You are on page 1of 10

Fakultas Psikologi Diserahkan kepada :

Universitas Kristen Maranatha Dr. Ria Wardhani, M.Si., Psikolog

Bandung Dra. Irenewati P. Setiawan, M.Si., Psikolog

Observasi dan Wawancara

Analisis Film “Hichki”

Disusun oleh:

Michelle Novia 1730030

Kelompok 3

Kelas D

Diserahkan pada tanggal:

10 April 2019
TUGAS 1:
Tujuan Umum Observasi:
Mengetahui gambaran penyesuaian sosial Naina dan siswa kelas 9F.
Tujuan Khusus:
- Mengetahui penyesuaian sosial Naina dan siswa kelas 9F di lingkungan
rumah dan keluarga.
- Mengetahui penyesuaian sosial Naina dan siswa kelas 9F di lingkungan
sekolah.
- Mengetahui penyesuaian sosial Naina dan siswa kelas 9F di lingkungan
masyarakat.

a. Naina Mathur
Naina merupakan seorang perempuan berusia kurang lebih 26 tahun adalah
seorang perempuan yang mengidap sindrom Tourette yang bercita-cita menjadi
seorang guru. Ia diterima di sekolah St. Notker menjadi guru pengajar sementara
untuk menggantikan guru di kelas 9F yang mengundurkan diri. Dengan sindrom
Tourette yang dimilikinya, ketika berbicara Naina sering mengeluarkan suara yang
terdengar seperti “Jaa”, “Cha”, “Kha” dengan berulang-ulang tanpa mampu ia
kontrol sembari menyentakkan kepalanya ke kiri berulang kali. Ketika ia
mengeluarkan suara seperti itu, setelahnya Naina memukul-mukul tenggorokan
dengan bagian belakang tangan kanannya.
Dalam berbicara, Naina memiliki volume suara yang kencang dengan artikulasi
yang jelas. Naira berbicara dengan sopan kepada orang-orang yang ditemuinya. Ia
selalu tersenyum, memberikan kontak mata, dan berjabat tangan dengan erat.
Misalnya, ketika ia diwawancarai dan beberapa kali pewawancara menanyakan
mengenai penyakitnya, memintanya untuk berhenti “cegukan”, atau mengatakan
dirinya tidak bisa menjadi guru dengan kondisinya Naina tetap berbicara dengan
intonasi yang tegas, cara berbicara yang sopan, tersenyum, dan tidak terlihat marah
kepada pihak tersebut.

1
Tujuan Khusus:
Di lingkungan rumah dan keluarga, Naina terlihat menghormati dan menerima
hak-hak anggota keluarganya yaitu ibu, adik, dan ayahnya. Naina terlihat memiliki
hubungan yang akrab dengan ibu dan adiknya, mereka sering terlihat makan
bersama dan berinteraksi dengan hangat seperti mengobrol, memeluk, dan
tersenyum satu sama lain. Naina tidak begitu dekat dengan ayahnya, tetapi masih
menghargai ayahnya dengan ia mau makan bersama dengan ayahnya, berbicara
dengan sopan bahkan ketika dirinya marah/ tersinggung atas ucapan ayahnya.
Partisipasi Naina di lingkungan keluarga tidak begitu ditonjolkan dalam film, ia
hanya terlihat aktif berpartisipasi ketika makan bersama dengan anggota
keluarganya, hadir di saat ulangtahun adiknya, dan kegiatan sehari-hari di rumah.
Dalam lingkungan keluarga, aspek penyesuaian sosial yang lebih menonjol dalam
diri Naina adalah recognition dilihat dari Naina yang mengharga dan berusaha
menjalin hubungan positif antar anggota keluarga.
Di lingkungan Naina bersekolah sewaktu kecil, ditampilkan bahwa Naina
adalah sosok yang dikucilkan atau “terbuang”. Ia berusaha menjalin hubungan
pertemanan dengan baik antara ia dan teman-teman, tetapi Naina terlihat
diperlakukan dengan buruk oleh teman dan guru-gurunya di sekolah. Teman-
temannya menertawai dan mengejek Naina ketika ia bersuara seperti cegukan,
guru-gurunya pun memarahinya dan memberikan sanksi Naina tidak boleh
mengikuti pelajaran. Hal ini menyebabkan hubungan Naina dengan teman dan guru
tidak harmonis. Naina di sekolah ditunjukkan tidak begitu melibatkan diri dalam
berelasi karena mengalami penolakan di lingkungan sekolah tersebut. Di kelas ia
duduk di kursi paling belakang, terlihat tidak memiliki teman mengobrol, ketika ia
dihukum teman sekelasnya hanya menertawakan dirinya tanpa ada yang membantu
sehingga Naina tidak memiliki kesempatan berpartisipasi dengan orang-orang di
lingkungan sekolah. Pada lingkungan sekolah ini, penyesuaian sosial yang dimiliki
Naina buruk.
Di tempat ia bekerja, Naina berhubungan dengan kepala sekolah, guru kelas 9A
(Mr. Wasid), dan siswa-siswa kelas 9F yang diajarnya. Walaupun kepala sekolah
dan Mr. Wasid terkadang merendahkan dirinya dan siswanya, Naina selalu

2
berusaha untuk ramah dan sopan kepada mereka. Terlihat dari gaya bicaranya di
mana ia tidak pernah marah/ berkata-kata dengan nada yang tinggi, tetap tersenyum,
dan berkata-kata dengan sopan. Naina juga sangat menghargai siswa-siswanya
walaupun mereka nakal dan tidak patuh pada aturan. Misalnya, ketika siswa-
siswanya mengejek kondisinya dengan sindrom Tourette melalui rap, Naia tidak
marah melainkan dapat menasihati mereka dengan nada bicara yang lembut
sembari tetap tersenyum. Begitu juga ketika mereka mengerjai dirinya sehingga ia
jatuh di depan kelas atau ketika murid-muridnya menempelkan poster tentang
dirinya dan nomor teleponnya di jalan. Naina juga terlihat peduli pada kondisi
sosioekonomi keluarga murid-muridnya. Hal ini terlihat ketika ia mengunjungi
daerah tepat tinggal murid-muridnya dan membantu mereka untuk berusaha
mengetahui setiap muridnya dan latar belakang mereka tinggal. Ketika murid-
murid di kelas memiliki masalah sehingga hampir diskors (di awal film) dan hampir
dikeluarkan karena tuduhan mencontek ketika ujian (di akhir film), Naina selalu
membela dan berusaha menolong mereka. Walaupun ia berisiko harus dikeluarkan
atau harus menerima omongan buruk/ penghinaan oleh kepala sekolah atau Mr.
Wahid, Naina mau menerimanya agar bisa menolong siswa-siswa di kelas 9F.
Naina percaya bahwa setiap siswa kelas 9F pintar dan seharusnya diberi
kesempatan untuk dapat belajar di sekolah ini. Penyesuaian sosial Naina di
lingkungan masyarakat, terutama di tempat ia bekerja terlihat sangat baik.
Tujuan Umum:
Secara keseluruhan, di usia sekarang ini Naina memiliki penyesuaian sosial
yang baik di lingkungan rumah dan keluarga begitu pun di lingkungan masyarakat
tempat ia bekerja. Akan tetapi, sewaktu ia kecil di lingkungan ia bersekolah, Naina
memiliki penyesuaian sosial yang buruk dikarenakan ia menerima penolakan dari
teman dan gurunya di sekolah yang membuat dirinya menjadi rendah diri dan
merasa malu.
b. Siswa 9F
Tujuan Khusus:
Siswa kelas 9F terdiri dari 14 orang siswa yang awalnya berasal dari sekolah
negeri untuk anak-anak masyarakat pinggiran. Akibat penggusuran lahan, anak-

3
anak tersebut dipindahkan untuk belajar di sekolah St. Notker. Siswa kelas 9F
dianggp sebagai siswa buangan oleh guru dan siswa-siswa lainnya. Di lingkungan
sekolah, siswa kelas 9F banyak mengalami penolakan dan dicap sebagai murid
yang bodh dan berandal. Ditunjukkan bahwa siswa kelas 9F tidak memiliki
hubungan baik dengan guru dan siswa kelas lainnya terutama kelas 9A. Mereka
berperilaku berandal dan tidak sopan kepada guru yang mengakibatkan 7 orang
guru wali kelas mereka mengundurkan diri dalam periode waktu kurang dari 1
tahun. Ditunjukkan juga bahwa mereka tidak menyukai siswa kelas 9A dan
bertengkar serta berbicara kasar kepada siswa kelas 9A. Hal ini menyebabkan
hubungan mereka dengan sesama siswa dan guru tidak harmonis. Antara siswa
kelas 9F sendiri, mereka memiliki hubungan yang akrab dan dekat. Mereka mau
membela teman yang melakukan kesalahan dan bahkan menolong mereka dengan
mengakui kesalahan yang dilakukan adalah perbuatan bersama. Akan tetapi
perilaku mereka hanya baik dengan lingkaran sosial sesama siswa kelas 9F saja,
sehingga penyesuaian sosial di lingkungan sekolah dapat dikatakan tidak begitu
baik.
Penyesuaian sosial di lingkungan keluarga dan di lingkungan masyarakat yang
dimiliki siswa kelas 9F tidak begitu digambarkan. Secara sekilas ditunjukkan
bahwa siswa kelas 9F dapat menyesuaikan diri dengan cukup baik di lingkungan
rumah dan tempat tinggal mereka yang tergolong sosioekonomi rendah. Mereka
terlihat terbiasa tinggal di tempat yang agak kumuh, bekerja di bengkel, mengantri
dan berebut untuk mendapatkan air, serta sebagainya.
Tujuan Umum:
Secara keseluruhan, penyesuaian sosial siswa kelas 9F terlihat baik di
lingkungan keluarga dan kurang baik di lingkungan sekolah. Mereka kurang dapat
menyesuaikan diri dengan lingkungan sekolah di St. Notker sehingga mengalami
penolakan dari guru dan sesama siswa kelas lainnya.

4
TUGAS 2:
- Level analisis apa yang tepat digunakan untuk menganalisis masalah di
atas?
Naina:
Untuk kasus Naina, ia memiliki masalah di mana naina mendapatkan
diskriminasi akibat kondisi sindrom Tourette yang dimilikinya itu. Dari
sewaktu kecil, Naina banyak mengalami penolakan dan ejekan dari lingkungan
karena sindrom Tourette yang dialaminya, membuat dirinya dicap “aneh” dan
tidak sesuai di masyarakat. Sewaktu ia dewasa pun, walaupun secara factual
Naina cerdas, memiliki gelas Master di pendidikan dan double degree Sarjana,
dirinya menganggur selama 5 tahun karena banyak sekolah menolak dirinya.
Naina dianggap tidak kompeten untuk mengajar, bukan dilihat dari
kualifikasinya, melainkan dilihat dari perilaku yang tidak bisa ia kontrol yakni
sindrom Tourette yang dimilikinya.
Berdasarkan masalah tersebut, menurut saya level analisis yang sesuai
adalah level analisis antar individu. Level analisis antar individu sendiri adalah
pengkajian tingkah laku manusia melalui proses yang terjadi antar individu
yang terlibat dalam suatu situasi (komunikasi, pola relasi, peran figur
signifikan). Analisis dapat dilakukan antara naina dengan individu lain seperti
guru, teman ia sekolah, atau pihak pewawancara sekolah tempat Naina melamar.
Dengan level analisis ini, dapat diketahui masalah dan intervensi yang tepat
dalam komunikasi, dapat adanya penyesuaian penilaian sosial antar individu
(membuat orang lain menyesuaiakan penilaian akan kondisi Naira dan
membuat Naira memahami pertimbangan orang lain akan penilaian tentang
dirinya), self-disclosure (pembukaan diri atau informasi tentang diri Naira
kepada orang lain), meningkatkan pemahaman dan pengurangan konflik antar
individu.
Siswa kelas 9F:
Siswa kelas 9F merupakan anak-anak dari kalangan sosioekonomi
rendah yang terpaksa masuk ke lingkungan sekolah dengan kalangan
sosioekonomi lebih tinggi yang menyebabkan mereka menerima banyak

5
penolakan, penilaian buruk, prasangka, dan diskriminasi yang pada akhirnya
menyebabkan siswa kelas 9F sendiri berperilaku memberontak di lingkungan
sekolah tersebut.
Untuk masalah ini, menurut saya level analisis yang tepat digunakan
adalah level analisis antar kelompok. Level analisis antar kelompok ini sendiri
berfokus pada proses dan tingkah laku yang terjadi dalam interaksi antar
kelompok (identitas kelompok, stereotipe, prasangka, power, relasi kelompok
mayoritas-minoritas, kerjasama, dan konflik antar kelompok). Level analisis ini
tepat digunakan untuk memahami dan memberikan intervensi antara kelompok
siswa 9F sebagai kelompok marginal dan minoritas dan kelompok siswa serta
guru di St, Norek sebagai kelompok mayoritas. Dengan level analisis ini dapat
diketahui dinamika mengenai prasangka, relasi kelompok, dan konflik antar
kelompok sehingga dapat dipahami dan diberikan penanganan.
- Jika kasus di film tersebut merupakan masalah sosial, termasuk
masalah sosial yang mana? Jelaskan jawaban Anda dari data observasi
film & teori yang ada di buku Social Problems- Coleman.
Masalah utama yang tergambarkan dalam film ini adalah masalah dalam
konteks edukasi. Edukasi memiliki tujuak utama di masyarakat untuk
memberikan kesempatan pembelajaran dan mencapai prestasi yang universal
atau dengan kesempatan yang sama bagi setiap orang. Pada kenyataannya di
kasus tersebut, kesempatan untuk belajar dan kualitas pendidikan yang ada
tidaklah terbagi dengan setara.
Dalam kasus Naira, hal ini menunjukkan kurang adanya kesetaraan
kesempatan belajar bagi individu yang normal dengan individu yang memiliki
disabilitas, seperti sindrom Tourette yang dimiliki Naira. Hal ini menunjukkan
kebanyakan institusi atau lembaga pendidikan lebih memberikan kesempatan
belajar bagi siswa-siswa yang “mudah” untuk diajarkan yakni siswa yang
normal, dapat berperilaku dengan baik, dan sebagainya. Bagi siswa dengan
perilaku yang “aneh”, memiliki gangguan baik ringan atau berat, kebanyakan
intitusi tidak mau menerima mereka untuk menempuh pendidikan. Walaupun
secara kecerdasan, Naira mampu dan seharusnya bisa belajar di sekolah umum

6
tetapi guru-guru di sekolah sebelumnya selalu mengarahkan Naira belajar di
sekolah khusus. Hal ini dapat mempengaruhi kepercayaan diri dan self-concept
anak. Selain itu, adanya penolakan atau diskriminasi bagi siswa-siswa dengan
kebutuhan khusus tertentu, ringan atau berat, dapat menyebabkan sulitnya
mereka berintegrasi di masyarakat di ke depannya, rendahnya kesempatan
individu dengan kebutuhan khusus untuk bekerja dan menghidupi diri secara
mandiri, dan dapat pula menyebabkan munculnya stigma negatif dan penolakan
dari masyarakat karena kurangnya kesempatan orang-orang terekspos dan
membiasakan diri dengan individu berkebutuhan khusus.
Ketidaksetaraan edukasi ini juga digambarkan dalam kasus siswa kelas 9F
yang bersekolah di St. Norek. Siswa kelas 9F merupakan anak-anak dari
kalangan sosioekonomi rendah yang terpaksa masuk ke lingkungan sekolah
dengan kalangan sosioekonomi lebih tinggi. Hal ini menggambarkan masalah
edukasi yang diterima oleh kelompok marginal yang berasal dari sosioekonomi
yang lemah.
Siswa dengan latar belakang sosioekonomi lemah memiliki sumber daya
untuk belajar yang lebih sedikit (buku, media belajar, kursus). Selain itu,
orangtua mereka juga dapattidak begitu menganggap berharga pendidikan, juga
jarang atau bahkan tidak sama sekali terlibat dalam proses pendidikan anak.
Kabanyakan siswa dari sosioekonomi rendah merupakan siswa low-achiever
yang berasal dari orangtua yang low-achiever pula. Banyak orangtua yang lebih
mengarahkan anak untuk bekerja dibandingkan bersekolah. Siswa dari keluarga
sosioekonomi rendah juga lebih banyak memiliki masalah kesehatan dan nutrisi
yang dapat mempengaruhi kondisi mereka saat belajar.
Selain itu ketidaksetaraan edukasi bagi siswa sosioekonomi rendah juga
berasal dari institusi itu sendiri. Guru dinyatakan lebih engage dan lebih
favorable kepada siswa dengan latar belakang sosioekonomi lebih tinggi
dikarenakan kemampuan akademis dan bahasa yang lebih baik serta perilaku
siswa yang lebih favorable dalam belajar. Hal ini dapat menyebabkan
ketimpangan edukasi dan adanya preferensi dari guru terhadap siswa dan

7
munculnya stereotype bagi siswa sosioekonomi rendah yang memberikan
meeka kerugian di dalam proses belajar.

8
DAFTAR PUSTAKA

Mooney, Linda A., David Knox, and Caroline Schacht. (2009). Understanding
Social Problems, Sixth Edition. Belmont, CA: Wadsworth, Cengage
Learning

You might also like