Professional Documents
Culture Documents
Dalam bab ini penulis bermaksud memberikan kesimpulan yang berbeda dari bab-bab
sebelumnya. Ketika pada bab-bab sebelumnya bertujuan dan banyak berdiskusi tentang
pengertian, analisa, dan kritik, sepertinya cukup penting untuk menutup pembahasan ini
dengan beberapa saran untuk digunakan ketika praktik dan bagaimana cara menganalisa
komunikasi dalam organisasi.
What’s in “Communication”?
Ketika bertanya apa itu komunikasi dan dimana dapat menemukannya, kita
mengajukan pertanyaan paling mendasar tentang apa yang membentuk percakapan
terorganisir dan dimana dapat menemukannya. Beberapa berpendapat bahwa orgnisasi itu
sendiri dapat ditafsirkan dalam bentuk teks. Jika kita menyadari bahwa apa yang akan kita
lakukuan terhadap “teks” adalah menafsirkannya, maka kita dapat berfikit bahwa organisasi
sebagai teks itu sendiri dapat “dibaca.”
Ketika kita mencoba menbaca organisasi kita menemukan bahwa betapa sentralnya
komunikasi itu sendiri akan tetapi komunikasi juga dipenuhi dengan ambiguitas, ketegangan
antara makna, dan transformasi makna dari waktu ke waktu. Metafora di dalam teks menarik
perhatian kita pada seberapa banyak sebuah organisasi ditulis, diucapkan, dan dengan
sedemikian rupa dibangun oleh para anggotanya melalui linguistik dan sumber simbolis lain
yang tersedia bagi mereka.
Pada tingkatan yang lebih mendasar, sebagaimana Francois Cooren menjelaskan, kita
dapat memahami tidak hanya aspek yang berkaitan dengan komunikasi terhadap organisasi
namun juga bagaimana bahasa itu sendiri memiliki “properti pengatur” tertentu yang
mempengaruhi hal-hal seperti bagaimana munculnya aktifitas perasaan bersama muncul
(seperti sifat dasar dari kata “kita”), bagaimana otoritas dibangun (dengan gagasan
“perwakilan,” atau siapa yang mewakili siapa dan apa), dan bagaimna semua jenis objek
(termasuk arsitektur, teknologi, hewan, dan kekuatan sosial) “dimobilisasi” atau diberikan
kapasitas sebagai wakil/aktor social, melalui cara kita berbicara.
Ketika kita membaca sebuah organisasi, kita secara tidak langsung sedang
mendemistifikasi struktur dan prosesnya; kita membuat makna penting yang dapat diakses;
dan secara eksplisit kita mengakui peran dari banyaknya “penulis.” Pada akhirnya kita akan
bertanya−apa “reputasi” dari organisasi? Dari satu sudut pandang, reputasi terbangun dari
banyaknya interaksi antara perusahaan dan karyawan, konsumen, dan grup lainnya. Jika
interaksi-interaksi itu, dan berbagai pesan, dari waktu ke waktu terlihat jujur, terbuka,
konsisten, dan dapan diandalkan, maka berbagai pemegang saham akan datang untuk
mengaitkan reputasi positif dengan perusahaan.
Mari kita lihat kembali hal-hal yang kita sebut dengan “komunikasi organisasi” di
dalam teks sebelumnya.
Komunikasi tidak hanya satu pesan yang dapat kita pisahkan dari yang lainnya namun
keseluruhan interaksi yang membentuk konteks kita untuk memahami.
Kita dapat mempertimbangkan beberapa dimensi dari pesan organisasi sebagai berikut:
Ahli bahasa melihat beberapa dasar dari dimensi bahasa; kita dapat menerapkan
masing-masing istilah ini pada analisis kita tentang pola yang lebih besar di dalam suatu
organisasi. Tata bahasa mengacu kepada struktur kalimat, tetapi dapat juga digunakan untuk
merujuk kepada “tata bahasa” (struktur) dari niali-nilai inti sebuah organisasi. Sintaksis
mengacu pada urutan elemen pada sebuah pesan, terlepas dari sebuah hubungan logis (tata
bahasa) dari pesan tersebut. Pragmatik menangkap potensi atau efek nyata dari sebuah
pesan−kemungkinan persuasif untuk pesan yang dipakai.
Kita cenderung tidak memperhatikan bahasa. Ekspresi seperti “Talk is cheap” atau
“Put your money where yor mouth is” memperkuat kecenderungan ini dengan menegaskan
bahwa bahasa bukanlah sesuatu yang nyata. Kenneth Burke menyebut hal ini dengan istilah
“naive verbal realism”: sebuah pandangan bahwa bahasa hanya sekadar “ditambahkan” ke
realita sebagai salah satu unsur dari bagian realita itu sendiri. Akan tetapi, logika tersebut
mengabaikan fakta bahwa sesuatu seperti sejarah (seperti “cerita”) dibangun berdasarkan
simbol-simbol, dan simbol-simbol tersebut dibuat dan dikembangkan dari sudut pandang
tertentu. Di sisi lain kita harus mengatasi perspektif “awam” kita tentang bahasa, yang
meremehkan bahasa sebagai hal yang “tidak nyata”; dalam waktu yang bersamaan kita juga
perlu mengingat bahwa simbol tidak dapat melakukan semuanya!
Dalam tulisan yang berasal dari abad kesembilan belas, fisuf (dan ahli semiotik)
Charles Sander Peirce menjelaskan bahwa proses penandaan (semiosis) sebagai hubungan
dinamis antara tiga elemen: tanda, objek, dan penafsir.
Tanda, dalam prinsipnya, dapat berbentuk apa saja−sebuah gerakan, logo, iklan,
slogan, produk, paket, cerita, teks tertulis, satu tingkah laku, atau bahkan seluruh kampanye
persuasif. Sebuah objek, yang mana diwakili oleh sebuah tanda, terkadang disebut juga
sebagai rujukan−setara dengan gagasan dunia seperti kata “is” jika dilihat dengan objektif.
Akan tetapi, beberpa tanda, lebih “alami” atau secara logis terkait kepada referensi
mereka daripada yang lain. Peirce membedakan antara tiga kelas dari tanda: ikon, indeks, dan
simbol. Ikon adalah tanda yang memiliki kualitas tertentu yang sama dengan objek yang
diwakilinya. Indek adalah tand ayang mengacu pada objeknya karena dipengaruhi oleh objek
tersebut dalam beberapa cara. Simbol adalah tanda yang konvensional−dia berdiri hanya
untuk objek semata dikarenakan oleh sebuah aturan atau sebuah prinsip.
Conclusion