat peristiwa $5,1 miliar dan $6 miliar. Estimasi biaya yang
tunggal pencemaran udara masih sulit telah direvisi ternyata masih cukup tinggi, artinya
dilakukan, meskipun keterpaparan pada ada masalah penting yang perlu diatasi supaya
biomassa asap yang terjadi berulang setiap dampak serupa dapat dihindari, khususnya selama
tahun sepatutnya mendapat perhatian yang tahun-tahun ENSO."
serius." (Osterman dan Brauer 2001, h. Namun, perlu diperhatikan bahwa kerugian
211.) ekonomi bersih dari kebakaran, yang merupakan
selisih antara biaya dan manfaat, kemungkinan
Mengingat ketidakpastian tentang efek besar lebih rendah daripada biaya yang
kabut asap pada kesehatan dan jumlah orang diperkirakan. Dalam kebanyakan kasus kebakaran
yang terganggu akibat kebakaran hutan, hasil disulut karena memberikan manfaat. Contohnya,
studi ADB dan 1SAS masing-masing digunakan dapat mengurangi biaya pembukaan perkebunan -
sebagai batas terendah dan tertinggi estimasi antara $68 dan $11 7 per ha berturut-turut untuk
berbagai dampak. Estimasi 1SAS untuk 1ndonesia hutan tanaman industri kayu dan kelapa sawit
disesuaikan (-6%) dengan mengasumsikan bahwa (Guyon dan Simorangkir 2002) - atau mengurangi
tingkat pencemaran yang terkait dengan 1ndeks biaya pemanenan untuk mata pencaharian seperti
pencemaran Udara sedang 51-100 menyebabkan menangkap ikan.
peningkatan masalah kesehatan, yang Inisiatif kebijakan yang ditujukan untuk
sebenarnya tidak demikian (Osterman dan menangani masalah-masalah yang berhubungan
Brauer 2001). dengan kebakaran perlu memperhitungkan biaya
maupun manfaat yang terkait dengan
penggunaan api, dan juga distribusinya.
5. Implikasi kebijakan dan Misalnya, penilaian terhadap kebijakan yang
diarahkan untuk mengurangi pencemaran kabut
rekomendasi asap mungkin perlu mempertimbangkan biaya
Pencemaran kabut asap dan degradasi serta implementasi kebijakan yang dimaksud dan juga
deforestasi hutan adalah dua masalah utama manfaatnya, yang dapat dinilai sebagai biaya
kebijakan yang terkait dengan kebakaran yang untuk menghindari dampak yang timbul dari
dibahas secara mendetil dalam laporan ini. pencemaran kabut asap. Untuk melakukan
Kerugian akibat kedua hal itu selama ENSO perhitungan ini diperlukan pendekatan analisis
199 7/98, dan juga dalam tahun-tahun biaya-manfaat dalam analisis kebijakan. Sebagai
belakangan ini, sampai tingkat tertentu alternatif, pendekatan keefektifan-biaya dapat
penyebabnya dapat berbeda-beda. Temuan juga digunakan. Pendekatan ini digunakan untuk
sederhana namun penting ini perlu diakui menekan biaya implementasi kebijakan yang
untuk merumuskan kebijakan yang lebih ditujukan untuk mencapai target-target tertentu,
tepat. Kebijakan-kebijakan harus di pelajari seperti penurunan dampak kesehatan. 1ntinya,
keakuratannya karena penting artinya dalam adopsi salah satu dari kedua pendekatan tersebut
menangani masalah degradasi dan deforestasi merupakan keputusan politis. Oleh karena itu,
hutan atau masalah kabut asap. biaya dan manfaat suatu kebijakan
16 CIFOR Occasional Paper No . 38(i) Luca Tacconi
juga perlu dipertimbangkan, daripada hanya hutan merupakan penyebab pencemaran kabut
memfokuskan pada biaya kebakaran seperti asap yang juga merupakan penyebab langsung
yang terjadi dalam perdebatan selama ini deforestasi. Walaupun hal ini kelihatannya
tentang kebakaran di 1ndonesia. jelas, berbagai proposal kebijakan diajukan
Penilaian ekonomi terhadap berbagai untuk menangani 'masalah kebakaran'
kebijakan yang ditujukan untuk menangani didasarkan pada alasan untuk mengurangi
masalah deforestasi dan degradasi hutan atau biaya, yang merupakan bagian dari biaya total
pencemaran kabut asap, harus memperhatikan yang harus dikeluarkan akibat kebakaran dan
penyebab dan dampak yang berbeda. Misalnya, kabut asap, tanpa membedakan masalah
biaya pencegahan untuk inisiatif pengurangan kebijakan mana yang akan digunakan dan juga
kabut asap tidak boleh memasukkan biaya yang tanpa memperhitungkan sumber-sumber
berhubungan dengan degradasi dan deforestasi dampak yang berbeda.
hutan, kecuali memang jelas bahwa kebakaran Berbagai insentif yang dihadapi para
Kebakaran Hutan di Indonesia: Penyebab, Biaya dan Implikasi Kebijakan 17
pemegang HPH untuk menginvestasikan dana diakui bahwa ada juga keterbatasan
pencegahan dan penanggulangan kebakaran pengetahuan tentang beberapa fungsi hutan dan
perlu dipahami. 1nsentif-insentif ini meliputi potensi kerugian yang terkait dengannya. Selain
kemampuan untuk mengontrol sumber daya kayu itu, potensi kerugian lain, seperti dampak pada
yang ada dalam areal HPH dan jumlahnya. produksi industri di 1ndonesia, tidak diestimasi.
Kemampuan para pemegang HPH untuk Penelitian dan pengkajian kebijakan di masa
melindungi sumber daya kayu dari eksploitasi datang harus ditujukan untuk meningkatkan
ilegal oleh pihak lain mungkin merupakan faktor pemahaman tentang kerusakan fungsi hutan
yang mempengaruhi keputusan mereka untuk sebagai akibat kebakaran, su paya da pat
menginvestasikan dana pencegahan dan mengestimasi berbagai kisaran potensi kerugian
penanggulangan kebakaran. Penilaian yang lebih yang timbul karena pencemaran kabut asap.
baik terhadap nilai tegakan kayu yang ada di Akhirnya, penilaian ekonomi yang terkait
dalam areal HPH juga diperlukan. Kayu terbakar dengan perubahan lingkungan jangka panjang,
merupakan bagian terbesar dari kerugian akibat seperti potensi dampak kebakaran berulang
tahun 199 7/98. Estimasi kerugian ini didasarkan pada tanah dan keanekaragaman hayati, gagal
pada parameter-parameter yang diragukan di menangkap biaya yang terkait dengan kejadian
tingkat nasional. Jika nilai tegakan kayu yang ini karena tersebar sepanjang jangka waktu
tertinggal dalam areal HPH dianggap lebih yang lama dan nilainya mungkin menjadi tidak
rendah daripada yang diasumsikan dalam penting karena adanya penurunan sepanjang
berbagai studi yang dikaji, maka kerugian dari kurun waktu. Indikator ekonomi dan juga
segi nilai kayu secara signifikan akan lebih lingkungan perlu di perhitungkan dalam
rendah. Kerugian yang mungkin lebih rendah pengembangan kebijakan-kebijakan yang
tidak akan mendorong pada pemegang HPH ditujukan untuk menekan dampak kebakaran
untuk melakukan investasi dalam pencegahan dan pencemaran kabut asap.
dan penanggulangan kebakaran.
Pencemaran kabut asap tercatat punya
andil lebih besar dari kerugian total kebakaran 5.2 Kebakaran, degradasi dan
tahun 199 7/98 (20%-30%) daripada angka deforestasi serta alokasi tata guna
estimasi sebelumnya. Jika data tentang lahan
kerugian yang dialami dunia usaha di 1ndonesia Kebakaran hutan tahun 199 7/98 mendapat
tersedia, maka biaya yang harus ditanggung perhatian besar bukan hanya karena kabut asap
akibat pencemaran kabut asap akan lebih besar yang ditimbulkannya tetapi juga karena kabut
lagi. Perhatian Pemerintah 1ndonesia dan asap dianggap bertanggung jawab atas kerugian
negara tetangga lainnya yang cukup bear ekonomi dan ekologi yang terkait dengan
terhadap masalah kabut asap dibandingkan degradasi atau deforestasi hutan yang terbakar.
dengan kebakaran hutan yang mengakibatkan Namun fakta bahwa kebakaran terutama terjadi
degradasi dan deforestasi hutan dapat di areal hutan yang sudah terdegradasi daripada
dijelaskan dari dua faktor. Pertama, ukuran 'hutan primer' hanya mendapat sedikit
estimasi biaya. Kedua, kenyataan bahwa perhatian. Pembakaran hutan untuk pembukaan
pencemaran kabut asap terjadi hampir setiap lahan di areal perkebunan juga dikritik karena
tahun dan secara langsung mempengaruhi menyebabkan kehilangan hutan. Seperti telah
1ndonesia dan negara tetangga, dengan biaya disebutkan, kejadian-kejadian itu menghasilkan
ekonomi lebih besar dan juga dampak negatif sejumlah rekomendasi kebijakan, berkisar dari
dalam hal hubungan publik dan diplomatik. pembatasan atau pelarangan konversi hutan
Masalah pencemaran kabut asap memang perlu sampai kebijakan yang lebih baik untuk alokasi
diatasi, teta pi masalah kebakaran yang lahan dan prosedur pengendalian kebakaran
mengakibatkan deforestasi dan degradasi tersedia, sampai ke pengetatan peraturan dan
hutan juga perlu ditangani karena juga da pat pengenaan denda untuk pembakaran hutan
menimbulkan kerugian yang signifikan. dalam rangka pembukaan lahan perkebunan dan
Dalam hal metodologi yang diterapkan penerapan teknik pembalakan berdampak ringan
untuk menilai kerugian, jelas bahwa biaya yang (BAPPENAS-ADB 1999; Barber dan Schweithelm
tidak terlihat (intangible) sulit untuk dinilai dan 2000; Applegate dkk. 2001; Glover 2001; Qadri
didasarkan pada berbagai pendekatan 2001; Siegert dkk. 2001).
perkiraan. Estimasi yang telah direvisi Ada banyak kelemahan dalam generalisasi
memperlihatkan bahwa nilai kerugian yang masalah kebakaran dan usulan kebijakan untuk
disebutkan masih terlalu tinggi. Namun perlu memecahkannya. Pertama, di banyak tempat
18 CIFOR Occasional Paper No . 38(i) Luca Tacconi
alokasi lahan hutan untuk dijadikan tata guna penduduknya. Luas areal hutan yang tidak
lahan alternatif, seperti perkebunan kelapa dihuni manusia di 1ndonesia masih tidak dapat
sawit dan faktor-faktor yang mendasari dipastikan. Perkiraan awal yang diberikan
keputusan tersebut merupakan faktor yang untuk estimasi areal hutan yang berakses
bertanggung jawab atas deforestasi hutan yang rendah" sekitar 52 juta ha, dan sampai 33 juta
terjadi, dan bukan karena kebakaran. Dalam hektar di antaranya berada di dalam kawasan
kasus ini, mengusulkan kebijakan-kebijakan HPH (FW1/GFW 2002). Namun, nilai estimasi ini
untuk mengatasi 'masalah kebakaran' adalah lebih tinggi untuk areal yang dipengaruhi oleh
salah fokus. Jika tujuannya mencegah kegiatan terbatas manusia. Hasil analisis
deforestasi, maka usulan kebijakannya harus sementara di Kalimantan Timur menunjukkan
diarahkan untuk merevisi proses alokasi tata bahwa kegiatan mata pencaharian yang
guna lahan. Dalam hal ini, menyebutkan menyebabkan kebakaran hutan terjadi sejauh 7
kerugian ekonomi, seperti kerugian dari kayu km dari desa (bandingkan dengan jarak 0.5-1
yang hilang, akibat deforestasi yang disebabkan km yang diadopsi sebagai definisi hutan
oleh kebakaran hutan sebagai alasan untuk berakses rendah oleh FW1/GW1) dan bahkan
menghindari konversi juga tidak benar. Yang sering lebih jauh lagi (Tacconi dkk. 2002). Areal
harus dipertimbangkan adalah biaya, yang luas yang dirusak kebakaran di Kalimantan
mencakup pencemaran kabut asap dan Timur tahun 1998 mengenai desa-desa dan
manfaat-manfaat tata guna lahan alternatif, sekitar 46% dari areal yang rusak oleh
contohnya perkebunan vs hutan alam. kebakaran berada dalam jarak 7 km dari desa.
Kedua, mengingat bahwa dalam banyak Rekomendasi untuk memindahkan
kasus, bukan kebakaran itu yang menyebabkan masyarakat dari hutan untuk meminimisasi risiko
masalah kebijakan, seperti deforestasi, tidak kebakaran setelah hutan ditebang (Glover dan
ada alasan untuk melarang sepenuhnya Jessup 1999; Glover 2001) tidak sesuai dengan
penggunaan api di perkebunan seperti yang kondisi politik dan ekonomi saat ini yang
baru-baru saja disebutkan dalam peraturan didominasi oleh perdebatan untuk meningkatkan
perundang-undangan (Peraturan Pemerintah peran masyarakat dalam pengendalian sumber
4/2001). Pendekatan ini mungkin tepat jika daya. Di areal berpenduduk sedikit, penebangan
perkebunan bertanggung jawab terhadap ilegal yang tersebar dapat juga mengurangi
kebakaran yang menjalar liar, atau jika semua manfaat mengenalkan praktik pengelolaan hutan
kebakaran di perkebunan menghasilkan yang lebih baik. Bahkan tanpa penebangan kayu
pencemaran kabut asap. Namun sebagian besar ilegal, adopsi praktik pengelolaan hutan yang
bukti yang menunjukkan bahwa dalam beberapa lebih baik menghadapi banyak rintangan (Putz
kasus kebakaran di perkebunan terjadi karena dkk. 2000). Oleh karena itu, areal hutan berakses
api menjalar liar masih belum dapat dipastikan, rendah, sekali ditebang, mungkin akan dimasuki
dan telah disebutkan bahwa kegiatan di lahan penduduk, yang mengarah ke peningkatan risiko
gambut cenderung menghasilkan sebagian besar terjadinya kebakaran.
pencemaran kabut asap. 1su peraturan dibahas Dalam konteks ini penting dicatat bahwa
lebih lanjut di bawah ini dalam kaitannya Kalimantan Timur, yang terkena dampak paling
dengan pencemaran kabut asap. berat kekeringan karena ENSO tahun 199 7/98
Ketiga, pengenalan praktik pengelolaan dan 1982/83, kerugian yang dicapai paling sedikit
hutan yang lebih baik mungkin tidak akan tiga perempat dari biaya total kebakaran. Risiko
banyak menurunkan risiko kebakaran, kebakaran skala besar khususnya signifikan di
mengingat kondisi sosial-ekonomi dan areal yang cenderung dipengaruhi kemarau ENSO
kelembagaan yang ada. Studi ekologi dan dapat diperkirakan bahwa kemarau ENSO
menunjukkan umpan baik positif antara yang berulang akan merusak areal ini lagi.
penebangan hutan, kebakaran hutan, Propinsi lain, seperti Kalimantan Tengah dan
ketersediaan bahan pembakar dan kerentanan Papua Barat, yang masih memiliki areal hutan
terjadinya kebakaran di masa depan (Cochrane luas dan mengalami tingkat eksploitasi yang
dkk. 1999; Siegert dkk. 2001). Oleh karena itu, tinggi, mungkin menghadapi perubahan ekologi
praktik pengelolaan hutan seperti pengurangan yang tinggi karena gabungan faktor-faktor
dampak penebangan hutan dipandang dapat manusia dan kelembagaan yang dapat
menekan kerentanan terjadinya kebakaran, meningkatkan risiko kebakaran. Oleh karena itu,
tetapi mungkin risiko kebakaran hanya untuk mendukung pengelolaan sumber daya yang
berkurang di areal yang sepenuhnya lebih baik, diperlukan penelitian untuk menilai
dikendalikan oleh pemegang HPH, yang jarang areal hutan berakses rendah
Kebakaran Hutan di Indonesia: Penyebab, Biaya dan Implikasi Kebijakan
Peraturan ini memfokuskan kebakaran sebagai gambut di perkebunan kelapa sawit dan hutan
masalah, yang harus dicegah dalam segala situasi. tanaman' berarti ada jalan untuk menjangkau
Agar efektif dalam mengatasi masalah-masalah areal tersebut. 1nspeksi oleh pegawai
kebijakan, perundang-undangan perlu mengenali pemerintah dan pengumpulan bukti untuk
ada berbagai tipe kebakaran dan tidak semua mengusut pihak yang memanfaatkan kebakaran
kebakaran bermasalah. Ada kebakaran yang secara ilegal dapat dilakukan. Oleh karena itu,
menghasilkan banyak sekali kabut asap dan ada setelah hukum direvisi, pemerintah perlu
yang menghasilkan sedikit saja. Ada kebakaran mengambil langkah tegas melawan perusahaan
yang sengaja dilakukan untuk membuka lahan yang memanfaatkan kebakaran secara ilegal.
untuk kepentingan pembangunan perkebunan, Jika beberapa perusahaan ditemukan bersalah
yang mungkin tidak menghasilkan banyak kabut dan mereka didenda, perusahaan lain akan
jika bukan di lahan gambut. Ada juga kebakaran menangkap pesan yang kuat ini, dan mungkin
yang tak terkendali di areal yang seharusnya mempengaruhi mereka dalam penggunaan. Oleh
dipertahankan sebagai hutan, seperti yang terjadi karena itu, untuk menghasilkan perubahan
di Kalimantan Timur tahun 199 7/98. dalam pemanfaatan kebakaran oleh perusahaan
Perundang-undangan seperti tersebut di diperlukan contoh tindakan penghukuman yang
atas seharusnya direvisi. Larangan hanya berlaku jelas, misalnya perusahaan yang memanfaatkan
untuk kebakaran yang berakibat banyak kabut, kebakaran secara ilegal harus dituntut, dan jika
seperti di lahan gambut, sementara penggunaan ternyata bersalah denda yang dikenakan harus
api dalam situasi dan lokasi yang akibat lokal cukup berat sehingga da pat menjerakan
asapnya tak diinginkan, seperti pada kesehatan perusahaan lain.
atau transportasi, harus diatur dengan peraturan Namun, jelas ada keterbatasan keefektifan
yang ditegakkan. Dalam hal kebakaran yang cara-cara legal ini (dan usaha penegakannya)
berakibat deforestasi yang tak diinginkan, pihak dalam mengkaji masalah-masalah kebakaran dan
yang berwenang harus diberi kuasa untuk kabut asap. Dalam banyak kasus kegiatan mata
mengatur (termasuk melarang) penggunaan api pencaharian skala kecil oleh penduduk desa
dalam jangka waktu tertentu, seperti selama merupakan sumber utama nyala api dan
ENSO. Revisi ini sebaiknya difokuskan pada kemungkinan besar ketentuan dalam perundang-
kebakaran yang benar-benar menimbulkan undangan tidak akan berhasil menangani sumber
masalah. Dengan demikian, ketersediaan sumber nyala api. Kegiatan mata pencaharian skala kecil
daya yang terbatas untuk mencegah dan jauh lebih terpencar dibandingkan dengan
menanggulangi kebakaran dapat digunakan untuk perusahaan, dan tentu saja lebih sulit untuk
mengatasi kebakaran yang memang rumit. memantau dan pengaturannya secara legal
Dalam kaitannya dengan lahan gambut, ada hampir tidak mungkin ditegakkan. Oleh karena
perundang-undangan yang mengatur itu, ketika kegiatan mata pencaharian terlibat
pengembangannya. Undang-undang ini dalam kebakaran atau masalah kabut asap,
menetapkan bahwa areal gambut yang lebih hanya inisiatif berbasis masyarakat, "
yang
dalam dari 3 meter tidak boleh dikembangkan didukung oleh peraturan perundang-undangan,
(Ketetapan Presiden No. 32/1990). Namun memiliki kemungkinan untuk berhasil.
tidak jelas apakah peraturan itu sungguh-
sungguh diimplementasikan. Analisis kete 5.5 Karbon Sink
patan peraturan ini diperlukan, termasuk Sampai sekarang masih ada ketidakpastian
implikasi social, ekonomi dan lingkungannya. mengenai jumlah emisi karbon sebagai akibat
Jelas bahwa merevisi perundang-undangan kebakaran tahun 199 7/98. Estimasi
saja tidak akan memecahkan masalah-masalah menunjukkan kisaran angka dari 206,6 juta
kebakaran. Hukum perlu ditegakkan dan hal ini ton karbon, 156,3 juta (sekitar 75%) dihasilkan
tidak terjadi. 1ni bukan hanya karena kebakaran dari gambut yang terbakar, sampai 493 juta
sulit dipantau dan dipatroli. Kebakaran hutan ton, dengan kontribusi 442 juta ton (sekitar 90
yang berulang di 1ndonesia yang sering %) dari lahan gambut. Angka Estimasi yang
disebutkan sebagai 'kebakaran hutan,' yang lebih tinggi sebanding dengan sekitar 30% (dan
memberi kesan areal yang terbakar terpencil dan 2 7% dari kebakaran gambut) dari emisi rata-
sulit dijangkau. Padahal kenyataannya ini tidak rata global per tahun yang disebabkan oleh
selalu demikian. Contohnya, fakta bahwa selama perubahan tata guna lahan selama 1989-1995
terjadi kabut pada Juli-Oktober 2002 di (1PCC 2000).
Kalimantan Barat lebih dari 75 persen dari titik Di atas disebutkan bahwa saat ini, bahwa
api (hot spots) yang diidentifikasi berada di lahan dari perspektif kelembagaan, emisi karbon dari
Kebakaran Hutan di Indonesia: Penyebab, Biaya dan Implikasi Kebijakan 21
pembukaan lahan dan tipe kebakaran lain bukan yang mencakup perkebunan, penduduk desa dan
merupakan biaya bagi negara itu sendiri atau lembaga pemerintah, dan juga ENSO, ikut andil
komunitas global, karena negara-negara atas terjadinya kebakaran dan kabut asap.
berkembang tidak harus memenuhi target Sayangnya, usaha pencarian pihak yang
pengurangan emisi karbon dan emisi karbon dari bersalah atas kebakaran dan kabut asap, yaitu
proyek-proyek yang mencegah deforestasi tidak perusahaan, penduduk desa, atau bahkan
diperbolehkan dalam Mekanisme Pembangunan ENSO, terulang secara teratur sama dengan
yang Bersih untuk periode komitmen pertama. berulangnya masalah kabut asap yang
Mengingat kontribusi lahan gambut dalam emisi mengganggu kegiatan sosial dan ekonomi di
karbon, perlu di pertimbangkan a pakah 1ndonesia dan tetangganya, paling sedikit dua
konservasi lahan gambut harus dimasukkan kali setahun. Sementara angka kerugian
dalam periode komitmen kedua dari protokol ekonomi tahun 199 7/98 telah direvisi menjadi
Kyoto. lebih rendah dan kejadian kabut dua kali
setahun mungkin menghasilkan dampak
ekonomi yang lebih rendah daripada kejadian
5.6 Kebakaran, ENSO dan faktor-faktor tahun 199 7/98, angka kerugiannya masih
manusia signifikan. Dalam hal luas permukaan lahan
Perdebatan mengenai apakah kebakaran di yang terbakar, laporan ini menunjukkan bahwa
1ndonesia disebabkan oleh faktor-faktor manusia kebakaran mempengaruhi areal yang lebih luas
atau sebagai hasil dari kejadian alam merupakan daripada yang dinyatakan sebelumnya,
topik yang bisa diperdebatkan. Jelas bahwa meskipun ada pernyataan bahwa kebakaran
kondisi lingkungan akibat dari ENSO dan kegiatan yang terjadi tidak seluas yang dilaporkan oleh
manusia ikut andil atas terjadinya kebakaran, organisasi-organisasi seperti WWF (Lomborg
karena kebakaran alami di 1ndonesia merupakan 2001). Oleh karena itu, Pemerintah 1ndonesia,
kejadian langka dan kebakaran skala besar kalangan industri dan organisasi-organisasi
seperti yang terjadi tahun 199 7/98 tidak terjadi nonpemerintah perlu mengkaji lebih dalam
selama tahun-tahun bukan ENSO. Di sisi lain, daripada sekedar mencari pihak yang bersalah,
jelas bahwa masalah kabut asap terjadi hampir dan berusaha menciptakan hubungan kemitraan
setiap tahun sebagai akibat kegiatan pembukaan yang serius untuk mengatasi masalah
lahan, sekalipun luasnya jauh lebih kecil dari lingkungan, ekonomi dan sosial yang sulit ini di
tahun-tahun ENSO. Faktor manusia, tingkat nasional maupun internasional.
22 CIFOR Occasional Paper No . 38(i) Luca Tacconi
Catatan akhir
' Semua nilai dolar dihitung dalam dolar AS. yang benar-benar berasal dari kawasan hutan.
2
Kabut asap merujuk pada adanya erosol '° Simulasi mengasumsikan bahwa 25%
yang terlihat karena pembakaran dan jarak total hutan yang hilang di kawasan DAS terjadi
penglihatan yang rendah akibat partikel- di hutan produksi. 1ni memberikan kontribusi
partikel kering. 7% kawasan banjir tambahan.
3
Angka yang disajikan hanya untuk saat ini. '' URL: http://www.pu.go.id/publik/
Angka ini dipengaruhi oleh kualitas data pegairan/html/ind/infbair/bendungan/
penginderaan jauh yang buruk, keterbatasan bendungan.htm
data tata guna lahan dan kegiatan lapangan yang '2 Di Kalimantan Timur, berdasarkan data
terbatas yang dilakukan untuk menilai kawasan yang disajikan oleh proyek 1FFM, yang
sebenarnya yang dilanda kebakaran. Saya menghitung bahwa biomassa yang hilang
mengucapkan terima kasih kepada 1. Anderson, berkisar antara 25%-50% sekitar 75% dari
dulu terlibat dalam Proyek Pencegahan dan kebakaran yang melanda hutan dataran rendah.
Pengendalian Kebakaran Hutan yang Cochrane dan Laurance (2002) juga melaporkan
menjelaskan hal ini. kom. pri. Nov 2002. bahwa kebakaran kedua memusnahkan
4
Kebakaran melanda Kalimantan Timur khususnya 40% tegakan pohon dan biomassa.
khususnya pada tahun 1998, sementara di '3 Total emisi karbon juga dihitung oleh Page
kawasan lain 1ndonesia dilanda kebakaran dkk. (2002) paling sedikit menjadi 810 juta ton.
pada tahun 199 7. Perhitungan minimum ini berdasarkan kisaran
5
1. Anderson, kom. pri. Nov 2002. perhitungan yang lebih rendah untuk kawasan
6
Selama tahun-tahun normal, kemungkinan yang terbakar yang dibahas dalam Bagian 3 dan
Riau mengalami kebakaran karena pembukaan berdasarkan rata-rata 51cm gambut yang
lahan yang lebih besar (seperti yang dideteksi oleh terbakar (batas terendah 25 cm, batas tertinggi
satelit) dibandingkan dengan provinsi lain di 85 cm). Perhitungan ADB dilakukan berdasarkan
1ndonesia. Menurut catatan curah hujan setiap rata-rata 30 cm gambut yang terbakar. Nilai rata-
tahun, Riau tidak menderita kekeringan yang hebat rata yang digunakan dalam studi ADB ini diadopsi
akibat kejadian ENSO. Di Riau, banyak terjadi untuk menghindari perhitungan yang terlalu
kebakaran dan polusi kabut asap yang berasal dari tinggi. Kawasan yang diteliti oleh Page dkk.
kebakaran kebun di lahan gambut pada awal tahun (2002) sebagian besar dilanda kebakaran hebat;
199 7 dan awal 1998 tetapi tidak terjadi kebakaran sehingga, rata-rata gambut yang terbakar di
liar seperti di Jambi dan Sumatera Selatan selama tingkat nasional kemungkinan menjadi lebih
musim terjadinya kabut pada bulan September rendah daripada yang mereka gunakan.
hingga pertengahan November 199 7 (1. Anderson, '4 Kebakaran Agustus-Oktober 2002 dan
Rujukan
Achard, F., Eva, H., Glinni, A., Mayaux, P., Barber, C.V. dan Schweithelm, J. 2000. Trial by
Richards, T. dan Stibig, H.J. 1998. Fire. Forest Fires and Forestry Policy in
1dentification of deforestation hot spot areas 1ndonesia's Era of Crisis and Reform. World
in the humid tropics. TREES: Tropical Resources 1nstitute (WR1), Forest Frontiers
Ecosystem Environment Observations by 1nitiative. Kerja sama dengan WWF-
Satellites. Joint Research Centre, European 1ndonesia dan Telapak 1ndonesia
Commission, 1spra. Foundation, Washington D.C.
Aglionby, J. dan Whiteman, A. 1996. The Bureau of Transport Economics. 2002. Economic
utilisation of economic data for conservation Costs of Natural Disasters in Australia.
management planning: a case study from Commonwealth Government of Australia,
Danau Sentarum wildlife reserve. Canberra. www.dotrs.gov.au/bte/docs/r103/
Conservation Project, 1ndonesia-UK Tropical contents.htm.
Forest Management Programme, Jakarta. Casson, A. 2000. The Hesitant Boom: 1ndonesia's
Agro1ndonesia. 1ndonesia agricultural production Oil Palm Sub-Sector in an Era of Economic
year 2000 in numbers. www.agroindonesia. Crisis and Political Change. C1FOR Occasional
com/news/eng/2002/feb/19-02-02.htm (26/ Paper No 29. C1FOR, Bogor.
2/2002). Chokkalingam, U., Tacconi, L. dan Ruchiyat, Y.
Alford, D. 1992. Streamflow and sediment 2002. Fire use, peatland transformation and
transport from mountain watersheds of the local livelihoods: a case of positive
Chao Phraya Basin, Northern Thailand: A reinforcement? Peatland for People: Natural
reconnaissance study. Mountain Research and Resource Functions and Sustainable
Development 12 (3): 25 7-58. Management. Proceedings of the 1nternational
Anderson, 1. 200.1 NOAA/G1S Training Expert Symposium on Tropical Peatlands, 22-23
Final Report. Forest Fire Prevention and Agustus 2001, Jakarta. BPPT dan 1ndonesian
Control Project; European Union, Ministry Peat Association, Jakarta.
of Forestry, Palembang. http://www.mdp. Chomitz, K. dan Kumari, K. 1998. The domestic
co.id/ffpcp/report19.htm. benefits of tropical forests: a critical review.
Anderson, 1.P. dan Bowen, M.R. 2000. Fire Zone The World Bank Research Observer 13 (1):
and the Threat to the Wetlands of Sumatra, 13-35.
1ndonesia. Forest Fire Prevention and Cochrane, M.A., Alencar, A., Schulze, M.D.,
Control Project; European Union; Souza, C.M., Nepstad, D.C., Lefebvre, P. dan
Departemen Kehutanan, Palembang. Davidson, E. 1999. Positive feedbacks in the
Anderson, 1.P., Bowen, M.R., 1manda, 1.D. dan fire dynamics of closed canopy forests.
Muhnandar. 1999. Vegetation Fires in Science 284: 1832-1835.
1ndonesia: The Fire History of the Sumatra Cochrane, M.A. dan Laurance, W.F. 2002. Fire
Provinces 1996-1998 as a Predictor of as a large-scale edge effect in Amazonian
Future Areas at Risk. Forest Fire Prevention forests. Journal of Tropical Ecology 18: 311-
and Control Project; European Union; 325.
Departemen Kehutanan, Palembang. Colfer, C.J.P. 2002. Ten propositions to explain
Applegate, G.B.A., Chokkalingam, U. dan Kalimantan's fires. Dalam: C. J. P. Colfer dan 1.
Suyanto, S. 2001. The Underlying Causes and A. P. Resosudarmo eds. Which way forward?
1mpacts of Fires in Southeast Asia. Final People, Forests and Policymaking in 1ndonesia,
Report. C1FOR, 1CRAF, USA1D, USFS, Bogor. 309-324. Resources for the Future,
BAPPENAS-ADB. 1999. Causes, Extent, 1mpact Washington, D.C.
and Costs of 199 7/1998 Fires and Drought. Costanza, R., D'Arge, R., de Groot, R., Faber, S.,
Laporan akhir, Lampiran 1 dan 2. Planning Grasso, M., Hannon, B., Limburg, K., Naeem,
for Fire Prevention and Drought Management S., O'Neill, R.V., Paruelo, J., Raskin, R.G.,
Project. Asian Development Bank TA 2999- Sutton, P. dan van den Belt, M. 199 7. The
1NO. National Development Planning Agency value of the world's ecosystem services and
(BAPPENAS) and Asian Development Bank, natural capital. Nature (38 7): 253-260.
Jakarta.
24 CIFOR Occasional Paper No . 38(i) Luca Tacconi
DeBano, L.F. 2000. The role of fire and soil Jhamtani, H. dan Badawi, W. 1998. Report on
heating on water repellency in a wildland Forest and Land Fires in 1ndonesia: 1mpacts,
environment. Journal of Hydrology (231- Factors and Evaluation. Volume 1. State
232): 195-206. Ministry of Environment; UNDP, Jakarta.
Dennis, R., Erman, A., Kurniawan, 1., Stolle, F. Kartawinata, K. dan Vayda, A.P. 1984. Forest
dan Applegate, G. 2000. The underlying conversion in East Kalimantan. In: F. di Castri,
causes and impacts of fires in South-east Asia. F. W. J. Baker and A. Hadley eds. Ecology in
Site 3. Danau Sentarum, West Kalimantan Practice, 98-126. Tycooly 1nternational,
Province, 1ndonesia. C1FOR, 1CRAF dan Dublin.
USFS, Bogor, 1ndonesia. Legg, C.A. dan Laumonier, Y. 1999. Fires in
FAO. 2001. State of the World's Forests: 2001. 1ndonesia, 199 7: a remote sensing
Food and Agriculture Organisation of the perspective. Ambio 28 (6): 479-485.
United Nations, Rome. Leighton, M. dan Wirawan, N. 1986. Catastrophic
Forest Fire Prevention and Control Project. 1999. drought and fire in Borneo tropical rain forest
Wildfire Occurrence in South Sumatra, Wild associated with the 1982-83 El Nino Southern
Fire Causes and Landuse of Burnt Areas. Oscillations event. In: G. Prance ed. Tropical
Lokakarya 1nternasional yang Pertama tentang Rainforests and the World Atmosphere, 75-
Panduan Nasional Perlindungan Hutan 102. American Association for the
terhadap Kebakaran. Volume 9, pp 211-213. Advancement of Science, Washington, D.C.,
1TTO, CFC, MoF, 1PB, Bogor. U.S.A.
Fuchs, T. dan Schneider, U. ENSO impacts on Liew, S.C., Kwoh, L.K., Lim, O.K. dan Lim, H.
global precipitations in winter 199 7/98. 2001. Remote sensing of fire and haze.
http://www.dwd.de/research/klis/produkte/ Dalam: P. Eaton dan M. Radojevic eds. Forest
monitoring/ensowzn/e_ensowzn.htm (12/3/ Fires and Regional Haze in Southeast Asia, 6
2002). 7-89. Nova Science Pubishers, New York.
FW1/GFW. 2002. The State of the Forest: Liew, S.C., Lim, O.K., Kwoh, L.K. dan Lim, H.
1ndonesia. Forest Watch 1ndonesia, Global 1998. A study of the 199 7 forest fires in South
Forest Watch, Bogor, Washington DC. East Asia using SPOT quicklook mosaics. 1998
Glover, D. 2001. The 1ndonesian fires and 1nternational Geoscience and Remote Sensing
haze of 199 7: the economic toll. Dalam: P. Symposium, Seattle.
Eaton dan M. Radojevic eds. Forest fires Lomborg, B. 2001. The Skeptical
and regional haze in Southeast Asia, 22 7- Environmentalist. Cambridge University
236. Nova Science Publishers, New York. Press, Cambridge.
Glover, D. dan Jessup, T. eds. 1999. 1ndonesia's Massing, A.M. 1981. Base Line Survey: Middle
Fires and Haze: The Cost of Catastrophe. Mahakam Area. TAD-Project, GTZ,
1nstitute of Southeast Asian Studies; Samarinda.
1nternational Development Research Centre, Oosterman, A. dan Widayat, D. 2001. The
Singapore. impact of fires on local economies: the case
Grossmann, C.M. 199 7. Significance and of Batu Ampar. Berau Forest Management
Development Potential of Non-Wood Forest Project, PT 1nhutani 1, Jakarta.
Products in Central East Kalimantan. A Case Osterman, K. dan Brauer, M. 2001. Air quality
Study from PT. Limbang Ganeca, Long Lalang during haze episodes and its impact on health.
and Ritan Baru. MoFEC, GTZ, Samarinda. In: P. Eaton and M. Radojevic eds. Forest Fires
Guyon, A. dan Simorangkir, D. 2002. The and Regional Haze in Southeast Asia, 195-226.
Economics of Fire Use in Agriculture and Nova Science Pubishers, New York.
Forestry - A Preliminary Review for 1ndonesia. Page, S.E., Siegert, F., Rieley, J.O., Boehm, H.D.,
Project FireFight South East Asia, Jakarta. Jaya, A. dan Limin, S. 2002. The amount of
Hoffmann, A.A., Hinrichs, A. dan Siegert, F. carbon released from peat and forest fires in
1999. Fire damage in East Kalimantan in 199 1ndonesia during 199 7. Nature 420 (7
7/98 related to land use and vegetation November): 61-65.
classes: Satellite radar inventory results and Potter, L. dan Lee, J. 1999. Oil palm in
proposal for further actions. MOFEC, GTZ dan 1ndonesia: its role in forest conversion and
KfW, Samarinda. the fires of 199 7/98. WWF - 1ndonesia
1PCC. 2000. Land use, Land-use Change and Programme, Jakarta.
Forestry. Cambridge University Press, Putz, F.E., Dykstra, D.P. dan Heinrich, R. 2000.
Cambridge. Why poor logging practices persist in the
Kebakaran Hutan di Indonesia: Penyebab, Biaya dan Implikasi Kebijakan
tropics. Conservation Biology 14 (4): 951-956. Sudarmadji, T. 2001. 1mpact of logging and forest
Qadri, S.T. ed. 2001. Fire, Smoke and Haze. The fires on soil erosion in tropical humid forest in
ASEAN Response Strategy. Asian Development East Kalimantan. Dalam: S. Kobayashi, J. W.
Bank, ASEAN, Manila. Turnbull, T. Toma, T. Mori dan N. M. N. A.
Rosenfeld, D. 1999. TRMM observed first direct Majid eds. Rehabilitation of Degraded Tropical
evidence of smoke from forest fires inhibiting Forest Ecosystems, 35-44. C1FOR, Bogor.
rainfall. Geophysical Research Letters 26 Tacconi, L., Gunarso, P., Ruchiat, Y. dan Mulyadi,
(20): 3105-3108. S. 2002. Socio-economic causes and impacts
Rowell, A. dan Moore, P.F. 2001. Global Review of fires in the Central Mahakam area, East
of Forest Fires. WWF; 1UCN, Gland. Kalimantan. Draft. C1FOR, Bogor.
Sargeant, H.J. 2001 Vegetation Fires in Sumatra Tapper, N., Wain, A. dan Mills, G. Atmospheric
1ndonesia. Oil Palm Agriculture in the trajectory climatologies for some major
Wetlands of Sumatra: Destruction or ASEAN cities. Makalah disampaikan pada 'A
Development? Forest Fire Prevention and Changing Atmosphere', Simposium Eropa
Control Project; European Union, Departemen yang ke-8 the Physico-Chemical Behaviors of
Kehutanan, Palembang. Atmospheric Pollutants, 1 7-20 September
Sarwono. 1989. Effects of the Forest Fire 1982/ 2001, Lingotto Conference Centre, Torino.
83 in East Kalimantan on Fishery and www.ei.jrc.it/events/torino2001/torinocd/
Hydrology. BPPK, GTZ, DFS, 1TTO, FR- Documents/Urban/UO4.htm (4 April 2002).
Project, Samarinda. United Nations 1nternational Strategy for
Schindele, W., Thoma, W. dan Panzer, K. 1989. Disaster Reduction. 2002. Natural disasters
1nvestigation of the Steps Needed to and sustainable development: understanding
Rehabilitate the Areas of East Kalimantan the links between development and
Seriously Affected by Fire. The Forest Fire environment and natural disasters. United
1982/83 in East Kalimantan. Part 1: The Fire, Nations, World Summit on Sustainable
the Effects, the Damage and the Technical Development, New York.
Solutions. BPPK, GTZ, DFS, 1TTO, FR-Project, United States Department of Agriculture. 1998.
Samarinda. 1ndonesia's financial crisis: implications for
Siegert, F., Ruecker, G., Hinrichs, A. dan agriculture. USDA, Washington DC.
Hoffmann, A.A. 2001. 1ncreased damages van Nieuwstadt, M.G.L., Sheil, D. dan
from fires in logged forests during droughts Kartawinata, K. 2001. The ecological
caused by El Nino. Nature 414 (22 November): consequences of logging in the burnt forests
43 7-440. of East Kalimantan, 1ndonesia. Conservation
Steenis, M.Z. dan Fogarty, L.G. 2001. Biology 15 (4): 1183-1186.
Determining spatial factors associated with Wetlands 1nternational. Mahakam Lakes.
fire ignition zones: hot spot analysis for www.livinglakes.org/mahakam/(14/1/2002).
East Kalimantan. Berau Forest Management Whiteman, A. dan Fraser, A. 199 7. The value of
Project, Jakarta. forestry in 1ndonesia. 1ndonesia-UK Tropical
Forest Management Programme, Jakarta.
26
Lampiran
Tabel Al. Ringkasan asumsi dan parameter yang digunakan dalam studi 1SAS dan ADB
HH NK dan Berlaku untuk lahan sejuta hektar hutan yang terbakar 4,84 juta ha hutan yang dilanda
keuntungan Ini termasuk: 75% produksi HHNK musnah pada tahun pertama, akan dimulai lagi setelah 20 tahun
langsung makanan, bahan mentah, HHNK, Nilai per ha/tahun 23 dolar, berasal dari studi Danau Sentarum
lainnya dari (dolar/ha/tahun sebesar 401)
hutan dan rekreasi (dolar/ha/tahun sebesar 129).
Nilai yang dihitung di tingkat dunia dapat diterapkan untuk Indonesia.
Diperoleh dari Costanza dkk 1 997
Pelepasan Nilai karbon 10 dolar per ton 206,6 juta ton karbon yang dilepaskan.
karbon 27,2 juta ton emisi karbon Nilai 7 dolar per ton
27
28
Tabel Al. Lanjutan
Kesehatan Penduduk yang terkena dampak kabut asap dihitung dengan mengekstrapolasikan Penduduk yang dilanda kabut asap dihitung dengan mengekstrapolasikan data dari
model yang berasal dari data di Malaysia Indonesia. Perhitungan ini dibuat berdasarkan laporan UNDP 1 998.
Termasuk total biaya kesehatan yang dihitung: biaya perawatan di rumah sakit Termasuk kematian, kehilangan produktivitas selama lebih dari 20 tahun.
dan kasus yang tidak dilaporkan dan perawatan itu sendiri. Kerelaan membayar untuk mencegah efek-efek yang merugikan melebihi biaya
CIFOR Occasional Paper No . 38(i)
Tidak termasuk dampak kesehatan jangka panjang. langsung dengan faktor 2:1; termasuk perhitungan tambahan kehilangan surplus
Semua kasus orang dewasa akan melibatkan orang bekerja konsumen.
(yaitu, ibu rumah tangga, manula dan pengangguran tidak ikut dihitung). Pada tahun 1 997, 12,360,000 penduduk dilanda kabut asap; total untuk tahun 1 998
Kerelaan membayaruntuk mencegah efek-efek yang merugikan melebihibiayalangsung tidak dijelaskan, tetapi diasumsikan efeknya serupa dengan tahun 1 997;
dengan faktor 2:1; termasuk perhitungan tambahan kehilangan surplus konsumen. 1 9,108 orang menjalani rawat inap
35,4 juta orang dinyatakan terkena dampak tingkat kabut di atas normal 44,034 orang menjalani rawat jalan
periode keterpaparan kabut adalah 91 hari 695,000 orang menjalani perawatan medis
267,000 orang menjalani rawat inap 2, 95 juta orang tidak masuk kerja
623,000 orang menjalani rawat jalan
9,78 juta menjalani perawatan medis
27, 9 juta orang tidak masuk kerja
Pariwisata Penurunan jumlah pengunjung antara 15% dan 22,5% Berdasarkan studi ISAS.
50% penurunan jumlah pengunjung dari ASEAN karena Total penurunan di sektor pariwisata tahun 1 997: 326768;
krisis ekonomi antara 187,000 dan 281,000 pengunjung 1 998: 1, 908,070; dengan rincian sebagai berikut:
rata-rata pengeluaran yang dihabiskan 1250 dolar semua kedatangan dari Eropa dan Amerika antara bulan 9/ 97 dan 4/ 98 berkurang karena
terjadi kebakaran;
penurunan jumlah kedatangan pada 5/ 98 hingga 9/ 98 dari Eropa dan America karena kabut
sebesar 50%;
penurunan jumlah kedatangan pada 9/ 97 hingga 12/ 97 dari Asia Pasifik karena kabut
sebesar 50%.
Rata-rata pengeluaran yang dihabiskan pendatang adalah 1129 dolar
1. Forestry Research within the Consultative Group on 21. Promoting Forest Conservation through Ecotourism Income? A
International Agricultural Research case study from the Ecuadorian Ama2on region
Jeffrey A. Sayer Sven Wunder
2. Social and Economical Aspects of Miombo Woodland 22. Una de Gato: Fate and Future of a Peruvian Forest Resource
Management in Southern Africa: Options and Opportunities for Wil de Jong, Mary Melnyk, Luis Alfaro Lozano, Marina
Research Peter A. Dewees Rosales and Myriam Garcia
3. Environment' development and poverty: A Report o f the 23. Les Approches Participatives dans la Gestion des Ecosystemes
International Workshop on India's Forest Management and Forestiers d'Afrique Centrale: Revue des Initiatives Existantes
Ecological Revival Jean-Claude Nguinguiri
Uma Lele, Kinsuk Mitra and O.N. Kaul 24. Capacity for Forestry Research in Selected Countries of West
4. Science and International Nature and Central Africa
Conservation Jeffrey A.Sayer Michael J. Spilsbury, Godwin S. Kowero and F. Tchala-Abina
5. Report on the Workshop on Barriers to the Application of 25. L'Impact de la Crise Economique sur les Populations' les
Forestry Research Results Migration et le Couvert Forestier du Sud-Cameroun
C.T.S. Nair, Thomas Enters and B. Payne Jacques Pokam Wadja Kemajou and William D.Sunderlin
6. Production and Standards for Chemical Non-Wood Forest 26. • The Impact o f Sectoral Development on Natural Forest
Products in China Conservation and Degradation: The Case of Timber and Tree
Shen Zhaobang Crop Plantations in Indonesia
(Indonesian edition) Dampak Pembangunan Sektoral terhadap
7. • Cattle' Broadleaf Forests and the Agricultural Moderni2ation Konversi dan Degradasi Hutan Alam: Kasus Pembangunan HTI dan
Law of Honduras: The Case of Olancho Perkebunan di Indonesia
(Spanish edition) Ganaderia' bosques lati foliaods y Ley de
Hariadi Kartodihardjo and Agus Supriono
Moderni2atcion en Honduras: El caso de Olancho
William D.Sunderlin and Juan A.Rodriguez 27. L'Impact de la Crise Economique sur les Systemes Agricoles et
le Changement du Couvert Forestier dans la Zone Forestiere
8. High quality printing stock - has research made a difference? Humide du Cameroun
Francis S.P. Ng Henriette Bikie, Ousseynou Ndoye and William D.Sunderlin
9. • Rates Causes of Deforestation in Indonesia: Towards a 28. • The Effect of Indonesia's Economic Crisis on Small Farmers
Resolution of the Ambiguities and Natural Forest Coverin the Outer Islands
(Indonesian edition) Laju dan Penyebab Deforestasi di (Indonesian Edition) Dampak Krisis Ekonomi Indonesia terhadap
Indonesia: Penelaahan Kerancuan dan Penyelesaiannya Petani Kecil dan Tutupan Hutan Alam di Luar Jawa
William D. Sunderlin and Ida Aju Pradnja Resosudarmo William D. Sunderlin, Ida Aju Pradnja Resosudarmo, Edy
10. Report on Discussion Forum on Irformation Services in the Asia- Rianto, Arild Angelsen
Pacific and AGRIS/CARIS in the 21st Century and Asia-Pacific
Regional Consultation 29. The Hesitant Boom: Indonesia's Oil Palm Sub-Sector in an Era o
Michael O. Ibach and Yvonne Byron Economic Crisis and Political Change
Anne Casson
11. Capacity for Forestry Research in the Southern African
Development Community 30. The Underlying Causes of Forest Decline
Godwin S. Kowero and Michael J. Spilsbury Arnoldo Contreras-Hermosilla
12. Technologies for sustainable forest management: Challenges 31. 'Wild logging': The rise and fall of logging networks and
for the 21st century biodiversity conservation projects on Sumatra's rainforest
Jeffrey A. Sayer, Jerome K. Vanclay and R. Neil Byron frontier John F. McCarthy
32. Situating Zimbabwe's Natural Resource Governance Systems in
13. Bosques secundarios como recurso para el desarrollo rural y la
History
conservacion ambiental en los tr6picos de America Latina Joyotee
Smith, Cesar Sabogal, Wil de Jong and David Kaimowitz Alois Mandondo
14. Cameroon's Logging Industry: Structure' Economic Importance 33. Forestry' Poverty and Aid
and Effects of Devaluation J.E. Michael Arnold
Richard Eba'a Atyi 34. The Invisible Wand: Adaptive Co-management as an Emergent
15. • Reduced-Impact Logging Guidelines for Lowland and Hill Strategy in Complex Bio-economic systems.
Dipterocarp Forests in Indonesia Jack Ruitenbeek and Cynthia Cartier
(Indonesian edition) Pedoman Pembalakan Berdampak Rendah 35. Modelling Methods for Policy Analysis in Miombo Woodlands
untuk Hutan Dipterocarpa Lahan Rendah dan Bukit di Indonesia A. A Goal Programming Model for Planning Management of
Plinio Sist, Dennis P. Dykstra and Robert Fimbel Miombo Woodlands
I. Nhantumbo and Godwin S. Kowero
16. Site Management and Productivity in Tropical Forest Plantations A.
Tiarks, E.K.S. Nambiar and Christian Cossalter B. A System Dynamics Model for Management of Miombo
Woodlands
17. Rational Exploitations: Economic Criteria and Indicators for Ussif Rashid Sumaila, Arild Angelsen and Godwin S. Kowero
Sustainable Management of Tropical Forests
Jack Ruitenbeek and Cynthia Cartier 36. How to Know More about Forests? Supply and Use of Information
for Forest Policy
18. Tree Planting in Indonesia: Trends' Impacts and K. Janz and R. Persson
Directions Lesley Potter and Justin Lee
37. Forest Carbon and Local Livelihoods: Assessment of Opportunities
19. Le Marche des Produits Forestiers Non Ligneux de l'Afrique and Policy Recommendations
Centrale en France et en Belgique: Produits' Acteurs' Circuits Joyotee Smith and Sara J. Scherr
de Distribution et Debouches Actuels
Honoré Tabuna 38. Fires in Indonesia: Causes' Costs and Policy Implications
Luca Tacconi
20. Self-Governance and Forest Resources
Elinor Ostrom
C e n t e r f o r I n t e r n a t i o n a l F o r e s t r y R e s e a r c h
CIFOR Occasional Paper adalah seri publikasi hasil-hasil riset yang memiliki relevansi
penting dengan kehutanan di kawasan tropis. Isi masing-masing seri telah dikaji oleh
pakar di dalam dan luar CIFOR. Untuk mendapatkan versi elektroniknya telah
tersedia pada situs www.cifor.cgiar.org/publications/papers.
Center for International Forestry Research (CIFOR) didirikan pada tahun 1993
sebagai bagian dari sistem CGIAR, sebagai tanggapan atas keprihatinan dunia akan
konsekuensi sosial, lingkungan dan ekonomi yang disebabkan oleh kerusakan dan
kehilangan hutan. Penelitian CIFOR menghasilkan pengetahuan dan berbagai
metode yang dibutuhkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang
hidupnya mengandalkan hutan, dan untuk membantu negara-negara di kawasan
tropis dalam mengelola hutannya secara bijaksana demi manfaat yang
berkelanjutan. Berbagai penelitian ini dilakukan di lebih dari 24 negara, melalui
kerja sama dengan banyak mitra. Sejak didirikan, CIFOR telah memberikan
dampak positif dalam penyusunan kebijakan kehutanan nasional dan global.