Professional Documents
Culture Documents
Abstract
The TRIPS (Trade-Related Aspects of Intellectual Property Right) Agreement clearly positions
the protection of intellectual property right as trade related issues. Its objective is to protect
intellectual property rights and right enforcement procedures by acting as a deterrent to fair
trade. The existing international treaties concerning protection of intellectual property had
rarely dealt with provisions for enforcement of rights. But, the TRIPS Agreement is
characterized in that the provisions for effective enforcement of intellectual property right
including those for border control of products infringing intellectual properties. Accordingly,
the definition of subject matters to be protected as intellectual property and legal effect of
nationally granted IPR as well as the legal measures or remedies against any infringements are
in principle stipulated in the national laws. In the meantime, TRIPS Agreement has positively
imposed such an obligation to member countries (including Indonesia) that at least the
harmonized minimum standards for protecting the IPR including the enforcement measures must
be provided in the national laws. Which shall indeed comply with the TRIPS Agreement, and the
practices of protecting IPR and enforcement thereof are fundamentally left to the national laws
(especially copyright protection) of each member country. This study is to reflect umpteen rule in
TRIPS Agreement one that revamps severally rule in National Copyright Law, amongst those
about handling interest takes criminal proceedings, matter limitation legal action, Matter
implementation to provisinal measure and matters various sort about problem related to civil
dispute settlement mechanism and civil court procedure, out of court dispute settlement via
Arbitration and Alternative Dispute Resolution /ADR).
A. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Di tahun-tahun belakangan ini, sejalan dengan kondisi ekonomi seperti globalisasi
ekonomi, perdagangan barang-barang selain produk seperti perdagangan jasa secara signifikan
meningkat dengan pesat. Khususnya ketika ekonomi menitikberatkan pada bidang jasa,
menimbulkan kendala non-tariff terhadap perdagangan bebas, dan sebagai hasilnya, harmonisasi
sistem HAKI (Zen Umar Purba, 31 Januari 2001: 2) secara internasional menjadi hal yang sangat
menarik perhatian.
Sistem HAKI berbeda di setiap negara dan HAKI memiliki akibat hukum tersendiri di
setiap negara. Bagaimanapun juga, meluasnya produk-produk palsu dan maraknya program
komputer, musik dalam bentuk Compact Disc dan karya cipta film dalam format Video Compact
Disc (VCD) bajakan akhir-akhir ini membawa kerusakan yang hebat dalam dunia perdagangan,
dan sejalan dengan ini, sengketa-sengketa internasional yang berkaitan dengan HAKI pun terus
meningkat. Dan permasalahan tersebut, kebutuhan perlindungan HAKI dan harmonisasi sistem
HAKI secara internasional lebih meningkat dibanding sebelumnya.
Untuk keperluan ini, oleh masyarakat internasional khususnya yang tergabung dalam
perundingan-perundingan yang diselenggarakan atas prakarsa forum General Agreement of
Tariffs and Trade (selanjutnya disingkat GATT), pada tahun 1994 telah disepakati suatu
perjanjian internasional yang mengatur substansi-substansi HAKI dikaitkan dengan perdagangan
internasional pada umumnya.
Indonesia merupakan salah satu dari 110 negara yang menandatangani hasil akhir Putaran
Uruguay. Selanjutnya Indonesia dengan resmi telah mengesahkan keikutsertaan dan menerima
Convention Establishing the World Trade Organization dengan Undang-Undang No. 7 Tahun
1994. Sebagai konsekuensi dari keanggotaan Indonesia di WTO, Indonesia antara lain harus
menyelaraskan segala pranata peraturan perUndang-Undangan di bidang HaKI dengan norma
dan standar yang disepakati. Sesuai dengan Pasal 65 Persetujuan TRIPs, Indonesia sebagai
negara berkembang mendapatkan tenggang waktu sampai 1 Januari 2000 untuk kemudian
melaksanakan ketentuan-ketentuan TRIPs secara utuh.
Keikutsertaan Indonesia pada Agreement Establishing The World Trade Organization
pada tahun 1994 menjadikan Indonesia ikut juga melaksanakan ketentuan-ketentuan yang
terdapat dalam empat lampiran yang tidak terpisahkan dari perjanjian WTO. Dari keempat
lampiran ini, lanipiran IC : Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights
(TRIPs) adalah yang inheren dengan pokok-pokek kajian ini.
Sebagai konsekuensi ikut sertanya Indonesia pada Perjanjian WTO yanng memuat
Lampiran IC : Persetujuan TRIPs, menimbulkan kebutuhan untuk menyempurnakan dan
mengubah sekali lagi, beberapa peraturan perundangundangan bidang Hak Kekayaan Intelektual
dengan mengingat Persetujuan TRIPs terhadap para negara pesertanya menggunakan prinsip
kesesuaian penuh (full compliance) sebagai syarat minimal bagi negara pesertanya.
Harmonisasi ketentuan internasional (khususnya TRIPS Agreement dalam GATT/WTO))
dalam sistem hukum nasional dalam implementasinya seiiring dengan perkembangan teknologi,
yang dalam tataran teknis praktikal kadang menimbulkan permasalahan dalam penerapannya.
Permasalahan muncul manakala teknologi terbaru digunakan sebagai sarana perbanyakan
(reproduction) ciptaan secara tanpa hak, yang tentunya dapat merugikan Pencipta ataupun
Pemegang Hak. Dalam bidang industri musikpun menimbulkan sengketa, dengan gugatan berupa
ganti kerugian sebesar 150.000 US$ per lagu dengan dikalikan 45 ribu lagu, yang diajukan oleh
Recording Industry Association of America (RIAA), sebuah asosiasi industri rekaman di
Amerika Serikat terhadap perusahaan MP3.com (MP3) yang mengoperasikan situs komersial di
internet yang menyediakan informasi tentang musik, download musik secara digital, dan
penggunaan format audio digital dengan format MP3 secara gratis (Majalah Forum Keadilan, 6
Februari 2000: 54-55).
Organisasi terkemuka bidang HAKI, International Intellectual Property Alliance (IIPA),
memberikan data-data yang menunjukan bahwa karya-karya dari Amerika Serikat yang paling
banyak dibajak adalah aplikasi software, yakni senilai 4,65 miliar dolar, urutan kedua adalah
entertainment program senilai 3,4 miliar dolar. Sedangkan kerugian para penerbit Amerika
Serikat akibat tindakan pembajakan copyright-nya sebesar 685,3 juta dolar (1998) lebih besar 20
juta dolar dibandingkan tahun sebelumnya 665,3 juta dolar (1997). Negara Pembajak terbesar
yang telah merugikan penerbit karena melakukan pembajakan copyright adalah Cina.
Menurut perkiraan IIPA, Cina telah merugikan penerbit asing sebesar 125 juta dolar,
Rusia 45 juta dolar, Pakistan 40 juta dolar, Filipina 39 juta dolar, Korea dan Meksiko masing-
masing 3 5 juta dolar, serta India dan Indonesia 30 juta dolar atau setara dengan Rp. 240 miliar
(Eddy Damian, 2003: 5).
Perlu diingat berdasarkan data terkini dari IIPA untuk Indonesia (2003), masuk dalam
daftar Priority Watch List, dimana apabila keadaan pembajakan seperti saat ini masih terus
dibiarkan maka terdapat kemungkinan yang sangat besar Indonesia dapat dikenakan penalti atau
sanksi. kerugian Negara, berdasarkan asumsi dan data-data di atas jelas terlihat kontribusi
a. Dari produk legal sebenarnya juga cukup besar dimana kalau kita ambil asumsi rata-rata
pajak yang dibebankan melalui stiker PPN adalah Rp. 1000 - Rp. 3000 maka kontribusi
produk legal melalui pajak adalah sebesar 7,5 milyar - 22,5 milyar rupiah pertahunnya
(dengan kondisi 10% produk legal di pasar), yang sebetulnya kontribusi tersebut dapat
ditingkatkan apabila pembajakan dapat diatasi atau paling tidak dikurangi.
b. Dengan asumsi 90% berupa Produk Bajakan, perkiraan minimal adalah sebanyak 68,4 juta
keping produk bajakan dimana kerugian pajak negara ditaksir berkisar ± 200 milyar per-
tahunnya.
Juga berdasarkan data yang kami dapat dari IIPA tersebut, prosentase pembajakan di
Indonesia mencapai 90%, yang berarti hanya 10% produk legal yang terdapat di pasar. Dalam
kaitan ini Indonesia termasuk negara yang tergolong dalam kategori priority watch list.
Sehingga dari data IIPA tersebut dapat diasumsikan bahwa sejumlah ± 7.600.00
keping produk legal tersebut hanyalah 10% dari seluruh produk VCD maupun DVD yang
beredar di pasar sehingga dapat diasumsikan pula 90% atau sebanyak ± 68.400.000 keping
produk dari hasil bajakan yang beredar di pasar Indonesia. Dan yang sangat menyedihkan
apabila pembajakan telah menjadi budaya yang dapat diterima oleh masyarakat atau telah
dianggap sebagai sesuatu yang tidak melanggar hukum (Asosiasi Industri Video Indonesia atau
AIVI, 27 Agustus 2003).
Pada tanggal 15 April 1994 Pemerintah Indonesia menandatangani persetujuan akhir
yang memuat hasil-hasil Perundingan Perdagangan Multilateral Putaran Uruguay (Uruguay
Round Of Multilateral Trade Negotiation) dan meratifikasi Persetujuan Pembentukan WTO
(Agreement Establishing the WTO) dengan Undang-Undang No. 7/1994 pada tanggal 2
November 1994 Sebagai anggota WTO, Indonesia harus menyesuaikan sistem HAKI nasional
dengan Perjanjian TRIPs.
Bagi bangsa Indonesia perlindungan hukum HAKI merupakan perkembangan yang baru,
tetapi bagi negara-negara maju telah dikenal karena pandangan akan prinsip manfaat ekonomi
atau nilai ekonomi (economic value) yang cukup besar bagi pendapatan negara. Berakhirnya
perang dingin yang berakibat mengendornya produksi dan investasi industri militer, memicu
peralihan kapital dari teknologi industri militer ke industri non militer yang menghasilkan
komoditi-komoditi yang berteknologi sedang sampai yang tercanggih. Komoditi-komoditi ini
diantaranya ada yang merupakan kekayaan intelektual, yang memerlukan perlindungan hukum
yang memadai (Bambang Kesowo, tt: 1).
2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang sebagaimana tersebut diatas maka penulis ingin membatasi
permasalahan dengan rumusan masalah; yaitu: Bagaimana Dampak Implementasi TRIP’s
(Trade Related Intellectual Property Rights) Agreement dalam GATT/WTO terhadap
Ketentuan Upaya Hukum Hak Kekayaan Intelektual di Indonesia?
3. Tujuan & Kegunaan Penulisan
Tujuan dilakukannya penulisan ini untuk menganalisis Dampak Juridis Harmonisasi
Implementasi TRIP’s (Trade Related Intellectual Property Rights) Agreement Terhadap
Pembaharuan ketentuan Penegakan Hukum HAKI.
Kegunaan penulisan ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai masukan bagi Pencipta,
Pemegang Hak, Pelaku Usaha, dan aparat penegak Hukum dalam memahami pembaharuan
perlindungan HAKI dan memberikan jalan keluar dalam praktek terhadap proses penegakan
hukum HAKI, sekaligus dapat menjadi referensi/acuan bagi peneliti, praktisi hukum, mahasiswa
dan masyarakat umum yang berminat meneliti/ mengkaji mengenai Penegakan Hukum HAKI.
4. Metode Penulisan
Dalam penulisan ini dimaksudkan untuk mengetahui, bagaimana dampak implementasi
TRIP’s (Trade Related Intellectual Property Rights) Agreement Terhadap Pembaharuan
Perlindungan dan Prosedur Penyelesaian HAKI di Indonesia, serta mencari alternatif pemikiran
bagaimana seharusnya secara hukum proses penegakan hukum dan penyelesaian sengketa HAKI
dapat diterapkan secara efesien, efektif dan memuaskan semua pihak (amicable solution).
Penulisan ini menggunakan metode penelitian hukum normatif yang didasarkan pada
penelitian kepustakaan dengan mempergunakan data sekunder dalam bidang hukum. Sifat
penelitian ini adalah deskriptif analitis. Deskriptif karena melalui penelitian ini diharapkan akan
diperoleh gambaran secara sistematis, faktual serta data yang diperoleh dalam penelitian ini
tentang dampak Implementasi TRIP’s (Trade Related Intellectual Property Rights) Agreement
dalam GATT/WTO Terhadap Penegakan Hukum dan Penyelesaian Sengketa Hak Kekayaan
Intelektual.
B. PEMBAHASAN
1. Bingkai Singkat Perlindungan HAM
Hal yang paling mendasar bagi perlindungan hak atas kekayaan intelektual adalah bahwa
seseorang yang telah mencurahkan usahanya untuk menciptakan/ menemukan sesuatu
selanjutnya mempunyai hak alamiah/dasar untuk memiliki dan mengontrol apa-apa yang telah
diciptakannya.
Dasar pemikiran diberikannya kepada seorang atau individu untuk perlindungan hukum
terhadap “ciptaan” bermula dari teori yang tidak lepas dari dominasi pemikiran Mazhab atau
Dokrin Hukum Alam yang menekankan pada faktor manusia dan pengunaan akal seperti yang
dikenal dalam Sistem Hukum Sipil (Civil Law System) yang merupakan sistem hukum umum
yang dipakai di Indonesia (Satjipto Rahardjo, 1958: 292).
Pengaruh Mazhab Hukum Alam dalam Civil Law System ini terhadap seorang individu
yang menciptakan pelbagai ciptaan yang kemudian memperoleh perlindungan hukum atas
ciptaan yang merupakan kekayaan intelektual. Perkembangan ini juga dikemukakan oleh S.
Stewart dengan (S. Stewart, 1989: th):
Countries that follow the civil law tradition, however, regard authors’ rights as natural
human rights, or part of one’s right of personalit. As apart of this tradition, in addition to
the protection of the author’s economic rights, the protection of the author’s “moral right”
is an essential part of the system.
Melalui pengakuan secara universal ini, sudah tidak diragukan lagi bahwa suatu ciptaan
mempunyai manfaat bagi kehidupan manusia (life worthy) dan mempunyai nilai ekonomi
sehingga menimbulkan adanya tiga macam konsepsi (Eddy Damian, 2003: 18):
(1) Konsepsi Kekayaan;
(2) Konsepsi Hak; dan
(3) Konsepsi Perlindungan Hukum.
Menurut Pasal 27 (2) dari Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (Universal
Declaration of Human Rights), menyebutkan bahwa :
“Everyone has the right to the protect of the moral and material interest resulting form
any scientific, literary, or artistic production of which he/she is the author “.
“Setiap orang mempunyai hak untuk melindungi kepentingan moral dan material yang
berasal dari ilmu pengetahuan, sastra atau hasil seni yang mana dia merupakan
penciptanya”.
Secara substantif pengertian HAKI dapat di deskripsikan sebagai “Hak atas kekayaan
yang timbul atau lahir karena kemampuan intelektual manusia”. Penggambaran di atas pada
dasarnya memberikan kejelasan bahwa HAKI memang menjadikan karya-karya yang timbul atau
lahir karena kemampuan intelektual manusia sebagai inti dan objek pengaturannya. Demikian
juga dalam Hak Cipta yang merupakan bagian dari HAKI, pemahaman mengenai hak atas
kekayaan yang timbul atau lahir karena kemampuan intelektual tersebut, telah berwujud karya
cipta (Suyud Margono, 2003: 4-5).
Hukum sebagai kaidah sosial, tidak lepas dari nilai (values) yang di suatu masyarakat.
Bahkan, dapat dikatakan bahwa hukum itu merupakan pencerminan dari nilai-nilai yang berlaku
dalam masyarakat (Mochtar Kusumaatmadja, 2002: 10). Nilai-nilai itu tidak fepas dari sikap
(attitude) dan sifat-sifat yang (seharusnya) dimiliki orang-orang yang menjadi anggota
masyarakat yang sedang membangun itu. Tanpa perubahan sikap-sikap dan sifat ke arah yang
diperlukan oleh suatu kehidupan yang modern, segala pembangunan dalam arti benda fisik, akan
sedikit sekali artinya. Hal ini sudah dibuktikan oleh pemborosan-pemborosan yang terjadi di
banyak negara yang sedang berkembang yang mengabaikan aspek ini.
Bertolak dari hasil uraian tentang berbagai pendapat di atas, situasi pada masa kini sangat
kondusif bagi penciptaan suatu kepastian hukum dan pengayoman atau perlindungan hukum
yang berintikan keadilan dan kebenaran, sehingga pembangunan hukum pada umumnya, dan
perlindungan HAKI pada khususnya perlu segera ditingkatkan lebih cepat menuju terwujudnya
sistem hukum nasional yang menyeluruh dan terpadu.
GAIT/WTO merupakan serangkaian aturan permainan di bidang perdagangan
internasional yang menerapkan tata cara perdagangan antara negara-negarn anggota yang
disepakati bersama (H.S Kartadjoemena, 1996: 105). Dasar formal aspek yuridis TRIPs
Agreement terutama terdapat pada teks General Agreement on Tariffs and Trade. Dalam
perkembangannya, ada pula teks persetujuan lainnya dalam GATT/WTO yang merupakan
bagian integral dari sisteni yuridis GATT/WTO walaupun teks lainnya yang bersifat code hanya
mengikat pihak peserta perjanjian khusus tersebut (Olivier Long, 1987: 8-11 dan H.S
Kartadjoemena, 1996:108).
a. Ketentuan Umum Penegakan Hukum HAKI Dalam TRIPs Agreement
Pasal 7 Persetujuan TRIPs menyebutkan, perlindungan dan penegakan hukum HAKI
bertujuan mendorong timbulnya inovasi, pengalihan dan penyebaran teknologi dan diperolehnya
menfaat bersama antara penghasilan dan pengguna pengetahuan teknologi, dengan cara
menciptakan kesejahteraan sosial dan ekonomi serta kescilnbangan antara hak dan kewajiban.
Prinsip-prinsip pokok persetujuan TRIPs (A. Zen Umar Purba, 1999: 2) antara lain :
1) Menetapkan standar minimum untuk perlindungan dan penegakan hukum HAKI di negara-
negara peserta. Dengan demikian, negara peserta bisa menetapkan standar yang lebih tinggi
selama hal tersebut tidak bertentangan dengan persetujuan TRIPs.
2) Negara-negara peserta diharuskan memberikan perlindungan HAKI yang sama kepada warga
negaranya sendiri dan warga negara peserta lainnya. Apapun hak yang diberikan kepada
warga negaranya, juga harus diberikan pada warga negara peserta yang lain.
Persetujuan TRIPs memuat ketentuan mengenai penegakan hukum yang ketat disertai
dengan mekanisme penyelesaian perselisihan sengketa (dengan adanya Dispute Settlement
Body), yang diikuti dengan hak bagi negara yang dirugikan untuk mengambil tindakan balasan di
bidang perdagangan secara silang (crossrelatialory measures). Persetujuan TRIPS merupakan
kesepakatan internasional yang paling komprehensif dalam bidang HAKI, yang juga merupakan
perpaduan dari prinsip-prinsip asar GATT dengan ketentuan-ketentuan substantif dari
kesepakatan-kesepakatan internasional-internasional untuk perlindungan HAKI dalam suatu
kerangka aturan multilateral.
Setelah Persetujuan TRIPs, Indonesia mempunyai hukum positif tentang Hak Kekayaan
Intelektual yang baru, yaitu :
1) Undang-Undang No. 29 Tahun 2000 tentang Varietas Tanaman;
2) Undang-Undang No. 30 Tahun 2000 tentang Rahasia Dagang;
3) Undang-Undang No. 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri;
4) Undang-Undang No. 32 Tahun 2000 tentang Desain Tata letak Sirkuiot Terpadu;
5) Undang-Undang No. 14 Tahun 2001 tentang Paten;
6) Undang-Undang No. 15 Tahun 2001 tentang Merek;
7) Undang-Undang No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta.
Lahirnya beberapa Undang-Undang Hak Kekayaan Intelektual yang baru dan dianggap
telah full compliance (Bambang Kesowo, 2003: 2) terhadap ketentuan dalam TRIPs Agreement
ini tidak lepas dari kecenderungan masyarakat dunia pada umumnya dan Indonesia pada
khususnya untuk memberikan perlindungan hukum HAKI.
Mengenai unsur penegakan hukum yang lebih ketat oleh TRIPs Agreement
diintroduksikan suatu sistem penegakan hukum, seperti diatur dalam Bab III Persetujuan TRIPs
yang berjudul Penegakan HAKI. Bab ini terdiri dari 21 pasal, tersusun dalam 5 bagian. Dari
sekian banyak pasal tentang penegakan HAKI, yang terpenting adalah ketentuan-ketentuan yang
ditetapkan dalam Bagian Keempat: Pasal 51 sampai dengan Pasal 60, yang mengatur Syarat-
syarat Khusus mengenai Tindakan-tindakan di Tapal Batas Negara (Special Requirements
Related to Border Measures).
Diakui bahwa prosedur penegakan hukum diperlukan untuk melindungi hak kekayaan
intelektual, selain untuk meningkatkan tingkat penuntutan hukum subtantif. Prosedur penegakan
hukum terperinci tedapat dalam Bagian III. Perjanjian TRIPs mengenai standar prosedur
penegakan hukum yang diberlakukan pada negara-negara anggota WTO penandatangan TRIPS
Agreement untuk diberlakukan dalam sistem hukum nasionalnya masing-masing.
Bahkan jika dalam suatu negara, standar perlindungan kekayaan intelektual yang sesuai
telah ditentukan dalam hukum nasional, permasalahan tidak dapat diselesaikan kecuali terjamin
adanya prosedur penegakan hukum. Sampai pada saat Perjanjian TRIPS ditandatangani, tidak
ada perjanjian internasional mengenal kekayaan intelektual, termasuk Konvensi Paris dan Bern,
yang mencangkup secara lengkap tentang penegakan hukum kekayaan intelektual. Hal inilah
yang menyebabkan ketentuan-ketentuan dalam Perjanjian TRIPs mengatur tentang prosedur
penegakan hukum bagi perlindungan hak kekayaan intelektual.
Dalam Perjanjian TRIPS menetapkan kewajiban umum, para anggota harus menjamin
bahwa prosedur penegakan hukum dapat diterapkan dalam hukum negara-negara anggota,
sebagai berikut :
1) Mengijinkan tindakan efektif terhadap setiap perbuatan pelanggaran hak kekayaan intelektual
dalam Pasal 41 Ayat (1), Part III: Enforcement of Intellectual Property Right Section 1)
2) Prosedur mengenai penegakan hukum hak kekayaan intelektual haruslah jujur dan adil, atau
tidak boleh terjadi penundaan yang tak terjamin dalam Pasal 41 Ayat (2), Section 1: General
Obligation Article 41 (1) TRIPs Agreement, dan
3) Para pihak yang berperkara mempunyai kesempatan meninjau kembali melalui lembaga
yudisial dari putusan administratif final dalam Pasal 41, Ayat (4), Section 1: General
Obligation Article 41 (1) TRIPS Agreement
d. Prosedur Pidana
Dalam Peranjian TRIPs menetapkan tentang Prosedur Pidana atau Criminal Procedure
(Section 5: Criminal Procedure, Article 61 TRIPs Agreement) untuk diterapkan pada tindakan
pelanggaran substansial peraturan Hak Kekayaan Intelektual, yang mewajibkan bagi negara-
negara anggota, yaitu :
1) Para anggota harus menyediakan untuk prosedur pidana dan hukuman untuk diberlakukan
setidaknya dalam kasus pemalsuan merek dagang atau pembajakan hak cipta yang disengaja
dalam skala komersial, dan
2) Para anggota dapat menyediakan untuk prosedur pidana dan hukuman untuk diberlakukan
dalam kasus lain atas pelanggaran hak kekayaan intelektual, khususnya dimana hal tersebut
dilakukan dengan sengaja dan berdasar skala komersial.
Sebagaimana disebut dalam Bab IV, bagian III dari perjanjian TRIPs mengatur tentang
kewajiban negara anggota untuk menyediakan prosedur dan upaya hukum dalam hukum
nasionalnya untuk menjamin bahwa HAKI dapat secara sefektif ditegakan baik oleh pemegang
hak asing maupun domestik. Untuk menyesuaikan dengan perjanjian TRIPs untuk Prosedur
Persamaan dan Keadilan (fair and equitable procedure), beberapa ketentuan dalam perundang-
undangan HAKI di Indonesia telah diamandemen secara khusus yang menghasilkan beberapa
perubahan mendasar dalam hukum acara di Indonesia. Beberapa ciri-ciri khusus yang
membedakan dengan hukum acara umum yaitu :
a. Semua kasus perdata HAKI berada di bawah jurisdiksi Pengadilan Niaga.
b. Masa pemberian putusan baik di pengadilan tingkat pertama maupun pengadilan tingkat
lebih tinggi dibatasi oleh waktu tertentu;
c. Jika para pihak tidak puas dengan putusan hakim tingkat pertama tidak diajukan banding,
namun langsung kasasi ke Mahkamah Agung (dimaksudkan untuk menghindari penundaan
waktu dari pihak yang dikalahkan);
d. Ada kemungkinan dilaksanakan penetapan sementara berupa suatu perintah pengadilan yang
diajukan sebelum kasus tersebut diajukan ke Pengadilan Niaga, khususnya untuk
mengumpulkan barang bukti dan mencegah barang-barang hasil pelanggaran masuk
dipasaran;
e. Bentuk dan pelanggaran HAKI secara spesifik disebut dalam perundang-undangan HAKI.
Berhubungan dengan Pasal 42 Perjanjian TRIPs, hukum nasional HAKI harus
memungkinkan pemegang hak untuk mengajukan gugatan kepada pelanggaran hak. Gugatan ini
harus diajukan kepada Pengadilan Niaga (Commercial Court) dan pemegang hak dapat meminta
penyitaan terhadap barang-barang hasil pelanggaran.
Dalam hal perkembangan hukum Pembuktian (evidence) yang disyaratkan dalam Pasal
43 Perjanjian TRIPs menurut kami belum secara sepenuhnya dipenuhi oleh peraturan perundang-
undangan HAKI di Indonesia. Masalah ini beralasan untuk menghindari adanya overlap ataupun
tumpang tindih berlakunya hukum pembuktian dalam sistem Hukum Pidana maupun hukum
Perdata Nasional. Ketentuan mengenai alat bukti masih sangat terbatas pada ketentuan pada
praktek hukum, putusan pengadilan dan Undang-Undang, apabila ditentukan berdasarkan
Undang-Undang, maka ketentuan yang mengatur adalah UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum
Acara Pidana Indonesia dan Herziene Indonesich Reglemen)/ Hukum Acara Perdata Indonesia.
Untuk menyesuaikan dengan ketentuan dalam Pasal 44 perjanjian TRIPs, Undang-Undang
HAKI di Indonesia telah mengatur tersedianya suatu perintah pengadilan (Injuctions) berupa
penetapan sementara untuk menghindari kerugian yang lebih besar. Ketentuan memberikan
wewenang pada Pengadilan Niaga untuk memerintahkan pelaku pelanggaran untuk
menghentikan kegiatan pelanggaran.
Tentang masalah ganti kerugian, Pemegang Hak atau ahli warisnya dapat mengajukan
gugatan ganti kerugian ke Pengadilan Niaga (Misalnya berdasarkan Pasal 56 ayat (3) dan 58
Undang-Undang No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta (UUHC 2002)), hal mana ketentuan ini
telah sesuai dengan Pasal 45 Perjanjian TRIPs). Berdasarkan Hukum Acara Pidana Indonesia,
memberikan hak kepada Pengadilan untuk memerintahkan barang-barang yang diduga hasil
pelanggaran pihak lain untuk dilenyapkan atau dimusnahkan. (Ketentuan ini sebagaimana
diatur Pasal 46 Perjanjian TRIPS) Dalam pengertian ini bentuk penyitaan berupa
pengambilalihan dan/atau menahan benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau tidak
berwujud, yang digunakan untuk tujuan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan, dan
peradilan sebagaimana ditentukan dalam UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
3. Penetapan Sementara
Secara substansi, Penetapan Sementara diatur dalam Pasal 50 Perjanjian TRIPs. Sesuai
dengan Pasal 50 perjanjian TRIPs, (Misalnya UUHC 2002 memberikan hak kepada pengadilan
mengeluarkan penetapan sementara untuk mencegah kerugian yang lebih besar bagi Pemegang
Hak). Bagaimanapun secara formal ketentuan ini belum diundangkan dalam hukum acara
perdata maupun hukum acara niaga.
Disamping itu ditentukan juga dalam Pasal 67 sampai dengan Pasal 70 UUHC 2002
mengatur bahwa berdasarkan permintaan pihak yang haknya dilanggar, Pengadilan Niaga dapat
mengeluarkan putusan sementara untuk melakukan tindakan antara lain:
a. Mencegah masuknya barang barang yang diduga hasil pelanggaran hak cipta.
b. Menyimpan bukti-bukti yang berkaitan dengan pelanggaran hak cipta.
c. Meminta pihak yang haknya dilanggar untuk membawa bukti-bukti kepemilikan atas hak
cipta dan hak terkait.
Untuk menyesuaikan dengan Pasal 48 Perjanjian TRIPs, UUHC 2002 juga memberi hak
untuk mengajukan tuntutan ganti kerugian atas kerugian yang timbul dari Penetapan Sementara
yang dibatalkan (Pasal 70 Undang-Undang No. 19 Tahun 2002).
Untuk memenuhi ketentuan-ketentuan tentang “Persyaratan khusus Sehubungan dengan
Tindakan hukum atas pelanggaran HAKI pada wilayah Perbatasan negara” (Special
Requirements Related to Border Measures) sebagaimana telah diatur dalam Bagian II, Bab 4
Perjanjian TRIPs, maka ditambahkan ketentuan dalam satu bab khusus pada Undang-Undang
Kepabeanan Tahun 1995 (Undang-undang No. 10 Tahun 1995). Bab x dari undang-undang
Kepabeanan tersebut terdiri dari ketentuan tentang larangan dan pembatasan ekspor-impor dan
pengawasan ekspor-impor atas barang-barang hasil pelanggaran HAKI.
Ditjen Bea dan Cukai mencegah peredaran barang-barang yang melanggar HKI yaitu
dengan melakukan tindakan penangguhan sementara waktu pengeluaran barang impor atau
ekspor dari kawasan pabean. (Pasal 54-64 UU No. 10 Tahun 1995) Tindakan tersebut sesuai
dengan pasal 51 perjanjian TRIPs. Tindakan penangguhan dapat dilaksanakan berdasarkan
Perintah dari Ketua Pengadilan Negeri atau Sistem Peradilan (Pasal 54 Undang-Undang Nomor
10 Tahun 1995) atau berdasar wewenang (ex-official) oleh Pejabat Bea dan Cukai (Pasal 64
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995).
Dengan demikian Ditjen Bea dan Cukai sebagai penjaga gerbang negara (the guardiant
the gate) ikut bertanggung jawab untuk memberikan perlindungan, baik bagi para pemilik hak
(right owner) maupun melindungi hak-hak negara dalam bentuk pelarian pajak (tax evasion)
serta sebagai penegak hukum di perbatasan (border enforcement) pada saat barang yang
dilindungi hak kekayaan intelektual melintasi perbatasan negara.
Sebagaimana dipersyaratkan dalam Pasal 61 tentang Criminal Procedure (Undang-
undang Nomor 8 Tahun 1981 dan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002). Persetujuan TRIPs,
Sanksi pidana untuk pelanggaran Hak juga diberlakukan di Indonesia dimana para pelanggar
dengan sengaja melanggar HAKI pihak lain. Perundang-undangan HAKI Indonesia,
memberlakukan beberapa sanksi yang cukup serius untuk salah satu bidang kerangka kekayaan
intelektual ini. Hak untuk mengajukan gugatan untuk perkara perdata/Niaga yang dilakukan oleh
Penggugat, tidak mengurangi hak penggugat menjadi penuntut yang memberikan kompetensi
kepada negara sebagai hak Negara untuk melakukan tuntutan pidana terhadap pelanggaran Hak.
Dalam hal ini terdapat peran lembaga Kepolisian (Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2002) serta Kejaksaan (Surat Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum Nomor B-
211/E/EJP/04/2002 taggal 2 April 2002) dalam rangka kewenangan negara dalam penegakan
hukum pidana Hak Kekayaan Intelektual.
Di samping beberapa standarisasi penegakan hukum yang diamanatkan dalam TRIPs
Agreement, juga terdapat beberapa ketentuan mekanisine alternatif penyelesaian sengketa di luar
pengadilan yang dianggap memadai dengan tujuan untuk membatasi pola penyelesaian sengketa
yang adjudikatif melalui Pengadilan.
Sebagaimana ditentukan dalam Pasal 65, bahwa selain penyelesaian sengketa melalui
Pengadilan Niaga, Para pihak dapat menyelesaikan perselisihan tersebut melalui arbitrase atau
alternatif penyelesaian sengketa/ ADR.
Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa adalah Dasar pengaturan alternatif penyelesaian segketa dan arbitrase sebagai suatu
hukum yang berlaku di Indonesia. Artinya apabila para pihak ingin menyelesaiakan sengketanya
harus mengacu dan tunduk pada hukum acara dan seluruh syarat prosedural dalam Undang-
Undang No. 30 Tahun 1999, bukan tunduk pada UndangUndang Hak Kekayaan Intelektual.
Secara singkat Alternatif Penyelesaian sengketa (ADR)/ Alternative Dispute Resolution)
adalah lembaga penyelesian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati
bersama oleh para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara : konsultasi,
negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli (Pasal I butir 10 UU No. 30 Tahun 1999).
Dengan landasan hukum bagi pelaksanaan alternatif penyelesaian sengketa/ADR inilah,
maka memberikan kepastian hukum bagi berlakunya lembaga penyelesaian alternatif di luar
pengadilan yang diharapkan prosedur informal dan efesien (Law Reform in Indonesia, 2000: 68).
Di lain pihak hal ini memberikan kemudahan bagi masyarakat untuk berperan serta dan
mengembangkan mekanisme penyelesaian konfliknya sendiri dan mendapatkan pilihan untuk
menyelesaikan sengketa yang mungkin timbul. Dengan demikian Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa, telah diketahui sebagai suatu institusi atau lembaga yang dipilih para
pihak yang “mengikat” (binding), apabila timbul beda pendapat atau sengketa (Suyud Margono,
2000: 92-93).
Mengamati kegiatan bisnis yang ratusan jumlah transaksinya setiap hari, tidak mungkin
dihindari terjadinya sengketa (dispute, difference) antara para pihak yang terlibat. Setiap jenis
sengketa apapun yang terjadi, selalu menuntut pemecahan dan penyelesaian yang memadai.
Semakin banyak dan luas kegiatan perdagangan, semakin banyak terjadi frekuensi sengketa.
Berarti, semakin banyak sengketa yang harus diselesaikan. Demikian pula sengketa-sengketa
dagang yang berkaitan dengan Hak Kekayaan Intelektual juga menuntut penyelesaian sengketa
yang cepat.
Sebagaimana telah ditentukan dalam seluruh ketentuan Undang-Undang HAKI, bahwa
selain penyelesaian sengketa melalui Pengadilan Niaga, Para Pihak dapat menyelesaikan
perselisihan tersebut melalui arbitrase atau alternatif penyelesaian sengketa. Persoalan landasan
hukum pelembagaan ADR sebagai bentuk penyelesaian sengketa telah diupayakan melalui
perangkat Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 (Suyud Margono, 2000: 107).
Menurut Priyatna Abdurrasyid dalam bukunya “The Arbitration Law of Indonesia”
halaman 86, menyatakan: Alternative Dispute Resolution (ADR), the acronym chat has been
adopted to describe any manner resolving dispute and have been defined as a set of practices
that aim :
a. To permit (legal) disputes to be resolved outsides the court for the benefit of all disputants;
b. To reduced the cost of conventional litigation and the delays to which it is ordinarily
subjected;
c. To prevent (legal) disputes that would otherwise likely be brought to court.
Dalam Undang-Undang No. 30 Tahun 1999, disebutkan bahwa alternatif penyelesaian
sengketa (ADR) adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur
yang disepakati bersama oleh para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara
konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli (Pasal 1 butir 10 Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 1999).
Sengketa HAKI, perkembangannya bukan hanya, sengketa tentang piracy ataupun
intellectual property infringement. Dalam dunia bisnis yang terkait dengan HAKI, misalnya
asistensi teknis teknologi atas invensi baru suatu produk yang dilindungi Paten, desian industri,
reputasi bisnis atas merek tertentu, Waralaba, dalam level nasional ataupun multinasional
dibutuhkan penyelesaian sengketa dengan pendekatan bisnis atau b to b settlement yang
amicable solution bagi para pihak yang berkepentingan atas bisnis atau sengketa tersebut (Suyud
Margono, 2001: 6).
Kontrak bisnis internasional melibatkan para pihak yang tunduk pada dua atau lebih
sistem hukum nasional yang berbeda. Apabila terjadi sengketa dalam pelaksanaan kontrak
tersebut, akan timbul masalah hukum dalam menyelesaikannya. Masalah yang sering timbul
adalah menentukan sistem hukum negara mana yang akan digunakan. Persoalan ini lazinmya
dikenal sebagai “the proper law or contract”, yaitu pilihan hukum yang seharusnya digunakan
dalam menyelesaikan sengketa dari pelaksanaan kontrak antara dua atau lebih sistem hukumnya
yang beda (Sudargo Gautama, 1987: 11).
Perubahan atas pengaturan Undang-Undang HAKI, telah mengakibatkan terbentuknya
“lex specialis” khususnya terhadap Hukum Acara Perdata yang berlaku. Perubahan tersebut
dilakukan atas dasar kewajiban yang diatur dalam TRIPs Agreement, dilatar belakangi adanya
tuntutan kepentingan perdagangan internasional yang menghendaki kecepatan penyelesaian
perkara-perkara HAKI (Suwidya Abdullah, 2003: 3).
C. PENUTUP
GATT/WTO dapat dilihat dari segi yuridis sebagai suatu perjanjian internasional atau
international treaty. Seperti yang telah dikemukakan terdahulu, memang sesuai urutan sejarah
mengenai terwujudnya GATT/WTO, segi yuridis ini merupakan aspek pertama yang timbul
dengan dicapainya suatu persetujuan. Sebagai suatu perjanjian internasional, GATT/WTO
merupakan serangkaian aturan permainan di bidang perdagangan internasional yang menerapkan
tata cara perdagangan antara negara-negara anggota yang disepakati bersama.
Aturan main yang terlalu ketat akan mengambil risiko bahwa akan terlalu banyak negara
yang akan melanggar karena menghadapi kesulitan untuk mematuhinya, sehingga secara praktis
aturan tersebut tidak dapat dihormati. Sebaliknya, apabila aturan permainan tersebut semakin
tidak berbentuk, dan prinsip dasarnya menjadi kabur akibat banyaknya perkecualian terhadap
prinsip tersebut, akan timbul keadaan yang tidak adil antara mereka yang mematuhi dan mereka
yang menggunakan perkecualian terhadap prinsip tersebut.
Dalam perkembangannya masalah juridis sebagai aturan main (rule of the games) secara
internasional ini juga akan menimbulkan sengketa. Dalam GATT/WTO ini pendekatan yang
diambil adalah pendekatan pragmatis dengan memusatkan pada prinsip umum yang didampingi
oleh perkecualian yang diperbolehkan, tetapi dengan syarat-syarat yang harus dipenuhi, dan
dalam banyak hal, harus mendapatkan kesepakatan bersama (konsensus). Begitu pula menurut
Oliver Long sebagai mantan Direktur Jenderal GATT dalam menggambarkan prinsip-prinsip
GATT tersebut secara abstrak tetapi juga dengan keluwesan implementasi yang diperlukan agar
GATT dapat tetap berfungsi secara riil.
Dengan mengesahkan Persetujuan GATT/WTO termasuk didalamnya mengatur
kesepakatan dalam persetujuan TRIPs, berarti Indonesia menjadikan ketentuan-ketentuan yang
tercantum di dalamnya sebagai bagian dari hukum nasional Indonesia. Hal itu berarti, bahwa
ketentuan-ketentuan tersebut harus pula dilaksanakan dan ditaati oleh semua pihak di Indonesia.
Diakui bahwa prosedur penegakan hukum diperlukan disamping untuk melindungi hak kekayaan
intelektual, selain itu untuk meningkatkan standar minimum pengaturan, tingkat prosedur
administratif, penyelesaian sengketa serta upaya hukum secara substantif yang terangkum dalam
persetujuan TRIPS.
Standar perlindungan kekayaan intelektual bagi suatu Negara anggota yang sesuai telah
ditentukan dalam hukum nasional, permasalahan tidak dapat diselesaikan begitu saja kecuali
terjamin adanya prosedur penegakan hukum. Sampai pada saat Perjanjian TRIPS ditandatangani,
tidak ada perjanjian internasional mengenai kekayaan intelektual, termasuk Konvensi Paris dan
Bern, yang mencangkup secara lengkap tentang penegakan hukum kekayaan intelektual. Hal
inilah yang menyebabkan ketentuan-ketentuan daam Perjanjian TRIPs mengatur ketentuan
secara umum tentang prosedur penegakan hukum bagi perlindungan kekayaan intelektual.
D. DAFTAR PUSTAKA
1. Buku
Anne, Fitzgerald, Intellectual Property Law, 1st Edition, Sydney : LBC Information Services,
1999.
Arpad, Bogsch, The Bern Convention for The Protection of Literary and Artistic Works from
1886 to 1986, Geneva : WIPO, 1986.
Bambang Kesowo, Pengantar Umum Mengenai HAKI di Indonesia, Sekretariat Negara RI, tanpa
Tahun Terbit.
Bruce A. Lehman, Intellectual Property and The National Information Infrastructure., The
report of the Working Group on Intellectual property Rights, September 2003.
H. S. Kartadjoemena, GATT dan WTO System, Forum dan Lembaga Internasional Di bidang
Perdagangan, Jakarta : UI-Press, 1996.
Indonesia - Australia Specialised Training Project (IASTP) Phase II : Reading Material Short
Course in Intellectual Property Rights, conducted by Asian Law Group Pty Ltd., 2000.
M. Richardson & S. Ricketson, Intellectual Property : Cases, Materials and Commentary, 2nd
Edition, Sydney : Butterworths, 1998.
Olivier Long, Law and Its Limitations in the GATT Multilateral Trade System, Dordrecht :
Martius Nijhoff, 1987.
Paul Goldstein, Hak Cipta : Dahulu, Kini dan Esok, terjemahan Masri Maris, Jakarta : Yayasan
Obor Indonesia, 1996.
Suyud Margono, Alternative Dispute Resolution (ADR) dan Arbitrase Pelembagaan dan Aspek
Hukum, Jakarta : PT. Ghalia Indonesia, 2000.
__________, Hukum dan Perlindungan Hak Cipta, Jakarta : Novindo Pustaka Mandiri, 2003.
A. Zen Umar Purba, Menyambut Millenium III : TRIPS, Dimensi HaKI dan Kesiapan Kita.,
Newsletter No. 39, X / (Desember, 1999).
Henry Campbell Black, Black’s Law Dictionary, St. Paul Minn : West Publishing Co, 5 th edition,
(1979).
Priyatna Abdurrasyid, The Arbitration Law of Indonesia, dalam Prospek dan Pelaksanaan
Arbitrase di Indonesia., Bandung. Citra Aditya Bakti, 2001.
Suyud Margono, Berdayakah Alternative Dispute (ADR) Dalam Penyelesaian Sengketa HAKI.,
Buletin HAKI, Vol 3 No. 2. (Des 2001).
Suwidya Abdullah, Beberapa Permasalahan Dalam Litigasi Perkara HAKI di Tingkat Kasasi.,
Buletin HAKI, Volume 4 No. 1 (Juli 2003).
World Bank. Law Reform in Indonesia, Research Study : Diagnostic Assessment of Legal
Development in Indonesia, prepared by, Law Alibudiardjo, Nugroho, Reksodiputro in
cooperation with Law Firm Mochtar, Karuwin & Komar, Jakarta: published
CYBERConsult, (2000).
WTO. Fact File - WTO information and Media Relations Division, 2nd edition, revised (April
2001).
Agreement on Trade - Related Aspects of Intellectual Property Right, Marrakesh, 15 April 1994.
Indonesia, Undang-Undang No. 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement Establishing The
World Trade Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia)
__________, Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa.
4. Internet / Website
www.wipo.org.
www.wto.int