You are on page 1of 29

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

1. KONSEP SEKSIO SESAREA

1.1. Pengertian

Istilah seksio sesarea berasal dari perkataan Latin Caedere yang artinya

memotong. Seksio sesarea adalah suatu cara melahirkan janin dengan membuat

sayatan pada dinding uterus melalui dinding depan perut atau vagina

(Mochtar,

1998).

Seksio sesarea atau kelahiran sesarea adalah melahirkan janin melalui

irisan pada dinding perut (laparatomi) dan dinding uterus (histerektomi). Defenisi

ini tidak termasuk melahirkan janin dari rongga perut pada kasus ruptura uteri

atau kehamilan abdominal (Pritchard dkk, 1991).

1.2 . Klasifikasi Seksio sesarea

Ada beberapa jenis seksio sesarea yaitu seksio sesarea klasik atau corporal

yaitu insisi pada segmen atas uterus atau korpus uteri. Pembedahan ini dilakukan

bila segmen bawah rahim tidak dapat dicapai dengan aman, bayi besar dengan

kelainan letak terutama jika selaput ketuban sudah pecah (Manuaba, 1999).

Seksio sesarea ismika atau profundal (low servical dengan insisi pada segmen

bawah rahim) merupakan suatu pembedahan dengan melakukan insisi pada

segmen bawah uterus (Prawiroharjo, 2008). Hampir 99 % dari seluruh

kasus seksio sesarea memilih teknik ini karena memiliki beberapa keunggulan

seperti kesembuhan lebih baik dan tidak banyak menimbulkan perlekatan.

Universitas Sumatera Utara


Seksio sesarea yang disertai histerektomi yaitu pengangkatan uterus setelah

seksio sesarea karena atoni uteri yang tidak dapat diatasi dengan tindakan lain,

pada miomatousus yang besar dan atau banyak atau pada ruptur uteri yang tidak

dapat diatasi dengan jahitan (Manuaba, 1999). Seksio sesarea vaginal yaitu

pembedahan melalui dinding vagina anterior ke dalam rongga uterus

(Manuaba,

1999). Seksio sesarea ekstraperitoneal yaitu seksio yang dilakukan tanpa insisi

peritoneum dengan mendorong lipatan peritoneum ke atas dan kandung kemih ke

bawah atau ke garis tengah kemudian uterus dibuka dengan insisi di

segmen bawah (Manuaba, 1999).


/

1.3. Indikasi Seksio Sesarea

Dalam persalinan ada beberapa faktor yang menentukan keberhasilan suatu

persalinan yaitu jalan lahir, janin, kekuatan ibu, psikologi ibu dan penolong.

Apabila terdapat salah satu gangguan pada salah satu faktor tersebut akan

mengakibatkan persalinan tidak berjalan dengan lancar bahkan dapat

menimbulkan komplikasi yang dapat membahayakan ibu dan janin

(Mohctar,

1998).

Operasi seksio sesarea dilakukan jika kelahiran pervaginal mungkin akan

menyebabkan resiko pada ibu ataupun pada janin. Adapun indikasi dilakukannya

seksio sesarea adalah persalinan berkepanjangan, malpresentasi atau malposisi,

disproporsi sefalo-pelvis, distress janin, prolaps tali pusat, plasenta previa,

abrupsio plasenta, penyakit pada calon ibu, bedah sesarea ulangan (Simkin

dkk,

2008).
Persalinan berkepanjangan dimana kontraksi dengan kualitas rendah,

pembukaan yang tidak berkembang, bayi yang tidak turun meskipun sudah

dilakukan usaha untuk mengistirahatkan rahim atau merangsang kontraksi lebih

kuat; malpresentasi atau malposisi dimana letak bayi dalam rahim tidak

menguntungkan untuk melahirkan lewat vagina. Contoh malpresentasi adalah

posisi transversal, presentasi sungsang. Malposisi mencakup posisi oksiput

posterior yang persisten atau asinklitisme; disproporsi sefalo-pelvis dimana

kepala bayi terlalu besar, struktur panggul ibu terlalu kecil atau kombinasi

keduanya; distress janin dimana perubahan tertentu pada kecepatan denyut

jantung janin dapat menunjukkan adanya masalah pada bayi. Perubahan

kecepatan jantung ini dapat terjadi jika tali pusat tertekan atau berkurangnya

aliran darah teroksigenasi ke plasenta. Memantau respon kecepatan jantung janin

terhadap rangsang kulit kepala atau menggunakan pemantauan kejenuhan

oksigen janin dapat membantu pemberi perawatan mengetahui apakah bayi

mengompensasi keadaan ini dengan baik atau mulai mengalami efek kekurangan

oksigen. Jika bayi tidak mampu lagi mengompensasinya, perlu dilakukan bedah

sesar; prolaps tali pusat dimana jika tali pusat turun melalui leher rahim sebelum

si bayi, kepala atau tubuh bayi dapat menjepit tali pusat tersebut dan secara

drastis mengurangi pasokan oksigen sehingga mengharuskan dilakukannya

melahirkan secara bedah sesar segera; plasenta previa dimana plasenta menutupi

sebagian leher rahim. Saat leher rahim melebar, plasenta terlepas dari rahim

menyebabkan perdarahan yang tidak sakit pada calon ibu. Hal ini dapat

mengurangi pasokan oksigen ke janin. Melahirkan lewat vagina yang aman

tidak dimungkinkan pada plasenta previa, karena


plasenta akan keluar sebelum si bayi (Duffet, 1995; Kasdu, 2003; Simkin dkk,

2008).

Abrupsio plasenta dimana plasenta secara dini terlepas dari dinding rahim.

Keadaan ini dapat menyebabkan perdarahan vagina atau perdarahan tersembunyi

dengan sakit perut yang spontan. Pemisahan ini merupakan pasokan oksigen ke

janin dan bergantung pada seberapa banyak plasenta yang terlepas,

perlu dilakukan bedah sesar; penyakit pada calon ibu misalnya ibu mempunyai

sakit jantung atau kondisi medis lain yang serius, ibu mungkin tidak akan

mampu menahan stress persalinan dan melahirkan lewat vagina. Adanya luka

herpes pada atau di dekat vagina pada saat persalinan juga merupakan indikasi

untuk melahirkan sesar karena bayi akan tertular infeksi jika dilahirkan melewati

jalan lahir. Seorang ibu yang positif HIV akan dapat mengurangi risiko

penularan virus ke bayinya jika ia menjalani melahirkan sesar yang sudah

direncanakan (Duffet,

1995; Simkin dkk, 2008).

1.4. Komplikasi Seksio Sesarea

Kelahiran sesarea bukan tanpa komplikasi, baik bagi ibu maupun janinnya

(Bobak, 2004). Morbiditas pada seksio sesarea lebih besar jika dibandingakan

dengan persalinan pervaginam. Ancaman utama bagi wanita yang menjalani

seksio sesarea berasal dari tindakan anastesi, keadaan sepsis yang berat,

serangan tromboemboli dan perlukaan pada traktus urinarius, infeksi pada luka

(Manuaba,

2003; Bobak. 2004).


0
Demam puerperalis didefenisikan sebagai peningkatan suhu mencapai 38,5

Celcius (Heler, 1997). Demam pasca bedah hanya merupakan sebuah

gejala bukan sebuah diagnosis yang menandakan adanya suatu komplikasi serius

. Morbiditas febris merupakan komplikasi yang paling sering terjadi pasca

pembedahan seksio seksarea (Rayburn, 2001).

Perdarahan masa nifas post seksio sesarea didefenisikan sebagai kehilangan

darah lebih dari 1000 ml. Dalam hal ini perdarahan terjadi akibat

kegagalan mencapai homeostatis di tempat insisi uterus maupun pada placental

bed akibat atoni uteri (Karsono dkk, 1999). Komplikasi pada bayi dapat

menyebabkan hipoksia, depresi pernapasan, sindrom gawat pernapasan dan

trauma persalinan (Mochtar, 1988).

2. KONSEP NIFAS

2.1. Pengertian

Masa nifas adalah masa sesudah persalinan dan kelahiran bayi,

plasenta, serta selaput yang diperlukan untuk memulihkan kembali organ

kandungan seperti sebelum hamil dengan waktu kurang lebih dari enam minggu

(Saleha, 2009).

2.2. Perawatan Nifas

Banyak orang beranggapan, bila seorang ibu sudah melahirkan

anaknya dengan selamat, berarti semua urusan sudah selesai. Padahal,

masih ada hal penting yang harus diperhatikan yaitu perawatan nifas (Indah,

2009).
Perawatan adalah proses pemenuhan kebutuhan dasar manusia

(biologis, psikologis, sosial dan spiritual) dalam rentang sakit sampai dengan

sehat (Alimul,
2004). Menurut Basford (2006) dikutip dari Dean (1986) menyatakan

bahwa perawatan diri adalah aktivitas yang dilakukan oleh individu untuk

mencapai kesehatan, mencegah penyakit, mengevaluasi gejala dan memulihkan

kesehatan.

Perawatan ibu setelah melahirkan secara sesarea merupakan kombinasi

antara asuhan keperawatan bedah dan maternitas (Bobak, 2004). Perawatan pasca

bedah sangat diperlukan untuk mencegah timbulnya komplikasi pada seksio

sesarea. Perawatan pertama yang harus dilakukan setelah operasi adalah

pembalutan luka dengan baik (Mochtar, 1988).

Ibu yang telah mengalami pembedahan seksio sesarea, mempunyai

kebutuhan perawatan pascapartum yang sama dengan ibu yang melahirkan

pervagina (Ladewig, dkk, 2005). Perawatan nifas meliputi perawatan diri ibu dan

perawatan bayi baru lahir. Perawatan diri ibu nifas terdiri dari perawatan luka,

nutrisi, ambulasi dini, perawatan perineum, perawatan payudara, miksi, defekasi.

Perawatan bayi baru lahir meliput i memandikan bayi, perawatan tali

pusar, makanan, imunisasi, mengganti popok, perawatan alat kelamin dan

perawatan mata, hidung dan telinga bayi.

2.2.1 Perawatan Ibu Nifas

Perawatan diri ibu nifas terdiri dari perawatan luka, nutrisi, ambulasi dini,

perawatan perineum, perawatan payudara, miksi dan defekasi.

1. Perawatan Luka Seksio Sesarea

Luka adalah suatu keadaan terputusnya kontinuitas jaringan tubuh, yang

dapat menyebabkan terganggunya fungsi tubuh sehingga dapat

mengganggu aktivitas sehari-hari. Perawatan luka merupakan tindakan untuk

merawat luka dan


melakukan pembalutan dengan tujuan mencegah infeksi silang (masuk

melalui luka) dan mempercepat proses penyembuhan luka (Hidayat, 2006).

Luka insisi diperiksa setiap hari. Karena itu bebat yang tipis tanpa plester

yang berlebihan lebih menguntungkan. Biasanya, jahitan kulit dilepas pada hari

keempat setelah operasi (Pritchard dkk, 1991). Pembalut luka berfungsi sebagai

penghalang dan pelindung terhadap infeksi selama proses penyembuhan. Penutup

luka dipertahankan selama hari pertama selama pembedahan untuk

mencegah infeksi pada saat proses penyembuhan berlangsung ( Prawihardjo,

2008).

Luka insisi dibersihkan dengan alkohol dan ditutup dengan kain penutup

luka. Pembalut luka diganti dan dibersihkan setiap hari dan luka yang

mengalami komplikasi seperti hanya sebagian luka yang sembuh sedangkan

sebagian mengalami infeksi dengan eksudat atau luka terbuka seluruhnya

memerlukan perawatan khusus bahkan memerlukan reinsisi (Novita, 2006).

Pembersihan luka insisi dimulai mencuci tangan sampai bersih

kemudian mengkaji atau mengobservasi status luka apakah luka bersih atau

kotor serta sejenisnya. Kasa steril dipegang dengan pinset lalu dicelupkan ke

dalam larutan savlon dan dilakukan pembersihan pada luka. H2O2 diberikan

jika diperlukan atau diberi larutan Nacl 0,9% kemudian luka dibersihkan sampai

bersih dan dilanjutkan dengan pengobatan luka menggunakan betadin atau

sejenisnya. Setelah luka bersih, tangan dicuci kembali (Kuswari, 2009).


2. Nutrisi masa nifas

Nutrisi atau gizi adalah zat yang diperlukan oleh tubuh untuk

keperluan metabolismenya. Kebutuhan gizi pada masa nifas meningkat 25 % dari

kebutuhan biasa karena berguna untuk proses kesembuhan sehabis melahirkan

dan untuk memproduksi air susu yang cukup (Sulistyawati, 2009).

Makanan yang dikonsumsi harus bermutu tinggi dan cukup kalori, cukup

protein, banyak cairan serta banyak buah-buahan dan sayuran karena si

ibu ini mengalami hemokosentrasi (Hanafiah, 2004).

Ibu yang menyusui harus mengkonsumsi tambahan 500 kalori tiap

hari, makan dengan diet berimbang untuk mendapatkan protein, mineral dan

vitamin yang cukup, meminum sedikitnya 3 liter air setiap hari dan ibu

sebaiknya minum setiap kali menyusui, pil zat besi harus diminum untuk

menambah zat gizi setidaknya selama 40 hari pasca bersalin, mengkonsumsi

kapsul vitamin A (200.000 unit) agar bisa memberikan vitamin A kepada bayinya

melalui ASInya (Saifuddin, 2001).

Ibu post seksio sesarea harus menghindari makanan dan minuman

yang menimbulkan gas karena gas perut kadang-kadang menimbulkan masalah

sesudah seksio sesarea. Jika ada gas dalam perut, ibu akan merasakan nyeri yang

menusuk. Gerak fisik dan bangun dari tempat tidur, pernapasan dalam, dan

bergoyang di kursi dapat membantu mencegah dan menghilangkan gas (Simkin

dkk, 2007)
3. Ambulasi Dini

Sehabis melahirkan ibu merasa lelah karena itu ibu harus istirahat dan tidur

telentang selama 8 jam pasca persalinan. Kemudian ibu boleh miring ke

kanan dan ke kiri untuk mencegah terjadinya thrombosis dan tromboemboli

(Mochtar,

1998).

Menurut Mochtar (1998), manfaat mobilisasi bagi ibu post operasi adalah

1) Ibu merasa lebih sehat dan kuat dengan ambulasi dini. Dengan bergerak, otot

– otot perut dan panggul akan kembali normal sehingga otot perutnya menjadi

kuat kembali dan dapat mengurangi rasa sakit dengan demikian ibu

merasa sehat dan membantu memperoleh kekuatan, mempercepat

kesembuhan, faal usus dan kandung kencing lebih baik. Dengan bergerak

akan merangsang peristaltik usus kembali normal. Aktifitas ini juga

membantu mempercepat organ-organ tubuh bekerja seperti semula.

2) Mencegah terjadinya trombosis dan tromboemboli, dengan mobilisasi

sirkulasi darah normal/lancar sehingga resiko terjadinya trombosis dan

tromboemboli dapat dihindarkan.

Setelah persalinan yang normal, jika gerakan ibu tidak terhalang oleh

pemasangan infus atau kateter dan tanda-tanda vitalnya juga baik, biasanya ibu

diperbolehkan untuk mandi dan pergi ke WC dengan dibantu satu atau dua jam

setelah melahirkan secara normal. Sebelum dua jam, ibu harus diminta

untuk melakukan latihan menarik napas dalam serta latihan tungkai yang

sederhana dan harus duduk serta mengayunkan tungkainya dari tepi ranjang.

Pasien seksio sesarea biasanya mulai ambulasi 24-36 jam sesudah

melahirkan. Jika pasien


menjalani analgesia epidural, pemulihan sensibilitas yang total harus

dibuktikan dahulu sebelum ambulasi dimulai ( Farrer, 2004).

Pada hari pertama dapat dilakukan miring ke kanan dan ke kiri yang dapat

dimulai sejak 6-10 jam setelah ibu sadar. Latihan pernafasan dapat dilakukan ibu

sambil tidur terlentang sedini mungkin setelah sadar (Mochtar, 1998). Ibu turun

dari tempat tidur dengan dibantu paling sedikit dua kali (Pritchard dkk,

1991). Hari kedua ibu dapat duduk dan dianjurkan untuk bernafas dalam-

dalam lalu menghembuskannya disertai batuk-batuk kecil yang gunanya untuk

melonggarkan pernafasan dan sekaligus menumbuhkan kepercayaan pada diri

ibu bahwa ia mulai pulih. Kemudian posisi tidur terlentang diuubah menjadi

setengah duduk. Selanjutnya secara berturut-turut, hari demi hari ibu yang sudah

melahirkan dianjurkan belajar duduk selama sehari, belajar berjalan kemudian

berjalan sendiri pada hari ke 3 sampai 5 hari setelah operasi. Mobilisasi

secara teratur dan bertahap serta diikuti dengan istirahat dapat membantu

penyembuhan ibu (Mochtar, 1998).

4. Defekasi

Fungsi gastrointestinal pada pasien obstetrik yang tindakannya tidak terlalu

berat akan kembali normal dalam waktu 12 jam. Buang air besar secara spontan

biasanya tertunda selama 2-3 hari setelah ibu melahirkan. Keadaan ini

disebabkan karena tonus otot usus menurun selama proses persalinan dan pada

masa pascapartum, dehidrasi, kurang makan dan efek anastesi (Bobak, 2004).
Bising usus biasanya belum terdengar pada hari pertama setelah operasi,

mulai terdengar pada hari kedua dan menjadi aktif pada hari ketiga. Rasa mulas

akibat gas usus karena aktivitas usus yang tidak terkoordinasi dapat mengganggu

pada hari kedua dan ketiga setelah operasi (Pritchard dkk, 1991).

Untuk dapat buang air besar secara teratur dapat dilakukan diet

teratur, pemberian cairan yang banyak, makanan cukup serat dan olahraga atau

ambulasi dini. Jika pada hari ketiga ibu juga tidak buang air besar maka laksan

supositoria dapat diberikan pada ibu ( Wulandari, 2009); (Hamilton, 1992).

5. Perawatan Perineum

Luka pada perineum akibat episiotomi, ruptur atau laserasi merupakan

daerah yang tidak mudah untuk dijaga agar tetap bersih dan kering. Pengamatan

dan perawatan khusus diperlukan untuk menjamin agar daerah tersebut sembuh

dengan cepat (Farrer, 2004 ).

Perawatan khusus perineum bagi wanita setelah melahirkan bayi bertujuan

untuk pencegahan terjadinya infeksi, mengurangi rasa tidak nyaman dan

meningkatkan penyembuhan.Walaupun prosedurnya bervariasi dari satu rumah

sakit lainnya, prinsip-prinsip dasarnya bersifat universal yaitu mencegah

kontaminasi dari rektum, menangani dengan lembut pada jaringan yang terkena

trauma dan membersihkan semua keluaran yang menjadi sumber bakteri dan bau

(Hamilton, 1992).

Setelah ibu mampu mandi sendiri, biasanya daerah perineum dicuci sendiri

dengan menggunakan air dalam botol atau wadah lain yang disediakan

secara
khusus (Farrer, 2004). Perawatan perineum dapat dilakukan dengan cara

perineum dibersihkan dengan sabun yang lembut minimal sekali sehari. Cairan

sabun atau sejenisnya dipakai setelah buang air kecil atau buang air besar.

Dibersihkan mulai dari simfisis sampai anal sehingga tidak terjadi infeksi

(Wulandari, 2009).

6. Perawatan Payudara

Perawatan payudara adalah suatu tindakan untuk merawat

payudara terutama pada masa nifas (masa menyusui) untuk melancarkan

pengeluaran ASI. Perawatan payudara pasca persalinan merupakan kelanjutan

perawatan payudara semasa hamil. Pelaksanaan perawatan payudara pasca

persalinan dimulai sedini mungkin yaitu 1 – 2 hari sesudah bayi dilahirkan.

Perawatan payudara dilakukan 2 kali sehari (Admin, 2009).

Perawatan payudara dapat dilakukan dengan cara (1). Menjaga payudara

tetap bersih dan kering, terutama puting susu (2). Menggunakan BH yang

menyokong payudara (3). Mengoleskan kolostrum atau ASI yang keluar sekitar

puting susu apabila puting susu lecet dan menyusui tetap dilakukan dimulai dari

puting susu yang tidak lecet (4). Mengistirahatkan payudara apabila lecet sangat

berat selama 24 jam (5). Meminum parasetamol 1 tablet setiap 4-6 jam untuk

menghilangkan nyeri (6).Melakukan pengompresan dengan menggunakan kain

basah dan hangat selama 5 menit apabila payudara bengkak akibat

pembendungan ASI, mengurut payudara dari pangkal menuju puting atau

menggunakan sisir untuk mengurut payudara dengan arah Z menuju

puting, ASI sebagian dikeluarkan dari bagian depan payudara sehingga puting

susu menjadi lunak, bayi


disusui setiap 2-3 jam dan apabila tidak dapat mengisap seluruh ASI

sisanya dikeluarkan dengan tangan lalu meletakkan kain dingin pada payudara

setelah menyusui (Saifuddin, 2001).

7. Miksi

Berkemih hendaknya dapat dilakukan ibu nifas sendiri dengan secepatnya.

Sensasi kandung kencing mungkin dilumpuhkan dengan analgesia spinal dan

pengosongan kandung kencing terganggu selama beberapa jam setelah persalinan

akibatnya distensi kandung kencing sering merupakan komplikasi masa nifas

(Kasdu, 2003).

Pemakaian kateter dibutuhkan pada prosedur bedah. Semakin cepat

melepas kateter akan lebih baik mencegah kemungkinan infeksi dan ibu semakin

cepat melakukan mobilisasi (Prawirohardjo, 2009). Kateter pada umumnya

dapat dilepas 12 jam setelah operasi atau lebih nyaman pada pagi hari setelah

operasi. Kemampuan mengosongkan kandung kemih harus dipantau seperti pada

kelahiran sebelum terjadi distensi yang berlebihan (Pritchard dkk, 1991).

8. Kebersihan Diri

Kebersihan diri ibu membantu mengurangi sumber infeksi dan

meningkatkan perasaan kesejahteraan ibu (Hamilton, 1992). Mandi di tempat

tidur dilakukan sampai ibu dapat mandi sendiri di kamar mandi yang terutama

dibersihkan adalah puting susu dan mamae dilanjutkan perawatan payudara

(Wulandari, 2009).
Pada hari ketiga setelah operasi, ibu sudah dapat mandi tanpa

membahayakan luka operasi (Pritchard dkk, 1991). Payudara harus diperhatikan

pada saat mandi. Payudara dibasuh dengan menggunakan alat pembasuh muka

yang disediakan secara khusus (Farrer, 2004).

2.2.2. Perawatan Bayi Baru Lahir

Pada waktu kelahiran, sejumlah adaptasi psikologi mulai terjadi pada bayi

baru lahir. Karena perubahan dramastis ini, bayi memerlukan pemantuan ketat

untuk menentukan bagaimana ia membuat suatu transisi yang baik terhadap

kehidupannya di luar uterus. Bayi baru lahir juga membutuhkan perawatan yang

dapat meningkatkan kesempatan menjalani masa transisi dengan berhasil

(Ladewig, 2005).

Perawatan bayi baru lahir meliputi memandikan bayi, perawatan tali pusar,

makanan, imunisasi, popok dan perawatan alat kelamin dan , mata, hidung dan

telinga bayi

1. Memandikan bayi

Memandikan bayi merupakan upaya yang dilakukan untuk menjaga agar

tubuh bayi bersih, terasa segar dan mencegah kemungkinan adanya infeksi.

Prinsip dalam memandikan bayi yang harus diperhatikan adalah menjaga bayi

jangan sampai kedinginan serta air masuk ke hidung, mulut, atau telinga

bayi yang dapat mengakibatkan aspirasi (Alimul, 2009).

Sesuai dengan umur, ada cara untuk memandikan bayi. Mandi spons,

apabila tali pusatnya belum lepas, bayi cukup dibersihkan dengan

menggunakan
spons, tidak perlu dimandikan dalam bak mandi. Mandi dengan cara ini

dilakukan sampai bayi berusia empat sampai enam minggu. Saat memandikan

bayi, pilihlah posisi yang paling nyaman. Misalnya duduk sambil memangku bayi

atau berdiri dan bayi diletakkan di atas meja.Selain tubuh, kaki dan tangan,

kepala bayi juga dibersihkan. Seluruh tubuh bayi dengan disabuni dengan spons.

Khusus untuk bagian kepala, selain menggunakan sabun khusus bayi, bisa

menggunakan sampo khusus bayi. Kemudian bayi dibilas, dan dikeringkan

dengan handuk lembut (Musbikin, 2006).

Jika kulit bayi tampak kering, kulit diolesi dengan baby lotion atau bahan

pelembab khusus bayi lainnya. Baby oil kurang baik karena

kandungan minyaknya tidak efektif diserap kulit (Musbikin, 2006).

Mandi dalam bak mandi. Apabila tali pusat bayi telah lepas, bayi bisa

mulai dimandikan di dalam bak mandi. Bak mandi yang digunakan disesuaikan

ukurannya dengan bayi, jangan terlalu besar dan terlalu kecil. Bak mandi diisi

0
dengan air hangat atau suhunya 75-89 Celcius (Musbikin, 2006).

Menggosok tubuh bayi dengan waslap atau spons, tetapi hidung dan telinga

dibersihkan dengan menggunakan cotton buds. Sebelum mencuci rambut bayi,

terlebih dahulu membasuh muka bayi dengan air lalu mengeringkan dengan

handuk. Setelah itu, rambut bayi digosok dengan sampo. Pada waktu membilas,

kepala bayi diangkat hingga lebih tinggi dari bak mandi. Tubuh bayi dibersihkan

dengan waslap. Rambut bayi tidak perlu dicuci setiap hari, cukup tiga kali

seminggu (Musbikin, 2006).


2. Perawatan tali pusar

Perawatan tali pusar merupakan tindakan keperawatan yang bertujuan

merawat tali pusar pada bayi baru lahir agar tetap kering dan mencegah

terjadinya infeksi (Alimul, 2009).

Tali pusar yang belum lepas perlu dibersihkan paling sedikit dua kali

sehari. Perawatan dilakukan dengan cermat dan hati-hati, apalagi bagi pusar bayi

masih berwarna merah. Sesudah bayi berumur kira-kira dua minggu, tali

pusar yang sudah kering akan terlepas sendirinya. Bila tali pusar yang terlepas

tersebut meninggalkan sedikit darah pada pusar bayi, keadaan tersebut dalam

batas normal (Musbikin, 2006).

Beberapa langkah perawatan yang dapat dilakukan yaitu (1). Sesudah bayi

selesai dimandikan, pusar bayi dibersihkan dengan cotton buds yang sudah

dibubuhi alkohol. Caranya, mengangkat sisa tali pusar agar bagian di

sekeliling tali pusar dapat dibersihkan (2). Melilitkan kasa yang dibubuhi obat

khusus dan mengusahakan agar kasa menutupi seluruh sisa tali pusar (3).

Setelah selesai membalut sisa tali pusar, seluruhnya ditutup dengan kasa steril

kemudian plester dengan menggunakan plester yang tidak kaku dan tidak

menyakitkan bila dilepas (4).Bila tali pusar sudah terlepas, bekas luka

dilindungi dengan kasa pembalut yang diberi plester (Musbikin, 2006).


3. Makanan

Makanan yang lebih baik, sehat dan sempurna untuk bayi adalah ASI. ASI

memiliki komposisi protein, karbohidrat, lemak, zat gula dan vitamin benar-

benar proporsional untuk pertumbuhan bayi yang ideal. Di dalam ASI terdapat

immunoglobulin. ASI diberikan minimal sampai anak berusia 2 tahun.

Sampai usia enam bulan, bayi tidak membutuhkan makanan tambahan lain

(Musbikin,

2006).

Menyusui dapat dimulai sehari setelah operasi (Pritchard, 1991). Pada saat

pertama kali menuyusui bayi mungkin ibu masih berbaring dan memerlukan

bantuan. Salah satu posisi yang paling nyaman untuk menyusui bayi pada hari-

hari-hari awal adalah dengan berbaring miring dan bayi berbaring pada sisi

tubuh ibu dengan wajah menghadap ibu. Kepala bayi dipeluk dengan

lengan yang bertumpu di tempat tidur, sedangkan lengan yang lain bebas. Ibu

bisa menempatkan sebuah bantal untuk menyangga pinggang serta sebuah bantal

atau selimut di atas perut untuk melindungi luka insisi dari tendangan bayi

(Duffet,

1995).

Posisi menyusui yang tepat untuk melindungi luka sayatan dari

tekanan berat dan gerak bayi adalah posisi pegangan bola atau mengapit,

berbaring menyamping atau meletakkan sebuah bantal di atas luka sayatan

sebelum menaruh bayi di pangkuan untuk disusui (Simkin dkk, 2007).


4. Imunisasi

Tujuan pemberian imunisasi adalah membentuk kekebalan tubuh terhadap

serangan penyakit terutama polio, cacar, gondok, rubella, pertusis, difteri,

tetanus, infeksi Haemophilus dan Hepatitis B dengan memberikan vaksin pada

bayi (Musbikin, 2006).

Jadwal pemberian imunisasi pada bayi dimulai dari umur 0 bulan..

Imunisasi DPT dilakukan tiga kali. DPT pertama diberikan saat bayi berusia dua

bulan, DPT kedua saat bayi berusia empat bulan dan DPT ketiga pada saat bayi

berusia enam bulan. Imunisasi polio untuk menghindari anak dari penyakit

kelumpuhan, diberikan tiga kali pada saat bayi berusia dua bulan, empat bulan

dan enam bulan. Imunisasi campak diberikan setelah bayi berusia sembilan

bulan. Imunisasi hepatitis B diberikan dua kali pada saat bayi baru lahir dan usia

satu bulan (Surya, 2004).

Imunisasi harus diberikan pada bayi yang kondisi tubuhnya sehat, tidak

dibenarkan diberikan pada bayi yang sedang menderita penyakit ataupun bayi

sedang menderita panas tinggi. Batas aman suhu badan anak yang akan mendapat

0
imunisasi harus berkisar 37 Celsius (Musbikin, 2006).

5. Perawatan Mata, Hidung dan Telinga Bayi

Mata , hidung dan telinga adalah bagian tubuh bayi yang sensitif. Untuk

merawat telinga, bagian luar dibasuh dengan lap atau kapas. Jangan

memasukkan benda apapun ke lubang telinga, termasuk cotton buds atau jari.

Bagian dalam hidung mempunyai mekanisme membersihkan sendiri. Jika

ada cairan atau


kotoran keluar, hanya bagian luarnya yang dibersihkan dengan menggunakan

cotton bud atau tisu yang digulung kecil. Jika menggunakan jari maka jari benar-

benar bersih. Jika hidung bayi mengeluarkan banyak lendir sangat banyak karena

pilek, sedotlah keluar dengan penyedot hidung atau bayi diletakkan dalam posisi

tengkurap untuk mengeluarkan cairan tersebut (Danuatmaja, 2003).

Mata dibersihkan dengan menggunakan kapas yang dibasahi air

hangat. Kapas yang digunakan harus lembut. Jangan memaksa mengeluarkan

kotoran di mata jika sulit. Jika sudah dibersihkan, mata bayi dipastikan bersih

dari sisa kapas (Danuatmaja, 2003).

6. Popok

Pada bulan pertama, ibu akan sering mengganti popok hingga

terkadang satu jam sekali. Meskipun merepotkan, penggantian popok sesering

mungkin berguna untuk menghindari gatal-gatal dan merah pada kulit bayi

yang masih peka (Danuatmaja, 2003).

Ada dua jenis popok bayi yaitu popok kain dan popok sekali pakai atau

diapers. Popok kain murah, terbuat dari bahan alami seperti katun, flannel,

dapat digunakan berkali-kali. Popok sekali pakai lebih mahal daripada popok

kain tetapi mudah digunakan, memiliki banyak fitur, seperti bahan penyerap

super, elastis pada kaki dan pinggang dan tetap kering (Tender Baby Care, 2009).

Popok bayi diganti minimal setiap kali bayi selesai buang air. Jika menggunakan

popok sekali pakai atau diapers, basahnya diapers jangan digunakan sebagai

ukuran (Danuatmaja, 2003).


Diapers yang bermutu biasanya memberi tanda jika tiba saat

mengganti popok, misalnya perubahan warna gambar diapers. Ibu tidak

perlu membangunkan bayi yang sedang tidur untuk mengganti popoknya,

kecuali jika terlalu basah dan tidak nyaman bagi bayi atau jika bayi buang air

besar.

Adapun cara mengganti popok bayi yaitu sebelum mengganti popok,

semua alat yang dibutuhkan disiapkan dan diusahakan mudah dijangkau. Alat-

alat yang dibutuhkan adalah popok bersih, gumpalan kapas dan air hangat (untuk

bayi di bawah satu bulan atau bayi yang mengalami gatal-gatal dan kulit merah),

handuk kecil untuk mengeringkan, baju ganti (jika popok bocor dan mengotori

baju), serta salep untuk gatal jika perlu. Setelah semua alat yang dibutuhkan

disiapkan, ibu mencuci tangan dan mengeringkan tangan. Saat mengganti

popok, bayi diajak bercakap-cakap atau diberi mainan agar tidak rewel.

Jangan menggunakan alat atau kosmetik bayi sebagai mainannya karena bayi

yang agak besar dapat memasukkan benda-benda tersebut ke dalam mulutnya. Isi

popok diperhatikan, apakah bayi sudah selesai buang air. Setelah beres, baru

popok ditarik keluar. Kedua kaki bayi diangkat lalu kelamin dan bokongnya

dibersihkan dengan seksama. Sesudah bayi bersih, lalu bayi dipakaikan popok

bersih dan popok atau diapers harus berukuran tepat agar tidak bocor dan jangan

terlalu ketat karena bisa membuat kulit bayi lecet. Popok kotor disimpan di

tempat tertutup sampai tiiba waktu dicuci, tinja padat dibuang ke toilet dan

diapers dibungkus dengan kertas bekas sebelum dibuang ke tempat sampah

(Danuatmaja, 2003).
7. Perawatan Alat Kelamin Bayi

Setiap kali mengganti popok laki-laki, alat kelamin dan pantat bayi harus

dibersihkan. Air seni bayi menyemprot kemana-mana, jadi perut dan tungkainya

harus dibersihkan. Bila tidak dibersihkan, sisa air seni dapat menyebabkan iritasi

(William, 2003)

Adapun cara membersihkan alat kelamin bayi laki-laki yaitu alat kelamin

dibersihkan dengan menggunakan sabun dan air. Untuk membersihkan penis dan

lipatan-lipatannya digunakan kapas basah, tidak boleh memaksa menarik

kulit luar dan membersihkan bagian dalam penis atau menyemprotkan antiseptik

karena sangat berbahaya, kecuali jika kulit luar sudah terpisah dari glan, sesekali

ibu bisa menarik dan membersihkan bagian bawahnya. Dengan kapas baru,

anus dan bagian bokong dari arah anus ke luar dibersihkan lalu dikeringkan

dengan tisu lembut, jangan buru-buru memakai popok tetapi biarkan terkena

udara sejenak dan lipatan kulit dan bokong diolesi krim (Danuatmaja, 2003).

Sewaktu mengganti popok bayi perempuan, pantatnya dibersihkan dengan

baik. Bagian dalam alat kelaminnya tidak perlu dibersihkan karena di daerah ini

tidak terdapat banyak kotoran dan jika dibuka dapat mengakibatkan terjadinya

infeksi. Membersihkan selalu dari depan ke belakang sehingga tidak

menyebabkan bakteri masuk dari anus ke vagina (Williams, 2003).

Adapun cara membersihkan alat kelamin bayi perempuan yaitu alat

kelamin dibersihkan dengan menggunakan sabun dan air. Untuk

membersihkan bagian bawah kelamin digunakan gulungan kapas dan

dilakukan dari arah depan ke belakang dan tidak perlu membersihkan bagian

dalam vagina. Dengan kapas baru,


anus dan bagian bokong dibersihkan dari arah anus ke luar. Lalu dikeringkan

dengan tisue lembut dan tetapi dibiarkan terkena udara sejenak sebelum

memakai popok dan lipatan kulit dan bokong boleh diolesi krim (Danuatmaja,

2003).

3. KONSEP KEMANDIRIAN

3.1. Pengertian

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005) , kemandirian adalah hal

atau keadaan dapat berdiri sendiri tanpa bergantung kepada orang lain. Menurut

Rahmawati (2005) dikutip dari Lie dan Prasasti (2004) menyatakan bahwa

kemandirian adalah kemampuan untuk melakukan kegitan atau tugas sehari-hari

atau dengan sedikit bimbingan, sesuai dengan tahapan perkembangan dan

kapasitasnya.

Kemandirian mempunyai lima komponen utama yaitu (1). Bebas, artinya

bertindak atas kehendaknya sendiri bukan karena orang lain dan tidak tergantung

pada orang lain (2). Progresif dan ulet, artinya berusaha untuk mengejar prestasi,

tekun dan terencana dalam mewujudkan harapannya (3). Inisiatif, yaitu mampu

berpikir dan bertindak secara original, kreatif dan penuh inisiatif, terkendali dari

dalam dimana individu mampu mengatasi masalah yang dihadapi, mampu

mengendalikan tindakannya serta mampu mempengaruhi lingkungan dan atas

usahanya sendiri (5). Kemantapan diri (harga diri dan percaya diri ) termasuk

dalam hal ini mempunyai kepercayaan terhadap kemampuan diri sendiri,

menerima dirinya dan memperoleh kepuasan dari usahanya (Masrun dalam

Irianti Pergola, 1997) .


Berdasarkan pengertian di atas dapat diketahui bahwa kemandirian adalah

kemampuan seseorang untuk mengontrol perilakunya dan menyelesaikan

masalahnya secara bebas, bertanggung jawab, percaya diri dan penuh

inisiatif serta dapat memperkecil ketergantungannya pada orang lain.

3.2. Kemandirian Ibu dalam Perawatan Diri dan Bayinya

Berdasarkan teori keperawatan Self Care Deficit yang dikemukakan oleh

Dorothea Orem, manusia pada dasarnya mempunyai kemampuan dalam merawat

dirinya sendiri. Konsep Orem dibedakan menjadi 3 teori utama yaitu self care,

self care deficit dan nursing system.

1. Self care

Orem memandang individu sebagai agen yang mempunyai kekuatan dan

kecenderungan memenuhi kebutuhan dirinya secara mandiri. Teori self care ini

didasarkan pada empat konsep yaitu self care, self care agency, self care

requisites dan theraupetic self care demand. Self care menunjukkan

aktivitas menyeluruh dari individu secara mandiri dalam meningkatkan dan

mempertahankan kehidupan serta kesejahteraan.

Self care agency adalah kemampuan yang kompleks dari individu untuk

melakukan tindakan self care atau kemampuan untuk menjumpai seseorang

untuk melanjutkan keperluan perawatan sesuai proses

kehidupan,mempertahankan dan meningkatkan integritas struktur dan fungsi

tubuh serta perkembangan dan kesejahteraan individu.


Self care agency meliputi kemampuan seseorang untuk mengenal

kebutuhannya, merencanakan sesuatu dan melakukan sendiri self carenya. Self

care agency dijabarkan oleh Orem pada tiga tipe sikap yaitu fundasional

(fundational), kemampuan (enabling) dan operasional (operational). Sikap

fundasional termasuk kemampuan seseorang dalam memperhatikan sensasi

persepsi memori dan orientasi. Sikap mampu adalah kekuatan self care agency,

yaitu kemampuan self care seseorang seperti pengetahuan, keterampilan self

care, menilai status kesehatan, mobilitas, motivasi, membuat keputusan,

kemampuan interpersonal, ketegaran, tujuan hidup. Sikap operasional adalah

kemampuan seseorang untuk mengingat orang lain dan kondisi lingkungan serta

faktor-faktor penting dalam melakukan self care, pembuatan keputusan tentang

apa yang dapat dan harus dilakukan serta tindakan nyata dalam penampilan self

care.

Self care agency dipengaruhi oleh faktor kondisi dasar yaitu umur, jenis

kelamin, tingkat perkembangan, status kesehatan, sosial kultural, system

pelayanan kesehatan, sistem keluarga, pola hidup, faktor lingkungan dan

ketersediaan sumber pendukung.

Self care requistes ( kebutuhan self care) adalah tindakan-tindakan yang

diambil atau yang dilakuka n dalam memenuhi self care. Ada tiga self

care requistes yaitu universal requistes yaitu berlaku umum untuk semua orang

termasuk didalamnya eliminasi, udara, air, makanan, keseimbangan

kebutuhan istirahat, solitut, interaksi social, pencegahan budaya, dan

meningkatkan fungsi normal tubuh manusia, development requistes adalah hasil

pematangan atau dihubungkan dengan kejadian-kejadian sepanjang hidup,

theraupetic self care


demamd adalah menunjukkan semua aktivitas self care atau dengan kata

lain merupakan semua tindakan yang dilakukan dalam mempertahankan keadaan

sehat dan sejahtera.

2. Self Care deficit

Self care deficit timbul ketika self care agency yang tidak adekuat dalam

memenuhi kebutuhan selfcare. Keterbatasan individu dapat diakibatkan oleh

sakit, kecelakaaan, ataupun efek dari tindakan pengobatan/perawatan. Perawat

dapat menbantu pasien melalui metode (helping method) yaitu melakukan atau

membantu langsung, membimbing, pendidikan, member dukungan dan

menyediakan lingkungan yang mendukung serta meningkatkan kemampuan

pasien memenuhi self carenya.

3. Nursing system

Orem melihat bahwa perawatan adalah pelayanan untuk menolong

seseorang dalam memenuhi self carenya. Pada system keperawatan ini perawat

menggunakan kelima cara helping metode. Setiap cara tersebut digunakan pada

tiga tipe system pelayanan keperawatan yaitu

(1). Perawatan total (wholly compensatory), individu belum mampu mengontrol

dan memonitor lingkungan dan informasi dalam melakukan self carenya.

(2). Perawatan sebagian (partial compensatory), individu belum mampu

melakukan beberapa atau sebagian dari aktivitas self carenya.

(3).Pendidikan dan dukungan (educative ssupportif), individu hanya

membutuhkan pendidikan dan dukungan lebih lanjut dalam melakukan self care

(Basford, 2006).
3.3 Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kemandirian ibu dalam

perawatan diri dan bayinya selama early postpartum

Tingkat kemandirian terbagi atas mandiri, ketergantungan ringan,

ketergantungan sedang, ketergantungan berat, ketergantungan total. Adapun

faktor-faktor yang mempengaruhi kemandirian ibu dalam melakukan perawatan

diri dan bayinya selama early postpartum yaitu :

a. Faktor masa lalu ibu

Melalui pengalaman di masa lalu sesorang dapat belajar cara merawat diri.

Apabila ibu sudah mengenal manfaat perawatan diri atau tehnik yang akan

dilakukan, maka ibu akan lebih mudah dalam melakukan perawatan diri

pascabersalin. Contohnya jika ibu mengetahui atau pernah melakukan perawatan

payudara sebelumnya, maka akan mempengaruhi perilaku perawatan diri ibu

pascabersalin. Ibu lebih mudah belajar atau melakukan perawatan tersebut.

Dalam hal ini pengalaman memberikan pengaruh pada perilaku ibu untuk

melakukan perawatan diri pascabersalin. Pengalaman ibu dimana ibu yang

multipara akan lebih realistis dalam mengantisipasi keterbatasan fisiknya dan

dapat lebih mudah beradaptasi terhadap peran dan interaksi sosialnya, dukungan

dimana ibu yang mendapat dukungan dapat memperkaya kemampuan menjadi

orangtua dan mengasuh anak (Bobak, 2004)

b. Faktor internal ibu pascabersalin

Faktor internal adalah segala sesuatu yang berasal dari dalam diri sendiri.

Aktivitas merawat diri akan berbeda pada setiap individu. Hal ini juga

dapat dipengaruhi oleh usia, pendidikan, karakter, keadaan kesehatan,

kebudayaan. Pada
usia ibu muda perawatan pascabersalin yang dilakukan akan berbeda dengan ibu

yang memiliki usia lebih dewasa dimana ibu yang berusia lebih dari 35 tahun

merasa bahwa merawat bayi baru lahir melelahkan secara fisik (Bobak, 2004).

Demikian juga dengan pendidikan semakin tinggi pendidikan ibu, maka

kepeduliannya terhadap perawatan diri semakin baik (Bobak, 2004). Kondisi

fisik ibu setelah melahirkan dimana semakin cepat kesehatan ibu pulih setelah

melahirkan, semakin menyenangkan sikapnya terhadap bayi dan ibu

semakin yakin akan kemampuannya untuk melaksanakan peran ibu secara

memuaskan (Saleha, 2009).

c. Faktor lingkungan ibu pascabersalin

Lingkungan akan terus berubah, jika memasuki suatu fase kehidupan yang

baru akan selalu terjadi penyesuaian diri dengan lingkungan. Situasi ini dapat

mempengaruhi ibu dalam melakukan perawatan diri pascabersalin. Keluarga

berperan sebagai sistem pendukung yang kuat bagi anggota-anggotanya,

khususnya dalam penanganan masalah kesehatan keluarga. Seperti halnya

ibu pascabersalin, maka anggota keluarga yang lain akan berusaha untuk

membantu memulihkan kondisi kesehatannya ke kondisi semula. Fungsi keluarga

dalam masalah kesehatan meliputi reproduksi, upaya membesarkan anak, nutrisi,

pemeliharaan kesehatan , rekreasi dan memberi dukungan dimana ibu yang

mendapat dukungan dapat memperkaya kemampuan menjadi orangtua dan

mengasuh anak (Bobak, 2004).


d. Petugas kesehatan

Petugas kesehatan, khususnya perawat sangat berperan penting dalam

mempengaruhi perilaku perawatan diri ibu pascasalin. Perawat merupakan orang

yang dalam melakukan tindakannya didasari pada ilmu pengetahuan serta

memiliki keterampilan yang jelas dalam keahliannya. Selain itu perawat

juga mempunyai kewenangan dan tanggung jawab dalam tindakan yang

berorientasi pada pelayanan melalui pemberian asuhan keperawatan kepada

individu, kelompok, atau keluarga. Pemberian asuhan keperawatan ini dapat

dilakukan perawat dengan memperhatikan kebutuhan dasar pasien. Di rumah

sakit perawat adalah orang yang paling dekat dengan pasien, oleh sebab itu

perawat harus mengetahui kebutuhan pasiennya. Perawat dapat memberikan

asuhan keperawatan misalnya mengajarkan pada ibu postpartum bagaimana cara

melakukan perawatan diri. Awalnya perawat dapat membantu ibu dalam

melakukan perawatan diri pascasalin, kemudian anjurkan ibu untuk

mengulanginya secara rutin dengan bantuan suami atau keluarga selanjutnya ibu

akan mampu melakukan perawatan diri pascasalin secara mandiri (Hidayat,

2004).

You might also like