You are on page 1of 21

LAPORAN KASUS

ABORTUS INKOMPLIT

Disusun untuk memenuhi tugas Dokter Muda


di SMF Obstetrik dan Ginekologi RS dr.Iskak Tulung Agung

OLEH:
Wahyu Febrianto 105070100111023
Johanna Tania P 105070100111071
Andrea Nina Diandra D 105070103111017
Laylia Mulyandari 105070104111006

Pembimbing
dr. Pande Made Dwijayasa, SpOG

Pendamping
dr. Martiana Larasati (TIL)

LABORATORIUM OBSTETRI-GINEKOLOGI
RUMAH SAKIT SAIFUL ANWAR MALANG
2014
LEMBAR PENGESAHAN

LAPORAN KASUS

ABORTUS INKOMPLIT

Disusun untuk memenuhi tugas Dokter Muda


di SMF Obstetrik dan Ginekologi RSSA Malang

Oleh:

Wahyu Febrianto 105070100111023


Johanna Tania P 105070100111071
Andrea Nina Diandra D 105070103111017
Laylia Mulyandari 105070104111006

Menyetujui:
Pendamping, Pembimbing,

dr. Martiana Larasati (TIL) dr. Pande Made Dwijayasa, SpOG

2
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Abortus (keguguran) merupakan salah satu penyebab perdarahan yang terjadi
pada kehamilan trimester pertama dan kedua. Perdarahan ini dapat menyebabkan
berakhirnya kehamilan atau kehamilan terus berlanjut. Secara klinis, 10-15% kehamilan
yang terdiagnosis berakhir dengan abortus (Wiknjosastro, 2006).
Menurut definisi WHO, abortus didefinisikan sebahai hilangnya janin atau embrio
dengan berat kurang dari 500 gram setara dengan sekitar 20-22 minggu kehamilan.
Abortus yang berlangsung tanpa tindakan disebut abortus spontan, sedangkan abortus
yang terjadi dengan sengaja dilakukan disebut abortus provokatus (Dwilaksana, 2010).
Berdasarkan data WHO, presentase kemungkinan terjadinya abortus cukup
tinggi, sekitar 15-40% angka kejadian, diketahui pada ibu yang sudah dinyatakan positif
hamil dan 60-75% angka abortus terjadi sebelum usia kehamilan 12 minggu
(Lestariningsih, 2008).
Menurut WHO tahun 2006, tingkat kasus aborsi di Indonesia tercatat yang
tertinggi di Asia Tenggara, mencapai dua juta kasus dari sekitar 4,2 juta jumlah kasus
per tahun yang terjadi di negara-negara Association Of South East Asian Nation
(ASEAN)
Saat ini abortus merupakan salah satu masalah reproduksi yang banyak
dibicarakan di Indonesia bahkan di dunia. Masalah abortus perlu dibahas, mengingat
abortus merupakan salah satu penyebab terjadinya perdarahan, dan sebagai penyebab
langsung kematian ibu/maternal. Kematian maternal merupakan masalah besar
khususnya di negara berkembang. Sekitar 98-99% kematian maternal terjadi di negara
berkembang, sedangkan di negara maju hanya sekitar 1-2% (Manuaba, 2007).
Sekitar satu dari enam kehamilan berakhir dengan keguguran paling sering
antara minggu ke-6 dan ke-10 kehamilan. Dalam kurun reproduksi sehat dikenal bahwa
usia aman untuk kehamilan dan persalinan adalah usia 20-30 tahun. Penyebab abortus
dari faktor reproduksi di antaranya adalah faktor usia ibu, dimana keguguran wanita
hamil pada usia di bawah 20 tahun ternyata lebih tinggi dari usia 20-29 tahun, kemudian
meningkat kembali sesudah usia 30 sampai 35 tahun (Bantuk Hadijanto, 2008)
Kasus abortus masih menarik untuk dipelajari, terutama di negara berkembang
termasuk Indonesia, karena faktor predisposisi yang masih sulit dihindari, prevalensinya
masih tinggi serta punya andil besar dalam angka kematian maternal yang merupakan
salah satu parameter pelayanan kesehatan.
1.2 Tujuan
3
1. Mengetahui diagnosis, penatalaksanaan dan perawatan abortus pada kasus yang
diajukan.
2. Mengetahui faktor risiko, pencegahan, dan pada kasus yang diajukan.

1.3 Manfaat
Penulisan laporan kasus ini dapat meningkatkan pengetahuan dan pemahaman
dokter muda mengenai abortus dalam hal pelaksanaan anamnesa, pemeriksaan fisik
dan penunjang, penegakan diagnosis, penatalaksanaan, dan perawatan.

4
BAB 2
LAPORAN KASUS

2.1 Identitas
No Reg : 699405
Nama : Ny. D
Umur : 35 tahun
Alamat : Ds. Bulorejo Kec.Kauman, Kab.Tulung Agung
Pendidikan : SMA
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Status : Menikah 1x
Lama Menikah : 9 tahun
Kehamilan : G2P1001Ab000
Riwayat KB : tidak pernah menggunakan KB
Tanggal MRS : 15 Desember 2014

2.2 Subjektif
2.2.1 Keluhan utama
Kontrol kehamilan.
2.2.2 Anamnesis
Pasien datang ke rumah sakit untuk kontrol kandungan. Didapatkan riwayat abortus
iminens pada pasien yang didiagnosa pada bulan Oktober 2014 (2 bulan yang lalu).
2.2.3 Riwayat Pernikahan
Perkawinan 1 kali, dengan suami sekarang selama 9 tahun. Anak terakhir 8 tahun
hidup.
2.2.4 Riwayat Obstetri
G2P1001 Ab000, tidak pernah menggunakan KB
2.2.5 Riwayat Haid
Hari Pertama Haid Terakhir (HPHT) : 9 Juli 2014
Menarche : 14 tahun
Siklus : 28 hari
Lamanya haid : 4-5 hari
Jumlah haid : biasa
2.2.6 Riwayat Nyeri Perut : tidak ada
2.2.7 Riwayat Keputihan : tidak ada
2.2.8 Riwayat Keadaan Umum
Nafsu makan : biasa
5
Berat badan : tetap
Miksi : dalam batas normal
Defekasi : dalam batas normal
2.2.9 Riwayat Operasi/Penyakit : disangkal
2.2.10 Riwayat Penyakit Keluarga
Keluarga pasien tidak memiliki penyakit yang serupa.
2.2.11 Riwayat Pengobatan
Dupaston 3x1
Amoxicillin 3x1
Asam Mefenamat 3x1
Asam folat 1x1
2.2.12 Riwayat Sosial
Tinggal bersama suami dan anak.
2.3 Obyektif
2.3.1 Pemeriksaan Fisik
Status Generalis
Keadaan umum : baik
Kesadaran : compos mentis
BB : 46,5 Kg
TB : 152 cm
Tekanan darah 100/60 mmHg
Nadi : 88 x/menit, reguler
RR : 20 x/menit
Suhu aksiler : 360C
Kepala dan leher : anemis - / - , icterus - / -
Thorax : cor/ S1S2 tunggal, murmur (-)
Pulmo/ vv Rh - - Wh - -
vv -- --
vv -- --
Abdomen : fundus uteri tidak teraba, BU(+)N
Ekstremitas : akral hangat, edema =|=
Status Ginekologi
Genitalia Eksterna
Inspeksi : v/v flux (-), fluor (-)
Inspekulo : tdak dilakukan
Vaginal Touche : tidak dilakukan
2.3.2 Hasil Pemeriksaan Penunjang
6
Darah Lengkap : 13,50/ 6790/ 310.000

2.4 Assessment
Blighted ovum

2.5 Planning
Planning Diagnosis :-
Planning Terapi : pro kuretase
Persiapan kuretase : IVFD RD 5
inj. Cefotaxim 1 mg
inj. Ranitidin 25 mg
pasang DC
Planning Monitoring : vital sign, keluhan subyektif pasien.
Planning Edukasi : KIE (Komunikasi, Informasi, Edukasi) dan informed consent
pasien dan keluarga tentang kondisi ibu saat ini, prosedur
tindakan medis yang akan dilakukan beserta risiko yang akan
terjadi dan prognosis serta surat persetujuan tindakan
kuretase.

2.6 Laporan Kuretase


Setelah tindakan septik dan antiseptik di daerah vulva dan sekitarnya di
samping spekulum bawah yang dipegang oleh asisten dengan pertolongan spekulum
atas bibir depan portio dijepit dengan Kogeltang Sonde masuk sedalam 8 cm, corpus
uteri antefleksi.
Dilakukan kuretase biasa secara sistematis dan hati-hati sampai cavum uteri.
bersih dengan curet No. 3 tetapi tidak bisa masuk dan diganti dengan curet No.1.
Berhasil dikeluarkan cairan kecoklatan ± 10 cc, janringan ukuran ± 3 cm kemmudian
mengerok sisa jaringan kehamilan sebanyak kira-kira 30 gram. Perdarahan aktif
selama tindakan tidak ditemukan. Lama operasi ± 20 menit.

Diagnose pra kuretase : Blighted Ovum


Diagnose pasca kuretase : Post kuretase ai blighted ovum.

7
Keadaan pasca kuretase :
Keadaan Umum : baik/compos mentis
Tensi : 110/70
Nadi : 84x/menit
RR : 19x/menit
Terapi pasca kuretase:
Cefadroksil 3x500mg
Asam Mefenamat 3x500mg
Methergin 2x1
Roburentia 2x1

8
BAB 3
PERMASALAHAN

3.1 Diagnosa
Bagaimana penegakan diagnosa pada kasus ini?

3.2 Penatalaksanaan dan prognosis


Bagaimana penatalaksanaan dan prognosis pada kasus ini?

9
BAB 4
PEMBAHASAN

4.1 Abortus
4.1.1 Definisi
Menurut definisi WHO, abortus didefinisikan sebagai hilangnya janin atau
embrio dengan berat kurang dari 500 gram setara dengan sekitar 20-22 minggu
kehamilan, sedangkan menurut Prawirohardjo, 2008, abortus adalah berakhirnya
suatu kehamilan sebelum janin mencapai berat 500 gram atau usia kehamilan kurang
dari 20 minggu atau janin belum mampu untuk hidup di luar kandungan.
Abortus dapat dibagi atas dua golongan yaitu abortus spontan dan abortus
provokatus. Abortus spontan adalah abortus yang terjadi tanpa tindakan mekanis dan
disebabkan oleh faktor-faktor alamiah. Abortus provokatus adalah abortus yang terjadi
akibat tindakan atau disengaja, baik dengan memakai obat-obatan maupun alat-alat
(Sastrawinata et al., 2005).
Abortus spontan merujuk kepada keguguran pada kehamilan kurang dari 20
minggu tanpa adanya tindakan medis atau tindakan bedah untuk mengakhiri
kehamilan (Griebel et al., 2005). Abortus spontan adalah merupakan mekanisme
alamiah yang menyebabkan terhentinya proses kehamilan sebelum berumur 28
minggu. Penyebabnya dapat oleh karena penyakit yang diderita si ibu ataupun sebab-
sebab lain yang pada umumnya berhubungan dengan kelainan pada sistem
reproduksi (Syafruddin, 2003).
Mekanisme awal terjadinya abortus adalah lepasnya sebagian atau seluruh
bagian embrio akibat adanya perdarahan minimal pada desidua. Kegagalan fungsi
plasenta yang terjadi akibat perdarahan subdesidua tersebut menyebabkan terjadinya
kontraksi uterus dan mengawali adanya proses abortus (Sewarts, 2005)

4.1.2 Etiologi dan Faktor Presdiposisi


Etiologi penyebab abortus adalah sebagai berikut:
- Faktor dari janin (Fetal), yang terdiri dari: kelainan genetik (kromosom),
Abnormalitas kromosom adalah hal yang utama pada embrio dan janin yang
mengalami abortus spontan, serta merupakan sebagian besar dari kegagalan
kehamilan dini. Kelainan dalam jumlah kromosom lebih sering dijumpai daripada
kelainan struktur kromosom. Abnormalitas kromosom secara struktural dapat
diturunkan oleh salah satu dari kedua orang tuanya yang menjadi pembawa
abnormalitas tersebut (Cunningham, 2010).

10
- Faktor dari ibu (maternal), yang terdiri dåri: infeksi kelainan hormonal seperti
hipotiroidisme, diabetes melitus, malnutrisi, penggunaan obat-obatan, merokok,
konsumsi alkohol, faktor imunologis, trauma abdomen/pelvis pada trimester
pertama dan defek anatomis seperti uterus didelfis, inkompetensia serviks
(penipisan dan pembukaan serviks sebelum waktu inpartu, umumnya pada
trimester kedua) dan sinekhiae uteri karena sindrom Asherman. Kejadian abortus
meningkat pada wanita hamil yang berumur 30 tahun atau 35 tahun, hal ini
disebabkan meningkatnya kelainan genetik seperti mutasi dan kelainan maternal
pada usia tersebut. Menurut Llewellyn-Jones (2002) frekuensi abortus meningkat
bersamaan dengan meningkatnya angka graviditas. Apabila terdapat riwayat
abortus, maka kemungkinan terjadi abortus pada kehamilan yang selanjutnya
akan meningkat (Henderson dan Jones, 2006).
- Faktor dari ayah (paternal): kelainan sperma. Sperma yang mengalami translokasi
kromosom apabila berhasil menembus zona pellusida dari ovum akan
menghasilkan zigot yang memiliki material kromosom yang tidak normal sehingga
dapat menyebabkan keguguran (Prawirohardjo, 2008).

4.1.3 Epidemiologi
Kejadian abortus di Indonesia setiap tahun terjadi 2 juta kasus. Ini artinya
terdapat 43 kasus abortus per 100 kelahiran hidup. Menurut sensus penduduk tahun
2000, terdapat 53.783.717 perempuan usia 15-49 tahun, dan dari jumlah tersebut
terdapat 23 kasus abortus per 100 kelahiran hidup (Utomo, 2001).
Rata-rata terjadi 114 kasus abortus per jam. Sebagian besar studi menyatakan
kejadian abortus spontan antara 15-20% dari semua kehamilan. Kalau dikaji lebih
jauh, abortus sebenarnya bisa mendekati 50%. Hal ini dikarenakan tingginya angka
chemical pregnancy loss yang tidak bisa diketahui pada 2-4 minggu setelah konsepsi
(Prawirohardjo, 2008).
WHO memperkirakan di seluruh dunia, dari 46 juta kelahiran pertahun terdapat
20 juta kejadian abortus. Sekitar 13% dari jumlah total kematian ibu di seluruh dunia
diakibatkan oleh komplikasi abortus, 800 wanita diantaranya meninggal karena
komplikasi abortus dan sekurangnya 95% (19 dari setiap 20 abortus) di antaranya
terjadi di negara berkembang (Dwilaksana, 2010).

4.1.4 Klasifikasi
1. Abortus spontan

11
Abortus yang terjadi tanpa tindakan mekanis atau medis untuk
mengosongkan uterus, maka abortus tersebut dinamai abortus spontan. Kata lain
yang luas digunakan adalah keguguran (Miscarriage) (Sastrawinata et al., 2005).
2. Abortus imminens (keguguran mengancam)
Peristiwa terjadinya perdarahan dari uterus pada kehamilan sebelum 20
minggu, dimana hasil konsepsi masih dalam uterus, dan tanpa adanya dilatasi
serviks. Abortus iminens didiagnosa bila seseorang wanita hamil kurang daripada
20 minggu mengeluarkan darah sedikit pada vagina. Perdarahan dapat berlanjut
beberapa hari atau dapat berulang, dapat pula disertai sedikit nyeri perut bawah
atau nyeri punggung bawah seperti saat menstruasi. Polip serviks, ulserasi vagina,
karsinoma serviks, kehamilan ektopik, dan kelainan trofoblast harus dibedakan dari
abortus iminens karena dapat memberikan perdarahan pada vagina. Pemeriksaan
spekulum dapat membedakan polip, ulserasi vagina atau karsinoma serviks,
sedangkan kelainan lain membutuhkan pemeriksaan ultrasonografi (Sastrawinata
et al., 2005).
3. Abortus insipiens (keguguran berlangsung)
Peristiwa perdarahan uterus pada kehamilan sebelum 20 minggu dengan
adanya dilatasi serviks uteri yang meningkat, tetapi hasil konsepsi masih dalam
uterus. Dalam hal ini rasa mules menjadi lebih sering dan kuat, perdarahan
bertambah. Abortus insipiens didiagnosis apabila pada wanita hamil ditemukan
perdarahan banyak, kadang-kadang keluar gumpalan darah yang disertai nyeri
karena kontraksi rahim kuat dan ditemukan adanya dilatasi serviks sehingga jari
pemeriksa dapat masuk dan ketuban dapat teraba. Kadang-kadang perdarahan
dapat menyebabkan kematian bagi ibu dan jaringan yang tertinggal dapat
menyebabkan infeksi sehingga evakuasi harus segera dilakukan. Janin biasanya
sudah mati dan mempertahankan kehamilan pada keadaan ini merupakan
kontraindikasi (Sastrawinata et al., 2005).
4. Abortus inkomplet (keguguran tidak lengkap)
Pengeluaran sebagian hasil konsepsi pada kehamilan sebelum 20 minggu
dengan masih ada sisa tertinggal dalam uterus. Pada pemeriksaan vaginal, kanalis
servikalis terbuka dan jaringan dapat diraba dalam kavum uteri atau sudah
menonjol dari ostium uteri eksternum. Abortus inkomplet didiagnosis apabila
sebagian dari hasil konsepsi telah lahir atau teraba pada vagina, tetapi sebagian
tertinggal (biasanya jaringan plasenta). Perdarahan biasanya terus berlangsung,
banyak, dan membahayakan ibu. Sering serviks tetap terbuka karena masih ada
benda di dalam rahim yang dianggap sebagai benda asing (corpus alienum). Oleh
karena itu, uterus akan berusaha mengeluarkannya dengan mengadakan kontraksi
12
sehingga ibu merasakan nyeri, namun tidak sehebat pada abortus insipiens. Jika
hasil konsepsi lahir dengan lengkap, maka disebut abortus komplet. Pada keadaan
ini kuretase tidak perlu dilakukan (Sastrawinata et al., 2005).
5. Abortus complet (keguguran lengkap)
Perdarahan pada kehamilan muda di mana seluruh hasil konsepsi telah di
keluarkan dari kavum uteri. Seluruh buah kehamilan telah dilahirkan dengan
lengkap. Pada abortus kompletus, perdarahan segera berkurang setelah isi rahim
dikeluarkan dan selambat-lambatnya dalam 10 hari perdarahan berhenti sama
sekali karena dalam masa ini luka rahim telah sembuh dan epitelisasi telah selesai.
Serviks juga dengan segera menutup kembali. Kalau 10 hari setelah abortus masih
ada perdarahan juga, abortus inkompletus atau endometritis pasca abortus harus
dipikirkan (Sastrawinata et al., 2005).
6. Missed abortion (retensi janin mati)
Kematian janin sebelum berusia 20 minggu, tetapi janin yang mati tertahan
di dalam kavum uteri tidak dikeluarkkan selama 8 minggu atau lebih (Prawirohardjo,
2007). Pada abortus tertunda akan dijumpai amenorea, yaitu perdarahan sedikit-
sedikit yang berulang pada permulaannya, serta selama observasi fundus tidak
bertambah tinggi, malahan tambah rendah. Pada pemeriksaan dalam, serviks
tertutup dan ada darah sedikit (Sastrawinata et al., 2005).
7. Abortus Habitualis (Recurrent abortion)
Abortus spontan yang terjadi 3 kali atau lebih berturut- turut, yang
disebabkan oleh anomali kromosom parental, gangguan trombofilik pada ibu hamil,
dan kelainan struktural uterus merupakan penyebab langsung pada abortus
habitualis (Jauniaux et al., 2006). Menurut Mochtar (1998), abortus habitualis
merupakan abortus yang terjadi tiga kali berturut-turut atau lebih. Etiologi abortus ini
adalah kelainan dari ovum atau spermatozoa, dimana sekiranya terjadi
pembuahan, hasilnya adalah patologis. Selain itu, disfungsi tiroid, kesalahan korpus
luteum dan kesalahan plasenta yaitu tidak sanggupnya plasenta menghasilkan
progesteron sesudah korpus luteum atropi juga merupakan etiologi dari abortus
habitualis (Sastrawinata et al., 2005).
8. Abortus Septik (Septic abortion)
Abortus septik adalah keguguran disertai infeksi berat dengan penyebaran
kuman atau toksinnya ke dalam peredaran darah atau peritoneum. Hal ini sering
ditemukan pada abortus inkompletus atau abortus buatan, terutama yang kriminalis
tanpa memperhatikan syarat-syarat asepsis dan antisepsis. Bakteri yang dapat
menyebabkan abortus septik adalah seperti Escherichia coli, Enterobacter

13
aerogenes, Proteus vulgaris, Hemolytic streptococci dan Staphylococci (Mochtar,
1998; Dulay, 2010).

4.2. Penegakan Diagnosis


4.2.1 Anamnesis
Anamnesa merupakan suatu cara penegakan diagnosis yang dilakukan
pertama kali. Di mana anamnesa yang baik dan benar dapat mengarahkan
diagnosis. Anamnesa pada kasus obstetri dan ginekologi memiliki prinsip yang sama
dengan anamnesa pada umumnya, yaitu meliputi identitas, keluhan utama, penyakit
saat ini, riwayat penyakit sebelumnya, riwayat pengobatan, riwayat keluarga, riwayat
sosial. Pada kasus obstetri dan ginekologi, anamnesis dititikberatkan pada riwayat
perkawinan, kehamilan, siklus menstruasi, penyakit yang pernah diderita khususnya
penyakit obstetri dan ginekologi, serta pengobatan, riwayat KB, serta keluhan-
keluhan seperti perdarahan dari jalan lahir, keputihan (fluor albus), nyeri, maupun
benjolan (Prawirohardjo, 2011). Anamnesa dilakukan untuk mencari etiologi dari
abortus. Dengan anamnesa yang teliti dan menjurus maka akan dikembangkan,
pemikiran mengenai pemeriksan selanjutnya yang dapat memperkuat dugaan kita
pada suatu etiologi yang mendasari terjadinya abortus. Hal ini akan berpengaruh
juga pada rencana terapi yang akan dilakukan sesuai dengan etiologinya (Fransisca,
2007).
Pada anamnesa didapatkan pasien seorang wanita berusia 35 tahun
(tergolong usia reproduktif), 1 kali menikah selama 9 tahun, riwayat kehamilan 1 kali
Pertama kali menstruasi (menarche) pada usia 14 tahun dengan siklus haid pasien
teratur yaitu 28 hari dan lama haid 7 hari. HPHT pasien 9 Juli 2014.
Pasien datang ke Poliklinik Ginekologi RSUD dr.Iskak pada tanggal 15
Desember 2014 dengan keluhan utama kontrol kehamilan. Pasien memiliki riwayat
abortus imminens 2 bulan yang lalu.
Menurut Sastrawinata et al., pada tahun 2005, abortus memiliki manifestasi
klinik sebagai berikut:
- Terlambat haid atau amenore kurang dari 20 minggu
- Pendarahan pervaginam, mungkin disertai keluarnya jaringan hasil konsepsi.
- Rasa mulas atau kram perut didaerah atas simfisis, sering disertai nyeri
pinggang akibat kontraksi uterus.
Adanya keluhan perdarahan dari jalan lahir yang mungkin disertai keluarnya
jaringan konsepsi, rasa mulas atau kram perut didaerah atas simfisis, sering disertai
nyeri pingang adalah keluhan yang biasa ditemui pada kasus abortus. Hal tersebut

14
terjadi karena uterus berkontraksi untuk mengeluarkan jaringan sisa hasil konsepsi
yang gugur yang telah dianggap sebagai benda asing.
Menurut WHO, setiap wanita pada usia reproduktif yang mengalami dua dari
tiga gejala seperti; (i) perdarahan pervaginam, (ii) nyeri pada abdomen bawah, (iii)
riwayat amenorea, harus dipikirkan kemungkinan terjadinya abortus. Dari hasil
anamnesa pada pasien, didapatkan memenuhi ketiga gejala tersebut. Oleh karena
itu, kemungkinan terjadinya abortus harus dipikirkan.

4.2.2 Pemeriksaan Fisik


Pemeriksaan fisik perlu dilakukan untuk membantu menegakkan diagnosis.
Pemeriksaan fisik untuk penegakan diagnosis abortus menurut Prawirohardjo, 2007
adalah sebagai berikut:
 Inspeksi Vulva: Pendarahan pervaginam ada atau tidaknya jaringan hasil
konsepsi, tercium atau tidak bau busuk dari vulva.
 Inspekulo: Pendarahan dari kavum uteri, ostium uteri terbuka atau sudah tertutup
ada atau tidaknya jaringan keluar dari ostium, ada atau tidaknya cairan atau
jaringan berbau busuk dari ostium.
 Colok Vagina: Porsio terbuka atau sudah tertutup, teraba atau tidak jaringan
dalam kavum uteri, besar uterus sesuai atau lebih kecil dari usia kehamilan, tidak
nyeri saat porsio digoyang, tidak nyeri pada peraban adneksa, kavum douglasi
tidak menonjol dan tidak nyeri.
Abortus inkompletus didiagnosis apabila sebagian dari hasil konsepsi telah
lahir atau teraba pada vagina, tetapi sebagian tertinggal (biasanya jaringan plasenta).
Perdarahan biasanya terus berlangsung, banyak, dan membahayakan ibu. Sering
serviks tetap terbuka karena masih ada benda di dalam rahim yang dianggap sebagai
benda asing (corpus alienum). Oleh karena itu, uterus akan berusaha
mengeluarkannya dengan mengadakan kontraksi sehingga ibu merasakan nyeri,
namun tidak sehebat pada abortus insipiens. Jika hasil konsepsi lahir dengan lengkap,
maka disebut abortus komplet. Pada keadaan ini kuretase tidak perlu dilakukan. Pada
abortus kompletus, perdarahan segera berkurang setelah isi rahim dikeluarkan dan
selambat-lambatnya dalam 10 hari perdarahan berhenti sama sekali karena dalam
masa ini luka rahim telah sembuh dan epitelisasi telah selesai. Serviks juga dengan
segera menutup kembali. Apabila 10 hari setelah abortus masih ada perdarahan juga,
abortus inkompletus atau endometritis pasca abortus harus dipikirkan (Sastrawinata et
al., 2005).

15
Gambar 4.1 Tabel kriteria diagnosis abortus (WHO, 2013)

Pada pemeriksaan didapatkan pasien dalam keadaan baik, status generalis


dalam batas normal. Tidak ada anemia maupun ikterus. Kondisi jantung maupun paru
juga dalam batas normal. Pada pemeriksaan abdomen terlihat membesar, namun
bising usus terdengar normal dan tidak ada shifting dullness. Inspeksi pada genitalia
eksterna tidak terlihat darah keluar ataupun fluor. Tidak didapatkan pemeriksaan
inspekulo dan vaginal touche.

4.2.3 Pemeriksan Penunjang


Pemeriksaan penunjang yang dibutuhkan untuk konfirmasi anamnesa dan
pemeriksaan fisik pada kasus abortus adalah:
 Pemeriksan laboratorium darah lengkap, hematokrit, golongan darah, serta reaksi
silang analisis gas darah, kultur darah, teresistensi.
 Tes kehamilan: positif jika janin masih hidup, bahkan 2-3 minggu setelah abortus.
 Pemeriksan dopler atau USG untuk menentukan apakah janin masih hidup.
 Pemeriksan kadar fibrinogen darah pada missed abortion (Fransisca, 2007)

4.2.4 Diagnosis
Berdasarkan anamnesa, pasien didapatkan riwayat abortus imminens dan
pada pemeriksaan fisik didapatkan fluxus (-), fluor (-).
Sehingga, dapat diambil kesimpulan bahwa pasien memenuhi kriteria
diagnostik blighted ovum.

16
4.2.5 Komplikasi Abortus
Komplikasi yang berbahaya pada abortus menurut Saifuddin et.al (2004)
adalah:
a. Perdarahan
Perdarahan dapat diatasi dengan pengosongan uterus dari sisa-sisa hasil
konsepsi dan jka perlu pemberian tranfusi darah. Kematian karena perdarahan
dapat terjadi apabila pertolongan tidak diberikan pada waktunya.
b. Perforasi
Perforasi uterus pada kerokan dapat terjadi terutama pada uterus dalam
posisi hiperretrofleksi. Jika terjadi peristiwa ini, penderita perlu diamati dengan teliti.
Jika ada tanda bahaya, perlu segera dilakukan laparatomi dan tergantung dari luas
dan bentuk perforasi, penjahitan luka perforasi atau perlu histerektomi. Perforasi
uterus pada abortus yang dikerjakan oleh orang awam menimbulkan persoalan
gawat karena perlukaan uterus biasanya luas, mungkin pula terjadi perlukaan
kandung kemih atau usus. Degan adanya dugaan atau kepastian terjadinya
perforasi, laparatomi harus segera dilakukan untuk menentukan luasnya cidera,
untuk selanjutnya mengambil tindakan seperlunya guna mengatasi komplikasi.
c. Infeksi
Infeksi dalam uterus atau sekitarnya dapat terjadi pada tiap abortus, lebih
sering pada abortus buatan yang dikerjakan tanpa memperhatikan asepsis.
Umumnya pada abortus infeksius infeksi terbatas pada desidua.
d. Syok
Syok pada abortus bisa terjadi karena perdarahan (syok hemoragik) dan
karena infeksi berat (syok endoseptik)

4.2.6 Penatalaksanaan dan Perawatan Abortus


Menurut WHO tahun 2013, penatalaksaan dan perawatan pertama kali pada
kasus abortus adalah sebagai berikut:
 Lakukan penilaian secara cepat mengenai keadaan umum ibu termasuk tanda-
tanda vital (nadi, tekanan darah, pernafasan, suhu)
- Periksa tanda-tanda syok (akral dingin, pucat, takikardi, tekanan sistolik < 90
mmHg).
- Bila terdapat tanda-tanda sepsis atau dugaan abortus dengan komplikasi
berikan kombinasi antibiotika sampai ibu bebas demam untuk 48 jam:
- Ampicillin 2 g IV/IM kemudian 1 gram diberikan setiap 6 jam
- Gentamicin 5 mg/kgBB IV setiap 24 jam
- Metronidazol 500 mg IV setiap 8 jam
 Segera rujuk ibu ke rumah sakit
 Semua ibu yang mengalami abortus perlu mendapat dukungan emosional dan
konseling kontrasepsi pasca keguguran.
17
 Lakukan tatalaksana selanjutnya sesuai jenis abortus.

Pada keadaan abortus kompletus dimana seluruh hasil konsepsi dikeluarkan


(desidua dan fetus), sehingga rongga rahim kosong, terapi yang diberikan hanya
uterotonika. Untuk abortus tertunda, obat diberi dengan maksud agar terjadi his
sehingga fetus dan desidua dapat dikeluarkan, kalau tidak berhasil, dilatasi dan
kuretase dilakukan. Pengobatan pada kelainan endometrium pada abortus habitualis
lebih besar hasilnya jika dilakukan sebelum ada konsepsi daripada sesudahnya.
Merokok dan minum alkohol sebaiknya dikurangi atau dihentikan. Pada serviks
inkompeten, terapinya adalah operasi (Mochtar, 2007).
Pada abortus inkomplet, bila ada tanda-tanda syok maka diatasi dulu dengan
pemberian cairan dan transfusi darah. Kemudian, jaringan dikeluarkan secepat
mungkin dengan metode digital dan kuretase. Setelah itu, beri obat-obat uterotonika
dan antibiotika (Mochtar, 2007). Pada pasien ini, dilakukan pengeluaran jaringan
dengan cunam abortus dan curetase biasa dan berhasil dikeluarkan jaringan plasenta
sebanyak kira-kira 10 gram dengan jumlah perdarahan selama kuretase sekitar 10 cc.
Kemudian diberikan methergin tab 0,125mg 2 x 1 dan amoxicillin tab 500mg 3x1.
Kemudian dilakukan KIE bahwa abortus spontan merupakan hal yang biasa
terjadi sekitar 1 dari 7 kehamilan. Ibu bisa hamil lagi jika kondisi sudah benar-benar
pulih (Saifuddin, 2010).

4.2.7 Prognosis
Prognosis pada kasus ini adalah mengarah ke baik (dubia ad bonam) karena
dengan kuretase berhasil mengeluarkan semua sisa jaringan sehingga resiko
perdarahan menjadi sangat minimal, setelah observasi dua jam pasca kuretase tidak
didapatkan keluhan dan keadaan umum pasien stabil. Selain itu pada pasien ini tidak
didapatkan adanya penyulit atau komplikasi yang berbahaya misalnya perdarahan,
perforasi, infeksi dan syok.

18
BAB 5
PENUTUP

5.1 Kesimpulan
1. Abortus merupakan pengeluaran hasil konsepsi sebelum janin dapat hidup diluar
kandungan .
2. Faktor predisposisi terjadinya abortus yaitu faktor maternal, riwayat obstetri yang
kurang baik, riwayat infertilitas, adanya kelainan atau penyakit yang menyertai
kehamilan, berbagai macam infeksi, paparan dengan berbagai macam zat kimia,
trauma abdomen/pelvis pada trimester pertama, kelainan pertumbuhan hasil
konsepsi, kelainan pada plasenta, kelainan traktus genetalia seperti inkompetensi
serviks.
3. Patofisiologi terjadinya abortus yaitu berawal dari perdarahan desidua basalis, diikuti
nekrosis jaringan sekitar yang menyebabkan hasil konsepsi terlepas dan dianggap
benda asing dalam uterus dan uterus berkontraksi.
4. Manifestasi klinik abortus yaitu terlambat haid atau amenore kurang dari 20 minggu,
keadaan umum tampak lemah atau kesadaran menurun, tekanan darah normal atau
menurun, denyut nadi normal atau cepat dan kecil, suhu badan normal atau
meningkat, perdarahan pervaginam, rasa mulas atau kram perut di daerah atas
simfisis.
5. Pemeriksaan penunjang yang dilakukan yaitu tes kehamilan, pemeriksaan Doppler
atau USG, pemeriksaan kadar fibrinogen darah.
6. Berdasarkan keadaan janin yang sudah dikeluarkan, abortus dibagi atas abortus
imminens, abortus insipiens, abortus inkomplit, abortus komplit, missed abortion,
abortus terapeutik dan abortus septik.
7. Komplikasi yang dapat ditimbulkan dari abortus adalah perdarahan, perforasi, syok,
infeksi dan kelainan pembekuan darah.
8. Penatalaksanaan pasca abortus adalah curetase, uterotonika dan antibiotik.

5.2 Saran
1. Pentingnya KIE (Komunikasi, Informasi, dan Edukasi) tentang pentingnya
pencegahan terjadinya abortus meliputi infeksi kelainan hormonal seperti
hipotiroidisme, diabetes melitus, malnutrisi, penggunaan obat-obatan, merokok,
konsumsi alkohol, dan faktor imunologis.
2. Pentingya KIE (Komunikasi, Informasi, dan Edukasi) pada pasien yang mengalami
abortus untuk menjalani pengobatan yang tepat.

19
3. Pentingnya KIE (Komunikasi, Informasi, dan Edukasi) tentang pentingnya monitoring
berkala pada kasus abortus untuk perencanaan tatalaksana dan tindakan
selanjutnya.

20
DAFTAR PUSTAKA

Cunningham, Macdonald. 2010. William Obstetrics 23th edition. USA: The McGraw-Hill
Companies, Inc.
Dwilaksana, AP. 2010, Faktor Ibu yang Berhubungan dengan Kejadian Abortus di RSUD
Banyumas.Available from: http://id.shvoong.com/medicine-and-health/epidemiology-
public-health/2071310-faktor-ibu-yg-berhubungan-dgn#ixzzli5koRujB (diakses tanggal
25 November 2014)
Fransisca S,K. 2007. Aborsi/abortus. Probolinggo: Universitas Wijaya Kusuma
Guyton, AC, Hall, JE. 2006. Textbook of Medical Physiology, 11th Edition. Elsevier Inc.
Manuaba, IBG, 1998. Ilmu Kebidanan, Penyakit Kandungan dan KB. EGC. Jakarta
Martini, FH. 2006. Fundamental of Anatomy and Physiology. Pearson Education Inc.
Mochtar R. 2007. Abortus dan kelainan dalam kehamilan. Dalam : Sinopsis Obstetri. Edisi
kedua. Editor : Lutan D. Jakarta: EGC.
Mochtar, Rustam. 1998. Sinopsis Obstetri Edisi 2. Jakarta: EGC.
Prawirohardjo,S. 2007. Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal.
Jakarta: Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.
Saifuddin, Abdul bari. 2004. Buku Acuan Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal.
Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo
Saifuddin, Abdul Bari. 2010. Buku Panduan Praktis Pelayanan Kesehatan Maternal dan
Neonatal. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo
Sastrawinata, Sulaeman. 2008. Obstetri Patologi. Bagian Obstetri dan Ginekologi Fakultas
Kedokteran Universitas Padjajaran, Bandung
Shien, Butler, Lewis. 1999. Hole’s Human Anatomy and Physiology, 8th Edition. The
McGraw-Hill Companies, Inc.
Standring, S. 2008. Gray’s Anatomy 40th Edition. Edinburgh: Churchill Livingstone
Utomo, B. 2001. Incidence and Social Psychological Aspects of Abortion in Indonesia: A
Community-Based Survey in 10 Major Cities and 6 Districts, Year 2000. Center for
Health Research University of Indonesia. Jakarta.
WHO. 2013. Pelayanan Kesehatan di Fasilitas Kesehatan Dasar dan Rujukan Edisi 1.
Jakarta, Indonesia.
Wiknjosastro, Hanifa. 2007. Ilmu Kebidanan. Jakarta: yayasan Bina Pustaka Sarwono
Prawihardjo.

21

You might also like