Professional Documents
Culture Documents
SUPRAVENTRIKULAR TAKIKARDIA
Disusun Oleh:
Rani Kurniawati
Pembimbing:
TANGERANG
2
DAFTAR GAMBAR
3
DAFTAR SINGKATAN
Singkatan Keterangan
APB Atrial Premature Beat
AV Atriventrikular
AVNRT Atrioventricular Nodal Te-entrant Tachycardia
AVRT Atrioventricular Reciprocating Tachycardia
EKG Elektrokardiogram
MAT Multifokal Atrial Takikardia
PSVT Paroksismal Supraventrikular Takikardia
RP Resting Potential
SA Sinoatrial
WPW Wolff Parkinson White
4
BAB I
PENDAHULUAN
Aritmia dapat terjadi karena terdapat perubahan pada salah satu dari sistem
pembentukan impuls atau sistem penghantaran/konduksi impuls di jantung. Berdasarkan
kecepatan laju jantung, aritmia dapat dibagi menjadi takiaritmia (detak jantung >100 beats
per minute) dan bradiaritmia (detak jantung <60 beats per minute). Bila berdasarkan letak
anatomisnya, aritmia dibagi menjadi aritmia supraventrikular dan aritmia ventrikular.
Takiaritmia supraventrikular terjadi bila terjadi ritme yang berasal dari supraventrikel (di atas
ventrikel) dengan kecepatan >100 bpm (beats per minute). 1
Parsoksismal Supraventrikular takikardia (PSVT) adalah salah satu jenis takiaritmia
yang mempunyai ritme reguler dan berasal dari supraventrikel atau atrium dimana terjadi
kelainan irama jantung dengan awitan dan terminasi yang mendadak. Ritme ventrikular dapat
mencapai 150-250 bpm, tetapi dapat lebih lambat pada pasien usia lanjut. PSVT ini terjadi
karena impuls yang terjadi secara terus menerus pada atrial atau nodus AV dan lalu
diteruskan ke bundle of His dan menyebabkan rapid ventricular response. PSVT sendiri
terbagi menjadi 3 tipe yaitu atrioventricular nodal re-entrant tachycardia (AVNRT),
atrioventricular reciprocating tachycardia (AVRT) dan atrial takikardia.2
PSVT cukup sering ditemukan dan merupakan penyebab sebanyak 50.000 kedatangan
ke instalasi gawat darurat rumah sakit.1 Insidens PSVT terdapat 35 kasus per 100.000 pasien
dengan prevalensi 2,25 kasus per 1000 populasi secara umum dan setiap tahun sekitar 89.000
kasus PSVT baru. Sampai saat ini data prevalensi PSVT pada populasi umum di Indonesia
masih belum ada pelaporan yang jelas, tetapi menurut Pusat Jantung Nasional Harapan Kita
berkisar 9% dari seluruh pasien aritmia. Dari 3 tipe PSVT, AVNRT merupakan tipe yang
paling sering ditemukan, sekitar 60% kasus dari keseluruhan penemuan kasus PSVT, diikuti
dengan AVRT sebanyak 30% dan atrial takikardia sebanyak 10%.3,4
Tatalaksanya dibagi menjadi dua yaitu akut dan jangka panjang. Tatalaksana aku
dapat berupa terapi medikamentosa pada hemodinamik stabil dan prosedur kardioversi pada
keadaan hemodinamik tidak stabil. Pada kasus refrakter, pasien supraventrikular takikardia
dapat dilakukan prosedur ablasi kateter. Prosedur ini juga dapat dilakukan atas indikasi yaitu
permintaan pasien sendiri yang menolak pengobatan secara medikamentosa. 5
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
6
terlihat adanya pemanjangan dari interval PR dan gelombang P yang tidak terkonduksi, ini
disebut sebagai fenomena Wenckebach. 1
Impuls listrik dari nodus AV diteruskan ke sistem konduksi cepat, sistem His-
Purkinje. Impuls masuk ke Bundle of His yang terletak pada septum interventrikuler
posterior. Bundle of His kemudian membentuk percabangan menjadi left dan right bundle
branches. Left bundle branches akan bercabang menjadi fasikulus anterior dan posterior.
Left dan right bundle branches ini akan membentuk pleksus yang memperantarai konduksi
ke serabut purkinje yang tertanam di dalam otot jantung. Impuls dari sistem his-purkinje
ini pertama kali ditransmisikan ke muskulus papilaris baru kemudian ke dinding otot
ventrikel. Koordinasi ini mencegah terjadinya regurgitasi darah ke atrium selama fase
sistolik. Dari serabut purkinje ini impuls ditransmisikan ke sel otot jantung sehingga
kemudian ventrikel diaktivasi dari apeks ke basis. Setelah itu proses berulang kembali dan
mulai dari nodus SA lagi.1
7
2.1.1 Aksi Potensial Pada Sel Otot Jantung
Pada sel otot jantung terdapat tiga komponen potensial aksi yaitu fase istirahat,
depolarisasi, dan repolarisasi. Fase istirahat adalah periode antara satu potensial aksi dan
potensial aksi berikutnya. Selama fase istirahat kebanyakan sel otot jantung tidak memiliki
pergerakan ion melintasi membran sel. Perbedaan tegangan listrik pada membran sel pada
saat sel sedang istirahat dikenal sebagai resting potential (RP). Besarnya tegangan RP ini
ditentukan oleh perbedaan konsentrasi dari berbagai ion yang terdapat di intra dan
ekstrasel, serta bergantung pada jenis kanal ion yang terbuka saat istirahat. Keseimbangan
antara berbagai ion ini menimbulkan tegangan RP sekitar -90mV pada miosit ventrikel.
Kondisi RP ini disebut sebagai fase 4 dari potensial aksi. 2,6
Ketika suatu saat terjadi perubahan tegangan pada membran sel, maka akan
terjadi perubahan permeabilitas sel terhadap berbagai ion oleh karena sifat voltage
sensitive gating ion channel pada berbagai kanal ion di membran sel. Proses apapun yang
membuat potensial membran menjadi kurang negatif hingga melebihi kadar threshold,
akan memulai terjadinya potensial aksi. Ketika potensial membran mencapai threshold,
yaitu -70 mV pada sel otot jantung, maka akan terjadi pembukaan kanal ion Na+ jenis
cepat (fast sodium channel) yang berlangsung secara cepat menimbulkan rapid upstroke
atau fase 0 pada AP. Hal ini disebut sebagai fase depolarisasi. Depolarisasi ini menyebar
kepada sel di sekeliling. Peningkatan kadar Na+ yang cepat ini akan menimbulkan
depolarisasi cepat dan terjadi perubahan tegangan membran mencapai kadar positif sekitar
10 mV. Ketika mencapai kadar tersebut, kanal ion menjadi inaktif, dan aksi potensial lain
tidak dapat di inisiasi sampai potensial membran turun menjadi serupa dengan RP (-90
mV). 2,3
Setelah depolarisasi akan terjadi repolarisasi dimana potensial membran jantung
akan kembali ke normal oleh karena berbagai interaksi kanal yang melibatkan kanal ion
kalium dan kalsium. Selama fase ini sel otot jantung tidak dapat berkontraksi yang disebut
sebagai periode refrakter. 2,6
8
Repolarisasi terdiri dari 3 fase. Fase pertama repolarisasi adalah fase 1 yakni
terjadinya repolarisasi singkat yang mengembalikan tegangan permukaan membran
menjadi 0 mV. Hal ini terutama diperankan oleh pengeluaran ion K+ dari intrasel. Fase
berikutnya adalah fase 2 yang merupakan fase terpanjang pada potensial aksi. Pada fase
ini terjadi keseimbangan pengeluaran K+ dengan pemasukan Ca2+, yang berjalan melalui
kanal ion spesifik tipe L. Fase yang panjang ini disebut sebagai fase plateau. Masuknya
Ca2+ ke dalam intrasel akan mencetuskan pelepasan Ca2+ dari retikulum sarkoplasma,
yang sangat penting dalam menginisiasi kontraksi sel otot jantung. Kanal Ca2+ ini
kemudian akan inaktif dan efflux dari ion K+ melebihi influx dari Ca2+, sehingga potensial
membran semakin negatif maka sel memasuki fase 3 dari potensial aksi. Pada fase 3,
adalah fase repolarisasi final yang akan mengembalikan tegangan permukaan membran sel
menjadi -90 mV. Fase ini terutama diperankan oleh efflux dari K+. Setelah mencapai
repolarisasi, sel otot jantung kemudian akan siap untuk mengalami depolarisasi lagi. 2,6
9
negatif dan fase rapid upstroke yang lebih cepat. Pada sel pacemaker, terjadi inisiasi
sendiri dari sel tersebut untuk mencetuskan depolarisasi. Sifat ini dikenal sebagai
automatisitas dimana sel mengalami depolarisasi spontan selama fase 4. Sel yang memiliki
kemampuan seperti ini termasuk nodus SA dan nodus AV. Perbedaan potensial aksi pada
sel otot jantung dibandingkan dengan sel pacemaker terlihat pada tiga hal yakni: 2,6
1. Maximum negative voltage atau tegangan negatif maksimal pada sel
pacemaker adalah -60 mV. Hal ini mengakibatkan fast sodium channel menjadi tidak aktif.
2. Fase 4 pada sel pacemaker tidak menunjukkan garis datar namun berupa
penanjakan ke atas (upward slope). Penanjakan ini menandai suatu depolarisasi spontan
bertahap. Depolarisasi spontan ini menimbulkan gambaran arus yang disebut pacemaker
current, dan dikenal juga sebagai funny current sehingga di istilahkan sebagai If. Ion yang
bertanggung jawab terhadap proses ini adalah ion Na+, namun bukan melalui fast sodium
channel melainkan melalui kanal pacemaker selama masa repolarisasi yang bekerja
berdasarkan perbedaan konsentrasi gradien antar membran. Kanal If ini akan terbuka
ketika potensial membran menjadi lebih negatif dari -50mV (hiperpolarisasi).
3. Pada sel pacemaker nodus SA, tedapat 3 perbedaan arus ion yang terjadi pada
fase 4 depolarisasi yaitu: (1) arus masuk ion Ca2+ secara lambat melewati kanal Ca2+ tipe-
L yang teraktivasi saat tegangan membram hampir menuju akhir dari fase 4; (2)
penurunan progresif dari arus keluar ion K+ ;(3) penambahan arus masuk ion Na+ yang
dimediasi oleh aktivasi Na+/Ca2+ exchanger oleh pelepasan kalsium dari sarcoplasmic
reticulum. Mekanisme pelepasan kalsium dari SR disebut sebagai “calcium clock”.
4. Fase 0 rapid upstroke pada sel pacemaker tidak setinggi dan securam ada sel
miosit, dikarenakan fast sodium channel tidak terbuka pada sel pacemaker. Hal ini
disebabkan oleh jumlah fast sodium channel yang tersedia akan lebih bertambah banyak
pada membran sel yang semakin negatif (tegangan membran miosit lebih negatif (-90mV)
jika dibandingkan dengan tegangan pada membran pacemaker (-60mV). Oleh karena itu,
inisiasi aksi potensial pada sel pacemaker lebih bergantung pada arus lambat ion Ca2+.
10
Gambar 3 Aksi potensial sel pacemaker7
11
12
Gambar 6 Pembagian supraventikular takiaritmia7
13
emosional) dan hanya membutuhkan tatalaksana apabila bersifat simptomatis. Tatalaksana
dapat berupa pemberian beta-blocker. 7,9
14
Gambar 9 Atrial flutter10
15
diberikan calcium channel blocker (verapamil) hanya untuk menurukan kecepatan
ventrikular secara sementara.12
2.3.6.2 Epidemiologi
16
risiko PSVT dua kali lebih tinggi dari pria, dan pasien dengan usia di ata 65 tahun
memiliki risiko PSVT 5 kali lebih besar daripada usia muda. 3
Sampai saat ini data prevalensi PSVT pada populasi umum di Indonesia masih
belum ada pelaporan yang jelas, tetapi menurut Pusat Jantung Nasional Harapan Kita
berkisar 9% dari seluruh pasien aritmia. Dari 3 tipe PSVT, AVNRT merupakan tipe
yang paling sering ditemukan, sekitar 60% kasus dari keseluruhan penemuan kasus
PSVT. AVNRT dapat terjadi pada usia berapa saja tetapi paling sering pada pasien
wanita dengan usia diantara 30-60 tahun dan paling jarang ditemukan pada usia
sebelum 5 tahun. AVRT terjadi sekitar 30% dari kasus dan insidennya menurun seiring
dengan bertambahnya usia. Diperkiran 60% terjadi pada dekade pertama kehidupan dan
9% terjadi pada usia di atas 70 tahun. Atrial takikardia terjadi pada 10% kasus PSVT
dan sering terjadi pada pasien dengan penyakit jantung struktural.4
17
Gambar 13 Gambaran EKG supraventikular takikardia (A)
AVNRT (B) AVRT (C) Atrial takikardia (D) Sinus
rhythm14
2.3.6.3 Etiologi
PSVT dipicu oleh mekanisme reentry melalui sirkuit atau fokus pada atrium atau
nodus AV. Hal ini dapat disebabkan oleh denyut atrium prematur atau denyut ektopik
ventrikel. Pemicu lainnya termasuk hipertiroidisme dan stimulan, termasuk kafein,
obat-obatan, alkohol, dan toksisitas digoxin. PSVT dapat terjadi secara idiopatik pada
orang sehat, tetapi dapat juga terjadi pada pasien dengan infark miokard sebelumnya,
prolaps katup mitral, penyakit jantung rematik, perikarditis, pneumonia, penyakit paru-
paru kronis, keracunan alkohol, dan beberapa penyakit jantung bawaan seperti anomali
Ebstein’s dan single ventricle). Sindrom Wolff Parkinson White merupakan salah satu
faktor predisposisi terjadinya PSVT.3
2.3.6.4 Patofisiologi
Atritmia atrial atau supraventrikular merupakan kelainan pembentukan dan
konduksi impuls listrik di atrium. Secara umum, patofisiolginya adalah satu satu dari
tiga mekanisme aritmia pada perubahan sistem konduksi impuls yang telah dijelaskan
sebelumnya:5
1. Gangguan automaticity merupakan suatu fenomena dari takikardia yang
terjadi secara spontan yang berasal dari sebuah fokus selain nodus SA, yang
menyebabkan terjadinya atrial dan ventricular aritmia. Sel tersebut yang terletak pada
miokardium menyebabkan perubahan patologis pada resting membrane potential dan
dapat terjadi depolarisasi secara cepat sehingga menjadi ritme yang dominan.
Gangguan ini dapat terjadi pada pasien dengan elektrolit imbalans. Mekanisme ini
diketahui merupakan 70% dari kasus atrial takikardia.
18
2. Triggered activity merupakan terjadinya ekstra depolarisasi sesaat setelah
terjadinya repolarisasi atau yang disebut juga sebagai cells delayed afterdepolarizations
yang dapat menyebabkan ekstrasistol ataupun takiaritmia. Automatisasi yang terjadi
berasal dari aksi potensial sebelumnya. Penyebab tersering adalah kondisi
hiperkalsemia (misalnya pada toksikasi digitalis), hipoksia, peningkatan katekolamin,
hipo-magnesemia, iskemia, infark miokard dan obat yang memperpanjang repolarisasi.
3. Re-entry adalah keadaan dimana impuls kembali menstimulasi jaringan yang
sudah terdepolarisasi melalui mekanisme sirkuit, blok unidirectional dalam konduksi ,
dan perlambatan konduksi dalam sirkuit. Penyebab tersering adalah hiperkalemia dan
iskemia miokard.
2.3.6.5 Klasifikasi
19
dapat berlangsung secara persisten. Tatalaksana berupa pemberian beta blocker,
calcium channel blocker, atau obat antiaritmia kelas IA, IC, dan III. Ablasi kateter juga
dapat dilakukan untuk menghilangkan fokus ektopik tersebut.4
20
Pada AVRT jenis orthodromic, impuls listrik akan dikonduksikan turun melewati
nodus AV secara anterograde seperti jalur konduksi normal dan menggunakan sebuah
jalur aksesori secara retrograde untuk masuk kembali ke atrium. Karena depolarisasi
ventrikel melalui jalur konduksi normal makan karakteristik EKG adalah adanya
gelombang P terbalik (karena depolarisasi atrium arah caudocranial) yang mengikuti
setiap kompleks QRS yang sempit, tanpa adanya gelombang delta. Pada kurang dari 10%
kasus, terjadi AVRT antidromic dimana konduksi berjalan turun melalui jalur aksesori
dan masuk kembali ke atrium secara retrograde melalui nodus AV. Karena jalur
aksesori tiba di ventrikel di luar bundle of His, kompleks QRS akan menjadi lebih lebar
dibandingkan biasanya dan ditemukan adanya gelombang delta.4,7,14
21
pendek (<0,12 detik) karena stimulasi ventrikel yang lebih awal (2) gelombang delta
pada gelombang QRS (3) gelombang QRS yang lebar. Tidak semua pasien yang
memiliki jalur aksesoris akan terjadi WPW Syndrome, dimana jalur aksesoris tersebut
hanya berfungsi untuk konduksi retrograde (concealed accessory pathways) sehingga
ventrikel tetap didepolarisasi melalui jalur normal nodal AV. Gambaran EKG sesuai
dengan Orthodromic AVRT. 7
22
typical (slow-fast) atau orthodromic. Keadaan ini terjadi pada hampir 90% kasus.
Kelainan pada EKG yang tampak adalah takikardi dengan kompleks QRS sempit
dengan gelombang P yang timbul segera setelah kompleks QRS tersebut dan berbentuk
terbalik pada lead II, III, dan aVF (depolariasi atrium berasal dari arah caudocranial)
atau kadang-kadang gelombang P tidak tampak karena gelombang P tersebut terbenam
didalam kompleks QRS (depolarisasi atrium seringkali bersamaan dengan depolarisasi
ventrikel). Pada kasus yang jarang sekitar kurang dari 10%, dapat terjadi sebaliknya
dimana konduksi anterograde terjadi pada jalur cepat dan konduksi retrograde terjadi
pada jalur lambat, jenis ini disebut jenis atypical (fast-slow) atau antidromic. Kelainan
yang tampak pada EKG adalah takikardi dengan kompleks QRS sempit dan gelombang
P terbalik dan timbul pada jarak yang cukup jauh setelah kompleks QRS. Pada kurang
dari 1% kasus dapat terjadi 2 jalur lambat sehingga konduksi anterograde maupun
konduksi retrograde berasal dari jalur lambat yang disebut sebagai atypical (slow-slow).
3,4,14
23
Gambar 18 Tipikal dan atipikal AVNRT3,
2.3.6.6 Manifestasi Klinis
Karena keparahan gejala tergantung pada adanya penyakit jantung struktural dan
hemodinamik pasien, individu dengan PSVT mungkin hadir dengan gejala ringan atau
keluhan cardiopulmonary yang parah. Gejala yang sering dikeluhkan berdasarkan
urutan tingkat frekuensi paling tinggi ke rendah adalah sebagai berikut:14
1. Palpitasi
2. Pusing
3. Sesak napas
4. Sinkop
5. Nyeri dada
6. Kelelahan
7. Diaforesis
8. Mual
9. Poliuria
Palpitasi dan pusing adalah gejala yang paling umum dilaporkan oleh pasien
dengan SVT. Sesak nafas mungkin menjadi sekunder untuk detak jantung yang cepat,
dan sering menghilang dengan penghentian takikardia. Pada PSVT yang berlangsung
lama dapat menimbulkan gejala poliuria, berkaitan dengan pelepasan atrial natriuretic
factor. Karena tingkat kejadiannya yang bersifat episodik, pada pemeriksaan fisik
biasanya normal dan gejala-gejala diatas dapat didiagnosis secara salah sebagai
serangan panik atau ansietas, terutama pada wanita. SVT persistent dapat menyebabkan
tachycardia-induced cardiomyopathy. Banyak pasien dengan episode SVT yang
rekuren cenderung menghindari kegiatan seperti berolahraga dan mengemudi karena
riwayat terjadinya sinkop berulang. 4,14
24
2.3.6.7 Diagnosis
a. Anamnesis
Pada anamnesis, perlu ditanyakan onset, durasi, dan frekuensi dari episode PSVT
(ditanyakan mengenai manifestasi klinis seperti yang telah disebutkan diatas, palpitasi
dan pusing merupakan gejala yang paling sering di jumpai dari pasien PSVT). PSVT
biasa terjadi secara tiba-tiba, cepat, dan palpitasi yang regular dan dapat berhenti secara
tiba-tiba. Selain itu juga perlu ditanyakan hal-hal lain yang dapat memicu PSVT seperti
alkohol, kafein, olahraga, stress emosional, kelelahan ataupun obat-obatan yang
dikonsumsi. Perlu ditanyakan mengenai penyakit jantung maupun prosedur pada
jantung sebelumnya. 14
25
menggunakan event monitor. Berdasarkan gambaran EKG maka dapat ditentukan jenis
aritmia yang terjadi. Pemeriksaan darah yang diperlukan adalah pemeriksaan darah
lengkap, pemeriksaan level thyroid stimulating hormone, pemeriksaan elektorit darah,
dan dapat juga dilakukan pemeriksaan enzim hati dan B-type natriuretic peptide pada
pasien yang diduga terdapat infark miokard. 4,14
26
Gambar 21 Diagnosis diferensial berdasarkan EKG15
27
Gambar 22 Algoritma tata laksana akut pada takikardia14
Manuver vagal dan adenosin merupakan pilihan terapi awal untuk terminasi SVT
dengan hemodinamik stabil. Manuver vagal dapat menghentikan hingga 25% dari
kasus SVT. Manuver vagal dapat dilakukan dengan masase pada karotis untuk
mengaktivasi paresimpatetik sehingga menyebabkan perlambatan pembentukan impuls
pada nodus sinus, memperlambat konduksi di nodus AV, memperpanjang masa
refraktori pada nodus AV. Masase karotis dilakukan dengan pasien dalam posisi supine
dengan kepala ekstensi dan agak menoleh ke arah yang berlawanan dengan sisi yang
akan dipijat. Pijatan hanya boleh dilakukan pada salah satu sisi arteri karotis pada satu
waktu. Pijatan dilakukan dengan gerakan sirkuler dan dapat diulang di sisi sebalahnya
apabila belum berhasil. Jangan memberikan tekanan pada satu sinus karotid selama 10
detik. Manuver ini tidak boleh dilakukan pada pasien dengan bruit pada karotis atau
riwayat TIA atau cerebral vascular event selama 3 bulan lalu. Alternatif lain berupa
kontak wajah dengan air dingin atau ice pack selama kurang lebih 15-20 detik.
Sebaiknya kontak dilakukan pada bagian pipi atau dahi pasien dan hindari bagian mata
28
dan hidung. Fenomena ini disebut sebagai diving reflex dan dapat menurunkan
kecepatan denyut nadi 10-25%. Terdapat alternatif lain yaitu batuk yang akan
merangsang nervus vagus dan memperlambat denyut nadi. Batuk harus dilakukan
dengan kuat dan terus-menerus pada satu waktu. Rangsangan muntah juga dapat
mengaktivasi nervus vagus. Hal ini dilakukan dengan menekan lidah bagian belakang
dengan menggunakan tounge depressor secara cepat. Pilihan lainnya adalah dengan
melakukan manuever Valsava yang dapat dilakukan dengan dua cara. Cara yang
pertama adalah dengan menginstruksikan pasien untuk mengedan seperti akan buang
air besar selama beberapa detik. Cara yang kedua adalah dengan meniup sedotan buntu
atau syringe 10 cc selama beberapa detik. Tidak semua teknik manuever vagal ini dapat
berhasil pada setiap pasien maka perlu dipilih dan disesuaikan dengan kondisi dan
kemampuan pasien. 14,15
Bila tata laksana non-farmakologis tidak efektif, maka tata laksana farmakologis
perlu diberikan. Adenosine merupakan nukelotida endogen yang bersifat kronotopik
negatif, dromotropik, dan inotropik. Adenosine dipilih sebagai medikamentosa lini
pertama karena onsetnya yang cepat, efektivitias yang tinggi, mempunyai paruh waktu
yang singkat (10 detik) dengan cellular uptake oleh sel endotel dan eritrosit, dan
konsekuensi hemodinamik yang sangat minimal. Adenosine menybabkan blok segera
pada nodus AV sehingga memutuskan sirkuit pada mekanisme re-entry. Adenosin
diberikan sebanyak 6 mg IV secara bolus diikuti dengan flush menggunakan cairan
salin 20 ml. Jika irama tidak berubah dalam 1-2 menit, berikan adenosin 12 mg IV
bolus menggunakan metode yang sama. Pada saat pemberian adenosin pada pasien
dengan Sindrom WPW harus tersedia defibrilator karena kemungkinan terjadinya
fibrilasi atrial dengan respon ventrikel cepat. Efek samping adenosin umum terjadi
tetapi bersifat sementara seperti flushing, dipsnea dan nyeri dada adalah yang paling
sering terjadi. Adenosin tidak boleh diberikan pada pasien dengan asma karena dapat
menyebabkan bronkokonstriksi.14,15
Jika adenosin atau manuver vagal gagal mengubah SVT maka dapat digunakan
agen penghambat nodus AV kerja panjang seperti calcium channel blocker non
dihidropiridin (verapamil dan diltiazem) atau beta blocker. Verapamil berikan 5 mg
hingga 10 mg IV bolus selama 2 menit. Jika tidak ada respon terapeutik dan tidak ada
kejadian efek samping obat maka dosis berulang 5 mg hingga 10 mg dapat diberikan
15-30 menit dengan dosis maksimal 20 mg. Verapamil tidak boleh diberikan pada
pasien dengan fungsi ventrikel menurun atau gagal jantung. Diltiazem, diberikan
29
dengan dosis 15 mg hingga 20 mg IV selama 2 menit (0,25mg/kg IV loading dose).
Jika diperlukan dalam 15 menit berikan dosis tambahan 20 mg hingga 25 mg IV. Dosis
infus rumatan adalah 5 mg/jam hingga 15 mg/jam. Efek samping dari calcium channel
blocker adalah terjadinya hipotensi berat dan henti jantung sehingga perlu dipersiapkan
cairan infus maupun obat vasopressor. 4,15
Berbagai jenis beta blocker tersedia untuk penanganan takiaritmia supraventrikel
yaitu metoprolol, atenolol, esmolol dan labetalol. Pada prinsipnya agen-agen ini
mengeluarkan efeknya dengan melawan tonus simpatetik pada jaringan nodus yang
menghasilkan perlambatan pada konduksi. Efek samping beta bloker meliputi
bradikardia, keterlambatan konduksi AV dan hipotensi. 14,15
Pada pasien dengan WPW Syndrome, penggunaan adenosine, calcium channel
blocker, atau digoxin dapat dipilih pada tata laksana akut, tetapi tidak boleh digunakan
pada tata laksana kronik karena blokase sinus AV dapat jangka panjang dapat
menyebabkan konduksi melalui jalur aksesoris dan merupakan faktor predisposisi
terjadinya ventricular fibrillation. 14,15
Pada keadaan hemodinamik tidak stabil dilakukan direct current synchronized
cardioversion dengan kekuatan listrik sebesar 50-100 joule pada aritmia yang memiliki
ritme regular dan kompleks QRS sempit pada EKG dan 120-200 joule pada ritmia yang
memiliki ritme ireguler dan kompleks QRS sempit pada EKG. DC shock yang
diberikan perlu sinkron dengan puncak kompleks QRS pada EKG karena rangsangan
pada puncak gelombang T dapat memicu terjadinya fibrilasi ventrikel. Tidak
dianjurkan memberikan digitalis sebelum dilakukannya kardioversi. Apabila terjadi
fibrilasi ventrikel maka dilakukan DC shock kedua yang tidak sinkron dengan
kompleks QRS.
30
Gambar 23 Tata laksana medikamentosa SVT akut15
31
Gambar 24 Tata laksana medikamentosa SVT akut
32
b. Tata laksana jangka panjang : Medikamentosa
Pada sebagian besar pasien tidak diperlukan tata laksana jangka panjang karena
umumnya tanda yang menonjol adalah takikardia dengan gejala klinis ringan dan
serangan yang jarang. Namun apabila frekuensi dan intensitas dari episode SVT cukup
berat, maka diperlukan tata laksana jangka panjang dapat berupa farmakologis atau
ablasi kateter. Pada episode SVT yang jarang namun bertahan lebih dari satu jam, maka
dapat diberikan terapi farmakologis “pill-in-the-pocket”. Pasien mengkonsumsi sendiri
calcium channel blockers, beta blockers, atau antiaritmia. Penelitian menunjukkan
bahwa penggunaan diltiazem (120 mg) ditambah propanolol (80mg) atau flecainide (3
mg/kgBB) sebagai terapi episodik menurukan tingkat kedatangan ke unit gawat darurat
rumah sakit secara signifikan. 15
Penggunaan antiaritma kelas Ic (flecainide dan propafenone) mendepresi sistem
konduksi pada jalur aksesoris seperti pada kasus AVRT, dan dapat juga digunakan
untuk pasien dengan atrial takikardia. Pengobatan dengan antiaritmia kelas Ia
(quinidine, procainamde, dan disopyramide) lebih jarang digunakan karena efek
sampingnya dan efek pro-aritmia. Antiaritmia kelas III (Amiodarone, sotalol, dan
dofetilide) dinilai efektif, tetapi mempunyai efek samping dan perlu dikonsultasikan
terlebih dahulu ke spesialis jantung. 5,14,15
33
Gambar 26 Tata laksana jangka panjang medikamentosa 15
34
Gambar 27 Tata laksana jangka panjang medikamentosa 15
35
Gambar 28 Tatalaksana jangka panjang medikamentosa
36
c. Tata laksana jangka panjang : ablasi kateter
Prosedur elektrofisiologi hampir selau diikuti oleh tindakan kuratif berupa pablasi
kateter. Ablasi kateter diindikasikan pada pasien yang tetap mengalami episode SVT
berulang meskipun telah diberikan terapi medikamentosa dan bagi pasien yang tidak
ingin untuk mengkonsumsi medikamentosa. Pada pasien dengan WPW Syndome tidak
dapat mengkonsumsi medikamentosa untuk blokade nodus AV dalam jangka panjang
karena risiko terjadinya ventrikular fibrilasi, sehingga perlu dilakukan ablasi kateter.
Sebelum thaun 1989, ablasi kateter dilakukan dengan sumber energi arus langsung
yang tinggi (high energy direct current) berupa DC shock. Karena pemberian energi
dengan jumlah tinggi dan tidak terlokalisasi maka banyak timbul komplikasi. Saat ini
ablasi kateter dilakukan dengan energi radiofrekuensi sekitar 50 watt yang diberikan
selama sekitar 30-60 detik. Energi tersebut diberikan dalam bentuk gelombang sinusoid
dengan frekuensi 500.000 Hertz. Selama prosedur ablasi radiofrekuensi timbul
pemanasan resistif akibat agitasi ionik. Jadi jaringan ynag berada di bawah kateter
ablasi yang menjadi sumber energi panas, bukan kateter itu sendiri. Thermal injury
adalah mekanisme utama kerusakan jaringan. Meningkatnya suhu jaringan
menyebabkan denaturasi dan evaporasi cairan yang kemudian menimbulkan kerusakan
jaringan lebih lanjut dan koagulasi jaringan dan darah. Kerusakan jaringan permanen
timbul pada temperatur sekitar 50 derajat Celcius. 16
Prosedur ini termasuk prosedur invasif minimal dengan memasukkan kateter
ukuran 4-8mm secara intravaskular melalui arteri femoralis dengan pandungan sinar X.
Biasanya prosedur ini dilakukan bersamaan dengan prosedur elektrofisiologi. Bila
lokasi yang tepat sudah ditemukan maka energi radiofrekuensi diberikan melalui
kateter ablasi. Tingkat keberhasilannya mencapai 95% dengan tingkat rekurensi kurang
dari 5%, dan risiko terjadinya blokade jantung sebanyak kurang dari 1%. Risiko lain
seperti femoral arteriovena fistula dan deep vein thrombosis jarang sekali ditemukan. 16
37
Gambar 30 Prognosis prosedur ablasi kateter 15
AT, atrial tachycardia; AVNRT, atrioventricular nodal reentrant tachycardia; AVRT,
atrioventricular reentrant tachycardia; CHB, complete heart block; CTI, cavotricuspid isthmus; JT,
junctional tachycardia; PPM, permanent pacemaker; SVT, supraventricular tachycardia.
2.3.6.9 Komplikasi
Supraventrikular takikardia yang berlangsung secara kornik dapat menyebabkan
tachycardia-induced cardiomyopathy dan terdapat risiko terjadinya gagal jantung.
Risiko gagal jantung ini sebenarnya sangat rendah pada usia anak-anak dan remaja tapi
risikonya meningkat pada neonatus dengan SVT, neonatus dengan WPW, anak dengan
pnyakit jantung bawaan, dan usia lanjut. Bila takikardia terjadi saat fetus dapat
menimbulkan terjadinya gagal jantung berat dan hidrops fetalis. 13
38
DAFTAR PUSTAKA
1. Anserson RH, Yanni J, Boyett MR, Chandler NJ, Dobrzynski H. The anatomy of the
cardiac conduction system. Clin Anat. 2009; 99-113.
2. Amin AS, Tan HL, Wilde AA. Cardiac ion channes in health and disease. Heart Rhytm.
2010; 7:117-26.
3. Delacretaz E. Supraventricular tachycardia. N Engl J Med. 2016; 354;1039-53.
4. Raharjo SB, Tuniadi Y, Muzakkir, Yansen I, Munawar DA, Hermanto DY. Pedoman
tatalaksana takiaritmia supraventrikular. Indonesian J Cardiol. 2017; 38:109-50.
5. Sohinki D, Obel OA. Current trends in supraventricular tachycardia management. The
Oschsner Journal. 2014; 14: 586-95.
6. Nerbonne JM, Kass RS. Molecular physiology of cardiac depolarization and
repolarization. Physiol Rev. 2005; 85:1205-53.
7. Pathophysiology of Heart Disease. Lilly LS, editors. Philadephia: Wolters kluwer; 2011;
p.261-94.
8. Antzelevitch C, Burashnikov A. Overview of basic mechanisms of cardiac arrythmia.
Card Electrophysiol Clin. 2011; 3:23-45.
9. Bibas L, Levi M, Essebag V. Diagnosis and management of supraventricular
tachycardias. CMAJ. 2016; 188:17-8.
10. Coslo FG. Atrial flutterm typical and atypical. Arrythm Electrophysiol Rev. 2017; 6:55-
62.
11. Waldo AL. Atriall fibrillation and atrial flutter. International Journal of Cardiology. 2017;
251-2.
12. Baek SM, Chung H, Song MK, Bae EJ. Kim GB, Noh C. The complexicity of multifocal
atrial tachycardia and its prognostic factor. Korean Circ J. 2018; 48: 148-58.
13. Link MS. Evaluation and initial treatment of supraventricular tachycardia. N Engl J Med
2012; 367:1438-48.
14. Heltom MR. Diagnosis and management of common types of supraventricular
tachycardia. American Academy of Family Physicians. 2015; 794-800.
15. American Heart Assocation. 2015 ACC/AHA/HRS Guideline for the management of
adlut patients with supraventricular tachycardia. Journal of the Americal College of
Cardiology. 2016; 11: e27-115.
16. Kim YH, Park HS, Hyun MC, Kim YN. Tachyarrhythmia and radiofrequency cathether
ablation. Korean Circ J. 2012; 735-40.
39