You are on page 1of 44

Case Report Session

Congestive Heart Failure

Oleh

Masyfuk Zuhdi Jamhur 1740312241

Putri Rahmawati 1740312215

Fanny Permata Andriani 1410311099

PRESEPTOR

dr. Akmal M Hanif, SpPD-KKV, MARS FINASIM

BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM

RSUP DR M. DJAMIL PADANG

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS

2018

0
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Gagal jantung merupakan masalah kesehatan yang menyebabkan penurunan

kualitas hidup. Seorang pasien yang menderita gagal jantung biasanya sering

kembali datang ke rumah sakit karena kekambuhan yang tinggi dan peningkatan

angka kematian yang tinggi pada penyakit ini. Sekitar 45% pasien gagal jantung

akut akan dirawat ulang paling tidak satu kali, 15% paling tidak dua kali dalam dua

belas bulan pertama.1

Estimasi risiko kematian dan perawatan ulang antara 60 hari berkisar 30-

60%, tergantung dari studi populasi.1 Gagal jantung merupakan penyebab paling

banyak perawatan di rumah sakit pada populasi Medicare di Amerika Serikat,

sedangkan di Eropa dari data-data Scottish memperlihatkan peningkatan dari

perawatan gagal jantung, apakah sebagai serangan pertama atau sebagai gejala

utama atau sebagai gejala ikutan dengan gagal jantung. Peningkatan ini sangat erat

hubungannya dengan semakin bertambahnya usia seseorang.1,2

Gagal jantung adalah sindroma klinis yang ditandai dengan gejala gagal

jantung (sesak nafas saat istirahat atau saat melakukan aktifitas disertai atau tidak

kelelahan); tanda-tanda retensi cairan (kongesti paru atau edema pergelangan kaki);

adanya bukti objektif kelainan struktur atau fungsi jantung saat istirahat.9 Penyebab

dari gagal jantung adalah seluruh spektrum kerusakan pada jantung baik secara

struktural maupun fungsional yang tidak tertangani dengan baik yang dalam waktu

tertentu akan bermanifestasi sebagai gagal jantung pada saat jantung tidak mampu

lagi mengkompensasi kerusakan tersebut. Penyebab-penyebab ini jika

1
diklasifikasikan bisa berupa kelainan mekanik, kelainan miokardium, maupun

kelainan irama jantung. Penyakit jantung koroner merupakan etiologi gagal jantung

akut pada 60-70% pasien terutama pada pasien usia lanjut, sedangkan pada usia

muda, gagal jantung akut diakibatkan oleh kardiomiopati dilatasi, aritmia, penyakit

jantung kongenital atau valvular dan miokarditis.2,4

Gagal jantung akut maupun gagal jantung kronik sering merupakan

kombinasi kelainan jantung dan organ sistem lain terutama penyakit metabolik.2,4

Boleh dikatakan bahwa gagal jantung adalah bentuk terparah atau fase terminal dari

setiap penyakit jantung.3 Oleh sebab itu, gagal jantung di satu sisi akan dapat

dengan mudah dipahami sebagai suatu sindrom klinis, namun di sisi lain gagal

jantung merupakan suatu kondisi dengan patofisiologis yang sangat bervariasi dan

kompleks.5

2
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Gagal jantung adalah kumpulan gejala yang kompleks dimana seorang

pasien harus memiliki tampilan berupa : gejala gagal jantung (napas pendek yang

tipikal saat istirahat atau saat melakukan aktifitas disertai/tidak kelelahan); tanda

retensi cairan (kongesti paru atau edema pergelangan kaki); adanya bukti objektif

dari gangguan struktur atau fungsi jantung saat istirahat.6

Definisi gagal jantung

Gagal jantung merupakan kumpulan gejala klinis pasien dengan tampilan seperti :

Gejala khas gagal jantung : Sesak nafas saat istirahat atau aktifitas, kelelahan, edema
tungkai

dan

Tanda khas Gagal Jantung : Takikardia, takipnu, ronki paru, efusi pleura, peningkatan
tekanan vena jugularis, edema perifer, hepatomegali.

dan

Tanda objektf gangguan struktur atau fungsional jantung saat istrahat, kardiomegali, suara
jantung ke tiga, murmur jantung, abnormalitas dalam gambaran ekokardiografi, kenaikan
konsentrasi peptida natriuretic

2.2 Epidemiologi

Gagal jantung akut telah menjadi masalah kesehatan di seluruh dunia

sekaligus penyebab signifikan jumlah perawatan di rumah sakit dengan

menghabiskan biaya yang tinggi. Prevalensi kasus gagal jantung di komunitas

meningkat seiring dengan meningkatnya usia: 0,7 % (40-45 tahun), 1,3 % (55-64

3
tahun), dan 8,4 % (75 tahun ke atas). Lebih dari 40% pasien kasus gagal jantung

memiliki ejeksi fraksi lebih dari 50%. Pada usia 40 tahun, risiko terjadinya gagal

jantung sekitar 21% untuk lelaki dan 20.3 % pada perempuan.11

Prevalensi gagal jantung terus mengalami peningkatan dari tahun ketahun.

Tahun 2008, diperkirakan terdapat 5,7 juta orang Amerika berusia >20 tahun

(2,4%) menderita gagal jantung. Pada tahun 2010, terdapat sekitar 6,6 juta orang

Amerika berusia > 18 tahun (2,8%) yang mengalami gagal jantung. Tahun 2030

diperkirakan akan terdapat peningkatan prevalensi dibandingkan tahun 2010, yakni

penambahan penderita gagal jantung sekitar 3 juta orang (25%).1

Menurut Hasil Riskesdas tahun 2013, prevalensi gagal jantung di Sumatera

Barat sama dengan di Indonesia, yakni sebesar 0,3% berdasarkan gejala, atau yang

terdiagnosis dokter.12

2.3 Etiologi dan Faktor Risiko

2.3.1 Heart Failure Reduced Ejection Fraction

 Penyakit arteri koroner : infark miokard, iskemia miokard

 Overload tekanan kronis : hipertensi, penyakit katup obstruktif

 Overload volume kronis : penyakit katup regurgitasi, shunt

interkardiak (kiri ke kanan)

 Kerusakan akibat toksin atau obat : penyakit metabolic, virus2

2.3.2 Heart failure-preserved ejection fraction

 Hipertrofi patologis : primer (kardiomiopati hipertrofi), sekunder

(hipertensi)

 Penuaan

4
 Fibrosis jantung

 Penyakit jantung pulmonal : cor pulmonal

 Kelainan endomiokardial2

2.3 Patofisiologi Gagal Jantung

Terdapat tiga kondisi yang mendasari terjadinya gagal jantung, yaitu

gangguan kontraktilitas, peningkatan afterload dan gangguan pengisian diastol.3

1. Gangguan kontraktilitas

Pada keadaan gangguan kontraktilitas ini dapat disebabkan oleh

Coronary artery Disease baik yang telah terjadi infark miokard atau

miocardial iskemi. Gangguan kontraktilitas juga dapat disebabkan oleh

volume berlebihan dalam keadaan kronik contohnya padaa mitral

regurgitasi atau aorta regurgitasi. Dilatasi kardiomiopati juga dapat

mempengaruhi gangguan kontraktilitas.3

2. Peningkatan afterload

Peningkatan afterload terdapat pada keadaan hipertensi yang tidak

terkontrol atau stenosis aorta yang berat.3

3. Gangguan pengisian fase diastol

Keadaan yang dapat mengganggu pengisian saat diastol adalah hipertofi

ventrikel kiri, tamponade jantung, iskemi ataupun fibrosis miokardial.3

Beban pengisian (preload) dan beban tekanan (afterload) pada ventrikel

yang mengalami dilatasi atau hipertrofi memungkinkan adanya peningkatan daya

kontraksi jantung yang lebih kuat, sehingga curah jantung meningkat. Pembebanan

jantung yang lebih besar meningkatkan simpatis, sehingga kadar katekolamin

5
dalam darah meningkat dan terjadi takikardi dengan tujuan meningkatkan curah

jantung. Pembebanan jantung yang berlebihan dapat mengakibatkan curah jantung

menurun, maka akan terjadi redistribusi cairan dan elektrolit (Na) melalui

pengaturan cairan oleh ginjal dan vasokontriksi perifer dengan tujuan untuk

memperbesar aliran balik vena (venous return) ke dalam ventrikel sehingga

meningkatkan tekanan akhir diastolic dan menaikkan kembali curah jantung.2

Dilatasi, hipertrofi, takikardi, dan redistribusi cairan merupakan mekanisme

kompensasi untuk mempertahankan curah jantung dalam memenuhi kebutuhan

sirkulasi badan. Bila semua kemampuan mekanisme kompensasi jantung tersebut di

atas sudah dipergunakan seluruhnya dan sirkulasi darah dalam badan belum juga

terpenuhi, maka terjadilah keadaan gagal jantung.13

Gagal jantung kiri atau gagal jantung ventrikel kiri terjadi karena adanya

gangguan pemompaan darah oleh ventrikel kiri sehingga curah jantung kiri

menurun dengan akibat tekanan akhir diastole dalam ventrikel kiri dan volume

akhir diastole dalam ventrikel kiri meningkat. Keadaan ini merupakan beban atrium

kiri dalam kerjanya untuk mengisi ventrikel kiri pada waktu diastolik, dengan

akibat terjadinya kenaikan tekanan rata-rata dalam atrium kiri. Tekanan dalam

atrium kiri yang meninggi ini menyebabkan hambatan aliran masuknya darah dari

vena-vena pulmonal. Bila keadaan ini terus berlanjut, maka bendungan akan terjadi

juga dalam paru-paru dengan akibat terjadinya edema paru dengan segala keluhan

dan tanda-tanda akibat adanya tekanan dalam sirkulasi yang meninggi. Keadaan

yang terakhir ini merupakan hambatan bagi ventrikel kanan yang menjadi pompa

darah untuk sirkuit paru (sirkulasi kecil). Bila beban pada ventrikel kanan itu terus

bertambah, maka akan meransang ventrikel kanan untuk melakukan kompensasi

6
dengan mengalami hipertropi dan dilatasi sampai batas kemampuannya, dan bila

beban tersebut tetap meninggi maka dapat terjadi gagal jantung kanan, sehingga

pada akhirnya terjadi akhirnya terjadi gagal jantung kiri-kanan.14

Gagal jantung kanan dapat pula terjadi karena gangguan atau hambatan

pada daya pompa ventrikel kanan sehingga isi sekuncup ventrikel kanan tanpa

didahului oleh gagal jantung kiri. Dengan menurunnya isi sekuncup ventrikel

kanan, tekanan dan volume akhir diastole ventrikel kanan akan meningkat dan ini

menjadi beban atrium kanan dalam kerjanya mengisi ventrikel kanan pada waktu

diastole, dengan akibat terjadinya kenaikan tekanan dalam atrium kanan. Tekanan

dalam atrium kanan yang meningkat akan menyebabkan hambatan aliran masuknya

darah dalam vena kava superior dan inferior ke dalam jantung sehingga

mengakibatkan kenaikan dan adanya bendungan pada vena-vena sistemik tersebut

(bendungan pada vena jugularis dan bendungan hepar) dengan segala akibatnya

(tekanan vena jugularis yang meninggi dan hepatomegali). Bila keadaan ini terus

berlanjut, maka terjadi bendungan sistemik yang lebih berat dengan aakibat

timbulnya edema tumit atau tungkai bawah dan asites.14

Manifestasi CHF tidak hanya disebabkan karena ketidakmampuan jantung

dalam mensuplai oksigen yang adekuat ke jaringan perifer, tapi juga tergantung

pada respon sistemik dalam mengkompensasi ketidakadekuatan suplai oksigen ke

jaringan. Beberapa faktor yang menentukan cardiac output meliputi heart rate dan

stroke volume. Stroke volume ditentukan oleh preload, kontraktilitas, dan afterload.

Variabel-variabel ini penting diketahui dalam patofisiologis CHF dan potensi

terapi. Selain itu interaksi kardiopulmonary penting juga untuk diketahui dalam

peranannya dalam kegagalan jantung.15

7
Preload dapat dilihat dari jumlah volume darah yang harus dipompa oleh

jantung, kontraktilitas merupakan kemampuan memompa jamtung, sedangkan

afterload merupakan kekuatan yang harus dikeluarkan oleh jantung untuk

memompa darah. Preload tidak hanya dipengaruhi oleh volume intravaskuler, tapi

juga dipengaruhi oleh keadaan restriksi saat pengisian ventrikel. Fungsi diastolic

ditentukan oleh dua faktor yaitu elastisitas dari ventrikel kiri, yang mana

merupakan fenomena yang pasif, dan relaksasi myocardial yang mana proses ini

merupakan proses yang aktif dan membutuhkan energi. Ketidaknormalan ventrikel

kiri untuk relaksasi atau elastisitasnya baik itu karena structural (contoh: hypertropi

ventrikel kiri) atau perubahan pada fungsional (contoh: iskemia) mempengaruhi

juga pengisian ventrikel (preload). Variable kedua dari stroke volume adalah

kontraktilitas jantung, Pada jantung normal fungsi sistolik fraksi ejeksi akan selalu

dipertahankan diatas 50-55%. Infark myokard akan menyebabkan myokard tidak

dapat bekerja dengan baik, hal ini dikarenakan jantung tidak dapat berkontraksi

dengan baik. Jaringan yang infark dapat diperbaiki dengan pembedahan atau

dengan terapi obat-obatan. Beberapa hal yang juga mempengaruhi kontraktilitas

jantung adalah agent farmakologik (calcium-channel blocker), hipoksemia, dan

asidosis yang parah. Variabel terakhir dari komponen stroke volume adalah

afterload. Afterload biasanya dilihat dengan pengukuran mean arterial pressure.

Afterload dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu tahanan vaskuler, dan tekanan

intratorakal. Bersama-sama ketiga komponen ini saling mempengaruhi dalam

patofisiologi CHF. Pada kondisi dimana terjadi penurunan cardiac output, maka

heart rate atau stroke volume harus berubah untuk menjaga kelangsungan perfusi.

8
Jika stroke volume tidak dapat dirubah, maka heart rate harus ditingkatkan untuk

menjaga cardiac output.15

Sistem neurohormonal teraktivasi pada disfungsi ventrikel dengan

penurunan cardiac output, terjadi aktivasi baroreseptor pada arkus aorta, sinus

karotikus, dan ventrikel kiri. Baroreseptor ini menstimulasi pusat regulator

vasomotor pada medula, yang mana kemudian mengaktivasisystem saraf simpatis,

arginin vasopressin, dan rennin-angiotensin aldosteron system. Aktivasi system

saraf simpatis dapat terlihat dari adanya peningkatan kadar norepinephrin plasma,

hasilnya dapat terlihat dari peningkatan heart rate, kontraktilitas myocardium,

vasokonstriksi perifer. Renin angiotensin system teraktivasi pada kegagalan

jantung, melalui mekanisme intrarenal, yang distimulasi oleh perubahan tekanan

atau perubahan pada kadar sodium pada macula densa, yang kemudian

menyebabkan terjadinya retensi sodium dan cairan.16

Mekanisme kompensasi gagal jantung

a. Mekanisme Frank Starling

Mekanisme Frank Starling meningkatkan stroke volume berarti terjadi

peningkatan volume ventrivuler end diastolic. Bila terjadi peningkatan pengisian

diastolic, berarti ada peningkatan peregangan dari serat otot jantung, lebih optimal

pada filament aktin dan myosin, dan hasilnya meningkatkan tekanan pada kontraksi

berikutnya. Pada keadaan normal, mekanisme Frank Starling mencocokkan output

dari dua ventrikel.17

Pada gagal jantung, mekanisme Frank Starling membantu mendukung

cardiac output. Cardiac output mungkin akan normal pada penderita gagal jantung

9
yang sedang beristirahat, dikarenakan terjadinya peningkatan volume ventricular

end diastolic dan mekanisme Frank-Starling. Mekanisme ini menjadi tidak efektif

ketika jantung mengalami pengisian yang berlebihan dan serat otot mengalami

peregangan yang berlebihan. Hal penting yang menentukan konsumsi energi otot

jantung adalah ketegangan dari dinding ventricular. Pengisian ventrikel yang

berlebihan menurunkan ketebalan dinding pembuluh darah dan meningkatkan

ketegangan dinding pembuluh darah. Peningkatan ketegangan dinding pembuluh

darah akan meningkatkan kebutuhan oksigen otot jantung yang menyebabkan

iskemia dan lebih lanjut lagi adanya gangguan fungsi jantung.18

b. Aktivasi neurohormonal yang mempengaruihi sistem saraf simpatetik

Stimulasi sistem saraf simpatik berperan penting dalam respon kompensasi

menurun cardiac output dan patogenesis gagal jantung. Baik cardiac sympathetic

tone dan katekolamin (epinephrine dan norepinephrin) meningkat selama tahap

akhir dari hamper semua bentuk gagal jantung. Stimulasi lansung irama jantung dan

kontraktilitas otot jantung oleh pengaturan vascular tone, sistem saraf simpatetik

membantu memelihara perfusi berbagai organ, terutama otak dan jantung.18

Aspek negatif dari peningkatan aktivitas system saraf simpatetik melibatkan

peningkatan tahanan sistem vaskular dan kelebihan kemampuan jantung dalam

memompa. Stimulasi simpatetik yang berlebihan juga menghasilkan penurunan

aliran darah ke kulit, otot, ginjal, dan organ abdominal. Hal ini tidak hanya

menurunkan perfusi jaringan tetapi juga berkontribusi meningkatkan sistem tahanan

vaskular dan stress berlebihan dari jantung.13

10
c. Mekanisme Renin-Angiotensin-Aldosteron

Salah satu efek yang paling penting dalam menurunkan cardiac output

dalam gagal jantung adalah reduksi aliran darah pada ginjal dan kecepatan filtrasi

glomerulus, yang menyebabkan retensi garam dan air. Penurunan aliran darah ke

ginjal, meningkatkan sekresi renin oleh ginjal yang secara paralel akan

meningkatkan pula angiotensin II. Peningkatan konsentrasi angiotensin II

berkontribusi pada keadaan vasokonstriksi dan menstimulasi produksi aldosteron

dari adrenal korteks. Aldosteron akan meningkatkan reabsorpsi natrium dengan

meningkatkan retensi air.16

Selain itu angiotensin II dan aldosteron juga terlibat dalam inflamasi proses

perbaikan karena adanya kerusakan jaringan. Keduanya menstimulasi produksi

sitokin, adhesi sel inflamasi (contoh neutrofil dan makrofag) dan kemotaksis;

mengaktivasi makrofag pada sisi kerusakan dan perbaikan; dan menstimulasi

pertumbuhan fibroblas dan sintesis jaringan kolagen.18

d. Hipertrofi otot jantung dan remodeling

Perkembangan hipertrofi otot jantung dan remodeling merupakan salah satu

mekanisme akibat meningkatnya kerja yang berlebih. Meskipun hipertrofi ventrikel

memperbaiki kerja jantung, ini juga merupakan faktor risiko yang penting bagi

morbiditas dan mortalitas. Keadaan hipertrofi dan remodeling dapat menyebabkan

perubahan dalam struktur (massa otot, dilatasi chamber) dan fungsi (gangguan

fungsi sistolik dan diastolik). Ada 2 tipe hipertrofi, yaitu pertama Concentric

hypertrophy, terjadi penebalan dinding pembuluh darah, disebabkan oleh

hipertensi.dan kedua Eccentric hypertrophy, terjadi peningkatan panjang otot

jantung disebabkan oleh dilated cardiomyopathy.3,19

11
2.4 Klasifikasi dan Manifestasi Klinis

Berdasarkan presentasinya gagal jantung dibagi sebagai berikut.

1. Gagal jantung akut

2. Gagal jantung menahun

3. Acute on Chronic Heart Failure

Gagal jantung akut didefinisikan sebagai timbulnya sesak napas secara cepat (<

24 jam) akibat kelainan fungsi jantung, gangguan fungsi sistolik atau diastolic atau

irama jantung, atau kelebihan beban awal (preload), beban akhir (afterload), atau

kontraktilitas dan keadaan ini mengancam jiwa jika tidak ditangani dengan tepat. 9

Gagal jantung menahun didefinisikan sebagai sindrom klinis yang kompleks

akibat kelainan structural atau fungsional yang menganggu kemampuan pompa

jantung atau menganggu pengisian jantung.9

Pasien gagal jantung akut dapat datang dengan berbagai kondisi klinis, yaitu:

1. Acute decompensated hearth failure (ADHF)

- Baru pertama kali (de novo)

- Dekompensasi dari gagal jantung menahun

Kedua keadaan ini masih lebih ringan dan tidak termasuk syok

kardiogenik, edema paru atau krisis hipertensi.

2. Hypertensive acute heart failure

Gejala dan tanda gagal jantung disertai dengan tekanan darah tinggi dan

fungsi ventrikel yang masih baik.

3. Edema paru

Sesak napas hebat, dengan ronki basah kasar di hampir semua lapangan

paru, ortopnu, saturasi oksigen < 90% sebelum mendapat terapi oksigen.

12
4. Syok kardiogenik

Terdapat hipoperfusi jaringan meskipun preload sudah dikoreksi. Tekanan

darah sistolik < 90 mmHg, produksi urin 0,5 cc/kgbb/jam, laju nadi > 60

x/menit dengan atau tanpa kongesti organ/paru.

5. Gagal jantung kanan

Dengan gejala curah jantung rendah, peningkatan JVP, hepatomegali dan

hipotensi.9

6. Sindrom Koroner Akut (SKA) dan Gagal Jantung: sebagian besar pasien

gagal jantung akut memiliki gambaran dari SKA. Sekitar 15% pasien SkA

memiliki tanda dan gejala dari gagal jantung.

Pada gagal jantung kronis, derajat penyakit secara klinis fungsional dapat

dikategorikan berdasarkan The New York Heart Association (NYHA) dan American

Heart Association (AHA) yang berfokus pada faktor resiko dan abnormalitas

struktur jantung. Berdasarkan American Heart Association klasifikasi dari gagal

jantung kongestif yaitu sebagai berikut :

1. Stage A

Stage A merupakan klasifikasi dimana pasien mempunyai resiko tinggi, tetapi

belum ditemukannya kerusakan struktural pada jantung serta tanpa adanya tanda

dan gejala dari gagal jantung tersebut. Pasien yang didiagnosa gagal jantung stage

A umumnya terjadi pada pasien dengan hipertensi, penyakit jantung koroner,

diabetes mellitus.

2. Stage B

13
Pasien dikatakan mengalami gagal jantung stage B apabila ditemukan adanya

kerusakan struktural pada jantung tetapi tanpa menunjukkan tanda dan gejala dari

gagal jantung tersebut.

3. Stage C

Gagal jantung yang simtomatik berhubungan dengan penyakit structural jantung

yang mendasari.

4. Stage D

Penyakit jantung struktural lanjut serta gejala gagal jantung yang sangat bermakna

saat istirahat walaupun sudah mendapat terapi medis maksimal (refrakter).

Klasifikasi dari gagal jantung berdasarkan The New York Heart Association

(NYHA)

1. Kelas I

Tidak ada gejala dalam melakukan aktivitas fisik sehari-hari, seperti berjalan,

menaiki tangga. Aktivitas fisik tidak menyebabkan dispnea, kelelahan, atau

palpitasi.

2. Kelas II

Gejala ringan (sesak napas ringan dan/ angina) serta terdapat keterbatasan ringan

dalam aktifitas fisik sehari-hari.

3. Kelas III

Terdapat keterbatasan aktivitas fisik sehari-hari misalnya berjalan 20-100 meter

pasien menjadi sesak. Pasien hanya nerasa nyaman saat istirahat.

4. Kelas IV

14
Terdapat keterbatasan aktifitas yang berat, gejala dapat muncul saat istirahat,

keluhan meningkat saat beraktifitas.9

Tabel 2.1 Manifestasi Klinis Gagal Jantung1

Manifestasi klinis dapat berdasarkan dari pemeriksaan fisik dengan

ditemukannya tanda dan gejala dari kongesti (wet vs dry) dan hipoperfusi perifer

(cold vs warm).20

Tabel 2.3 Gambaran pasien dengan gagal jantung berdasarkan kongesti dan

hipoperfusi20

15
Congestion (-) Congestion (+)

Pulmonary congestion

Orthopnoea/PND

Peripheral oedema

Jugular venous dilatation

Congested hepatomegaly

Gut congestion, ascites

Hepatojugular reflux

Hypoperfusion (-) Warm – dry Warm – wet

Hypoperfusion (+) Cold – dry Cold – wet

Cold sweated extremities

Oliguria

Mental confusion

Dizziness

Narrow pulse pressure

Pasien dengan gagal jantung disertai komplikasi AMI dapat diklasifikasikan

berdasarkan Killip and Kimball yaitu kelas 1, tidak ada gejala ; kelas 2, gagal

jantung dengan ronki dan S3 gallop ; kelas 3, udem pulmonal akut ; kelas 4, syok

kardiogenik, hipotensi (SBP <90 mmHg) dan berdasarkan vasokontriksi perifer

seperti oliguria, sianosis, dan berkeringat.20

Berdasarkan Klasifikasi Forrester, gagal jantung akut dibagi dalam 4

kelompok berdasarkan manifestasi klinis dan status hemodinamik, yaitu normal,

edema pulmonal, syok hipovolemik, dan syok kardiogenik.18

16
Gambar 2.2 Klasifikasi Forrester 21

2.5 Diagnosis

Penegakan diagnosis ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik, serta

pemeriksaan penunjang. Dari anamnesis didapatkan keluhan berupa sesak napas

yang terutama meningkat dengan aktifitas, terbatasnya aktifitas dan hal-hal lain

seperti yang terdapat pada gejala klinis. Dari pemeriksaan fisik, bisa didapatkan

peningkatan JVP, pembesaran hepar, edema tungkai, refleks hepatojugular,

pergeseran apeks jantung ke lateral, maupun bising jantung. Dapat digunakan

kriteria klinis menggunakan kriteria klasik Framingham, paling sedikit 1 kriteria

mayor dan 2 kriteria minor.7

Kriteria mayor

17
- Paroxysmal nocturnal dyspnea

- Distensi vena-vena leher

- Peningkatan tekanan vena jugularis

- Ronki

- Kardiomegali

- Edema paru akut

- Gallop bunyi jantung III

- Refluks hepatojugular positif

Kriteria minor

- Edema ekstremitas

- Batuk malam

- Sesak saat aktifitas

- Hepatomegali

- Efusi pleura

- Kapasitas vital berkurang 1/3 dari normal

- Takikardi (> 120 kali/menit)

18
Gambar 2.1. Skema diagnostik untuk pasien yang dicurigai gagal jantung10

Pemeriksaan penunjang

 Elektrokardiogram (EKG)

Pemeriksaan elektrokardiogram harus dikerjakan pada semua pasien diduga

gagal jantung. Abnormalitas EKG sering dijumpai pada gagal jantung, namun

memiliki nilai prediktif yang kecil dalam mendiagnosis gagal jantung, jika EKG

normal, diagnosis gagal jantung khususnya dengan disfungsi sistolik sangat kecil (<

10%).

 Foto Toraks

Merupakan komponen penting dalam diagnosis gagal jantung. Rontgen toraks

dapat mendeteksi kardiomegali, kongesti paru, efusi pleura dan dapat mendeteksi

penyakit atau infeksi paru yang menyebabkan atau memperberat sesak nafas.

19
 Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan laboratorium rutin pada pasien diduga gagal jantung adalah darah

perifer lengkap (hemo-globin, leukosit, trombosit), elektrolit, kreatinin, laju filtrasi

glomerulus (GFR), glukosa, tes fungsi hati dan urinalisis. Pemeriksaan tambahan

lain dipertimbangkan sesuai tampilan klinis.Gangguan hematologis atau elektrolit

yang bermakna jarang dijumpai pada pasien dengan gejala ringan sampai sedang

yang belum diterapi.

 Pemeriksaan biomarker

Brain natriuretic peptide (BNP) cukup sensitif untuk mendeteksi adanya gagal

jantung. Dikatakan gagal jantung bila nilai BNP ≥ 100 pg/mL atau NT-proBNP≥

300 pg/mL. Kadar peptide natriuretik meningkat sebagai respon terhadap

peningkatan tekanan dinding ventrikel.

 Troponin I atau T

Pemeriksaan troponin dilakukan pada penderita gagal jantung jika gambaran

klinisnya disertai dugaan sindroma koroner akut. Peningkatan ringan kadar troponin

kardiak sering pada gagal jantung berat atau selama episode dekompensasi gagal

jantung pada penderita tanpa iskemia miokard.

 Ekokardiografi

Konfirmasi diagnosis gagal jantung dan/atau disfungsi jantung dengan

pemeriksaan ekokardiografi adalah keharusan dan dilakukan secepatnya pada

pasien dengan dugaan gagal jantung. Pengukuran fungsi ventrikel untuk

membedakan antara pasien disfungsi sistolik dengan pasien dengan fungsi sistolik

normal adalah fraksi ejeksi ventrikel kiri (normal > 45 - 50%).

20
Ekokardiografi mempunyai peran penting dalam mendiagnosis gagaljantung

dengan fraksi ejeksi normal. Diagnosis harus memenuhi tigakriteria:

1. Terdapat tanda dan/atau gejala gagal jantung

2. Fungsi sistolik ventrikel kiri normal atau hanya sedikitterganggu (fraksi ejeksi >

45 - 50%)

3. Terdapat bukti disfungsi diastolik (relaksasi ventrikel kiriabnormal / kekakuan

diastolik).6,7,8

2.6 Penatalaksanaan

Tujuan terapi pada pasien gagal jantung kongestif

Prognosis menurunkan mortalitas

Morbiditas Meringankan gejala dan tanda

Memperbaiki kualitas hidup

Menghilangkan edema dan retensi cairan

Meningkatkan kapasitas aktifitas fisik

Mengurangi kelelahan dan sesak nafas

Mengurangi kebutuhan rawat inap

Menyediakan perawatan akhir hayat

Pencegahan Timbulnya kerusakan miokard

Perburukan kerusakan miokard

21
Remodelling miokard

Timbul kembali gejala dan akumulasi cairan

Rawat inap

2.6.1 Tatalaksana non-farmakologi

 Ketaatan pasien berobat

Ketaatan pasien berobat menurunkan morbiditas, mortalitas dan kualitas hidup

pasien. Berdasarkan literatur, hanya 20 - 60% pasien yang taat pada terapi

farmakologi maupun non-farmakologi.

 Pemantauan berat badan mandiri

Pasien harus memantau berat badan rutin setap hari, jika terdapat kenaikan berat

badan > 2 kg dalam 3 hari, pasien harus menaikan dosis diuretik atas pertimbangan

dokter.

 Asupan cairan

Restriksi cairan 1,5 - 2 Liter/hari dipertimbangkan terutama pada pasien dengan

gejala berat yang disertai hiponatremia.

 Pengurangan berat badan

Pengurangan berat badan pasien obesitas (IMT > 30 kg/m2) dengan gagal jantung

dipertimbangkan untuk mencegah perburukan gagal jantung, mengurangi gejala

dan meningkatkan kualitas hidup.

 Latihan fisik

22
Latihan fisik direkomendasikan kepada semua pasien gagal jantung kronik stabil.

Program latihan fisik memberikan efek yang sama baik dikerjakan di rumah sakit

atau di rumah.

2.6.2 Tatalaksana farmakologi

 Angiotensin converting enzyme Inhibitor (ACE-I)

Obat-obat yang termasuk ACE I mempunyai mekanisme kerja menurunkan

sekresi angiotensin II dan aldosteron dengan cara menghambat enzim yang dapat

mengubah angiotensin I menjadi angiotensin II. Termasuk juga dapat mengurangi

kejadian remodeling jantung serta retensi air dan garam. ACEI harus diberikan pada

semua pasien gagal jantung simtomatik (kecuali kontraindikasi) dan fraksi ejeksi

ventrikel kiri ≤ 40 %.ACEI memperbaiki fungsi ventrikel dan kualitas hidup,

mengurangi perawatan rumah sakit karena perburukan gagal jantung, dan

meningkatkan angka kelangsungan hidup. ACEI kadang-kadang menyebabkan

perburukan fungsi ginjal, hiperkalemia, hipotensi simtomatik, batuk dan

angioedema (jarang), oleh sebab itu ACEI haya diberikan pada pasien dengan

fungsi ginjal adekuat dan kadar kalium normal.6

 Beta bloker

β-blocker harus diberikan pada semua pasien gagal jantung simtomatik

(kecuali kontraindikasi) dan fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 %. β-blocker

memperbaiki fungsi ventrikel dan kualitas hidup, mengurangi perawatan rumah

sakit karena perburukan gagal jantung, dan meningkatkan angka kelangsungan

hidup. β-blocker boleh diberikan pada pasien yang stabil secara klinis (tidak ada

perubahan dosis diuretik, tidak ada kebutuhan inotropik i.v. dan tidak ada tanda

23
retensi cairan berat). Mekanisme kerja dari β-blocker sendiri yaitu dengan

menghambat adrenoseptor beta (beta-bloker) di jantung, pembuluh darah perifer

sehingga efek vasodilatasi tercapai. Beta bloker dapat memperlambat konduksi dari

sel jantung dan juga mampu meningkatkan periode refractory.

 Angiotensin II receptor type 1 Inhibitor (ARB)

Mekanisme ARB yaitu menghambat reseptor angiotensin II pada subtipe AT1.

Kecuali kontraindikasi, ARB direkomendasikan pada pasien gagal jantung dengan

fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 % yang tetap simtomatik walaupun sudah diberikan

ACEI dan penyekat β dosis optimal, kecuali juga mendapat antagonis aldosteron.

Terapi dengan ARB memperbaiki fungsi ventrikel dan kualitas hidup, mengurangi

angka perawatan rumah sakit karena perburukan gagal jantung ARB

direkomedasikan sebagai alternatif pada pasien intoleran ACEI.

 Diuretik

Mekanisme kompensasi pada gagal jantung kongestif yaitu dengan

meningkatkan retensi air dan garam yang dapat menimbulkan edema baik sistemik

maupun paru. Diuretik direkomendasikan pada pasien gagal jantung dengan tanda

klinis atau gejala kongesti.Tujuan dari pemberian diuretik adalah untuk mencapai

status euvolemia (kering dan hangat) dengan dosis yang serendah mungkin, yaitu

harus diatur sesuai kebutuhan pasien, untuk menghindari dehidrasi atau resistensi.

Sebagain besar pasien mendapat terapi diuretik loop dibandingkan tiazid karena

efisiensi diuresis dan natriuresis lebih tinggi pada diuretik loop.

24
Tabel 2.1. dosis diuretik yang biasa digunakan pada pasien gagal jantung.

Diuretik Dosis awal (mg) Dosis harian (mg)

Diuretik Loop

Furosemid 20 – 40 40 – 240

Bumetanid 0.5 – 1 1–5

Tiazid

Hidroklorotiazid 25 12.5 – 100

Metolazon 2.5 2.5 – 10

Diuretik hemat kalium

Spironolakton (+ ACEI/ARB) 12.5 – 25 (+ ACEI/ARB) 50

(-ACEI/ARB) 50 (-ACEI/ARB) 100-200

 Digoksin

Digoxin merupakan golongan glikosida jantung yang mempunyai sifat

inotropik positif yang dapat membantu mengembalikan kontraktilitas dan

meningkatkan dari kerja jantung. Digoxin memiliki indeks terapi sempit yang

berarti dalam penggunaan dosis rendah sudah memberikan efek terapi. Oleh karena

itu, diperlukan kehati-hatian pada penggunaan digoxin dan diperlukan monitoring

ketat bila dikhawatirkan terjadi toksik. Pada pasien gagal jantung dengan fibrilasi

atrial, digoksin dapat digunakan untuk memperlambat laju ventrikel yang cepat,

walaupun obat lain (seperti penyekat beta) lebih diutamakan.

25
Tabel 2.2. dosis obat yang biasa digunakan pada pasien gagal jantung

Obat Dosis awal (mg) Dosis target (mg)

ACEI

Captopril 6.25 (3x/hari) 50 – 100 (3x/hari)

Enalapril 2.5 (2x/hari) 10 – 20 (2x/hari)

Ramipril 2.5 (1x/hari) 5 (2x/hari)

ARB

Candesartan 4/8 (1x/hari) 32 (1x/hari)

Valsartan 40 (2x/hari) 160 (2x/hari)

Antagonis aldosterone

Spironolakton 25 (1x/hari) 25 – 50 (1x/hari)

Penyekat beta

Bisoprolol 1.25 (1x/hari) 10 (1x/hari)

Carvedilol 3.125 (2x/hari) 25 – 50 (2x/hari)

26
27
BAB 3

LAPORAN KASUS

Telah dirawat seorang pasien wanita berusia 65tahun pada tanggal 2 Mei

2018 dengan keluhan sesak napas semakin meningkat sejak 1 hari sebelum masuk

rumah sakit.

Identitas Pasien

Nama : Ny. Z

Jenis Kelamin : Perempuan

Umur : 65 tahun

Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga

Alamat : Duku, Ketaping

Anamnesis

Keluhan Utama Sesak napas semakin meningkat sejak 1 hari sebelum

masuk rumah sakit

Riwayat Penyakit - Pasien mengeluhkan sesak nafas semakin meningkat

Sekarang sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit. Sesak

dirasakan sejak 1 bulan yang lalu. Sesak meningkat

dengan aktivitas seperti berjalan kaki (6 meter) atau

mengangkat barang dan berkurang dengan istirahat.

Sesak tidak menciut, tidak dipengaruhi oleh cuaca

atau makanan. Riwayat terbangun malam hari karena

sesak ada. Riwayat tidur dengan bantal yang

ditinggikan ada.

- Pasien mengeluhkan nyeri dada sejak 1 hari SMRS.

28
Nyeri dirasakan ditengah dada, seperti ditusuk-tusuk,

menjalar ke leher dan punggung. Nyeri dirasakan

terus menerus dan semakin meningkat. Keringat

dingin ada, mual (+), muntah (-).

- Nyeri tidak berkurang dengan istirahat dan nitrat.

- Riwayat nyeri dada sebelumnya (+)

- Sembab pada kaki (+) sejak 3 tahun yang lalu, tidak

nyeri.

- Demam sejak 4 hari sebelum masuk rumah sakit,

tidak menggigil, dan disertai keringat banyak

- Mata kabur (+) sejak 3 bulan ini. Sebelumnya pasien

sudah pernah dioperasi kedua matanya.

- Batuk ada, sejak 1 minggu yang lalu, berdahak,

warna putih.

- Batuk darah tidak ada.

- Penurunan berat badan ada (tidak diketahui berapa

kg)

- BAB dan BAK biasa.

Riwayat Penyakit  Riwayat hipertensi (+) sejak 6 bulan yang lalu, TD

Dahulu tertinggi 180/90

 Riwayat DM (+) sejak 21 tahun yang lalu, kontrol

rutin ke poli penyakit dalam m.djamil, mendapat

insulin novorapid 3x22 IU SC.

 Riwayat pemasangan cincin pada jantung (+)

29
 Riwayat retinopati diabetikum (+)

 Riwayat stroke (+), 1 tahun yang lalu, sembuh

sempurna.

Riwayat Penyakit  Tidak ada keluarga yang menderita penyakit jantung,

Keluarga stroke, hipertensi, ginjal, diabetes seperti pasien

Riwayat pekerjaan, - Pasien seorang ibu rumah tangga

sosial, ekonomi, - Pasien tinggal seorang diri dirumah

kejiwaan, dan - Rumah milik pribadi, ventilasi cukup, lantai

kebiasaan terbuat dari semen

- Sumber penghasilan dari kos-kosan, sebesar

Rp.300.000/bulan

- Tidak merokok

Pemeriksaan Fisik

Keadaan Umum Sakit sedang Kesadaran CMC

Tekanan Darah 120/80 mmHg Keadaan gizi Sedang

Frekuensi Nadi 89x/menit BB 75 kg

Frekuensi Nafas 34 x/menit TB 160 cm

Suhu 36,7°C Anemis Ada

Sianosis Tidak ada Ikterik Tidak ada

30
Edema Ada

 Kulit : turgor baik, perdarahan bawah kulit (-)

 KGB : tidak ada pembesaran KGB

 Kepala : normochepal, rambut tidak mudah dicabut

 Mata : Konjungtiva anemis +/+, sklera ikterik -/-

 THT : tidak ada kelainan

 Leher : JVP 5+2 cmH2O, tidak ada pembesaran KGB

 Dinding dada : Normochest

 Paru

Inspeksi : Gerakan simetris kiri dan kanan saat statis dan dinamis

Palpasi : fremitus kiri sama dengan kanan

Perkusi : redup di RIC VI kebawah pada paru kanan dan kiri

Auskultasi : bronkhovesikular, Rh +/+ basah halus nyaring di kedua

basal paru , Wh -/-

 Jantung

Inspeksi : iktus kordis tidak terlihat

Palpasi : iktus kordis teraba di 1 jari lateral LMCS RIC VI

Perkusi : Batas jantung

 Atas : RIC II

 Kanan : RIC IV Linea sternalis dekstra

 Kiri : 1 jari lateral LMCS RIC VI

Auskultasi : irama regular, murmur (-), gallop (-)

31
 Abdomen

Inspeksi : Perut tampak membuncit

Palpasi : hepar tidak teraba, lien tidak

teraba, nyeri tekan (-),

Perkusi : Timpani

Auskultasi : bising usus (+) normal

 Alat kelamin : tidak dilakukan pemeriksaan

 Ekstremitas : Udem (+/+) minimal, CRT <2’’, reflek fisiologis +/+,

refleks patologis -/-

Pemeriksaan Penunjang

 Pemeriksaan Laboratorium, Minggu, 29 April 2018

Hb 9,7 g/dl

Leukosit 13.540/mm3

Trombosit 250.000/mm3

Hematokrit 34 %

Kalsium 9,9

Natrium 135

Kalium 7,9

Klorida serum 109

CK-MB 23

Troponin I 25.9

HbSag NR

GDS 422 mg/dl

Ur / Cr 150 / 6,6 mg/dl

32
Pemeriksaan analisa gas darah (29 April 2018)

pH 7,290

pCO2 27,8

pO2 159,7

HCO3- 13,5

Pemeriksaam EKG

Tingg

1. Irama : SR

2. Frekuensi : 100 kali / menit

3. Axis : normal

4. Gel. P : P normal

5. PR interval : 0,20’’

6. Komp. QRS : 0,08’’

7. ST segment : ST Elevasi (-), ST depresi di lead II, ST elevasi V3-V4

8. Gel.T : T inverted (+)

9. LVH : (+)

10. RVH : (-)

33
Pemeriksaam Ro Thorax

Expertise :

Cor membesar

Hilus melebar dengan cranialisasi vaskuler

Inflitrat di lapangan paru kanan, perihile kiri

Sinus dan diafragma kanan baik

Sinus dan diafragma kiri sulit dinilai

Kesan: Kardiomegali dengan bendungan paru dan bronkopneumonia

Dd/ TB paru

Diagnosa :

 CHF fc III LVH

 UAP

 Acute on CKD

 DM tipe II terkontrol

34
 Anemia ringan ec penyakit kronis

 CAP

Diagnosa banding :

 TB Paru

Tatalaksana :

 O2 15L/ menit

 Inj. Lasix 2x20 mg

 Aspilet 2x80 mg

 Clopidogrel 4x75 mg

 Drip nitrogliserin 10 mcg/ menit

 Lovenox 1x0,6 cc SC

 Simvastatin 1x20 mg

 Candesartan 1x4 mg PO

 N-asetil sistein 3x200 mg

 Bicnat 2x500 mg PO

 IVFD ecsfrin 500 cc/ 24 jam

 Inj. Ceftazidime 3x1 gr

 Inf. Levofloksasin 1x750 --> 1x250 mg

 As. Folat 1x5 mg PO

 Inj. Novorapid 3x22 cc dosis koreksi

 PCT 3x500 mg PO

35
BAB 4

DISKUSI

Seorang pasien perempuan berusia 65 tahun datang dengan keluhan sesak

nafas semakin meningkat sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit. Sesak nafas bisa

disebabkan oleh adanya kelainan pada paru atau pada luar paru. Sesak nafas

merupakan peningkatan upaya untuk bernafas yang dapat terjadi akibat

meningkatnya tahanan jalan nafas seperti adanya sumbatan (obstruksi),

berkurangnya keregangan paru akibat fibrosis paru, atau adanya kongesti dan

edema paru akibat gangguan pada jantung.

Pada pasien ini sesak meningkat dengan aktivitas dan berkurang dengan

istirahat, sesak tidak dipengaruhi oleh cuaca atau makanan. Sesak yang meningkat

dengan aktivitas menandakan adanya kelainan pada jantung, pasien akan semakin

sesak apabila beraktifitas karena kebutuhan jaringan akan oksigen meningkat pada

saat beraktifitas. Sementara itu keadaan jantung yang gagal memenuhi kebutuhan

darah jaringan untuk metabolisme akan membuat tubuh mengkompensasi dengan

mengambil oksigen lebih banyak dengan meningkatkan frekuensi pernafasan.

Sesak yang terasa saat beraktifitas ini adalah khas untuk gagal jantung pada tahap

awal.11 Pasien juga sudah dikenal dengan penyakit jantung dalam 4 tahun ini.

Pada pengamatan terhadap pasien juga tampak lebih sesak pada malam hari,

pada anamnesa pasien mengatakan adanya sesak berbaring dan sesak pada malam

hari. Pasien selama perawatan selalu meninggikan sandaran tempat tidur dan lebih

sering tidur pada posisi duduk. Pada malam hari pasien sering terbangun dan

tampak sesak.

36
Pada pemeriksaan fisik, didapatkan batas jantung kiri 1 jari lateral LMCS

RIC VI yang menandakan kemungkinan adanya pembesaran pada jantung

(kardiomegali). Pada orang dengan jantung normal batas jantung kiri tidak lebih

dari sela iga kelima dan tidak lebih dari 10,5 cm dari tengah sternum.4 Pada rontgen

juga dapat dikonfirmasi terlihat adanya pembesaran jantung, dengan CTR 70%,

yang mana pada jantung normal cardio-thoracic ratio tidak lebih dari 55%.

Pada auskultasi jantung irama jantung reguler dan terdengar bunyi jantung

tambahan tidak terdengar. Pada EKG ditemukan adanya LVH, hal ini

mengkonfirmasi terjadinya pembesaran jantung kiri, yang dapat disebabkan oleh

adanya hipertensi lama dan akibat tingginya tekanan pada ventrikel kiri.

Pada pemeriksaan paru ditemukan adanya bunyi perkusi yang meredup dari

RIC VI kebawah pada kedua paru. Hal ini menunjukkan adanya suatu tanda efusi

pleura akibat adanya bendungan di paru. Dan pada auskultasi paru terdengar ronki,

menandakan kemungkinan adanya kongesti pada paru. Timbulnya ronki pada paru

disebabkan oleh transudasi cairan paru hal ini khas terjadi pada gagal jantung.2

Ronki pada edema paru akibat gagal jantung ini biasanya tidak nyaring.4

Pada ektremitas juga ditemukan edem pada kedua tungkai. Edem pada

pasien ini terjadi karena telah terjadi peningkatan tekanan pada atrium kanan yang

menyebabkan peningkatan tekanan hidrostatik vena. Edem biasanya baru terjadi

pada saat gagal jantung kanan terjadi. Edema lebih tampak terjadi pada tungkai

bawah karena efek gravitasi, terutama bila pasien banyak berdiri pada siang hari

dan biasanya membaik pada pagi hari karena pasien berbaring semalaman.11

37
Pada pemeriksaan fisik juga ditemukan adanya peningkatan JVP. Hal ini

menunjukkan adanya hipertensi pulmonal sebagai dekompensasi dari gagal jantung.

Berdasarkan anamesis dan pemeriksaan fisik sesuai dengan kriteria

Framingham pasien didiagnosis dengan CHF FC III datang dengan kondisi ADHF

wet and warm. Pada pasien ini dapat kita temukan adanya kriteria mayor berupa

paroksismal nokturnal dispnea, adanya ronkhi paru, dan kardiomegali. Sementara

itu untuk kriteria minor pada pasien ditemukan adanya dispnea on effort.

Pasien juga datang dengan keluhan nyeri dada sejak 1 hari sebelum masuk

rumah sakit. Nyeri dada yang menjalar ke leher dan punggung, terasa menusuk

merupakan nyeri khas infark. Hal ini menunjukkan adanya iskemia pada miokard,

seperti yang ditemukan juga pada EKG pasien, adanya peningkatan segmen ST di

lead V3-V4. Enzim jantung pada follow up data pasien ditemukan tidak

meningkat, maka diagnosis untuk nyeri dada pasien unstable angina pectoris.

. Demam timbul empat hari sebelum masuk rumah sakit, demam tidak

tinggi, demam sterjadi terus menerus, tidak menggigil, dan disertai keringat yang

banyak. Hal ini dapat menunjukkan suatu proses infeksi. Pada pasien dengan gagal

jantung dapat terjadi batuk akibat kongesti paru, batuk terjadi terutama saat posisi

berbaring dan batuk bersifat non produktif.2 Namun pada pasien ini batuk terjadi

terus menerus selama 1 minggu dan produktif, menandakan adanya proses infeksi

pada paru.

Dari pemeriksaan fisik paru, frekuensi nafas didapatkan 34 kali per menit

dengan jenis pernafasan abdomino torakal. Pada palpasi ditemukan fremitus normal

pada kedua lapang paru dan pada perkusi ditemukan redup pada RIC VI kebawah

38
pada kedua paru. Auskultasi terdengar ronki pada kedua paru dan suara nafas yang

mendominasi terdengar adalah bronkhovesikuler. Meskipun tidak begitu khas,

gejala klinis dan pemeriksaan fisik pada pasien ini dapat ditegakkan adanya

bronkhopenumonia, dan tanda adanya suatu efusi pleura bilateral. Gagal jantung

dengan peningkatan tekanan pengisisan ventrikel kiri dapat menyebabkan

terjadinya bendungan paru.Jika efusi bilateral masif maka perlu dipikirkan adanya

suatu infeksi paru, atau keganasan.

Pada pasien diberikan terapi berupa anjuran untuk istirahat total, untuk

mengurangi sesaknya selama perawatan pasien diberikan Oksigen 3L/menit dan

diberikan IVFD escfriln 24 jam/kolf untuk maintanance cairan, namum sangat

diperhatikan balance cairan pada pasien ini. Diberikan diet jantung pada pasien.

Untuk mengatasi infeksi pada saluran nafasnya diberikan antibiotik ceftazidime 3x1

gram kombinasi dengan levofloxacine 1 x 250 mg. Mengurangi bendungan

diberikan Inj. Lasix dua kali sehari intravena, pada pasien juga diberikan

simvastatin 1x20 mg, candesartan 1x4 mg, lovenox 1x0,6 cc SC untuk

permasalahan CHF dan nyeri dada pada pasien. Sedangkan Paracetamol 3x500 mg

diberikan untuk terapi simptomatik pada demam pada pasien ini. Asam folat dan

koreksi bicnat diberikan untuk mengatasi permasalahan ginjal dan asidosis

metabolik pada pasien.

Pada saat dipulangkan pada pasien diberikan edukasi untuk menjaga

keberlanjutan terapi. Pasien dianjurkan kontrol dua minggu setelah dipulangkan

untuk selanjutnya terus kontrol ke poli penyakit dalam minimal sekali dalam

sebulan untuk melihat perkembangan penyakitnya dan memastikan konsumsi obat

yang berkelanjutan. Pasien juga diedukasi untuk membatasi aktivitas sesuai dengan

39
kondisi gagal jantungnya dan membatasi intake cairan untuk mengurangi beban

jantungnya. Bila terdapat keluhan yang meningkat, terutama berupa sesak yang

sangat mengganggu pasien dianjurkan untuk datang mencari pertolongan medis.

40
DAFTAR PUSTAKA

1. American Heart Association (AHA). Heart disease and stroke statistics-

2012 update. 2012.

2. Sudoyo, Aru. W. et.al. (editor) Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III, Ed.

5. Jakarta Pusat : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam

Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2007

3. Leonard, S. Lilly (editor) Patophysiology of the heart : a collaborative

project of medical students and faculty 5th Ed. : Lippicont Williams

&Wikkins, a WolterKhower Business, 2011

4. Fox KF, Cowle MR, Wood DA et.al. Coronary artery disease as the cause

incident heart failure in the population. Eur Heart J 2001:22:228-36

5. Price SA, Wilson ML, Patofisiologi :konsepklinis proses-proses penyakit

Ed.6.(Brahm U. Penerj.) Editor edisibahasa Indonesia, Hartanto H, et.al.

Jakarta : ECG, 2005.

6. PERKI (PerhimpunanDokterSpesialisKardiovaskuler Indonesia). Pedoman

Tatalaksana Gagal Jantung. 2015.

7. Wardhani DP, Eka AP, Anna U (2014). Gagaljantung: Dalam Chris T,

Frans L, Sonia H, Eka AP. KapitaSelektaKedokteran Essential of Medicine.

Media Aesculapius, Vol. 2, Edisi 4, pp: 811-813.

8. Houn HG, et al (2005).Lecture NoteKardiologi. Jakarta: Erlangga. Edisi4,

pp: 80-97.

9. Rilantono L. PenyakitKardiovaskuler (2016). Jakarta: BadanPenerbit FKUI.

Edisi 1, pp:269-276.

41
10. ESC (European Society of Cardiology) Guidelines(2016). ESC Guidelines

for the diagnosis and treatment of acute and chronic heart failure.

European Heart Journal. Pp: 43-50

11. Permenkes No 5 Tahun 2014 : Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter di

Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer, 2014

12. Riset Kesehatan Dasar. Badan Penelitian dan pengembangan Kesehatan

Kementerian RI tahun 2013. 2013

13. Rang, HP. Pharmacology. Edinburgh: Churchill Livingstone. 2003. p. 127.

14. Osama GMD. Topic Review – Heart Failure. Albany Medical Review.

January 2002. p.1

15. Figueroa MS and Peters JI. Congestive Heart Failure: Diagnosis,

Pathophysiology,Therapy, and Implications for Respiratory Care. Respir

Care. 2006. 51(4), pp. 403– 412.

16. Tsutsui H, Matsushima S, Kinugawa S, et al. Angiotensin II type 1 receptor

blocker attenuates myocardial remodeling and preserves diastolic function

in diabetic heart. Hypertens. Res. 2007. 30(5): 439–49.

17. Boron, Walter F.; Boulpaep, Emile L. Medical Physiology: A Cellular and

Molecular Approach (Updated ed.). Saunders. 2005 p. 533.

18. Loscalzo, Joseph; Fauci, Anthony S.; Braunwald, Eugene; Dennis L.

Kasper; Hauser, Stephen L; Longo, Dan L. Harrison's Principles of Internal

Medicine(17 ed.). McGraw- Hill Medical. 2008. p. 279

19. Shigeyama J, Yasumura Y, Sakamoto A, et al. Increased gene expression of

collagen Types I and III is inhibited by beta-receptor blockade in patients

with dilated cardiomyopathy. Eur. Heart J. 2005. 26 (24): 2698–705.

42
20. Ponikowski P, Voors A, Huker SD, Bueno H, Cleland JGF, Coast AJS, et

al. ESC Guidelines for the diagnosis and treatment of acute and chronic HF.

European Heart Journal:2016. 43-47.

21. European society of cardiology. Guideline on the Diagnosis and Treatment

of Acute Heart Failure. European Heart Journal; 2005. pp. 4-5.

43

You might also like