You are on page 1of 63

Hadis dan Studi Sistematis

Ketahuilah bahwa penulis, ulama dan kaum formalis (orang-orang yang

memperlakukan atau memandang sesuatu dalam bentuk tradisionalnya—penerj.)

mengatakan bahwa "pujian" (hamd) yang diucapkan lidah merupakan rasa terima kasih

(tsana') lidah atas karunia murah hati (jamil). Dan karena mereka tidak mengetahui

semua lidah kecuali lidah daging ini, maka mereka menganggap semua tindakan memuji

dan tindakan mengagungkan Allah, atau bahkan semua kata-kata Zat Suci, sebagai

ungkapan metaforis atau kiasan. Itulah sebabnya mereka melihat atau menafsirkan kata-

kata Allah sebagai penciptaan kata-kata, sedangkan terhadap pujian dan pengagungan

yang dipanjatkan makhluk kepada Tuhan, mereka menafsirkannya sebagai sifat

pembawaan (takwini) dan sifat yang melekat pada dirinya (dzati). Mereka mengira bahwa

berbicara itu hanya untuk spesies mereka sendiri. Mereka menganggap bahwa Zat Suci

Allah Ta`ala dan eksistensi-eksistensi lain tak bisa bicara, atau bahkan mereka—na`udzu

billah—bisu. Mereka memahami ini sebagai mengungkapkan kesucian Zat Suci, padahal

ini merupakan keterbatasan (tahdid), atau bahkan gangguan (ta`thil), sedangkan Allah

bersih dari kesucian seperti itu, karena kebanyakan pengagungan yang dipanjatkan orang

kebanyakan merupakan pembatasan dan asimilasi (tasybih). Kami sudah menjelaskan

bagaimana kata-kata diciptakan untuk makna umum dan makna mutlak. Kini kami

tambahkan: Namun kami tidak ingin menegaskan bahwa di bawah fakta-fakta

terminologi bahasa maka fakta-fakta ilahiah tak terelakkan akan seperti yang diharapkan,

karena akurasi, kesempurnaan atau kebenaran aplikasi (ithlaq) dan realitas intelektual

merupakan standar, prinsip, norma atau kondisi dalam diskusi sebelumnya, sekalipun

fakta bahasa diperlihatkan kebenaran atau eksistensinya, seperti dirumuskan diskusi


sebelumnya. Karena itu kami katakan bahwa bahasa, kata-kata, tulisan, buku, pujian dan

berterima kasih beragam levelnya sesuai dengan perkembangan eksistensial (nasya'at-i

wujudiyah), karena masing-masing sesuai dengan perkembangan dan levelnya sendiri.

Dan pujian (hamd), dalam setiap kejadiannya, adalah untuk kebaikan hati (jamil),

sedangkan pengagungan (madh) adalah untuk keindahan dan kesempurnaan. Karena itu,

ketika Allah Ta`ala, sesuai pengetahuan-Nya tentang diri-Nya sendiri (`ilm-i dzati),

melihat dalam Identitas (huwiyat) gaib Keindahan Indah-Nya, dalam level mengetahui

dan melihat amat sangat dan paling sempurna, Dia sangat senang (mubtahij) melihat Zat

Indah-Nya, dan rasa senang ini pada levelnya yang amat sangat dan paling puncak

(ibtihaj). Karena itu Dia menampakkan dalam manifestasi abadi dan pada level paling

tinggi manifestasi dalam Zat (hadhrat-i dzat) untuk Zat. Manifestasi dan penyingkapan

misteri gaib dan "argumen Diri" (muqari`a-i dzatiyah) ini adalah sebuah "Suara Diri

(kalam-i dzati) yang terjadi dengan lidah Zat dalam Kegaiban (hadhrat-1 ghaib).

Menyaksikan manifestasi verbal ini berarti mendengar Zat. Pujian Zat untuk Zat Allah ini

adalah pujian Allah yang tak mungkin mampu dimengerti makhluk sedemikian sehingga

person suci Penutup Para Nabi, insan paling mulia dan paling dekat dengan Allah,

mengaku tidak mampu dan mengatakan: "Aku tak mampu menyebutkan satu demi satu

pujian untuk-Mu, Engkau adalah sebagaimana Engkau memuji diri-Mu sendiri."422

Diakui bahwa menyebutkan satu demi satu pujian merupakan cabang dari mengetahui

Kesempurnaan dan Keindahan, namun karena tidaklah mungkin mengetahui dengan

sempurna Keindahan sempurna dan mutlak, maka pujian sejati tak mungkin bisa

dilakukan. Pengetahuan paling tinggi (ma`rifat) ahli makrifat mengaku tidak mampu.
Ahli makrifat mengatakan bahwa Allah Ta`ala memuji dan mengagungkan diri-

Nya sendiri dengan lima lidah: lidah Zat itu sendiri, lidah Ketunggalan Gaib (ahadiyat-i

ghaib), lidah Ketunggalan Kolektif (wahidiyat-i jam`iyah), lidah Nama-nama Individual

(asma'-i tafshiliyah) dan lidah entitas-entitas (a`yan). Ini semua bukanlah lidah kondisi

nyata, yang pertama dari antaranya adalah lidah Kehendak (masyiyat), sampai akhir

posisi individuasi (tindakan atau proses membuat seseorang atau sesuatu terpisah dan

beda dari yang lain—penerj.), yang merupakan lidah keserbaragaman eksistensial.

Ketahuilah bahwa semua eksistensi memiliki satu porsi, atau bahkan porsi-porsi,

di dunia gaib, yang adalah kehidupan di Rumah Eksistensi. Topik ini terlihat kebenaran

atau realitasnya oleh ahli filsafat tinggi lewat hujah-hujah, dan terlihat oleh ahli hati dan

ahli makrifat lewat penyaksian. Ayat-ayat ilahiah mulia dan hadis-hadis para penjaga

wahyu mengungkapkannya dengan sangat eksplisit, jelas dan tegas. Ahli filsafat umum

dan ahli literalisme yang tertabiri, yang tak dapat memahami bahasa eksistensi-eksistensi

ini, menggunakan interpretasi, rasionalisasi atau apologi. Sangat aneh sekali kalau ahli

literalisme (orang-orang yang mengikuti makna eksplisit—penerj.), yang tidak

mempercayai ahli filsafat yang dianggap menafsirkan Kitab Allah menurut pemahaman

sendiri, justru dalam hal ini melakukan interpretasi atas sedemikian banyak ayat

muhkamat (sangat jelas makna atau maksudnya sehingga tak mungkin disalahpahami—

penerj.) dan hadis-hadis sahih, hanya karena mereka tidak dapat memahami kata-kata

eksistensi, bahkan tanpa hujah yang bisa mereka akses. Karena itu mereka menafsirkan

Al-Quran tanpa hujah dan hanya karena ragu-ragu (istib`ad). Bagaimanapun juga, Rumah

Eksistensi adalah sumber kehidupan dan realitas pemahaman dan kesadaran. Pemuliaan

dan pengagungan yang dilakukan makhluk, sifatnya kata-kata, dilakukan dengan sadar
dan karena keinginan, bukan produk dari gen (plasma pembawa sifat—penerj.), bukan

bawaan dari lahir, seperti diklaim oleh orang-orang yang tertabiri. Semua eksistensi

mengenal posisi (maqam) Allah SWT sesuai porsi eksistensi mereka. Nah, karena tak ada

eksistensi (makhluk) yang lebih sibuk dengan kondisi natural dan orisinal dan lebih

memperturutkan hati dalam keserbaragaman (multiplisitas) daripada manusia, maka

manusia lebih tertabiri dibanding makhluk lain, kecuali kalau manusia melepaskan

pakaian manusiawinya, dan menerobos tabir keserbaragaman dan tabir kondisi lain,

sehingga dia bisa melihat Keindahan dari Yang Indah, yang dalam situasi ini pujian dan

pemuliaan yang dipanjatkan akan lebih lengkap dibanding segala pujian dan pemuliaan,

dan dia akan menyembah, memuja dan beribadah kepada Allah dengan segenap urusan

atau situasi ilahiah-Nya dan segenap Nama dan Sifat-Nya.

Kesimpulan

Ketahuilah bahwa kalimat mulia, "al-hamdu lillah" ("Segala puji bagi Allah"),

seperti yang sudah dipaparkan, adalah kalimat yang meliputi segalanya. Dan jika dengan

segenap kelezatan, realitas dan kebenarannya dia memuji Allah, maka dia akan

melakukan apa yang maksimal yang bisa dilakukan oleh seorang manusia. Karena itu

hadis-hadis mulia mengungkapkannya. Diriwayatkan bahwa Imam al-Baqir suatu ketika

keluar dari rumah dan mendapati ternyata hewan tunggangannya sudah tak ada di tempat.

Imam berkata: "Seandainya aku temukan hewan tunggangan itu, aku akan memuji Allah

dengan pujian yang sepatutnya." Saat hewan tunggangannya ditemukan, Imam naik ke

atas hewan itu, merapikan pakaiannya, dan kemudian berkata: "Alhamdu lillah" ("Segala

puji bagi Allah").423 Rasulullah saw dikutip bersabda: "La ilaha illallah (`Tak ada tuhan

kecuali Allah') adalah separo timbangan, sedangkan alhamdu lillah (`Segala puji bagi
Allah') adalah separo lainnya."424 Ini karena apa yang sudah kami paparkan bahwa

alhamdu lillah (segala puji bagi Allah) meliputi monoteisme (kepercayaan bahwa hanya

ada satu Tuhan) juga.

Rasulullah saw juga dikutip bersabda: "Ucapan hamba: `Alhamdu lillah (segala

puji bagi Allah) lebih berat dalam timbangan-Nya dibanding tujuh langit dan tujuh

bumi."425 Rasul juga dikutip mengatakan: "Jika Allah memberikan kepada salah seorang

hamba-Nya dunia beserta segenap isinya, dan kemudian hamba itu mengucapkan:

`Alhamdu lillah' (`segala puji bagi Allah'), maka ucapan itu akan lebih baik dibanding apa

yang telah diterimanya."426 Rasul juga dikutip mengatakan: "Tak ada yang lebih disukai

oleh Allah daripada ucapan: `Alhamdu lillah' (`segala puji bagi Allah'), karena Allah

sendiri sedemikian memuji diri-Nya."427 Banyak hadis seperti ini.

***

Allah Ta`ala berfirman: "Rabbil `Alamin" (Tuhan alam semesta). Jika "rabb"

berarti: "Yang Mahatinggi" (muta`ali), "Yang Konstan" (tsabit) dan "Tuan" (sayyid),

maka kata itu adalah Nama Zat. Jika artinya: "Pemilik" (malik), "Pengendali" (shahib),

"Penakluk" (ghalib) dan "Yang Sempurna, Tak Terbatas atau Universal Kuasa dan

Otoritas-Nya" (qahir), maka kata itu adalah Nama atributif. Jika artinya: "Pendidik"

(murabbi), "Pendukung, Patron" (mun`im), dan "Penyempurna" (mutammim), maka kata

itu adalah Nama Tindakan.

"Al-`alamin" ("semesta alam"), jika artinya: "Segala sesuatu selain Allah", yang

meliputi semua fase eksistensi dan level-level (manazil) alam gaib dan alam lahir, maka

"rabb" berarti Nama Sifat. Jika "alam" adalah "alam lahir" (`alam-i mulk), yang

berangsur-angsur kejadian dan pencapaian kesempurnaannya, maka "rabb" berarti Nama


Tindakan. Bagaimanapun juga, di sini tidak berarti Nama Zat. Barangkali, dari sudut

pandang tertentu, "`alamin" mengungkapkan alam-alam lahir, yang mencapai

kesempurnaannya yang pantas melalui manajemen (instruksi = tamsyiyat) dan pendidikan

(tarbiyat) ilahiah. Dalam situasi seperti ini, kata "rabb" mengandung arti pendidik, yang

merupakan salah satu Nama Tindakan.

Ketahuilah bahwa dalam buku ini kami tidak menjelaskan aspek bahasa, aspek

sastra dan aspek struktur ayat, karena aspek-aspek ini sudah banyak dibahas oleh penulis

lain. Poin-poin tertentu yang belum dikaji sama sekali, atau yang pengkajiannya belum

akurat, akan kami bahas dengan semestinya.

Penting untuk dicatat bahwa Nama-nama Zat, Nama-nama Sifat dan Nama-nama

Tindakan, yang sudah diungkapkan, adalah seperti yang diungkapkan oleh ahli-ahli

makrifat. Seorang terpelajar dari kalangan ahli makrifat, dalam Insya' ad-Dawa'ir,

membagi Nama-nama menjadi: Nama-Nama Zat, Nama-nama Sifat dan Nama-nama

Tindakan. Dia mengatakan:

"Nama-nama Zat adalah: Allah, ar-Rabb (Tuhan), al-Malik (Raja), al-Quddus

(Suci), as-Salam (Damai), al-Mu'min (Setia), al-Muhaymin (Pelindung), al-`Aziz

(Mahakuasa), al-Jabbar (Tertinggi), al-Mutakabbir (Tinggi Hati), al-`Ali (Mulia), al-

`Azhim (Mahahebat), azh-Zhahir (Yang Lahir), al-Bathin (Yang Batin), al-Awwal (Yang

Awal), al-Akhir (Yang Akhir), al-Kabir (Yang Besar), al-Jalil (Yang Penuh Keagungan),

al-Majid (Yang Mulia), al-Haqq (Yang Benar), al-Mubin (Yang Nyata), al-Wajid

(Penemu), al-Majid (Yang Mulia), ash-Shamad (Tempat Perlindungan Abadi), al-

Muta`ali (Yang Mahatinggi), al-Ghani (Yang Mahakaya), an-Nur (Cahaya), al-Warits


(Yang Mewarisi), Dzul-Jalal (Pemilik Kekuasaan Tertinggi), dan ar-Raqib (Yang

Memperhatikan).

Nama-nama Sifat adalah: al-Haiy (Yang Hidup), asy-Syakur (Yang Bersyukur),

al-Qahhar (Yang Menaklukkan), al-Qahir (Yang Menundukkan), al-Muqtadir (Yang Tak

Terbatas Kekuasaan-Nya), al-Qawiy (Yang Kuat), al-Qadir (Yang Mampu), ar-Rahman

(Yang Pengasih), ar-Rahim (Yang Penyayang), al-Karim (Yang Pemurah), al-Ghaffar

(Pengampun), al-Ghafur (Yang Mengampuni), al-Wadud (Yang Penuh Kasih Sayang),

ar-Ra'uf (Yang Sangat Merasa Kasihan), al-Halim (Yang Penyayang), ash-Shabur (Yang

Sabar), al-Barr (Yang Budiman), al-`Alim (Yang Mahatahu), al-Khabir (Yang Tahu), al-

Muhshi (Yang Menghitung), al-Hakim (Yang Arif), asy-Syahid (Yang Menyaksikan), as-

Sami` (Yang Mendengar) dan al-Bashir (Yang Melihat).

Nama-nama Tindakan adalah: al-Mubdi' (Yang Memulai), al-Wakil (Yang

Melindungi), al-Ba`itsh (Yang Membangkitkan), al-Mujib (Yang Tanggap), al-Wasi`

(Yang Luas), al-Hasib (Yang Memperhitungkan), al-Muqit (Yang Membantu

Pertumbuhan dan Perkembangan), al-Hafizh (Yang Menjaga), al-Khaliq (Pencipta), al-

Bari' (Pembuat), al-Mushawwir (Yang Membentuk), al-Wahhab (Pemberi), ar-Razzaq

(Yang Memberikan Sarana Pendukung bagi Makhluk), al-Fattah (Yang Membuka), al-

Qabidh (Yang Menahan), al-Basith (Yang Memberikan, Yang Mendistribusikan), al-

Khafidh (Yang Menghinakan), ar-Rafi` (Yang Meninggikan), al-Mu`izz (Yang

Memuliakan), al-Mudzill (Yang Menghinakan), al-Hakim (Yang Arif), al-`Adl (Yang

Adil), al-Lathif (Yang Halus, Yang Tajam), al-Mu`id (Yang Memperbaiki), al-Muhyi

(Yang Menghidupkan), al-Mumit (Yang Mematikan), al-Wali (Pelindung), at-Tawwab

(Yang Menjadi Belas Kasihan, Yang Menerima Tobat), al-Muntaqim (Yang Menuntut
Bela), al-Muqsith (Yang Pantas, Yang Adil), al-Jami` (Yang Meliputi, Yang Luas), al-

Mughni (Yang Memperkaya), al-Mani` (Yang Mencegah), adh-Dharr (Yang Membuat

Kerusakan atau Kerusakan), an-Nafi` (Yang Memberikan Manfaat), al-Hadi (Yang

Memandu), al-Badi` (Yang Bagus Sekali) dan ar-Rasyid (Yang Hati-hati).428

Adapun pengelompokan Nama, maka dapat dikatakan bahwa meskipun Nama-

nama yang dikelompokkan itu adalah semua Nama Zat, namun kalau memperhatikan

manifestasi Zat, maka Nama-nama itu disebut Nama-nama Zat. Dan kalau

memperhatikan manifestasi Sifat atau Tindakan, maka Nama-nama itu disebut Nama-

nama Sifat atau Nama-nama Tindakan. Artinya, Nama yang lebih terlihat jelas dan lebih

dimengerti, maka Nama-nama yang lain diidentifikasi dengan Nama itu. Karena itu,

kadang dalam sebuah Nama muncul dua atau tiga aspek sekaligus, yang dalam situasi

seperti ini dipandang sebagai sebuah Nama Zat, Sifat dan Tindakan, atau Nama dua dari

ketiganya ini, seperti "ar-Rabb", seperti sudah diungkapkan. Namun topik ini tidak sesuai

dengan tujuan penulis, juga tidak selaras dengan tujuan makrifat. Yang kelihatan dalam

penggolongan ini adalah bahwa patokan untuk Nama-nama ini adalah bahwa bila sang

salik dengan tahap-tahap makrifat mencapai fase peniadaan sempurna dalam Tindakan,

maka Allah SWT nampak oleh hatinya melalui manifestasi Nama-nama Tindakan.

Setelah peniadaan dalam Sifat-sifat, maka berbagai manifestasi akan terjadi dalam Nama-

nama Sifat, dan setelah peniadaan dalam Zat, maka berbagai manifestasi akan terjadi

dalam Nama-nama Zat. Kalau setelah memperoleh keterangan dan ketenangan hati,

hatinya mampu menjaga kelangsungan kondisi seperti ini, maka apa pun yang

dituturkannya tentang penyaksian dirinya akan Tindakan-tindakan akan menjadi Nama-

nama Tindakan. Begitu pula, apa pun yang dia tuturkan tentang penyaksian dirinya akan
Sifat-sifat akan menjadi Nama-nama Sifat, dan demikian juga Nama-nama Zat. Dalam

kaitan ini ada detail-detail yang tidak sesuai untuk buku ini. Apa yang diungkapkan

dalam Insya' ad-Dawa'ir tidak benar, menurut patokan, standar atau ukurannya sendiri,

seperti terlihat jelas kalau kita menelaah Nama-namanya.

Dapat disebutkan bahwa penggolongan atau pengelompokan "tiga Nama" ini

diungkapkan dalam Al-Quran Mulia, dalam ayat-ayat terakhir Surah al-Hasyr. Allah

Ta`ala berfirman: Dia adalah Allah, tak ada tuhan selain Dia, Yang Tahu yang gaib dan

yang lahir. Dia Maha Pengasih lagi Maha Penyayang,429 sampai akhir ayat-ayat mulia

ini.

Barangkali ayat pertamanya mengungkapkan Nama-nama Zat, ayat keduanya

mengungkapkan Nama-nama Sifat, dan ayat ketiganya mengungkapkan Nama-nama

Tindakan. Nama-nama Zat yang ditempatkan di depan Nama-nama Sifat, dan Nama-

nama Sifat di depan Nama-nama Tindakan, menurut tuntutan fakta-fakta eksistensi dan

manifestasi-manifestasi ilahiah, tidak sesuai dengan penyaksian (musyahadat) ahli

penyaksian (ashhab-i musyahadah) dan manifestasi-manifestasi di hati ahli hati. Penting

untuk dimengerti bahwa ayat-ayat mulia ini mengandung misteri-misteri lain, namun

untuk mengungkapkan misteri-misteri ini, situasinya tidaklah memungkinkan. Jelas

sekali bahwa ayat kedua adalah Nama-nama Sifat, dan ayat ketiga adalah Nama-nama

Tindakan. Bahwa "Yang Mengetahui yang gaib dan yang lahir", "Yang Maha Pengasih"

dan "Maha Penyayang" adalah Nama-nama Zat, itu didasarkan pada fakta bahwa "yang

gaib" dan "yang lahir" adalah Nama-nama batin dan lahir, sedangkan "Melakukan

Tindakan Pengasih" (rahmaniyat) dan "Melakukan Tindakan Penyayang" (rahimiyat)

merupakan manifestasi "Emanasi Paling Suci" (fadh-i aqdas), bukan "Emanasi Suci"
(fadh-i muqaddas). Membatasi Nama-nama ini pada tindakan mengingat Allah,

sedangkan "Yang Hidup" (hayy), "Yang Konstan" (tsabit) dan "Tuhan" (rabb) nampak

lebih dekat dengan Nama-nama Zat, barangkali dikarenakan oleh keluasan dan

kedalamannya, karena mereka adalah induk Nama-nama. Dan Allah-lah yang lebih tahu.

Ulasan

Ada kontroversi sengit tentang kata, derivasi dan arti "al-`alamin" (alam semesta).

Ada yang mengatakan bahwa "al-`alamin" adalah jamak, yang meliputi semua jenis

ciptaan, baik ciptaan material maupun ciptaan abstrak, dan tiap-tiap jenis merupakan

sebuah dunia tersendiri. Ia adalah jamak yang tak memiliki bentuk tunggal akarnya. Ini

adalah sebuah pandangan yang masyhur.

Ada yang mengatakan bahwa "`alam" adalah partisipel pasif, sedangkan "`alim"

adalah partisipel aktif. Karena itu "`alamin" mengandung arti "ma`lumin" (yang

diketahui). Tetapi pendapat ini, di samping tidak didukung bukti yang kuat dan tidak

mungkin terjadi, juga sangat menggelikan, dan tidaklah relevan untuk mengucapkan

"rabbul ma`lumin" (Tuhannya yang diketahui).

Ada yang mengatakan bahwa "`alamin" diturunkan dari "`alamah" (tanda,

indikasi) yang mencakup semua eksistensi, karena segala sesuatu adalah indikasi dan ayat

Zat Suci. Huruf "w" (waw) dan "n" (nun) mengungkapkan eksistensi rasional, yang lebih

mengutamakan mereka daripada eksistensi-eksistensi lain.

Ada yang mengatakan diturunkan dari "`ilm" (ilmu). Bagaimanapun juga,

memandangnya meliputi semua makhluk adalah benar, karena dibenarkan untuk

memandangnya meliputi makhluk atau eksistensi rasional. Tetapi "`alam" digunakan

untuk segala sesuatu selain Allah, dan juga digunakan untuk setiap individu atau kategori.
Jika orang yang menggunakannya untuk setiap individu dan kategori itu adalah ahli

tradisi dan bahasa, maka dia memandang segala sesuatu sebagai indikasi, tanda atau ayat

Sang Pencipta: "Dalam segala sesuatu Dia memiliki indikasi..."430 Jika dia adalah ahli

makrifat, maka dia melihat setiap eksistensi sebagai manifestasi dari Nama yang meliputi

segalanya yang meliputi semua kebenaran, melalui manifestasi Ketunggalan Kolektif

(ahadiyat-i jam`) dan Misteri Eksistensi. Menurut pandangan ini, alam semesta dan setiap

bagiannya dapat dipandang sebagai Nama Teragung dalam kondisi Ketunggalan Kolektif.

"Nama-nama adalah segala sesuatu yang didengar, dilihat dan ditelaah, dan demikian

itulah indikasi".

Karena itu, keberatan filosof besar, Shadrul Millat-i wad-Din (Shadrul

Mutaallihin), terhadap orang-orang seperti al-Baidhawi adalah relevan, karena mereka

belum merasakan minuman (disiplin = masyrab) ini. Namun bagi situasi ahli makrifat,

tidak relevan. Tetapi karena argumen al-Baidhawi dan argumen filosof ini, mengenai

topik ini, terlalu panjang, maka kami tidak memaparkannya. Pembaca yang berminat

dapat merujuk kepada tafsir Surah al-Fatihah tulisan almarhum filosof tersebut.

Jika "ar-rabb" adalah Nama Sifat, yang mengandung arti "Tuan" atau "Pemilik"

dan seterusnya, maka makna "al-`alamin" bisa berupa "segala sesuatu selain Allah",

apakah yang dimiliki itu adalah eksistensi-eksistensi yang ada di kerajaan dunia atau

eksistensi-eksistensi gaib abstrak. Jika itu Nama Tindakan—seperti kelihatannya—maka

arti "al-`alamin" cuma kerajaan alam lahir, karena, dalam kejadian seperti ini, "ar-rabb"

akan bermakna "Pendidik"—sebuah makna yang merupakan kondisi efektif gradual,

sedangkan alam abstrak bebas dari kondisi gradual, meskipun bagi penulis, ruh

"graduasi" di alam "dahr" (keabadian, durasi tiada henti), dari sudut pandang tertentu,
adalah pasti; dan kami juga telah memperlihatkan kemungkinan temporal (huduts-i

zamani), yang artinya ruh zaman dan keabadian graduasi (dahriyat-i tadrij) di alam

abstrak. Dari aspek makrifat, kemungkinan temporal juga terbuktikan kebenarannya

untuk semua alam, namun tidak seperti yang diungkapkan oleh ahli teologi dan ahli

hadis.

Ulasan Lain

Ketahuilah bahwa "pujian" (hamd) adalah untuk "karunia murah hati" (jamil).

Dari ayat mulia ini dapat disimpulkan bahwa pujian terbuktikan untuk kondisi Nama

Teragung sebagai Nama yang meliputi segalanya (ism-i jami`), yang memiliki kondisi

menjadi Tuan (Pemilik) alam semesta, "Yang Pengasih", "Yang Penyayang" dan

"Pengendali Hari Pengadilan". Maka dari itu, Nama-nama mulia ini, seperti "ar-Rabb",

"Rahman", "Rahim" dan "Malik" tentu memiliki peran efektif dalam pujian. Nanti kami

akan menjelaskan secara terperinci firman Allah: "Maliki yaumiddin" (Pengendali Hari

Pengadilan).

Sekarang kami akan membahas kondisi proporsional posisi Tuhan terhadap

"pujian". Dan pembahasannya dari dua aspek:

Aspek pertama adalah bahwa karena pemuji adalah bagian dari "alam semesta",

atau dia bahkan bisa "sebuah alam" itu sendiri, dan dari sudut pandang ahli makrifat, tiap-

tiap eksistensi adalah sebuah alam itu sendiri, maka dia memuji Allah, karena Allah,

dengan tangan pendidikan samawi, telah mengeluarkannya dari kelemahan, kekurangan,

rasa takut dan kegelapan massa non-eksistensi menuju kekuatan, kesempurnaan,

keamanan dan alam cemerlang manusia. Allah juga telah membawanya melewati level

ragawi, elemental, mineral, nabati dan hewani, di bawah sebuah sistem yang dibentuk
menurut langkah-langkah sendiri dan substansial, dan kecenderungan personalitas dan

natural, menuju level manusia, yang merupakan level paling mulia makhluk. Selanjutnya

Dia mendidiknya hingga menjadi apa yang tak pernah bisa dibayangkan dalam imajinasi

Anda.

"Kemudian aku menjadi non-eksisten, non-eksisten sedemikian sehingga organ

mengatakan kepadaku: `Kembali kami adalah kepada Dia.'"431

Aspek kedua adalah bahwa mendidik (tarbiyat) sistem kerajaan dunia, seperti

area-area samawi, elemen, substansi dan aksidental, terjadi sebelum eksistensi manusia

sempurna. Manusia sempurna ini sesungguhnya adalah produk jus (`usharah) dunia

realisasi dan tujuan puncak eksistensi-eksistensi di dunia, dan dia sendiri adalah produk

terakhirnya. Dan karena aksi alam kasat mata mengikuti langkah sendiri yang substansial,

dan ini adalah langkah untuk melakukan penyempurnaan sendiri, ke mana pun tujuannya,

itu akan menjadi tujuan ciptaan dan tujuan perjalanan. Jika kita perhatikan dengan

pendekatan umum raga universal (jism-i kull), alam universal, nabati universal, hewan

universal dan manusia universal (insan-i kull), maka kita melihat bahwa manusia adalah

produk terakhir yang diciptakan setelah langkah-langkah sendiri substansial dunia, dan

langkah-langkah ini berakhir dalam dirinya. Karena itu, tangan mendidik Allah Ta`ala

mendidik manusia di seantero dunia realisasi, dan manusia adalah yang pertama dan yang

terakhir.

Apa yang telah diungkapkan adalah tentang Tindakan-tindakan minor dan

konsisten dengan fase-fase eksistensi. Karena kalau tidak, maka jika ditelaah dalam

kaitannya dengan Tindakan sempurna dan final, Tindakan Allah Ta`ala bisa tak ada

sasaran atau tujuannya kecuali Zat Suci-Nya sendiri, sebagaimana terlihat dalam
kejadian-kejadian relevannya. Kalau kita memperhatikan Tindakan-tindakan minor, maka

kita akan mengerti bahwa tujuan penciptaan manusia adalah alam gaib mutlak, seperti

diungkapkan dalam hadis qudsi: "Wahai putra Adam! Aku ciptakan segala sesuatu

untukmu, dan Aku ciptakan kamu untuk diri-Ku sendiri."432 Dalam Al-Quran Suci, Allah

berfirman kepada Musa bin Imran as: "Aku telah ciptakan kamu untuk diri-Ku sendiri."433

Allah juga mengatakan: "Dan Aku memilihmu."434 Karena itu, manusia diciptakan untuk

Allah, dan dibuat untuk Zat Suci-Nya. Dari kalangan makhluk, manusia adalah makhluk

pilihan. Tujuan perjalanannya adalah untuk mencapai pintu Allah, peniadaan dalam Zat

Allah, dan untuk senantiasa berada di Istana Allah. Kembali (ma'ad)-nya manusia adalah

kepada Allah, dari Allah, dalam Allah dan melalui Allah. Dalam Al-Quran, Dia

berfirman: Sesungguhnya kepada Kami kembalinya mereka.435 Makhluk-makhluk lain

kembali kepada Allah melalui manusia, atau bahkan kembalinya mereka adalah kepada

manusia, seperti diungkapkan dalam doa Jami`ah. Dalam doa ini dijelaskan tentang

beberapa aspek dari kondisi-kondisi posisi wali atau pelindung. Dikatakan: "Kembalinya

makhluk-makhluk adalah kepadamu, dan perhitungan mereka adalah olehmu." Juga

dikatakan: "Denganmu Allah membuka, dan denganmu Dia menutup."436 Dan juga dalam

ayat suci dikatakan: Sesungguhnya kepada Kami kembalinya mereka, dan sesungguhnya

oleh Kami perhitungan mereka.437 Dalam doa di atas, yang mengatakan "Kembalinya

makhluk-makhluk adalah kepadamu, dan perhitungan mereka adalah olehmu",

merupakan salah satu rahasia tauhid, yang mengungkapkan fakta bahwa kembali kepada

Manusia Sempurna adalah kembali kepada Allah, karena Manusia Sempurna

peniadaannya sempurna dan mutlak, dan eksis melalui keabadian Allah, tidak memiliki
individualitas, ke-aku-an dan egoismenya sendiri, bahkan dia adalah bagian dari Nama-

nama Indah dan Nama Teragung, yang kerap diungkapkan oleh Al-Quran dan hadis.

Al-Quran memuat poin-poin semacam itu yang membutuhkan penanganan yang

cerdas dan arif, fakta-fakta, misteri-misteri dan sensitivitas tentang tauhid yang

menimbulkan teka-teki bagi benak ahli makrifat, dan inilah kualitas luar biasa Kitab

samawi cemerlang yang tak mungkin ditiru atau disamai, di samping ilmu nahunya yang

sangat tinggi kualitas atau standarnya, ungkapannya yang memperlihatkan keluwesan,

keindahan, dan kehalusan bentuknya, kecerdasannya yang luar biasa, gaya bahasanya

yang menakjubkan, metode yang digunakannya untuk mengundang dan meramalkan

kegaiban, pendekatan yang dipakainya untuk menyempurnakan aturan, perintah dan

ajarannya, untuk mengendalikan dan mengatur keluarga dan seterusnya, yang masing-

masingnya luar biasa dan di luar kemampuan manusia. Bahkan dapat dikatakan bahwa

kondisi Al-Quran Suci yang diakui dan termasyhur di seantero dunia sebagai kitab yang

mampu berkomunikasi dengan efektif—dan kondisi ini merupakan salah satu bukti

bahwa Al-Quran mustahil untuk disamai atau ditiru—terjadi karena orang-orang Arab

pada zaman dahulu terkenal memiliki kemampuan untuk berbicara dengan bahasa yang

efektif, dan karena itu mereka hanya dapat memahami aspek Al-Quran yang berupa tak

mungkin disamai atau ditiru itu. Orang-orang Arab pada zaman itu tak bisa memahami

dimensi-dimensi penting lain Al-Quran yang membutuhkan level lebih tinggi untuk

memahami. Dewasa ini juga, mereka yang level pemikirannya sama, tak bisa memahami

rahmat ilahiah ini, kecuali keelokan dan keluwesan bahasanya, kepiawaian

berkomunikasinya yang indah, dan bahasanya yang efektif. Adapun mereka yang

mengenal misteri-misteri ilmu serta rahmat tauhid dan ide tahu bahwa apa yang menarik
perhatian mereka, dan apa yang menjadi target harapan mereka, dalam Kitab Suci dan

wahyu samawi ini hanyalah ilmu (ma`arif)-nya, dan mereka tidak begitu tertarik kepada

aspek-aspek lainnya. Siapa pun yang mau melihat sekilas pengetahuan mistis esoteris Al-

Quran dan juga ahli-ahli makrifat yang mendapatkan makrifat dari Al-Quran, dan

kemudian membandingkan antara mereka dan ahli-ahli dari agama lain, berkenaan

dengan karya dan ilmu mereka, maka dia akan mengetahui betul standar lebih tinggi ilmu

Islam dan Al-Quran, yang merupakan fondasi agama dan iman, dan target final

pengutusan para rasul dan penurunan Kitab-kitab. Percaya bahwa Kitab ini adalah wahyu

Allah dan bahwa ilmunya dari Allah, tidak membuat dia kesulitan.

Sebuah Kebangkitan yang Lahir dari Rasa Tanggung Jawab

Ketahuilah bahwa Kedaulatan (rububiyat) Allah Ta`ala atas alam semesta ada dua

macam:

Yang pertama adalah "Kedaulatan Umum", yang meliputi semua makhluk dunia,

dan pendidikan genetiklah yang mengeluarkan setiap makhluk dari batas-batas

kekurangannya menuju kesempurnaan relevannya, di bawah kendali Kedaulatan Allah.

Semua perkembangan natural dan substansial, serta perkembangan esensial dan

perkembangan yang terjadi sebagai efek samping, berlangsung di bawah kendali Tuhan.

Pendek kata, dari fase materi pimer sampai fase karakteristik binatang dan upaya

mendapatkan kekuatan ragawi dan spiritual karakteristik binatang, dan evolusi genetik,

masing-masing mereka bersaksi bahwa: "Tuhanku adalah Allah, Mahamulia lagi

Mahaagung Dia."

Yang kedua adalah "Kedaulatan Legislatif", yang khusus dimiliki oleh manusia,

sementara makhluk-makhluk lain tidak memilikinya. Pendidikan ini memandu ke jalan-


jalan keselamatan, memperlihatkan jalan-jalan menuju kebahagiaan dan kualitas-kualitas

manusia, dan memperingatkan tentang apa yang merintanginya, seperti dijelaskan oleh

para nabi as. Jika seseorang berkemauan untuk dididik dan diatur oleh Tuhan alam

semesta sedemikian rupa maka tindakan organ-organ dan segenap kekuatan lahir

batinnya terjadi bukan karena keinginan atau dorongan egonya, melainkan karena

dorongan dari Tuhan, dan dalam situasi seperti itu dia akan mencapai kesempurnaan

manusiawi, kesempurnaan yang khusus dapat dimiliki oleh manusia.

Sampai fase karakteristik hewani, manusia berdampingan dengan binatang lain.

Untuk keluar dari fase ini, dia perlu memilih, berdasarkan kemauannya sendiri, satu di

antara dua jalan yang ada di depannya: Yang pertama adalah jalan menuju fase (rumah)

kebahagiaan, yang adalah Jalan Lurus Tuhan alam semesta: "Tuhanku berada di Jalan

Lurus."438 Yang kedua adalah jalan kehinaan, yang adalah jalan sesat setan terkutuk.

Karena itu, jika dia mau segenap kekuatan dan organ kerajaannya diatur oleh Tuhan alam

semesta dan dididik oleh-Nya, maka hatinya, yang merupakan sultan kerajaan ini,

perlahan namun pasti akan tunduk kepada-Nya. Bila hati sudah pasrah kepada Tuhan

alam semesta, maka serdadu lain akan mengikutinya, dan seluruh kerajaan pun akan

berada di bawah didikan-Nya. Kemudian lidah gaibnya, yang adalah bayang-bayang hati,

akan mampu mengatakan: "Tuhanku adalah Allah. Mahamulia lagi Mahaagung Dia",

untuk menjawab malaikat-malaikat alam kubur, yang bertanya kepadanya: "Siapa

Tuhanmu?" Dan karena manusia seperti itu taat kepada Rasulullah, mengikuti Imam-

imam pemberi petunjuk, dan mengamalkan Kitab Allah, maka lidahnya akan ekspresif

ketika mengucapkan: "Muhammad adalah Nabiku, Ali dan putra-putra maksumnya

adalah Imam-imamku, dan Al-Quran adalah Kitabku." Namun jika dia tidak
memalingkan hatinya ke Tuhan, sementara potret La ilaha illallah Muhammadun

rasulullah, `Aliyun waliyullah (Tak ada tuhan kecuali Allah, Muhammad adalah Rasul

Allah, dan Ali adalah wali Allah) tidak terukir di halaman hatinya sedemikian rupa

sehingga menjadi potret sisi-dalam jiwa, dan jika tak ada hubungan spiritual dan moral

timbal-balik antara dirinya dan Al-Quran yang membuat tindakannya sesuai dengan Al-

Quran, berpikir tentang Al-Quran, ingat dan merenungkannya, maka semua pengetahuan

(ma`arif)-nya akan terhapus dari ingatannya ketika menghadapi derita sebelum mati,

sakitnya menjelang ajal dan sakit dalam kematian itu sendiri—malapetaka yang luar

biasa.

Saudaraku! Manusia, yang terserang demam akibat penyakit infeksi susunan

pencernaan dan memburuk kemampuan mentalnya, akan lupa semua pengetahuannya,

kecuali apa yang menjadi komponen kedua dari kondisi jasmaninya. Mengenai

komponen kedua dari kondisi jasmaninya yang tidak terhapus dari ingatannya, ini terjadi

karena senantiasa ingat dan akrab dengan apa yang menjadi komponen kedua dari kondisi

jasmaninya itu. Kalau dia mengalami insiden serius atau kecelakaan sangat buruk, maka

dia akan lupa banyak urusannya, sehingga kondisi lupa ini akan merusak informasi yang

didapatnya. Lantas bagaimana dengan penderitaan dan kesulitan yang dihadapi

menjelang kematiaan? Apa yang dialaminya? Jika pendengaran dan hati tidak terbuka,

jika hati tidak mendengar, maka menanamkan kepadanya keyakinan-keyakinan penting

pada saat sakaratul maut dan setelahnya tak akan ada gunanya. Talqin (mengingatkan si

almarhum atau almarhumah akan keyakinan-keyakinannya) hanya bisa bermanfaat untuk

orang-orang yang hati mereka telah menerima keyakinan-keyakinan yang benar dan yang

telinga hati mereka senantiasa terbuka, namun saat sakaratul maut tiba, mereka akan
diserang lupa, dan karena itu talqin akan menjadi sarana bagi malaikat Allah untuk

menyampaikannya ke telinga mereka. Tetapi kalau manusia tuli, tak memiliki telinga

yang bisa mendengar di alam barzakh dan di dalam kubur, maka dia tak akan pernah bisa

mendengar talqin, dan talqin tak akan bermanfaat apa-apa baginya. Dalam hadis-hadis

mulia, sebagian dari semua ini sudah disebutkan.

***

Ar-Rahman ar-Rahim (Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang): Ketahuilah

bahwa untuk semua Nama dan Sifat Allah SWT pada umumnya ada dua posisi (maqam)

dan dua status (martabah):

Yang pertama adalah posisi Nama-nama dan Sifat-sifat Zat, yang konstan dalam

Ketunggalan-Nya (hadhrat-i wahidiyat), seperti Ilmu Esensial, yang menjadi urusan dan

manifestasi Esensial, serta Kekuatan dan Kehendak Esensial, dan urusan Esensial lainnya

(syu'un-i dzatiyah).

Yang kedua adalah posisi Nama-nama dan Sifat-sifat Tindakan, yang terbuktikan

realitasnya untuk Allah melalui manifestasi Emanasi Suci, seperti "Ilmu Aktif" (`ilm-i

fi`li), yang dipandang oleh ahli pencerahan sebagai terbuktikan realitasnya, dan kepada

ilmu ini bergantung "Ilmu Individual" (`ilm-i tafshili). Khajah Nasiruddin telah

membuktikan ini, menyusul pendapat ahli pencerahan yang mengatakan bahwa ukuran

untuk "Ilmu Terperinci" adalah "Ilmu Aktif".439 Namun, meskipun topik ini

berseberangan dengan investigasi metodis—karena "Ilmu Terperinci" terungkapkan

realitasnya untuk Zat, dan bahwa pengungkapan serta detail-detail Ilmu Esensial lebih

tinggi daripada "Ilmu Aktif" dan lebih ekstensif, sebagaimana terungkapkan realitasnya,

dalam situasi relevannya, melalui hujah yang mencerahkan—namun masalah pokoknya


adalah bahwa sistem eksistensi berada dalam area Ilmu Aktif dan Terperinci Allah,

terungkapkan realitasnya lewat tradisi pembuktian dan metode makrifat, meski fakta

memperlihatkan bahwa metode lebih tinggi dan persepsi makrifat yang lebih manis

memiliki, di samping kondisi-kondisi seperti itu, kondisi lain: "Agama sang pencinta

beda dengan agama non-pencinta."440

Pada galibnya, untuk rahmat "pengasih" dan "penyayang" ada dua level dan dua

manifestasi: yang pertama adalah dalam manifestasi Zat dalam Ketunggalan (hadhrat-i

wahidiyat)-Nya melalui manifestasi Emanasi Tersuci. Yang kedua adalah dalam

manifestasi entitas kosmik (a`yan-i kauniyah) melalui Emanasi Suci. Jika ar-Rahman dan

ar-Rahim, dalam surah suci itu, adalah Sifat Esensial, maka dimungkinkan untuk

memandang keduanya, dalam Bismillahir-Rahmanir-Rahim, terkait dengan "ism"

(Nama), bukan Sifat Tindakan. Karena itu, tak ada pengulangan sama sekali sehingga

orang bisa mengklaim keduanya sebagai pengulangan yang berfungsi memperkuat, atau

pemberian tekanan yang besar. Dengan berbasis ini, maka makna ayat mulia ini adalah:

Dengan kehendak pengasih dan penyayang-Nya, pujian untuk Zat-Nya Yang Maha

Pengasih lagi Penyayang—Allah-lah yang paling tahu. Dan karena posisi Kehendak

Allah adalah manifestasi Zat Suci, maka posisi "kualitas pengasih" dan "kualitas

penyayang", yang merupakan ketetapan hati (ta`ayyunat) posisi Kehendak Allah, adalah

display (jilwah) Kualitas Pengasih dan Penyayang Esensial. Namun ada kemungkinan-

kemungkinan lain yang tak bisa diungkapkan di sini, karena kemungkinan yang sudah

disebutkan di atas lebih jelas.

***

Maliki yaumiddin (Penguasa Hari Pengadilan):


Banyak orang membaca maliki dengan ma dibaca pendek, dan banyak penjelasan

akademis untuk kedua versi (ma dibaca panjang, dan ma dibaca pendek), sehingga

seorang ulama besar pun menulis sebuah tesis tentang prioritas malik dengan ma dibaca

pendek. Tetapi argumen kedua belah pihak tidaklah kuat.

Kalau menurut pendapat penulis, malik dengan ma dibaca panjang adalah lebih

tepat, karena surah ini dan surah at-Tauhid tak seperti surah-surah lain Al-Quran, karena

kedua surah ini dibaca orang saat salat wajib dan non-wajib, dan dalam setiap era, ratusan

juta Muslim mendengarnya dari ratusan juta Muslim lain, dan ini dari ratusan juta

sebelumnya, dan seterusnya, dengan mendengar dua surah ini dari satu sama lain, yang

dibaca, dengan persis sama, tanpa adanya huruf yang dicepatkan dan tanpa adanya huruf

yang dilambatkan, tanpa adanya huruf yang dinaikkan dan diturunkan, oleh para Imam

pemberi petunjuk dan Rasulullah saw. Kendatipun kebanyakan orang membacanya malik

dengan ma dibaca pendek, dan banyak ulama lebih memilih malik dengan ma dibaca

pendek, namun semuanya itu tidak ada yang menciderai fakta pasti dan penting ini, dan

tak ada yang menyamainya. Dan kendatipun ulama membolehkan mengikuti mereka,

namun tak ada—kecuali orang abnormal (syadzdz) yang pendapatnya terlalu sepele atau

tidak penting untuk dipertimbangkan—yang membaca malik dengan ma dibaca pendek

dalam salat-salatnya, atau jika seseorang membacanya malik dengan ma dibaca pendek,

itu sekadar tindakan pencegahan (ihtiyath), di samping membacanya malik dengan ma

dibaca panjang, seperti guru alim kami di bidang ilmu tradisional, Haji Syaikh Abdul

Karim Yazdi (semoga makamnya disucikan), yang biasa, kalau diminta sejumlah ulama

sezamannya, membaca malik dengan ma dibaca pendek juga. Namun demikian, ini
merupakan tindakan pencegahan yang terlalu lemah, atau, seperti yang diyakini oleh

penulis, terlalu sia-sia untuk dibahas.

Kelemahan topik tersebut di atas jadi jelas setelah kita membaca klaim bahwa,

dalam tulisan Kufi, malik dengan ma dibaca pendek dan malik dengan ma dibaca panjang

keliru diidentifikasi, sehingga keliru pemahaman atau interpretasinya. Klaim ini bisa

disampaikan berkenaan dengan surah-surah yang tidak sering dibaca, meski tetap dengan

sulit, tetapi tidak berkenaan dengan surah ini, karena surah ini sudah dikonfirmasikan

lewat mendengar dan membaca, sebagaimana nampak sangat jelas. Klaim seperti ini tak

ada nilainya dan sulit sekali diterima.

Argumen ini juga berlaku untuk kufuwan, karena membacanya dengan "w"

(maftuhah) dan "f" (madhmumah)—yang merupakan bacaan Ashim—juga

dikonfirmasikan lewat mendengar dan mendengar lagi, dan bacaan-bacaan lain tidak

berarti bertentangan dengan bacaan itu, meskipun sebagian orang berpendapat bahwa

mereka melakukan tindakan pencegahan dengan membaca versinya mayoritas dengan

"hamzah" sebagai ganti "w"—sebuah tindakan pencegahan yang tidak relevan.

Jika ada argumen berkenaan dengan riwayat-riwayat yang meminta kita untuk

membaca seperti orang-orang membaca441—yang sebenarnya patut diperdebatkan, karena

diyakini bahwa riwayat-riwayat ini ingin mengatakan: bacalah seperti orang pada

umumnya membaca, bukan bahwa kita leluasa untuk memilih satu di antara "tujuh

bacaan", misalnya—dalam situasi seperti itu, membaca "malik" dengan ma dibaca

pendek dan membaca "kufuwan" tidak seperti lazimnya bacaan kaum Muslim dan yang

termaktub dalam Al-Quran, maka itu tidaklah benar. Bagaimanapun juga, tindakan

pencegahannya semestinya adalah membacanya seperti orang-orang pada umumnya


membaca dan seperti yang termaktub dalam Al-Quran, karena cara membaca seperti itu

sahih bagi setiap keyakinan. Dan Allah-lah yang paling tahu.442

Sebuah Eksplorasi Filosofis

Ketahuilah bahwa posisi memilikinya Allah tidak sama dengan posisi

memilikinya hamba, juga tidak seperti posisi memilikinya para raja atas kerajaan mereka,

karena posisi memilikinya para hamba dan para raja merupakan pengambilan

konvensional, sedangkan posisi memilikinya Allah atas makhluk tidaklah seperti itu,

meskipun bagi ahli-ahli fiqih posisi memilikinya Allah yang seperti ini sudah terlihat atau

terbuktikan realitasnya. Namun posisi memiliki seperti ini tidak menafikan apa yang

sudah ditelaah dalam hal ini. Juga tidak sama dengan posisi memilikinya manusia atas

organ dan anggota badannya, atas kekuatan lahir dan batinnya, meskipun posisi memiliki

seperti ini lebih dekat dengan posisi memilikinya Allah ketimbang posisi memiliki yang

disebutkan sebelumnya. Juga beda dengan memilikinya jiwa atas tindakan dirinya

sendiri, yang merupakan bagian dari urusan jiwa, seperti menciptakan potret mental, yang

kontraksi dan ekspansinya pada level tertentu berada di bawah kendali kehendak jiwa,

juga tidak seperti posisi memilikinya dunia-dunia intelektual atas apa yang lebih rendah

kelasnya, meskipun riil di dunia-dunia itu melalui penghapusan (i`dam) dan penciptaan

(ijad), karena semua eksistensi di dunia realisasi potensial, yang di dahinya ada tanda

kekurangan, dibatasi oleh batas-batas dan ukuran, bahkan pada tingkat esensinya

sekalipun. Dan apa saja yang dibatasi oleh batas, berarti ia terpisah dari aksinya,

konsisten dengan kondisinya yang terbatas, dan berarti pula eksistensinya tidak

komprehensif atau tidak total (ihatha-i qayyumi). Karena itu, segala sesuatu, sesuai
dengan level esensinya sendiri, menafikan elemen-elemen pasif (munfa`ilat)-nya, dan

karena inilah eksistensi dirinya tidak total (ihatha-i dzatiya-i qayyumiyah).

Tetapi mengenai posisi memilikinya Allah Ta`ala, yang terjadi karena aneksasi

yang mencerahkan dan kondisi eksistensi yang total, itu adalah posisi memiliki yang

sejati (malikiyat-i dzatiyah), yang dalam posisi memiliki seperti ini sedikit pun tak ada

indikasi kekurangan, indikasi tidak lengkap atau indikasi tidak sempurna, sehingga posisi

memiliki seperti ini menafikan isolasi Zat dan Sifat-sifat-Nya dari makhluk atau

eksistensi. Posisi memilikinya Zat Suci atas semua alam adalah sama, tak ada perlakuan

diskriminatif terhadap makhluk, atau tak lebih dekat dengan—dan lebih meliputi—alam-

alam abstrak dan gaib, daripada alam-alam lainnya, karena, kalau tidak, maka butuh

pembatasan dan pemisahan, yang disertai kebutuhan dan kapasitas untuk berkembang;

Mahatinggi, Mahasuci lagi Mahabesar Allah atas itu semua! Ini barangkali diungkapkan

dalam firman Allah Ta`ala: Dan Kami lebih dekat dengan dia daripada kamu.443 Dan

Kami lebih dekat dengan dia daripada urat merihnya. 444 Allah adalah cahaya lelangit

dan bumi.445 Dan adalah Dia, Tuhan di langit dan Tuhan di bumi.446 Dan milik Allah

kerajaan lelangit dan bumi.447 Rasulullah saw dikutip mengatakan: "Jika kamu

diturunkan dengan seutas tali ke bumi yang paling bawah, maka kamu akan turun ke

Allah."448 Imam ash-Shadiq juga dikutip mengatakan, seperti dimuat dalam al-Kafi: "Tak

ada ruang yang bisa membatasi-Nya, dan tak ada ruang yang bisa mengakomodasi-Nya,

dan Dia tidak lebih dekat dengan satu tempat daripada tempat lain."448/1 Imam Ali an-Naqi

dikutip mengatakan: "Mesti Anda ketahui bahwa bila Allah berada di langit paling

rendah, pada saat bersamaan Dia berada di Singgasana. Segala sesuatu pada saat
bersamaan dan pada tingkat yang sama diketahui, dikendalikan, dimiliki dan dicakup

oleh-Nya."449

Namun demikian, meskipun posisi memilikinya Zat Suci-Nya mencakup segala

sesuatu dan semua alam pada saat yang sama dan pada tingkat yang sama, ayat mulia ini

mengatakan: Pemilik Hari Pengadilan. Spesifikasi ini barangkali karena Hari Pengadilan

adalah hari berkumpul. Maka Pemilik "Hari Pengadilan", yang adalah hari berkumpul,

adalah juga Pemilik hari-hari lain yang bertebaran, dan "apa yang bertebaran di alam

lahir dikumpulkan di alam gaib." Atau barangkali itu disebabkan oleh manifestasi kondisi

memiliki dan kondisi kuasanya Allah SWT pada "Hari Berkumpul", yang adalah hari

kembalinya segala yang mungkin ke ambang pintu Allah, dan naiknya semua eksistensi

ke Istana Allah.

Membahas lebih mendalam ikhtisar ini namun dengan tetap memperhatikan

tujuan buku ini, bisa dilakukan sepanjang cahaya eksistensi dan matahari kebenaran turun

dari area-area gaib ke alam kasat mata. Karena kalau tidak, kondisi yang terjadi adalah

kondisi tertabiri. Dengan kata lain, dalam setiap turun ada spesifikasi (ta`ayyun), dan

dalam setiap spesifikasi dan pembatasan ada tabir. Dan karena manusia merupakan

sintesis atau kombinasi (majma`) semua spesifikasi dan pembatasan, maka dia tertabiri

dengan segenap tujuh tabir gelap dan tujuh tabir cahaya, yang merupakan tujuh bumi dan

tujuh langit, menurut sejumlah interpretasi. Barangkali, kembali ke "yang terendah dari

yang rendah" berarti terbungkus dalam segenap jenis tabir. Penyembunyian matahari

eksistensi, dan cahaya di ufuk spesifikasi-spesifikasi (ta`ayyunat), dapat digambarkan

sebagai "malam" dan "Malam Qadr". Dan selama manusia terbungkus dalam tabir-tabir

ini, maka dia tak dapat melihat Yang Indah dari Yang Abadi, dan tak dapat melihat cahaya
primer. Ketika semua eksistensi, dalam perjalanan menaik dari level-level rendah dunia

alam natural, dengan langkah-langkah natural—yang terhimpun dalam struktur inheren

mereka dari cahaya daya tarik karakter ilahiah, sesuai dengan maksud (taqdir) Emanasi

Tersuci dalam Ilmu-Nya—kembali ke tanah tumpah darah pertama dan rumah faktual

yang dijanjikan (mi`ad)—sebagaimana kerap diungkapkan oleh ayat-ayat suci—mereka

kembali keluar dari tabir cahaya dan tabir gelap, dan posisi memiliki dan kedaulatan

Allah Ta`ala termanifestasikan, dan Dia nampak dalam Ketunggalan dan Kedaulatan. Di

sini, di mana Yang Terakhir kembali ke Yang Pertama, dan Yang Lahir terhubung dengan

Yang Batin, dan di mana kekuasaan lahir atau manifestasi runtuh dan pemerintahan batin

termanifestasikan, sang pemilik mutlak menyapa—dan tak ada yang disapa kecuali Zat

Suci-Nya—Milik siapa Kedaulatan pada Hari ini?, dan karena tak ada jawaban, maka

Dia berkata: Milik Allah, Yang Maha Esa lagi Mahakuasa.450

Hari final ini, hari ketika matahari kebenaran terbit dari balik tabir ufuk

individuasi, adalah "Hari Pengadilan", karena setiap eksistensi, di bawah bayang-bayang

(zhill) nama relevannya, lenyap dalam Allah. Ketika Terompet ditiup, maka muncul dari

nama itu dan menyertai para pengikut nama itu: "Satu kelompok di surga dan satu

kelompok di neraka yang berkobar-kobar."451

Manusia sempurna di dunia ini keluar dari tabir-tabir ini, terkait atau konsisten

dengan perjalanannya menuju Allah dan hijrahnya menuju Dia, dan peraturan-peraturan

Kebangkitan, Waktu dan Hari Pengadilan muncul di hadapannya dan diperlihatkan atau

dikonfirmasikan kepadanya. Maka Allah, dengan Kedaulatan-Nya, nampak oleh hatinya

melalui mikraj salatnya, dan lidahnya menjadi juru tafsir hatinya, dan kehadirannya
menjadi lidah penglihatan-penglihatan batinnya. Inilah salah satu rahasia kenapa Fakta

atau Kondisi Memiliki (malikiyat) dibatasi pada Hari Pengadilan.

Ide berkenaan dengan Arsy

Ketahuilah bahwa berkenaan dengan Arsy dan para pengusungnya, ada berbagai

pendapat yang berbeda. Begitu pula, riwayat-riwayat secara lahiriah berbeda-beda juga,

meskipun secara batiniah tak ada perbedaan, karena, menurut pandangan makrifat dan

hujah, Arsy mencakup sedemikian banyak makna.

Salah satu maknanya—yang tidak kami lihat dalam bahasa "banyak orang"

(qaum)—adalah Ketunggalan (hadhrat-i wahidiyat), yang berada pada level "Emanasi

Paling Suci", dan para pengusungnya adalah empat nama dari Nama-nama Agung: Yang

Awal, Yang Akhir, Yang Lahir dan Yang Batin.

Makna lainnya—yang juga tidak kami temukan dalam bahasa "banyak orang"—

adalah "Emanasi Suci", yang berada pada level Nama Teragung, sedangkan

pengusungnya adalah: ar-Rahman, ar-Rahim, ar-Rabb dan al-Malik.

Ide lainnya adalah ungkapan "segala yang selain Allah (ma siwallah) dan para

pengusungnya adalah empat malaikat: Israfil, Jibril, Mikail dan Izrail.

Makna lainnya adalah "Raga Universal" (jism-i kull), yang diusung oleh empat

malaikat yang merupakan potret-potret Prototipe (arbab-i anwa`), sebagaimana

diungkapkan dalam al-Kafi.452

Kadang dipandang sebagai "Ilmu", yang bisa jadi Ilmu Aktif (`ilm-i fi`li) Allah,

yang adalah kondisi pelindung besar (wilayat-i kubra), dan pengusungnya adalah empat

sahabat sempurna Allah dari umat-umat kuno: Nuh, Ibrahim, Musa dan Isa (Yesus), dan
empat orang sempurna umat ini: Penutup Para Nabi, Amirul Mukminin Ali bin Abi

Thalib, Hasan dan Husain as.

Nah karena pengantar ini sudah dipahami, maka ketahuilah bahwa dalam Surah

al-Hamd (al-Fatihah), setelah nama "Allah", yang mengungkapkan Zat-Nya, empat nama

mulia: ar-Rabb, ar-Rahman, ar-Rahim dan Malik, disebutkan secara khusus, barangkali

karena empat nama mulia ini adalah pengusung Arsy Ketunggalan (wahdaniyat)-Nya

terkait batinnya, sedangkan lahiriahnya adalah empat malaikat pilihan Allah yang

menjadi pengusung Arsy Realisasi (tahaqquq). Karena itu nama suci ar-Rabb adalah

batin Mikail, yang, sebagai manifestasi ar-Rabb, menjadi penanggung jawab atas fasilitas

dan pendidikan di dunia eksistensi. Nama mulia ar-Rahman adalah batin Israfil, yang

menjadi pelindung (munsyi) ruh, peniup Terompet dan pendistribusi (basith) ruh-ruh dan

personalitas-personalitas, karena distribusi (basth) eksistensi adalah juga dengan nama

ar-Rahman. Nama mulia ar-Rahim adalah batin Jibril, yang bertanggung jawab mengajar

dan menyempurnakan makhluk. Nama mulia Malik adalah batin Izrail, yang bertanggung

jawab membawa (qabdh) ruh dan personalitas, dan bertanggung jawab mengembalikan

lahir kepada batin. Karena itu, surah suci ini, sampai Maliki yaumiddin (Pemilik Hari

Pengadilan), mencakup Arsy Ketunggalan dan Arsy Realisasi, terkait para

pengusungnya. Dengan demikian, total lingkaran eksistensi dan manifestasi hal gaib dan

hal lahir, yang diterjemahkan oleh Al-Quran Suci, diungkapkan sampai bagian surah ini.

Ide ini sendiri juga sepenuhnya diliput oleh Bismillah, yang merupakan Nama Teragung.

Itu juga dalam "B" (ba), yang berada dalam posisi kausalitas (hubungan antara sebab dan

akibatnya), dan dalam titik bism, yang merupakan rahasia kausalitas. Dan karena Ali bin

Abi Thalib adalah rahasia jabatan pelindung (wilayat) dan kausalitas, maka dialah titik
pada ba.453 Artinya, titik pada ba adalah penerjemah rahasia jabatan pelindung.

Renungkan dengan saksama. Kenapa harus direnungkan dengan saksama? Alasan untuk

perenungan adalah problem yang ada dalam hadis. Dan Allah-lah yang paling tahu!

Indikasi Makrifat

Barangkali penempatan ar-Rabb sebelum ar-Rahman dan ar-Rahim dan

kemudian Malik di akhirnya, merupakan sebuah pengungkapan akurat tentang metode

perjalanan (suluk) manusia dari dunia material hingga peniadaan sempurna, atau sampai

kondisi hadir di hadapan Tuan dan Penguasa para raja. Maka dari itu, karena salik masih

berada di awal perjalanan, maka berangsur-angsur dia diasuh oleh Rabbul `Alamin

(Tuhan alam semesta), karena dia adalah bagian dari dunia, sementara perilaku (suluk)-

nya berada di bawah kendali waktu dan graduasi (perkembangan). Setelah meninggalkan

alam fana ini lewat langkah-langkah perilakunya, tahap nama-nama inklusif, yang bukan

hanya bagian dari dunia, di mana aspek "diferensiasi" sangat berpengaruh, terbentuk di

hatinya. Dan karena nama mulia ar-Rahman lebih khusus daripada nama-nama inklusif

lain, maka nama ini disebutkan setelah itu, dan karena ia adalah manifestasi rahmat dan

tahap distribusi total, maka ia mendahului ar-Rahim, yang lebih dekat dengan ufuk batin.

Karena itu, dalam formula makrifat, nama-nama lahir muncul duluan, kemudian setelah

itu, nama-nama batin, karena perjalanan sang salik adalah dari keserbaragaman

(multiplisitas, katsrat) ke ketunggalan (wahdat), sampai dia sampai di nama-nama batin

murni, yang mencakup nama Malik. Dengan demikian, dengan manifestasi kondisi

menjadi Pemilik, keserbaragaman alam gaib dan lahir akan lenyap, lalu akan terjadi

kesirnaan total dan Kehadiran Mutlak. Karena dia membebaskan dirinya dari tabir-tabir

keserbaragaman lewat manifestasi ketunggalan dan Kedaulatan Ilahiah, dan mencapai


penyaksian visual, maka dia berbicara langsung (dengan Allah) dan mengatakan:

"Engkaulah yang kami sembah."

Karena itu, lingkaran total perjalanan sang salik juga termuat dalam surah mulia

ini, dari tabir-tabir terakhir dunia material sampai penyibakan tabir-tabir gelap dan cahaya

dan pencapaian Kehadiran Sempurna dan Mutlak. Kehadiran ini merupakan kebangkitan

besar sang salik dan naiknya Waktunya. Dalam ayat mulia: ... dan semua yang di lelangit

dan di bumi binasa, kecuali dia yang Allah kehendaki ...,454 yang dikecualikan ini

barangkali adalah kelompok ahli suluk ini yang tidak sadarkan diri dan sirna sebelum

Terompet ditiup. Dengan mengatakan: "Aku dan Waktu adalah seperti dua ini,"454/1 ketika

menyatukan dua jari telunjuknya, kiranya Rasulullah saw hendak mengungkapkan

konsep ini.

Indikasi Literatur

Dalam tafsir-tafsir yang ada sekarang ini yang telah kita pelajari, atau yang

menjadi sumber kutipan, kata "din" dikatakan mengandung arti perhitungan dan

pengadilan. Kamus juga memberikan arti-arti ini. Para penyair Arab juga

menggunakannya demikian, seperti penyair yang mengatakan: "Ingatlah bahwa engkau

akan diadili seperti engkau mengadili," dan ada perkataan yang disebut-sebut datang dari

Sahl bin Rabiah:

"Masih terus eksis kecuali permusuhan. Kita pun menilai mereka seperti mereka

menilai."455 Dikatakan bahwa "dayyan" , yang adalah salah satu Nama Tuhan,

mengungkapkan makna ini juga. Barangkali "din" adalah agama sejati. Dan karena pada

Hari Kebangkitan produk-produk agama bermunculan dan fakta-fakta religius keluar dari

balik tabir, maka karena alasan inilah ia disebut yaumuddin (Hari Pengadilan), sementara
"hari ini" disebut yaumuddunya (hari dunia ini atau hari duniawi), pada hari ini

bermunculan produk-produk dunia ini, sedangkan potret sejati agama tidak kelihatan. Ini

memperlihatkan sebuah ide serupa tentang pernyataan Allah: ... dan mengingatkan

mereka akan hari-hari Allah,456 yang adalah hari-hari ketika Allah menangani suatu

bangsa dengan kekuatan dan otoritas. Hari Kebangkitan adalah sebuah "hari Allah"

maupun "hari agama", karena ia adalah hari manifestasi Kedaulatan Allah dan hari

kemunculan kebenaran agama Allah.

***

Iyyaka na`budu wa iyyaka nasta`in (Engkaulah yang kami sembah; Dari-Mu kami

mencari pertolongan): Ketahuilah bahwa bila hamba, sang salik di jalan ilmu, mengerti

bahwa segala syukur dan pujian hanya milik Zat Suci Allah saja, dan memandang Dia

sebagai pencipta penyusutan (qabdh) dan pengembangan (basth) eksistensi, dan

menganggap kendali semua urusan, sejak awal dan sampai akhir, berada di genggaman

pemilikan-Nya, kemudian Ketunggalan Zat dan Tindakan terejawantahkan di hatinya,

maka dia akan melihat bahwa menyembah itu hanya kepada Allah saja, dan begitu pula

mencari pertolongan, dan memandang segenap alam realisasi tunduk, dengan suka hati

atau tak terelakkan, kepada Zat Suci, dan di alam realisasi ini dikenalinya tak ada yang

berada dalam posisi mampu berbuat sesuatu, sehingga pertolongan datangnya dari Dia.

Sebagian ahli formalisme mengatakan bahwa membatasi menyembah hanya kepada

Allah saja adalah riil, namun membatasi mencari pertolongan hanya kepada Dia saja

adalah tidak riil—dengan argumen bahwa pertolongan dari selain Allah bisa juga

didapatkan, dan ini ada dalam Al-Quran Suci: dan tolong-menolonglah dalam kebaikan

dan ketakwaan,457 dan juga: dan carilah pertolongan melalui kesabaran dan salat,458 dan
diketahui bahwa perilaku Nabi saw, para Imam Ahlul Bait, para sahabat mereka dan

kaum Muslim didasarkan pada pencarian pertolongan dari selain Allah dalam hal-hal

yang dibolehkan hukum, seperti mencari bantuan hewan tunggangan, hamba, istri, teman,

utusan, pekerja dan seterusnya—tak lain hanyalah wacana atau spekulasi yang relevan

bagi kaum formalis. Tetapi orang yang memiliki pengetahuan tentang Ketunggalan

Tindakan Allah Ta`ala, dan melihat sistem eksistensi sebagai bentuk aktivitas Allah

Ta`ala, dan kemudian melihat, baik dengan mata langsung atau dengan hujah rasional,

bahwa di dunia eksistensi ini tak ada pencipta kecuali Allah, dan memandang, dengan

mata kearifan dan hati cemerlang, pembatasan "pencarian pertolongan" sebagai

pembatasan yang riil, dan mencari pertolongan makhluk sebagai bentuk pertolongan

Allah. Menurut pandangan orang-orang ini, tak ada alasan untuk membatasi pujian hanya

kepada Allah Ta`ala saja, karena, menurut pandangan ini, makhluk juga memiliki

perilaku, opsi, keindahan dan kesempurnaannya yang layak mendapat pujian dan rasa

terima kasih. Mereka bahkan mengatakan bahwa menghidupkan dan mematikan, dan

memberikan fasilitas dan menciptakan, merupakan sebagian urusan lain yang lazim

antara Allah dan makhluk. Ahli Allah memandang hal-hal seperti itu sebagai

kemusyrikan. Dan dalam riwayat, hal-hal seperti itu dinilai sebagai kemusyrikan

tersembunyi, karena disebutkan bahwa menggunakan cara memutar cincin di jari untuk

mengingat sesuatu dinilai sebagai kemusyrikan tersembunyi.459

Ringkas kata, "Engkaulah yang kami sembah dan kepada Engkaulah kami

mencari pertolongan" adalah bagian dari pujian kepada Allah, dan ini mengungkapkan

tauhid sejati. Orang yang di hatinya belum nampak realitas tauhid, sementara dia belum

benar-benar membersihkan hatinya dari kemusyrikan, maka ucapannya "Engkaulah yang


kami sembah" bukanlah ucapan yang jujur, dan dia tak dapat membatasi menyembah dan

mencari pertolongannya hanya kepada Allah saja, sehingga dia tak akan menjadi orang

yang saleh dan beriman kepada Allah. Bila tauhid termanifestasikan di hatinya, maka dia

akan, selaras dengan level manifestasi ini, meninggalkan makhluk dan berpegang teguh

pada Kekuatan Kesucian Allah sedemikian sehingga dia melihat bahwa "Engkaulah yang

kami sembah, dan kepada Engkaulah kami mencari pertolongan" terjadi melalui nama

Allah; dan sejumlah fakta "Engkau adalah sebagaimana Engkau memuji diri-Mu

sendiri"459/1 terejawantahkan di hatinya.

Sebuah Indikasi Pencerahan

Dari catatan tesis ini maka jelas sudah situasi perubahan dari person ke-3 ke

person ke-2. Meskipun dalam dirinya ia adalah salah satu ornamen kata-kata dan

karakteristik retorika, yang sering terlihat dalam kata-kata orator piawai, dan merupakan

dekorasi kata-kata, dan, pada saat bersamaan, dengan berubah dari satu atmosfer ke

atmosfer lain, kejenuhan si penerima tersingkirkan dan jiwanya mendapatkan kekuatan

baru, namun karena salat merupakan mikraj untuk mencapai eksistensi Kesucian tangga

untuk mencapai situasi kedekatan, kehangatan, privasi dan kelembutan, maka surah mulia

ini memerintahkan untuk memulai mikraj spiritual dan perjalanan makrifat. Sang hamba,

pada awal perjalanan menuju Allah, terpenjara dan terbungkus dalam tabir-tabir gelap

dunia alam fisik dan dalam tabir-tabir cahaya dunia gaib, sementara perjalanan menuju

Allah merupakan perjalanan untuk keluar dari tabir-tabir ini melalui langkah-langkah

perilaku dan manajemen spiritual. Sesungguhnya migrasi menuju Allah adalah langkah

meninggalkan rumah ego dan rumah makhluk menuju Allah, meninggalkan

keserbaragaman, membuang debu lain dan mencapai Ketunggalan-ketunggalan


(tauhidat). Ia adalah absen dari makhluk dan hadir di hadapan Tuhan. Ketika dalam ayat

mulia "Maliki yaumiddin" ("Pemilik Hari Pengadilan") dia mendapati bahwa

keserbaragaman lenyap di bawah cahaya Kepemilikan dan Kemahakuasaan, dia

mengalami kondisi penghapusan dari keserbaragaman dan mengalami kondisi hadir di

hadapan Allah Ta`ala, dan, lewat komunikasi pribadi dan penyaksian Keindahan dan

Keagungan, dia mempersembahkan dirinya untuk menghamba, dan memberikan

pencariannya akan Allah dan ketakwaannya untuk Kehadiran Suci dan pertemuan

keakraban, kehangatan, kelembutan dan privasi.

Fakta bahwa kata ganti Iyyaka digunakan untuk maksud ini adalah karena kata

ganti ini kembali kepada Zat yang di dalamnya lenyap keserbaragaman. Maka sang salik

dalam situasi ini dapat merasakan atmosfer Ketunggalan Zat, meninggalkan

keserbaragaman nama-nama dan sifat-sifat, sehingga hati pun berpaling kepada Zat yang

bebas dari tabir-tabir keserbaragaman. Inilah tauhid yang sempurna yang diungkapkan

oleh Imam kaum penjunjung tinggi tauhid, pemimpin kaum ahli makrifat, pemimpin

kaum pencinta, pelopor kaum tercinta, Amirul Mukminin Ali yang mengatakan: "Tauhid

yang sempurna adalah menafikan pemberian atribut kepada-Nya,"460 karena sebuah

atribut (sifat) mengungkapkan ke-lain-an (ghairiyat) dan pluralitas (katsrat), sedangkan

kecenderungan ini, meskipun kepada pluralitas Nama-nama, adalah jauh dari rahasia-

rahasia tauhid dan fakta-fakta abstraksi. Dengan demikian, barangkali rahasia dosa Adam

merupakan kecenderungan kepada pluralitas Nama-nama, yang merupakan jiwa pohon

terlarang.

Studi Makrifat
Ketahuilah bahwa kaum literalis memperlihatkan sejumlah pendapat berkenaan

dengan "na`budu" (kami menyembah) dan "nasta`in" (kami mencari pertolongan),

berkenaan dengan eksistensinya dalam karakter plural person pertama, sedangkan

pembicaranya adalah person tunggal.

Mereka mengatakan bahwa, dalam kaitan ini, metode legal terlintas di benak sang

penyembah untuk membuat ibadahnya diterima oleh allah Ta`ala. Dengan menggunakan

kata ganti plural dia menempatkan ibadahnya di antara ibadahnya makhluk-makhluk lain,

yang di antara mereka, tentu saja, ada orang-orang sempurna di antara sahabat-sahabat

Allah yang ibadah mereka diterima oleh Allah Ta`ala, dan menyerahkannya ke ambang

pintu Kesucian dan Istana Rahmat, untuk memastikan bahwa ibadahnya secara implisit

akan diterima, karena bukanlah tradisi Yang Maha Pemurah untuk melakukan

diskriminasi perlakuan.

Mereka juga mengatakan bahwa karena salat dilaksanakan terlebih dahulu dalam

jamaah, berarti salat datang dalam bentuk jamak.

Berbicara tentang rahasia umum azan dan iqamah, kami sebutkan sebuah poin

untuk pada tingkat tertentu mengenali, mengetahui dan memahami rahasia ini. Artinya,

azan adalah memproklamasikan bahwa kekuatan lahir dan kekuatan gaib sang salik siap

untuk hadir di hadapan-Nya, sedangkan iqamah adalah menegakkan kekuatan-kekuatan

itu di hadapan-Nya. Bila sang salik mempersiapkan kekuatan lahir dan gaibnya untuk

hadir di hadapan-Nya, sementara hati, yang menjadi pemimpin kedua kekuatan itu,

berdiri tegak sebagai Imam mereka, berarti salat dimulai dan "Si mukmin itu sendiri

adalah jamaah."461 Karena itu, "na`budu, nasta`in dan ihdina" ("kami menyembah,"

"kami mencari pertolongan," "dan pandulah kami"), semuanya akan dilakukan melalui
jamaah ini di hadapan Yang Suci. Dalam riwayat dan doa para Imam Ahlul Bait maksum,

yang merupakan sumber makrifat dan penglihatan samawi, diungkapkan konsep ini.

Pandangan lain yang terlintas di benak penulis adalah bahwa sang salik melihat

semua pujian dan terima kasih dari setiap hamba yang memuji dan bersyukur, di alam

nampak dan alam gaib, sebagai khusus bagi Zat Suci Allah saja. Juga diperlihatkan

dengan jelas dalam hujah-hujah para Imam, dan di hati ahli makrifat bahwa semua

makhluk di lingkaran eksistensi—baik di dunia maupun di langit, besar maupun kecil—

memiliki eksistensi kapasitas untuk merasakan, kapasitas untuk memberikan tanggapan

emosional dan estetis, dan eksistensi untuk memahami karakteristik hewan, atau bahkan

eksistensi ras manusia atau karakteristik khas manusia, dan mereka memuji serta

memuliakan Allah Ta`ala, dengan akal dan kesadaran. Sudah terbentuk dalam fitrah

segala sesuatu, umat manusia pada khususnya, untuk tunduk kepada Eksistensi Suci Yang

Sempurna dan Yang Indah Mutlak, dan dahi-dahi mereka diletakkan di debu Ambang

Pintu Suci-Nya, seperti diungkapkan dalam Al-Quran Suci: ... dan tak ada satu pun

kecuali memuliakan-Nya, namun kamu tidak mengerti pemuliaan oleh mereka.462 Ayat-

ayat suci lain, dan riwayat-riwayat dari para Imam maksum, yang sarat rahmat dan

berkah Allah, mendukung hujah ini. Karena itu, jika si penempuh jalan menuju Allah

dapat menemukan kebenaran ini melalui argumen kritis, persepsi akurat atau penglihatan

makrifat, maka dia akan mengetahui dan memahami, apa pun posisinya, bahwa semua

partikel eksistensi dan penghuni alam nampak dan alam gaib menyembah Yang Mutlak

Disembah dan mencari Pencipta mereka. Dengan demikian, bentuk jamak (kata ganti)

digunakan karena semua eksistensi, dalam segenap gerak dan diam mereka, menyembah

Zat Suci Allah Ta`ala, dan mencari pertolongan-Nya.


***

Sebuah Catatan dan Sebuah Poin

Ketahuilah bahwa alasan untuk menempatkan iyyaka na`budu di depan iyyaka

nasta`in—meskipun sudah menjadi tradisi lazim bahwa mencari pertolongan untuk

ibadah dilakukan sebelum ibadah—adalah bahwa "ibadah" mendahului "mencari

pertolongan", bukan "menolong." Kadang "menolong" terjadi tanpa "mencari

pertolongan." Juga mereka mengatakan bahwa, karena keduanya ini saling terkait, maka

meletakkan di depan atau meletakkan di belakang tak akan ada bedanya, sebagaimana

dikatakan: "Engkau perhatikan hakku, maka Engkau lakukan kemurahan hati kepadaku,"

atau "Engkau lakukan kemurahan hati kepadaku, maka Engkau perhatikan hakku."

Selanjutnya, mencari pertolongan adalah untuk ibadah ke depan, bukan untuk ibadah saat

ini. Ketumpulan pendapat-pendapat ini terlihat oleh ahli rasa (ahl-i dzauq).

Barangkali poinnya adalah bahwa membatasi "mencari pertolongan" kepada Allah

Ta`ala saja terjadi, menurut kondisi perjalanan menuju Allah, setelah membatasi "ibadah"

kepada Dia saja. Jelas sekali bahwa banyak ahli tauhid dalam ibadah, yang membatasi

"ibadah" hanya kepada Allah saja, namun mereka musyrik dalam "mencari pertolongan"

dan tidak membatasi "mencari pertolongan" hanya kepada Allah saja, sebagaimana telah

kami kutip beberapa ahli tafsir yang percaya bahwa membatasi "mencari pertolongan"

hanya kepada Allah saja tidaklah riil. Karena hal itu membatasi "ibadah" hanya kepada

Allah saja, dalam konsep konvensionalnya, adalah bagian dari kondisi pertama ahli

tauhid, sedangkan membatasi "mencari pertolongan" merupakan penolakan mutlak

terhadap selain Allah.


Jelaslah bahwa "mencari pertolongan" tidak berarti "mencari pertolongan" hanya

dalam ibadah, melainkan dalam segala urusan, dan ini terjadi setelah menolak sarana dan

mengabaikan keserbaragaman (multiplisitas, katsarat), dan setelah sepenuhnya berpaling

kepada Allah. Dengan kata lain, membatasi "ibadah" berarti mencari Allah,

membutuhkan Dia dan tidak lagi berpaling kepada selain Dia. Dan membatasi "mencari

pertolongan" berarti merujuk kepada Dia, dan tak lagi merujuk kepada selain Dia. "Tidak

lagi merujuk kepada selain Dia" ini terjadi, sesuai dengan level-level ahli makrifat dan

fase-fase para salik, setelah "tidak lagi mencari selain Dia."

Manfaat Makrifat

Wahai hamba yang melakukan perjalanan, ketahuilah bahwa membatasi "ibadah"

dan "mencari pertolongan" hanya kepada Allah saja juga bukanlah bagian dari kondisi

ahli tauhid dan fase sempurna para salik, karena hal ini mengindikasikan sebuah klaim

yang bertentangan dengan kepercayaan kepada satu Tuhan (monoteisme) dan abstraksi.

Mereka bahkan percaya bahwa merujuk kepada ibadah, pelaku ibadah, pencari

pertolongan, dan dia yang pertolongannya dicari, dan merujuk kepada pertolongan,

bertentangan dengan monoteisme. Dalam monoteisme yang riil, yang muncul di hati sang

salik, keserbaragaman seperti itu lenyap, sehingga merujuk kepada urusan-urusan

semacam itu pun terhapus. Ya, mereka yang sadar dari pesona gaib dan mencapai

ketenangan hati, maka keserbaragaman tidak menjadi tabir bagi mereka, karena orang

merupakan bagian dari banyak kelompok:

Kelompok pertama terdiri atas mereka yang tertabiri, seperti kita ini, yang lemah,

yang diliputi tabir gelap dunia fisik atau alam natural.


Kelompok kedua terdiri atas orang-orang salik, para penempuh perjalanan menuju

Allah, mereka yang berimigrasi ke Istana Kesucian.

Kelompok ketiga terdiri atas orang-orang yang konsisten (washilan), yang keluar

dari tabir-tabir keserbaragaman dan sibuk dengan Allah, mengabaikan semua makhluk

dan tertabiri dari semua makhluk, karena mereka sudah mengalami pingsan dan

peniadaan diri yang sempurna.

Kelompok keempat terdiri atas orang-orang yang kembali kepada makhluk, dan

yang mengemban tugas sebagai penyempurna dan pemandu, seperti para nabi besar dan

para penerus mereka. Meskipun mereka berada di antara keserbaragaman dan

bertanggung jawab memandu manusia, namun keserbaragaman tidak menabiri mereka,

melainkan membentuk kondisi menyerupai jembatan, semenanjung atau barzakh bagi

mereka.

Karena itu, "iyyaka na`budu wa iyyaka nasta`in" memiliki efek-efek yang

berbeda terkait kelompok-kelompok berbeda yang disebutkan di atas. Bagi kami, orang-

orang yang tertabiri, itu semata-mata klaim dan pandangan. Namun jika kita mengetahui

dan menyadari tabir dan kelemahan kita, maka ibadah kita semakin bercahaya sesuai

level pengetahuan dan kesadaran kita akan kelemahan kita, dan karena itu ibadah kita

diterima oleh Allah Ta`ala. Bagi kaum salik, itu lebih dekat dengan kebenaran, sesuai

dengan langkah perjalanan. Bagi kaum konsisten (washilan), terkait merujuk kepada

Allah, itu adalah kebenaran, dan, terkait merujuk kepada keserbaragaman (multiplisitas,

katsrat), itu hanyalah pandangan, kesan, potret dan perbuatan biasa. Bagi orang-orang

sempurna, itu semata-mata kebenaran, dan karena itu mereka tidak tertabiri dari Allah

dan tidak juga dari makhluk.


Kebangkitan yang Realistis

Ketahuilah bahwa selama kita berada dalam tabir tebal dunia alam natural, selama

kita menggunakan hidup kita dengan upaya menguasai dunia dan upaya mendapatkan

berbagai kesenangannya, dan selama kita melupakan Allah Ta`ala, selama itu pula

segenap ibadah, doa dan bacaan-bacaan kita tak memiliki kebenaran sama sekali—dalam

al-hamdu lillah (segala puji bagi Allah) pun kita tidak dapat membatasi pujian hanya

kepada Allah saja, juga dalam iyyaka na`budu wa iyyaka nasta`in kita tak bisa

menemukan jalan menuju kebenaran. Dengan klaim-klaim hampa seputar eksistensi

Allah Ta`ala, malaikat-malaikat pilihan, para nabi yang sekaligus rasul dan para wali

maksum ini, kita akan malu. Orang yang lidah kondisi dan kata-katanya tak pernah

berhenti memuji penghuni dunia ini, mana mungkin dia dapat mengucapkan "Segala puji

bagi Allah"? Orang yang hatinya cenderung kepada dunia natural dan dunia fisik, dan tak

memiliki aroma samawi, dan yang harapan dan kepercayaannya adalah kepada orang,

maka dengan lidah seperti apa dia dapat mengucapkan "Engkaulah yang kami sembah,

dan kepada Engkaulah kami mencari pertolongan"? Nah, jika Anda orang untuk bidang

ini, maka singsingkan lengan baju ketetapan hati, dan, dengan mengingat dan

merenungkan dengan saksama Kebesaran Allah, kehinaan makhluk, ketidakmampuan

dan kepapaannya, cobalah untuk menyampaikan fakta-fakta dan hal-hal sulit yang

disebutkan dalam tesis ini kepada hati Anda, dan hidupkan hati Anda dengan ingat Allah

Ta`ala untuk membawakan kepada indra penciuman hati Anda aroma monoteisme, dan,

dengan pertolongan Yang Gaib, untuk menemukan jalan menuju salatnya ahli makrifat.

Jika Anda bukan orang untuk bidang ini, minimal Anda ingat selalu kesalahan-kesalahan

Anda, memperhatikan selalu kehinaan dan ketidakmampuan Anda, menunaikan


kewajiban-kewajiban Anda karena malu dan aib, dan menghindari mengklaim kalau diri

Anda menghamba kepada Allah. Dan ayat-ayat mulia ini, yang tidak Anda kaji rahmat-

rahmatnya, bacalah ayat-ayat ini lewat lidah orang-orang sempurna, atau ingatlah bahwa

diri Anda semata-mata membaca bentuk (atau lahiriah) Al-Quran, sehingga minimal

Anda tidak membuat klaim palsu.

Aspek Fiqih

Sebagian faqih berpendapat bahwa tidak dibolehkan mengharapkan komposisi

(insya') dalam kalimat-kalimat seperti iyyaka na`budu wa iyyaka nasta`in, dengan

berpikiran bahwa itu akan bertentangan dengan Al-Quran dan dengan bacaannya, karena

bacaan berarti menuturkan kata-kata orang lain. Kata-kata ini tak ada argumen logisnya,

karena kalau orang dapat memuji seseorang dengan kata-katanya sendiri, dia pun dapat

menggunakan kata-kata orang lain untuk maksud ini. Misal, jika kita memuji seseorang,

dan kita memujinya dengan menggunakan syair Hafizh, berarti kita memuji orang itu dan

sekaligus kita membaca syair Hafizh. Nah, jika kita, ketika mengucapkan "alhamdu

lillah rabbil `alamin" (segala puji bagi Allah, Tuhan alam semesta), maka sesungguhnya

kita membatasi semua pujian hanya untuk Allah saja, dan ketika kita mengucapkan

"iyyaka na`budu (Engkaulah yang kami sembah), sesungguhnya kita membatasi ibadah

hanya kepada Allah saja, dan itu artinya adalah bahwa dengan kata-kata Allah, kita

memuji Dia, dan dengan kata-kata Allah pula, kita membatasi ibadah hanya kepada Dia

saja. Tetapi jika seseorang meniadakan dari kata-kata ini makna formatnya, berarti dia

melanggar prinsip ihtiyath (melindungi diri dari kemungkinan terjadinya sesuatu yang

tidak diinginkan), jika tidak mau dikatakan bacaannya akan bathil (tidak sah). Namun
jika seseorang tidak mengetahuinya, maka tidak penting baginya untuk mengkaji guna

memahaminya, karena bacaan formalnya dengan maknanya sendiri sudah cukup.

Sebagian riwayat mengungkapkan fakta yang disusun oleh si pembaca, seperti

disebutkan hadis mulia: "Bila dia (si hamba) mengucapkan dalam salatnya: `Bismillahir-

rahmanir-rahim', maka Allah berkata: `Hamba-Ku ingat Aku', dan ketika si hamba

mengucapkan: `Al-hamdu lillah', maka Allah berkata: `Hamba-Ku memuji-Ku'463 ... dan

seterusnya." Jika "basmalah" dan "hamdalah" tidak disusun oleh hamba, maka "ingat

Aku" dan "memuji-Ku" tak akan ada artinya. Dalam hadis mikraj dikatakan: "Kini kamu

sudah tiba, bacalah Nama-Ku"464 (yaitu bacalah basmalah). Dari sikap dan nada para

Imam berkenaan dengan membaca "maliki yaumid-din", dan "iyyaka na`budu", dan dari

diulang-ulangnya ayat-ayat ini oleh mereka, maka jelaslah bahwa mereka menyusun,

bukan sekadar membaca, seperti: "Ismail bersaksi bahwa tak ada tuhan kecuali Allah."465

Salah satu perbedaan penting derajat salat orang-orang saleh terjadi karena

perbedaan bacaan mereka, sebagaimana sudah kami ungkapkan sebagiannya. Namun hal

ini tak akan terjadi kalau si pembaca tidak mendesain penyusunan bacaan-bacaan dan

zikirnya. Bukti-bukti yang memperlihatkan ini lebih banyak. Ringkas kata, menyusun

konsep-konsep ini dengan menggunakan kata-kata Allah dapatlah diterima.

Manfaat

Para ahli bahasa mengatakan bahwa "ibadah" berarti ketundukan dan kesahajaan

maksimal. Mereka juga mengatakan bahwa karena ibadah merupakan level tertinggi

ketundukan, maka ibadah tidak tepat kecuali untuk orang yang berada di level tertinggi

eksistensi dan kesempurnaan, dan level tertinggi kemurahan hati, dan dengan begitu

maka ibadah kepada selain Allah adalah kemusyrikan. Barangkali, "ibadah"—yang dalam
bahasa Persia berarti "pemujaan, penyembahan, cinta mendalam" dan "penghambaan"—

sesungguhnya mengindikasikan lebih dari apa yang sudah disebutkan, yaitu ibadah

adalah ketundukan kepada Sang Pencipta dan Tuhan. Maka dari itu, ketundukan seperti

itu tak bisa dipisahkan dari memandang yang disembah itu sebagai Tuhan, atau misalnya,

manifestasi-Nya. Karena itu, menyembah atau beribadah kepada selain Allah adalah

kemusyrikan dan kekufuran. Namun, ketundukan sempurna, tanpa keyakinan ini atau

tanpa mengadopsi makna ini, dan meskipun ketundukan maksimal sudah dicapai, tak

akan menjadi alasan untuk kekufuran dan kemusyrikan, kendatipun beberapa jenisnya

dipandang haram seperti meletakkan dahi di debu untuk maksud ketundukan atau

kepatuhan; meskipun ini bukan ibadah, tetapi ini jelas dilarang oleh agama. Karena itu,

penghormatan yang diberikan oleh para pengikut agama kepada pemimpin religius

mereka, dengan keyakinan bahwa para pemimpin religius itu juga adalah hamba-hamba

yang membutuhkan Allah Ta`ala untuk segala sesuatunya—untuk mendapatkan eksistensi

dan kesempurnaan itu sendiri—dan dengan keyakinan bahwa para pemimpin religius itu

adalah hamba-hamba saleh yang, meskipun tak bisa memberikan manfaat, mudharat,

hidup dan mati bagi diri mereka sendiri, namun mereka adalah, berkat penghambaan

mereka, dekat dengan Istana Allah Ta`ala, dan berada di bawah naungan perhatian-Nya,

dan menjadi sarana karunia-Nya, dan tak dapat ternodai kemusyrikan dan kekufuran.

Menghormati hamba-hamba pilihan Allah, berarti menghormati Dia, dan "Mencintai

hamba-hamba pilihan Allah, berarti mencintai Allah."

Di antara kelompok-kelompok "Aku seru Allah untuk menjadi saksi, dan Allah

cukup sebagai saksi," kelompok yang—karena berkah Ahlul Bait pembawa wahyu dan

pemilik kemaksuman, sumber ilmu dan kearifan—lebih unggul dalam mengesakan,


memuliakan dan mengagungkan Allah SWT, dibanding kelompok-kelompok manusia

lain, adalah kelompok Syiah Dua Belas Imam. Kitab-kitab mereka yang berisi prinsip-

prinsip iman—seperti kitab al-Kafi, dan kitab at-Tauhid karya Syaikh ash-Shaduq—dan

kata-kata serta doa-doa para Imam maksum mereka, yang, dalam mengesakan dan

memuliakan Allah SWT, merupakan topik-topik dari sumber-sumber wahyu dan inspirasi

tersebut, bersaksi bahwa ilmu-ilmu seperti itu luar biasa, tak ada tandingannya, dan

bahwa tak ada yang memuliakan dan mengagungkan Allah Ta`ala seperti pemuliaan dan

pengagungan yang dilakukan oleh mereka, setelah wahyu suci Kitab Allah, Al-Quran

Suci, yang ditulis oleh tangan Yang Mahakuasa.

Kendatipun ada fakta yang menyebutkan bahwa kaum Syiah, di semua negara dan

di segala zaman, senantiasa mengikuti para Imam maksum pembawa petunjuk dan

penjunjung tinggi tauhid, dan melalui argumen jelas dan hujah-hujah kuat, mereka

mengenal Allah, memuliakan dan mengesakan Dia, namun beberapa kelompok, yang

perbuatan bid`ah mereka terlihat jelas dalam keyakinan-keyakinan dan kitab-kitab

mereka, membuka pintu penantangan dan perlakuan buruk terhadap mereka, dan, akibat

permusuhan yang mereka pupuk di hati, menuduh para pengikut Ahlul Bait maksum

melakukan kemusyrikan dan kekufuran. Kendatipun, dalam pasar ilmu dan filsafat, ini

tak ada ada nilainya, namun efek mudharatnya adalah orang-orang yang belum

mengalami perkembangan maksimal bisa terjauhkan dari sumber-sumber ilmu, sehingga

mereka jadi bodoh, hina dan rendah kualitas. Ini merupakan sebuah kejahatan serius

terhadap manusia yang tak pernah dapat diselamatkan. Mengenai topik ini, dan sesuai

dengan ukuran rasional dan religius, tanggung jawab kejahatan dan dosa kelompok

bodoh, lemah dan belum berkembang maksimal ini ada pada hati nurani orang-orang
tidak adil yang, karena kepentingan imajiner sementara mereka, mencegah tersebarnya

ilmu dan ajaran samawi, dan menjadi penyebab kondisi menyedihkan, sulit dan

menderita umat manusia, dan membuat semua upaya keras "Sebaik-baik Manusia"

(khairul basyar) jadi tak ada artinya, dan menutup pintu Rumah Wahyu dan Al-Quran

bagi manusia. "Ya Allah, kutuk dan siksalah mereka dengan kutukan dan siksaan berat."

"Ihdinash-shirathal-mustaqim", dan seterusnya

Ketahuilah bahwa dalam Surah al-Hamd (al-Fatihah) diungkapkan akhlak ahli

makrifat dan kezuhudan, dan hingga "Iyyaka na`budu" surah ini meliput perjalanan

lengkap dari penciptaan sampai Allah. Ketika sang salik bergerak dari Manifestasi

Tindakan ke Manifestasi Sifat, dan kemudian ke Manifestasi Zat, dan keluar dari tabir

cahaya dan tabir gelap, dan berada dalam kondisi hadir dan menyaksikan, maka terjadilah

penghapusan sempurna (istihlak-i kulli). Bila perjalanan menuju Allah berakhir dengan

terbenamnya ufuk penghambaan dan terbitnya kedaulatan pemilikan dalam "Pemilik Hari

Pengadilan", pada akhir perjalanan spiritual ini terjadi kondisi keseimbangan, dan sang

salik kembali kepada dirinya dan menjadi arif dan memperhatikan kondisinya sendiri,

dan situasi ini adalah produk dari perhatian kepada Allah. Ini tidak seperti kondisi

kembali (ruju`) kepada Allah, karena perhatian kepada Allah merupakan produk dari

perhatian kepada makhluk. Dengan kata lain, selama perjalanan menuju Allah, dia biasa

melihat Allah dalam tabir kehidupan, dunia, fitrah dan alam semesta, dan setelah kembali

dari kondisi penghapusan atau peniadaan sempurna, yang berlangsung dalam "maliki

yaumid-din", dia melihat alam semesta dengan melihat kepada Allah, dan karena itu dia

mengucapkan: "Iyyaka na`budu" dengan lebih memprioritaskan objek, si alamat,

daripada dirinya sendiri dan ibadahnya. Dan, karena dalam posisi ini bisa saja tak ada
stabilitas, dan bisa dibayangkan terjadinya ketergelinciran, maka dia meminta stabilitas

dan kekuatan dari Allah Ta`ala, sehingga dia mengucapkan: "Ihdina" yang mengandung

arti: berilah kami keteguhan, kekuatan, kekokohan, sebagaimana sudah dijelaskan.

Mesti dicatat bahwa posisi tersebut dan penjelasan tersebut adalah untuk orang-

orang sempurna dari para ahli makrifat. Kondisi pertama mereka adalah bahwa dalam

kondisi kembali dari perjalanan menuju Allah, Dia Ta`ala menjadi tabir atau menabiri

mereka dari makhluk atau alam semesta. Dan kondisi kesempurnaan mereka adalah

kondisi barzakh (genting tanah, jembatan, semenanjung) besar, di mana alam tidak

menabiri mereka dari Allah, dan Allah tidak menabiri mereka dari alam. Karena itu,

"shirathal-mustaqim" mereka adalah situasi barzakh ini, di tengah-tengah antara dua

alam (nasy'atayn), dan ia adalah jalan Allah. Karena itu, "shirathal-ladzina an`amta

`alayhim" adalah orang-orang yang kapasitas (isti`dad) mereka telah diciptakan oleh

Allah Ta`ala melalui manifestasi "Emanasi Paling Suci" dalam ilmu (hadhrat-i `ilmiyah)-

Nya, dan, setelah peniadaan sempurna, Dia mengembalikan mereka ke kerajaan mereka.

"Maghdhubi", menurut tafsir ini, adalah orang-orang yang tertabiri sebelum terjadinya

penyatuan (wushul), dan "adh-dhalin" adalah orang-orang yang lenyap dalam Eksistensi

(hadhrat).

Mengenai orang-orang tidak sempurna, jika mereka belum memulai perjalanan

spiritual, maka hal-hal ini tak akan terjadi pada fakta mereka, dan "jalan" mereka adalah

struktur religius nyata. Karena alasan ini maka "shirathal-mustaqim" ditafsirkan sebagai

berarti "agama", "Islam" dan seterusnya. Jika mereka itu ahli suluk (perjalanan spiritual

menuju Allah), maka yang dimaksud "petunjuk" oleh mereka adalah "ihdinash-shirat",

dan yang dimaksud "shiratal-mustaqim" oleh mereka adalah jalan terpendek untuk
mencapai Allah, yang adalah jalan Rasulullah saw dan Ahlul Bait beliau, karena para ahli

tafsir mengatakan bahwa itu artinya adalah Rasulullah, para Imam dan Amirul Mukminin

(Ali). Dalam sebuah hadis dikatakan bahwa Rasulullah saw suatu hari membuat sebuah

garis lurus di tengah dan garis-garis lain pada sisi-sisinya dan mengatakan: "Garis lurus

di tengah ini adalah aku."466 Ungkapan "ummatan wasathan" dalam ayat suci "Kami

jadikan kamu umat tengah (ummatan wasathan),"467 barangkali berarti sebuah tengah

mutlak yang mencakup semua makna, termasuk tengah dalam ilmu dan kesempurnaan-

kesempurnaan spiritual, yang adalah sebuah posisi besar barzakh dan tengah besar.

Karena alasan inilah maka posisi ini milik orang-orang sempurna dari kalangan sahabat-

sahabat Allah. Itulah sebabnya kenapa riwayat menyebutkan bahwa posisi ini adalah

posisi para Imam, sebagaimana dikatakan Imam al-Baqir kepada Yazid bin Muawiyah al-

Ijli: "Kami ini umat tengah, dan kami ini saksi Allah atas umat manusia."468 Dalam

riwayat lain, Imam juga mengatakan: "Kepada kami, kembali orang-orang yang berlebih-

lebihan (ghali), dan kepada kami, orang-orang lalai (muqashshir) merujuk."469 Dalam

hadis ini diungkapkan apa yang sudah disebutkan di atas.

Sebuah Catatan Pencerah dan Sebuah Pencerahan Makrifat

Ketahuilah, Wahai yang mencari Allah dan kebenaran, bahwa ketika Allah Ta`ala

menciptakan sistem eksistensi dan bukti konklusif (bukti yang tidak diragukan

kebenarannya) (mazhahir) alam gaib dan alam kasat mata, karena cinta Esensial-Nya

untuk dikenal dalam Nama-nama dan Sifat-sifat, seperti disebutkan hadis mulia: "Aku

adalah Sesuatu yang Tersembunyi dan Luar Biasa Nilainya, kemudian Aku ingin dikenal,

lalu Aku ciptakan makhluk-makhluk,469/1 Dia menanamkan cinta natural dan kerinduan

fitri dalam personalitas atau karakter segala sesuatu, sehingga melalui daya tarik dan api
cinta itu mereka terdorong untuk mencari Kesempurnaan Mutlak dan untuk

mendambakan Keindahan Mutlak. Untuk masing-masing eksistensi Dia berikan cahaya

fitri ilahiah, yang dengan cahaya ini mereka bisa menemukan jalan menuju tujuan. Api

dan cahaya ini, yang satu adalah rafraf kedatangan (wushul), dan satu lagi adalah buraq

mikraj—keduanya adalah tunggangan samawi Rasulullah saw. "Buraq" dan "rafraf"

Rasulullah saw adalah sarana (raqiqah) karunia (lathifah) ini dan potret duniawi paralel

(shurat-i mutamatstsila-i mulkiyah) kebenaran ini, dan itulah sebabnya mereka

diturunkan dari surga, yang merupakan batin (inti, esensi) dunia ini.

Karena makhluk turun dalam barisan individuasi (tindakan atau proses membuat

seseorang atau sesuatu jadi terpisah dan beda dari yang lain—penerj.) dan tertabiri dari

Keindahan Indah Sang Tercinta, Kemulian dan Kesucian Kebesaran-Nya, maka Allah

Ta`ala mengeluarkan mereka dari tabir-tabir gelap individuasi dan kondisi aku, dengan

api dan cahaya yang disebutkan di atas dan dengan nama suci "sang Pemandu", yang

adalah realitas sarana-sarana (raqayiq) ini, sehingga mereka dapat mencapai kedekatan

dengan Sang Tercinta mereka, Tujuan Riil mereka, melalui jalan tercepat. Dengan

demikian, cahaya itu adalah "petunjuk" Allah Ta`ala, sedangkan api itu adalah "asistensi"

samawi, sehingga perjalanannya adalah di jalan tercepat yang adalah "jalan lurus", karena

Allah Ta`ala berada di "jalan lurus" itu. Barangkali mengungkapkan petunjuk, perjalanan

dan tujuan ini ketika ayat ini mengatakan: Tak ada makhluk hidup kecuali Dia

memegangnya pada gombaknya, sesungguhnya Tuhanku berada di jalan yang lurus, 470

sebagaimana terlihat jelas oleh ahli makrifat.

Mesti dicatat bahwa setiap eksistensi memiliki jalannya sendiri, cahaya dan

petunjuknya sendiri: "Jalan menuju Allah sebanyak napas makhluk."471 Dan, karena
dalam setiap individuasi (ta`ayyun) ada tabir kegelapan, dan dalam setiap eksistensi dan

kondisi aku ada tabir terang, dan karena manusia adalah pusat (majma`) fenomena

(ta`ayyunat) dan kolektor wujud-wujud (jami`-i wujudiyat), maka dia adalah eksistensi

yang paling tertabiri dari Allah Ta`ala. Ayat mulia, Kemudian Kami reduksi dia menjadi

yang paling rendah di antara yang rendah,472 barangkali mengungkapkan poin ini.

Karena alasan ini, maka jalan umat manusia adalah jalan paling panjang dan paling gelap

di antara semua jalan. Dan, karena "Tuhan"-nya manusia adalah Nama Teragung Allah,

yang bagi-Nya yang lahir, yang batin, yang pertama, yang terakhir, rahmat, kekuatan, dan

pada umumnya nama-nama berlawanan, semuanya sama. Manusia sendiri harus melewati

fase barzakh besar pada akhir perjalanannya, dan inilah alasan kenapa "jalan"-nya adalah

jalan yang paling sulit di antara semua jalan.

Sebuah Catatan Realistis

Seperti sudah disebutkan dan diketahui, ada fase-fase dan level-level untuk

petunjuk terkait dengan jenis-jenis perjalanan para penempuh jalan menuju Allah dan

fase-fase suluk para salik. Sebagian fase ini akan dipaparkan secara ringkas, sehingga,

sementara "jalan lurus", "jalan kaum ekstrem" (shirat-i mufrithin) dan "jalan kaum

berlebihan" (shirath-i mufarrithin), yang adalah orang-orang yang "dibebani amarah" dan

orang-orang yang "sesat", dapat dibedakan berdasarkan fasenya.

Pertama adalah bahwa cahaya bimbingan atau petunjuk itu natural, esensial,

integral atau fitri, seperti sudah dijelaskan dalam "catatan" sebelumnya. Dalam fase

bimbingan atau petunjuk ini, "jalan lurus" adalah suluk menuju Allah tanpa adanya tabir

kasat mata atau gaib, atau ia adalah suluk menuju Allah tanpa tertabiri raga atau dosa-

dosa hati, atau ia adalah suluk menuju Allah tanpa tabir ketunggalan atau keserbaragaman
(multiplisitas, katsrat). Barangkali ayat, Dia menyebabkan sesat siapa yang Dia

kehendaki, dan memandu siapa yang dikehendaki-Nya,473 mengindikasikan fase

bimbingan ini dan tabir-tabir yang diatur dalam Takdir (hadhrat-i qadar), yang bagi kita

adalah fase Ketunggalan (wahidiyat) yang termanifestasikan dalam esensi-esensi

permanen (hadharat-i a`yan-i tsabitah). Namun membahas lebih lanjut topik ini

bukanlah kapasitas buku ini, atau bahkan di luar batas-batas penulisannya: "Ia adalah

salah satu rahasia Allah dan salah satu proteksi Allah."474

Kedua adalah bimbingan lewat cahaya Al-Quran, dan pada sisi lawannya adalah

kealpaan, atau berhenti di sisi luarnya atau sisi dalamnya, seperti dipercaya sebagian

kaum formalis bahwa Ilmu-ilmu Al-Quran adalah makna-makna umum dan sangat

konvensionalnya dan konsep-konsep positif dan vulgarnya, dan dengan berbasis

keyakinan ini, mereka tidak melakukan perenungan atau pemikiran tentang Al-Quran.

Apa yang mereka dapatkan dari Kitab pembawa cahaya ini—yang menjamin

kebahagiaan spiritual, raga, hati dan formal manusia—hanya sebatas petunjuk atau ajaran

formal dan lahiriahnya saja. Mereka mengabaikan semua ayat yang menyuruh atau

menganjurkan perenungan, pemikiran dan pengingatan Al-Quran dan pemanfaatan

cahayanya, melalui ini semua dapat dibuka banyak pintu ilmu. Nampaknya Al-Quran

seakan-akan diturunkan hanya untuk mengundang manusia kepada kesenangan dan

kenikmatan duniawi dan kebutuhan hewani, dan sekadar untuk menguatkan posisi hasrat

hewani.

Sebagian kaum esoteris (ahli batin) berpendapat bahwa mereka harus berpaling

dari makna lahiriah Al-Quran beserta seruan formalnya—yang merupakan perintah atau

petunjuk untuk mengikuti disiplin-disiplin yang dibutuhkan oleh kondisi berada di


hadapan Tuhan dan bagaimana berjalan menuju Allah, petunjuk atau perintah yang tidak

mereka sadari dan tidak mereka indahkan. Mereka menyimpang dari lahiriah Al-Quran,

karena diperdaya oleh trik Iblis terkutuk dan jiwa yang mengajak kepada dosa, dan

percaya bahwa diri mereka mengikuti ilmu-ilmu batinnya, meskipun fakta

memperlihatkan bahwa jalan menuju batinnya melewati aksi mengikuti disiplin-disiplin

lahirnya.

Kedua kelompok ini tidak seimbang dan tidak memiliki cahaya bimbingan

menuju jalan lurus Al-Quran, dan keduanya sama-sama ekstrem. Para pakar yang

mengedepankan studi metodis dan saksama mesti memperhatikan sisi lahir dan sisi batin

dan mengikuti disiplin formal dan disiplin spiritual, menerangi sisi lahir dengan cahaya

Al-Quran, dan menerangi sisi batin dengan cahaya ilmu, monoteisme dan abstraksi.

Hendaknya ahli literalisme (ahl-i zhahir) tahu bahwa membatasi Al-Quran pada

disiplin-disiplin bentuk-bentuk lahir dan sedikit perintah atau ajaran moral praktis dan

keyakinan-keyakinan umum tentang tauhid, Nama-nama dan Sifat-sifat, berarti tidak

memberikan penghormatan yang semestinya kepada Al-Quran, dan berarti pula

memandang tidak sempurna syariat yang dibawa Penutup Para Nabi saw, padahal tak ada

syariat yang bisa dipandang lebih sempurna daripada syariat yang dibawa Rasulullah saw,

karena kalau tidak sempurna, maka "penutup" tersebut merupakan sesuatu yang tidak

mungkin terjadi, bila dilihat dengan ukuran keadilan. Maka dari itu, karena syariat Islam

adalah penutup hukum Allah, dan karena Al-Quran adalah penutup kitab-kitab wahyu,

maka hubungan terakhir antara Pencipta dan makhluk, fakta-fakta tauhid, abstraksi dan

ilmu samawi, yang merupakan tujuan awal dan tujuan esensial agama-agama dan hukum-

hukum Allah serta kitab-kitab wahyu, mesti merepresentasikan fase terakhir dan puncak
tertinggi kesempurnaan, atau kalau tidak maka berarti syariat ini memiliki kekurangan,

dan bila situasinya seperti ini maka ini bertentangan dengan keadilan Allah dan

kemurahan hati Tuhan, dan kondisi ini sendiri merupakan kemustahilan dan aib, yang tak

bisa dibersihkan dari agama-agama kebenaran dengan tujuh samudra—na`udzu billah

min dzalik!

Penting untuk diketahui oleh ahli batin bahwa mencapai tujuan awal, tujuan sejati,

tak lain adalah menyucikan lahir dan batin, dan tanpa mengikuti bentuk lahir dan bentuk

batin, maka batin tak dapat dicapai. Tanpa mengenakan busana bentuk lahiriah syariat,

maka tak bisa didapat jalan untuk mencapai batin. Karena itu, mengabaikan lahir berarti

meniadakan nilai atau kekuatan legal lahir dan batin syariat Allah. Inilah salah satu

muslihat setan dari kalangan jin dan manusia. Beberapa aspek poin ini sudah dibahas

dalam buku kami, Penjelasan Empat Puluh Hadis, seperti sudah disebutkan sebelumnya.

Ketiga adalah bimbingan atau petunjuk melalui cahaya syariat.

Keempat adalah bimbingan atau petunjuk melalui cahaya Islam.

Kelima adalah bimbingan atau petunjuk melalui cahaya iman.

Keenam adalah bimbingan atau petunjuk melalui cahaya yakin.

Ketujuh adalah bimbingan atau petunjuk melalui cahaya ilmu (`irfan).

Kedelapan adalah bimbingan atau petunjuk melalui cahaya cinta (mahabbat).

Kesembilan adalah bimbingan atau petunjuk melalui cahaya wali.

Kesepuluh adalah bimbingan atau petunjuk melalui cahaya abstraksi dan

monoteisme.

Tiap-tiap fase ini memiliki ekstrem lebih (ifrath) dan ekstrem kurang (tafrith),

berlebihan (ghuluw) dan lalai (taqshir).


Kalau dibahas lebih mendalam lagi maka buku ini akan lebih tebal. Hadis mulia

dalam al-Kafi mungkin mengindikasikan sebagian atau seluruhnya. Hadis ini

menyebutkan: "... Kami, para keturunan Muhammad, adalah orang-orang yang bersahaja.

Kaum ekstremis (ghali) tak akan memahami kami, sedangkan pengikut (tali) tak akan

melampaui kami."475 Dalam sebuah hadis dari Nabi saw dikatakan: "Sebaik-baik umat ini

adalah yang bersahaja, sehingga para pengikut dapat menyusulnya, dan kaum ekstremis

kembali kepadanya."476

Sebuah Catatan Makrifat

Ketahuilah bahwa untuk setiap eksistensi di alam gaib dan alam kasat mata, dan

di dunia ini dan akhirat, ada awal (mabda') dan ada tujuan (ma`ad). Kendatipun Identitas

(huwiyat) ilahiah adalah awal dan tujuan (marja`) semua (eksistensi), namun Esensi Suci

Allah SWT tak akan bisa dilihat dengan jelas oleh eksistensi tinggi dan eksistensi rendah

tanpa adanya tabir Nama-nama. Berdasarkan kondisi ini, yang merupakan sebuah tiada-

kondisi (lamaqami) yang tak ada nama dan tak ada bentuk, dan tidak disifati dengan

Nama-nama Zat, Sifat-sifat dan Tindakan-tindakan, tak ada makhluk yang berhubungan

dengan-Nya, juga tak ada pertalian atau sangkut paut: "Mana mungkin ada perbandingan

antara debu dan Tuhan alam semesta!"476/1—Detail-detail ini sudah dibahas dalam karya

kami, Misbahul Hidayah. Karena itu, kondisi pertama (mabda'iyat) dan kondisi orisinal

(mashdariyat) Zat Suci-Nya berada dalam tabir-tabir Nama-nama, dan karena Nama

adalah yang diidentifikasi dengan Nama, maka pada saat bersamaan ia adalah juga

tabirnya. Karena itu, manifestasi di alam gaib dan alam kasat mata sesuai dengan Nama-

nama dan ditabiri oleh mereka. Karena alasan ini maka Zat Suci-Nya memiliki, dalam

display (jilwah) Nama-nama dan Sifat-sifat, manifestasi-manifestasi dalam Ilmu-Nya


(hadhrat-i `ilmiyah), yang manifestasi-manifestasinya oleh ahli makrifat dinamakan

"wujud-wujud permanen" (bentuk-bentuk yang mengilustrasikan Nama-nama Allah =

a`yan tsabitah). Karena itu, setiap manifestasi nominal (tajalli) dalam Ilmu-Nya

membutuhkan entitas atau wujud permanen, dan setiap Nama memiliki, berkat kekuatan

karakter (ta`ayyun) Ilmu-Nya, di dunia lahir, manifestasi (mazhhar) yang awal dan

akhirnya adalah Nama yang sama yang pas untuknya; sedangkan kembalinya setiap

eksistensi dari dunia keserbaragaman ke kondisi tersembunyi Nama yang adalah sumber

dan awalnya, adalah "jalan lurus"-nya. Karena itu, setiap eksistensi mau tak mau

memiliki perjalanan khusus dan jalan khusus, di samping awal dan akhir yang tak

terelakkan, dalam Ilmu-Nya. Perbedaan manifestasi-manifestasi (mazhahir) dan jalan-

jalan terjadi karena perbedaan lahir (zhahir) dan Nama-nama.

Mesti dicatat bahwa "level individual" (taqwim) manusia dalam puncak-puncak

ketinggian (a`ala `illiyin) adalah koleksi Nama-nama (jam'-i asma'i). Karena alasan

inilah maka dia tereduksi ke dasar kerendahan (asfal-i safilin), dan "jalan"-nya dimulai

dari dasar kerendahan dan berakhir di puncak ketinggian. Ia adalah jalannya orang-orang

yang dianugerahi oleh Allah nikmat sempurna, nikmat koleksi sempurna Nama-nama,

yang adalah puncak nikmat samawi. Jalan-jalan lain, apakah itu jalan-jalan orang-orang

yang bahagia (su`ada') dan "orang-orang yang diberi nikmat" (mun`amun `alaihim), atau

jalan-jalan orang-orang yang keji (asyqiya'), berada di ujung sikap berlebihan atau di

ujung sikap lalai, sesuai dengan tingkat kelangkaan Nikmat Sempurna di jalan-jalan

bersangkutan. Karena itu, jalan orang sempurna saja yang merupakan jalan orang-orang

yang mendapat nikmat sempurna. Jalan ini pada awalnya diperuntukkan bagi person suci

Penutup Para Nabi saw, dan secara simultan (bittaba`iyah) jalan ini disahkan untuk
orang-orang suci (auliya') dan nabi-nabi lain. Untuk memahami pembicaraan ini, dan

(kaitannya dengan) fakta bahwa Nabi murah hati adalah Nabi Terakhir, maka dibutuhkan

pemahaman "Nama-nama" dan "Wujud-wujud" (a`yan), seperti dijelaskan dalam kitab

Mishbahul Hidayah. Dan Allah-lah yang memandu ke jalan lurus.

Kutipan untuk Informasi Lebih Lanjut

Syaikh Bahai, dalam kitabnya, al-`Urwatul Wutsqa, mengatakan: "Meskipun

nikmat-nikmat Allah terlalu banyak untuk dihitung, sebagaimana firman Allah: Dan jika

kamu hitung nikmat-nikmat Allah, kamu tak akan mampu menghitungnya,477 namun yang

jelas nikmat Allah itu ada dua macam: nikmat-nikmat duniawi dan nikmat-nikmat

akhirat. Tiap-tiap nikmat ada yang natural (didapat sejak lahir) dan ada yang didapat

melalui perjuangan, dan tiap-tiap nikmat ada yang spiritual dan ada yang ragawi. Karena

itu, pada umumnya, ada delapan jenis nikmat:

Pertama: nikmat duniawi, natural dan spiritual, seperti peniupan ruh dan

pemberian akal dan kemampuan intelektual.

Kedua: nikmat duniawi, natural dan ragawi, seperti penciptaan organ-organ dan

kekuatan-kekuatannya.

Ketiga: nikmat duniawi, didapat lewat perjuangan, dan spiritual, seperti

mengosongkan diri dari urusan rendah, dan menghiasi diri dengan moral suci dan

kemampuan tinggi.

Keempat: nikmat duniawi, didapat lewat perjuangan, dan ragawi, seperti

menghiasi raga dengan bentuk-bentuk terpuji dan ornamen-ornamen yang bagus.

Kelima: nikmat akhirat, natural dan spiritual, seperti pengampunan dosa-dosa kita

oleh-Nya, dan keridhaan-Nya kepada orang-orang yang sudah bertobat. Inilah teks persis
Syaikh dalam ilustrasi ini. Nampaknya bahwa itu adalah kekeliruan dari pihak si

penyalin. Barangkali dia bermaksud mengatakan bahwa Allah Ta`ala bisa saja

mengampuni kita tanpa kita bertobat terlebih dahulu.

Keenam: nikmat akhirat, natural dan ragawi, seperti sungai susu dan sungai madu.

Ketujuh: nikmat akhirat, didapat melalui perjuangan, dan spiritual, seperti

ampunan dan keridhaan (Allah) yang didahului dengan tobat, dan kenikmatan spiritual

yang terjadi berbarengan dengan tindak-tindak ibadah.

Kedelapan: nikmat akhirat, yang didapat melalui perjuangan, dan ragawi, seperti

kenikmatan ragawi yang didapat lewat tindak-tindak ibadah.

Nikmat yang dimaksud di sini adalah empat jenis terakhir dan apa yang menjadi

sarana untuk mendapatkan jenis-jenis ini dari empat jenis pertama.478 (Akhir pembahasan

Syaikh.)

Meskipun menarik klasifikasi yang dibuat oleh Syaikh, namun Syaikh telah

melakukan kesalahan kecil tak disengaja, yaitu berkenaan dengan salah satu nikmat Allah

terpenting, tujuan utama Kitab Allah yang mulia. Syaikh mencukupkan diri dengan

nikmat-nikmat golongan tidak sempurna dan standar. Meskipun dalam pembahasannya

dia mengungkapkan "kenikmatan spiritual", namun kenikmatan spiritual akhirat yang

didapat melalui tindak-tindak ibadah adalah porsi golongan standar, jika bukan porsi

golongan tidak sempurna.

Pada umumnya, di samping apa yang sudah dibicarakan Syaikh terkait

kenikmatan hewani dan porsi-porsi jiwa, ada nikmat-nikmat lain, tiga di antaranya

penting:
Yang pertama adalah nikmat mengenal Zat dan Ketunggalan Zat, yang prinsip

atau basisnya adalah suluk menuju Allah, dan produknya adalah surga pertemuan (dengan

Allah). Tetapi jika perhatian sang salik tertuju ke produk, maka dalam suluk-nya akan

terjadi kegagalan untuk memenuhi kewajiban, karena hal ini adalah kondisi

meninggalkan diri dan kesenangan-kesenangannya, sedangkan memperhatikan produk

berarti memperhatikan diri, dan ini berarti menyembah diri, bukan menyembah Allah. Ini

adalah multiplikasi (taktsir), bukan penyatuan (tauhid). Ini adalah kamuflase (setan),

bukan abstraksi.

Yang kedua adalah nikmat mengenal Nama-nama—sebuah nikmat yang

bercabang, dan cabangnya sebanyak multiplisitas Nama-nama. Jika item-itemnya

dihitung sendiri-sendiri, maka akan berjumlah seribu, dan jika dihitung dalam gabungan

dua-nama atau banyak-namanya, maka tak dapat dihitung. Dan jika kamu menghitung

nikmat-nikmat Allah, kamu tak akan mampu menghitungnya.479 Penyatuan Nama-nama,

dalam kondisi ini, adalah nikmat mengenal Nama Teragung, yang adalah kondisi

"Kesatuan Kolektif Nama-nama" (ahadiyat-i jam`i asma'). Produk mengenal Nama-

nama adalah surga Nama-nama, (karena) tiap person sesuai dengan pengenalannya akan

satu Nama dari banyak Nama, secara individual atau kolektif.

Yang ketiga adalah nikmat mengenal Tindakan-tindakan, yang juga memiliki

banyak sekali cabang. Kondisi tauhid dalam fase ini adalah Kesatuan Kolektif

manifestasi Tindakan-tindakan, yang merupakan kondisi "Emanasi Suci" dan kondisi

"Posisi Pelindung Sempurna." Dan produknya adalah surga Tindakan-tindakan, yang

merupakan manifestasi-manifestasi Tindakan-tindakan Allah di hati sang salik.

Manifestasi yang terjadi pada Musa bin Imran ketika dia mengatakan: Aku melihat api,480
barangkali merupakan sebuah Manifestasi Tindakan-tindakan, dan firman Allah Ta`ala:

Dan ketika Tuhannya menunjukkan keagungan-Nya kepada gunung, Dia membuatnya

hancur menjadi debu, dan Musa jatuh pingsan,481 adalah sebuah Manifestasi Nama-nama

atau Zat.

Karena itu, jalan orang-orang "yang diberi nikmat", yang pertama adalah "jalan"

perjalanan menuju Zat Allah, dan "nikmat" dalam kejadian atau kasus itu adalah

Manifestasi Zat. Dan yang kedua, "jalan" adalah suluk menuju Nama-nama Allah,

sedangkan "nikmat" dalam kejadian itu adalah Manifestasi Nama-nama. Dan yang ketiga,

perjalanan adalah menuju Tindakan Allah, dan "nikmat"-nya adalah Manifestasi

Tindakan-tindakan. Orang-orang yang memiliki kondisi-kondisi ini tidak mencari surga-

surga dan kesenangan-kesenangan yang lazim, entah itu spiritual atau ragawi. Kondisi-

kondisi ini, menurut beberapa riwayat, diabsahkan untuk sebagian orang beriman.482

Kesimpulan

Ketahuilah bahwa Surah al-Hamd (al-Fatihah), selain mengandung semua fase

eksistensi, juga memuat semua fase suluk dan, selanjutnya, berisi—melalui sindiran,

kiasan, ibarat (isyarah)—semua maksud, tujuan atau kegunaan Al-Quran. Menyelam

dalam-dalam ke dalam masalah-masalah ini, meskipun dibutuhkan penanganan yang

sempurna dan logika yang lain, namun mengungkapkan masing-masingnya bukannya tak

ada manfaatnya, atau bahkan banyak manfaatnya bagi ahli makrifat dan ahli yakin.

Maka dari itu, pertama-tama kami katakan bahwa bisa saja bahwa "bismillahir-

rahmanir-rahim" mengindikasikan lingkaran lengkap eksistensi dan dua busur turun dan

naik. Maka dari itu, "Ism Allah" adalah kondisi Ketunggalan "kontraksi dan ekspansi"

(qabdh u basth). "ar-Rahman" adalah kondisi "ekspansi dan manifestasi", yang


merupakan busur turun, sedangkan "ar-Rahim" adalah kondisi "kontraksi dan tertabiri",

yang merupakan busur naik. "Alhamdu lillah" barangkali mengungkapkan alam Kekuatan

(`alam-i jabarut) dan kerajaan Lebih Tinggi, yang realitas-realitasnya adalah pujian-

pujian mutlak. "Rabbul `alamin" yang terkait "pendidikan dan "alam-alam", yang

merupakan kondisi diferensiasi (sawa'iyat), barangkali mengungkapkan alam-alam dunia

natural yang, karena substansi zat, bergerak dan berada di bawah pendidikan. "Maliki

yaumid-din" mengungkapkan kondisi Ketunggalan, Mahakuasa (qahhariyat) dan

kembalinya lingkaran eksistensi. Sampai di sini lingkaran penuh eksistensi, yang turun

dan naik, sudah dibahas.

Yang kedua kami katakan bahwa isti`adzah, yang merupakan sebuah aksi yang

dilakukan bukan karena tuntutan tugas atau kewajiban, bisa mengungkapkan

pencampakan makhluk, dan bisa mengungkapkan lari meninggalkan wilayah kekuasaan

setan. Dan karena ini adalah fase persiapan menuju kondisi-kondisi lain, bukan bagian

dari kondisi-kondisi ini—karena mencampakkan atau meninggalkan merupakan

persiapan untuk mendapatkan hiasan (kualitas-kualitas terpuji), dan meninggalkan ini

sendiri bukanlah kondisi sempurna—karena itu isti`adzah bukanlah bagian dari surah,

melainkan pengantar untuk memasuki surah. Tasmiyah (basmalah) kiranya

mengindikasikan kondisi Ketunggalan Tindakan dan Zat, dan penyatuan keduanya.

"Alhamdu lillah" sampai "rabbil `alamin" kiranya mengungkapkan Ketunggalan

Tindakan. Barangkali "Maliki yaumid-din" mengindikasikan penghapusan sempurna dan

Ketunggalan Zat, dan dari "iyyaka na`budu" dimulailah kondisi ketenangan hati dan

kondisi kembali. Dengan kata lain, isti`adzah adalah sebuah perjalanan dari makhluk

menuju Allah, sebuah aksi meninggalkan rumah jiwa. "Tasmiyah" mengungkapkan


"memahami dan mewujudkan cinta kepada Allah" (tahaqquq bi haqqaniyat) setelah

meninggalkan makhluk dan keserbaragaman (multiplisitas, katsrat). "Alhamdu lillah"

sampai "rabbil `alamin" mengungkapkan perjalanan dari Allah, melalui Allah dan dalam

Allah. Perjalanan ini berakhir dengan "Maliki yaumid-din". Dalam "iyyaka na`budu"

perjalanan dari Allah menuju makhluk dimulai dengan pencapaian kondisi ketenangan

hati dan kondisi kembali. Perjalanan ini berakhir dengan "ihdinash-shirathal mustaqim".

Yang ketiga kami katakan bahwa surah mulia ini memuat maksud-maksud utama

ilahiah dalam Al-Quran, karena maksud-maksud utama Al-Quran adalah:

menyempurnakan pengetahuan tentang Allah dan mendapatkan tiga Ketunggalan,

hubungan antara Allah dan makhluk, bagaimana perjalanan menuju Allah, kembalinya

raqa'iq (sarana ilahiah) ke "Realitas dari segala realitas" (haqiqatul haqa'iq),

mengenalkan manusia dengan manifestasi-manifestasi ilahiah, secara kolektif (jam`-an)

dan sendiri-sendiri (tafshil-an), secara spesifik (fard-an) dan secara gabungan (tarkib-an),

menunjukkan jalan bagi makhluk, dalam suluk dan dalam realisasi (tahaqquq-an), dan

mengajarkan kepada hamba di bidang ilmu, praktik, makrifat dan visi. Semua fakta ini

terkandung dalam surah mulia ini, meski secara ringkas.

Karena itu, surah mulia ini adalah "Pembukaan Kitab", "Induk Kitab" dan bentuk

umum maksud dan tujuan Al-Quran. Dan karena semua tujuan dan maksud Kitab Suci

kembali ke satu tujuan, yaitu kebenaran monoteisme, yang menjadi sasaran semua

kenabian dan tujuan puncak semua nabi agung, dan kebenaran-kebenaran serta rahasia-

rahasia monoteisme termuat dalam ayat mulia bismillah, maka ayat mulia ini adalah ayat

teragung Allah dan mengandung semua tujuan Kitab Allah, sebagaimana dikuatkan oleh

hadis mulia.483 Karena "ba" adalah manifestasi tauhid, sedangkan titik di bawah "ba"
adalah rahasianya, maka seluruh kitab suci ini, lahir dan batinnya, berada dalam "ba" itu.

Dan manusia sempurna, yaitu person suci Ali, adalah titik rahasia tauhid itu.485 Tak ada

ayat di dunia ini yang lebih penting daripada person suci itu setelah Penutup Para Rasul

saw, seperti diungkapkan dalam hadis mulia.486

Penyempurnaan

Beberapa riwayat mulia bertutur tentang keutamaan (fadhl) surah suci ini:

Rasulullah saw dikutip mengatakan kepada Jabir bin Abdullah al-Anshari: "Wahai

Jabir, apakah engkau mau kalau aku mengajarkan kepadamu surah paling utama yang

diwahyukan oleh Allah dalam Kitab-Nya?" Jabir menjawab: "Mau, mau, semoga ayah

dan ibuku menjadi tebusan bagi Anda. Ya Rasulullah, ajari aku." Kemudian Rasulullah

saw mengajari Jabir Surah al-Hamd (al-Fatihah), Induk Kitab. Rasul saw berkata: "Wahai

Jabir, apakah engkau tidak mau kalau aku sampaikan kepadamu tentangnya?" "Aku mau.

Semoga ayah dan ibuku menjadi tebusan bagi Anda. Ya Rasulullah, katakan," kata Jabir.

"Ia adalah penyembuh untuk setiap penyakit kecuali kematian," kata Rasul saw.487

Ibn Abbas meriwayatkan bahwa Rasul saw pernah bersabda: "Untuk segala

sesuatu ada fondasinya. Fondasi Al-Quran adalah (Surah) al-Fatihah, sedangkan fondasi

al-Fatihah adalah bismillahir-rahmanir-rahim.488

Rasul saw juga dikutip mengatakan: "(Surah) Pembukaan (al-Fatihah) Kitab (Al-

Quran) adalah obat untuk setiap penyakit."489

Imam Ja`far ash-Shadiq dikutip mengatakan bahwa jika Surah al-Fatihah tidak

menyembuhkan seseorang, maka tak ada lagi yang dapat menyembuhkannya.490

Imam Ali dikutip mengatakan bahwa Rasulullah saw bersabda: "Allah Ta`ala

berkata kepadaku: `Wahai Muhammad, Kami telah beri kamu sab`ul matsani (nama lain
untuk Surah al-Fatihah) dan Al-Quran agung."491 Aku mendapat penghargaan berupa

nikmat al-Fatihah Kitab, yang ditempatkan selevel dengan Al-Quran. Sesungguhnya al-

Fatihah Kitab adalah sesuatu yang paling terhormat dalam khazanah-khazanah Arsy, dan

Allah Ta`ala menganugerahkan kemuliaannya kepada Muhammad, sementara nabi-nabi

lain tak ada yang mendapatkan anugerah kemuliaan ini, kecuali Sulaiman, yang

kepadanya Allah berikan basmalah Surah al-Fatihah, yaitu bismillahir-rahmanir-rahim,

seperti kata Bilqis: "Sepucuk surat terhormat dilayangkan kepadaku. Surat itu dari

Sulaiman. Dan isinya: Bismillahir-rahmanir-rahim."492 Maka barangsiapa membacanya,

mengimani cinta kepada Muhammad dan keturunannya, menaati perintah bismillahir-

rahmanir-rahim, mengimani lahir dan batinnya, tentu Allah Ta`ala akan

menganugerahinya, untuk setiap hurufnya, sebuah nikmat, yang sesungguhnya lebih

disukai ketimbang dunia keseluruhannya dan apa pun yang ada di dalamnya dari beragam

jenis aset dan kebaikan. Barangsiapa mendengarkannya, saat ia dibaca, maka dia akan

mendapatkan sepertiga dari apa yang diberikan kepada pembacanya. Maka hendaknya

tiap-tiap orang di antara kamu meningkatkan porsinya dalam berkah dan rahmat yang

diberikan kepadanya, karena ia adalah peluang yang tak boleh kamu terlambat

mengambilnya, kalau tidak, maka hati kamu akan sangat menyesalinya."493

Imam ash-Shadiq dikutip mengatakan: "Tak mengherankan jika (Surah) al-Hamd

dibaca tujuh puluh kali atas seseorang yang sudah mati, maka ia akan kembali hidup."494

Rasulullah saw dikutip mengatakan: "Barangsiapa membaca Surah Fatihatul

Kitab, maka dia akan mendapatkah pahalanya membaca dua pertiga Al-Quran."495

Riwayat lain menyebutkan: "Itu akan seperti membaca Al-Quran seluruhnya."496


Ubai bin Kaab meriwayatkan bahwa: "Aku bacakan kepada Rasulullah Surah al-

Fatihah. Beliau berkata: Demi Dia yang di Tangan-Nya jiwaku, Allah tidak mewahyukan

dalam Taurat, juga tidak dalam Injil, Zabur atau Al-Quran sebuah surah seperti Fatihatul

Kitab. Ia adalah ummul kitab (Induk Kitab) dan as-sab`ul matsani (tujuh [ayat] yang

diulang). Ia dibagi antara Allah dan hamba-Nya, dan bagi hamba-Nya untuk meminta apa

pun yang diinginkannya."497

Hudzaifah bin al-Yaman dikutip pernah mengatakan bahwa Rasulullah saw

bersabda: "Allah Ta`ala hendak menurunkan azab tak terelakkan kepada sebuah bangsa.

Kemudian salah seorang anak bangsa itu membaca `alhamdu lillah rabbil `alamin' dalam

Kitab Allah. Mendengar ini, Allah Ta`ala menunda mengazab mereka selama empat

puluh tahun."498

Ibn Abbas berkata bahwa suatu hari mereka duduk bersama Rasulullah saw. Pada

saat itulah datang satu malaikat. Malaikat ini berkata: "Kabar gembira bagimu berkenaan

dengan dua cahaya yang telah diberikan kepadamu, dan tak pernah diberikan kepada

nabi-nabi sebelummu. Dua cahaya itu adalah "Fatihatul Kitab" dan segel-segel Surah al-

Baqarah. Tak ada yang membaca satu katanya kecuali permohonannya dikabulkan."499

Riwayat ini juga dikutip dalam al-Majma`, dengan isinya yang nyaris sama.500

You might also like