You are on page 1of 20

1

MEDIASI PENAL DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA


Oleh: Lalu Parman
Fakultas Hukum Universitas Mataram

A. Pendahuluan

Dalam Undang-undang Nomor No. 25 Tahun 2004 tentang Rencana

Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005 -2025 (RPJP) ditentukan

bahwa pembangunan hukum diarahkan pada makin terwujudnya sistem hukum

nasional yang mantap bersumber pada Pancasila dan Undang Undang Dasar

Negara Republik Indonesia 1945, yang mencakup pembangunan materi hukum,

struktur hukum termasuk aparat hukum, sarana dan prasarana hukum;

perwujudan masyarakat yang mempunyai kesadaran dan budaya hukum yang

tinggi dalam rangka mewujudkan negara hukum; serta penciptaan kehidupan

masyarakat yang adil dan demokratis.

Pembangunan hukum dilaksanakan melalui pembaruan hukum dengan tetap

memperhatikan kemajemukan tatanan hukum yang berlaku dan pengaruh

globalisasi sebagai upaya untuk meningkatkan kepastian dan perlindungan

hukum, penegakan hukum dan HAM, kesadaran hukum, serta pelayanan hukum

yang berintikan keadilan dan kebenaran, ketertiban, dan kesejahteraan dalam

rangka penyelenggaraan negara yang makin tertib dan teratur sehingga

penyelenggaraan pembangunan nasional akan makin lancar.

Sejalan dengan arah politik hukum nasional tersebut di atas, maka sistem

hukum pidana nasional perlu untuk dilakukan reevaluasi dan reorientasi dasar-

dasar pemikiran yang disesuaikan dan berlandaskan pada nilai filosofis,


2

sosiologis dan kultural bangsa Indonesia dengan memperhatikan perkembangan

dunia secara global. Pembaruan hukum pidana harus dilakukan secara

menyeluruh yang meliputi pembaruan konsep nilai, pokok-pokok pemikiran dan

wawasan; pembaruan hukum pidana materiel, hukum pidana formil dan hukum

pelaksanaan pidana, pembaruan organisasi dan tata laksana lembaga

penegakan hukum, mekanisme, koordinasi dan kerjasama, sarana prasarana;

kesadaran dan perilaku hukum serta pembinaan pendidikan hukum yang

mengacu pada ilmu hukum pidana nasional.

Perkembangan ilmu hukum pidana telah beranjak dari pemikiran-pemikiran

konservatif dengan mengikuti perkembangan masyarakat dan kebutuhan hukum

masyarakat. Pemikiran Eropa Continental centris telah dipengaruhi oleh

pemikiran Anglo Saxon. Adagium “Ultimatum Remidium” telah bergeser ke arah “

Primum Remidium” dimana hukum pidana sebagai sarana untuk mengatasi

persoalan sosial digunakan bersama-sama dan terintegrasi dengan bidang-

bidang hukum yang lain seperti hukum perdata, hukum administrasi dan lain-lain.

Untuk itu maka hukum pidana perlu melakukan penyesuaian dengan

mengadopsi pemikiran-pemikiran yang lazim digunakan dalam hukum perdata

maupun hukum administrasi.

Pengalaman penerapan hukum pidana selama ini telah menjelaskan kepada

kita bahwa perkara pidana yang terjadi di masyarakat yang diselesaikan dengan

menggunakan sarana hukum pidana, secara yuridis formal telah selesai akan

tetapi secara sosial masih meninggalkan persoalan-persoalan dan sebaliknya


3

ada perkara yang secara sosial telah selesai akan tetapi untuk menegakkan

hukum pidana maka harus diproses berdasarkan hukum pidana.

Dalam pranata lokal penyelesaian sengketa (termasuk perkara pidana)

terutama di daerah pedesaan kerap kali diselesaikan melalui perdamaian dengan

menggunakan mediasi perangkat desa (karma adat) yang melibatkan tokoh-

tokoh masyarakat.

Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka penyelesaian perkara pidana

dengan menggunakan mediasi yang kemudian disebut “Mediasi Penal”

merupakan perkembangan pemikiran dalam ilmu hukum pidana yang perlu

ditelaah, dikaji dalam rangka mendapatkan model penyelesaian perkara pidana

demi terwujudnya kepastian, keadilan dan kemanfaatan baik bagi pelaku, korban

dan masyarakat, bangsa dan Negara.

B. Sistem Peradilan Pidana

Sistem peradilan pada hakikatnya identik dengan penegakan hukum, karena

proses peradilan pada hakikatnya suatu proses penegakan hukum. Jadi pada

hakikatnya identik dengan “Sistem Kekuasaan kehakiman” karena kekuasaan

kehakiman pada dasarnya merupakan kekuasaan atau kewenangan untuk

menegakkan hukum. Apabila difokuskan dalam bidang hukum pidana dapatlah

dikatakan bahwa “Sistem Peradilan Pidana (Crimenal Justice System) pada


4

hakikatnya merupakan sistem penegakan hukum pidana yang pada hakikatnya

identik dengan Sistem Kekuasaan Kehakiman di bidang Hukum Pidana 1

Sistem peradilan atau sistem penegakan hukum dilihat secara integral

merupakan satu kesatuan berbagai subsistem yang terdiri dari substansi hukum

(legal substance), struktur hukum (legal structure) dan budaya hukum (legal

culture).2 Sebagai suatu sistem penegakan hukum proses peradilan terkait erat

dengan ke tiga komponen tersebut yaitu norma hukum atau peraturan

perundang-undangan, lembaga atau aparat penegak hukum beserta mekanisme

prosedur administrasinya dan nilai-nilai budaya hukum. Termasuk dalam nilai-

nilai budaya hukum dalam konteks penegakan hukum adalah nilai filosofis, nilai-

nilai yang hidup dalam masyarakat dan kesadaran atau sikap perilaku hukum,

perilaku sosial dan pendidikan hukum.

Dilihat dari aspek substansi hukum (legal substance), sistem peradilan pidana

pada hakikatnya merupakan suatu sistem penegakan hukum pidana yang

meliputi hukum pidana materiel, hukum pidana formil dan hukum pelaksanaan

pidana, Dengan demikian maka sistem peradilan pidana secara substansi

merupakan integrasi sistem peraturan perundang-undangan dibidang hukum

pidana.

Dari aspek struktural (legal structure) sistem peradilan pidana pada dasarnya

merupakan sistem bekerjanya atau berfungsinya lembaga/institusi atau badan-

badan, aparat penegak hukum dalam menjalankan fungsinya atau


1
Barda Nawawi Arief, Reformasi Sistem Peradilan (Sistem Penegakan Hukum) di Indonesia, Badan Penerbit
Undip, .Semarang, hal: 2
2
Lihat L. Friedman, 1984, What is a Legal system dalam American Law, WW Norton & company, New York.
5

kewenangannya masing-masing. Dari perspektif sistem peradilan pidana berarti

secara struktural juga merupakan sistem administrasi atau penyelenggaraan dari

berbagai struktur hukum pidana atau profesi penegak hukum pidana.

Sistem Peradilan Pidana jika dilihat sebagai sistem kekuasaan menegakkan

hukum pidana atau sistem kekuasaan kehakiman di bidang hukum pidana maka

sistem peradilan pidana merupakan serangkaian perwujudan penegakan hukum

pidana yang terdiri dari: 1). penyidikan, 2). penuntutan, 3). memeriksa, mengadili

dan memutuskan, dan 4). Pelaksanaan putusan pidana, Ke empat sub sistem di

atas merupakan satu kesatuan penegakan hukum pidana yang integral,

termasuk di dalamnya adalah profesi advokat sebagai bagian dari penegakan

hukum.

Dari aspek budaya hukum (legal culture) sistem peradilan pidana pada

dasarnya merupakan perwujudan dari sistem nilai-nilai budaya hukum yang

meliputi filsafat hukum, asas-asas hukum, teori hukum, ilmu hukum, dan

kesadaran hukum atau perilaku hukum. Nilai-nilai budaya hukum tidak terlepas

dari nilai-nilai kemasyarakatan atau sistem sosial.

C. Mediasi Penal Dalam Sistem Peradilan Pidana

Mediasi adalah proses negosiasi pemecahan masalah dimana pihak luar

yang tidak memihak (Impartial) dan netral bekerja dengan pihak yang

bersengketa untuk membantu mereka memperoleh kesepakatan.3

3
Gary Goodfaster, 1993, Negosiation And Mediating: Guide to negosiation and negotiated dispute resolution,
UI, .hal: 11
6

Dalam Peraturan Mahkamah Agung No. 01 Tahun 2008 tentang Prosedur

Mediasi di Pengadilan, Pasal 1 angka 7 dirumuskan bahwa Mediasi adalah cara

penyelesaian sengketa melalui proses perundingan untuk memperoleh

kesepakatan para pihak dengan dibantu oleh seorang mediator. Mediator adalah

pihak netral yang membantu para pihak dalam proses perundingan guna mencari

berbagai kemungkinan penyelesaian sengketa tanpa menggunakan cara

memutus atau memaksakan sebuah penyelesaian.

Suyud Margono, menyatakan bahwa mediasi mengandung unsur-unsur

sebagai berikut :

1. Mediasi adalah sebuah proses penyelesaian sengketa berdasarkan perun-

dingan.

2. Mediator terlibat dan diterima oleh para pihak yang bersengketa dalam

perundingan.

3. Mediator bertugas membantu para pihak yang bersengketa untuk mencari

penyelesaian.

4. Mediator tidak mempunyai kewenangan membuat keputusan selama

perundingan berlangsung.

5. Tujuan mediasi adalah untuk mencapai atau menghasilkan kesepakatan yang

dapat diterima pihak-pihak yang bersengketa guna mengakhiri sengketa.4

Dengan demikian mediasi adalah upaya penyelesaian sengketa para pihak

dengan kesepakatan pertama melalui mediator yang bersifat netral, dan tidak

membuat keputusan atau kesimpulan bagi para pihak tetapi menunjang fasilitator

4
Suyud Margono, 2000, Alternative Dispute resolution dan Arbitrase: Proses Pelembagaan dan Aspek Hukum,
Ghalia Indonesia Jakarta, hal 59
7

untuk terlaksananya dialog antara para pihak dengan suasana keterbukaan,

kejujuran, dan tukar pendapat untuk tercapainya mufakat. Dalam mediasi ini

yang memainkan peran utama adalah pihak-pihak yang bertikai. Pihak ketiga,

yaitu mediator, hanya berperan sebagai pendamping dan penasehat,

menyediakan fasilitas bagi pihak-pihak dalam negosiasi untuk mencapai

kesepakatan.

Untuk pelaksanaan mediasi di Indonesia, Mahkamah Agung Republik

Indonesia mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung No. 01 Tahun 2008

tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan. Dasar pertimbangan dari Peraturan

Mahkamah Agung adalah sebagai berikut :

1. Bahwa mediasi merupakan salah satu proses penyelesaian sengketa yang

lebih cepat dan murah, serta dapat memberikan akses yang lebih besar

kepada para pihak menemukan penyelesaian yang memuaskan dan

memenuhi rasa keadilan.

2. Bahwa pengintegrasian mediasi ke dalam proses beracara di pengadilan

dapat menjadi salah satu instrumen efektif mengatasi masalah penumpukan

perkara di pengadilan serta memperkuat dan memaksimalkan fungsi lembaga

pengadilan dalam penyelesaian sengketa di samping proses pengadilan yang

bersifat memutus (ajudikatif).

3. Bahwa hukum acara yang berlaku, baik Pasal 130 HIR maupun Pasal 154

RBg, mendorong para pihak untuk menempuh proses perdamaian yang dapat

diintensifkan dengan cara mengintegrasikan proses mediasi ke dalam

prosedur berperkara di Pengadilan Negeri.


8

4. Bahwa sambil menunggu peraturan perundang-undangan dan

memperhatikan wewenang Mahkamah Agung dalam mengatur acara

peradilan yang belum cukup diatur oleh peraturan perundang-undangan,

maka demi kepastian, ketertiban, dan kelancaran dalam proses

mendamaikan para pihak untuk menyelesaikan suatu sengketa perdata,

dipandang perlu menetapkan suatu Peraturan Mahkamah Agung.

Walaupun pada umumnya penyelesaian sengketa melalui mediasi hanya ada

dalam sengketa keperdataan, namun dalam praktek perkara pidana juga sering

dilselesaikan di luar pengadilan melalui berbagai diskresi aparat penegak hukum

atau melalui mekanisme perdamaian atau lembaga pemaafan yang ada di

masyarakat seperti musyawarah desa, musyawarah keluarga, proses adat dan

lain-lain.

Dalam perkembangan wacana teoritik maupun pembaruan hukum pidana di

berbagai Negara seperti ………………………………………………………………,

ada kecenderungan kuat untuk menggunakan mediasi penal sebgai salah satu

alternatif penyelesaian masalah di bidang hukum pidana. Mediasi penal (penal

mediation) disebut juga dengan istilah “mediation in criminal case” atau

“mediation in penal matters” atau “straftbemiddeling”. Sering juga disebut debgan

istilah “Victim Offrnder Mediation” karena mempertemukan antara korban dan

pelaku tindak pidana.


9

Menurut Deltev Freshee, meningkatnya penggunaan restitusi dalam proses

pidana menunjukkan bahwa perbedaan antara hukum pidana dan perdata tidak

begitu besar dan perbedaan itu menjadi tidak berfungsi.5

Barda Nawawi arief, menjelaskan bahwa mediasi pidana yang dikembangkan

bertolak dari ide dan prinsip kerja (working principles) sebagai berikut:

a. Penanganan konflik (Conflict Handling/Konfliktbeitung)

Tugas mediator adalah membuat para fihak melupakan kerangka

hukum dan mendorong mereka terlibat dalam proses komunikasi. Hal ini

didasarkan pada ide bahwa kejahatan telah menimbulkan fonflik

interpersonal . Konflik itulah yang dituju oleh proses mediasi

b. Berorientasi pada proses (Process Orientation; Prozessorientierung)

Mediasi penal lebih berorientasi pada kualitas proses dari pada hasil,

yaitu menyadarkan pelaku tindak pidana akan kesalahannya, kebuntuan-

kebuntuan konflik terpecahkan, ketenangan korban dari rasa takut dan

sebagainya

c. Proses informal (Informal Proceeding-Informalitat)

Mediasi penal yang merupakan suatu proses informal, tidak bersifat

birokratis, menghindari prosedur hukum yang ketat.

d. Ada partisipasi aktif dan otonom para pihak (Active and Autonomous

Participation – Parteiautonomie/Subjectivierung)

Para fihak (pelaku dan korban) tidak dilihat sebagai obyek dari

prosedur hukum pidana tetapi lebih sebagai subyek yang mempunyai

5
Barda Nawawi arief, 2008, Mediasi Penal Penyelesaian Perkara di Luar Pengadilan, Pustaka Magister,
Semarang, hal: 4
10

tanggung jawab pribadi dan kemampuan untuk berbuat. Mereka diharapkan

berbuat atas kehendaknya sendiri6

Dalam “Explanatory Memorandum” dari Rekomendasi Dewan Eropa No.

(99) 19 tentang Mediation in penal Matters” dikemukakan beberapa model

mediasi penal sebagai berikut:7

a. Informal mediation

b. Traditional village or tribal moots

c. Victim-offender Mediation

d. Reparation negotiation programmers

e. Community panels or courts

f. Family and community group confrences

Model informal mediation dilaksanakan oleh personil peradilan pidana

(criminal justice personel) dalam tugas normalnya, yaitu dapat dilakukan oleh

Jaksa Penuntut Umum dengan mengundang para fihak untuk melakukan

penyelesaian informal dengan tujuan tidak melanjutkan penuntutan apabila

tercapai kesepakatan; dapat dilakukan oleh pekerja social atau pejabat

pengawas (probation officer), oleh pejabat polisi atau oleh hakim.

Model Traditional Village or Tribal moots adalah mediasi dimana seluruh

masyarakat bertemu untuk memecahkan konflik kejahatan diantara warganya.

Model ini ada di beberapa Negara yang kurang maju dan diwilayah pedesaan

atau pedalaman. Model ini lebih mempertimbangkan kepentingan/keuntungan

masyarakat luas. Model ini telah memberikan inspirasi bagi kebanyakan program

6
IbId
7
Ibid, hal 7
11

mediasi modern yang sering mecoba memperkenalkan berbagai keuntungan dari

pertemuan suku (tribal moots) dalam bentuk yang disesuaikan dengan struktur

masyarakat modern dan hak-hak individu yang diakui menurut hukum.

Mediasi antara pelaku dan korban dengan melibatkan berbagai fihak yang

bertemu dengan dihadiri mediator yang ditunjuk. Mediator dapat berasal dari

pejabat formal, mediator independen atau kombinasi diantara keduanaya.

Mediasi ini dapat dilkukan pada setiap tahap proses, baik di kepolisian,

penuntutan (kejaksaan) maupun pemeriksaan di pengadilan.

Model reparation negotiation programmers tidak berhubungan dengan

rekonsiliasi antara para fihak tetapi hanya berkaitan dengan perencanaan

perbaikan material, dimana pelaku dapat dikenakan program kerja agar dapat

mengumpulkan uang untuk membayar ganti rugi ataurestitusi. Model ini semata-

mata untuk menaksir atau menilai kompensasi atau perbaikan yang harus

dibayar oleh pelaku tindak pidana kepada korban, biasanya pada saat

pemeriksaan di Pengadilan.

Model Community panels or courts merupakan program untuk membelokkan

kasus pidana dari penuntutan atau pengadilan ke prosedur masyarakat yang

lebih fleksibel dan informal dan sering melibatkan mediasi atau negosiasi.

Model family and community group conferences merupakan model yang

berkembang di Australia dan New Zeland dengan melibatkan partisipasi

masyarakat dalam system peradilan pidana (SPP), tidak hanya melibatkan

korban dan pelaku tindak pidana tetapi juga keluarga pelaku,dan warga

masyarakat lainnya, pejabat tertentu (polisi dan hakim anak) dan para
12

pendukung korban. Pelaku dan keluarganya diharapkan menghasilkan

kesepakatan yang komprehensif dan memuaskan korban serta dapat membantu

untuk menjaga si pelaku keluar dari kesusahan atau persoalan berikutnya.

Pengaturan mediasi penal (Penyelesaian di luar Pengadilan) dalam hukum

positif di Indonesia antara lain:

a. Dalam Pasal 82 KUHP ditentukan bahwa kewenangan menuntut

pelanggaran yang hanya diancam dengan denda saja menjadi hapus, kalau

dengan sukarela dibayar maksimum denda dan biaya-biaya yang telah

dikeluarkan kalau penuntutan telah dimulai, atas kuasa pejabat yang ditunjuk

untuk itu oleh aturan-aturan umum dan dalam waktu yang ditetapkan

olehnya”. Ketentuan ini dikenal dengan istilah “AfkoopP yaitu pembayaran

denda damai yang merupakan salah satu alasan penghapusan penuntutan.

Ketentuan ini belum menggambarkan secara tegas penyelesaian perkara

melalui mediasi antara pelaku dengan korban, tetapi hanya karena telah

membayar denda kepada Negara.

b. Daalam Pasal 5 Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan

Anak. Ditentukan bahwa dalam hal tindak pidana dilakukan oleh anak di

bawah umur 8 tahun, penyidik dapat menyerahkan anak tersebut kepada

orang tua, wali, atau orang tua asuhnya apabila dipandang masih dapat

dibina atau diserahkan kepada Departemen Sosial apabila dipandang tidak

dapat lagi dibina oleh orang tua, wali atau orang tua asuhnya.

c. Dalam Undang-undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Pengadilan HAM

(Pasal 1 ke 7, Pasal 76 ayat 1, pasal 89 ayat 4 dan Pasal 96) memberikan


13

kewenangan kepada Komnas HAM untuk melakukan mediasi dalam kasus

pelanggaran HAM.

Dalam perspektif pembaruan hukum pidana Nasional (ius constituendum),

bertolak dari pemikiran perluasan makna asas Legalitas secara materiel yaitu

dengan mengakui sumber-sumber hukum tidak tertulis atau hukum yang hidup

dalam masyarakat sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat 3 RKUHP tahun

2008, maka penyelesaian sengketa yang menggunakan mediasi untuk mencapai

perdamaian juga dikenal dalam hukum yang hidup dalam masyarakat yang

bersumber dari nilai-nilai religious maupun hukum adat.

Pola penyelesaian sengketa dalam Islam dapat dijumpai dalam sejumlah

ayat Al-Qur’an dan Hadits. Dalam Al Qu’ran banyak ayat-ayat suci yang

hakikatnya menekankan prinsip penyelesaian sengketa atau konflik melalui

upaya perdamaian seperti antara lain dalam surat Al Hujurat ayat 9 atau surat An

Nissa’ ayat 114 sebagai berikut:

“ … dan jika ada dua golongan dan orang-orang yang mukmin


berperang, maka damaikankanlah antara keduanya jika salah satu
dari kedua golongan itu berbuat aniaya terhadap golongan yang lain,
maka perangilah golongan yang telah berbuat aniaya itu sehingga
kembali kepada perintah Allah dan jika mereka telah kembali kepada
perintah Allah maka damaikanlah antara keduanya dengan adil dan
berlaku adillah, sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang
berlaku adil” (Al Hujurat ayat 9)
“… tiada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka kecuali
bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh manusia memberi
sedekah atau berbuat makruf atau mengadakan perdamaian antara
manusia.dan barang siapa yang berbuat demikian karena mencari
keridhaan Allah, maka kelak Kami memberikan kepadanya pahala
yang besar” (An Nissa ayat 114)
14

Dalam hadis juga terlihat, misalnya ketika Nabi Muhammad SAW. ditunjuk

sebagai penengah dalam sengketa kepala suku masyarakat Quraisy yang

berkenaan dengan perebutan tentang siapa yang berhak meletakkan Hajar

Aswad ke tempatnya semula. Pada masa pemerintahan Khulafaur Al-Rasyidin,

yaitu ketika Umar bin Khattab menjadi khalifah, perwasitan dalam penyelesaian

sengketa ini semakin dibudayakan dalam praktek kehidupan bermasyarakat,

sehingga tidak hanya diterapkan terhadap masalah-masalah yang berkaitan

dengan hukum keluarga dan perniagaan saja, tetapi juga sudah merambah

dalam perselisihan di bidang sosial dan politik.

Dalam (hukum) Islam untuk penyelesaian alternatif di luar pengadilan Al-

Qur’an menawarkan proses melalui perdamaian (Islah-sulh). Sulh adalah suatu

proses penyelesaian sengketa dimana para pihak bersepakat untuk mengakhiri

perkara mereka secara damai baik di dalam pengadilan (Mahkamah) maupun di

luar pengadilan. Perkara atau sengketa yang dapat ditempuh penyelesaiannya

melalui sulh adalah perkara yang di dalamnya mengandung hak manusia dan

bukan perkara yang menyangkut hak Allah. Pada sulh ini dapat dikembangkan

alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan seperti mediasi dan

arbitrase.8

Sulh melalui mediasi juga dapat dipergunakan untuk menyelesaikan

perselisihan warisan, sengketa mu’amalah dan konflik politik. Dalam berbagai

8
Syahrizal Abbas, 2009, Mediasi dalam Perspektif Hukum Syari;ah, Hukum Adat dan Hukum Nasiona, Kencana
Media Group, Jakarta, hal: 152
15

literatur dinyatakan bahwa sulh baru bisa terjadi bila memenuhi sejumlah rukun

dan syaratnya, yaitu:

a. ada kedua belah pihak yang berselisih;

b. ada kasus yang dipersengketakan.

c. Adanya ijab kabul, yaitu serah terima untuk diselesaikan dengan sulh; dan

d. Adanya bentuk perdamaian yang disepakati kedua belah pihak.

Penyelesaian sengketa menurut Hukum Adat dapat dilakukan melalui

musyawarah (mediasi). Dalam hal ini para pemuka masyarakat atau tokoh adat

dapat menjalankan fungsi sebagai mediator. Misalnya penyelesaian

sengketa yang sering dipraktikkan oleh masyarakat Aceh seperti: Di’iet, Sayam,

Suloh dan Peumat Jaroe.9

a. Di’iet.

Kata di’iet berasal dari istilah Arab, yaitu diyat, yang bermakna pengganti jiwa

atau mengganti anggota tubuh yang hilang atau rusak. Penggantian ini dapat

berupa harta, baik bergerak maupun tidak bergerak. Penyelesaian perselisihan

dengan di’iet bertujuan untuk menghilangkan rasa dendam dan rasa permusuhan

yang berkepanjangan antara pihak yang berselisih yang bisa mengakibatkan

kekerasan atau pembunuhan. Dalam hal ini mediator mengajak dan mendengar

tuntutan para pihak serta menawarkan cara penyelesaian dengan berpedoman

pada adat dan agama. Jika para pihak sepakat untuk berdamai dan bersedia

membayar sejumlah kompensasi (di’iet) baru diadakan upacara adat yang

umumnya digelar di Meunasah.

9
I b I d, hal : 252
16

b. Sayam.

Sayam adalah suatu bentuk konpensasi berupa harta yang diberikan oleh

pelaku tindak pidana kepada ahli waris korban, khsusnya yang berkaitan dengan

rusak atau tidak berfungsinya anggota tubuh si korban. Sama dengan di’iet,

syayam juga difasilitasi oleh Keuchik dan Teungku Meunasah guna melakukan

negosiasi dengan para pihak yang berselisih, yaitu pelaku tindak pidana ringan

dengan ahli waris korban.

c. Suloh.

Suloh artinya perdamaian. Jadi suloh adalah upaya perdamaian antara pihak

yang bersengketa dalam kasus-kasus keperdataan. Kasus-kasus perdata yang

diselesaikan dengan suloh ini berkaitan dengan perebutan batas tanah, air

sawah, tempat berjualan, dan lain-lain yang langkah penyelesaiannya dilakukan

dengan negosiasi dan mediasi.

d. Peumat Jaroe.

Pada dasarnya Peumat Jaroe (berjabat tangan) ini merupakan suatu bentuk

aktivitas adat dan budaya yang melekat pada di’iet, sayam dan suloh, yang harus

digandengkan dengan aktivitas Peusijuek. Masyarakat Aceh menganggap belum

sempurna suatu penyelesaian konflik atau sengketa tanpa adanya prosesi

Peusijue dan Peumat Jaroe. Peusijue dilaksanakan bukan hanya sekedar untuk

menyelesaikan perselisihan tetapi juga untuk menyatakan rasa syukur bahwa

perselisihan tersebut telah dapat diselesaikan. Karena itu setelah acara Peusijue

selesai baru dilanjutkan dengan Peumat Jaroe (berjabat tangan) antara para

pihak yang tadinya berselisih. Peumat Jaroe (berjabat tangan) ini umumnya
17

difasilitasi oleh Keuchik, Teungku Imuem dan Tetua Adat. Peumat Jaroe

(berjabat tangan) merupakan simbol perbaikan hubungan antara para pihak yang

tadi berselisih dengan harapan konflik antara mereka akan segera dan

selamanya berakhir.

Dalam tatanan masyarakat pedesaan di Sulawesi seringkali penyelesaian

alternatif ini dipergunakan di luar pengadilan melalui mediasi (musyawarah

perdamaian), Di Papua kita kenal dengan istilah Upacara Bakar Batu. Demikian

juga dalam Kerapatan Adat Negeri di Minangkabau, ada suatu lembaga adat

yang menyelesaikan perselisihan dengan “musyawarah” yang lebih umum

dikenal dengan negosiasi .

Di daerah Lombok (suku Sasak) dikenal cara penyelesaian masalah (perkara)

melalui musyawarah (Begundem) untuk mencapai perdamaian. Dalam

Kotaragama, anka 49 huruf b tentang Kebidjaksanaan atau Kedermawanan

Radja, ditentuakan bahwa:

“Ini tjara orang tjerdik pandai berbitjara.


Dalam membitjarakan sesuatu masalah oleh diantara warga desa (Negara),
djika tidak ada pendahuluan nasehat mengakibatkan tidak baik, akan tetapi
bila masalah diselesaikan melalui perdamaian, kedua belah fihak akan
merasakan manfaatnja.
Tjara inilah jang dikehendaki/diterima baik oleh Radja karena memang tjara
demikian itu mendjadi ketentuan jang dinamakan keadilan” 10

Berdasarkan ketentuan di atas maka Suku Sasak dalam menyelesaikan

perselisihan pertama-tama hendaklah didahului dengan memberikan peringatan

10
Kotaragama Sumber Adat Sasak Daerah Lombok, Terjemahan lepas oleh H. Lalu Jelenge
18

atau nasehat, dan jika peringatan tidak diindahkan maka diselesaikan melalui

musyawarah untuk mencapai perdamaian.

Musyawarah (Begundem) dilaksanakan oleh lembaga Adat yang disebut

Krama Adat sesuai tingkat dan kompetensinya. Untuk tingkat lingkungan atau

Dusun (Gubuk) dilaksanakan oleh Krama Gubuk yang berwenang

menyelesaikan masalah antar warga lingkungan atau antar keluarga di

lingkungan tersebut. Karma Gubuk terdiri dari Kepala Lingkungan (kelian) selaku

ketua adat di lingkungan, tokoh agama (kiai gubuq) dan pemuka-pemuka

masyarakat. Sedangkan di tingkat desa dilaksanakan oleh Krama Desa yang

terdiri dari Kepala Desa selaku Kepala Adat, Juru Tulis, Penghulu Desa, Pemuka

Masyarakat dan Para Kelian.

Tugas Krama Desa adalah:

1. Menyelesaikan persoalan sengketa yang terjadi di dalam desanya

2. Menyelesaikan persoalan orang yang merariq yang tidak menyelesaikan soal

adatnya

3. Menyelesaikan mengenai turut campurnya orang desa lain di dalam desa

yang bukan wewenangnya

4. Membantu membangun desanya11

Apabila perselisihan tidak bias diselesaikan melalui siding Krama Desa, maka

diserahkan ke pemerintah atas (Raja).

Dilatarbelakangi oleh berbagai pemikiran di atas maka dalam Pasal

145 huruf d RancanganKitab Undang-undang Hukum Pidana Nasional (RKUHP)

ditentukan bahwa kewenangan penuntutan gugur jika telah diselesaikan di luar


11
H. Lalu Lukman, 2005, Pulau Lombok dalam Sejarah Ditinjau dari Aspek Budaya, tanpa penerbit.
19

proses (di luar pengadilan, pen). Ketentuan tersebut masih belum memberikan

kejelasan tentang mediasi penal yang dikehendaki, oleh karena itu untuk

pengaturan lebih lanjut harus dirumuskan secara tegas baik dalam RKUHP atau

di dalam Rancangan KUHAP mengenai bentuk mediasi penal, dan prosedur atau

mekanisme pelaksanaannya.

D. Penutup

Sebagai akhir dari pembahasan ini dapat disimpulkan beberapa hal sebagai

berikut:

1. Penyelesaian sengketa melalui proses mediasi hanya ada dalam sengketa

keperdataan, namun dalam praktek perkara pidana juga sering dilselesaikan

di luar pengadilan melalui berbagai diskresi aparat penegak hukum atau

melalui mekanisme perdamaian.

2. Dalam perkembangan wacana teoritik maupun pembaruan hukum pidana di

berbagai negara, ada kecendrungan kuat untuk menggunakan mediasi penal

sebgai salah satu alternatif penyelesaian masalah di bidang hukum pidana.

Model mediasi yang direkomendasikan adalah: a). Informal mediation b).

Traditional village or tribal moots c). Victim-offender Mediation d). Reparation

negotiation dan e). Family and community group confrences

3. Pengaturan mediasi penal dalam hukum positif Indonesia terdapat dalam

beberapa Undang-undang, demikian pula dalam RKUHP Nasional, namun

untuk kepentingan praktek dibutuhkan pengaturan yang lebih jelas mengenai

bentuk dan mekanisme mediasi penal yang dianut.


20

DAFTAR PUSTAKA

1. Barda Nawawi Arief, 2005, Pembaharuan Hukum Pidana dalam Perspektif


Kajian Perbandingan, Citra Aditya Bakti, Bandung.
2. ……………………., Tanpa Tahun, Reformasi Sistem Peradilan (Sistem
Penegakan Hukum) di Indonesia, Badan Penerbit Undip, .Semarang.
3. ……………………., 2008, Mediasi Penal Penyelesaian Perkara di Luar
Pengadilan, Pustaka Magister, Semarang.
4. Gary Goodfaster, 1993, Negosiation and Mediating: Guide to negosiation and
negotiated dispute resolution, Penerbit UI.
5. H. Lalu Jelenge, Kotaragama Sumber Adat Sasak Daerah Lombok,
Terjemahan lepas.
6. H. Lalu Lukman, 2005, Pulau Lombok Dalam Sejarah, Ditinjau dari Aspek
Budaya
7. L. Friedman, 1984, What is a Legal system dalam American Law, WW Norton
& company, New York.
8. Muladi, 1997, Hak Asasi Manusia, Politik dan Sistem Peradilan Pidana,
Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang.
9. Syahrizal Abbas, 2009, Mediasi dalam Perspektif Hukum Syari;ah, Hukum
Adat dan Hukum Nasiona, Kencana Media Group, Jakarta.
10. Suyud Margono, 2000, Alternative Dispute resolution dan Arbitrase: Proses
Pelembagaan dan Aspek Hukum, Ghalia Indonesia Jakarta.

You might also like