Professional Documents
Culture Documents
78
Kabupaten Garut, Jawa Barat, Garut, 2006) dengan rata-rata diameter
merupakan sentra produksi utama 1,5 m dan tinggi 4,2 m, dengan
(89%) akar wangi dengan luas areal ketebalan plat 6 mm dan kapasitas 3
perkebunannya sekitar 1.475 ha pada 500 liter. Teknik penyulingan yang
tahun 1990 dan meningkat menjadi digunakan umumnya sistem uap-air
2.400 ha pada tahun 2001 dengan areal dengan lama penyulingan 12 jam.
tersebar di empat kecamatan yaitu Umumnya agroindustri ini
Kecamatan Samarang, Leles, Ciwalu memakai bahan baku akar wangi
dan Bayongbong. Seluruh perkebunan berupa akar dengan bonggolnya
akar wangi tersebut adalah perkebunan dengan kondisi kering angin. Hanya
rakyat. sedikit yang memakai akar wangi
Penyulingan akar wangi di kering angin tanpa bonggol dan hanya
Kabupaten Garut umumnya beberapa agroindustri yang kadang kala
menggunakan bahan baku akar wangi memakai bahan baku akar wangi
berupa akar dengan bonggolnya kering jemur hingga kadar air sekitar
dengan kondisi kering angin, hanya 15%. Tingkat rendemen dan kapasitas
sedikit yang memakai akar wangi ketel per kali suling dari setiap kondisi
kering angin tanpa bonggol dan hanya bahan baku akar wangi dapat dilihat
beberapa agroindustri yang kadang kala pada tabel 2. Sedangkan jumlah
memakai akar wangi kering jemur penyulingan per bulan rata-rata
tanpa bonggol. Kondisi bahan baku sebanyak 16 kali.
yang digunakan tentunya akan Tabel 1. Kondisi Agroindustri Minyak
mempengaruhi tingkat rendemen yang Akar wangi di Kabupaten
didapat. Seiring semakin mahalnya Garut
biaya produksi minyak akar wangi per
Jumlah Pengusaha : 33 Pengusaha
unit yang terutama dikarenakan
Jumlah ketel penyulingan : 43 Ketel
semakin mahalnya harga bahan bakar Rata-rata Investasi tetap : Rp 175 juta
minyak maka perlu didapat kondisi Sistem Penyulingan : Uap – Air
Kapasitas Ketel : 3 500 liter
bahan baku akar wangi yang paling
efisien dalam penyulingannya yang Tabel 2. Pemakaian Bahan Baku Akar
secara finansial memberikan wangi
keuntungan yang lebih baik dengan Kondisi Rendemen Berat Berat
biaya produksi per unit yang lebih Bahan Baku BB/lt BB/3500 lt
(gr) (kg)
murah. Kering 0,30% 400 1400
angin
AGRO INDUSTRI MINYAK dengan
bonggol
AKAR WANGI DI KABUPATEN Kering 0,42% 300 1050
GARUT angin tanpa
bonggol
Kering 1,33% 100 350
Agroindustri minyak akar wangi jemur tanpa
di Kabupaten Garut ada 33 usaha bonggol
dengan 43 ketel (Dinas Perkebunan
79
Rendemen terendah pada akar Pengkoleksian data primer dilakukan
wangi dengan kondisi kering angin melalui wawancara dengan para
adalah dengan bonggolnya. Hal ini pengusaha meliputi data tentang
karena bonggol akar wangi memiliki kondisi bahan baku yang dipakai, biaya
rendemen yang rendah. Pada kondisi penyulingan, tingkat rendemen, biaya
akar wangi kering angin tanpa bonggol investasi tetap, biaya modal kerja,
memiliki rendemen 0,42%. Tingkat harga bahan baku dan harga produk
rendemen ini sesuai dengan yang minyak akar wangi.
dikemukakan oleh Rusli (1985) sebesar Dengan metode analisa finansial
0,4% - 0,5%. Sedangkan tingkat agroindustri yang sama diterapkan pada
rendemen akar wangi kering jemur perusahaan komersial, demikian pula
tanpa bonggol lebih rendah dari yang criteria yang menentukan keputusan
dikemukakan oleh Rusli (1985) sebesar manajemen dan investasi (Brown,
1,6% - 2,1% akan tetapi lebih tinggi 1994). Faktor penting yang perlu dikaji
dari yang dikemukakan oleh Suryatmi dalam analisis finansial menurut
(2006) sebesar 1,0% – 1,12%. Hal ini Husnan dan Suwarsono (1994) adalah
karena pada penelitian Rusli (1986) kebutuhan dana, biaya modal, cash
penyulingan dilakukan lebih lama yaitu flow, criteria penilaian investasi dan
18 jam, sedangkan pada penelitian analisis sensitivitas.
Suryatmi (2006) tekanan yang dipakai Untuk analisis finansial
dalam penyulingan hanya 1 atmg – 3 agroindustri akar wangi ini digunakan
atmg sedangkan pengusaha agroindustri instrumen analisis seperti net present
akar wangi di Kabupaten Garut rata- value (NPV), internal rate of return
rata memakai tekanan 4 atmg. (IRR), benefit cost ratio (B/C ratio),
dan analisis sensitivitas. Kriteria NPV
ANALISIS FINANSIAL mencerminkan nilai sekarang dari
AGROINDUSTRI AKAR WANGI selisih antar arus kas masuk dan arus
DI KABUPATEN GARUT kas keluar dari suatu usaha (Kadariyah,
Dalam upaya menganalisis et al.). Apabila nilai NPV < 0 berarti
finansial agroindustri akar wangi, maka usaha tersebut mengalami kerugian
berbagai data diperlukan data primer secara finansial sehingga menjadi tidak
maupun sekunder. Data primer layak, bila NPV = 0 berarti usaha
dikoleksi dari 12 usaha agroindustri tersebut dalam posisi break event point
penyulingan akar wangi di Kecamatan dan bila NPV > 0 berarti usaha tersebut
Leles dan Kecamatan Samarang mendapat keuntungan secara finansial
Kabupaten Garut pada bulan yang berarti pula layak untuk
September 2006, sedangkan data diusahakan. Semakin besar nilai NPV
sekunder dikoleksi dari Dinas maka semakin besar keuntungan yang
perkebunan, kehutanan dan hortikultura didapat.
serta Dinas Perindustrian dan Kriteria IRR menunjukkan
Perdagangan Kabupaten Garut. persentase keuntungan pertahun yang
80
berhasil didapat. Bila nilai NPV lebih jemur tanpa bonggol memberikan
kecil daripada tingkat diskonto atau keuntungan yang lebih besar
nilai bunga maka usaha mengalami dibandingkan dengan pemakaian bahan
kerugian, bila nilai IRR sama dengan baku akar wangi dengan kondisi kering
tingkat diskonto maka usaha dalam angin baik dengan bonggol maupun
posisi break event point, dan bila nilai tanpa bonggol (table 2). Hal ini terlihat
IRR lebih tinggi dari tingkat diskonto dari lebih besarnya nilai NPV, B/C
maka usaha mengalami kerugian. ratio maupun IRR nya. Analisis ini
Semakin besar nilai IRR semakin besar memakai tingkat harga bahan baku dan
keuntungan yang dicapai usaha. harga minyak yang terjadi pada saat
Kriteria B/C ratio adalah survey. Keuntungan yang lebih besar
perbandingan antara seluruh nilai kini dari pemakaian bahan baku akar wangi
keuntungan yang didapat dengan kering jemur tanpa bonggol ini
seluruh nilai kini biaya yang disebabkan oleh menurunnya biaya
dikeluarkan. Bila nilai B/C ratio lebih produksi minyak akar wangi yang
kecil dari satu maka usaha mengalami dihasilkan sebagai akibat menurunnya
kerugian, jika nilai B/C ratio sama biaya tetap per unit produk minyak
dengan satu maka usaha dalam kondisi akar wangi.
break event point dan bila B/C ratio Hasil analisis sensitivitas
lebih besar dari satu maka usaha menunjukkan pemakaian bahan baku
mengalami keuntungan. Semakin besar akar wangi kering jemur lebih tahan
nilai B/C ratio semakin besar terhadap gejolak harga akar wangi
keuntungan usaha yang didapat maupun harga minyak akar wangi yang
(Gittinger, 1986). terjadi. Jika kondisi parameter lain
Analisis sensitivitas dilakukan tetap maka usaha penyulingan dengan
untuk melihat pengaruh perubahan- memakai bahan baku akar wangi
perubahan parameter dalam aspek kering jemur akan berada pada posisi
finansial terhadap keputusan yang break event point jika harga bahan
diambil (Soeharto, 1990). Analisis ini bakunya naik sebesar 17,6% menjadi
diperlukan untuk mencegah resiko jika Rp 2 645/kg yang berarti jika harga
terjadi kesalahan dalam menaksir biaya bahan baku lebih tinggi dari harga
atau manfaat dan untuk mengantisipasi tersebut maka usaha akan mengalami
kemungkinan terjadinya perubahan- kerugian. Sedangkan pada pemakaian
perubahan parameter tersebut diluar bahan baku akar wangi kering angin
kendali usaha. Semakin besar dengan bonggol dan tanpa bonggol
perubahan nilai parameter yang dapat posisi tersebut sudah tercapai jika harga
ditanggung suatu usaha maka semakin bahan bakunya naik masing-masing
baik usaha tersebut. sebesar 7% dan 12,9% atau masing-
Hasil analsis finansial masing menjadi Rp 535/kg dan Rp
menunjukkan pemakaian bahan baku 790/kg.
akar wangi dengan kondisi kering
81
Tabel 3. Analisis Finansial Agroindustri Penyulingan Akar wangi kapasitas alat
3500 liter (15 tahun)
82
kan, untuk itu penelitian dan Husnan S dan Suwarsono, 1994. Studi
penyuluhan lebih lanjut harus Kelayak Proyek. UPP AMP
dilakukan. YKPN. Yogyakarta
Kadariyah, Karlina L dan Gray, C.
DAFTAR PUSTAKA
1999. Pengantar Evaluasi Proyek.
Brown, J.G, Deloitte, Toache, 1994. Lembaga Penerbit Fakultas
Agroindustrial Investment and Ekonomi UI, Jakarta
Operations. EDI Development
Rusli S. 1985. Penelitian dan
Studies. Washington DC.
Pengembangan Minyak Atsiri
Dinas Pertanian, Perkebunan dan Indonesia. Edsus No2. Balittro,
Hortikultura, 2006. Rekapitulasi Bogor
Data Agroindustri Minyak Atsiri.
Soeharto, 1990. Manajemen Proyek
Kabupaten Garut.
Industri. Erlangga, Jakarta.
Gittinger, JP. 1986. Analisis Ekonomi
Suryatmi, R.D. 2006. Kajian Variasi
Proyek-Proyek Pertanian. UI
Tekanan Pada Penyulingan Minyak
Press-John Hopkins, Jakarta.
Akar wangi Skala Laboratorium.
Prosiding Konferensi Nasional
Minyak Atsiri 2006. IPB, Bogor
83