You are on page 1of 38

Case Report Session

ANEMIA HEMOLITIK AUTOIMUN

Oleh:

Auzy Yoana 1840312305

Wafya Melosi Ramschie 1740312291

Preseptor :

dr. Roza Mulyana, SpPD-KGer

BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS

RSUP DR. M. DJAMIL PADANG

2019
BAB I

PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang

Anemia secara umum didefinisikan sebagai keadaan di mana massa eritrosit

dan/atau massa hemogloblin yang beredar tidak dapat memenuhi fungsinya untuk

menyediakan oksigen bagi jaringan tubuh. Anemia dapat disebabkan oleh

bermacam-macam reaksi patologis dan fisiologis. Anemia ringan hingga sedang

mungkin tidak menimbulkan gejala klinis, namun keadaan tersebut dapat berlanjut

ke anemia berat. Gejala klinis yang mungkin timbul adalah lemah letih, takipnea,

napas pendek saat beraktivitas, takikardia, dilatasi jantung, dan gagal jantung.1,2

Anemia merupakan masalah kesehatan utama di masyarakat yang sering

dijumpai di seluruh dunia, terutama di negara berkembang seperti Indonesia.

Penduduk dunia yang mengalami anemia berjumlah sekitar 30% atau 2,20 miliar

orang dengan sebagian besar diantaranya tinggal di daerah tropis. Prevalensi

anemia secara global sekitar 51%. Prevalensi tertinggi pada anak sebelum usia

sekolah yaitu 47,4% dan terendah pada laki-laki yaitu 12,7%..2,3,4

Anemia hemolitik autoimun (AIHA) merupakan salah satu kelainan yang

jarang ditemukan, diakibatkan oleh autoantibodi yang melawan sel darah merah.

Anemia hemolitik autoimun ditandai adanya produksi antibodi terhadap sel darah

merah. Antigen ini menginisiasi penghancuran sel darah merah melalui sistem

komplemen dan retikuloendotelial.5,6

2
Prognosis untuk penderita anemia hemolitik tergantung pada penyebab

yang mendasarinya. Secara keseluruhan, tingkat kematian cukup rendah pada

anemia hemolitik. Namun, risikonya lebih besar pada pasien yang berusia lebih tua

dan pasien dengan gangguan kardiovaskular. Morbiditas tergantung pada etiologi

hemolisis dan gangguan yang mendasarinya, seperti anemia sel sabit atau malaria.7

1.2. Batasan masalah

Makalah ini membahas definisi, epidemiologi, etiologi, patofisiologi,

patogenesis, manifestasi klinik, pemeriksaan penunjang, diagnosis, tatalaksana,

komplikasi dan pencegahan komplikasi dan kasus mengenai AIHA.

1.3. Tujuan Penulisan

Makalah ini bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan dan pemahaman

tentang AIHA.

1.4.Metode Penulisan

Makalah ini ditulis dengan menggunakan metode tinjauan pustaka yang

merujuk dari berbagai literatur.

3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Anemia secara umum didefinisikan sebagai berkurangnya volume eritrosit atau

konsentrasi hemoglobin. Anemia dapat diklasifikasikan berdasarkan umur dan jenis

kelamin dengan melihat jumlah hemoglobin, hematokrit, dan ukuran eritrosit,

indikator anemia menurut WHO, seorang pasien dikatakan anemia bila :

 Laki-laki dewasa hemoglobin < 13 g/dl

 Perempuan dewasa tidak hamil hemoglobin < 12 g/dl

 Perempuan hamil hemoglobin < 11 g/dl

 Anak umur 6 bulan -12 tahun hemoglobin < 12 g/dl

 Anak umur 6 bulan - 6 tahun hemoglobin < 11 g/dl

Selain itu dengan dasar ukuran eritrosit (mean corpuscular volume/MCV)

dan kemudian dibagi lebih dalam berdasarkan morfologi eritrositnya. Pada

klasifikasi jenis ini, anemia dibagi menjadi anemia mikrositik, normositik dan

makrositik. Klasifikasi anemia dapat berubah sesuai penyebab klinis dan patologis.

Penyebab anemia secara garis besar dibagi menjadi dua kategori yaitu gangguan

produksi eritrosit yaitu kecepatan pembentukan eritrosit menurun atau terjadi

gangguan maturasi eritrosit dan penghancuran eritrosit yang lebih cepat. Kedua

kategori tersebut tidak berdiri sendiri, lebih dari satu mekanisme dapat terjadi.3

Pada anemia hemolitik, penghancuran eritrosit terjadi lebih cepat. Hemolisis

dapat bersifat asimptomatik seumur hidup, tetapi biasanya bermanifestasi sebagai

anemia saat eritrositosis tidak dapat menutupi jumlah eritrosit yang dihancurkan.6

4
Anemia hemolitik imun (autoimmune hemolytic anemia = AIHA) suatu

anemia yg timbul karena terbentuknya autoantibodi terhadap self antigen pada

membran eritrosit sehingga menimbulkan dekstruksi eritrosit (hemolisis). Reaksi

autoantibodi ini akan menimbulkan anemia, akibat masa edar eritrosit dalam

sirkulasi menjadi lebih pendek.4,5 Anemia disebabkan karena kerusakan eritrosit

melebihi kapasitas sumsum tulang untuk menghasilkan sel eritrosit, sehingga

terjadi peningkatan persentase retikulosit dalam darah. 6,7,8

2.2 Epidemiologi

Riset kesehatan dasar (Riskesdas) pada tahun 2013 melaporkan insiden

anemia di Indonesia adalah 21,7%. Anemia hemolitik mewakili sekitar 5% dari

semua anemia. Insiden AIHA berkisar 1-3 kasus per 100.000 orang per tahun,

dengan prevalensi 17/100.000 orang pertahun. Angka kematian AIHA berkisar

antara 20-50%, bergantung kepada penyakit yang mendasari munculnya penyakit

AIHA8

Menurut cara terjadinya, AIHA dibagi menjadi AIHA primer atau idiopatik

dan AIHA yang didasari oleh penyakit lain yang disebut sebagai AIHA sekunder.

Kejadian AIHA sekunder lebih sering dibandingkan dengan AIHA primer. AIHA

bisa terjadi pada semua usia, namun lebih sering terjadi pada individu setengah baya

dan lebih tua. Perbandingan AIHA pada pria dan wanita memiliki frekuensi yang

sama yaitu 1:1

Auto Immune Hemolytic Anemia (AIHA) diklasifikasikan menjadi AIHA

tipe hangat, AIHA tipe dingin, dan AIHA tipe campuran. Sekitar 70% kasus AIHA

adalah tipe hangat. AIHA tipe hangat terjadi akibat eritrosit yang dilapisi oleh

molekul IgG mengalami reaksi autoantibodi sel dan difagositosis oleh makrofag

5
secara optimal pada suhu 370C. AIHA tipe dingin eritrosit diselubungi oleh

molekul IgM pada suhu rendah yaitu 0 - 4 C dan mengaktifkan sistem komplemen

pada permukaan eritrosit sehingga menyebabkan terjadinya lisis intravaskular 10

2.3 Etiologi

AIHA terjadi akibat hilangnya toleransi tubuh terhadap self antigen

sehingga menimbulkan respon imun terhadap self antigen. Antibodi yang bereaksi

terhadap self antigen menyebabkan kerusakan pada jaringan dan bermanifestasi

sebagai penyakit autoimun. Antibodi yang terbentuk mengakibatkan peningkatan

klirens dengan fagositosis melalui reseptor (hemolisis ekstravaskuler) atau

destruksi eritrosit yang diperantarai oleh komplemen (hemolisis intravaskuler).11

Etiologi AIHA terbagi 2 yaitu:

1. Idiopatik

a. Anemia autoimun tipe hangat

b. Anemia autoimun tipe dingin

6
2. Sekunder

a. Infeksi

virus: Virus Epstein–Barr (EBV), sitomegalovirus (CMV), hepatitis,

herpes simplex, measles, varisela, influenza A, coxsackie virus B, human

immunodeficiency virus (HIV)

bakteri : streptokokus, salmonella typhi, septikemia Esceria coli,

Mycoplasma pneumonia (pneumonia atipikal)

b. Obat-obatan dan bahan kimia : kuinine, kuinidin, fenacetin, p-asam

aminosalisilat, sodium cefalotin (Keflin), ceftriakson, penisilin,

tetrasiklin, rifampisin, sulfonamid, khlorpromazin, pyradon, dipyron,

insulin

c. Kelainan darah: leukemia, limfoma, sindrom limfoproliferatif,

hemoglobinuria paroksismal cold, hemoglobinuria paroksismal

nokturnal

d. Gangguan Immunologi: sistemik lupus eritematosus, periarteritis

nodosa, skleroderma, dermatomiositis, artritis reumatik, kolitis ulseratif,

disgammaglobulinemia, defisiensi IgA, kelainan tiroid, hepatitis giant

cell, sindrom limfoproliferatif autoimun, dan variasi defisiensi imun

lainnya.

e. Tumor: timoma, karsinoma, limfoma

2.4 Klasifikasi

7
AIHA dibedakan menjadi 2 kelompok menurut karakteristik klinis dan

serologis12, seperti yang tercantum pada tabel 2.1.

1. Anemia hemolitik autoimun karena autoantibodi reaktif hangat. Antibodi ini


memiliki afinitas terhadap sel darah merah terbesar pada suhu 370C. Ciri khas dari
tipe adalah IgG, bisa komplemen fix atau tidak komplemen fix, dan menyebabkan
kehilangan sel darah merah oleh pembersihan lien terhadap sel yang tersensitisai.

2. Anemia hemolitik autoimun karena autoantibodi reaktif dingin (sindrom


hemolitik kriopatik). Aktivitas antibodi ini pada suhu tubuh namun aktivitasnya
akan meningkat ketika terjadi penurunan suhu tubuh. Ciri khas dari tipe dingin
adalah antibodi IgM, komplemen fix dan menyebabkan destruksi sel darah merah
intravaskular dengan cepat atau hepatic-mediate clearence.

Karakteristik Warm AIHA Cold AIHA

Isotipe antibodi Ig G, jarang Ig A, Ig M Ig M

Antigen spesifitas Multiple, Rh primer i/L, P

Hemolisis Terutama ekstravaskuler Terutama intravaskular

Direct antiglobulin test Ig G C3

Tabel 2.1 Karakteristik AIHA

8
2.5 Patogenesis

Kerusakan sel-sel eritrosit yang diperantarai antibodi ini terjadi

melalui sistem kompemen, aktivasi mekanisme selular, atau kombinasi

keduanya12.

a. Aktivasi Sistem Komplemen

Secara keseluruhan aktivasi sistem komplemen akan menyababkan

hancurnya membran sel eritosit dan terjadilah hemolisis intravaskuler yang

ditandai dengan hemoglobinemia dan hemoglobinuria13.

Sistem komplemen akan diaktifkan melalui jalur klasik ataupun melalui

jalur alternatif. Antibodi-antibodi yang memiliki kemampuan mengaktifkan

jalur klasik adalah IgM, IgG1, IgG2, IgG3. IgM disebut sebagai aglutinin tipe

dingin sebab antibodi ini berikatan dengan antigen polisakarida pada

permukaan sel darah merah dibawah suhu tubuh. Antibodi IgG disebut

aglutinin hangat karena bereaksi dengan antigen permukaan sel eritrosit pada

suhu tubuh12,13.

b. Aktivasi Komplemen Jalur Klasik

Reaksi diawali dengan aktivasi C1 suatu protein yang dikenal sebagai

recognition unit. C1 akan berikatan dengan kompleks imun antigen antibodi

dan menjadi aktif serta mampu mengkatalisis reaksi-reaksi pada jalur klasik.

Fragmen C1 akan mengaktifkan C4 dan C2 menjadi suatu kompleks C4b,2b

(dikenal sebagai C3-convertase). C4b,2b akan memecah C3 menjadi fragmen

C3b dan C3a. C3b mengalami perubahan konformational sehingga mampu

berikatan secara kovalen dengan partikel yang mengaktifkan komplemen (sel

9
darah berlabel antibodi). C3 juga akan membelah menjadi C3d,g dan C3c,C3d,

dan C3g akan tetap berikatan pada membran sel darah merah dan merupakan

produk final aktivasi C3. C3b akan membentuk kompleks C4b,2b menjadi

C4b2b3b (C5-convertase). C5-convertase akan memecah C5 menjadi C5a

(anafilatoksin) dan C5b yang berperan dalam kompleks penghancur membran.

Kompleks penghancur membran terdiri dari molekul C5b,C6,C7,C8, dan

beberapa molekul C9. Kompleks ini akan menyisip ke dalam membran sel

sebagai suatu aluran transmembran sehingga permeabilitas membran normal

akan terganggu. Air dan ion akan masuk ke dalam sel sehingga sel

membengkak dan ruptur12,13.

c. Aktivasi Komplemen Jalur Alternatif

Aktivator jalur alternatif akan mengaktifkan C3, dan C3b yang terjadi

akan berikatan dengan membran sel darah merah. Faktor B kemudian akan

melekat pada C3b, dan oleh D faktor B dipecah menjadi Ba dan Bb. Bb

merupakan suatu protease serin dan tetap melekat pada C3b. Ikatan C3bBb

selanjutnya akan memecah molekul C3 lagi menjadi C3a dan C3b. C5 akan

berikatan dengan C3b dan oleh Bb dipecah menjadi C5a dan C5b. selanjutnya

C5b berperan dalam penghancuran membran.

d. Aktivasi seluler yang menyebabkan hemolisis ekstravaskuler

Jika sel darah disensitisasi dengan IgG yang tidak berikatan dengan

komplemen atau berikatan dengan komponen komplemen namun tidak terjadi

aktivasi komplemen lebih lanjut, maka sel darah merah tersebut akan

dihancurkan oleh sel-sel retikulo endothelial. Proses immune adheren ini

10
sangat penting bagi perusakan sel eritrosit yang diperantarai sel. Imuno

adherens terutama yang diperantai IgG-FcR akan menyebabkan fagositosis13.

2.6 Gejala Klinis

Gejala dan tanda anemia bergantung pada derajat dan kecepatan

terjadinya anemia, juga kebutuhan oksigen penderita. Gejala akan lebih ringan

pada anemia yang terjadi perlahan-lahan, karena ada kesempatan bagi

mekanisme homeostatik untuk menyesuaikan dengan berkurangnya

kemampuan darah membawa oksigen. Gejala anemia disebabkan oleh 2 faktor,

yaitu berkurangnya pasokan oksigen ke jaringan dan adanya hipovolemia (pada

penderita dengan perdarahan akut dan masif). Pasokan oksigen dapat

dipertahankan pada keadaan istirahat dengan mekanisme kompensasi

peningkatan volume sekuncup, denyut jantung dan curah jantung pada kadar

Hb mencapai 5 g% (Ht 15%). Gejala timbul bila kadar Hb turun di bawah 5 g%

atau ketika terjadi gangguan mekanisme kompensasi jantung karena penyakit

jantung yang mendasarinya.11

Pada anemia hemolitik autoimun tipe hangat, pasien mempunyai gejala

khas anemia yang berkembang secara tersembunyi, meliputi lemah, pusing,

lelah, dan dispnea saat beraktifitas atau gejala lainnya yang kurang khas yaitu

demam, perdarahan, batuk, nyeri perut dan penurunan berat badan. Pada pasien

dengan hemolisis hebat, dapat terjadi ikterik, pucat, edema, urin berwarna gelap

(hemoglobinuria), splenomegali, hepatomegali dan limfadenopati yang

mengiringi anemia. Pada kasus yang lebih akut, dapat mengancam nyawa, hal

ini terkait dengan infeksi virus, terutama pada anak.11

Anemia hemolitik autoimun tipe dingin, pasien biasanya mempunyai

gejala anemia hemolitik kronis berupa pucat dan lemah. Keadaan lingkungan

11
yang dingin dapat mencetuskan serangan, oleh karena itu episode hemolisis

akut dengan hemoglobinemia dan hemoglobinuria lebih sering terjadi di musim

dingin. Darah lebih mudah terpengaruh suhu pada ekstremitas, sehingga pasien

lebih sering mengalami akrosianosis (warna kebiru-biruan tanpa rasa sakit pada

kedua tangan dan kaki) saat serangan terjadi.12

2.7 Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan laboratorium untuk menegakkan diagnosis AIHA meliputi

pemeriksaan hitung darah lengkap, morfologi darah tepi, pemeriksaan bilirubin,

laktat dehidrogenase (LDH), haptoglobin, urobilinogen urin, dan pemeriksaan

serologi.11

A. Pemeriksaan darah lengkap

Kadar hemoglobin yang didapatkan pada AIHA tipe hangat

bervariasi dari normal sampai sangat rendah. Kadar hemoglobin pada AIHA

tipe dingin jarang ditemukan <7gr/dl. Jumlah retikulosit dapat meningkat

sedangkan jumlah leukosit bervariasi dan jumlah trombosit umumnya

normal.11

B. Morfologi darah tepi

Hasil pemeriksaan darah tepi dapat ditemukan anisositosis,

polikromasi, sferositosis, fragmentosit, dan eritrosit berinti.22 Polikromasi

menunjukkan peningkatan retikulosit yang diproduksi sumsum tulang.

Sferositosis dapat terjadi pada proses hemolitik pada anemia hemolitik

sedang sampai berat.12

12
Gambar 2.1 Sferosit dan eritrofagositosis11

C. Pemeriksaan bilirubin, haptoglobin, urobilinogen, dan Laktat dehidrogenase

(LDH)

Hemolisis ekstravaskuler terjadi pada AIHA tipe hangat dan

didapatkan peningkatan bilirubin indirek dan urobilinogen. Hemolisis

ekstravaskuler terjadi melalui proses fagositosis eritrosit oleh sistem

retikuloendotelial yang menyebabkan eritrosit lisis dan hemoglobin dipecah

menjadi heme dan globin oleh lisosom. Globin dihidrolisis menjadi asam

amino. Heme kemudian menjadi besi dan protoporfirin yang terdiri dari

biliverdin dan karbonmonoksida. Biliverdin yang terikat dengan albumin

merupakan bilirubin yang tidak terkonjugasi di dalam darah. Bilirubin yang

tidak terkonjugasi/indirek masuk ke hepar dan menjadi bilirubin

terkonjugasi/direk. Bilirubin direk dirubah menjadi urobilinogen yang

diekskresikan melalui tinja. Bilirubin yang direasorpsi di ginjal dirubah

urobilinogen urin.8

Hemolisis intravaskuler terjadi pada AIHA tipe dingin yang

menyebabkan penurunan kadar haptoglobin.20 Hemolisis intravaskuler

13
menimbulkan destruksi pada eritrosit sehingga hemoglobin berikatan

dengan haptoglobin menjadi haptoglobin hemoglobin sehingga kadar

haptoglobin menurun. Kompleks haptoglobin hemoglobin dimetabolisme

menjadi bilirubin.8

14
D. Pemeriksaan serologi

Pemeriksaan yang diperlukan adalah direct antiglobulin test (DAT)

yang menggunakan Ig G dan C3d. Sel eritrosit pasien AIHA dengan reagen

anti globulin yang dicampurkan akan menyebabkan terjadinya reaksi

aglutinasi. Hal ini menandakan adanya Ig G dan C3d pada permukaan

eritrosit pasien13

Gambar 2.2 pemeriksaan Direct Antiglobulin (Coombs) test

2.8 Diagnosa Banding

Anemia hemolitik merupakan kelainan dekstruksi sel darah merah,

yang terbagi atas 2 tipe yaitu didapat dan herediter. Tipe didapat terbagi

menjadi immune-mediated, mikroangiopati dan infeksi. Immune-mediated

diperantarai adanya reaksi antigen-antibodi pada permukaan sel darah

merah. Dari pemeriksaan akan didapatkan sferosit dan DAT positif.

Pengobatan penyakit ini dapat dengan cara obati penyakit yang

mendasarinya, hentikan penggunakan obat-obatan penyebab, dan

pemberian steroid, splenektomi, gamma globulin IV, plasmaferesis, agen

sitotoksik, atau danazol (danocrine). Mikroangiopati diperantarai adanya

mekaninsme gangguan eritrosit di sirkulasi. Dari pemeriksaan akan

didapatkan schistocytes. Pengobatan penyakit ini dengan cara obati

15
penyakit dasarnya. Sementara itu, infeksi diperantarai oleh penyakit malaria

dan infeksi clostridium. Pemeriksaan yang dibutuhkan antara lain kultur

darah, apusan darah tepi dan serologi. Pengobatan penyakit ini dengan cara

pemberian antibiotik8,11.

Sementara itu, tipe herediter terbagi menjadi enzimopati,

membranopati dan hemoglobinopati. Enzimopati terjadi pada penyakit

defisiensi G6PD. Hal ini dapat dipicu oleh adanya infeksi dan pengaruh

obat-obatan. Pada pemeriksan akan didapatkan rendahnya aktivitas enzim

G6PD. Penyakit ini dapat diobati dengan hentikan obat-obatan dan obati

penyakit pemicunya. Membranopati terjadi pada sferositosis herediter. Pada

pemeriksaan akan didapatkan adanya sferosit, adanya riwayat keluarga dan

DAT negatif. Pengobatan penyakit ini dapat berupa splenektomi pada kasus

yang sedang sampai berat. Hemoglobinopati terjadi pada talasemia dan

penyakit sickle cell. Pemeriksaan yang dapat dilakukan antara lain dengan

elektroforesis hemoglobin dan pemeriksaan genetik. Penyakit ini dapat

dobati dengan pemberian asam folat dan tranfusi 12,11.

2.9 Tatalaksana

Autoimmune Hemolytic Anemia dibagi dua golongan yaitu AIHA

yang diperantarai oleh antibodi IgG disebut sebagai AIHA tipe hangat yang

berikatan pada temperatur 37oC sedangkan AIHA tipe dingin di perantarai

16
oleh antibodi IgM yang berikatan maksimal pada temperatur dibawah

320C.4 Alur pengobatan terhadap AIHA berbeda tergantung pada tipe AIHA

nya. Secara umum tujuan pengobatan pada AIHA adalah untuk

mengembalikan hematologis normal, mengurangi proses hemolitik, dan

menghilangkan gejala dengan efek samping minimal.5 Transfusi darah

biasanya hanya digunakan untuk kepentingan sementara tapi mungkin

diperlukan diawal sebagai upaya untuk mengatasi anemia berat sampai

terlihat efek dari pengobatan yang lain.6 Pasien biasanya ditransfusi dengan

menggunakan packed red cell jika Hb < 7 g/dL.2

2.9.1 Pengobatan pada AIHA tipe panas

 Glukokortikoid

Glukokortikoid tetap merupakan terapi lini pertama AIHA, terapi ini

merupakan terapi empiris. Mekanisme aksi glukokortikoid pada AIHA berupa

supresi produksi autoantibodi, mereduksi afinitas autoantibodi dan menurunkan

destruksi eritrosit oleh makrofrag di limpa, ini mungkin terjadi melalui penurunan

ekspresi reseptor Fcy

Dosis yang diberikan dimulai dengan 1 mg/kg/hari. Sekitar 80% pasien respon

terhadap kortikosteroid pada dosis setara dengan prednisolon 60-100 mg / hari dan

sekitar dua pertiga mencapai remisi lengkap (CR). Tidak adanya respon dalam 21

hari harus dianggap sebagai kegagalan steroid. Dalam tatalaksana pasien, teppering

off dapat dimulai ketika Hb > 10 g / dl atau setelah maksimum pemberian selama

3 minggu, diturunkan menjadi 20-30 mg selama 4-6 minggu, dan kemudian

dilanjutkan dengan 5 mg setiap bulan.4 Dalam literatur lain dikatakan pemberian

dosis prednisolon pada AIHA sebesar 2-4 mg / kg / hari dalam 2-3 dosis terbagi

17
selama 2-4 minggu, dengan tapering off 2-6 minggu. Jika respon hematologi tidak

baik, diberikan prednisolon 30 mg / kg / hari intravena selama 3 hari.6

Jika terapi dihentikan, masih dapat terjadi remisi, sehingga harus dilakukan

pemantauan minimal beberapa tahun setelah terapi. Jika remisi maka diperlukan

terapi glukokortikoid ulang, splenektomi atau imunosupresan.

 Rituximab

- Antibodi monoklonal terhadap antigen CD 20 yang ada pada limfosit B,

sehingga dapat mengeliminasi limfosit B pada kasus AHA.

- Dosis : 375 mg/m2 /minggu selama 2-4 minggu

 Obat imunosupresan

- Cyclophosphamide, 6-mercaptopurine, azathioprine, dan 6-thioguanine:

dapat mensupresi sintesis autoantibodi.

- Cyclophosphamide 50 mg/kg berat badan ideal/hari selama 4 hari

berturut-turut.

- Jika pasien tidak dapat mentoleransi dapat diberikan cyclophosphamide

60 mg/m2 azathioprine 80 mg/m2 setiap hari.

- Jika pasien dapat mentoleransi: terapi dilanjutkan sampai 6 bulan untuk

melihat respon. Jika berespon, dosis dapat diturunkan. Jika tidak ada

respon, dapat digunakan obat alternatif lain.

- Indikasi: jika tidak respon terhadap terapi glukokortikoid

- Selama terapi: monitor DPL, retikulosit

- Efek samping: meningkatkan risiko keganasan, sistitis hemoragik berat

 Splenektomi

- Indikasi : pasien yang mendapatkan prednison berkepanjangan > 15

mg/hari untuk menjaga konsentrasi hemoglobin

18
- 2 minggu sebelum operasi, diberikan vaksinasi H. Influenzae type B,

pneumococcal, dan meningococcal.

 Tatalaksana lain

- Asam folat 1 mg/hari : untuk memenuhi kebutuhan produksi sel darah

merah yang meningkat.

- Plasmaferesis : masih kontroversial

- Thymectomy : pada anak yang refrakter terhadap glukokortikoid dan

splenektomi

- Danazol : golongan androgen, dikombinasi dengan prednison dapat

menurunkan kebutuhan splenektomi, memperpendek durasi prednison.

- Globulin IV dosis tinggi

- Purine analogue 2-chlorodeoxyadenosine (cladribine)

19
Anemia Hemolitik Autoimun dengan Cold-Antibody1,7

 Menjaga suhu pasien tetap hangat, terutama daerah ekstremitas

 Rituximab: 375 mg/m2/minggu selama 4 minggu dapat meningkatkan

hemoglobin

 Klorambusil, siklofosfamid

 Interferon: menurunkan titel aglutinin

 Plasma exchange

2.9.2 AIHA tipe dingin

AIHA tipe dingin lebih jarang ditemukan pada anak-anak dibanding

dewasa. Penggunaan kortikosteroid pada AIHA tipe dingin kurang efektif

dibandingkan pada AIHA tipe panas. Penderita dianjurkan untuk

menghindari paparan terhadap udara dingin yang dapat memicu terjadinya

hemolisis dan jika penyebab mendasari dapat diidentifikasi, maka penyebab

tersebut harus diatasi. Pada beberapa pasien dengan hemolisis berat,

pengobatan termasuk immunosupresan dan plasmaferesis. Beberapa

penelitian sebelumnya menyatakan keberhasilan pengobatan AIHA tipe

dingin dengan menggunakan monoclonal antibodi yaitu rituximab dengan

dosis 375mg/m2. Splenektomi tidak banyak membantu pada AIHA tipe

ini. 6

20
2.10 Komplikasi

2.10.1 Tromboemboli

Menurut Allgood dkk, pada pasien AIHA penyebab kematian yang

paling sering adalah emboli paru (4 dari 47 pasien). Semua pasien ini

mendapatkan terapi kortikosteroid dan splenektomi. Pada penelitian yang

dilakukan oleh Pullarkat dkk, 8 dari 30 pasien (27%) mengalami episode

tromboemboli vena. Faktor yang berperan dalam trombosis pada AIHA

adalah cytokine-induced expression of monocyte atau faktor endothelial

tissue. Hoffman (2009) berpendapat bahwa antikoagulan lupus yang

terdeteksi pada pasien AIHA berisiko tinggi untuk terjadinya

tromboemboli vena dan pasien sebaiknya diberikan antikoagulan untuk

profilaksis. Penelitian yang dilakukan Kokori dkk pada pasien AIHA

dengan sistemik lupus erythematosus ditemukan risiko trombosis

meningkat lebih dari 4 kali lipat.13

Pada penelitian yang dilakukan oleh Hendrick, disimpulkan bahwa

pasien AIHA memiliki risiko tromboemboli yang cukup tinggi. Dia

meneliti pada 23 pasien dengan AIHA tipe hangat, didapatkan 6 pasien

mengalami tromboemboli vena, dan 5 diantaranya cukup fatal.11

2.10.2 Kelainan limfoproliferatif

Pasien dengan kelainan limfoproliferatif dapat berkembang

menjadi AIHA. Begitu juga sebaliknya, pada pasien AIHA terjadi

peningkatan risiko kelainan limfoproliferatif. Sallah, dkk. melaporkan

18% pasien AIHA berkembang menjadi kelainan limfoproliferatif

maligna. Faktor risiko perkembangan AIHA menjadi keganasan

limfoproliferatif adalah usia, adanya penyebab penyakit autoimun, dan

21
serum gammophaty. Perkembangan menjadi keganasan lymphoid

membutuhkan proses yang bertahap, pada fase awal proliferasi termasuk

stimulasi antigen kronik hingga terjadinya mutasi yang menyebabkan

perubahan menjadi keganasan. Analisis terakhir ditemukan peningkatan

sel T limfoma dan zona marginal limfoma, serta ditemukan juga

peningkatan sel B limfoma non Hodgkin 2-3 kali lipat, khususnya tipe

diffuse large cell limfoma.13

2.11 Prognosis

Prognosis anemia hemolitik autoimun pada anak-anak biasanya baik

kecuali yang diikuti penyakit penyerta (misalnya, imunodefisiensi kongenital,

acquired immunodeficiency syndrome [AIDS], lupus erythematosus)6.

Secara umum, anak-anak dengan anemia hemolitik autoimun tipe hangat

berisiko tinggi untuk menderita penyakit yang lebih parah dan kronis dengan

mortalitas yang lebih tinggi. Pasien anemia hemolitik autoimun tipe dingin

lebih sering bersifat akut, self-limited (<3 bulan). Anemia hemolitik autoimun

tipe dingin hampir selalu berhubungan dengan infeksi (misalnya, infeksi

Mycoplasma, CMV, dan EBV)5. Lebih dari 80% anak dengan anemia

hemolitik autoimun sembuh spontan4.

22
BAB III

LAPORAN KASUS

IDENTITAS PASIEN

Nama : Nn. EW

Jenis kelamin : Perempuan

Umur : 30 tahun

Pekerjaan : Tidak bekerja

Status perkawinan : Belum menikah

Seorang pasien masuk bangsal penyakit dalam RSUP Dr. M. Djamil Padang

pada tanggal 28 Maret 2019 dengan :

KELUHAN UTAMA

Mencret dan muntah meningkat sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit.

RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG

 Mencret sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit dengan frekuensi 5x dalam

sehari, konsistensi cair, volume ± 1 gelas, tidak ada lendir, dan tidak ada

darah.

 Muntah sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit, berisi apa yang dimakan

dengan frekuensi ± 5x, volume ± 1 gelas.

 Pucat sejak 3 hari yang lalu, merasa lemah dan letih

 Pasien mengeluhkan kulit tampak semakin kuning semenjak 3 hari yll

 Demam sejak 2 hari sebelum masuk rumah sakit. Demam terus menerus,

tidak tinggi dan tidak menggigil, tidak berkeringat.

 Batuk ada, berdahak berwarna putih sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit

 Sesak napas ada, tidak dipengaruhi dengan cuaca, aktivitas, dan makanan

23
 Riwayat perdarahan berulang dari hidung, gusi, timbul petekie, memar di

kulit, BAB hitam disangkal

 BAK tidak ada kelainan

 Riwayat transfusi darah dalam 3 bulan terakhir tidak ada

 Pasien sudah dikenal menderita AIHA sejak ± 1.5 tahun yang lalu dan

mendapatkan terapi berupa Metilprednisolon dan juga Sandimun. Pasien

juga sudah dikenal menderita sindrom cushing iatrogenic sejak 1 tahun yang

lalu.

RIWAYAT PENYAKIT DAHULU

 Riwayat diabetes mellitus tidak ada

 Riwayat hipertensi tidak ada

 Riwayat sakit kuning tidak ada

RIWAYAT PENYAKIT KELUARGA

Tidak ada anggota keluarga yang menderita penyakit yang sama

RIWAYAT KEBIASAAN, SOSIAL, EKONOMI

 Pasien tidak bekerja

 Riwayat merokok (-)

 Riwayat mengonsumsi alkohol (-)

 Tidak ada riwayat penggunaan obat-obatan seperti antibiotik golongan

sefalosporin, penicillin dan turunannya, levofloxacin, levodopa,

methyldopa, dan golongan NSAID dalam jangka waktu yang panjang

24
PEMERIKSAAN FISIK

Pemeriksaan Fisik umum

 Kesadaran : CMC

 Keadaan umum : Sakit sedang

 Tekanan Darah : 110/70 mmHg

 Nadi : 82 kali/menit

 Pernapasan : 30 kali/menit

 Suhu : 39,10 C

 Keadaan gizi : Sedang

 Edema : -/-

 Anemis :+

 Ikterus :+

 Daldiyono score :3

Kulit : Turgor kulit menurun, striae (+)

Kelenjar getah bening : Tidak ada pembesaran dan tidak ada nyeri tekan

KGB pada daerah aksila, leher, inguinal dan

submandibula.

Kepala : Normocephal, moon face (+)

25
Leher : JVP 5-2 cmH2O, pembesaran tiroid (-), deviasi

trakea (-), pembesaran KGB (-), buffalo hump (+)

Rambut : Berwarna hitam, mudah dicabut

Mata : Konjungtiva anemis (+/+), sklera ikterik (+/+)

Telinga : Deformitas (-/-), pendengaran baik

Hidung : Deformitas (-), kelainan kongenital (-), deviasi

septum (-)

Mulut : Oral hygiene baik, faring hiperemis (-), tonsil T1/T1

tenang, perdarahan (-), atropi papil (-), hipertrofi

ginggiva (-)

26
Paru

 Inspeksi : Simetris kiri dan kanan

 Palpasi : Fremitus paru kiri sama dengan fremitus paru kanan

 Perkusi : Sonor di kedua lapangan paru

 Auskultasi : Bronkovesikuler, ronkhi +/+ , wheezing -/-

Jantung

 Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat

 Palpasi : Ictus kordis teraba 1 jari medial linea

midclavicularis sinistra RIC V

 Perkusi :

o Atas : Linea parasternal RIC II

o Kanan : Linea sternalis dekstra RIC IV

o Kiri : 1 jari media linea midclavicularis sinistra RIC V

 Auskultasi : Irama reguler, murmur (-), bising (-)

Abdomen

 Inspeksi : Distensi (+)

 Palpasi : Hepar tidak teraba, Lien S2, nyeri tekan (-), nyeri

lepas (-), shifting dullness (-)

 Perkusi : Timpani

 Auskultasi : Bising usus (+) normal

Punggung : Nyeri tekan CVA (-), nyeri ketok (-)

Alat kelamin : tidak dilakukan pemeriksaan

Anus dan rektum : tidak dilakukan pemeriksaan

Anggota gerak : Akral hangat, CRT 2s , refleks fisiologis +/+,

refleks patologis -/-, atrofi otot tungkai (+/+)

27
28
PEMERIKSAAN LABORATORIUM

28 Maret 2019

 Hemoglobin : 5,9 g/dl

 Leukosit : 7.720/mm3

 Trombosit : 141.000/mm3

 Eritrosit : 2.01 juta

 Hematokrit : 17%

 Retikulosit : 5.98%

 Hitung jenis : 0/0/3/69/22/6 (bas/eo/n.batang/n.seg/limf/monosit)

 MCV/MCH/MCHC : 85fl/29pg/34%

 Natrium : 133

 Kalium : 3,4

 Klorida : 107

 Calsium : 7,5

 Ureum : 87 mg/dl

 Kreatinin : 1,0 mg/dl

 GDS : 222 mg/dl

Direct Coomb’s Test : +

29
DIAGNOSIS

GEA dengan dehidrasi ringan

Anemia berat normositik normokrom ec. AIHA

Community Acquired Pneumonia

Autoimmune Hemolitic Anemia

TINDAKAN PENGOBATAN

 Bed rest

 Diet lambung 2 1700 KK

 IVFD RL 8 jam/kolf

 Cefixime 2 x 200 mg

 Lansoprazol 1 x 30 mg i.v

 Paracetamol 3 x 500 mg

 Sucralfat syr 3 x 10 cth

 Sandimun 2 x 50 mg

 Metilprednisolon 2 x 16 mg

 Osteocal 1 x 1000 mg

 New diatab 2-1-1

30
PEMERIKSAAN ANJURAN

Pemeriksaan feses rutin & kultur feses

Urinalisa

Rontgen Toraks

PROGNOSIS

Quo ad vitam : dubia ad bonam

Quo ad sanasionam : dubia ad malam

Quo ad fungsionam : dubia ad malam

31
BAB 4

DISKUSI

Seorang pasien perempuan berusia 30 tahun tahun datang ke RSUP M. Djamil Padang pada

tanggal 28 Maret 2019 dengan diagnosis GEA dengan dehidrasi ringan, Anemia berat normositik

normokrom, Community Acquired Pneumonia, dan Anemia Hemolitik Autoimmune diagnosis

ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.

Pada saat anamnesis, pasien datang dengan keluhan utama mencret dan muntah sejak 1 hari

sebelum masuk rumah sakit. Pasien juga mengeluhkan tampak semakin pucat dan lemah sejak 3

hari yang lalu. Pucat dan lemah merupakan gejala yang paling umum muncul pada pasien dengan

anemia. Timbulnya pucat diakibatkan kurangnya perfusi jaringan akibat kurangnya oksigen yang

dibawa oleh eritrosit. Kurangnya perfusi jaringan bisa dipengaruhi kurangnya volume darah

ataupun ketidakmampuan darah untuk berikatan dengan oksigen. Anemia merupakan suatu

keadaan ketika jumlah sel darah merah atau konsentrasi pengangkut oksigen dalam darah (Hb)

tidak mencukupi untuk kebutuhan fisiologis tubuh. Anemia dapat disebabkan oleh beberapa

kondisi seperti perdarahan, keganasan, defisiensi besi, maupun hemolitik. Pasien juga

mengeluhkan tampak semakin kuning 3 hari sebelum masuk rumah sakit, ikterik/jaundice dapat

terjadi akibat peningkatan bilirubin, hemolisis baik intravaskular maupun ekstravaskular

meningkatkan katabolisme heme dan meningkatkan pembentukan bilirubin tidak terkonjugasi.

Sehingga pada pasien ini, anemia yang terjadi cenderung dicurigai akibat proses hemolitik. Pasien

pernah didiagnosis dengan anemia hemolitik autoimun 1.5 tahun yang lalu dan mendapat terapi

berupa Methylprednisolon dan Sandimun.

Pada pemeriksaan fisik ditemukan konjungtiva anemis, sklera ikterik, dan seluruh kulit

pasien tampak kuning, serta demam dengan suhu badan 39,1oC dan juga pada pemeriksaan fisik

32
abdomen ditemukan pembesaran lien sebesar S2. Gejala klinis yang muncul pada pasien sesuai

dengan gambaran klinis pasien dengan anemia hemolitik. Splenomegali terjadi akibat peningkatan

aktivitas limpa untuk mendegradasi sel darah merah seperti yang terjadi pada anemia hemolitik.

Pada pemeriksaan fisik pasien ditemukan tanda cushing syndrome berupa moon face,

bullneck, atrofi otot dan striae yang terjadi akibat paparan hormone kortisol jangka panjang

iatrogenik, pasien diketahui mengonsumsi kortikosteroid 1.5 tahun terakhir sebagai terapi dari

AIHA. Keadaan hiperglukokortikoid pada sindrom Cushing menyebabkan katabolisme protein

yang berlebihan sehingga tubuh kekurangan protein. Kulit dan jaringan subkutan menjadi tipis,

pembuluh-pembuluh darah menjadi rapuh sehingga tampak sebagai striae berwarna ungu di daerah

abdomen, paha, bokong, dan lengan atas. Otot-otot menjadi lemah dan sukar berkembang sehingga

terjadi atrofi otot. Pengaruh hiperglukokortikoid terhadap sel-sel lemak adalah meningkatkan

enzim lipolisis sehingga terjadi hiperlipidemia dan hiperkolesterolemia. Pada sindrom Cushing ini

terjadi redistribusi lemak yang khas. Gejala yang bisa dijumpai adalah obesitas dengan redistribusi

lemak sentripetal. Lemak terkumpul di dalam dinding abdomen, punggung bagian atas yang

membentuk buffalo hump, dan wajah sehingga tampak bulat seperti bulan (moon face).

33
Pada pemeriksaan laboratorium ditemukan kadar Hb pasien 5,9 g/dL. Kadar Hb normal

pada wanita dewasa yang tidak hamil menurut WHO adalah >12 g/dL, dan menurut severitas,

pasien tergolong dalam anemia berat. Nilai MCV pada pasien ini adalah 85 fl , MCH 29 pg, MCHC

34 % dengan kesan anemia normositik normokrom. Ada banyak kondisi yang dapat menyebabkan

anemia normositik normokrom, seperti perdarahan akut, penyakit kronik, anemia aplastik

keganasan, maupun anemia hemolitik. Ditemukan peningkatan retikulosit pada pasien, retikulosit

pada pasien ini sebesar 5.98%. Peningkatan retikulosit menandakan adanya peningkatan aktivitas

eritropoietik di sumsum tulang sebagai respon terhadap anemia hemolitik.

Gambar 4.1 Diagnosis anemia berdasarkan morfologi eritrosit

34
Pada pemeriksaan gula darah sewaktu pada pasien juga ditemukan keadaan hiperglikemia,

pada Keadaan hiperglukokortikoid akibat Cushing syndrome akan meningkatkan enzim

glukoneogenesis dan aminotransferase di dalam hati. Asam-asam amino yang dihasilkan dari

katabolisme protein diubah menjadi glukosa dan menyebabkan hiperglikemia serta penurunan

pemakaian glukosa perifer, sehingga bisa menyebabkan diabetes yang resisten terhadap insulin.

Pemeriksaan yang paling penting dalam menentukan apakah anemia hemolitik pada pasien

disebabkan oleh karena proses autoimun adalah dengan melakukan uji Coomb’s test, dari hasil

pemeriksaan DCT pada pasien didapatkan positif. Direct antiglobulin test (DAT) atau Coomb’s

test yang positif merupakan penanda hemolitik autoimun dimana terdapat immunoglobulin (IgG)

atau komponen (c3d) yang menyelubungi permukaan eritrosit. Jika terjadi aglutinasi dari sel darah

merah dengan anti-IgG serum pada suhu tubuh itu merupakan penanda warm AIHA.

Gambar 4.2 Coomb’s Test

Tatalaksana pada pasien ini meliputi pemberian diet lambung 2 1700 KK, IVFD
RL 8 jam/kolf, antibiotic berupa Cefixime 2 x 200 mg, Lansoprazol 1 x 30 mg i.v,
Paracetamol 3 x 500 mg, Sucralfat syr 3 x 10 cth, Sandimmun 2 x 50 mg, Metilprednisolon

35
2 x 16 mg, Osteocal 1 x 1000 mg, New diatab 2-1-1. Terapi lini pertama pada pasien AIHA
adalah pemberian Prednisolon sebesar 1 – 1.5 mg / kg / hari dalam 2-3 dosis terbagi selama
2-3 minggu, jika pasien tampak memberikan respon klinis baik, dosis dapat di tapering off
setiap minggu 10-20mg/hari, terapi steroid <30mg/hari diberikan secara selang hari.

Gambar 4.3 Tatalaksana Warm AIHA

36
DAFTAR PUSTAKA

1. Made IB., 2006. Hematologi Klinik Dasar. Jakarta: Buku kedokteran EGC.
2. Irawan H. Pendekatan diagnosis anemia pada anak. 2013; vol 40(6): 422-4.
3. Priyanto LD. Hubungan Umur, Tingkat Pendidikan, Dan Aktivitas Fisik Santriwati Husada
Dengan Anemia. 2018; vol. 6(2): 139-46.
4. Pasricha SR. Anemia: a comprehensive global estimate. 2014; 123(5): 611-2.
5. Zanella Alberto dan Wilma Barcellini. 2014. Treatment of Autoimmune Hemolytic
Anemias. Hematologica. 99(10): 1547-54.
6. Ware, Russel E., Donald H. Mahony and Stephen A. Landlaw. 2012. Autoimmune
Hemolytic Anemia in Children.
7. Alwi I, Salim S, Hidayat S, Kurniawan J, Tahapary DL. Penatalaksanaan di Bidang Ilmu
Penyakit Dalam Panduan Praktik Klinis. Jakarta: Interna Publishing; 2015. Hal 461-9
8. Zanella A, Barcellini W. Treatment of autoimmune hemolytic anemias. Haematologica.
2014. 99(10):1547-1554.
9. Michel M. Warm autoimmune hemolytic anemia: advances in pathophysiology and
treatment. 2014. Presse Med, 43(4 Pt 2):e97-e104
10. De Loughery TG). Hematology board review manual : Autoimmune hemolytic anemia.
2013 Hematology, 8 (1): 2-9.
11. Hill, Q., Stamps, R., Massey, E., Grainger, J., Provan, D. and Hill, A. 2019. The
diagnosis and management of primary autoimmune haemolytic anaemia.
12. Allard S, Hill QA. Autoimmune haemolytic anaemia. ISBT science series 2016; 1: 85 –
92
13. Luzatto L. Hemolytic anemias and anemia due to acute blood loss. In: Kasper DL,
Hauser SL, Jameson JL, Faucy AS, Longo DL, Loscalzo J, eds. Harrison’s hematology
and oncology 3rd edition. New York: Mc Graw Hill; 2017. Pp 111 – 30
14. Leibman HA, Weitz IC. Autoimmune hemolytic anemia. Med Clin N Am 2016; 9(7): 1 –
9

15. Allard S, Hill QA. Autoimmune haemolytic anaemia. ISBT science series 2016; 1: 85 –
92

37
38

You might also like