You are on page 1of 16

LAPORAN KASUS ILMU PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN

DERMATITIS KONTAK ALERGI

Disusun oleh :
Yulyani Pratiwi
00000012159

Pembimbing:
dr. Muljani Enggalhardjo, SpKK

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KULIT DAN KELAMIN


SILOAM HOSPITAL LIPPO VILLAGE-RUMAH SAKIT UMUM SILOAM
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PELITA HARAPAN
PERIODE 4 MARET – 6 APRIL 2019
TANGERANG
BAB I
LAPORAN KASUS

1.1 Identitas Pasien


Nama : Bp. I
Jenis Kelamin : Pria
Tanggal lahir : 30 Oktober 1994
Usia : 24 tahun
Pekerjaan : Karyawan
Status : Belum menikah
Alamat : Taman Ubud
Agama : Islam
No. RM : 00-84-96-xx

1.2 Anamnesis
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis pada :
a. Hari,tanggal : Jumat, 8 Maret 2019
b. Pukul : 13:00
c. Tempat : Poliklinik Kulit & Kelamin RS Siloam Karawaci

Keluhan Utama
Pasien datang dengan keluhan gatal dan perih pada hairline sejak 1 hari SMRS.

Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang dengan keluhan gatal dan perih pada hairline sejak 1 hari SMRS. Pasien
menyatakan 2 hari SMRS pasien mengecat rambut pada malam hari, keesokan paginya timbul
bintik merah disekitar kulit kepala. Bintik merah semakin buruk dari waktu ke waktu menjadi
bengkak dan merah. Gatal yang dirasakan pasien terus menerus dan membaik ketinga
mengoleskap salep ____ dan membasahi kepala dengan air dingin. Gatal memburuk ketika
pasien berkeringat. Selain itu pasien juga mengeluhkan perih pada kulit kepala. Untuk
meringankan gejalanya pasien mengkonsumsi cetirizine 3x1 dan obat salep diprosalic sejak 1
hari SMRS. Pada pagi hari sebelum ke poliklinik kulit dan kelamin RS Siloam Karawaci,
pasien mengkonsumsi 1 tablet dexamethasone. Obat cetirizine dan diprosalic yang dikonsumsi
pasien mengurangi keluhan gatal, akan tetapi bengkak yang terjadi pada sekitar batas rambut
pasien semakin memburuk. Pasien menyatakan skala nyeri yang dirasakan adalah 5. Keluhan
yang timbul pada pasien membuat pasien kesulitan beraktivitas karena rasa gatal yang
mengganggu dan keluhan dari segi kosmetik.
Pasien tidak memiliki keluhan mual dan muntah.
Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien menyatakan pernah mengalami gejala serupa pada tahun ____ karena mengecat
rambut.

Riwayat Sosial dan Kebiasaan


Pasien menyatakan mengkonsumsi rokok 1 bungkus perhari, alkohol 2 kali seminggu
dan

Riwayat Penyakit Keluarga


Keluarga tidak ada yang memiliki keluhan serupa
Riwayat Alergi dan Pengobatan
Pasien memiliki riwayat alergi terhadap cat rambut

Riwayat Pengobatan
Methylprednisolone, citirizine

1.3 Pemeriksaan Fisik


a. Status Generalis
 Keadaan Umum : Tampak sehat
 Kesadaran : Compos Mentis
 GCS : 15 ( E4M6V5)
 Berat Badan : 70 kg
 Tinggi Badan : 168 cm
 IMT : 24,8 (Normal)
b. Tanda-tanda vital
 Tekanan Darah : 110/80 mmHg
 Denyut Nadi : 80x/menit regular, isi cukup
 Suhu : 36,5oC
 Laju Nafas : 18x/menit
 SpO2 : 99%
c. Pemeriksaan Umum

Kulit dan Normal, tidak ada rash, turgor baik.


kuku

Rambut Rambut tersebar merata, berwarna hitam keabuan, beberapa


tampak putih.

Kepala dan Kulit Kulit normal, tidak ditemukan, rash, scar, massa, deformitas,
wajah sianotik, ikterik, edema.

Fungsi Pergerakan normal tanpa adanya keterbatasan.


Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik, tidak ada injeksi konjungtiva,
Mata scar, rash, ataupun mata cekung. Jarak antar mata simetris.
Pupil isokor (3 mm/3 mm).

Hidung Bentuk dan ukuran normal, tidak ditemukan deviasi, pendarahan, pus,
deformitas, tidak ada napas cuping hidung.

Telinga Bentuk dan ukuran normal, simetris, tidak ditemukan pus, tidak ada
perdarahan, perbesaran kelenjar getah bening auricular, deformitas.

Gigi dan Bibir simetris, merah. Pemeriksaan gigi tidak dilakukan. Tonsil normal
mulut (T1/T1).

Leher Tidak ditemukan rash, pembesaran tiroid, pembesaran KGB leher dan
supraklavikular.

Simetris, tidak ada bagian dada yang tertinggal, tidak ada


Inspeksi retraksi sela iga, tidak ada barrel chest, pectus excavatum,
pectus carinatum.
Paru
Palpasi Tactile focal fremitus normal, simetris di seluruh lapang paru
anterior dan posterior. Tidak ada deviasi trakea.

Perkusi Sonor di seluruh lapang paru anterior dan posterior.


Auskultasi Vesikuler +/+, ronki -/-, wheezing -/-

Inspeksi Tidak terlihat ictus cordis.

Jantung Palpasi Tidak ada thrill.


Perkusi Tidak dilakukan.
Auskultasi Katup aorta, pulmo, mitral, tricuspid S1/S2. Tidak ada S3, S4,
murmur, ataupun gallop.

Inspeksi Simetris, tidak datar, terdapat striae gravidarum. Tidak tampak


cairan, bengkak, atau kemerahan.

Abdomen Palpasi Supel, tidak teraba masa maupun pembesaran organ, nyeri
tekan (-)

Perkusi Timpani pada seluruh lapang abdomen


Auskultasi Terdengar bising usus
Ekstremitas, Ekstremitas simetris, tidak ada pucat, sianotik, ikterik, atau deformitas.
kulit, dan Kuku tidak ada clubbing finger, ataupun koilonychia. Cappilary refill time
kuku (CRT) < 2 detik.

d. Status dermatologis

Lokasi : Capitis
Efloresensi
: Vegetasi, multiple,
permukaan verukosa,
bertangkai, warna coklat
1.4 Pemeriksaan Penunjang
Tidak dilakukan pemeriksaan penunjang pada pasien ini.
1.5 Resume
1.6 Diagnosis
Diagnosis kerja : Dermatitis Kontak Alergi
Diagnosis Banding : Dermatitis Kontak Iritan
1.7 Tatalaksana
a. Medikamentosa
• Terapi dengan TCA 80% pada kutil di bagian anal
• Bedah listrik ( elektrokauterisasi) pada kutil di bagian peri anal.
• Bactoderm 10 gram ointment dioleskan 2x sehari , Mefenamic acid 500 mg
sebanyak 3x sehari 1 tablet, Cefadroxil 500 mg sebanyak 2x sehari 1 tablet,
untuk terapi setelah dilakukan elektrokauterisasi pada kutil.
b. Non-medikamentosa
• Menjaga kebersihan genitalia dan anus agar tetap kering
• Meminta pasien untuk rutin kontrol untuk mengetahui efek terapi TCA
terhadap kutil satu minggu sekali
• Menghentikan perilaku seksual ( abstinensia) selama melakukan terapi
• Setelah sembuh , jika masih ingin berhubungan seksual harus menggunakan
kondom

1.8 Prognosis
Quo ad vitam : Ad bonam
Quo ad functionam : Ad bonam
Quo ad sanationam :
BAB II
PEMBAHASAN KASUS

DEFINISI
Pada DKA sistem kekebalan tubuh bereaksi berlebihan terhadap zat-zat tertentu, terkadang
dalam jumlah yang sangat kecil yang biasanya tidak akan menyebabkan reaksi. Contoh
umum termasuk logam, bau-bauan dan karet lateks. DKA dapat menyebabkan reaksi kulit
yang parah. Berbeda dengan banyak jenis alergi lainnya, reaksi ini tidak terjadi segera, tetapi
setelah satu hingga tiga hari. DKA berkembang secara bertahap selama periode waktu yang
lama, sebagai akibat dari kontak berulang dengan zat pemicu. 2

Paparan pewarna rambut telah lama dikenal sebagai faktor risiko yang signifikan untuk
pengembangan dermatitis kontak alergi yang dapat menyebabkan eksim wajah dan batang
tubuh yang parah pada konsumen dan eksim tangan pada penata rambut. Saat ini, PPD
merupakan bahan utama yang digunakan dalam produk warna rambut permanen di pasaran
dan merupakan alergen yang paling penting. Prevalensi sensitisasi PPD tinggi pada pasien
dengan dermatitis kontak. Untuk mengurangi beban penyakit, penggunaan bahan pewarna
alami alternatif pada konsumen dan penggunaan sarung tangan neoprene pada penata rambut
dapat digunakan untuk mengurangi jumlah PPD.
Pewarna dapat dibagi menjadi pewarna yang larut dalam air dan / atau pelarut organic,
memiliki ukuran partikel kurang dari 0,01 μm, dan substrat warna yang memiliki
afinitas.Digunakan sebagai antioksidan dan perantara dalam sintesis kimia dari pestisida,
obat-obatan, bahan peledak, karet dll. Pewarna rambut, memiliki kelompok arylamine yang
luas, merupakan salah satu kosmetik rambut yang paling sering diguanakan karena memiliki
efek untuk menyembunyikan rambut beruban dan mengubah warna rambut seseorang.
Pewarnaan rambut dengan henna popular pada abad 19, tetapi secara bertahap digantikan
oleh PPD. Karena takut akan DKA akibat PPD, penggunaannya secara umum dilarang di
Jerman pada tahun 1906 dan kemudian dibeberapa Negara eropa lainnya. Oscar Wilde
menjadi salah satu kasus DKA pertama yang didokumentasikan pada pewarna rambut. Saat
ini, pewarna rambut diatur dalam instruksi kosmetik Uni Eropa sehingga PPD diperbolehkan
dalam konsentrasi hingga 6^ dan toluene-2,5-diamine hingga 10%.4

EPIDEMIOLOGI
Jumlah pasien DKA lebih sedikit dibandingkan dengan DKI, karena hanya mengenai
orang dengan keadaan kulit yang sangat peka (hipersensitif). Jumlah DKA maupun DKI
makin bertambah seiring dengan bertambahnya jumlah produk yang produk yang
mengandung bahan kimia.1
Sekitar 8% orang dewasa memiliki alergi kontak. Lebih sering terjadi pada wanita
dibandingkan pria. Alergi kontak responsible atas 10% dari occupational disease. Umumnya
affect penata rambut, beauticians, perawat, bakers, pekerja kantor, pekerja logan dan tukang
batu.2
paparan di tempat kerja, usia, jenis kelamin, penggunaan produk konsumen dan
kecenderungan genetik diidentifikasi sebagai faktor risiko yang paling penting.
Dermatitis kontak alergi di Uni Eropa, insiden dan tindakan pencegahan3
Perhatian utama adalah dermatitis kontak akibat kerja / occupational contact dermatitis
(OCD), yang menempati urutan pertama diantara penyakit akibat kerja dibanyak negara.
Tingkat insiden tahunan yang dilaporkan untuk OCD adalah 0,5-1,9%. Namun, insiden
cenderung diabaikan karena kurang dilaporkan untuk kasus penyakit kulit akibat alergi yang
ringan. Dalam sebuah penelitian di Bavaria, sekitar sepertiga dari pasien yang terdaftar
dengan OCD sangat berpengaruh terhadap profesinya. Profesi yang paling terkena dampak
(~80%) adalah pekerja logam, penata rambut, pekerja perawatan kesehatan, karyawan di
industry makanan, pembersih, pekerja konstruksi dan pelukis.

Nikel : merupakan suatu alergen kontak utama diseluruh dunia. Oleh karena itu, Uni Eropa
membatasi penggunaannya dalam produk konsumen tahun 1990. Ahirnya, di Denmark
frekuensi alergi nikel turun dari 26,9% menjadi 12,4%. Selanjutnya pada sejumlah besar
orang masih terpapar nikel, terutama dilingkungan kerja mereka dan sumber baru paparan
nikel, seperti ponsel.

Wewangian : merupakan salah satu alergi yang paling sering terdeteksi pada populasi umum
dan memiliki prevalensi berkisar 1,0%-4,2%. Sekitar sepertiga dari semua alergi terhadap
produk kosmetik disebabkan oleh alergi wewangian. Wewangian adalah campuran kompleks
yang terdiri lebih dari 2.000 zat, banyak diantaranya adalah alergen kontak. Alergen
wewangian terjadi dengan peningkatan prevalensi hydroxyisohexyl 3-cyclohexene
carboxaldehyde (HICC) yang banyak digunakan pada deodorant dan telah dikaitkan dengan
reaksi alergi yang kuat pada pengguna.

Chromium : Dermatitis kontak terhadap kromium heksavalen (CrVI) telah menjadi


permasalahan pada lingkungan kerja, dengan prevalensi 17% pada pekerja semen
pembangunan terowongan saluran yang menghubungkan benua Eropa dengan Inggris. Oleh
karena itu, UE mengatur kandungan kromium dalam semen pada tahun 2005 dan kepekaan
terhadap kromat pada pekerja konstruksi telah menurun.

P-Phenylenediamine (PPD) : Merupakan salah satu dari bahan pewarna rambut oksidatif
menjadi perhatian khusus karena tingkat keparahannya dan meluasnya penggunaan pewarna
rambut. Diperkirakan 0,2-2,5% dari populasi Eropa dan hingga 20% dari penata rambut
menderita alergi pewarna rambut. Salah satu factor risiko sensitisasi terhadap PPD pada
populasi umum adalah tato henna hitam yang secara illegal ditambahkan PPD. Yang menjadi
perhatian lebih lanjut adalah zat reaksi silang yang terkait erat dengan PPD, seperti pewarna
rambut toluene-2,5-diamine (PTD) atau antioksidan isopropylphenyl p-phenylenediamine
(IPPD).

PPD pada pasien dermatitis adalah 4,3% di Asia, 4% di Eropa dan 6,2% di Amerika Utara;
Schnuch et al, mengklasifikasikan pasien yang menunjukkan uji patch positif terhadap PPD
menjadi 3 kelompok – pertama adalah mereka yang terpapar pewarna rambut, yang meliputi
penata rambut dan konsumen (21,5%), kelompok kedua termasuk mereka yang memiliki
paparan pekerjaan pada industry kulit dan tekstil (35%), dan ketiga adalah kelompok yang
tidak ditentukan (43,5%). Pasien dalam kelompok pertama memiliki reaksi uji tempel positif
yang jauh lebih kuat dibandingkan dengan kelompok lain dan memiliki positifitas PTD yang
jauh elbih tinggi disamping PPD. Kelompok kedua memiliki tingkat kepositifan PTD yang
lebih tinggi juga menunjukkan kepekaan terhadap alergen lain seperti kalium dikromat,
campuran thiuram, dll. Banyak pasien dalam kelompok yang tidak ditentukan memberikan
riwayat penggunaan pewarna rambut dimasa lalu Bekerja sebagai penata rambut dikaitkan
dengan peningkatan risiko alergi kontak. 4

ETIOLOGI
Penyebab DKA adalah bahan kimia sederhana dengan berat molekul rendah (<1000
dalton), disebut sebagai hapten, bersifat lipofilik, sangat reaktif dan dapat menembus stratum
korneum sehingga mencapai sel epidermis bagian dalam yang hidup. Berbagai factor
berpengaruh terhadap kejadian DKA, misalnya potensi sensitisasi allergen, dosis per unit
area, luas daerah yang terkena, lama pajanan, oklusi, suhu dan kelembaban lingkungan,
vehikulum, pH, keadaan kulit pada lokasi kontak (keadaan stratum korneum, ketebalan
epidermis), status imun (sering mengalami sakit atau terpajan sinar matahari secara intens).1
Zat yang umumnya memicu DKA meliputi : Logam (nikel dan kobalt), karet lateks,
perekat (misalnya plester), tumbuhan (Chamomile dan arnica), pewangi (dalam kosmetik
seperti lipstick, parfum dan sabun), agen pembersih dan pelarut, minyak esensial, obat yang
dioleskan kekulit. Tubuh sudah membuat antibody untuk melawan alergen saat pertama kali
terpapar. Hal ini membuat kulit bereaksi lebih sensitive terhadap zat ketika bersentuhan
kembali. Gejala yang terlihat hanya muncul setelah kontak berulang setelah berulang kali
terpapar dengan zat tersebut. Sebagai contoh, penata rambut dapat berkembang menjadi
DKA terhadap zat yang terpapar dengannya setiap hari, seperti pewarna rambut atau solusi
perm (?). Beberapa orang ada yang lebih rentan terhadap alergi, sehingga dapat mengalami
gejala DKA dalam waktu yang lebih singkat.2

FAKTOR RISIKO3
Faktor risiko dermatitis kontak alergi (DKA) dapat dibagi menjadi inheren dan didapat /
acquired. Faktor risiko yang didapat adalah penyakit kulit inflamasi seperti DKI, dermatitis
stasis (insufisiensi kronik pembuluh darah vena pada bagian bawah tungkai, karena
meningkatnya tekanan pembuluh darah membuat protein keluar ke tissue  kaki menjadi
bengkak, terdapat open sores, gatal dan kemerahan) dan dermatitis atopik. Sedangkan factor
risiko yang inheren adalah genetik. Faktor risiko acquired sering didahului oleh DKI. DKI
terjadi karena kerusakan barrier kulit setelah terpapar dengan zat iritan. Penyebab paling
sering adalah pekerjaan basah, sering mencuci tangan dan emmakai sarung tangan karet
oklusif. Dermatitis atopi merupakan faktor risiko DKI karena itu memungkinkan seseorang
untuk mendapatkan DKA. Dermatitis stasis disebabkan oleh insufisiensi vena. Setelah
diidentifikasi, dermatitis stasis meningkatkan risiko DKA terhadap alergen. Faktor risiko
potential adalah dermatitis atopic yang sering mengakibatkan penurunan fungsi sawar kulit,
oleh karena itu memudahkan penetrasi toksin dan elergen.

Faktor risiko yang inheren seperti genetik, usia, jenis kelamin dan ras merupakan faktor
risiko utama yang terkait dengan kerentanan terhadap DKA. Faktor risiko genetik merupakan
dasar dari variasi genetik (polimorfisme) yang terlibat dalam perkembangan menjadi
dermatitis kontak. Mulanya dari antigen yang melewati skin barrier, respon spesifik antigen
oleh sel imun atau metabolisme antigen oleh enzim cutaneous. Contohnya adalah
metabolisme dan aktivasi antigen oleh epidermal N-acetyltransferases (NATs). Studi
menemukan hubungan antara polimorfisme genetik untuk enzim fase II dan risiko dermatitis
kontak. Pasien dengan dermatitis kontak cenderung memiliki NAT dengan aktivitas
enzimatik yang lebih tinggi dari rata-rata. Mutasi promotr untuk faktor nekrosis tumor α pada
posisi 308 dihubungkan dengan kerentanan yang lebih tinggi untuk sensitisasi kromat pada
pekerja semen.

Prevalensi jenis kelamin pada DKA di Jerman dilaporkan 8% pada pria dan 21% pada
wanita. Prevalensi lebih dari dua kali lipat lebih tinggi pada wanita karena paparan yang
berbeda seperti nikel melalui tindik. Apabila nikel tidak dimasukkan dalam penelitian, wanita
masih memiliki prevalensi DKA yang lebih tinggi. Kerentanan yang elbih tinggi disebabkan
oleh pengaruh hormone. Pada pria menunjukkan prevalensi yang lebih tinggi untuk reaksi
alergi kulit terhadap wewangian.

Masih belum terdapat studi yang menyelidiki hubungan antara DKA dan etnis yang
meyakinkan bahwa entis merupakan inherent risk factor. Beberapa laporan melibatkan kulit
yang lebih gelap memiliki fungsi penghalang yang lebih tinggi untuk beberapa zat, sehingga
menurunkan risiko DKA.

PATOGENESIS
Mekanisme terjadinya kelainan kulit pada DKA mengikuti respons imun yang diperantarai
oleh sel (cell-mediated immune respons) atau reaksi imunologik tipe IV, atau reaksi
hipersensitivitas tipe lambat. Reaksi ini terjadi melalui dua fase, yaitu fase sensitisasi dan fase
elisitasi. Hanya individu yang telah mengalami sensitisasi dapat mengalami DKA
 Fase sensitisasi
Hapten (molekul kecil yang merupakan bagian dari antigen, dapat mengaktifkan
antibody apabila bergabung dengan molekul yang besar seperti protein) yang masuk ke
dalam epidermis melewati stratum korneum akan ditangkap oleh sel Langerhans dengan
cara pinositosis, dan diproses secara kimiawi oleh enzim lisosom (menghidrolisis semua
bentuk makromolekul antara lain polisakarida, lipid, fosfolipid, asam nukleat dan protein)
atau sitosol (sel yang berupa cairan untuk transduksi sinyal seluler dan glikolisis) serta
dikonjugasikan pada molekul HLA-DR (kompleks antigen leukosit manusia / human
leukocyte antigens) untuk menjadi antigen lengkap.
Awalnya sel Langerhans dalam keadaan istirahat dan hanya berfungsi sebagai
makrofag dengan sedikit kemampuan menstimulasi sel T. Setelah keratinosit terpajan
oleh hapten yang juga mempunyai sifat iritan. Keratinosit akan melepaskan sitokin (IL-1)
yang mengaktifkan sel Langerhans dan menstimulasi sel T. aktivasi tersebut mengubah
fenotip sel Langerhans dan meningkatkan sekresi sitokin IL-1 serta ekspresi molekul
permukaan sel termasuk MHC (Major Histocompability Complex klas I dan II), ICAM-1
(intercellular Adhesion Molecule 1 / CD 54), LFA-3 (Lymphocyte function-associated
antigen 3 / CD58) dan B7, TNF α yang dapat mengaktifasi sel-T, makrofag dan
granulosit, menginduksi perubahan molekul adhesi sel dan pelepasan sitokin serta
meningkatkan MHC kelas I dan II.
TNFα menekan produksi E-cadherin yang mengikat sel Langerhans pada epidermis,
juga menginduksi aktivitas gelatinolisis sehingga memperlancar sel Langerhans melewati
membrane basalis bermigrasi ke kelenjar geah bening setempat melalui saluran limfe. Di
dalam kelenjar limfe, sel Langerhans mempresentasikan kompleks antigen HLA-DR
kepada sel-T penolong spesifik, yaitu sel T yang mengekspresikan molekul CD4 yang
dapat mengenali HLA-DR yang dipresentasikan oleh sel Langerhans, dan kompleks
reseptor sel T-CD3 yang mengenali antigen yang telah diproses. Keberadaan sel-T
spesifik ini ditentukan secara genetic.
Sel Langerhans mensekresi IL-1 yang menstimulasi sel-T untuk mensekresi IL-2 dan
mengekspresi reseptor IL-2 (IL-2R). Sitokin ini akan menstimulasi proliferasi dan
diferensiasi sel T spesifik, sehingga menjadi lebih banyak dan berubah menjadi sel-T
memori (sel T-teraktivasi) yang akan meinggalkan kelenjar getah bening dan beredar ke
seluruh tubuh. Pada saat tersebut individu telah tersensitisasi. Fase ini berlangsung selama
2-3 minggu.
Menurut konsep ‘danger’ signal, sinyal antigenic murni suatu hapten cenderung
menyebabkan toleransi, sedangkan sinyal iritan menimbbulkan sensitisasi. Dengan
demikian terjadinya sensitisasi kontak bergantung pada adanya sinyal iritan yang dapat
berasal dari allergen kontak sendiri, ambang rangsang yang rendah terhadap resons iritan,
bahan kimia inflamasi pada kulit yang meradang, atau kombinasi ketiganya. Suatu
tindakan menurunkan iritasi akan menurunkan potensi sensitisasi.
 Fase elisitasi
Hipersensitivitas tipe lambat, terjadi pajanan ulang alergen (hapten) yang sama atau
serupa (pada reaksi silang). Hapten akan tertangkap sel Langerhans dan diproses secara
kimiawi menjadi antigen, diikat oleh HLA-DR kemudian diekspresikan di permukaan sel.
Selanjutnya HLA-DR dipresentasikan kepada sel-T yang telah tersensitisasi (sel-T
memori) baik di kulit maupun kelenjar limfe sehingga terjadi proses aktivasi.
Dikulit proses aktivasi lebih kompleks dengan hadirnya sel lain. Sel Langerhans
mensekresi IL-1 yang merangsang sel-T untuk memproduksi IL-2 dan mengekspresi IL-
2R, yang menyebabkan proliferasi dan ekspansi populasi sel-T dikulit. Sel-T teraktivasi
mengeluarkan IFN-γ yang mengaktifkan keratinosit untuk mengekspresi ICAM-1 dan
HLA-DR. ICAM-1 memungkinkan keratinosit berinteraksi dengan sel-T dan leukosit lain
yang mengekspresi molekul LFA-1. Sedangkan HLA-DR memungkinkan keratinosit
untuk berinteraksi langsung dengan sel-T CD4+, dan presentasi antigen kepada sel
tersebut.
Keratinosit menghasilkan sitokin IL-1, IL-6, TNF-α, dan GMCSF, semuanya dapat
mengaktivasi sel-T. IL-1 merangsang keratinosit menghasilkan eicosanoid. Sitokin dan
eicosanoid mengaktifkan sel mas dan makrofag. Sel mas berada didekat pembuluh darah
dermis akan melepaskan histamine, factor kemotaktik, PGE2 dan PGD2, leukotriene B4
(LTB4). Eikosanoid yang berasal dari sel mas (prostaglandin) maupun dari eratinosit atau
leukosit akan menyebabkan dilatasi vascular dan meningkatkan permeabilitas sehingga
molekul terlarut seperti komplemen dan kinin mudah berdifusi kedalam dermis dan
epidermis. Faktor kemotaktik dan eicosanoid akan menarik neutrophil, monosit dan sel
darah lain dari dalam pembuluh darah masuk ke dermis. Rentetan kejadian tersebut akan
menimbullkan respons klinik DKA. Fase elisitasi umumnya berlangsung antara 24-48
jam.

GEJALA KLINIS
Pasien umumnya mengeluh gatal. Pada stadium akut dimulai dengan bercak
eriematosa berbatas tegas kemudian diikuti edema, papulovesikel, vesikel atau bula. Vesikel
atau bula dapat pecah menyebabkan erosi dan eksudasi (basah). DKA ditempat tertentu
misalnya kelopak mata, penis, skrotum, lebih didominasi oleh eritema dan edema. Pada DKA
kronis, terlihat kulit kering, berskuama, papul, likenifikasi dan fisur, berbatas tidak tegas.
Kelainan ini sulit dibedakan dengan dermatitis kontak iritan kronis. DKA dapat meluas
ketempat lain, misalnya dengan cara autosensitisasi (skalp, telapak tangan dan kaki).1
Gejala khas meliputi : ruam merah, seringkali tanpa tepi yang jelas, pembengkakan,
gatal dan kulit kering. Pada reaksi alergi yang parah, kulit mungkin sakit dan terasa kencang
dan dapat terbentuk lepuh. Lepuh yang pecah akan mengeluarkan cairan, keropeng (?) koreng
(?) inggrisnya scabs form dan kemudian mengelupas. Pada mulanya, gejala hanya muncul
pada area tubuh yang bersentukan dengan alergen. Sering kali tangan, terutama jari dan
punggung tangan. Daerah lain yang sering terkena termasuk wajah (terutama kelopak mata
dan bibir), leher, tungkai bawah dan kaki. Tingkat keparahan reaksi kulit alergi bergantung
pada zat yang bersentuhan dengan kulit dan berapa lama terpapar. Pada DKA, reaksi alergi
juga dapat terjadi dibagian tubuh lain yang tidak bersentuhan dengan alergen.2

Lokasi kejadian DKA


 Tangan
Kejadian dermatitis kontak baik iritan maupun alergik paling sering ditangan. Tidak
jarang ditemukan riwayat atopi pada pasien. Pada pekerjaan yang basah (‘wet work’),
misalnya memasak makanan, mencuci pakaian, pengatur rambut disalon, angka kejadian
dermatitis tangan tinggi. Contoh bahan yang dapat menyebabkan dermatitis tangan,
misalnya deterjen, antiseptik, getah sayuran, semen dan pestisida.
 Lengan
Alergen penyebab umumnya sama dengan pada tangan, misalnya olej jam tangan (nikel),
sarung tangan karet, debu semen dan tanaman. DKA diketiak dapat disebabkan oleh
deodorant, antiperspirant, formaldehid yang ada dipakaian.
 Wajah
Dermatitis kontak pada wajah dapat disebabkan oleh bahan kosmetik, spons (karet), obat
topikal, alergen diudara (aero-alergen), nikel (tangkai kacamata). Bila terjadi dibibir atau
sekitarnya mungkin disebabkan oleh lipstick, pasta gigi dan getah buah-buahan.
Dermatitis di kelopak mata dapat disebabkan oleh cat kuku, rambut, mascara, eye
shadow, obat tetes mata dan salep mata.
 Telinga
Anting yang terbuat dari nikel, obat topikal, tangkai kacamata, cat rambut, hearing-aids
dan gagang telepon.
 Leher
Kalung dari nikel, cat kuku (yang berasal dari ujung jari), parfum, alergen udara dan zat
pewarna pakaian.
 Badan
Tekstil, zat pewarna, kancing logam, karet (elastis, busa), plastic, deterjen, bahan
pelembut atau pewangi pakaian.
 Genitalia
Antiseptik, obat topical, nilon, kondom, pembalut wanita, parfun, kontrasepsi, deterjen.
Bila mengenai daerah anal, dapat disebabkan oleh obat antihemoroid.
 Tungkai atas dan bawah
Tekstil, dompet, kunci (nikel), kaos kaki nilon, obat topikal, semen, sepatu/sandal. Pada
kaki dapat disebabkan oleh deterjen dan bahan pembersih lantai.
 Dermatitis kontak sistemik
Terjadi pada individu yang telah tersensitisasi secara topikal oleh suatu alergen,
selanjutnya terpajan secara sistemik, oleh alergen yang sama atau serupa, kemudian
timbul reaksi yang bervariasi mulai terbatas pada tempat tersebut, bahkan dapat meluas
sampai menjadi eritroderma. Penyebab misalnya nikel, formaldehid dan balsam Peru.

Hubungan anfilaksis karena pewarna rambut juga telah dilaporkan. Gejala gejalanya mungkin
mulai dari beberapa jam hingga 1-2 hari setelah aplikasi pewarna dengan gatal, kemerahan,
papulasi dan vesikel diatas kulit kepala, dahi, batas garis rambut dan sekitar kelopak mata.
Tingkat keparahannya bisa bervariasi dari gatal ringan hingga edema pada wajah dan kelopak
mata, lepuh dan eksudasi. Lesi juga dapat meluas ke leher, dada bagian atas, dan lengan atas
dan bisa generalized. Pada kasus yang parah, pasien dapat mengalami lesi seperti prurigo
pada aspek ekstensor ekstremitas. 4

DIAGNOSIS
Didasarkan atas hasil anamnesis yang cermat dan pemeriksaan klinis yang teliti.
Pertanyaan mengenai kontaktan yang dicurigai berdasarkan pada kelainan kulit yang
ditemukan. Data yang berasal dari anamnesis juga meliputi riwayat pekerjaan, hobi, obat
topikal yang pernah digunakan, obat sistemik, kosmetika, dan berbagai bahan yang diketahui
menimbulkan alergi, penyakit kulit yang pernah dialami, riwayat atopi, baik dari yang
bersangkutan maupun keluarganya. Pemeriksaan fisik sangat penting, karena dengan melihat
lokasi dan pola kelainan kulit seringkali dapat diketahui kemungkinan penyebabnya.
Pemeriksaan dilakukan ditempat yang cukup terang, pada seluruh permukaan kulit untuk
melihat kemungkinan kelainan kulit lain karena berbagai sebab endogen.1
Sulit untuk menentukan seseorang memiliki alergi kontak hanya berdasarkan gejala.
Tetapi ruam alergi seringkali sedikit berbeda dari ruam yang disebabkan oleh hal lain.
Misalnya, gatal parah dan ruam tanpa tepi yang jelas cenderung menjadi tanda dari reaksi
alergi, dan ruam alergi sering terjadi diberbagai bagian tubuh. Dokter akan bertanya zat apa
yang sudah berkontak dengan pasien pada hari-hari sebelum gejala muncul, dan apakah
pasien telah berulang kali terpapar pada zat tertentu sebelumnya. Tes tempel dapat dilakukan
untuk mengetahui zat apa yang sebenarnya membuat timbulnya reaksi alergi.2

DIAGNOSIS BANDING
Kelainan kulit pada DKA sering tidak menunjukkan gambaran yang khas, gambaran
klinis dapat menyerupai dermatitis atopic, dermatitis numularis, dermatitis seboroik atau
psoriasis. Diagnosis banding yang terutama ialah DKI.

UJI TEMPEL
Bahan yang dipakai secara rutin, misalnya kosmetik, pelembab, bila dipakai untuk uji
tempatl, dapat langsung digunakan. Sebagai bahan pengencer dapat digunakan vaselin atau
minyak mineral. Apabila benda padat, misalnya pakaian, sepatu, atau sarung tangan yang
dicurigai menjadi penyebab alergi, maka uji temple dilakukan dengan potongan kecil bahan
tersebut.
Berbagai hal yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan uji tempel:
1. Dermatitis harus sudah tenang. Bila masih dalam keadaan akut atau berat dapat terjadi
reaksi positif palsu, dapat juga menyebabkan penyakit yang sedang dialami makin buruk.
2. Tes dilakukan sekurang-kurangnya satu minggu setelah pemakaian kortikosteroid
sistemik dan topikal dihentikan, sebab dapat menghasilkan reaksi negative palsu.
Sedangkan antihistamin sistemik tidak mempengaruhi hasil tes, kecuali diduga karena
urtikaria kontak.
3. Uji tempel dibuka setelah 48 jam (2 hari penemelan), kemudian dibaca pada hari ke-3
sampai ke-7.
4. Pasien dilarang melakukan aktivitas yang menyebabkan uji tempel menjadi longgar
karena dapat memberikan hasil negative palsu. Pada bagian yang dilakukan uji tempel
dilarang terkena air.

Pembacaan pertama dilakukan 15-30 menit setelah dilepas, agar efek tekanan menghilang
atau minimal. Hasilnya dicatat seperti berikut:
+1= reaki lemah (non-vesikular) : eritema, infiltrate, papul (+)
+2= reaksi kuat : edema atau vesikel (++)
+3= reaksi sangat kuat (ekstrim): bula atau ulkus (+++)
± = meragukan, hanya macula eritematosa (?)
IR = iritasi: seperti terbakar, pustule atau purpura (IR)
- = reaksi negative (-)
NT = tidak dites

Reaksi excited skin merupakan reaksi positif palsu, suatu fenomena regional disebabkan
oleh satu atau beberapa memberi reksi positif kuat.
Pembacaan kedua dilakukan pada 72 jam setelah aplikasi. Pembacaan kedua penting
untuk membedakan antara respons alergik atau iritan. Hasil positif lambat dapat terjadi
setelah 96 jam bahkan sampai satu minggu setelah aplikasi. Respons alergik biasanya
menjadi lebih jelas antara pembacaan kesatu dan kedua (reaksi crescendo), sedangkan
respons iritan cenderung menurun (reaksi tipe decrescendo).
Bila ditemukan respons positif terhadap suatu alergen, perlu ditentukan relevansinya
dengan keadaan klinik, riwayat penyakit, dan sumber antigen di lingkungan pasien.
Mungkin respons positif tersebut berhubungan dengan penyakit yang sekarang atau
penyakit masa lalu yang pernah dialami.
Reaksi positif palsu dapat terjadi antara lain bila konsentrasi terlalu tinggi, atau bahan
tersebut bersifat iritan bila dalam keadaan tertutup (oklusi). Reaksi negative palsu dapat
terjadi misalnya apabila konsentrasi yang digunakan terlalu rendah, vehikulum tidak
tepat, bahan ujia tempel tidak melekat dengan baik, kurang cukup waktu penghentian
pemakaian kortikosteroid topikal berpotensi kuat dalam jangka waktu lama pada daerah
yang akan dilakukan uji tempel.

PENCEGAHAN3
Secara umum ‘pencegahan primer umum’, yaitu eliminasi, penggantian atau pengurangan zat
alergenik, sejauh ini merupakan pendekatan yang paling efektif. Paparan zat berbahaya dapat
diminimalkan dengan enkapsulasi. Langkah pencegahan lainnya termasuk reorganisasi
pekerjaan, misalnya mengurangi jam kerja basah untuk meminimalkan risiko eksim tangan.

Untuk meminimalkan faktor risiko Occupational Contact Dermatitis harus menggunakan alat
pelindung diri dan pre-employment screening. Untuk penata rambut diinstruksikan untuk
menggunakan personal protective equipment. Rekomendasi untuk meminimalkan eksim
tangan yang berhubungan dengan pekerjaan adalah mencuci tangan dengan air suam-suam
kuku, penggunaan sarung tangan dengan waktu sesingkat mungkin,

PENGOBATAN
Upaya pencegahan pajanan ulang dengan alergen penyebab. Umumnya kelainan kulit
akan mereda dalam beberapa hari. Kortikosteroid dapat diberikan dalam jangka pendek untuk
mengatasi peradangan pada DKA akut yang ditandai dengan eritema, edema, vesikel atau
bula, serta eksudatif (madidans), misalnya1
Reaksi alergi pada kulit biasanya diobati dengan krim, salep atau solusio steroid. Hal
utama yang harus dilakukan adalah menghindari kontak dengan zat yang memicu reaksi
alergi. Sarung tangan dan pakaian pelindung dapat membantu agar tidak terpapar langsung
dengan alergen. Pindah pekerjaan mungkin harus dipertimbangkan jika tidak mungkin untuk
menghindari kontak dengan alergen. 2

PROGNOSIS
Prognosis umumnya baik, sejauh dapat menghindari bahan penyebabnya. Prognosis
kurang baik dan menjadi kronis bila terjadi bersamaan dengan dermatitis oleh factor endogen
(dermatitis atopic, dermatitis numularis, atau psoriasis), atau sulit menghindari alergen
penyebab, misalnya berhubungan dengan pekerjaan tertentu atau yang terdapat dilingkungan
pasien.1
BAB III
DAFTAR PUSTAKA

1. Buku merah
2. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK447113/)
3. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3276771/
4. http://www.ijdvl.com/article.asp?issn=0378-
6323;year=2012;volume=78;issue=5;spage=583;epage=590;aulast=Handa

You might also like