You are on page 1of 20

BAB I

PENDAHULUAN

I. LATAR BELAKANG
Oksigen (O2) merupakan salah satu komponen gas dan unsurvital dalam proses
metabolisme, untuk mempertahankan kelangsungan hidup seluruh sel tubuh. Secara normal
elemen ini diperoleh dengan cara menghirup udara ruangan dalam setiap kali bernafas.
Penyampaian O2 ke jaringan tubuh ditentukan oleh interaksi system respirasi, kardiovaskuler
dan keadaan hematologis.
Adanya kekurangan O2 ditandai dengan keadaan hipoksia, yang dalam proses lanjut dapat
menyebabkan kematian jaringan bahkan dapat mengancam kehidupan. Klien dalam situasi
demikian mengharapkan kompetensi perawat dalaam mengenal keadaan hipoksemia dengan
segera untuk mengatasi masalah.
Pemberian terapi O2 dalam asuhan keperawatan, memerlukan dasar pengetahuan tentang
faktor-faktor yang mempengaruhi masuknya O2 dari atmosfir hingga sampai ke tingkat sel
melalui alveoli paru dalam proses respirasi. Berdasarkan hal tersebut maka perawat harus
memahami indikasi pemberian O2, metode pemberian O2 dan bahaya-bahaya pemberian O2.

II. TUJUAN
II.1. TUJUAN UMUM
Perawat mampu mengetahui indikasi dam metode pemberian terapi oksigen (O2.)
II.2. TUJUAN KHUSUS
a. Perawat mengetahui indikasi pemberian oksigen(O2.)
b. Perawat mengetahui metode pemberian oksigen(O2.)
c. Perawat mengetahui komplikasi pemberian terapi oksigen(O2.)

1
BAB II
TINJAUAN TEORI

A. PENGERTIAN
Oksigen adalah gas tidak berbau,tidak berwarna yang digunakan dalam mengobati
ataupun mencegah terjadinya hipoksia pada jaringan. (Jamieson et al 2007).
Walaupun sudah umum digunakan dalam pelayanan kesehatan naamun masih sering
dijumpai ketidaktepatan dalam penggunaanya.(Kor and Lim 2000, Wong et al
2000,Thompson et al 2002,Kbar and Campbell 2006)

B. PROSES RESPIRASI
Proses respirasi merupakan proses pertukaran gas yang masuk dan keluar melalui
kerjasama dengan sistem kardiovaskuler dan kondisi hematologis.
Oksigen di atmosfir mengandung konsentrasi sebesar 20,9 % akan masuk ke alveoli
melalui mekanisme ventilasi kemudian terjadi proses pertukaran gas yang disebut proses
difusi. Difusi adalah suatu perpindahan/ peralihan O2 dari konsentrasi tinggi ke
konsentrasi rendah dimana konsentrasi O2 yang tinggi di alveoli akan beralih ke kapiler
paru dan selanjutnya didistribusikan lewat darah dalam 2 (dua) bentuk yaitu : (1) 1,34 ml
O2 terikat dengan 1 gram Hemoglobin (Hb) dengan persentasi kejenuhan yang disebut
dengan “Saturasi O2” (SaO2), (2) 0,003 ml O2 terlarut dalam 100 ml plasma pada tekanan
parsial O2 di arteri (PaO2) 1 mmHg.
Kedua bentuk pengangkutan ini disebut sebagai kandungan O2 atau “Oxygen Content”
(CaO2) dengan formulasi :
CaO2 = (1,34 x Hb x SaO2) + (0,003 x PaO2)
Sedangkan banyaknya O2 yang ditransportasikan dalam darah disebut dengan “Oxigen
Delivery” (DO2) dengan rumus :

DO2 = (10 x CaO2) x CO


Dimana CO adalah “Cardiac Output” (Curah Jantung). CO ini sangat tergantung kepada
besar dan ukuran tubuh, maka indikator yang lebih tepat dan akurat adalah dengan

2
menggunakan parameter “Cardiac Index” (CI). Oleh karena itu formulasi DO2 yang lebih
tepat adalah :
DO2 = (10 x CaO2) x CI
Selanjutnya O2 didistribusikan ke jaringan sebagai konsumsi O2 (VO2) Nilai VO2 dapat
diperoleh dengan perbedaan kandurngan O2 arteri dan vena serta CI dengan formulasi
sebagai berikut :
VO2a = (CaO2 – CvO2) x CI
Selain faktor difusi dan pengangkutan O2 dalam darah maka faktor masuknya O2 kedalam
alveoli yang disebut sebagai ventilasi alveolar.

VENTILASI ALVEOLAR
Ventilasi alveolar adalah salah satu bagian yang penting karena O2 pada tingkat
alveoli inilah yang mengambil bagian dalam proses difusi. Besarnya ventilasi alveolar
berbanding lurus dengan banyaknya udara yang masuk keluar paru, laju nafas, udara
dalam jalan nafas serta keadaan metabolik.
Banyaknya udara masuk keluar paru dalam setiap kali bernafas disebut sebagai “Volume
Tidal” (VT) yang bervariasi tergantung pada berat badan. Nilai VT normal pada orang
dewasa berkisar 500 – 700 ml dengan menggunakan “Wright’s Spirometer”. Volume
nafas yang berada di jalan nafas dan tidak ikut dalam pertukaran gas disebut sebagai
“Dead Space” (VD)(Ruang Rugi) dengan nilai normal sekitar 150 - 180 ml yang terbagi
atas tiga yaitu : (1) Anatomic Dead Space, (2) Alveolar Dead Space, (3) Physiologic
Dead Space.
Anatomic Dead Space yaitu volume nafas yang berada di dalam mulut, hidung
dan jalan nafas yang tidak terlibat dalam pertukaran gas.
Alveolar Dead Space yaitu volume nafas yang telah berada di alveoli, akan tetapi tidak
terjadi pertukaran gas yang dapat disebabkan karena di alveoli tersebut tidak ada suplai
darah. Dan atau udara yang ada di alveoli jauh lebih besar jumlahnya dari pada aliran
darah pada alveoli tersebut.
Ventilasi alveolar dapat diperoleh dari selisih volume Tidal dan ruang rugi, dengan laju
nafas dalam 1 menit.

3
VA = (VT – VD) x RR
Sedangkan tekanan parsial O2 di alveolar (PaO2) diperoleh dari fraksi O2 inspirasi (FiO2)
yaitu 20,9 % yang ada di udara, tekanan udara, tekanan uap air, tekanan parsial CO 2 di
arteri (PaCO2).
PaO2 = FiO2 (760 – 47) – (PaCO2 : 0,8)
Demikian faktor-faktor yang mempengaruhi proses respirasi dimana respirasi tidak saja
pertukaran gas pada tingkat paru (respirasi eksternal) tetapi juga pertukaran gas yang
terjadi pada tingkat sel (respirasi internal).

C. INDIKASI TERAPI OKSIGEN


 Kegagalan pernafasan adalah salah satu indikasi pemberian terapi oksigen.
Kegagalan pernafasan adalah ketidakmampuan memelihara pertukaran gas yang
adekuat dan ditandai dengan ketidaknormalan konsentrasi oksigen dan karbondioksida
dalam darah arteri.
 Peningkatan pernafasan ( Respiration Rate) merupakan indikasi lain untuk terapi
oksigen. Pengawasan cermat dan penilaian catatan bagi pasien-pasien akut merupakan
petunjuk penilai untuk kondisi pasien yang memburuk.(National Institute For Health
and Health and Clinical Excellence (NICE) 2007 ).
 Hipoksemia , berkurangnya jumlah oksigen dalampembuluh darah juga merupakan
indikasi pemberian terapi oksigen.
Hipoksemia ditandai dengan penurunan kadar oksigen arteri dibawah 8 kPa (BTS
Standards of Care Committe 2002, Resuscitation Council (UK) 2005 ), saturasi
oksigen kurang dari 90%, atau lebih rendah ari kebutuhan klinis.Tingkat CO2 arteri
normal atau rendah. Hal ini sering disebut dengan kegagalan pernafasan type I.
 Pasien dengan kegagalan pernafasan type II mengalami penurunan konsentrasi oksigen
arteri di bawah 8kPa namun konsentrasi CO2 arteri darah lebih tinggi dari 6 kPa(BTS
Standards of Care Committee)
 Hipoksia juga bisa disebabkan oleh : kondisi henti jantung, Acute Myocard Infarc
(AMI),trauma berat,Cedera Kepala Berat,anemia,infeksi (peningkatan
metabolik),pembedahan,dan anestesi (Kallstrom and Amercan Association for
Respiratory Care (AARC)2002,Pruitt and Jacobs 2003, Higgins 2006)
4
Berdasarkan tujuan terapi pemberian O2 yang telah disebutkan, maka adapun indikasi
utama pemberian O2 ini adalah sebagai berikut : (1) Klien dengan kadar O2 arteri
rendah dari hasil analisa gas darah, (2) Klien dengan peningkatan kerja nafas, dimana
tubuh berespon terhadap keadaan hipoksemia melalui peningkatan laju dan dalamnya
pernafasan serta adanya kerja otot-otot tambahan pernafasan, (3) Klien dengan
peningkatan kerja miokard, dimana jantung berusaha untuk mengatasi gangguan O2
melalui peningkatan laju pompa jantung yang adekuat.
Berdasarkan indikasi utama diatas maka terapi pemberian O2 dindikasikan kepada
klien dengan gejala : (1) sianosis, (2) hipovolemi, (3) perdarahan, (4) anemia berat, (5)
keracunan CO, (6) asidosis, (7) selama dan sesudah pembedahan, (8) klien dengan
keadaan tidak sadar.

Terapi Oksigen dan COPD


Gagal nafas disebabkan oleh ketidak adekuatan tingkat sirkulasi oksigen dan kadang
disertai ketidakadekuatan pengeluaran CO2.Diklasifikasikan menjadi Type I dan II.
COPD dikelompokkan dalam gagal nafas type II.namun, penggunaan terapi oksigen
pada pasien dengan gagal nafas type II masih menjadi perbincangan.(Bateman and
Leach 1998,Bennett 2003)Pemberian terapi oksigen untuk pasien dengan COPD
penting untuk dimengerti (Woodrow 2005). Dalam keadaan normal tingkat CO2 darah
menstimulasi pusat pernafasan.Apabila kadar CO2 di darah arteri meningkat CO2
akan didifusikan melewati sawar darah otak ke cairan serebro spinal sampai terjadi
keseimbangan antara kadar di darah dan cairan serebrospinal. Ketika CO2 didifusikan
ke cairan serebrospinal, pH LCS akan turun,sehingga menstimulasi kemoreseptor di
dalam sisten syaraf pusat.Kemoreseptor ini menstimulasi pusat pernafasan dalam SSP
untuk meningkatkan dan memperdalam pernafasan sebagai upaya untuk mengeluarkan
CO2.Beberapa pasien dengan COPD mengalami gagal nafas type II ( Batman and
Leach 1998).Di gagal nafas type II, kehilangan sensitivitas kemoreseptor.Turunnya
kadar oksigen di arteri menstimulasi SSP dan bukan peningkatan CO2 yang
mempengaruhi.Akibatnya beberapa penulis menyatakan bahwa pemberian oksigen
dosis tinggi pada pasien COPD akan menurunkan usaha nafas yang mengakibatkan
depresi pernafasan.Namun Bateman and Leach (1998) menyatakan bahwa jumlah
5
pasien dengan COPD yang disertai gagal nafas type II hanya 10-15 %. Dan pasien
tersebut dapat meninggal karena hipoksia jika oksigen dibatasi karena ketakutan
dengan naiknya kadar CO2 yang akan mengurangi usaha nafas.The Resuscitation
Council (UK) (2005)menyarankan pemberian oksigen konsentrasi tinggi pada pasien
dengan penyakit kritis.

D. METODE PEMBERIAN TERAPI OKSIGEN


Dibagi dalam 2 kategori low flow delivery sistem (Sistem aliran Rendah ) dan high flow
delivery sistem.(Sistem Aliran Tinggi)
1. Sistem Aliran Rendah
a. Kateter nasal
Merupakan suatu alat sederhana yang dapat memberikan O2 secara kontinu
dengan aliran 1 – 6 L/mnt dengan konsentrasi 24% - 44%.
- Keuntungan
Pemberian O2 stabil, klien bebas bergerak, makan dan berbicara, murah dan
nyaman serta dapat juga dipakai sebagai kateter penghisap.
- Kerugian
Tidak dapat memberikan konsentrasi O2 yang lebih dari 45%, tehnik memasuk
kateter nasal lebih sulit dari pada kanula nasal, dapat terjadi distensi lambung,
dapat terjadi iritasi selaput lendir nasofaring, aliran dengan lebih dari 6 L/mnt
dapat menyebabkan nyeri sinus dan mengeringkan mukosa hidung, kateter
mudah tersumbat.
©2004 Digitized by USU digital library 3

6
b. Kanula nasal
Merupakan suatu alat sederhana yang dapat memberikan O2 kontinu dengan aliran
1 – 6 L/mnt dengan konsentrasi O2 sama dengan kateter nasal.
- Keuntungan
Pemberian O2 stabil dengan volume tidal dan laju pernafasan teratur, mudah
memasukkan kanul disbanding kateter, klien bebas makan, bergerak, berbicara,
lebih mudah ditolerir klien dan nyaman.
- Kerugian
Tidak dapat memberikan konsentrasi O2 lebih dari 44%, suplai O2 berkurang bila
klien bernafas lewat mulut, mudah lepas karena kedalam kanul hanya 1 cm,
mengiritasi selaput lendir.

7
c. Sungkup muka sederhana
Merupakan alat pemberian O2 kontinu atau selang seling 5 – 8 L/mnt dengan
konsentrasi O2 40 – 60%.
- Keuntungan
Konsentrasi O2 yang diberikan lebih tinggi dari kateter atau kanula nasal, system
humidifikasi dapat ditingkatkan melalui pemilihan sungkup berlobang besar, dapat
digunakan dalam pemberian terapi aerosol.
- Kerugian
Tidak dapat memberikan konsentrasi O2 kurang dari 40%, dapat menyebabkan
penumpukan CO2 jika aliran rendah.

d. Sungkup muka dengan kantong rebreathing :


Suatu tehinik pemberian O2 dengan konsentrasi tinggi yaitu 60 – 80% dengan aliran
8 – 12 L/mnt
- Keuntungan
Konsentrasi O2 lebih tinggi dari sungkup muka sederhana, tidak mengeringkan selaput
lendir

8
- Kerugian
Tidak dapat memberikan O2 konsentrasi rendah, jika aliran lebih rendah dapat
menyebabkan penumpukan CO2, kantong O2 bisa terlipat.

e. Sungkup muka dengan kantong non rebreathing


Merupakan tehinik pemberian O2 dengan Konsentrasi O2 mencapai 99% dengan
aliran 8 – 12 L/mnt dimana udara inspirasi tidak bercampur dengan udara ekspirasi
- Keuntungan :
Konsentrasi O2 yang diperoleh dapat mencapi 100%, tidak mengeringkan selaput
lendir.
- Kerugian
Kantong O2 bisa terlipat.

9
2. Sistem Aliran Tinggi
Suatu tehnik pemberian O2 dimana FiO2 lebih stabil dan tidak dipengaruhi oleh tipe
pernafasan, sehingga dengan tehnik ini dapat menambahkan konsentrasi O2 yang
lebihtepat dan teratur.
Adapun contoh tehnik system aliran tinggi yaitu sungkup muka dengan ventury.
Prinsip pemberian O2 dengan alat ini yaitu gas yang dialirkan dari tabung akan menuju
ke sungkup yang kemudian akan dihimpit untuk mengatur suplai O2 sehingga tercipta
tekanan negatif, akibatnya udaraluar dapat diisap dan aliran udara yang dihasilkan lebih
banyak. Aliran udara pada alat ini sekitas 4 – 14 L/mnt dengan konsentrasi 30 – 55%.
- Keuntungan
Konsentrasi O2 yang diberikan konstan sesuai dengan petunjuk pada alat dan tidak
dipengaruhi perubahan pola nafas terhadap FiO2, suhu dan kelembaban gas dapat
dikontrl serta tidak terjadi penumpukan CO2
- Kerugian
Kerugian system ini pada umumnya hampir sama dengan sungkup muka yang lain
pada aliran rendah.

E. KOMPLIKASI TERAPI OKSIGEN


Penggunaan oksigen mempengaruhi jaringan paru.Hal ini terjadi jika pemberian
oksigen dengan konsentrasi lebih dari 60 % diberikan lebih dari 24 jam maka akan
menyebabkan menurunnya pengembangan paru.Perubahan jaringan paru yang
disebabkan oleh tingginya konsentrasi oksigen disebut dengan keracunan oksigen (
Oxygen Toxicity)(Jevon and Ewens 2001).
Tingginya konsentrasi oksigen dapat menyebabkan menurunnya produksi surfaktan,
sehingga mengakibatkan atelektasis.(kolapnya alveoli sehingga mengurangi pertukaran
gas).

10
BAB III
ANALISA PICO

OKSIGENISASI DENGAN BAG AND MASK 10 LPM MEMPERBAIKI ASISDOSIS


RESPIRATORIK
PROBLEM KLINIK / Edema paru akut terjadi karena adanya penumpukan cairan di alveolar
POPULASI dan menyebabkan alveoli kolaps sehingga terjadi pertukaran gas
yangberlanjut pada hipoksemia bila berlanjut pasien akan mengalami
asidosis respiratorik.

12 respoden pasien dirawat di ICU RS Adi Husada Kapasari, dengan


edema paru.
INTERVENTION Desain penelitian menggunakan pre experimental one group pre
posttest design. Penelitian dilakukan mulai 29 November 2006 sampai
10 Januari 2007. Variable indipenden dalam penelitian ini adalah
memberikan oksigen dengan Bag and Mask 10 lpm, sedangkan
variable dependen adalah kondisi asidosis respiratorik.
COMPARATION TREATMENT OF SEVERE CARDIOGENIC PULMONARY
EDEMA WITH CONTINUOUS POSITIVE AIRWAY
PRESSURE DELIVERED BY FACE MASK
Result :
After 30 minutes, both respiratory rate and arterial carbon dioxide
tension had decreased more in the patients who received oxygen plus
continuous positive airway pressure. The mean (±SD) respiratory rate
at 30 minutes decreased from 32±6 to 33±9 breaths per minute in the
patients receiving oxygen alone and from 35 ±8 to 27±6 breaths per
minute in those receiving oxygen plus continuous positive airway
pressure (P = 0.008); the arterial carbon dioxide tension decreased
from 64±17 to 62±14 mm Hg in those receiving oxygen alone and
from 58±8 to 46±4 mm Hg in those receiving oxygen plus continuous
positive airway pressure (P<0.001). The patients receiving continuous

11
positive airway pressure also had a greater increase in the arterial pH
(oxygen alone, from 7.15± to 7.18±0.18; oxygen plus continuous
positive airway pressure, from 7.18±0.08 to 7.28±0.06; P<0.001 ) and
in the ratio of arterial oxygen tension to the fraction of inspired
oxygen (oxygen alone, from 136±44 to 126±47; oxygen plus
continuous positive airway pressure, from 138±32 to 206±126; P =
0.01). After 24 hours, however, there were no significant differences
between the two treatment groups in any of these respiratory indexes.
Seven (35 percent) of the patients who received oxygen alone but none
who received oxygen plus continuous positive airway pressure
required intubation and mechanical ventilation (P = 0.005). However,
no significant difference was found in in-hospital mortality (oxygen
alone, 4 of 20 patients; oxygen plus continuous positive airway
pressure, 2 of 19; P = 0.36) or the length of the hospital stay.

OUTCOME Dari 12 responden, menunjukkan bahwa 10 responden (83%) terjadi


peningkatan PaO2 dan 2 responden (17%) tidak mengalami
peningkatan PaO2.

Hasil PaO2 menunjukkan rata-rata PaO2 78.05 mmHg sebelum


oksigenisasi dan rata-rata 110.27 mmHg setelah oksigenisasi dengan
Bag and Mask 10 lpm.
Pada pasien edema paru akut yang ditujukkan dengan hasil analisis
statistic Paired t –Test p = 0,005.

Hasil pH didapatkan hasil rata-rata pH 7.280 sebelum oksigenisasi dan


rata-rata 7.343 setelah oksigenisasi dengan Bag and Mask 10 lpm.
Pada pasien edema paru akut yang ditujukkan dengan hasil analisis
statistic Paired t –Test p = 0,003.

Hasil PaCO2 didapatkan hasil rata-rata PaCO2 53,6 mmHg sebelum

12
oksigenisasi dan rata-rata 49,5 mmHg setelah oksigenisasi dengan
Bag and Mask 10 lpm.
8 Respoden (67%) mengalami penurunan PaCO2, dan 4 responden
(33%) tidak terjadi penurunan PaCO2.
Pada pasien edema paru akut yang ditujukkan dengan hasil analisis
statistic Paired t –Test p = 0,004.

Pemberian oksigen dengan Bag and Mask 10 lpm mencegah


hipoksemia dan perbaikan asidosis pada klien edema paru.

PENGARUH TERAPI OKSIGENISASI NASAL PRONG TERHADAP PERUBAHAN


SATURASI OKSIGEN PASIEN CEDERA KEPALA DI INSTALASI GAWAT
DARURAT RSUPPROF.DR.R.DKANDOU MANADO
PROBLEM KLINIK / Cedera kepala adalah suatu gangguan traumatic dari fungsi otak yang
POPULASI disertai atau tanpa perdarahan intertinal, Pengelolaan kedaruratan pada
cedera kepala dengan pemberian terapi oksigenisasi diantaranya
menggunakan nasal prong untuk menjaga kestabilan oksigen di
jaringan tubuh dan otak.

Jumlah sample untuk penelitian ini sebanyak 16 orang(dari 138)


INSTALASI GAWAT DARURAT RSUPPROF.DR.R.DKANDOU
MANADO
INTERVENTION Desain penelitian yang digunakan adalah quasi eksperimen dengan
rancangan time series, instrument yang digunakan untuk internensi
adalah pengukuran nilai saturasi oksigen menggunakan alat pulse
oxymetri, sedangkan instrument pengumpulan data menggunakan nilai
saturasi oksigen berupa lembar observasi, teknik pengambilan sample
yaitu consecutive di INSTALASI GAWAT DARURAT RSU PPROF.
DR. R. DKANDOU MANADO pada tanggal 17 November 2016 – 09
Desember 2016

13
COMPARATION PENGARUH PEMBERIAN OKSIGEN MELALUI MASKER
SEDERHANA DAN POSISI KEPALA 300TERHADAP
PERUBAHANTINGKAT KESADARAN PADA PASIEN
CEDERA KEPALA SEDANG DI RSUD
Hasil :
Ada pengaruh pemberian oksigen melalui masker sederhana dan posisi
kepala 300 terhadap perubahantingkat kesadaran pada pasien cedera
kepala sedang dengan nilai p value 0,009. dengan rerata nilai sebelum
dilakukan intervensi pemberian oksigen melalui masker sederhana dan
posisi kepala 300yaitu 10 dengan standar deviasi 1,145.
Dan setelah dilakukan intervensi pemberian oksigen melalui masker
sederhana dan posisi kepala 300yaitu 11,07 dengan standar deviasi
2,766
OUTCOME Berdasarkan hasil uji analisis dengan menggunakan uji t dependen dan
uji repeated ANOVA :

SaO2 sebelum dan sesudah 10 Nilai p – value = 0,000 < α 0,05


menit pertama
Hasil 10 menit ke dua dan Nilai p – value = 0,005 < α 0,05
ketiga menggunakan SaO2

hasil penelitian tersebut dapat diketahui bahwa sebagian besar


responden datang ke RS dengan keadaan hipoksia ringan – sedang
dengan saturasi SaO2 90% - < 95%. Setelah pemberian oksigenisasi
nasal prong selama 30 menit berada dalam kondisi normal dengan
saturasi oksigen 95% - 100%.

Berdasarkan didapatkan terapi oksigenisasi nasal prong berpengaruh


terhadap perubahan saturasi oksigen pasien cedera kepala di
INSTALASI GAWAT DARURAT RSUPPROF.DR.R.DKANDOU
MANADO

14
PENGARUH TERAPI OKSIGEN MENGGUNAKAN NON – REBREATING MASK
TERHADAP TEKANAN PARSIAL CO2 DARAH PADA PASIEN KEPALA SEDANG
PROBLEM KLINIK / POPULASI Cedera kepala menpati peringakat tertinggi RS
M.DJAMIL PADANG, yang menyebabkan tinggi angka
keakitan dan kematian. Tekanan parsial CO2 sangat
berpengaruh terhadap aliran darah otak dan tekanan
intracranial.

Pada penelitian jumlah sample 16 pasien yang sesuai


dengan kriteria inklusi dan ekslusi
INTERVENTION Penelitian ini merupakan penelitian clinical trial dengan
rancangan penelitian one shoot pretest and post test.
Pengambilan sample menggunakan non – probability
sampling dengan teknik consecutive sampling.
Dilakukan di IGD RS M. DJAMIL PADANG dari
tanggal 15 November 2012 sampai 2 Januari 2013
COMPARATION Tidak ada pembanding untuk oksigenisasi pada non
rebreating mask
OUTCOME Berdasarkan hasil rata-rata PCO2 sebelum dan sesudah
terapi oksigen menggunakan non rebreating mask
masing-masing 32,06+ 6,35 dan 39,00 + 3,74. Nilai PH
darah setelah pemberian terapi oksigen non rebreating
ini 75% berada pada nilai normal.

Dari hasil paired t test didapatkan hubungan bermakna


PCO2 sebelum dan sesudah terapi oksigen non
rebreating. Dan terjadi penurunan rata-rata PCO2 setelah
pemberian terapi oksigen non rebreating mask

Dari hasil uji hipotesa juga dapat diterima sesuai teori


ohn Dalton bahwa tingginyafraksi inspirasi O2 akan

15
meninhkatkan tekanan pasrsial gastersebut, yang akan
menurunkan tekanan parsial CO2 dalam NRM
1. Nilai PH dan PCO2 darah setelah terapi NRM
sebagian besar dalam batas normal
2. Terjadinya penurunan PCO2 setelah terapi NRM

HUBUNGAN OKSIGENISASI DENGAN KEJADIAN SHIVERING PASIEN SPINAL


ANESTESI DI RSUD PROF.DR.MARGONO SOEKARJO PURWOKERTO
PROBLEM KLINIK / Angka kejadian shevering antara 5% - 65%, menyebabkan efek
POPULASI fisiologis yang sangat merugikan seperti vasokontriksi primer,
kompensasi kebutuhan oksigen yang meningkat sampai 5 kali
meningkatkan produksi karbon dioksida, menurunkan oksigen saturasi
arteri, metabolism obat menurun, menggangu terbentuknya factor
pembekuan, menurunkan respon imun, gangguan penyembuhan luka,
meningkatkan pemecahan protein dan iskemik otot jantung.

45 sample pada pasien spinal anestesi di RSUD PROF. DR.


MARGONO SOEKARJO PURWOKERTO.

Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik dengan


pendekatan cross sestional. Pengambilan data sample dengan cara
INTERVENTION
purposive sampling didapakan 45 orang pada bulan November 2016
dan analisa data menggunakan uji statistic chi square.

COMPARATION Tidak ada pembanding untuk oksigenisasi pada shivering

OUTCOME 1. Pemberian oksigen pada pasien spinal anstesi di RSUD PROF.


DR. MARGONO SOEKARJO PURWOKERTO sebagian besar
lebih dari 2 L/menit yaitu 25 orang (55,6%)
2. Kejadian shivering pada pasien di RSUD PROF.DR.MARGONO

16
SOEKARJO PURWOKERTO sebagian tidak mengalami yaitu 33
orang (73.3%)
3. Ada hubungan antara pemberian oksigen dengan kejadian
shevering di RSUD PROF.DR.MARGONO SOEKARJO
PURWOKERTO (p Value = 0.000)

PENCEGAHAN IRITASI MUKOSA HIDUNG PADA PASIEN YANG MENDAPATKAN


OKSIGEN NASAL
PROBLEM KLINIK / POPULASI Humidifier merupakan suatu alat untuk melembabkan
oksigen sebelum diterima oleh pasien (Pavlovic, 2000).
Penggunaan humidifi er penting pada terapi oksigen,
tetapi hasil penelitian Nafi sah (2007) menemukan
bahwa pemakaian humidifi er selama lebih dari 24 jam
sudah mulai ditumbuhi bakteri. Bakar (2009)
menemukan pemakaian humidifier 12 jam sudah
ditumbuhi bakteri. Kondisi tersebut sangat berisiko
terjadinya infeksi pada pasien.

Sample yang dilakukan penelitian di Rumah Sakit Port


Health Center Surabaya yaitu 20 orang.
INTERVENTION Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini
yaitu survei analitik dengan rancangan studi cross-
sectional. Populasi pada penelitian ini yaitu pasien yang
memakai oksigen nasal lebih dari 8 jam di ruang
perawatan Rumah Sakit Port Health CenterSurabaya.
Sampel diambil satu bulan, dengan teknik consecutive
sampling, dengan kriteria inklusi tidak menderita
penyakit infeksi saluran nafas atas dan tidak menderita
penyakit imunitas/ penurunan imunitas, dengan
diidentifi kasi dari diagnosa medis pasien
COMPARATION Tidak ada pembanding untuk humidifier

17
OUTCOME Hasil pengambilan data tentang pengaruh pemberian
oksigen non-humidifier dengan flow kurang dari 5 liter
per menit (lpm) terhadap pencegahan iritasi mukosa
hidung didapatkan hasil menunjukkan bahwa pemberian
flow oksigen pada responden terbanyak adalah 3 lpm
(14 responden). Pemberian flow oksigen sampai dengan
4 lpm tidak mengakibatkan efek negatif pada mukosa
hidung yaitu tidak adanya tanda iritasi pada daerah
mukosa hidung. Hasil pengambilan data tentang
pengaruh lama pemberian oksigen nasal dengan
menggunakan non humidifier lebih dari 8 jam terhadap
pencegahan iritasi mukosa hidung didapatkan data
menunjukkan bahwa lama pemakaian oksigen nasal
terbanyak 72 jam

Pemberian oksigen nasal dengan non humidifier dapat


mencegah terjadinya iritasi mukosa hidung. Pemakaian
non-humidifier digunakan selama 140 jam dengan flow
oksigen kurang dari 5 lpm.

18
BAB IV
PENUTUP

Terapi O2 merupakan salah satu dari terapi pernafasan dalam mempertahankan oksigenasi
jaringan yang adekuat. Secara klinis tujuan utama pemberian O2 adalah (1) untuk mengatasi
keadaan Hipoksemia sesuai dengan hasil Analisa Gas Darah, (2) untuk menurunkan kerja
nafas dan meurunkan kerja miokard.
Syarat-syarat pemberian O2 meliputi : (1) Konsentrasi O2 udara inspirasi dapat terkontrol, (2)
Tidak terjadi penumpukan CO2, (3) mempunyai tahanan jalan nafas yang rendah, (4) efisien
dan ekonomis, (5) nyaman untuk pasien.
Dalam pemberian terapi O2 perlu diperhatikan “Humidification”. Hal ini penting
diperhatikan oleh karena udara yang normal dihirup telah mengalami humidfikasi sedangkan
O2 yang diperoleh dari sumber O2 (Tabung) merupakan udara kering yang belum
terhumidifikasi, humidifikasi yang adekuat dapat mencegah komplikasi pada pernafasan.

19
DAFTAR PUSTAKA

Black, Joyce M. Medical Surgical Nursing ; Clinical Management For Continuity Of Care,
W.B Sunders Company, 1999
Brunner & Suddarth. Buku Ajar Medikal Bedah, edisi bahasa Indonesia, vol. 8, Jakarta,2001
…………, Dasar Dasar Keperawatan Kardiotarasik, Edisi ketiga, Rumah Sakit Jantung
“Harapan Kita”, Jakarta 1993
©2004 Digitized by USU digital library 6

20

You might also like