Professional Documents
Culture Documents
OLEH:
dr. JEMI TUBUNG
1214048211
PEMBIMBING:
dr. I WAYAN LOSEN ADYANA, SpPD-KHOM
Puji dan syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas berkat
dan rahmat-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan laporan kasus yang berjudul
“Masalah diagnosis autoimmune hemolytic anemia pada seorang koinfeksi Human
Immunodeficiency Virus dan Virus Hepatitis C”. Laporan kasus ini merupakan bagian
dari tugas ilmiah Program Studi Penyakit Dalam FK UNUD/RSUP Sanglah,
Denpasar.
Terima kasih kami ucapkan kepada dr. I Wayan Losen Adnyana, SpPD-
KHOM yang telah membimbing kami dalam menyusun laporan kasus ini, sehingga
dapat diselesaikan dengan baik. Laporan kasus ini menguraikan tentang masalah
diagnosis autoimmune hemolitic anemia pada pasien dengan koinfeksi Human
Immunodeficiency Virus (HIV) dan virus hepatitis C.
Kasus ini merupakan kasus yang jarang dijumpai dan kadang tidak
terdiagnosis pada penderita koinfeksi HIV dan virus hepatitis C, sehingga adanya
laporan kasus ini diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan dan kesadaran penulis
dan pembaca mengenai masalah ini.
Kami menyadari bahwa laporan kasus ini masih jauh dari sempurna, sehingga
kami mengharapkan saran dan kritik yang membangun untuk perbaikan laporan kasus
ini.
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ............................................................................ i
KATA PENGANTAR .......................................................................... ii
DAFTAR ISI ......................................................................................... iii
DAFTAR GAMBAR ............................................................................ iv
DAFTAR TABEL ................................................................................. v
BAB II ISI
2.1 Kasus ......................................................................................... 3
2.2 Pembahasan ............................................................................... 7
2.1 Kasus
Seorang pasien laki-laki, 50 tahun dikonsulkan dari bagian Bedah dengan
keluhan nyeri seluruh area perut sejak empat hari sebelum masuk rumah sakit, nyeri
dirasakan mendadak, makin memberat bila pasien bergerak, awalnya nyeri dirasakan
di area perut kanan bawah kemudian menjalar ke seluruh area perut. Demam
dirasakan dua hari sebelum masuk rumah sakit, demam dirasakan terus menerus.
Lemas dirasakan pasien satu minggu sebelum nyeri perut, dirasakan perlahan-lahan
makin lama makin berat sehingga pasien tidak bisa melakukan aktifitas sehari-hari.
Pasien juga mulai merasakan sesak napas sejak 5 hari terakhir. Menurut keluarga,
pasien tampak pucat sejak satu minggu terakhir. Pasien belum buang air besar sejak
satu minggu sebelum masuk RS dan belum buang angin sejak 3 hari sebelum masuk
RS.
Tiga hari sebelumnya pasien berobat ke RSUD Badung dengan keluhan yang
sama, kemudian dilakukan pemasangan NGT untuk dekompresi, diberikan injeksi
ceftriakson satu gram intravena tiap 12 jam, injeksi metronidazol 500 mg intravena
tiap delapan jam dan injeksi parasetamol 1 gram intravena tiap delapan jam.
Direncanakan transfusi darah tetapi tidak jadi dilakukan, dikatakan karena adanya
ketidakcocokan darah pasien dengan darah donor. Pasien dirujuk ke bagian Bedah
RSUP Sanglah untuk tatalaksana lebih lanjut dengan diagnosis rujukan peritonitis
generalisata et causa suspect appendiks perforasi, acute kidney injury stage III ec
suspect prerenal, Infeksi B24, anemia sedang, hipoalbuminemia, hiperkalemia dan
hepatitis C.
Sembilan bulan lalu pasien mengalami demam hilang timbul sekitar satu
bulan, diare hilang timbul dan penurunan berat badan 10 kg dalam dua bulan, tidak
ada batuk dan nyeri menelan. Pasien berobat ke RSUD Badung kemudian dinyatakan
HIV positif dan mendapat pengobatan antivirus tiga jenis, pasien tidak tahu nama
obatnya. Pasien mengkonsumsi obat-obatan tersebut selama dua minggu kemudian
pasien tidak melanjutkan pengobatan lagi, hingga sakit saat ini. Bila mengalami
demam atau sakit kepala di rumah, pasien biasanya mengkonsumsi obat parasetamol.
Pada saat dikonsulkan kesadaran pasien GCS E4 V5 M6, tekanan darah
100/70 mmHg, nadi 98x/menit, frekuensi napas 20 kali per menit dan temperatur
aksila 37,70C. Kedua konjungtiva anemis dan tidak ikterik. Dinding dada simetris saat
statis dan dinamis, suara napas vesikular, tidak ada ronki atau wheezing, sonor pada
perkusi, pemeriksaan jantung dalam batas normal. Pada abdomen tampak distensi, tak
tampak vena kolateral, bising usus positif menurun, nyeri tekan positif pada seluruh
area abdomen. Hepar tidak teraba, lien tidak teraba, traube space timpani. Ekstremitas
hangat dan tak tampak edema.
Hasil lab pasien saat di RSUD Badung antara lain hemoglobin 8.7 g/dL, MCV
75.3 fL, MCH 25.1 pg, lekosit 7.13 x 103/uL, netrofil 85.9%, eosinofil 0.1%, basofil
0.0%, limfosit 9.5%, monosit 4.5% dan pletelet 449 x 10 3/uL. Faal hemostasis PT
14.5 (10.8 -14.4), INR 1.4 (0.9 – 1.1), APTT 35 (24 – 36). Kimia darah didapatkan
ureum 185 mg/dL, kreatinin serum 6.7 mg/dL, LDH 1050 U/L, anti HCV positif,
HbsAg negatif. Kesimpulan pemeriksaan Coomb’s test ditemukan adanya
autoimmune antibody (direct coomb’s test: positif) yang coated pada sel darah merah
penderita, tidak ditemukan adanya irregular allo antibody yang bebas di dalam serum
penderita (indirect coombs test: negatif).
Hasil laboratorium awal di RSUP Sanglah didapatkan kadar hemoglobin 8.44
g/dl, MCV 79.96 fL, MCH 26.11 pg, lekosit 16.54 x 103/uL, netrofil 91.3%, limfosit
5.6%, basofil 0.2%, eosinofil 0.2%, dan platelet 223.7 x 103/uL. Kadar Bun 105.2
mg/dL, kreatinin 7.71 mg/dL, natrium 125 mmol/L, kalium 6.0 mmol/L, SGOT 8.1
U/L, SGPT 10.80 U/L, bilirubin total 0.55 mg/dL, bilirubin direk 0.37 mg/dL,
bilirubin indirek 0.18 mg/dL, ALP 49 U/L, total protein 5.2 g/dL, albumin 2.2 g/dL,
globulin 3.0 g/dL, gamma GT 27 U/L, serum iron 46.21 ug/dL, total iron binding
capacity (TIBC) 90.00 ug/dL, dan feritin 1671 ng/mL.
Saat dilakukan hapusan darah tepi didapatkan gambaran sebagian besar
eritrosit tampak hipokromik mikrositer, anisopoikilositosis, kesan jumlah lekosit
normal, tak ada sel muda, tak ada granula toksik atau vakuolisasi, kesan jumlah
trombosit normal, tidak ada giant platelet, kesan suatu gambaran anemia hipokromik
mikrositer.
Pasien didiagnosis peritonitis generalisata, acute kidney injury stadium III et
causa prerenal, infeksi HIV stadium IV (WHO) on HAART, putus obat, wasting
syndrome, oroesofageal candidiasis, AIHA dan anemia ringan hipokrom mikrositer et
causa suspect anemia of chronic disease, hipoalbumin et causa suspect inflamasi
kronis. Saran dilakukan hidrasi dengan NaCl 0.9% loading 500 cc dilanjutkan 20
tetes/menit, hemodialisis cito, transfusi PRC sampai Hb 10 gr/dL dengan premedikasi
metilprednisolon 125 mg intravena, kotrimoksazol 960 mg per oral tiap 24 jam,
fluconazol 200 mg intravena tiap 24 jam, antibiotik sesuai dengan yang telah
diberikan sejawat bedah yaitu injeksi ceftriakson 1 gram intravena tiap 12 jam, injeksi
metronidazol 500 mg intravena tiap 8 jam dan parasetamol 1 gram intravena tiap 8
jam.
2.2 Pembahasan
Walaupun AIHA telah dikenal sejak lebih dari 150 tahun lalu, tetapi hingga
saat ini diagnosis, prognosis dan terapi AIHA tetap menjadi dilema. 6 Hal ini terjadi
karena terjadi perbedaan tingkat hemolisis yang signifikan pada setiap kasus AIHA
yang menyebabkan manifestasi klinis yang terjadi sangat heterogen. 7
Gambar 3. Mekanisme terjadinya AIHA.8
3.1 Ringkasan
Telah dilaporkan kasus AIHA pada seorang penderita koinfeksi HIV dan
hepatitis C. Manifestasi klinis AIHA tidak tampak pada pasien ini seperti kasus AIHA
pada umumnya, hal ini umum terjadi pada kasus AIHA sekunder. Pemeriksaan DAT
positif pada pasien sebagai dasar kecurigaan AIHA pada pasien ini.
Tatalaksana AIHA ringan yang hanya berupa DAT positif saja atau hemolisis
ringan tidak perlu terapi khusus. Keputusan pemberian imunosupresan pada AIHA
dapat dimulai pada AIHA sedang yaitu adanya tanda-tanda hemolisis yang signifikan.
Pemberian transfusi PRC pada pasien AIHA didasarkan atas kondisi klinis, adanya
penyakit komorbid atau ada tidaknya tindakan operasi yang akan dijalani pasien.
Daftar Pustaka