Professional Documents
Culture Documents
Oleh:
dr. Putri Ayu Widya Sari
Pembimbing:
dr. Akhmad Nurdani, Sp.PD
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Artritis septik dikenal juga dengan nama artritis piogenik atau artritis
supurativa adalah infeksi pada sinovium yang disebabkan oleh bakteri.
Infeksi pada sinovium mengakibatkan terbentuknya pus pada rongga sinovial
(Najirman, 2015).
2.2 Epidemiologi
Terdapat sekitar 20.000 kasus artritis septik yang terjadi di Amerika Serikat
setiap tahunnya, sama halnya dengan di Eropa. Sedangkan insidensi artritis
akibat infeksi gonokokus diseminata yaitu 2,8 kasus per 100.000 orang per
tahunnya. Artritis septik lebih umum terjadi pada pasien dengan imunosupresi
dan usia tua. 56 persen kasus terjadi pada laki-laki (Brusch JL, 2017).
2.3 Penegakan Diagnosis
Pasien dengan pembengkakan sendi yang akut, nyeri, eritema, hangat dan
disertai imobilitas sendi harus dievaluasi lebih lanjut untuk faktor-faktor yang
berkaitan dengan artritis septik (Horowitz, 2011). Berikut adalah faktor-faktor
risiko artritis septik pada tabel 1.
Tabel 1. Faktor risiko artritis septik (Horowitz, 2011)
3
Penilaian organ sistem secara menyeluruh harus dilakukan untuk
mengeksklusi bentuk lain artritis inflamatorik (Horowitz, 2011). Diagnosis
banding artritis akut adalah sebagai berikut pada tabel 2.
Diagnosis Etiologi
Artritis karena kristal Kalsium oksalat, gout, kolesterol, pseudogout, kristal hidroksapatit
4
gonokokus diseminata, leukopeni perifer atau pada penggantian sendi
(Horowitz, 2011). Interpretasi analisis cairan sendi dapat dilihat pada tabel 3.
Tidak terdapat data yang menunjukkan adanya pencitraan radiologi
yang patognomonis untuk artritis septik. Foto polos membantu melihat
gambaran fraktur, kondrokalsinosis atau artritis inflamatorik. Ultrasonografi
lebih sensitif untuk mendeteksi efusi khususnya pada kasus sendi yang sulit
untuk diperiksa seperti sendi panggul (Horowitz, 2011).
Mikroorganisme penyebab artritis septik yaitu stafilokokus (40%),
streptokokus (28%), basil gram negatif (19%), mikobakteria (8%), kokus
gram negatif (3%), basil gram positif (1%), dan bakteri anaerob (1%)
(Horowitz, 2011; Mue, 2013).
2.4 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan artritis septik terdiri atas terapi non farmakologis dan
farmakologis.
a. Non farmakologis
Sendi yang mengalami infeksi harus diistirahatkan pada posisi fisiologis
untuk mencegah kekakuan atau kontraktur di kemudian hari. Bila infeksi
telah dapat diatasi, maka harus dilakukan latihan gerakan sendi tanpa
beban, sebab latihan ini dapat meningkatkan suplai nutrisi terhadap rawan
sendi, sehingga dapat mempercepat. Selain itu, pungsi atau aspirasi cairan
sendi harus dilakukan untuk mengeluarkan pus sebanyak mungknin. Bila
gagal dengan aspirasi, maka perlu dilakukan drainase dengan tindakan
bedah (Najirman, 2015).
b. Farmakologis
Karena pada umumnya artritis septik disebabkan oleh S. Aureus maka
pilihan utamanya adalah penisilin G, kloksasilin, klindamisin atau
netilmisin yang diberikan secara parenteral. Pilihan antibiotik lain adalah
kombinasi ampisilin dan sulbaktam (Setiyohadi B, 2010).
5
Tabel 3. Interpretasi analisis cairan sendi (Horowitz, 2011)
6
Dalam pemberian antibiotik harus mempertimbangkan faktor seperti
berat ringannya penyakit, umur penderita, pola pada rumah sakit yang
bersangkutan, serta faktor risiko yang ada. Lama pemberian antibiotik
tergantung pada jenis kuman. Jika penyebabnya bakteri streptokokus atau
gram negatif maka antibiotik diberikan selama minimal dua minggu, tiga
minggu untuk stafilokokus, serta empat minggu untuk bakteri
pneumokokus atau basil gram negatif (Najirman, 2015). Terapi empiris
berdasarkan hasil pewarnaan Gram analisis sendi terdapat pada tabel 4.
7
DICURIGAI ARTRITIS SEPTIK (AS)
(Peradangan dan nyeri sendi mono atau poliartrikular akut)
PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
Pemeriksaan darah rutin dengan diferensial, kreatinin dan fungsi hati, urinalisis
LED, CRP
Kultur darah dan jika diindikasikan kultur kulit, urin dan sputum
Pencitraan radiologi sendi yang bermasalah
Aspirasi cairan sendi untuk menilai:
- Jumlah leukosit dengan diferensial
- Pewarnaan Gram dan kultur
- Analisis kristal
TERAPI
Terapi empiris antibiotik parenteral berdasarkan pewarnaan Gram (tabel 3) dan/atau faktor risiko pada
pasien (artritis reumatoid, IVDA, imunosupresi)
Drainase yang adekuat pada sendi yang bermasalah dengan penilaian dan aspirasi sekali atau dua kali
sehari, drainase artroskopik, atau artrotomi terbuka jika diindikasikan
Penilaian muskuloskeletal lengkap terfokus pada perbaikan klinis sendi yang bermasalah dan adanya
keterlibatan sendi lain
Monitor jumlah leukosit cairan sendi dan hasil kultur
Menyesuaikan antibiotik berdasarkan hasil kultur dan tes sensitivitas
Menilai toksisitas terkait antibiotik
Mengistirahatkan dan memposisikan sendi secara optimal pada fase akut diikuti dengan latihan
isotonis dan mobilisasi awal
8
2.6 Prognosis
Hasil penelitian memperlihatkan bahwa sebanyak 25-50% kasus akan
menimbulkan terjadinya komplikasi seperti pengurangan atau kehilangan
fungsi sendi permanen. Faktor yang mempengaruhi prognosis adalah usia
lanjut, keterlambatan penegakan diagnosis, adanya penyakit penyerta pada
sendi, penggunaan imunosupresif, sendi prostetik, dan jenis bakteri penyebab.
Keterlambatan pemberian antibiotik lebih dari tujuh hari memiliki prognosis
jelek. Kematian terjadi pada 5 - 30% kasus. Kematian terjadi terutama pada
penderita artritis septik poliartikular dengan penyebab bakteri non
gonokokus, terutama Stafilokokus aureus (Najirman, 2015).
9
BAB III
LAPORAN KASUS
I. IDENTITAS
Nama : Tn. M
Umur : 59 tahun
Pekerjaan : Petani
Agama : Islam
Alamat : Galumbang, Juai
Masuk RS tanggal : 10 Oktober 2017
II. ANAMNESIS
KELUHAN UTAMA
Nyeri lutut kiri sejak tiga hari sebelum masuk rumah sakit.
10
RIWAYAT PENYAKIT PADA KELUARGA
Belum pernah ada keluarga pasien yang mengalami sakit seperti ini.
III.PEMERIKSAAN FISIK
Kesan Umum : Sakit sedang
Kesadaran :Compos Mentis
Tanda vital pasien pada 10 Oktober 2017 pukul 13:45 WITA.
TD : 120/70 mmHg
HR : 97 kali/menit
RR : 20 kali/menit
Suhu : 36.5˚C
STATUS GENERALIS
Kepala : Normocephal
Mata : Sklera ikterik (-/-), konjungtiva anemis (+/+)
Hidung : Epistaksis (-/-)
Mulut : Tidak kering, sianosis (-)
Telinga : Normal
Leher : Tidak ada pembesaran KGB
Paru : Vesikuler/vesikuler, rhonki (-/-), wheezing (-/-)
Jantung : Bunyi jantung I dan II reguler, murmur (-), gallop (-)
Abdomen : BU (+), nyeri tekan (-)
Kulit : Ruam (-)
STATUS LOKALIS
Genu dextra : nyeri tekan (+), edema (-), eritema (-), krepitasi (+), ROM
terbatas
Genu sinistra : nyeri tekan (+), edema (+) di suprapatella, eritema (+),
hangat (+), ROM terbatas
11
Darah Lengkap
Pemeriksaaan Hasil Rentang
Hb 13,5 g/dL 12.0-16.0
Ht 39,2 % 37.0-47.0
Trombosit 212.000/ uL 150.000-450.000
Leukosit 14.500 /uL 4.0-10.0
GDS 89 mg/dL < 200
Rontgen Genu
V. DIAGNOSIS
Diagnosa Kerja : Artritis septik genu sinistra
Diagnosa Banding : Osteoartritis; Gout artritis genu sinistra; Artritis
reaktif genu sinistra
12
VII. TERAPI YANG DIBERIKAN
IVFD Asering : Hidromal 2:1 20 tpm
Ceftriaxone iv 2x1 g
Ciprofloxacin iv 2x400 mg
Pantoprazole iv 1x40 mg
Ketorolac iv 2x30 mg
Mobilisasi dini sendi lutut (saat infeksi teratasi)
VIII. PROGNOSIS
Dubia at bonam
IX. FOLLOW UP
10 S : Nyeri lutut kiri sejak 3 hari yang lalu. Tidak nafsu makan IGD
Oktober O : TD : 120/70 mmHg, N : 97 x/i, RR : 20x/i, T: 36,50
2017 Paru: Vesikuler/vesikuler
Jantung: S1 S2 reguler
Genu: D: krepitasi (+), ROM terbatas
S: edema (+), hangat (+), eritema (+),
ROM sangat terbatas
A : Artritis septik genu sinistra
P : - IVFD Asering 20 tpm
- Ceftriaxone 2x1 g iv
- Antrain 3x1 g iv
- Ranitidin 2x50 mg iv
13
14 S : Nyeri lutut (-), demam (-)
Oktober O : TD : 140/90 mmHg, N : 60 x/i, RR : 28x/i, T: 36,40
2017 A : Artritis septik genu sinistra
P : BLPL
- Ciprofloxacin 2x500 mg po
- Meloxicam 1x15 mg po
- Omeprazole 2x20 mg po
14
BAB IV
PEMBAHASAN
Artritis septik dikenal juga dengan nama artritis piogenik atau artritis
supurativa adalah infeksi pada sinovium yang disebabkan oleh bakteri. Infeksi
pada sinovium mengakibatkan terbentuknya pus pada rongga sinovial (Najirman,
2015). Artritis septik ditandai dengan pembengkakan sendi yang akut, nyeri,
eritema, hangat dan disertai dengan imobilitas sendi (Horowitz, 2011).
Pada kasus ini, pasien mengalami pembengkakan sendi lutut kiri yang
terlokalisasi sejak tiga hari sebelum masuk rumah sakit. Oleh karena itu pasien
dicurigai dengan artritis septik. Hal ini sesuai dengan teori berdasarkan
anamnesis.
Berdasarkan teori, faktor risiko terjadinya artritis septik yaitu dengan
penyebaran secara langsung melalui infeksi kulit sekitar dan ulkus kutaneus;
dengan inokulasi langsung melalui riwayat penyuntikan intraartrikular, adanya
sendi prostetik dan operasi sendi terbaru; dengan penyebaran hematogen melalui
riwayat diabetes melitus, infeksi HIV, pengobatan imunosupresan,
penyalahgunaan obat intravena, osteoartritis, artritis reumatoid, aktivitas seksual;
dan faktor lain seperti umur di atas 80 tahun (Horowitz, 2011).
Pada kasus ini, pasien memiliki riwayat osteoartritis sejak satu tahun
terakhir. Pasien juga rutin mengonsumsi obat anti nyeri yang didapat dari
puskesmas. Hal ini juga sesuai dengan teori dimana pasien memiliki dua faktor
risiko artritis septik yaitu melalui penyebaran hematogen.
Berdasarkan teori, pada pemeriksaan fisik didapatkan sendi yang
membengkak, terjadi secara akut, eritema, hangat disertai imobilitas sendi.
Selanjutnya dilakukan pemeriksaan untuk membedakan lokasi inflamasi antara
intraartrikular atau periartikular. Pada patologi intraartrikular didapatkan
keterbatasan hebat pada pergerakan pasif dan aktif. Sedangkan nyeri patologi
periartikular terjadi hanya dalam pergerakan aktif dan pembengkakan lebih
terlokalisasi (Horowitz, 2011).
Pada kasus ini, didapatkan status lokalis genu sinistra yaitu nyeri tekan
(+), edema (+) di suprapatella, eritema (+), teraba hangat (+), ROM sangat
15
terbatas. Hal ini sesuai dengan teori dimana didapatkan tanda monoartritis akut
dengan lokasi inflamasi intraartrikular.
Berdasarkan teori, pemeriksaan penunjang yang perlu dilakukan yaitu
darah rutin untuk melihat leukositosis dan analisis cairan sendi. Pada analisis
cairan sendi diperiksa jumlah leukosit dan diferensiasinya, analisis kristal,
pewarnaan Gram dan kultur. Jika ditemukan leukosit lebih dari 50.000 per mm3
dan sel PMN lebih dari 90 persen, ini berhubungan dengan artritis infeksiosa
(Horowitz, 2011).
Pada kasus ini, dari pemeriksaan darah rutin didapatkan jumlah leukosit
14.500/µL. Pada analisis cairan sendi yang dilakukan, secara makroskopis
didapatkan cairan kuning bercampur pus sekitar 75 cc, viskositas rendah-sedang,
transparansi kurang. Secara mikroskopis didapatkan jumlah leukosit < 25/LPB,
BTA negatif, pewarnaan Gram negatif. Sedangkan diferensiasi leukosit, analisis
kristal, dan kultur tidak dilakukan. Hal ini belum sesuai teori dimana diferensiasi
leukosit dan analisis kristal tidak dilakukan. Sedangkan kultur cairan sendi tidak
dilakukan karena keterbatasan fasilitas pemeriksaan.
Berdasarkan teori, kriteria diagnosis artritis septik didasarkan pada kriteria
Newman. Kriteria Newman membagi artritis septik menjadi tiga kategori, yaitu,
1) artritis septik dengan gejala klinis yang khas dan ditemukan bakteri dari isolasi
cairan sendi, 2) gejala klinis yang khas dan ditemukan bakteri dari isolasi tempat
lain misalnya dari darah, 3) gejala klinis khas tanpa didukung oleh adanya bakteri
dari cairan sendi ataupun di dalam darah, tetapi pungsi cairan sendi
memperlihatkan warna yang keruh (Najirman, 2015).
Pada kasus ini, penegakan diagnosis artritis septik didasarkan pada
kriteria Newman kategori 3 yaitu didapatkan gejala klinis khas (monoartritis
akut) tanpa adanya bakteri dari cairan sendi, tetapi pada pungsi cairan sendi
didapatkan cairan berwarna purulen. Hal ini sesuai dengan teori.
Secara epidemiologi, kasus artritis septik lebih umum terjadi pada pasien
dengan imunosupresi dan usia tua, 56 persen kasus terjadi pada laki-laki (Brusch
JL, 2017).
Pada kasus ini, artritis septik didapatkan pada pasien imunosupresi, usia
tua dan merupakan laki-laki. Hal ini sesuai dengan teori.
16
Berdasarkan teori, penatalaksanaan artritis septik dilakukan secara non
farmakologis dan farmakologis. Secara non farmakologis, sendi yang terinfeksi
harus diistirahatkan pada posisi fisiologis dan setelah infeksi teratasi harus
dilakukan mobilisasi dini. Selain itu pungsi cairan sendi harus dilakukan untuk
mengeluarkan pus sebanyak mungkin (Najirman, 2015). Sedangkan secara
farmakologis, terapi antibiotik disesuaikan dengan hasil pewarnaan Gram. Pada
kasus pewarnaan Gram negatif (tidak ditemukan bakteri Gram negatif maupun
Gram positif), pilihan antibiotik untuk pasien tanpa risiko penyakit menular
seksual yaitu vancomycin 15-20 mg/kgBB iv q8-12h + ceftriaxone 1 g iv q24h
atau vancomycin 15-20 mg/kgBB iv q8-12h + cefepime 2 g iv q8-12h (khusus
orang tua, imunokompromis, terkait tenaga kesehatan) (Sharff KA, 2013).
Pada kasus ini, secara nonfarmakologis sendi yang terinfeksi
diistirahatkan sejak awal datang sampai pungsi cairan sendi dilakukan.
Kemudian mobilisasi dini sendi lutut kiri dilakukan sehari setelah pungsi cairan
dilakukan hingga pasien pulang. Hal ini sesuai dengan teori.
Pada kasus ini, penatalaksanaan secara farmakologis pasien diberikan
ceftriaxone iv 2x1 g dan ciprofloxacin iv 2x400 mg. Hal ini belum sesuai dengan
teori. Vancomycin dan cefepime tidak diberikan karena tidak tersedia di rumah
sakit setempat. Ceftriaxone diberikan sebagai antibiotik spektrum luas.
Sedangkan ciprofloxacin diberikan sebagai antibiotik tambahan yang lebih efektif
terhadap bakteri Gram negatif.
Berdasarkan teori, prognosis artritis septik secara umum dipengaruhi oleh
usia, ketepatan penegakan diagnosis, ada tidaknya penyakit penyerta pada sendi,
dan penggunaan agen imunosupresan. Prognosis jelek disebabkan oleh
keterlambatan pemberian antibiotik lebih dari tujuh hari. Kematian terutama
terjadi pada penderita artritis septik poliartrikular (Najirman, 2015).
Pada kasus ini, pasien berusia tua, terdapat osteoartritis dan
imunosupresif. Namun demikian, terapi antibiotik diberikan segera saat pasien
datang yaitu pada hari ketiga onset penyakit. Perbaikan klinis juga didapatkan
pada hari keempat perawatan. Sehingga pasien ini memiliki prognosis dubia ad
bonam. Hal ini sesuai dengan teori.
17
BAB V
RINGKASAN
18
DAFTAR PUSTAKA
Brusch JL, Talavera F, Giatt A. 2017. Septic arthritis. Sep 19. Diunduh dari
URL: https://emedicine.medscape.com/article/236299-overview diakses 30
Oktober 2017.
Horowitz DL, Katzap E, Horowitz S, Barilla-LaBarca ML.2011. Approach to
septic arthritis. American Academy of Family Physician. Sep 15;6(84):653-
9.
Mue DD, Salihu MN, Awonusi FO, Yongu WT, Kortor JN, Elachi IC. 2013. The
epidemiology and outcome of acute septic arthritis: a hospital based study.
West African College of Surgeons. Jan-March;1(3):41-5.
Najirman. Artritis septik. 2015 In: Setyohadi N, Nasution SA, Arsana PM.
EIMED PAPDI: Kegawatdaruratan penyakit dalam buku 2. Jakarta:
InternaPublishing. hal.425-37.
Setiyohadi B, Tambunan AS. 2010. Infeksi tulang dan sendi. In: Buku ajar ilmu
penyakit dalam jilid III edisi V. Jakarta: InternaPublishing. hal.2639-40.
Sharff KA, Richards EP, Townes JM. 2013. Clinical management of septic
arthritis. Curr Rheumatol Rep;15(332):1-9.
19