Professional Documents
Culture Documents
mengatakan bahwa "pujian" (hamd) yang diucapkan lidah merupakan rasa terima kasih
(tsana') lidah atas karunia murah hati (jamil). Dan karena mereka tidak mengetahui
semua lidah kecuali lidah daging ini, maka mereka menganggap semua tindakan memuji
dan tindakan mengagungkan Allah, atau bahkan semua kata-kata Zat Suci, sebagai
ungkapan metaforis atau kiasan. Itulah sebabnya mereka melihat atau menafsirkan kata-
kata Allah sebagai penciptaan kata-kata, sedangkan terhadap pujian dan pengagungan
pembawaan (takwini) dan sifat yang melekat pada dirinya (dzati). Mereka mengira bahwa
berbicara itu hanya untuk spesies mereka sendiri. Mereka menganggap bahwa Zat Suci
Allah Ta`ala dan eksistensi-eksistensi lain tak bisa bicara, atau bahkan mereka—na`udzu
billah—bisu. Mereka memahami ini sebagai mengungkapkan kesucian Zat Suci, padahal
ini merupakan keterbatasan (tahdid), atau bahkan gangguan (ta`thil), sedangkan Allah
bersih dari kesucian seperti itu, karena kebanyakan pengagungan yang dipanjatkan orang
bagaimana kata-kata diciptakan untuk makna umum dan makna mutlak. Kini kami
terminologi bahasa maka fakta-fakta ilahiah tak terelakkan akan seperti yang diharapkan,
karena akurasi, kesempurnaan atau kebenaran aplikasi (ithlaq) dan realitas intelektual
merupakan standar, prinsip, norma atau kondisi dalam diskusi sebelumnya, sekalipun
Dan pujian (hamd), dalam setiap kejadiannya, adalah untuk kebaikan hati (jamil),
sedangkan pengagungan (madh) adalah untuk keindahan dan kesempurnaan. Karena itu,
ketika Allah Ta`ala, sesuai pengetahuan-Nya tentang diri-Nya sendiri (`ilm-i dzati),
melihat dalam Identitas (huwiyat) gaib Keindahan Indah-Nya, dalam level mengetahui
dan melihat amat sangat dan paling sempurna, Dia sangat senang (mubtahij) melihat Zat
Indah-Nya, dan rasa senang ini pada levelnya yang amat sangat dan paling puncak
(ibtihaj). Karena itu Dia menampakkan dalam manifestasi abadi dan pada level paling
tinggi manifestasi dalam Zat (hadhrat-i dzat) untuk Zat. Manifestasi dan penyingkapan
misteri gaib dan "argumen Diri" (muqari`a-i dzatiyah) ini adalah sebuah "Suara Diri
(kalam-i dzati) yang terjadi dengan lidah Zat dalam Kegaiban (hadhrat-1 ghaib).
Menyaksikan manifestasi verbal ini berarti mendengar Zat. Pujian Zat untuk Zat Allah ini
adalah pujian Allah yang tak mungkin mampu dimengerti makhluk sedemikian sehingga
person suci Penutup Para Nabi, insan paling mulia dan paling dekat dengan Allah,
mengaku tidak mampu dan mengatakan: "Aku tak mampu menyebutkan satu demi satu
Diakui bahwa menyebutkan satu demi satu pujian merupakan cabang dari mengetahui
sempurna Keindahan sempurna dan mutlak, maka pujian sejati tak mungkin bisa
dilakukan. Pengetahuan paling tinggi (ma`rifat) ahli makrifat mengaku tidak mampu.
Ahli makrifat mengatakan bahwa Allah Ta`ala memuji dan mengagungkan diri-
Nya sendiri dengan lima lidah: lidah Zat itu sendiri, lidah Ketunggalan Gaib (ahadiyat-i
(asma'-i tafshiliyah) dan lidah entitas-entitas (a`yan). Ini semua bukanlah lidah kondisi
nyata, yang pertama dari antaranya adalah lidah Kehendak (masyiyat), sampai akhir
posisi individuasi (tindakan atau proses membuat seseorang atau sesuatu terpisah dan
Ketahuilah bahwa semua eksistensi memiliki satu porsi, atau bahkan porsi-porsi,
di dunia gaib, yang adalah kehidupan di Rumah Eksistensi. Topik ini terlihat kebenaran
atau realitasnya oleh ahli filsafat tinggi lewat hujah-hujah, dan terlihat oleh ahli hati dan
ahli makrifat lewat penyaksian. Ayat-ayat ilahiah mulia dan hadis-hadis para penjaga
wahyu mengungkapkannya dengan sangat eksplisit, jelas dan tegas. Ahli filsafat umum
dan ahli literalisme yang tertabiri, yang tak dapat memahami bahasa eksistensi-eksistensi
ini, menggunakan interpretasi, rasionalisasi atau apologi. Sangat aneh sekali kalau ahli
mempercayai ahli filsafat yang dianggap menafsirkan Kitab Allah menurut pemahaman
sendiri, justru dalam hal ini melakukan interpretasi atas sedemikian banyak ayat
muhkamat (sangat jelas makna atau maksudnya sehingga tak mungkin disalahpahami—
penerj.) dan hadis-hadis sahih, hanya karena mereka tidak dapat memahami kata-kata
eksistensi, bahkan tanpa hujah yang bisa mereka akses. Karena itu mereka menafsirkan
Al-Quran tanpa hujah dan hanya karena ragu-ragu (istib`ad). Bagaimanapun juga, Rumah
Eksistensi adalah sumber kehidupan dan realitas pemahaman dan kesadaran. Pemuliaan
dan pengagungan yang dilakukan makhluk, sifatnya kata-kata, dilakukan dengan sadar
dan karena keinginan, bukan produk dari gen (plasma pembawa sifat—penerj.), bukan
bawaan dari lahir, seperti diklaim oleh orang-orang yang tertabiri. Semua eksistensi
mengenal posisi (maqam) Allah SWT sesuai porsi eksistensi mereka. Nah, karena tak ada
eksistensi (makhluk) yang lebih sibuk dengan kondisi natural dan orisinal dan lebih
manusia lebih tertabiri dibanding makhluk lain, kecuali kalau manusia melepaskan
pakaian manusiawinya, dan menerobos tabir keserbaragaman dan tabir kondisi lain,
sehingga dia bisa melihat Keindahan dari Yang Indah, yang dalam situasi ini pujian dan
pemuliaan yang dipanjatkan akan lebih lengkap dibanding segala pujian dan pemuliaan,
dan dia akan menyembah, memuja dan beribadah kepada Allah dengan segenap urusan
Kesimpulan
Ketahuilah bahwa kalimat mulia, "al-hamdu lillah" ("Segala puji bagi Allah"),
seperti yang sudah dipaparkan, adalah kalimat yang meliputi segalanya. Dan jika dengan
segenap kelezatan, realitas dan kebenarannya dia memuji Allah, maka dia akan
melakukan apa yang maksimal yang bisa dilakukan oleh seorang manusia. Karena itu
keluar dari rumah dan mendapati ternyata hewan tunggangannya sudah tak ada di tempat.
Imam berkata: "Seandainya aku temukan hewan tunggangan itu, aku akan memuji Allah
dengan pujian yang sepatutnya." Saat hewan tunggangannya ditemukan, Imam naik ke
atas hewan itu, merapikan pakaiannya, dan kemudian berkata: "Alhamdu lillah" ("Segala
puji bagi Allah").423 Rasulullah saw dikutip bersabda: "La ilaha illallah (`Tak ada tuhan
kecuali Allah') adalah separo timbangan, sedangkan alhamdu lillah (`Segala puji bagi
Allah') adalah separo lainnya."424 Ini karena apa yang sudah kami paparkan bahwa
alhamdu lillah (segala puji bagi Allah) meliputi monoteisme (kepercayaan bahwa hanya
Rasulullah saw juga dikutip bersabda: "Ucapan hamba: `Alhamdu lillah (segala
puji bagi Allah) lebih berat dalam timbangan-Nya dibanding tujuh langit dan tujuh
bumi."425 Rasul juga dikutip mengatakan: "Jika Allah memberikan kepada salah seorang
hamba-Nya dunia beserta segenap isinya, dan kemudian hamba itu mengucapkan:
`Alhamdu lillah' (`segala puji bagi Allah'), maka ucapan itu akan lebih baik dibanding apa
yang telah diterimanya."426 Rasul juga dikutip mengatakan: "Tak ada yang lebih disukai
oleh Allah daripada ucapan: `Alhamdu lillah' (`segala puji bagi Allah'), karena Allah
***
Allah Ta`ala berfirman: "Rabbil `Alamin" (Tuhan alam semesta). Jika "rabb"
berarti: "Yang Mahatinggi" (muta`ali), "Yang Konstan" (tsabit) dan "Tuan" (sayyid),
maka kata itu adalah Nama Zat. Jika artinya: "Pemilik" (malik), "Pengendali" (shahib),
"Penakluk" (ghalib) dan "Yang Sempurna, Tak Terbatas atau Universal Kuasa dan
Otoritas-Nya" (qahir), maka kata itu adalah Nama atributif. Jika artinya: "Pendidik"
"Al-`alamin" ("semesta alam"), jika artinya: "Segala sesuatu selain Allah", yang
meliputi semua fase eksistensi dan level-level (manazil) alam gaib dan alam lahir, maka
"rabb" berarti Nama Sifat. Jika "alam" adalah "alam lahir" (`alam-i mulk), yang
(tarbiyat) ilahiah. Dalam situasi seperti ini, kata "rabb" mengandung arti pendidik, yang
Ketahuilah bahwa dalam buku ini kami tidak menjelaskan aspek bahasa, aspek
sastra dan aspek struktur ayat, karena aspek-aspek ini sudah banyak dibahas oleh penulis
lain. Poin-poin tertentu yang belum dikaji sama sekali, atau yang pengkajiannya belum
Penting untuk dicatat bahwa Nama-nama Zat, Nama-nama Sifat dan Nama-nama
Tindakan, yang sudah diungkapkan, adalah seperti yang diungkapkan oleh ahli-ahli
makrifat. Seorang terpelajar dari kalangan ahli makrifat, dalam Insya' ad-Dawa'ir,
`Azhim (Mahahebat), azh-Zhahir (Yang Lahir), al-Bathin (Yang Batin), al-Awwal (Yang
Awal), al-Akhir (Yang Akhir), al-Kabir (Yang Besar), al-Jalil (Yang Penuh Keagungan),
al-Majid (Yang Mulia), al-Haqq (Yang Benar), al-Mubin (Yang Nyata), al-Wajid
Memperhatikan).
ar-Ra'uf (Yang Sangat Merasa Kasihan), al-Halim (Yang Penyayang), ash-Shabur (Yang
Sabar), al-Barr (Yang Budiman), al-`Alim (Yang Mahatahu), al-Khabir (Yang Tahu), al-
Muhshi (Yang Menghitung), al-Hakim (Yang Arif), asy-Syahid (Yang Menyaksikan), as-
(Yang Memberikan Sarana Pendukung bagi Makhluk), al-Fattah (Yang Membuka), al-
Adil), al-Lathif (Yang Halus, Yang Tajam), al-Mu`id (Yang Memperbaiki), al-Muhyi
(Yang Menjadi Belas Kasihan, Yang Menerima Tobat), al-Muntaqim (Yang Menuntut
Bela), al-Muqsith (Yang Pantas, Yang Adil), al-Jami` (Yang Meliputi, Yang Luas), al-
nama yang dikelompokkan itu adalah semua Nama Zat, namun kalau memperhatikan
manifestasi Zat, maka Nama-nama itu disebut Nama-nama Zat. Dan kalau
memperhatikan manifestasi Sifat atau Tindakan, maka Nama-nama itu disebut Nama-
nama Sifat atau Nama-nama Tindakan. Artinya, Nama yang lebih terlihat jelas dan lebih
dimengerti, maka Nama-nama yang lain diidentifikasi dengan Nama itu. Karena itu,
kadang dalam sebuah Nama muncul dua atau tiga aspek sekaligus, yang dalam situasi
seperti ini dipandang sebagai sebuah Nama Zat, Sifat dan Tindakan, atau Nama dua dari
ketiganya ini, seperti "ar-Rabb", seperti sudah diungkapkan. Namun topik ini tidak sesuai
dengan tujuan penulis, juga tidak selaras dengan tujuan makrifat. Yang kelihatan dalam
penggolongan ini adalah bahwa patokan untuk Nama-nama ini adalah bahwa bila sang
salik dengan tahap-tahap makrifat mencapai fase peniadaan sempurna dalam Tindakan,
maka Allah SWT nampak oleh hatinya melalui manifestasi Nama-nama Tindakan.
Setelah peniadaan dalam Sifat-sifat, maka berbagai manifestasi akan terjadi dalam Nama-
nama Sifat, dan setelah peniadaan dalam Zat, maka berbagai manifestasi akan terjadi
dalam Nama-nama Zat. Kalau setelah memperoleh keterangan dan ketenangan hati,
hatinya mampu menjaga kelangsungan kondisi seperti ini, maka apa pun yang
nama Tindakan. Begitu pula, apa pun yang dia tuturkan tentang penyaksian dirinya akan
Sifat-sifat akan menjadi Nama-nama Sifat, dan demikian juga Nama-nama Zat. Dalam
kaitan ini ada detail-detail yang tidak sesuai untuk buku ini. Apa yang diungkapkan
dalam Insya' ad-Dawa'ir tidak benar, menurut patokan, standar atau ukurannya sendiri,
diungkapkan dalam Al-Quran Mulia, dalam ayat-ayat terakhir Surah al-Hasyr. Allah
Ta`ala berfirman: Dia adalah Allah, tak ada tuhan selain Dia, Yang Tahu yang gaib dan
yang lahir. Dia Maha Pengasih lagi Maha Penyayang,429 sampai akhir ayat-ayat mulia
ini.
Tindakan. Nama-nama Zat yang ditempatkan di depan Nama-nama Sifat, dan Nama-
nama Sifat di depan Nama-nama Tindakan, menurut tuntutan fakta-fakta eksistensi dan
untuk dimengerti bahwa ayat-ayat mulia ini mengandung misteri-misteri lain, namun
sekali bahwa ayat kedua adalah Nama-nama Sifat, dan ayat ketiga adalah Nama-nama
Tindakan. Bahwa "Yang Mengetahui yang gaib dan yang lahir", "Yang Maha Pengasih"
dan "Maha Penyayang" adalah Nama-nama Zat, itu didasarkan pada fakta bahwa "yang
gaib" dan "yang lahir" adalah Nama-nama batin dan lahir, sedangkan "Melakukan
merupakan manifestasi "Emanasi Paling Suci" (fadh-i aqdas), bukan "Emanasi Suci"
(fadh-i muqaddas). Membatasi Nama-nama ini pada tindakan mengingat Allah,
sedangkan "Yang Hidup" (hayy), "Yang Konstan" (tsabit) dan "Tuhan" (rabb) nampak
lebih dekat dengan Nama-nama Zat, barangkali dikarenakan oleh keluasan dan
kedalamannya, karena mereka adalah induk Nama-nama. Dan Allah-lah yang lebih tahu.
Ulasan
Ada kontroversi sengit tentang kata, derivasi dan arti "al-`alamin" (alam semesta).
Ada yang mengatakan bahwa "al-`alamin" adalah jamak, yang meliputi semua jenis
ciptaan, baik ciptaan material maupun ciptaan abstrak, dan tiap-tiap jenis merupakan
sebuah dunia tersendiri. Ia adalah jamak yang tak memiliki bentuk tunggal akarnya. Ini
Ada yang mengatakan bahwa "`alam" adalah partisipel pasif, sedangkan "`alim"
adalah partisipel aktif. Karena itu "`alamin" mengandung arti "ma`lumin" (yang
diketahui). Tetapi pendapat ini, di samping tidak didukung bukti yang kuat dan tidak
mungkin terjadi, juga sangat menggelikan, dan tidaklah relevan untuk mengucapkan
indikasi) yang mencakup semua eksistensi, karena segala sesuatu adalah indikasi dan ayat
Zat Suci. Huruf "w" (waw) dan "n" (nun) mengungkapkan eksistensi rasional, yang lebih
untuk segala sesuatu selain Allah, dan juga digunakan untuk setiap individu atau kategori.
Jika orang yang menggunakannya untuk setiap individu dan kategori itu adalah ahli
tradisi dan bahasa, maka dia memandang segala sesuatu sebagai indikasi, tanda atau ayat
Sang Pencipta: "Dalam segala sesuatu Dia memiliki indikasi..."430 Jika dia adalah ahli
makrifat, maka dia melihat setiap eksistensi sebagai manifestasi dari Nama yang meliputi
(ahadiyat-i jam`) dan Misteri Eksistensi. Menurut pandangan ini, alam semesta dan setiap
bagiannya dapat dipandang sebagai Nama Teragung dalam kondisi Ketunggalan Kolektif.
"Nama-nama adalah segala sesuatu yang didengar, dilihat dan ditelaah, dan demikian
itulah indikasi".
belum merasakan minuman (disiplin = masyrab) ini. Namun bagi situasi ahli makrifat,
tidak relevan. Tetapi karena argumen al-Baidhawi dan argumen filosof ini, mengenai
topik ini, terlalu panjang, maka kami tidak memaparkannya. Pembaca yang berminat
dapat merujuk kepada tafsir Surah al-Fatihah tulisan almarhum filosof tersebut.
Jika "ar-rabb" adalah Nama Sifat, yang mengandung arti "Tuan" atau "Pemilik"
dan seterusnya, maka makna "al-`alamin" bisa berupa "segala sesuatu selain Allah",
apakah yang dimiliki itu adalah eksistensi-eksistensi yang ada di kerajaan dunia atau
arti "al-`alamin" cuma kerajaan alam lahir, karena, dalam kejadian seperti ini, "ar-rabb"
sedangkan alam abstrak bebas dari kondisi gradual, meskipun bagi penulis, ruh
"graduasi" di alam "dahr" (keabadian, durasi tiada henti), dari sudut pandang tertentu,
adalah pasti; dan kami juga telah memperlihatkan kemungkinan temporal (huduts-i
zamani), yang artinya ruh zaman dan keabadian graduasi (dahriyat-i tadrij) di alam
untuk semua alam, namun tidak seperti yang diungkapkan oleh ahli teologi dan ahli
hadis.
Ulasan Lain
Ketahuilah bahwa "pujian" (hamd) adalah untuk "karunia murah hati" (jamil).
Dari ayat mulia ini dapat disimpulkan bahwa pujian terbuktikan untuk kondisi Nama
Teragung sebagai Nama yang meliputi segalanya (ism-i jami`), yang memiliki kondisi
menjadi Tuan (Pemilik) alam semesta, "Yang Pengasih", "Yang Penyayang" dan
"Pengendali Hari Pengadilan". Maka dari itu, Nama-nama mulia ini, seperti "ar-Rabb",
"Rahman", "Rahim" dan "Malik" tentu memiliki peran efektif dalam pujian. Nanti kami
akan menjelaskan secara terperinci firman Allah: "Maliki yaumiddin" (Pengendali Hari
Pengadilan).
Aspek pertama adalah bahwa karena pemuji adalah bagian dari "alam semesta",
atau dia bahkan bisa "sebuah alam" itu sendiri, dan dari sudut pandang ahli makrifat, tiap-
tiap eksistensi adalah sebuah alam itu sendiri, maka dia memuji Allah, karena Allah,
keamanan dan alam cemerlang manusia. Allah juga telah membawanya melewati level
ragawi, elemental, mineral, nabati dan hewani, di bawah sebuah sistem yang dibentuk
menurut langkah-langkah sendiri dan substansial, dan kecenderungan personalitas dan
natural, menuju level manusia, yang merupakan level paling mulia makhluk. Selanjutnya
Dia mendidiknya hingga menjadi apa yang tak pernah bisa dibayangkan dalam imajinasi
Anda.
Aspek kedua adalah bahwa mendidik (tarbiyat) sistem kerajaan dunia, seperti
area-area samawi, elemen, substansi dan aksidental, terjadi sebelum eksistensi manusia
sempurna. Manusia sempurna ini sesungguhnya adalah produk jus (`usharah) dunia
realisasi dan tujuan puncak eksistensi-eksistensi di dunia, dan dia sendiri adalah produk
terakhirnya. Dan karena aksi alam kasat mata mengikuti langkah sendiri yang substansial,
dan ini adalah langkah untuk melakukan penyempurnaan sendiri, ke mana pun tujuannya,
itu akan menjadi tujuan ciptaan dan tujuan perjalanan. Jika kita perhatikan dengan
pendekatan umum raga universal (jism-i kull), alam universal, nabati universal, hewan
universal dan manusia universal (insan-i kull), maka kita melihat bahwa manusia adalah
produk terakhir yang diciptakan setelah langkah-langkah sendiri substansial dunia, dan
langkah-langkah ini berakhir dalam dirinya. Karena itu, tangan mendidik Allah Ta`ala
mendidik manusia di seantero dunia realisasi, dan manusia adalah yang pertama dan yang
terakhir.
konsisten dengan fase-fase eksistensi. Karena kalau tidak, maka jika ditelaah dalam
kaitannya dengan Tindakan sempurna dan final, Tindakan Allah Ta`ala bisa tak ada
sasaran atau tujuannya kecuali Zat Suci-Nya sendiri, sebagaimana terlihat dalam
kejadian-kejadian relevannya. Kalau kita memperhatikan Tindakan-tindakan minor, maka
kita akan mengerti bahwa tujuan penciptaan manusia adalah alam gaib mutlak, seperti
diungkapkan dalam hadis qudsi: "Wahai putra Adam! Aku ciptakan segala sesuatu
untukmu, dan Aku ciptakan kamu untuk diri-Ku sendiri."432 Dalam Al-Quran Suci, Allah
berfirman kepada Musa bin Imran as: "Aku telah ciptakan kamu untuk diri-Ku sendiri."433
Allah juga mengatakan: "Dan Aku memilihmu."434 Karena itu, manusia diciptakan untuk
Allah, dan dibuat untuk Zat Suci-Nya. Dari kalangan makhluk, manusia adalah makhluk
pilihan. Tujuan perjalanannya adalah untuk mencapai pintu Allah, peniadaan dalam Zat
Allah, dan untuk senantiasa berada di Istana Allah. Kembali (ma'ad)-nya manusia adalah
kepada Allah, dari Allah, dalam Allah dan melalui Allah. Dalam Al-Quran, Dia
kembali kepada Allah melalui manusia, atau bahkan kembalinya mereka adalah kepada
manusia, seperti diungkapkan dalam doa Jami`ah. Dalam doa ini dijelaskan tentang
beberapa aspek dari kondisi-kondisi posisi wali atau pelindung. Dikatakan: "Kembalinya
dikatakan: "Denganmu Allah membuka, dan denganmu Dia menutup."436 Dan juga dalam
ayat suci dikatakan: Sesungguhnya kepada Kami kembalinya mereka, dan sesungguhnya
oleh Kami perhitungan mereka.437 Dalam doa di atas, yang mengatakan "Kembalinya
merupakan salah satu rahasia tauhid, yang mengungkapkan fakta bahwa kembali kepada
peniadaannya sempurna dan mutlak, dan eksis melalui keabadian Allah, tidak memiliki
individualitas, ke-aku-an dan egoismenya sendiri, bahkan dia adalah bagian dari Nama-
nama Indah dan Nama Teragung, yang kerap diungkapkan oleh Al-Quran dan hadis.
cerdas dan arif, fakta-fakta, misteri-misteri dan sensitivitas tentang tauhid yang
menimbulkan teka-teki bagi benak ahli makrifat, dan inilah kualitas luar biasa Kitab
samawi cemerlang yang tak mungkin ditiru atau disamai, di samping ilmu nahunya yang
keindahan, dan kehalusan bentuknya, kecerdasannya yang luar biasa, gaya bahasanya
ajarannya, untuk mengendalikan dan mengatur keluarga dan seterusnya, yang masing-
masingnya luar biasa dan di luar kemampuan manusia. Bahkan dapat dikatakan bahwa
kondisi Al-Quran Suci yang diakui dan termasyhur di seantero dunia sebagai kitab yang
mampu berkomunikasi dengan efektif—dan kondisi ini merupakan salah satu bukti
bahwa Al-Quran mustahil untuk disamai atau ditiru—terjadi karena orang-orang Arab
pada zaman dahulu terkenal memiliki kemampuan untuk berbicara dengan bahasa yang
efektif, dan karena itu mereka hanya dapat memahami aspek Al-Quran yang berupa tak
mungkin disamai atau ditiru itu. Orang-orang Arab pada zaman itu tak bisa memahami
dimensi-dimensi penting lain Al-Quran yang membutuhkan level lebih tinggi untuk
memahami. Dewasa ini juga, mereka yang level pemikirannya sama, tak bisa memahami
berkomunikasinya yang indah, dan bahasanya yang efektif. Adapun mereka yang
mengenal misteri-misteri ilmu serta rahmat tauhid dan ide tahu bahwa apa yang menarik
perhatian mereka, dan apa yang menjadi target harapan mereka, dalam Kitab Suci dan
wahyu samawi ini hanyalah ilmu (ma`arif)-nya, dan mereka tidak begitu tertarik kepada
aspek-aspek lainnya. Siapa pun yang mau melihat sekilas pengetahuan mistis esoteris Al-
Quran dan juga ahli-ahli makrifat yang mendapatkan makrifat dari Al-Quran, dan
kemudian membandingkan antara mereka dan ahli-ahli dari agama lain, berkenaan
dengan karya dan ilmu mereka, maka dia akan mengetahui betul standar lebih tinggi ilmu
Islam dan Al-Quran, yang merupakan fondasi agama dan iman, dan target final
pengutusan para rasul dan penurunan Kitab-kitab. Percaya bahwa Kitab ini adalah wahyu
Allah dan bahwa ilmunya dari Allah, tidak membuat dia kesulitan.
Ketahuilah bahwa Kedaulatan (rububiyat) Allah Ta`ala atas alam semesta ada dua
macam:
Yang pertama adalah "Kedaulatan Umum", yang meliputi semua makhluk dunia,
perkembangan yang terjadi sebagai efek samping, berlangsung di bawah kendali Tuhan.
Pendek kata, dari fase materi pimer sampai fase karakteristik binatang dan upaya
mendapatkan kekuatan ragawi dan spiritual karakteristik binatang, dan evolusi genetik,
Mahaagung Dia."
Yang kedua adalah "Kedaulatan Legislatif", yang khusus dimiliki oleh manusia,
manusia, dan memperingatkan tentang apa yang merintanginya, seperti dijelaskan oleh
para nabi as. Jika seseorang berkemauan untuk dididik dan diatur oleh Tuhan alam
semesta sedemikian rupa maka tindakan organ-organ dan segenap kekuatan lahir
batinnya terjadi bukan karena keinginan atau dorongan egonya, melainkan karena
dorongan dari Tuhan, dan dalam situasi seperti itu dia akan mencapai kesempurnaan
Untuk keluar dari fase ini, dia perlu memilih, berdasarkan kemauannya sendiri, satu di
antara dua jalan yang ada di depannya: Yang pertama adalah jalan menuju fase (rumah)
kebahagiaan, yang adalah Jalan Lurus Tuhan alam semesta: "Tuhanku berada di Jalan
Lurus."438 Yang kedua adalah jalan kehinaan, yang adalah jalan sesat setan terkutuk.
Karena itu, jika dia mau segenap kekuatan dan organ kerajaannya diatur oleh Tuhan alam
semesta dan dididik oleh-Nya, maka hatinya, yang merupakan sultan kerajaan ini,
perlahan namun pasti akan tunduk kepada-Nya. Bila hati sudah pasrah kepada Tuhan
alam semesta, maka serdadu lain akan mengikutinya, dan seluruh kerajaan pun akan
berada di bawah didikan-Nya. Kemudian lidah gaibnya, yang adalah bayang-bayang hati,
akan mampu mengatakan: "Tuhanku adalah Allah. Mahamulia lagi Mahaagung Dia",
Tuhanmu?" Dan karena manusia seperti itu taat kepada Rasulullah, mengikuti Imam-
imam pemberi petunjuk, dan mengamalkan Kitab Allah, maka lidahnya akan ekspresif
adalah Imam-imamku, dan Al-Quran adalah Kitabku." Namun jika dia tidak
memalingkan hatinya ke Tuhan, sementara potret La ilaha illallah Muhammadun
rasulullah, `Aliyun waliyullah (Tak ada tuhan kecuali Allah, Muhammad adalah Rasul
Allah, dan Ali adalah wali Allah) tidak terukir di halaman hatinya sedemikian rupa
sehingga menjadi potret sisi-dalam jiwa, dan jika tak ada hubungan spiritual dan moral
timbal-balik antara dirinya dan Al-Quran yang membuat tindakannya sesuai dengan Al-
Quran, berpikir tentang Al-Quran, ingat dan merenungkannya, maka semua pengetahuan
(ma`arif)-nya akan terhapus dari ingatannya ketika menghadapi derita sebelum mati,
sakitnya menjelang ajal dan sakit dalam kematian itu sendiri—malapetaka yang luar
biasa.
kecuali apa yang menjadi komponen kedua dari kondisi jasmaninya. Mengenai
komponen kedua dari kondisi jasmaninya yang tidak terhapus dari ingatannya, ini terjadi
karena senantiasa ingat dan akrab dengan apa yang menjadi komponen kedua dari kondisi
jasmaninya itu. Kalau dia mengalami insiden serius atau kecelakaan sangat buruk, maka
dia akan lupa banyak urusannya, sehingga kondisi lupa ini akan merusak informasi yang
menjelang kematiaan? Apa yang dialaminya? Jika pendengaran dan hati tidak terbuka,
pada saat sakaratul maut dan setelahnya tak akan ada gunanya. Talqin (mengingatkan si
orang-orang yang hati mereka telah menerima keyakinan-keyakinan yang benar dan yang
telinga hati mereka senantiasa terbuka, namun saat sakaratul maut tiba, mereka akan
diserang lupa, dan karena itu talqin akan menjadi sarana bagi malaikat Allah untuk
menyampaikannya ke telinga mereka. Tetapi kalau manusia tuli, tak memiliki telinga
yang bisa mendengar di alam barzakh dan di dalam kubur, maka dia tak akan pernah bisa
mendengar talqin, dan talqin tak akan bermanfaat apa-apa baginya. Dalam hadis-hadis
***
bahwa untuk semua Nama dan Sifat Allah SWT pada umumnya ada dua posisi (maqam)
Yang pertama adalah posisi Nama-nama dan Sifat-sifat Zat, yang konstan dalam
Ketunggalan-Nya (hadhrat-i wahidiyat), seperti Ilmu Esensial, yang menjadi urusan dan
manifestasi Esensial, serta Kekuatan dan Kehendak Esensial, dan urusan Esensial lainnya
(syu'un-i dzatiyah).
Yang kedua adalah posisi Nama-nama dan Sifat-sifat Tindakan, yang terbuktikan
realitasnya untuk Allah melalui manifestasi Emanasi Suci, seperti "Ilmu Aktif" (`ilm-i
fi`li), yang dipandang oleh ahli pencerahan sebagai terbuktikan realitasnya, dan kepada
ilmu ini bergantung "Ilmu Individual" (`ilm-i tafshili). Khajah Nasiruddin telah
membuktikan ini, menyusul pendapat ahli pencerahan yang mengatakan bahwa ukuran
untuk "Ilmu Terperinci" adalah "Ilmu Aktif".439 Namun, meskipun topik ini
realitasnya untuk Zat, dan bahwa pengungkapan serta detail-detail Ilmu Esensial lebih
tinggi daripada "Ilmu Aktif" dan lebih ekstensif, sebagaimana terungkapkan realitasnya,
terungkapkan realitasnya lewat tradisi pembuktian dan metode makrifat, meski fakta
memperlihatkan bahwa metode lebih tinggi dan persepsi makrifat yang lebih manis
memiliki, di samping kondisi-kondisi seperti itu, kondisi lain: "Agama sang pencinta
Pada galibnya, untuk rahmat "pengasih" dan "penyayang" ada dua level dan dua
manifestasi: yang pertama adalah dalam manifestasi Zat dalam Ketunggalan (hadhrat-i
manifestasi entitas kosmik (a`yan-i kauniyah) melalui Emanasi Suci. Jika ar-Rahman dan
ar-Rahim, dalam surah suci itu, adalah Sifat Esensial, maka dimungkinkan untuk
(Nama), bukan Sifat Tindakan. Karena itu, tak ada pengulangan sama sekali sehingga
orang bisa mengklaim keduanya sebagai pengulangan yang berfungsi memperkuat, atau
pemberian tekanan yang besar. Dengan berbasis ini, maka makna ayat mulia ini adalah:
Dengan kehendak pengasih dan penyayang-Nya, pujian untuk Zat-Nya Yang Maha
Pengasih lagi Penyayang—Allah-lah yang paling tahu. Dan karena posisi Kehendak
Allah adalah manifestasi Zat Suci, maka posisi "kualitas pengasih" dan "kualitas
penyayang", yang merupakan ketetapan hati (ta`ayyunat) posisi Kehendak Allah, adalah
display (jilwah) Kualitas Pengasih dan Penyayang Esensial. Namun ada kemungkinan-
kemungkinan lain yang tak bisa diungkapkan di sini, karena kemungkinan yang sudah
***
akademis untuk kedua versi (ma dibaca panjang, dan ma dibaca pendek), sehingga
seorang ulama besar pun menulis sebuah tesis tentang prioritas malik dengan ma dibaca
Kalau menurut pendapat penulis, malik dengan ma dibaca panjang adalah lebih
tepat, karena surah ini dan surah at-Tauhid tak seperti surah-surah lain Al-Quran, karena
kedua surah ini dibaca orang saat salat wajib dan non-wajib, dan dalam setiap era, ratusan
juta Muslim mendengarnya dari ratusan juta Muslim lain, dan ini dari ratusan juta
sebelumnya, dan seterusnya, dengan mendengar dua surah ini dari satu sama lain, yang
dibaca, dengan persis sama, tanpa adanya huruf yang dicepatkan dan tanpa adanya huruf
yang dilambatkan, tanpa adanya huruf yang dinaikkan dan diturunkan, oleh para Imam
pemberi petunjuk dan Rasulullah saw. Kendatipun kebanyakan orang membacanya malik
dengan ma dibaca pendek, dan banyak ulama lebih memilih malik dengan ma dibaca
pendek, namun semuanya itu tidak ada yang menciderai fakta pasti dan penting ini, dan
tak ada yang menyamainya. Dan kendatipun ulama membolehkan mengikuti mereka,
namun tak ada—kecuali orang abnormal (syadzdz) yang pendapatnya terlalu sepele atau
dalam salat-salatnya, atau jika seseorang membacanya malik dengan ma dibaca pendek,
dibaca panjang, seperti guru alim kami di bidang ilmu tradisional, Haji Syaikh Abdul
Karim Yazdi (semoga makamnya disucikan), yang biasa, kalau diminta sejumlah ulama
sezamannya, membaca malik dengan ma dibaca pendek juga. Namun demikian, ini
merupakan tindakan pencegahan yang terlalu lemah, atau, seperti yang diyakini oleh
Kelemahan topik tersebut di atas jadi jelas setelah kita membaca klaim bahwa,
dalam tulisan Kufi, malik dengan ma dibaca pendek dan malik dengan ma dibaca panjang
keliru diidentifikasi, sehingga keliru pemahaman atau interpretasinya. Klaim ini bisa
disampaikan berkenaan dengan surah-surah yang tidak sering dibaca, meski tetap dengan
sulit, tetapi tidak berkenaan dengan surah ini, karena surah ini sudah dikonfirmasikan
lewat mendengar dan membaca, sebagaimana nampak sangat jelas. Klaim seperti ini tak
Argumen ini juga berlaku untuk kufuwan, karena membacanya dengan "w"
dikonfirmasikan lewat mendengar dan mendengar lagi, dan bacaan-bacaan lain tidak
berarti bertentangan dengan bacaan itu, meskipun sebagian orang berpendapat bahwa
Jika ada argumen berkenaan dengan riwayat-riwayat yang meminta kita untuk
diyakini bahwa riwayat-riwayat ini ingin mengatakan: bacalah seperti orang pada
umumnya membaca, bukan bahwa kita leluasa untuk memilih satu di antara "tujuh
pendek dan membaca "kufuwan" tidak seperti lazimnya bacaan kaum Muslim dan yang
termaktub dalam Al-Quran, maka itu tidaklah benar. Bagaimanapun juga, tindakan
memilikinya hamba, juga tidak seperti posisi memilikinya para raja atas kerajaan mereka,
karena posisi memilikinya para hamba dan para raja merupakan pengambilan
konvensional, sedangkan posisi memilikinya Allah atas makhluk tidaklah seperti itu,
meskipun bagi ahli-ahli fiqih posisi memilikinya Allah yang seperti ini sudah terlihat atau
terbuktikan realitasnya. Namun posisi memiliki seperti ini tidak menafikan apa yang
sudah ditelaah dalam hal ini. Juga tidak sama dengan posisi memilikinya manusia atas
organ dan anggota badannya, atas kekuatan lahir dan batinnya, meskipun posisi memiliki
seperti ini lebih dekat dengan posisi memilikinya Allah ketimbang posisi memiliki yang
disebutkan sebelumnya. Juga beda dengan memilikinya jiwa atas tindakan dirinya
sendiri, yang merupakan bagian dari urusan jiwa, seperti menciptakan potret mental, yang
kontraksi dan ekspansinya pada level tertentu berada di bawah kendali kehendak jiwa,
juga tidak seperti posisi memilikinya dunia-dunia intelektual atas apa yang lebih rendah
kelasnya, meskipun riil di dunia-dunia itu melalui penghapusan (i`dam) dan penciptaan
(ijad), karena semua eksistensi di dunia realisasi potensial, yang di dahinya ada tanda
kekurangan, dibatasi oleh batas-batas dan ukuran, bahkan pada tingkat esensinya
sekalipun. Dan apa saja yang dibatasi oleh batas, berarti ia terpisah dari aksinya,
konsisten dengan kondisinya yang terbatas, dan berarti pula eksistensinya tidak
komprehensif atau tidak total (ihatha-i qayyumi). Karena itu, segala sesuatu, sesuai
dengan level esensinya sendiri, menafikan elemen-elemen pasif (munfa`ilat)-nya, dan
Tetapi mengenai posisi memilikinya Allah Ta`ala, yang terjadi karena aneksasi
yang mencerahkan dan kondisi eksistensi yang total, itu adalah posisi memiliki yang
sejati (malikiyat-i dzatiyah), yang dalam posisi memiliki seperti ini sedikit pun tak ada
indikasi kekurangan, indikasi tidak lengkap atau indikasi tidak sempurna, sehingga posisi
memiliki seperti ini menafikan isolasi Zat dan Sifat-sifat-Nya dari makhluk atau
eksistensi. Posisi memilikinya Zat Suci atas semua alam adalah sama, tak ada perlakuan
diskriminatif terhadap makhluk, atau tak lebih dekat dengan—dan lebih meliputi—alam-
alam abstrak dan gaib, daripada alam-alam lainnya, karena, kalau tidak, maka butuh
pembatasan dan pemisahan, yang disertai kebutuhan dan kapasitas untuk berkembang;
Mahatinggi, Mahasuci lagi Mahabesar Allah atas itu semua! Ini barangkali diungkapkan
dalam firman Allah Ta`ala: Dan Kami lebih dekat dengan dia daripada kamu.443 Dan
Kami lebih dekat dengan dia daripada urat merihnya. 444 Allah adalah cahaya lelangit
dan bumi.445 Dan adalah Dia, Tuhan di langit dan Tuhan di bumi.446 Dan milik Allah
kerajaan lelangit dan bumi.447 Rasulullah saw dikutip mengatakan: "Jika kamu
diturunkan dengan seutas tali ke bumi yang paling bawah, maka kamu akan turun ke
Allah."448 Imam ash-Shadiq juga dikutip mengatakan, seperti dimuat dalam al-Kafi: "Tak
ada ruang yang bisa membatasi-Nya, dan tak ada ruang yang bisa mengakomodasi-Nya,
dan Dia tidak lebih dekat dengan satu tempat daripada tempat lain."448/1 Imam Ali an-Naqi
dikutip mengatakan: "Mesti Anda ketahui bahwa bila Allah berada di langit paling
rendah, pada saat bersamaan Dia berada di Singgasana. Segala sesuatu pada saat
bersamaan dan pada tingkat yang sama diketahui, dikendalikan, dimiliki dan dicakup
oleh-Nya."449
sesuatu dan semua alam pada saat yang sama dan pada tingkat yang sama, ayat mulia ini
mengatakan: Pemilik Hari Pengadilan. Spesifikasi ini barangkali karena Hari Pengadilan
adalah hari berkumpul. Maka Pemilik "Hari Pengadilan", yang adalah hari berkumpul,
adalah juga Pemilik hari-hari lain yang bertebaran, dan "apa yang bertebaran di alam
lahir dikumpulkan di alam gaib." Atau barangkali itu disebabkan oleh manifestasi kondisi
memiliki dan kondisi kuasanya Allah SWT pada "Hari Berkumpul", yang adalah hari
kembalinya segala yang mungkin ke ambang pintu Allah, dan naiknya semua eksistensi
ke Istana Allah.
tujuan buku ini, bisa dilakukan sepanjang cahaya eksistensi dan matahari kebenaran turun
dari area-area gaib ke alam kasat mata. Karena kalau tidak, kondisi yang terjadi adalah
kondisi tertabiri. Dengan kata lain, dalam setiap turun ada spesifikasi (ta`ayyun), dan
dalam setiap spesifikasi dan pembatasan ada tabir. Dan karena manusia merupakan
sintesis atau kombinasi (majma`) semua spesifikasi dan pembatasan, maka dia tertabiri
dengan segenap tujuh tabir gelap dan tujuh tabir cahaya, yang merupakan tujuh bumi dan
tujuh langit, menurut sejumlah interpretasi. Barangkali, kembali ke "yang terendah dari
yang rendah" berarti terbungkus dalam segenap jenis tabir. Penyembunyian matahari
sebagai "malam" dan "Malam Qadr". Dan selama manusia terbungkus dalam tabir-tabir
ini, maka dia tak dapat melihat Yang Indah dari Yang Abadi, dan tak dapat melihat cahaya
primer. Ketika semua eksistensi, dalam perjalanan menaik dari level-level rendah dunia
mereka dari cahaya daya tarik karakter ilahiah, sesuai dengan maksud (taqdir) Emanasi
Tersuci dalam Ilmu-Nya—kembali ke tanah tumpah darah pertama dan rumah faktual
kembali keluar dari tabir cahaya dan tabir gelap, dan posisi memiliki dan kedaulatan
Allah Ta`ala termanifestasikan, dan Dia nampak dalam Ketunggalan dan Kedaulatan. Di
sini, di mana Yang Terakhir kembali ke Yang Pertama, dan Yang Lahir terhubung dengan
Yang Batin, dan di mana kekuasaan lahir atau manifestasi runtuh dan pemerintahan batin
termanifestasikan, sang pemilik mutlak menyapa—dan tak ada yang disapa kecuali Zat
Suci-Nya—Milik siapa Kedaulatan pada Hari ini?, dan karena tak ada jawaban, maka
Hari final ini, hari ketika matahari kebenaran terbit dari balik tabir ufuk
(zhill) nama relevannya, lenyap dalam Allah. Ketika Terompet ditiup, maka muncul dari
nama itu dan menyertai para pengikut nama itu: "Satu kelompok di surga dan satu
Manusia sempurna di dunia ini keluar dari tabir-tabir ini, terkait atau konsisten
dengan perjalanannya menuju Allah dan hijrahnya menuju Dia, dan peraturan-peraturan
Kebangkitan, Waktu dan Hari Pengadilan muncul di hadapannya dan diperlihatkan atau
melalui mikraj salatnya, dan lidahnya menjadi juru tafsir hatinya, dan kehadirannya
menjadi lidah penglihatan-penglihatan batinnya. Inilah salah satu rahasia kenapa Fakta
Ketahuilah bahwa berkenaan dengan Arsy dan para pengusungnya, ada berbagai
pendapat yang berbeda. Begitu pula, riwayat-riwayat secara lahiriah berbeda-beda juga,
meskipun secara batiniah tak ada perbedaan, karena, menurut pandangan makrifat dan
Salah satu maknanya—yang tidak kami lihat dalam bahasa "banyak orang"
Paling Suci", dan para pengusungnya adalah empat nama dari Nama-nama Agung: Yang
Makna lainnya—yang juga tidak kami temukan dalam bahasa "banyak orang"—
adalah "Emanasi Suci", yang berada pada level Nama Teragung, sedangkan
Ide lainnya adalah ungkapan "segala yang selain Allah (ma siwallah) dan para
Makna lainnya adalah "Raga Universal" (jism-i kull), yang diusung oleh empat
Kadang dipandang sebagai "Ilmu", yang bisa jadi Ilmu Aktif (`ilm-i fi`li) Allah,
yang adalah kondisi pelindung besar (wilayat-i kubra), dan pengusungnya adalah empat
sahabat sempurna Allah dari umat-umat kuno: Nuh, Ibrahim, Musa dan Isa (Yesus), dan
empat orang sempurna umat ini: Penutup Para Nabi, Amirul Mukminin Ali bin Abi
Nah karena pengantar ini sudah dipahami, maka ketahuilah bahwa dalam Surah
al-Hamd (al-Fatihah), setelah nama "Allah", yang mengungkapkan Zat-Nya, empat nama
mulia: ar-Rabb, ar-Rahman, ar-Rahim dan Malik, disebutkan secara khusus, barangkali
karena empat nama mulia ini adalah pengusung Arsy Ketunggalan (wahdaniyat)-Nya
terkait batinnya, sedangkan lahiriahnya adalah empat malaikat pilihan Allah yang
menjadi pengusung Arsy Realisasi (tahaqquq). Karena itu nama suci ar-Rabb adalah
batin Mikail, yang, sebagai manifestasi ar-Rabb, menjadi penanggung jawab atas fasilitas
dan pendidikan di dunia eksistensi. Nama mulia ar-Rahman adalah batin Israfil, yang
menjadi pelindung (munsyi) ruh, peniup Terompet dan pendistribusi (basith) ruh-ruh dan
ar-Rahman. Nama mulia ar-Rahim adalah batin Jibril, yang bertanggung jawab mengajar
dan menyempurnakan makhluk. Nama mulia Malik adalah batin Izrail, yang bertanggung
jawab membawa (qabdh) ruh dan personalitas, dan bertanggung jawab mengembalikan
lahir kepada batin. Karena itu, surah suci ini, sampai Maliki yaumiddin (Pemilik Hari
pengusungnya. Dengan demikian, total lingkaran eksistensi dan manifestasi hal gaib dan
hal lahir, yang diterjemahkan oleh Al-Quran Suci, diungkapkan sampai bagian surah ini.
Ide ini sendiri juga sepenuhnya diliput oleh Bismillah, yang merupakan Nama Teragung.
Itu juga dalam "B" (ba), yang berada dalam posisi kausalitas (hubungan antara sebab dan
akibatnya), dan dalam titik bism, yang merupakan rahasia kausalitas. Dan karena Ali bin
Abi Thalib adalah rahasia jabatan pelindung (wilayat) dan kausalitas, maka dialah titik
pada ba.453 Artinya, titik pada ba adalah penerjemah rahasia jabatan pelindung.
Renungkan dengan saksama. Kenapa harus direnungkan dengan saksama? Alasan untuk
perenungan adalah problem yang ada dalam hadis. Dan Allah-lah yang paling tahu!
Indikasi Makrifat
perjalanan (suluk) manusia dari dunia material hingga peniadaan sempurna, atau sampai
kondisi hadir di hadapan Tuan dan Penguasa para raja. Maka dari itu, karena salik masih
berada di awal perjalanan, maka berangsur-angsur dia diasuh oleh Rabbul `Alamin
(Tuhan alam semesta), karena dia adalah bagian dari dunia, sementara perilaku (suluk)-
nya berada di bawah kendali waktu dan graduasi (perkembangan). Setelah meninggalkan
alam fana ini lewat langkah-langkah perilakunya, tahap nama-nama inklusif, yang bukan
hanya bagian dari dunia, di mana aspek "diferensiasi" sangat berpengaruh, terbentuk di
hatinya. Dan karena nama mulia ar-Rahman lebih khusus daripada nama-nama inklusif
lain, maka nama ini disebutkan setelah itu, dan karena ia adalah manifestasi rahmat dan
tahap distribusi total, maka ia mendahului ar-Rahim, yang lebih dekat dengan ufuk batin.
Karena itu, dalam formula makrifat, nama-nama lahir muncul duluan, kemudian setelah
itu, nama-nama batin, karena perjalanan sang salik adalah dari keserbaragaman
murni, yang mencakup nama Malik. Dengan demikian, dengan manifestasi kondisi
menjadi Pemilik, keserbaragaman alam gaib dan lahir akan lenyap, lalu akan terjadi
kesirnaan total dan Kehadiran Mutlak. Karena dia membebaskan dirinya dari tabir-tabir
Karena itu, lingkaran total perjalanan sang salik juga termuat dalam surah mulia
ini, dari tabir-tabir terakhir dunia material sampai penyibakan tabir-tabir gelap dan cahaya
dan pencapaian Kehadiran Sempurna dan Mutlak. Kehadiran ini merupakan kebangkitan
besar sang salik dan naiknya Waktunya. Dalam ayat mulia: ... dan semua yang di lelangit
dan di bumi binasa, kecuali dia yang Allah kehendaki ...,454 yang dikecualikan ini
barangkali adalah kelompok ahli suluk ini yang tidak sadarkan diri dan sirna sebelum
Terompet ditiup. Dengan mengatakan: "Aku dan Waktu adalah seperti dua ini,"454/1 ketika
konsep ini.
Indikasi Literatur
Dalam tafsir-tafsir yang ada sekarang ini yang telah kita pelajari, atau yang
menjadi sumber kutipan, kata "din" dikatakan mengandung arti perhitungan dan
pengadilan. Kamus juga memberikan arti-arti ini. Para penyair Arab juga
akan diadili seperti engkau mengadili," dan ada perkataan yang disebut-sebut datang dari
"Masih terus eksis kecuali permusuhan. Kita pun menilai mereka seperti mereka
menilai."455 Dikatakan bahwa "dayyan" , yang adalah salah satu Nama Tuhan,
mengungkapkan makna ini juga. Barangkali "din" adalah agama sejati. Dan karena pada
Hari Kebangkitan produk-produk agama bermunculan dan fakta-fakta religius keluar dari
balik tabir, maka karena alasan inilah ia disebut yaumuddin (Hari Pengadilan), sementara
"hari ini" disebut yaumuddunya (hari dunia ini atau hari duniawi), pada hari ini
bermunculan produk-produk dunia ini, sedangkan potret sejati agama tidak kelihatan. Ini
memperlihatkan sebuah ide serupa tentang pernyataan Allah: ... dan mengingatkan
mereka akan hari-hari Allah,456 yang adalah hari-hari ketika Allah menangani suatu
bangsa dengan kekuatan dan otoritas. Hari Kebangkitan adalah sebuah "hari Allah"
maupun "hari agama", karena ia adalah hari manifestasi Kedaulatan Allah dan hari
***
Iyyaka na`budu wa iyyaka nasta`in (Engkaulah yang kami sembah; Dari-Mu kami
mencari pertolongan): Ketahuilah bahwa bila hamba, sang salik di jalan ilmu, mengerti
bahwa segala syukur dan pujian hanya milik Zat Suci Allah saja, dan memandang Dia
menganggap kendali semua urusan, sejak awal dan sampai akhir, berada di genggaman
maka dia akan melihat bahwa menyembah itu hanya kepada Allah saja, dan begitu pula
mencari pertolongan, dan memandang segenap alam realisasi tunduk, dengan suka hati
atau tak terelakkan, kepada Zat Suci, dan di alam realisasi ini dikenalinya tak ada yang
berada dalam posisi mampu berbuat sesuatu, sehingga pertolongan datangnya dari Dia.
Allah saja adalah riil, namun membatasi mencari pertolongan hanya kepada Dia saja
adalah tidak riil—dengan argumen bahwa pertolongan dari selain Allah bisa juga
didapatkan, dan ini ada dalam Al-Quran Suci: dan tolong-menolonglah dalam kebaikan
dan ketakwaan,457 dan juga: dan carilah pertolongan melalui kesabaran dan salat,458 dan
diketahui bahwa perilaku Nabi saw, para Imam Ahlul Bait, para sahabat mereka dan
kaum Muslim didasarkan pada pencarian pertolongan dari selain Allah dalam hal-hal
yang dibolehkan hukum, seperti mencari bantuan hewan tunggangan, hamba, istri, teman,
utusan, pekerja dan seterusnya—tak lain hanyalah wacana atau spekulasi yang relevan
bagi kaum formalis. Tetapi orang yang memiliki pengetahuan tentang Ketunggalan
Tindakan Allah Ta`ala, dan melihat sistem eksistensi sebagai bentuk aktivitas Allah
Ta`ala, dan kemudian melihat, baik dengan mata langsung atau dengan hujah rasional,
bahwa di dunia eksistensi ini tak ada pencipta kecuali Allah, dan memandang, dengan
pembatasan yang riil, dan mencari pertolongan makhluk sebagai bentuk pertolongan
Allah. Menurut pandangan orang-orang ini, tak ada alasan untuk membatasi pujian hanya
kepada Allah Ta`ala saja, karena, menurut pandangan ini, makhluk juga memiliki
perilaku, opsi, keindahan dan kesempurnaannya yang layak mendapat pujian dan rasa
terima kasih. Mereka bahkan mengatakan bahwa menghidupkan dan mematikan, dan
memberikan fasilitas dan menciptakan, merupakan sebagian urusan lain yang lazim
antara Allah dan makhluk. Ahli Allah memandang hal-hal seperti itu sebagai
kemusyrikan. Dan dalam riwayat, hal-hal seperti itu dinilai sebagai kemusyrikan
tersembunyi, karena disebutkan bahwa menggunakan cara memutar cincin di jari untuk
Ringkas kata, "Engkaulah yang kami sembah dan kepada Engkaulah kami
mencari pertolongan" adalah bagian dari pujian kepada Allah, dan ini mengungkapkan
tauhid sejati. Orang yang di hatinya belum nampak realitas tauhid, sementara dia belum
mencari pertolongannya hanya kepada Allah saja, sehingga dia tak akan menjadi orang
yang saleh dan beriman kepada Allah. Bila tauhid termanifestasikan di hatinya, maka dia
akan, selaras dengan level manifestasi ini, meninggalkan makhluk dan berpegang teguh
pada Kekuatan Kesucian Allah sedemikian sehingga dia melihat bahwa "Engkaulah yang
kami sembah, dan kepada Engkaulah kami mencari pertolongan" terjadi melalui nama
Allah; dan sejumlah fakta "Engkau adalah sebagaimana Engkau memuji diri-Mu
Dari catatan tesis ini maka jelas sudah situasi perubahan dari person ke-3 ke
person ke-2. Meskipun dalam dirinya ia adalah salah satu ornamen kata-kata dan
karakteristik retorika, yang sering terlihat dalam kata-kata orator piawai, dan merupakan
dekorasi kata-kata, dan, pada saat bersamaan, dengan berubah dari satu atmosfer ke
baru, namun karena salat merupakan mikraj untuk mencapai eksistensi Kesucian tangga
untuk mencapai situasi kedekatan, kehangatan, privasi dan kelembutan, maka surah mulia
ini memerintahkan untuk memulai mikraj spiritual dan perjalanan makrifat. Sang hamba,
pada awal perjalanan menuju Allah, terpenjara dan terbungkus dalam tabir-tabir gelap
dunia alam fisik dan dalam tabir-tabir cahaya dunia gaib, sementara perjalanan menuju
Allah merupakan perjalanan untuk keluar dari tabir-tabir ini melalui langkah-langkah
perilaku dan manajemen spiritual. Sesungguhnya migrasi menuju Allah adalah langkah
hadapan Allah Ta`ala, dan, lewat komunikasi pribadi dan penyaksian Keindahan dan
pencariannya akan Allah dan ketakwaannya untuk Kehadiran Suci dan pertemuan
Fakta bahwa kata ganti Iyyaka digunakan untuk maksud ini adalah karena kata
ganti ini kembali kepada Zat yang di dalamnya lenyap keserbaragaman. Maka sang salik
keserbaragaman nama-nama dan sifat-sifat, sehingga hati pun berpaling kepada Zat yang
bebas dari tabir-tabir keserbaragaman. Inilah tauhid yang sempurna yang diungkapkan
oleh Imam kaum penjunjung tinggi tauhid, pemimpin kaum ahli makrifat, pemimpin
kaum pencinta, pelopor kaum tercinta, Amirul Mukminin Ali yang mengatakan: "Tauhid
kecenderungan ini, meskipun kepada pluralitas Nama-nama, adalah jauh dari rahasia-
rahasia tauhid dan fakta-fakta abstraksi. Dengan demikian, barangkali rahasia dosa Adam
terlarang.
Studi Makrifat
Ketahuilah bahwa kaum literalis memperlihatkan sejumlah pendapat berkenaan
Mereka mengatakan bahwa, dalam kaitan ini, metode legal terlintas di benak sang
penyembah untuk membuat ibadahnya diterima oleh allah Ta`ala. Dengan menggunakan
kata ganti plural dia menempatkan ibadahnya di antara ibadahnya makhluk-makhluk lain,
yang di antara mereka, tentu saja, ada orang-orang sempurna di antara sahabat-sahabat
Allah yang ibadah mereka diterima oleh Allah Ta`ala, dan menyerahkannya ke ambang
pintu Kesucian dan Istana Rahmat, untuk memastikan bahwa ibadahnya secara implisit
akan diterima, karena bukanlah tradisi Yang Maha Pemurah untuk melakukan
diskriminasi perlakuan.
Mereka juga mengatakan bahwa karena salat dilaksanakan terlebih dahulu dalam
Berbicara tentang rahasia umum azan dan iqamah, kami sebutkan sebuah poin
untuk pada tingkat tertentu mengenali, mengetahui dan memahami rahasia ini. Artinya,
azan adalah memproklamasikan bahwa kekuatan lahir dan kekuatan gaib sang salik siap
itu di hadapan-Nya. Bila sang salik mempersiapkan kekuatan lahir dan gaibnya untuk
hadir di hadapan-Nya, sementara hati, yang menjadi pemimpin kedua kekuatan itu,
berdiri tegak sebagai Imam mereka, berarti salat dimulai dan "Si mukmin itu sendiri
adalah jamaah."461 Karena itu, "na`budu, nasta`in dan ihdina" ("kami menyembah,"
"kami mencari pertolongan," "dan pandulah kami"), semuanya akan dilakukan melalui
jamaah ini di hadapan Yang Suci. Dalam riwayat dan doa para Imam Ahlul Bait maksum,
yang merupakan sumber makrifat dan penglihatan samawi, diungkapkan konsep ini.
Pandangan lain yang terlintas di benak penulis adalah bahwa sang salik melihat
semua pujian dan terima kasih dari setiap hamba yang memuji dan bersyukur, di alam
nampak dan alam gaib, sebagai khusus bagi Zat Suci Allah saja. Juga diperlihatkan
dengan jelas dalam hujah-hujah para Imam, dan di hati ahli makrifat bahwa semua
emosional dan estetis, dan eksistensi untuk memahami karakteristik hewan, atau bahkan
eksistensi ras manusia atau karakteristik khas manusia, dan mereka memuji serta
memuliakan Allah Ta`ala, dengan akal dan kesadaran. Sudah terbentuk dalam fitrah
segala sesuatu, umat manusia pada khususnya, untuk tunduk kepada Eksistensi Suci Yang
Sempurna dan Yang Indah Mutlak, dan dahi-dahi mereka diletakkan di debu Ambang
Pintu Suci-Nya, seperti diungkapkan dalam Al-Quran Suci: ... dan tak ada satu pun
kecuali memuliakan-Nya, namun kamu tidak mengerti pemuliaan oleh mereka.462 Ayat-
ayat suci lain, dan riwayat-riwayat dari para Imam maksum, yang sarat rahmat dan
berkah Allah, mendukung hujah ini. Karena itu, jika si penempuh jalan menuju Allah
dapat menemukan kebenaran ini melalui argumen kritis, persepsi akurat atau penglihatan
makrifat, maka dia akan mengetahui dan memahami, apa pun posisinya, bahwa semua
partikel eksistensi dan penghuni alam nampak dan alam gaib menyembah Yang Mutlak
Disembah dan mencari Pencipta mereka. Dengan demikian, bentuk jamak (kata ganti)
digunakan karena semua eksistensi, dalam segenap gerak dan diam mereka, menyembah
pertolongan." Juga mereka mengatakan bahwa, karena keduanya ini saling terkait, maka
meletakkan di depan atau meletakkan di belakang tak akan ada bedanya, sebagaimana
dikatakan: "Engkau perhatikan hakku, maka Engkau lakukan kemurahan hati kepadaku,"
atau "Engkau lakukan kemurahan hati kepadaku, maka Engkau perhatikan hakku."
Selanjutnya, mencari pertolongan adalah untuk ibadah ke depan, bukan untuk ibadah saat
ini. Ketumpulan pendapat-pendapat ini terlihat oleh ahli rasa (ahl-i dzauq).
Ta`ala saja terjadi, menurut kondisi perjalanan menuju Allah, setelah membatasi "ibadah"
kepada Dia saja. Jelas sekali bahwa banyak ahli tauhid dalam ibadah, yang membatasi
"ibadah" hanya kepada Allah saja, namun mereka musyrik dalam "mencari pertolongan"
dan tidak membatasi "mencari pertolongan" hanya kepada Allah saja, sebagaimana telah
kami kutip beberapa ahli tafsir yang percaya bahwa membatasi "mencari pertolongan"
hanya kepada Allah saja tidaklah riil. Karena hal itu membatasi "ibadah" hanya kepada
Allah saja, dalam konsep konvensionalnya, adalah bagian dari kondisi pertama ahli
dalam ibadah, melainkan dalam segala urusan, dan ini terjadi setelah menolak sarana dan
kepada Allah. Dengan kata lain, membatasi "ibadah" berarti mencari Allah,
membutuhkan Dia dan tidak lagi berpaling kepada selain Dia. Dan membatasi "mencari
pertolongan" berarti merujuk kepada Dia, dan tak lagi merujuk kepada selain Dia. "Tidak
lagi merujuk kepada selain Dia" ini terjadi, sesuai dengan level-level ahli makrifat dan
Manfaat Makrifat
dan "mencari pertolongan" hanya kepada Allah saja juga bukanlah bagian dari kondisi
ahli tauhid dan fase sempurna para salik, karena hal ini mengindikasikan sebuah klaim
yang bertentangan dengan kepercayaan kepada satu Tuhan (monoteisme) dan abstraksi.
Mereka bahkan percaya bahwa merujuk kepada ibadah, pelaku ibadah, pencari
pertolongan, dan dia yang pertolongannya dicari, dan merujuk kepada pertolongan,
bertentangan dengan monoteisme. Dalam monoteisme yang riil, yang muncul di hati sang
semacam itu pun terhapus. Ya, mereka yang sadar dari pesona gaib dan mencapai
ketenangan hati, maka keserbaragaman tidak menjadi tabir bagi mereka, karena orang
Kelompok pertama terdiri atas mereka yang tertabiri, seperti kita ini, yang lemah,
Kelompok ketiga terdiri atas orang-orang yang konsisten (washilan), yang keluar
dari tabir-tabir keserbaragaman dan sibuk dengan Allah, mengabaikan semua makhluk
dan tertabiri dari semua makhluk, karena mereka sudah mengalami pingsan dan
Kelompok keempat terdiri atas orang-orang yang kembali kepada makhluk, dan
yang mengemban tugas sebagai penyempurna dan pemandu, seperti para nabi besar dan
mereka.
berbeda terkait kelompok-kelompok berbeda yang disebutkan di atas. Bagi kami, orang-
orang yang tertabiri, itu semata-mata klaim dan pandangan. Namun jika kita mengetahui
dan menyadari tabir dan kelemahan kita, maka ibadah kita semakin bercahaya sesuai
level pengetahuan dan kesadaran kita akan kelemahan kita, dan karena itu ibadah kita
diterima oleh Allah Ta`ala. Bagi kaum salik, itu lebih dekat dengan kebenaran, sesuai
dengan langkah perjalanan. Bagi kaum konsisten (washilan), terkait merujuk kepada
Allah, itu adalah kebenaran, dan, terkait merujuk kepada keserbaragaman (multiplisitas,
katsrat), itu hanyalah pandangan, kesan, potret dan perbuatan biasa. Bagi orang-orang
sempurna, itu semata-mata kebenaran, dan karena itu mereka tidak tertabiri dari Allah
Ketahuilah bahwa selama kita berada dalam tabir tebal dunia alam natural, selama
kita menggunakan hidup kita dengan upaya menguasai dunia dan upaya mendapatkan
berbagai kesenangannya, dan selama kita melupakan Allah Ta`ala, selama itu pula
segenap ibadah, doa dan bacaan-bacaan kita tak memiliki kebenaran sama sekali—dalam
al-hamdu lillah (segala puji bagi Allah) pun kita tidak dapat membatasi pujian hanya
kepada Allah saja, juga dalam iyyaka na`budu wa iyyaka nasta`in kita tak bisa
Allah Ta`ala, malaikat-malaikat pilihan, para nabi yang sekaligus rasul dan para wali
maksum ini, kita akan malu. Orang yang lidah kondisi dan kata-katanya tak pernah
berhenti memuji penghuni dunia ini, mana mungkin dia dapat mengucapkan "Segala puji
bagi Allah"? Orang yang hatinya cenderung kepada dunia natural dan dunia fisik, dan tak
memiliki aroma samawi, dan yang harapan dan kepercayaannya adalah kepada orang,
maka dengan lidah seperti apa dia dapat mengucapkan "Engkaulah yang kami sembah,
dan kepada Engkaulah kami mencari pertolongan"? Nah, jika Anda orang untuk bidang
ini, maka singsingkan lengan baju ketetapan hati, dan, dengan mengingat dan
dan kepapaannya, cobalah untuk menyampaikan fakta-fakta dan hal-hal sulit yang
disebutkan dalam tesis ini kepada hati Anda, dan hidupkan hati Anda dengan ingat Allah
Ta`ala untuk membawakan kepada indra penciuman hati Anda aroma monoteisme, dan,
dengan pertolongan Yang Gaib, untuk menemukan jalan menuju salatnya ahli makrifat.
Jika Anda bukan orang untuk bidang ini, minimal Anda ingat selalu kesalahan-kesalahan
Anda menghamba kepada Allah. Dan ayat-ayat mulia ini, yang tidak Anda kaji rahmat-
rahmatnya, bacalah ayat-ayat ini lewat lidah orang-orang sempurna, atau ingatlah bahwa
diri Anda semata-mata membaca bentuk (atau lahiriah) Al-Quran, sehingga minimal
Aspek Fiqih
berpikiran bahwa itu akan bertentangan dengan Al-Quran dan dengan bacaannya, karena
bacaan berarti menuturkan kata-kata orang lain. Kata-kata ini tak ada argumen logisnya,
karena kalau orang dapat memuji seseorang dengan kata-katanya sendiri, dia pun dapat
menggunakan kata-kata orang lain untuk maksud ini. Misal, jika kita memuji seseorang,
dan kita memujinya dengan menggunakan syair Hafizh, berarti kita memuji orang itu dan
sekaligus kita membaca syair Hafizh. Nah, jika kita, ketika mengucapkan "alhamdu
lillah rabbil `alamin" (segala puji bagi Allah, Tuhan alam semesta), maka sesungguhnya
kita membatasi semua pujian hanya untuk Allah saja, dan ketika kita mengucapkan
"iyyaka na`budu (Engkaulah yang kami sembah), sesungguhnya kita membatasi ibadah
hanya kepada Allah saja, dan itu artinya adalah bahwa dengan kata-kata Allah, kita
memuji Dia, dan dengan kata-kata Allah pula, kita membatasi ibadah hanya kepada Dia
saja. Tetapi jika seseorang meniadakan dari kata-kata ini makna formatnya, berarti dia
melanggar prinsip ihtiyath (melindungi diri dari kemungkinan terjadinya sesuatu yang
tidak diinginkan), jika tidak mau dikatakan bacaannya akan bathil (tidak sah). Namun
jika seseorang tidak mengetahuinya, maka tidak penting baginya untuk mengkaji guna
disebutkan hadis mulia: "Bila dia (si hamba) mengucapkan dalam salatnya: `Bismillahir-
rahmanir-rahim', maka Allah berkata: `Hamba-Ku ingat Aku', dan ketika si hamba
mengucapkan: `Al-hamdu lillah', maka Allah berkata: `Hamba-Ku memuji-Ku'463 ... dan
seterusnya." Jika "basmalah" dan "hamdalah" tidak disusun oleh hamba, maka "ingat
Aku" dan "memuji-Ku" tak akan ada artinya. Dalam hadis mikraj dikatakan: "Kini kamu
sudah tiba, bacalah Nama-Ku"464 (yaitu bacalah basmalah). Dari sikap dan nada para
Imam berkenaan dengan membaca "maliki yaumid-din", dan "iyyaka na`budu", dan dari
diulang-ulangnya ayat-ayat ini oleh mereka, maka jelaslah bahwa mereka menyusun,
bukan sekadar membaca, seperti: "Ismail bersaksi bahwa tak ada tuhan kecuali Allah."465
Salah satu perbedaan penting derajat salat orang-orang saleh terjadi karena
perbedaan bacaan mereka, sebagaimana sudah kami ungkapkan sebagiannya. Namun hal
ini tak akan terjadi kalau si pembaca tidak mendesain penyusunan bacaan-bacaan dan
zikirnya. Bukti-bukti yang memperlihatkan ini lebih banyak. Ringkas kata, menyusun
Manfaat
Para ahli bahasa mengatakan bahwa "ibadah" berarti ketundukan dan kesahajaan
maksimal. Mereka juga mengatakan bahwa karena ibadah merupakan level tertinggi
ketundukan, maka ibadah tidak tepat kecuali untuk orang yang berada di level tertinggi
eksistensi dan kesempurnaan, dan level tertinggi kemurahan hati, dan dengan begitu
maka ibadah kepada selain Allah adalah kemusyrikan. Barangkali, "ibadah"—yang dalam
bahasa Persia berarti "pemujaan, penyembahan, cinta mendalam" dan "penghambaan"—
sesungguhnya mengindikasikan lebih dari apa yang sudah disebutkan, yaitu ibadah
adalah ketundukan kepada Sang Pencipta dan Tuhan. Maka dari itu, ketundukan seperti
itu tak bisa dipisahkan dari memandang yang disembah itu sebagai Tuhan, atau misalnya,
manifestasi-Nya. Karena itu, menyembah atau beribadah kepada selain Allah adalah
kemusyrikan dan kekufuran. Namun, ketundukan sempurna, tanpa keyakinan ini atau
tanpa mengadopsi makna ini, dan meskipun ketundukan maksimal sudah dicapai, tak
akan menjadi alasan untuk kekufuran dan kemusyrikan, kendatipun beberapa jenisnya
dipandang haram seperti meletakkan dahi di debu untuk maksud ketundukan atau
kepatuhan; meskipun ini bukan ibadah, tetapi ini jelas dilarang oleh agama. Karena itu,
penghormatan yang diberikan oleh para pengikut agama kepada pemimpin religius
mereka, dengan keyakinan bahwa para pemimpin religius itu juga adalah hamba-hamba
dan kesempurnaan itu sendiri—dan dengan keyakinan bahwa para pemimpin religius itu
adalah hamba-hamba saleh yang, meskipun tak bisa memberikan manfaat, mudharat,
hidup dan mati bagi diri mereka sendiri, namun mereka adalah, berkat penghambaan
mereka, dekat dengan Istana Allah Ta`ala, dan berada di bawah naungan perhatian-Nya,
dan menjadi sarana karunia-Nya, dan tak dapat ternodai kemusyrikan dan kekufuran.
Di antara kelompok-kelompok "Aku seru Allah untuk menjadi saksi, dan Allah
cukup sebagai saksi," kelompok yang—karena berkah Ahlul Bait pembawa wahyu dan
lain, adalah kelompok Syiah Dua Belas Imam. Kitab-kitab mereka yang berisi prinsip-
prinsip iman—seperti kitab al-Kafi, dan kitab at-Tauhid karya Syaikh ash-Shaduq—dan
kata-kata serta doa-doa para Imam maksum mereka, yang, dalam mengesakan dan
memuliakan Allah SWT, merupakan topik-topik dari sumber-sumber wahyu dan inspirasi
tersebut, bersaksi bahwa ilmu-ilmu seperti itu luar biasa, tak ada tandingannya, dan
bahwa tak ada yang memuliakan dan mengagungkan Allah Ta`ala seperti pemuliaan dan
pengagungan yang dilakukan oleh mereka, setelah wahyu suci Kitab Allah, Al-Quran
Kendatipun ada fakta yang menyebutkan bahwa kaum Syiah, di semua negara dan
di segala zaman, senantiasa mengikuti para Imam maksum pembawa petunjuk dan
penjunjung tinggi tauhid, dan melalui argumen jelas dan hujah-hujah kuat, mereka
mengenal Allah, memuliakan dan mengesakan Dia, namun beberapa kelompok, yang
mereka, membuka pintu penantangan dan perlakuan buruk terhadap mereka, dan, akibat
permusuhan yang mereka pupuk di hati, menuduh para pengikut Ahlul Bait maksum
melakukan kemusyrikan dan kekufuran. Kendatipun, dalam pasar ilmu dan filsafat, ini
tak ada ada nilainya, namun efek mudharatnya adalah orang-orang yang belum
mereka jadi bodoh, hina dan rendah kualitas. Ini merupakan sebuah kejahatan serius
terhadap manusia yang tak pernah dapat diselamatkan. Mengenai topik ini, dan sesuai
dengan ukuran rasional dan religius, tanggung jawab kejahatan dan dosa kelompok
bodoh, lemah dan belum berkembang maksimal ini ada pada hati nurani orang-orang
tidak adil yang, karena kepentingan imajiner sementara mereka, mencegah tersebarnya
ilmu dan ajaran samawi, dan menjadi penyebab kondisi menyedihkan, sulit dan
menderita umat manusia, dan membuat semua upaya keras "Sebaik-baik Manusia"
(khairul basyar) jadi tak ada artinya, dan menutup pintu Rumah Wahyu dan Al-Quran
bagi manusia. "Ya Allah, kutuk dan siksalah mereka dengan kutukan dan siksaan berat."
makrifat dan kezuhudan, dan hingga "Iyyaka na`budu" surah ini meliput perjalanan
lengkap dari penciptaan sampai Allah. Ketika sang salik bergerak dari Manifestasi
Tindakan ke Manifestasi Sifat, dan kemudian ke Manifestasi Zat, dan keluar dari tabir
cahaya dan tabir gelap, dan berada dalam kondisi hadir dan menyaksikan, maka terjadilah
penghapusan sempurna (istihlak-i kulli). Bila perjalanan menuju Allah berakhir dengan
terbenamnya ufuk penghambaan dan terbitnya kedaulatan pemilikan dalam "Pemilik Hari
Pengadilan", pada akhir perjalanan spiritual ini terjadi kondisi keseimbangan, dan sang
salik kembali kepada dirinya dan menjadi arif dan memperhatikan kondisinya sendiri,
dan situasi ini adalah produk dari perhatian kepada Allah. Ini tidak seperti kondisi
kembali (ruju`) kepada Allah, karena perhatian kepada Allah merupakan produk dari
perhatian kepada makhluk. Dengan kata lain, selama perjalanan menuju Allah, dia biasa
melihat Allah dalam tabir kehidupan, dunia, fitrah dan alam semesta, dan setelah kembali
dari kondisi penghapusan atau peniadaan sempurna, yang berlangsung dalam "maliki
yaumid-din", dia melihat alam semesta dengan melihat kepada Allah, dan karena itu dia
daripada dirinya sendiri dan ibadahnya. Dan, karena dalam posisi ini bisa saja tak ada
stabilitas, dan bisa dibayangkan terjadinya ketergelinciran, maka dia meminta stabilitas
dan kekuatan dari Allah Ta`ala, sehingga dia mengucapkan: "Ihdina" yang mengandung
Mesti dicatat bahwa posisi tersebut dan penjelasan tersebut adalah untuk orang-
orang sempurna dari para ahli makrifat. Kondisi pertama mereka adalah bahwa dalam
kondisi kembali dari perjalanan menuju Allah, Dia Ta`ala menjadi tabir atau menabiri
mereka dari makhluk atau alam semesta. Dan kondisi kesempurnaan mereka adalah
kondisi barzakh (genting tanah, jembatan, semenanjung) besar, di mana alam tidak
menabiri mereka dari Allah, dan Allah tidak menabiri mereka dari alam. Karena itu,
alam (nasy'atayn), dan ia adalah jalan Allah. Karena itu, "shirathal-ladzina an`amta
`alayhim" adalah orang-orang yang kapasitas (isti`dad) mereka telah diciptakan oleh
Allah Ta`ala melalui manifestasi "Emanasi Paling Suci" dalam ilmu (hadhrat-i `ilmiyah)-
Nya, dan, setelah peniadaan sempurna, Dia mengembalikan mereka ke kerajaan mereka.
"Maghdhubi", menurut tafsir ini, adalah orang-orang yang tertabiri sebelum terjadinya
penyatuan (wushul), dan "adh-dhalin" adalah orang-orang yang lenyap dalam Eksistensi
(hadhrat).
spiritual, maka hal-hal ini tak akan terjadi pada fakta mereka, dan "jalan" mereka adalah
struktur religius nyata. Karena alasan ini maka "shirathal-mustaqim" ditafsirkan sebagai
berarti "agama", "Islam" dan seterusnya. Jika mereka itu ahli suluk (perjalanan spiritual
menuju Allah), maka yang dimaksud "petunjuk" oleh mereka adalah "ihdinash-shirat",
dan yang dimaksud "shiratal-mustaqim" oleh mereka adalah jalan terpendek untuk
mencapai Allah, yang adalah jalan Rasulullah saw dan Ahlul Bait beliau, karena para ahli
tafsir mengatakan bahwa itu artinya adalah Rasulullah, para Imam dan Amirul Mukminin
(Ali). Dalam sebuah hadis dikatakan bahwa Rasulullah saw suatu hari membuat sebuah
garis lurus di tengah dan garis-garis lain pada sisi-sisinya dan mengatakan: "Garis lurus
di tengah ini adalah aku."466 Ungkapan "ummatan wasathan" dalam ayat suci "Kami
jadikan kamu umat tengah (ummatan wasathan),"467 barangkali berarti sebuah tengah
mutlak yang mencakup semua makna, termasuk tengah dalam ilmu dan kesempurnaan-
kesempurnaan spiritual, yang adalah sebuah posisi besar barzakh dan tengah besar.
Karena alasan inilah maka posisi ini milik orang-orang sempurna dari kalangan sahabat-
sahabat Allah. Itulah sebabnya kenapa riwayat menyebutkan bahwa posisi ini adalah
posisi para Imam, sebagaimana dikatakan Imam al-Baqir kepada Yazid bin Muawiyah al-
Ijli: "Kami ini umat tengah, dan kami ini saksi Allah atas umat manusia."468 Dalam
riwayat lain, Imam juga mengatakan: "Kepada kami, kembali orang-orang yang berlebih-
lebihan (ghali), dan kepada kami, orang-orang lalai (muqashshir) merujuk."469 Dalam
Ketahuilah, Wahai yang mencari Allah dan kebenaran, bahwa ketika Allah Ta`ala
menciptakan sistem eksistensi dan bukti konklusif (bukti yang tidak diragukan
kebenarannya) (mazhahir) alam gaib dan alam kasat mata, karena cinta Esensial-Nya
untuk dikenal dalam Nama-nama dan Sifat-sifat, seperti disebutkan hadis mulia: "Aku
adalah Sesuatu yang Tersembunyi dan Luar Biasa Nilainya, kemudian Aku ingin dikenal,
lalu Aku ciptakan makhluk-makhluk,469/1 Dia menanamkan cinta natural dan kerinduan
fitri dalam personalitas atau karakter segala sesuatu, sehingga melalui daya tarik dan api
cinta itu mereka terdorong untuk mencari Kesempurnaan Mutlak dan untuk
fitri ilahiah, yang dengan cahaya ini mereka bisa menemukan jalan menuju tujuan. Api
dan cahaya ini, yang satu adalah rafraf kedatangan (wushul), dan satu lagi adalah buraq
Rasulullah saw adalah sarana (raqiqah) karunia (lathifah) ini dan potret duniawi paralel
diturunkan dari surga, yang merupakan batin (inti, esensi) dunia ini.
Karena makhluk turun dalam barisan individuasi (tindakan atau proses membuat
seseorang atau sesuatu jadi terpisah dan beda dari yang lain—penerj.) dan tertabiri dari
Keindahan Indah Sang Tercinta, Kemulian dan Kesucian Kebesaran-Nya, maka Allah
Ta`ala mengeluarkan mereka dari tabir-tabir gelap individuasi dan kondisi aku, dengan
api dan cahaya yang disebutkan di atas dan dengan nama suci "sang Pemandu", yang
adalah realitas sarana-sarana (raqayiq) ini, sehingga mereka dapat mencapai kedekatan
dengan Sang Tercinta mereka, Tujuan Riil mereka, melalui jalan tercepat. Dengan
demikian, cahaya itu adalah "petunjuk" Allah Ta`ala, sedangkan api itu adalah "asistensi"
samawi, sehingga perjalanannya adalah di jalan tercepat yang adalah "jalan lurus", karena
Allah Ta`ala berada di "jalan lurus" itu. Barangkali mengungkapkan petunjuk, perjalanan
dan tujuan ini ketika ayat ini mengatakan: Tak ada makhluk hidup kecuali Dia
memegangnya pada gombaknya, sesungguhnya Tuhanku berada di jalan yang lurus, 470
Mesti dicatat bahwa setiap eksistensi memiliki jalannya sendiri, cahaya dan
petunjuknya sendiri: "Jalan menuju Allah sebanyak napas makhluk."471 Dan, karena
dalam setiap individuasi (ta`ayyun) ada tabir kegelapan, dan dalam setiap eksistensi dan
kondisi aku ada tabir terang, dan karena manusia adalah pusat (majma`) fenomena
(ta`ayyunat) dan kolektor wujud-wujud (jami`-i wujudiyat), maka dia adalah eksistensi
yang paling tertabiri dari Allah Ta`ala. Ayat mulia, Kemudian Kami reduksi dia menjadi
yang paling rendah di antara yang rendah,472 barangkali mengungkapkan poin ini.
Karena alasan ini, maka jalan umat manusia adalah jalan paling panjang dan paling gelap
di antara semua jalan. Dan, karena "Tuhan"-nya manusia adalah Nama Teragung Allah,
yang bagi-Nya yang lahir, yang batin, yang pertama, yang terakhir, rahmat, kekuatan, dan
pada umumnya nama-nama berlawanan, semuanya sama. Manusia sendiri harus melewati
fase barzakh besar pada akhir perjalanannya, dan inilah alasan kenapa "jalan"-nya adalah
Seperti sudah disebutkan dan diketahui, ada fase-fase dan level-level untuk
petunjuk terkait dengan jenis-jenis perjalanan para penempuh jalan menuju Allah dan
fase-fase suluk para salik. Sebagian fase ini akan dipaparkan secara ringkas, sehingga,
sementara "jalan lurus", "jalan kaum ekstrem" (shirat-i mufrithin) dan "jalan kaum
berlebihan" (shirath-i mufarrithin), yang adalah orang-orang yang "dibebani amarah" dan
Pertama adalah bahwa cahaya bimbingan atau petunjuk itu natural, esensial,
integral atau fitri, seperti sudah dijelaskan dalam "catatan" sebelumnya. Dalam fase
bimbingan atau petunjuk ini, "jalan lurus" adalah suluk menuju Allah tanpa adanya tabir
kasat mata atau gaib, atau ia adalah suluk menuju Allah tanpa tertabiri raga atau dosa-
dosa hati, atau ia adalah suluk menuju Allah tanpa tabir ketunggalan atau keserbaragaman
(multiplisitas, katsrat). Barangkali ayat, Dia menyebabkan sesat siapa yang Dia
bimbingan ini dan tabir-tabir yang diatur dalam Takdir (hadhrat-i qadar), yang bagi kita
permanen (hadharat-i a`yan-i tsabitah). Namun membahas lebih lanjut topik ini
bukanlah kapasitas buku ini, atau bahkan di luar batas-batas penulisannya: "Ia adalah
Kedua adalah bimbingan lewat cahaya Al-Quran, dan pada sisi lawannya adalah
kealpaan, atau berhenti di sisi luarnya atau sisi dalamnya, seperti dipercaya sebagian
kaum formalis bahwa Ilmu-ilmu Al-Quran adalah makna-makna umum dan sangat
keyakinan ini, mereka tidak melakukan perenungan atau pemikiran tentang Al-Quran.
Apa yang mereka dapatkan dari Kitab pembawa cahaya ini—yang menjamin
kebahagiaan spiritual, raga, hati dan formal manusia—hanya sebatas petunjuk atau ajaran
formal dan lahiriahnya saja. Mereka mengabaikan semua ayat yang menyuruh atau
cahayanya, melalui ini semua dapat dibuka banyak pintu ilmu. Nampaknya Al-Quran
kenikmatan duniawi dan kebutuhan hewani, dan sekadar untuk menguatkan posisi hasrat
hewani.
Sebagian kaum esoteris (ahli batin) berpendapat bahwa mereka harus berpaling
dari makna lahiriah Al-Quran beserta seruan formalnya—yang merupakan perintah atau
mereka sadari dan tidak mereka indahkan. Mereka menyimpang dari lahiriah Al-Quran,
karena diperdaya oleh trik Iblis terkutuk dan jiwa yang mengajak kepada dosa, dan
lahirnya.
Kedua kelompok ini tidak seimbang dan tidak memiliki cahaya bimbingan
menuju jalan lurus Al-Quran, dan keduanya sama-sama ekstrem. Para pakar yang
mengedepankan studi metodis dan saksama mesti memperhatikan sisi lahir dan sisi batin
dan mengikuti disiplin formal dan disiplin spiritual, menerangi sisi lahir dengan cahaya
Al-Quran, dan menerangi sisi batin dengan cahaya ilmu, monoteisme dan abstraksi.
Hendaknya ahli literalisme (ahl-i zhahir) tahu bahwa membatasi Al-Quran pada
disiplin-disiplin bentuk-bentuk lahir dan sedikit perintah atau ajaran moral praktis dan
memandang tidak sempurna syariat yang dibawa Penutup Para Nabi saw, padahal tak ada
syariat yang bisa dipandang lebih sempurna daripada syariat yang dibawa Rasulullah saw,
karena kalau tidak sempurna, maka "penutup" tersebut merupakan sesuatu yang tidak
mungkin terjadi, bila dilihat dengan ukuran keadilan. Maka dari itu, karena syariat Islam
adalah penutup hukum Allah, dan karena Al-Quran adalah penutup kitab-kitab wahyu,
maka hubungan terakhir antara Pencipta dan makhluk, fakta-fakta tauhid, abstraksi dan
ilmu samawi, yang merupakan tujuan awal dan tujuan esensial agama-agama dan hukum-
hukum Allah serta kitab-kitab wahyu, mesti merepresentasikan fase terakhir dan puncak
tertinggi kesempurnaan, atau kalau tidak maka berarti syariat ini memiliki kekurangan,
dan bila situasinya seperti ini maka ini bertentangan dengan keadilan Allah dan
kemurahan hati Tuhan, dan kondisi ini sendiri merupakan kemustahilan dan aib, yang tak
min dzalik!
Penting untuk diketahui oleh ahli batin bahwa mencapai tujuan awal, tujuan sejati,
tak lain adalah menyucikan lahir dan batin, dan tanpa mengikuti bentuk lahir dan bentuk
batin, maka batin tak dapat dicapai. Tanpa mengenakan busana bentuk lahiriah syariat,
maka tak bisa didapat jalan untuk mencapai batin. Karena itu, mengabaikan lahir berarti
meniadakan nilai atau kekuatan legal lahir dan batin syariat Allah. Inilah salah satu
muslihat setan dari kalangan jin dan manusia. Beberapa aspek poin ini sudah dibahas
dalam buku kami, Penjelasan Empat Puluh Hadis, seperti sudah disebutkan sebelumnya.
monoteisme.
Tiap-tiap fase ini memiliki ekstrem lebih (ifrath) dan ekstrem kurang (tafrith),
menyebutkan: "... Kami, para keturunan Muhammad, adalah orang-orang yang bersahaja.
Kaum ekstremis (ghali) tak akan memahami kami, sedangkan pengikut (tali) tak akan
melampaui kami."475 Dalam sebuah hadis dari Nabi saw dikatakan: "Sebaik-baik umat ini
adalah yang bersahaja, sehingga para pengikut dapat menyusulnya, dan kaum ekstremis
kembali kepadanya."476
Ketahuilah bahwa untuk setiap eksistensi di alam gaib dan alam kasat mata, dan
di dunia ini dan akhirat, ada awal (mabda') dan ada tujuan (ma`ad). Kendatipun Identitas
(huwiyat) ilahiah adalah awal dan tujuan (marja`) semua (eksistensi), namun Esensi Suci
Allah SWT tak akan bisa dilihat dengan jelas oleh eksistensi tinggi dan eksistensi rendah
tanpa adanya tabir Nama-nama. Berdasarkan kondisi ini, yang merupakan sebuah tiada-
kondisi (lamaqami) yang tak ada nama dan tak ada bentuk, dan tidak disifati dengan
Nama-nama Zat, Sifat-sifat dan Tindakan-tindakan, tak ada makhluk yang berhubungan
dengan-Nya, juga tak ada pertalian atau sangkut paut: "Mana mungkin ada perbandingan
antara debu dan Tuhan alam semesta!"476/1—Detail-detail ini sudah dibahas dalam karya
kami, Misbahul Hidayah. Karena itu, kondisi pertama (mabda'iyat) dan kondisi orisinal
(mashdariyat) Zat Suci-Nya berada dalam tabir-tabir Nama-nama, dan karena Nama
adalah yang diidentifikasi dengan Nama, maka pada saat bersamaan ia adalah juga
tabirnya. Karena itu, manifestasi di alam gaib dan alam kasat mata sesuai dengan Nama-
nama dan ditabiri oleh mereka. Karena alasan ini maka Zat Suci-Nya memiliki, dalam
a`yan tsabitah). Karena itu, setiap manifestasi nominal (tajalli) dalam Ilmu-Nya
membutuhkan entitas atau wujud permanen, dan setiap Nama memiliki, berkat kekuatan
karakter (ta`ayyun) Ilmu-Nya, di dunia lahir, manifestasi (mazhhar) yang awal dan
akhirnya adalah Nama yang sama yang pas untuknya; sedangkan kembalinya setiap
eksistensi dari dunia keserbaragaman ke kondisi tersembunyi Nama yang adalah sumber
dan awalnya, adalah "jalan lurus"-nya. Karena itu, setiap eksistensi mau tak mau
memiliki perjalanan khusus dan jalan khusus, di samping awal dan akhir yang tak
ketinggian (a`ala `illiyin) adalah koleksi Nama-nama (jam'-i asma'i). Karena alasan
inilah maka dia tereduksi ke dasar kerendahan (asfal-i safilin), dan "jalan"-nya dimulai
dari dasar kerendahan dan berakhir di puncak ketinggian. Ia adalah jalannya orang-orang
yang dianugerahi oleh Allah nikmat sempurna, nikmat koleksi sempurna Nama-nama,
yang adalah puncak nikmat samawi. Jalan-jalan lain, apakah itu jalan-jalan orang-orang
yang bahagia (su`ada') dan "orang-orang yang diberi nikmat" (mun`amun `alaihim), atau
jalan-jalan orang-orang yang keji (asyqiya'), berada di ujung sikap berlebihan atau di
ujung sikap lalai, sesuai dengan tingkat kelangkaan Nikmat Sempurna di jalan-jalan
bersangkutan. Karena itu, jalan orang sempurna saja yang merupakan jalan orang-orang
yang mendapat nikmat sempurna. Jalan ini pada awalnya diperuntukkan bagi person suci
Penutup Para Nabi saw, dan secara simultan (bittaba`iyah) jalan ini disahkan untuk
orang-orang suci (auliya') dan nabi-nabi lain. Untuk memahami pembicaraan ini, dan
(kaitannya dengan) fakta bahwa Nabi murah hati adalah Nabi Terakhir, maka dibutuhkan
nikmat-nikmat Allah terlalu banyak untuk dihitung, sebagaimana firman Allah: Dan jika
kamu hitung nikmat-nikmat Allah, kamu tak akan mampu menghitungnya,477 namun yang
jelas nikmat Allah itu ada dua macam: nikmat-nikmat duniawi dan nikmat-nikmat
akhirat. Tiap-tiap nikmat ada yang natural (didapat sejak lahir) dan ada yang didapat
melalui perjuangan, dan tiap-tiap nikmat ada yang spiritual dan ada yang ragawi. Karena
Pertama: nikmat duniawi, natural dan spiritual, seperti peniupan ruh dan
Kedua: nikmat duniawi, natural dan ragawi, seperti penciptaan organ-organ dan
kekuatan-kekuatannya.
mengosongkan diri dari urusan rendah, dan menghiasi diri dengan moral suci dan
kemampuan tinggi.
Kelima: nikmat akhirat, natural dan spiritual, seperti pengampunan dosa-dosa kita
oleh-Nya, dan keridhaan-Nya kepada orang-orang yang sudah bertobat. Inilah teks persis
Syaikh dalam ilustrasi ini. Nampaknya bahwa itu adalah kekeliruan dari pihak si
penyalin. Barangkali dia bermaksud mengatakan bahwa Allah Ta`ala bisa saja
Keenam: nikmat akhirat, natural dan ragawi, seperti sungai susu dan sungai madu.
ampunan dan keridhaan (Allah) yang didahului dengan tobat, dan kenikmatan spiritual
Kedelapan: nikmat akhirat, yang didapat melalui perjuangan, dan ragawi, seperti
Nikmat yang dimaksud di sini adalah empat jenis terakhir dan apa yang menjadi
sarana untuk mendapatkan jenis-jenis ini dari empat jenis pertama.478 (Akhir pembahasan
Syaikh.)
Meskipun menarik klasifikasi yang dibuat oleh Syaikh, namun Syaikh telah
melakukan kesalahan kecil tak disengaja, yaitu berkenaan dengan salah satu nikmat Allah
terpenting, tujuan utama Kitab Allah yang mulia. Syaikh mencukupkan diri dengan
didapat melalui tindak-tindak ibadah adalah porsi golongan standar, jika bukan porsi
kenikmatan hewani dan porsi-porsi jiwa, ada nikmat-nikmat lain, tiga di antaranya
penting:
Yang pertama adalah nikmat mengenal Zat dan Ketunggalan Zat, yang prinsip
atau basisnya adalah suluk menuju Allah, dan produknya adalah surga pertemuan (dengan
Allah). Tetapi jika perhatian sang salik tertuju ke produk, maka dalam suluk-nya akan
terjadi kegagalan untuk memenuhi kewajiban, karena hal ini adalah kondisi
berarti memperhatikan diri, dan ini berarti menyembah diri, bukan menyembah Allah. Ini
adalah multiplikasi (taktsir), bukan penyatuan (tauhid). Ini adalah kamuflase (setan),
bukan abstraksi.
dihitung sendiri-sendiri, maka akan berjumlah seribu, dan jika dihitung dalam gabungan
dua-nama atau banyak-namanya, maka tak dapat dihitung. Dan jika kamu menghitung
dalam kondisi ini, adalah nikmat mengenal Nama Teragung, yang adalah kondisi
nama adalah surga Nama-nama, (karena) tiap person sesuai dengan pengenalannya akan
banyak sekali cabang. Kondisi tauhid dalam fase ini adalah Kesatuan Kolektif
Manifestasi yang terjadi pada Musa bin Imran ketika dia mengatakan: Aku melihat api,480
barangkali merupakan sebuah Manifestasi Tindakan-tindakan, dan firman Allah Ta`ala:
hancur menjadi debu, dan Musa jatuh pingsan,481 adalah sebuah Manifestasi Nama-nama
atau Zat.
Karena itu, jalan orang-orang "yang diberi nikmat", yang pertama adalah "jalan"
perjalanan menuju Zat Allah, dan "nikmat" dalam kejadian atau kasus itu adalah
Manifestasi Zat. Dan yang kedua, "jalan" adalah suluk menuju Nama-nama Allah,
sedangkan "nikmat" dalam kejadian itu adalah Manifestasi Nama-nama. Dan yang ketiga,
surga dan kesenangan-kesenangan yang lazim, entah itu spiritual atau ragawi. Kondisi-
kondisi ini, menurut beberapa riwayat, diabsahkan untuk sebagian orang beriman.482
Kesimpulan
eksistensi, juga memuat semua fase suluk dan, selanjutnya, berisi—melalui sindiran,
sempurna dan logika yang lain, namun mengungkapkan masing-masingnya bukannya tak
ada manfaatnya, atau bahkan banyak manfaatnya bagi ahli makrifat dan ahli yakin.
Maka dari itu, pertama-tama kami katakan bahwa bisa saja bahwa "bismillahir-
rahmanir-rahim" mengindikasikan lingkaran lengkap eksistensi dan dua busur turun dan
naik. Maka dari itu, "Ism Allah" adalah kondisi Ketunggalan "kontraksi dan ekspansi"
yang merupakan busur naik. "Alhamdu lillah" barangkali mengungkapkan alam Kekuatan
(`alam-i jabarut) dan kerajaan Lebih Tinggi, yang realitas-realitasnya adalah pujian-
pujian mutlak. "Rabbul `alamin" yang terkait "pendidikan dan "alam-alam", yang
natural yang, karena substansi zat, bergerak dan berada di bawah pendidikan. "Maliki
kembalinya lingkaran eksistensi. Sampai di sini lingkaran penuh eksistensi, yang turun
Yang kedua kami katakan bahwa isti`adzah, yang merupakan sebuah aksi yang
setan. Dan karena ini adalah fase persiapan menuju kondisi-kondisi lain, bukan bagian
sendiri bukanlah kondisi sempurna—karena itu isti`adzah bukanlah bagian dari surah,
Ketunggalan Zat, dan dari "iyyaka na`budu" dimulailah kondisi ketenangan hati dan
kondisi kembali. Dengan kata lain, isti`adzah adalah sebuah perjalanan dari makhluk
sampai "rabbil `alamin" mengungkapkan perjalanan dari Allah, melalui Allah dan dalam
Allah. Perjalanan ini berakhir dengan "Maliki yaumid-din". Dalam "iyyaka na`budu"
perjalanan dari Allah menuju makhluk dimulai dengan pencapaian kondisi ketenangan
hati dan kondisi kembali. Perjalanan ini berakhir dengan "ihdinash-shirathal mustaqim".
Yang ketiga kami katakan bahwa surah mulia ini memuat maksud-maksud utama
hubungan antara Allah dan makhluk, bagaimana perjalanan menuju Allah, kembalinya
dan sendiri-sendiri (tafshil-an), secara spesifik (fard-an) dan secara gabungan (tarkib-an),
menunjukkan jalan bagi makhluk, dalam suluk dan dalam realisasi (tahaqquq-an), dan
mengajarkan kepada hamba di bidang ilmu, praktik, makrifat dan visi. Semua fakta ini
Karena itu, surah mulia ini adalah "Pembukaan Kitab", "Induk Kitab" dan bentuk
umum maksud dan tujuan Al-Quran. Dan karena semua tujuan dan maksud Kitab Suci
kembali ke satu tujuan, yaitu kebenaran monoteisme, yang menjadi sasaran semua
kenabian dan tujuan puncak semua nabi agung, dan kebenaran-kebenaran serta rahasia-
rahasia monoteisme termuat dalam ayat mulia bismillah, maka ayat mulia ini adalah ayat
teragung Allah dan mengandung semua tujuan Kitab Allah, sebagaimana dikuatkan oleh
hadis mulia.483 Karena "ba" adalah manifestasi tauhid, sedangkan titik di bawah "ba"
adalah rahasianya, maka seluruh kitab suci ini, lahir dan batinnya, berada dalam "ba" itu.
Dan manusia sempurna, yaitu person suci Ali, adalah titik rahasia tauhid itu.485 Tak ada
ayat di dunia ini yang lebih penting daripada person suci itu setelah Penutup Para Rasul
Penyempurnaan
Beberapa riwayat mulia bertutur tentang keutamaan (fadhl) surah suci ini:
Rasulullah saw dikutip mengatakan kepada Jabir bin Abdullah al-Anshari: "Wahai
Jabir, apakah engkau mau kalau aku mengajarkan kepadamu surah paling utama yang
diwahyukan oleh Allah dalam Kitab-Nya?" Jabir menjawab: "Mau, mau, semoga ayah
dan ibuku menjadi tebusan bagi Anda. Ya Rasulullah, ajari aku." Kemudian Rasulullah
saw mengajari Jabir Surah al-Hamd (al-Fatihah), Induk Kitab. Rasul saw berkata: "Wahai
Jabir, apakah engkau tidak mau kalau aku sampaikan kepadamu tentangnya?" "Aku mau.
Semoga ayah dan ibuku menjadi tebusan bagi Anda. Ya Rasulullah, katakan," kata Jabir.
"Ia adalah penyembuh untuk setiap penyakit kecuali kematian," kata Rasul saw.487
Ibn Abbas meriwayatkan bahwa Rasul saw pernah bersabda: "Untuk segala
sesuatu ada fondasinya. Fondasi Al-Quran adalah (Surah) al-Fatihah, sedangkan fondasi
Rasul saw juga dikutip mengatakan: "(Surah) Pembukaan (al-Fatihah) Kitab (Al-
Imam Ja`far ash-Shadiq dikutip mengatakan bahwa jika Surah al-Fatihah tidak
Imam Ali dikutip mengatakan bahwa Rasulullah saw bersabda: "Allah Ta`ala
berkata kepadaku: `Wahai Muhammad, Kami telah beri kamu sab`ul matsani (nama lain
untuk Surah al-Fatihah) dan Al-Quran agung."491 Aku mendapat penghargaan berupa
nikmat al-Fatihah Kitab, yang ditempatkan selevel dengan Al-Quran. Sesungguhnya al-
Fatihah Kitab adalah sesuatu yang paling terhormat dalam khazanah-khazanah Arsy, dan
lain tak ada yang mendapatkan anugerah kemuliaan ini, kecuali Sulaiman, yang
seperti kata Bilqis: "Sepucuk surat terhormat dilayangkan kepadaku. Surat itu dari
disukai ketimbang dunia keseluruhannya dan apa pun yang ada di dalamnya dari beragam
jenis aset dan kebaikan. Barangsiapa mendengarkannya, saat ia dibaca, maka dia akan
mendapatkan sepertiga dari apa yang diberikan kepada pembacanya. Maka hendaknya
tiap-tiap orang di antara kamu meningkatkan porsinya dalam berkah dan rahmat yang
diberikan kepadanya, karena ia adalah peluang yang tak boleh kamu terlambat
dibaca tujuh puluh kali atas seseorang yang sudah mati, maka ia akan kembali hidup."494
Kitab, maka dia akan mendapatkah pahalanya membaca dua pertiga Al-Quran."495
Fatihah. Beliau berkata: Demi Dia yang di Tangan-Nya jiwaku, Allah tidak mewahyukan
dalam Taurat, juga tidak dalam Injil, Zabur atau Al-Quran sebuah surah seperti Fatihatul
Kitab. Ia adalah ummul kitab (Induk Kitab) dan as-sab`ul matsani (tujuh [ayat] yang
diulang). Ia dibagi antara Allah dan hamba-Nya, dan bagi hamba-Nya untuk meminta apa
bersabda: "Allah Ta`ala hendak menurunkan azab tak terelakkan kepada sebuah bangsa.
Kemudian salah seorang anak bangsa itu membaca `alhamdu lillah rabbil `alamin' dalam
Kitab Allah. Mendengar ini, Allah Ta`ala menunda mengazab mereka selama empat
puluh tahun."498
Ibn Abbas berkata bahwa suatu hari mereka duduk bersama Rasulullah saw. Pada
saat itulah datang satu malaikat. Malaikat ini berkata: "Kabar gembira bagimu berkenaan
dengan dua cahaya yang telah diberikan kepadamu, dan tak pernah diberikan kepada
nabi-nabi sebelummu. Dua cahaya itu adalah "Fatihatul Kitab" dan segel-segel Surah al-
Baqarah. Tak ada yang membaca satu katanya kecuali permohonannya dikabulkan."499
Riwayat ini juga dikutip dalam al-Majma`, dengan isinya yang nyaris sama.500