You are on page 1of 17

REFERAT

DEMENSIA ALZHEIMER

Disusunoleh :

Hedaya Pancar Pangestu

Syifa Larasati

Fandy Setiawan

Anika Istika

Siska Armaiti Futri

Wulan Sutrima Ningsih

Megawati Yulia Wina

Sovia Putri Lahida

Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Jiwa

Rumah Sakit Jiwa Marzoeki Mahdi Bogor

Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti

Periode 18 Februari - 23 Maret 2019

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas rahmatNya,
penulis dapat menyelesaikan referat ini pada waktunya. Referat berjudul “DEMENSIA
ALZHEIMER” ini dibuat untuk melengkapi tugas dan menambah wawasan tentang penyakit
Demensia Alzheimer.
Saya juga mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada dokter pembimbing
Ilmu Kesehatan Jiwa di Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti yaitu dr. Agnes Tineke, spKJ
yang telah membimbing penulis selama kepaniteraan ini dan dalam penyusunan referat ini serta
teman-teman Co-Ass yang turut membantu dan memberikan semangat serta dukungan selama
kepaniteraan ini. Tak lupa juga saya mengucapkan terima kasih kepada orang tua, abang dan
adik saya yang selalu mendukung selama ini.
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan di dalam penulisan referat ini. Oleh
karena itu, penulis menerima kritikan dan saran yang membangun guna penyempurnaan referat
ini. Akhir kata, penulis berharap semoga referat ini dapat bermanfaat dan menambah wawasan
pembaca. Terimakasih.

Jakarta, Februari 2019

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................................. i


DAFTAR ISI............................................................................................................................ ii
BAB I. PENDAHULUAN ................................................................................................ 1
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 DEFINISI ...................................................................................................... 2
2.2 SEJARAH ..................................................................................................... 2
2.3 EPIDEMIOLOGI .......................................................................................... 3
2.4 ETIOLOGI .................................................................................................... 3
2.5 MANIFESTASI KLINIS .............................................................................. 6
2.6KRITERIA DIAGNOSIS ................................................................................ 8
2.7DIAGONOSIS BANDING .............................................................................. 10
2.8PSIKOTERAPI ................................................................................................ 11
2.9 PROGNOSIS ............................................................................................... 13
BAB III. KESIMPULAN
3.1 KESIMPULAN ................................................................................................. 14
DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I
PENDAHULUAN

Demensia merupakan suatu sindrom yang bersifat kronis progresif dan menandakan
adanya penurunan fungsi kognitif, disebabkan oleh penyakit organik difus pada hemisfer serebri
(demensia kortikal) maupun kelainan struktur subkortikal (demensia subkortikal). Pada demensia
tidak ditemukan adanya gangguan kesadaran, dan dipertimbangkan sebagai demensia bila gejala
muncul dalam waktu minimal 6 bulan.1
Demensia merupakan sindrom yang ditandai oleh berbagai gangguan fungsi kognitif
tanpa gangguan kesadaran. Fungsi kognitif yang dapat dipengaruhi pada demensia adalah
inteligensia umum, belajar dan ingatan, bahasa, memecahkan masalah, orientasi, persepsi,
perhatian, dan konsentrasi, pertimbangan, dan kemampuan sosial. Kepribadian pasien juga
terpengaruhi. Jika pasien mempunyai suatu gangguan kesadaran, maka pasien kemungkinan
memenuhi kriteria diagnostik untuk delirium. Di samping itu, suatu diagnosis demensia menurut
Diagostic and Statistical Manual of Mental Disorders edisi keempat (DSM-IV) mengharuskan
bahwa gejala menyebabkan gangguan fungsi sosial atau pekerjaan yang berat dan merupakan
suatu penurunan dari tingkat fungsi sebelumnya.2
Kata demensia secara harafiah berarti hilang ingatan atau pikun. Penyakit demensia
merupakan hasil proses satu atau lebih penyakit yang dapat secara drastis mengubah tingkah laku
seseorang dan secara bertahap merusak daya pikirnya maupun kehidupan seluruh keluarganya.
Penyakit Alzheimer diperkirakan menjadi penyebab utama demensia yang tidak dapat
disembuhkan pada pria maupun wanita di atas usia 65 tahun.3
Ada 3 klasifikasi demensia. Demensia ireversibel yang terbagi menjadi demensia tipe
Alzheimer, korea Huntington dan penyakit Parkinson. Kemudian ada demensia reversibel, yang
terbagi menjadi demensia vaskular dan hidrosefalus tekanan normal (normal pressure
hydrocephalus). Dan ada juga demensia terinduksi zat yaitu intoksikasi obat, tumor dan trauma
otak, infeksi serta gangguan metabolik.1 60% demensia adalah ireversibel (tidak dapat pulih ke
kondisi semula), 25% dapat dikontrol, dan 15% reversibel (dapat pulih kembali).5

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 DEFINISI
Demensia ialah kemunduran fungsi mental umum, terutama inteligensi disebabkan oleh
kerusakan jaringan otak yang tidak dapat kembali lagi (ireversibel). Daerah otak yang
terutama terkena ialah lobus parietalis, temporalis dan frontalis.4
Demensia Alzheimer biasanya timbul antara umur 50 dan 60 tahun. Terdapat degenerasi
korteks yang difus pada otak di lapisan-lapisan luar, terutama di daerah frontal dan
temporal. Atrofi otak ini dapat dilihat pada pnemo-ensefalogram : sistema ventrikel
membesar serta banyak hawa di ruang subarakhnoidal (giri mengecil dan sulkus-sulkus
melebar).4
Penyakit ini mulai pelan-pelan sekali. Tidak ada ciri-ciri yang khas pada gangguan
inteligensi atau pada kelainan perilaku. Terdapat disorientasi, gangguan ingatan, emosi
yang labil, kekeliruan mengenai hitungan dan mengenai pembicaraan sehari-hari. Terjadi
afasia. Sering juga terdapat perseverasi, pembicaraan logoklonia, dan bila sudah berat,
maka penderita tidak dapat dimengerti lagi. Pada beberapa kasus ada yang menjadi gelisah
dan hiperaktif.4
Kadang-kadang sepintas lalu timbul apraxia, hemiplegia atau paraplegia. Parese pada
muka dan spasme pada extremitas juga sering terjadi sehingga pada stadium akhir timbul
kontraktur. Pada fase ini ia sudah sangat dement dan tidak dapat diadakan kontak
dengannya lagi. Penyakit ini biasanya berlangsung 5-10 tahun, kadang-kadang kelihatan
naik-turun.4

2.2 SEJARAH
Alois Alzheimer pertama kali menggambarkan suatu kondisi yang selanjutnya diberi
nama dengan namanya dalam tahun 1907, saat ia menggambarkan seorang wanita berusia
51 tahun dengan perjalanan demensia progresif selama 4,5 tahun.2

2
2.3 EPIDEMIOLOGI
Demensia sebenarnya adalah penyakit penuaan. Di antara orang Amerika yang berusia 65
tahun, kira-kira 5% menderita demensia berat, dan 15% menderita demensia ringan. Di
antara orang Amerika yang berusia 80 tahun, kira-kira 20% menderita demensia berat. Dari
semua pasien dengan demensia, 50-60% menderita demensia tipe Alzheimer, yang
merupakan tipe demensia yang paling sering. Kira-kira 5% dari semua orang yang
mencapai usia 65 tahun menderita demensia tipe Alzheimer, dibandingkan dengan 15-25%
dari semua orang yang berusia 85% atau lebih. Pasien dengan demensia tipe Alzheimer
memenuhi lebih dari 50% tempat tidur di rumah perawatan.2
Di Inggris terdapat kurang lebih 7,5 juta orang yang berusia di atas 65 tahun. Di antara
populasi ini, lebih dari 750.000 orang mungkin menderita penyakit Alzheimer. Statistik
menunjukkan data yang hampir sama pada negara-negara maju yang memiliki umur
harapan hidup mencapai 65 dan 70 tahun.3
Prevalensi demensia pada populasi lanjut usia (>65 tahun) berkisar 3-30%. Demensia tipe
Alzheimer dilaporkan bertumbuh 2 kali lipat setiap pertambahan usia 5 tahun, yaitu bila
prevalensi demensia pada usia 65 tahun 3% maka menjadi 6% pada usia 70 tahun, 12%
pada 75 tahun dan 24% pada usia 80 tahun. Di Indonesia pada tahun 2006 diperkirakan ada
1.000.000 orang dengan demensia untuk jumlah lanjut usia 20 juta orang.5
Prevalensi demensia meningkat dengan bertambahnya usia. Di negara Barat, demensia
mengenai sedikitnya 5% penduduk berusia lebih dari 65 tahun, dan 10% mereka yang
berusia 80 tahun ke atas. Meningkatnya harapan hidup manusia, disertai angka kelahiran
bayi yang rendah pada negara maju, meningkatkan populasi lanjut usia. Demensia
diperkirakan akan berdampak peningkatan pengeluaran negara, kecuali jika terapi yang
efektif dan/atau upaya pencegahan terhadap penyebab yang terpenting telah ditemukan dan
diterapkan.7

2.4 ETIOLOGI
Walaupun penyebab demensia tipe Alzheimer masih tidak diketahui, telah terjadi
kemajuan dalam mengerti dasar molekular dari deposit amiloid yang merupakan tanda
utama neuropatologi gangguan. Beberapa penelitian telah menyatakan bahwa sebanyak
40% pasien mempunyai riwayat keluarga menderita demensia tipe Alzheimer; jadi, faktor

3
genetik dianggap berperan sebagian dalam perkembangan gangguan dalam sekurangnya
beberapa kasus. Dukungan tambahan tentang peranan genetik adalah bahwa angka
persesuaian untuk kembar monozigotik adalah lebih tinggi dari angka untuk kembar
dizigotik. Dan dalam beberapa kasus yang telah tercatat baik gangguan telah
ditransmisikan dalam keluarga melalui suatu gen autosomal dominan, walaupun transmisi
tersebut adalah jarang.2
Neuropatologi. Observasi makroskopis neuroanatomik klasik pada otak dari seorang
pasien dengan penyakit Alzheimer adalah atrofi difus dengan pendataran sulkus kortikal
dan pembesaran ventrikel serebral. Temuan mikroskopis klasik dan patognomonik adalah
bercak-bercak senilis, kekusutan neurofibriler, hilangnya neuronal (kemungkinan sebanyak
50% di korteks), dan degenerasi granulovaskular pada neuron. Kekusutan neurofibriler
bercampur dengan elemen sitoskeletal, terutama protein tau berfosforilasi, walaupun
protein sitoskeletal lainnya juga ditemukan. Kekusutan neurofibriler adalah tidak unik pada
penyakit Alzheimer, karena keadaan tersebut juga ditemukan pada sindrom Down,
demensia pugilistic (punch-drunk syndrome), kompleks demensia-Parkinson dari Guam,
penyakit Hallervorden-Spatz, dan otak orang lanjut usia yang normal. Kekacauan
neurofibriler biasanya ditemukan di korteks, hipokampus, substansia nigra, dan lokus
sereleus.2
Plak senilis, juga dikenal sebagai plak amiloid, adalah jauh lebih indikatif untuk penyakit
Alzheimer, walaupun keadaan tersebut juga ditemukan pada sindrom Down dan, sampai
derajat tertentu, pada penuaan normal. Plak senilis terdiri dari protein tertentu, beta/A4 dan
astrosit, prosesus neuronal distrofik, dan mikroglia. Jumlah dan kepadatan plak senilis yang
terdapat pada otak orang yang telah meninggal (postmortem) telah dihubungkan dengan
beratnya penyakit pada orang yang terkena tersebut.2
Protein prekursor amiloid. Gen untuk protein prekursor amiloid adalah pada lengan
panjang dari kromosom 21. Melalui proses penyambungan diferensial, sesungguhnya
terdapat empat bentuk protein prekursor amiloid. Protein beta/A4, yang merupakan
kandungan utama dari plak senilis, adalah suatu peptida dengan 42 asam amino yang
merupakan produk penghancuran protein prekursor amiloid. Pada sindrom Down (trisomi
21), terdapat tiga cetakan protein prekursor amiloid, dan pada penyakit dimana terjadi
mutasi pada kodon 717 dalam gen protein prekursor amiloid, suatu proses patologis

4
menghasilkan deposisi protein beta/A4 yang berlebihan. Pertanyaan apakah proses pada
protein prekursor amiloid yang abnormal adalah penyebab utama yang penting pada
penyakit Alzheimer masih belum terjawab; tetapi, banyak kelompok peneliti secara aktif
mempelajari proses metabolik normal dari protein prekursor amiloid dan prosesnya pada
pasien dengan demensia tipe Alzheimer dalam usaha untuk menjawab pertanyaan tersebut.2
Kelainan neurotransmiter. Neurotransmiter yang paling berperan dalam patofisiologis
adalah asetilkolin dan norepinefrin, keduanya dihipotesiskan menjadi hipoaktif pada
penyakit Alzheimer. Beberapa penelitian telah melaporkan data yang konsisten dengan
hipotesis bahwa suatu degenerasi spesifik pada neuron kolinergik ditemukan pada nukleus
basalis Meynerti pada pasien dengan penyakit Alzheimer. Data lain yang mendukung
adanya defisit kolinergik pada penyakit Alzheimer adalah penurunan konsentrasi
asetilkolin dan kolin asetiltransferase di dalam otak. Kolin asetiltransferase adalah enzim
kunci untuk sintesis asetilkolin, dan penurunan konsentrasi kolin asetiltransferase
menyatakan penurunan jumlah neuron kolinergik yang ada. Dukungan tambahan untuk
hipotesis defisit kolinergik berasal dari observasi bahwa antagonis kolinergik, seperti
scopolamine dan atropine, mengganggu kemampuan kognitif, sedangkan agonis kolinergik,
seperti physostigmine dan arecholine, telah dilaporkan meningkatkan kemampuan kognitif.
Penurunan aktivitas norepinefrin pada penyakit Alzheimer diperkirakan dari penurunan
neuron yang mengandung norepinefrin di dalam lokus sereleus yang telah ditemukan pada
beberapa pemeriksaan patologis otak dari pasien dengan penyakit Alzheimer. Dua
neurotransmiter lain yang berperan dalam patofisiologi penyakit Alzheimer adalah dua
peptida neuroaktif, somatostatin dan kortikotropin, keduanya telah dilaporkan menurun
pada penyakit Alzheimer.2
Penyebab potensial lainnya. Teori kausatif lainnya telah diajukan untuk menjelaskan
perkembangan penyakit Alzheimer. Satu teori adalah bahwa kelainan dalam pengaturan
metabolisme fosfolipid membran menyebabkan membran yang kekurangan cairan – yaitu,
lebih kaku – dibandingkan normal. Beberapa peneliti telah menggunakan pencitraan
spektroskopik resonansi molekular (molecular resonance spectroscopic; MRS) untuk
memeriksa hipotesis tersebut pada pasien dengan demensia tipe Alzheimer. Toksisitas
aluminium juga telah dihipotesiskan sebagai faktor kausatif, karena kadar aluminium yang
tinggi telah ditemukan dalam otak beberapa pasien dengan penyakit Alzheimer.2

5
Suatu gen (E4) telah dihubungkan dalam etiologi penyakit Alzheimer. Orang dengan satu
salinan gen menderita penyakit Alzheimer tiga kali lebih sering daripada orang tanpa gen
E4. Orang dengan dua gen E4 mempunyai kemungkinan menderita penyakit delapan kali
lebih sering daripada orang tanpa gen E4.2

2.5 GAMBARAN KLINIK / PERJALANAN PENYAKIT


Demensia tipe Alzheimer (DTA) mencapai hampir 50% dari semua tipe demensia (5%-
10% orang berusia diatas 65 tahun, 50% diatas 85 tahun). DTA dapat dimulai pada usia
lima puluhan (awitan dini, familial, bentuk pra-senil, sekitar 2% dari seluruh kasus) atau
dapat pula dimulai pada usia 60 tahunan sampai 80 tahunan (awitan lambat, umumnya
lebih banyak) dan berkembang sampai kematian dalam waktu 6-10 tahun. Gejala DTA
yang tampak dalam kehidupan sehari-hari adalah kegelisahan yang terjadi terus menerus
dan sering mencari dalih untuk menghindari kegiatan, namun respons sosial sering kali
masih utuh sampai saat akhir.5

Perkembangan sindrom demensia dan cara mendeteksinya:5


Proses demensia dapat dimulai pada usia lima puluhan atau lebih dini. Proses
pembentukan plak amiloid pada penyakit Alzheimer terjadi sekitar 20 tahun sebelum
muncul gejala. Deteksi pada tahap praklinis adalah saat yang ideal untuk melakukan
intervensi pencegahan demensia. Namun pada tahap ini gejala belum tampak sehingga
tidak mudah untuk mendeteksinya.
Reisberg (1992) menggambarkan perkembangan demensia sebagai “grow-down”
(tumbuh surut) dengan global deterioration scale (GDS). Kecakapan intelektual individu
dengan demensia ringan sebanding dengan anak berusia 9 tahun, demensia sedang dengan
anak usia 5 tahun dan demensia berat dengan bayi usia 2 tahun.

Tanda dan gejala dini5:


 Demensia stadium dini
Dampak demensia fase dini umumnya berupa perubahan samar-samar dalam kepribadian,
hendaya dalam ketrampilan sosial, berkurangnya minat dan ambisi, afek yang labil dan
dangkal, agitasi, sejumlah keluhan somatik, gejala psikiatrik yang samar, penurunan

6
bertahap kemampuan intelektual dan ketajaman pikiran. Hal ini sering merupakan tanda
pertama dalam ruang lingkup pekerjaan yang menuntut kinerja tinggi. Pasien dapat
mengenali penurunan kemampuannya pada permulaan terapi kemudian menyangkalnya
tegas-tegas. Demensia dini sering mencetuskan kondisi depresi. Demensia dini dapat
muncul pertama-tama berupa gangguan emosi (biasanya depresi) daripada gejala
kognitifnya. Terapi gangguan emosi juga dapat menyerupai demensia dini.
 Demensia stadium lanjut
Gambaran umum yang muncul adalah :
 Penurunan memori (daya ingat)
Biasanya yang menurun adalah daya ingat segera dan daya ingat peristiwa jangka
pendek (recent memory – hipokampus) tetapi kemudian secara bertahap daya ingat
recall juga menurun (temporal medial dan regio diensephalik juga terlibat). Apakah
pasien lupa akan janjinya, berita-berita, orang yang baru saja dijumpainya, atau
tempat yang baru saja dikunjunginya? Pasien dapat berkonfabulasi (mengarang
cerita), karenanya usahakan untuk melakukan konfirmasi. Mintalah pasien untuk
melakukan (a) mengulang angka (normal dapat mengingat 6 angka dari depan atau
4 angka dari belakang) dan (b) menyebut kembali 2 kata atau 3 obyek setelah 5
menit. Apakah subyek mengetahui nama dokter? Nama perawat? Nama tempat
pemeriksaan? Nama-nama orang yang berkunjung kepadanya? Mengingat menu
makan malam? Apakah pasien mengetahui tanggal lahirnya? Kampung halamnnya?
Nama dari sekolahnya dulu?
 Perubahan mood dan kepribadian
Seringkali diwarnai oleh ciri kepribadian sebelumnya (misal menjadi lebih
kompulsif atau lebih mudah bereaksi). Mula-mula depresi , ansietas dan atau
iritabilitas – kemudian menarik diri (withdrawal) dan apatis. Adakah pasien
menjadi sentimentil, bermusuhan, tidak memikirkan orang lain, paranoid, tidak
sesuai normasosial, ketakutan? Apakah ia tidak punya inisiatif atau minat?
Memakai kata-kata vulgar atau mengolok-olok?
 Penurunan daya orientasi
Terutama orientasi waktu (nama hari, tanggal, bulan, tahun dan musim) dan juga
orientasi tempat (“tempat apakah ini”) dan jika berat orientasi orang. Apakah pasien

7
pernah tersesat – di tempat yang baru dikenalnya? Di sekitar rumahnya? Di dalam
rumahnya? Apakah pasien mengetahui mengapa ia berada disini (situasi ini). Pasien
mungkin tak dapat tidur nyenyak, berkeluyuran di malam hari, dan tersesat.
 Hendaya intelektual
Pasien menjadi kurang tajam pemikirannya dibandingkan biasanya. Apakah pasien
mempunyai masalah dalam mengerjakan sesuatu yang biasanya dapat dikerjakan
dengan mudah? Pengetahuan umum (menyebut lima nama presiden terakhir, enam
kota besar di Indonesia), kalkulasi (perkalian, mengurangi 100 dengan 7 sebanyak
lima kali), persamaan (apa persamaan bola dengan jeruk? Tikus dengan gajah?).
 Gangguan daya nilai (judgment)
Tidak mengantisipasi akibat dari perbuatannya. Apakah pasien bertindak secara
impulsif? “Apa yang harus anda lakukan jika menemukan sebuah amplop yang
berperangko?”, “Jika anda mengamati ada api dalam gedung bioskop?”.
 Gejala psikotik
Halusinasi, ilusi, delusi, preokupasi, yang tak tergoyahkan, ide-ide mirip wahan
(delusi).
 Hendaya berbahasa
Seringkali samar dan tidak begitu persis; kadang-kadang hampir mutisme. Adakah
perseverasi, blocking, atau afasia? (bila ada afasia dini, dicurigai patologi fokal).
Tanyakan tentang penyakit kronis atau gangguan psikiatrik yang pernah
dialaminya, penyakit psikiatrik dalam keluarga, penyalahgunaan obat atau alkohol,
trauma kepala, dan paparan terhadap zat racun (toksin).

2.6 KRITERIA DIAGNOSIS


Biasanya demensia berkembang perlahan-lahan dan dapat diamati dengan mudah oleh
orang disekitarnya. Suatu onset yang cepat mengarah pada gangguan saat kini (dan
mungkin dapat diobati), meskipun seringkali demensia ringan yang tak dikenali menjadi
memburuk dan menjadi lebih nyata jika disertai dengan penyakit medik.5
 Anamnesis
Wawancara terhadap keluarga harus selalu dilakukan – karena umumnya keluarga
memperhatikan perubahan-perubahan pada individu (dalam kepribadian, daya ingat,

8
dll) yang biasanya tidak disadari oleh individu itu sendiri. Berbeda dengan delirium,
pada demensia jarang dijumpai kesadaran yang berkabut (kecuali campuran kondisi
demensia dan delirium), jadi pastikan bahwa kesadaran pasien baik (alert).
 Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan terhadap sejumlah penyebab (medik) demensia – seperti gangguan
endokrin, jantung, paru-paru, hati, infeksi. Harus selalu dilakukan pemeriksaan
neurologik yang cermat dan mengidentifikasikan kemungkinan adanya fokus di
sistem saraf pusat yang dapat menyebabkan demensia. Ujilah kemampuan pasien
menghidu bau-bauan (saraf kranial I) – dapat mengidentifikasi lesi lobus frontal
yang besar. Juga selalu lakukan tes pendengaran.
Pada demensia stadium lanjut terlihat adanya ataksia, wajah menyeringai (facial
grimaces), agnosia, apraksia, impersisten motorik, dan atau perseverasi dan refleks
patologik (menggenggam, refleks ‘snout’ (mencucu), mengisap, glabella tap, kaki
kaku dll). Masa hidup individu dengan demensia biasanya berkurang karena
berbagai komplikasi medik.
 Pemeriksaan laboratorium
Pemilihan tes berdasarkan etiologi yang dicurigai. Pertimbangkan skrining dengan
ESR, CBC, STS, SMA 12, T3%T4, Vitamin B12 dan kadar Folat, UA, Rontgen
dada, dan CT Scan. Tes lainnya dilakukan sesuai dengan kebutuhan seperti kadar
obat, EEG (20% usia lanjut mempunyai EEG abnormal), LP (jarang), arteriografi,
dll. EEG bermanfaat untuk mengidentifikasi patologi yang tersembunyi di area
sistem saraf pusat (lobus frontal dan temporal) – selidiki lebih lanjut jika demensia
ringan tetapi EEGnya menunjukkan abnormalitas.
 Psikometrik (tes psikologi)
Pemeriksaan psikometrik berguna untuk (a) membantu mengidentifikasi lesi fokal,
(b) memberikan gambaran data dasar, (c) membantu diagnosis, dan (d)
mengidentifikasi kekuatan / kelebihan pasien untuk dipakai perencanaan terapi.
Tes yang bermanfaat untuk klinikus adalah WAIS, tes Bender Gestalt, tes Luria,
dan tes baterai Halstead & Reitan (sangat banyak memakan waktu; tidak
dipergunakan secara rutin). Tes skrining yang singkat namun bermanfaat adalah

9
pemeriksaan status mini mental (MMSE) dari Folstein, dilengkapi dengan tes
menggambar jam.
Bahkan pasien dengan demensia ringan sering menunjukkan gangguan dalam
kemampuan konstruksional; ini terlihat dari kemampuan menggambar bentuk
sederhana (segi lima, tanda silang, dan kubus atau gambar jam yang menunjukkan
waktu tertentu – dapat dikerjakan dalam wawancara pertama). Pengulangan
menggambar dapat dipergunakan untuk menelusuri penyakit dari waktu ke waktu.

Pedoman Diagnostik6
 Terdapatnya gejala demensia.
 Onset bertahap (insidious onset) dengan deteriorasi lambat.
Onset biasanya sulit ditentukan waktunya yang persis, tiba-tiba orang lain sudah
menyadari adanya kelainan tersebut. Dalam perjalanan penyakitnya dapat terjadi
suatu taraf yang stabil (plateau) secara nyata.
 Tidak ada bukti klinis, atau temuan dari pemeriksaan khusus, yang menyatakan
bahwa kondisi mental itu dapat disebabkan oleh penyakit otak atau sistemik lain
yang dapat menimbulkan demensia (misalnya hipotiroidisme, hiperkalsemia,
defisiensi vitamin B12, defisiensi niasin, neurosifilis, hidrosefalus bertekanan
normal, atau hematoma subdural).
 Tidak adanya serangan apoplektik mendadak, atau gejala neurologik kerusakan otak
fokal seperti hemiparesis, hilangnya daya sensorik, defek lapangan pandang mata,
dan inkoordinasi yang terjadi dalam masa dini dari gangguan itu (walaupun
fenomena ini di kemudian hari dapat bertumpang tindih).
Diagnosis akhir penyakit Alzheimer didasarkan pada pemeriksaan neuropatologi otak;
namun demikian, demensia tipe Alzheimer biasanya didiagnosis dalam lingkungan klinis
setelah penyebab demensia lainnya telah disingkirkan dari pertimbangan diagnostik.2

2.7 DIAGONOSIS BANDING6


 Gangguan depresif (F30-F39)
Depresi berat adalah gangguan penyebab paling sering dari pseudodemensia. Tidak
seperti pasien demensia, pasien dengan depresi mempunyai onset yang relatif cepat

10
(keluarga biasanya dapat mengetahui saat munculnya gejala), pasien mengeluh ada
gangguan memori berat (biasanya ringan pada saat dilakukan tes), jelas ada
perubahan afektif, menekankan ketidakmampuan dan kegagalannya, dan sering
menjawab pertanyaan sederhana dengan “saya tidak tahu” (pasien dengan demensia
seringkali mencoba untuk menjawab). Hal berikut dapat membantu
mengidentifikasi pasien yaitu ada saat-saat yang jernih selama wawancara dan tidak
ada deteriorasi perjalanan penyakit. Pasien ini biasanya membaik dengan
pemberian antidepresan atau ECT.5
 Delirium (F05)
Yang paling nyata perbedaannya adalah mengenai awitannya, yaitu delirium
awitannya tiba-tiba, sedangkan pada demensia berjalan perlahan, meskipun kedua
kondisi tersebut mengalami gangguan kognitif, tetapi pada demensia lebih stabil,
sedangkan pada delirium berfluktuatif.5
 Demensia Vaskular (F00.2)
Demensia vaskular diperkirakan mencapai 10% dari populasi. Membedakan
demensia vaskular dari DTA adalah riwayat awitannya yang cepat dan
deteriorasinya yang seperti anak tangga pada pasien berusia 50-60 tahun dan ada
defisit neurologik fokal.EEG mungkin dapat menunjukkan abnormalitas.Penyebab
demensia ini adalah episode trombo-embolik multipel (sejumlah infark serebri
patologik yang kecil-kecil) pada pasien dengan penyakit aterosklerotik pembuluh
darah besar atau katup jantung. Biasanya juga ada hipertensi.5

2.8 PSIKOTERAPI DEMENTIA ALZHEIMER

2.9 PROGNOSIS
Prognosis demensia bervariasi tergantung pada penyakit atau kondisi medik yang
mendasarinya. Bilamana penyebab demensia dapat dikoreksi atau disembuhkan maka
prognosis baik, namun untuk jenis penyakit degeneratif yang belum ada obatnya (penyakit
Alzheimer) maka prognosis kurang baik. DTA (Demensia Tipe Alzheimer) dapat
berlangsung 10-15 tahun dengan kemunduran yang perlahan tapi pasti menuju akhir hidup.

11
Beberapa jenis demensia yang mungkin dapat membaik adalah demensia yang disebabkan
oleh infeksi, defisiensi vitamin, hidrosefalus tekanan normal, gangguan vaskularisasi dan
gangguan metabolik.5

BAB III
KESIMPULAN

Penyakit Alzheimer adalah penyakit yang biasanya terjadi pada orang dengan usia lanjut.
Pada penyakit ini tidak terjadi penurunan kesdaran.Gejala-gejalanya dapat dilihat dari perubahan

12
tingkah lakunya sehari-hari yaitu penurunan kemapuan kognitif dan kemampuan berbicara.
Faktor yang menyebabkan penyakit Alzheimer masih belum diketahui dengan pasti, namun
riwayat keluarga sangat berpengaruhterhadap penyakit ini. Pengobatan yang dapat dilakukan
adalah terapi farmakologi dan terapi suportif untuk paisen dan keluarganya.

DAFTAR PUSTAKA

1. Susilo A., Gayatri A., Diatri H. et al. Kapita Selekta Kedokteran II, ed.4. Jakarta:
Media Aesculapius, 2014: 906-8.

13
2. Kaplan-Saddock. Sinopsis Psikiatri Ilmu Pengetahuan Perilaku Psikiatri Klinis Jilid 1.
Jakarta:Binarupa Aksara Publisher, 2010: 529-47.
3. http://penyakitalzheimer.com/
4. Maramis WF, Maramis AA. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa, ed.2.Jakarta: Airlangga
University Press, 2009: 229-41.
5. Kusumawardhani, Husin, Adikusumo. Buku Ajar Psikiatri, ed.2. Jakarta: Badan
Penerbit FKUI, 2014: 537-48.
6. Maslim R. Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa Rujukan Ringkas dari PPDGJ – III
dan DSM-5, ed.2. Jakarta: Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK Unika Atmajaya, 2013:
22-3.
7. Puri, Laking, Treasaden. Buku Ajar Psikiatri, ed.2. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC, 2013: 99-104.

14

You might also like