You are on page 1of 5

Bolehkah Maslahat Jadi Dasar Pengambilan Hukum?

Soal:
Sejauh mana batasan maslahat dalam pandangan Islam? Bolehkah aspek kemaslahatan
menjadi dasar untuk mengambil hukum, termasuk untuk menjustifikasi keikutsertaan
dalam Pemilu yang haram?

Jawab:
Sebelum menjelaskan beberapa masalah yang ditanyakan di atas, tampaknya perlu
dijelaskan sandaran maslahat, siapa Imam Mazhab yang diklaim menyatakan
pandangan tentang maslahat ini, termasuk batasan maslahat itu sendiri.

Pertama: Banyak orang mengklaim, Imam Malik, pendiri Mazhab Maliki lah orang yang
menyatakan bahwa maslahat merupakan hujah (dalil). Namun, klaim seperti ini ditolak
oleh al-Amidi, “Hanya saja, apa yang dinukil dari Imam Malik, bahwa beliau menyatakan
maslahat, padahal para pengikutnya telah mengingkarinya dari beliau.” (Al-'Allamah
Saifuddin al-Amidi, Al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam, IV/216)

Ibn Hajib juga menyatakan hal yang sama tentang Mashalih Mursalah, “Itu merupakan
sesuatu yang tidak jelas asalnya. Kebanyakan justru menolak berpegang dengan itu. Ada
yang menisbatkan kepada Imam Malik, padahal sebaliknya. Itu justru jauh dari
(pandangan) beliau.” (Al-'Allamah Ibn Hajib, Muntaha al-Wushul wa al-Amal, hlm. 208)

Karena itu menisbatkan Mashalih Mursalah kepada Imam Malik sebagai hujjah (dalil) itu
jelas mengada-ada.

Kedua: batasan maslahat. Secara bahasa maslahat adalah lawan mafsadat (kerusakan).
Bentuk jamaknya mashalih. Secara istilah, maslahat adalah menjaga maksud Asy-Syari'.
Ada yang mengatakan, kenikmatan (taladzdzudz) dan sarana (wasilah). Imam as-Syafi’i
dalam kitabnya, Ar-Risalah, menyatakan:
ّّ‫إلاتسّّحّاس نّ لّتّ ذ‬
ّ
‫اّنمّإ‬
“Sesungguhnya istihsan merupakan bentuk taladzdzudz (mencari kepuasan nafsu dan
akal).” (Al-Imam as-Syafii, Ar-Risalah, hlm. 508; Masalah no. 1464-1468)
Istihsan yang dikritik oleh Imam as-Syafi’i di sini termasuk istishlah, yaitu Mashalih
Mursalah. Bukan hanya istihsan saja. Karena itu dalam pernyataannya yang lain, beliau
menyatakan:
ّ ّ
ّ‫ا تسّّق ّّفدّع ّرم ا تسّّ ق ّّفدّع ّرمش‬
‫ص ح‬ ‫ل‬
ّ‫مّنّ ّّ ّ شّكّمّنّحّسّن‬

“Siapa saja yang menggunakan maslahat (sebagai hujah), maka dia benar-benar telah
membuat syariah. Sama dengan orang yang menggunakan istihsan, maka dia benar-
benar telah membuat syariah.” (Hujjat al-Islam al-Ghazali, Al-Musthasfa fi 'Ilm al-Ushul,
I/245)
Ibn Taimiyyah menambahkan, “Mashalih Mursalah merupakan bentuk pensyariatan
dalam agama (Islam) dengan menggunakan sesuatu yang tidak dibenarkan [oleh Islam].
Ia dalam beberapa aspek sama dengan istihsan, penilaian baik-buruk dengan
menggunakan akal dan pandangan (nalar), dan sejenisnya.” (Mahmud 'Abdul Karim
Hasan, Al-Mashalih al-Mursalah: Dirasah Tahliliyyah wa Munaqasyah Fiqhiyyah wa
Ushuliyyah Ma'a Amtsilah Tahbiqiyyah, Dar an-Nahdhah al-Islamiyyah, hlm. 72)
Karena itu, sebenarnya pandangan tentang maslahat dalam konteks hukum Islam ini
tidak lepas dari dua:
1- Pandangan yang menggunakan akal dan hawa nafsu dalam menarik hukum syariah.
Pandangan seperti ini jelas batil.
2- Orang-orang yang menyatakan tentang penggunaannya sebagai hujjah, mereka
membangunnya dengan apa yang mereka klaim sebagai dalil (argumen), padahal
sejatinya semuanya itu hanya syubhat. Bahkan dengan lancang mereka menisbatkan hal
itu kepada Imam Malik, padahal itu tidak pernah beliau nyatakan.

Sebelum menjelaskan tentang penggunaan Mashalih Mursalah dalam konteks Pemilu,


mungkin perlu beberapa contoh yang diklaim menggunakan Mashalih Mursalah. Seperti
pengumpulan al-Qur’an yang dilakukan pada zaman Abu Bakar ra. atas inisiatif Umar
bin al-Khatthab ra. Kasus penyambukan orang yang meminum khamer dengan 80 kali
cambukan yang diterapkan 'Umar ra. Penunjukan Umar oleh Abu Bakar ra. sebagai
penggantinya menjadi khalifah. Orang yang terlibat pembunuhan bersama-sama
dijatuhi hukuman yang sama, meski pembunuhnya dan korbannya hanya seorang.
Inilah beberapa contoh yang sering diklaim sebagai bentuk penggunaan Mashalih
Mursalah dalam menarik hukum yang dilakukan di zaman sahabat. Semua kasus ini
sudah dibahas dan dibantah oleh Muhammad Syuwaiqi dalam kitabnya, Al-Wadhih fi
Ibthali al-Mashalih (Muhammad Syuwaiqi, Al-Wadhih fi Ibthali al-Mashalih, Dar al-
Bayariq, Beirut, cet. III, 1998, hlm. 99-103). Juga Mahmud 'Abdul Karim Hasan, dalam
kitabnya, Al-Mashalih al-Mursalah: Dirasah Tahliliyyah wa Munaqasyah Fiqhiyyah wa
Ushuliyyah ma'a Amtsilah Tathbiqiyyah, Dar an-Nahdhah al-Islamiyyah, hlm. 86-102.

Dari uraian di atas, jelas bahwa menggunakan maslahat sebagai dasar untuk menarik
hukum syariah adalah batil; tidak bisa diterima, baik oleh mazhab yang diklaim
menggunakannya sebagai hujjah, maupun oleh mazhab yang jelas-jelas menolaknya
sebagai hujjah. Karena itu sebenarnya penggunaan mashalat ini hanyalah dalih (hilah),
bukan dalil. Penggunaan dalih (hilah) untuk menarik hukum itu sendiri batil, yang telah
dibahas oleh banyak ulama. Sebut saja, Al-Qadhi Abu Ya'la, dalam kitabnya, Ibthal al-
Hiyal.

Pertimbangan maslahat juga sering berpatokan pada hasil, sebagaimana dalam kasus
Pemilu. Misalnya, “Jika umat Islam tidak mengikuti Pemilu, maka negeri Muslim terbesar
ini akan dikuasai orang non-Muslim. Jika negeri ini dikuasai orang non-Muslim, maka
sama dengan menjerumuskan negeri ini dalam kekuasaan mereka. Ini jelas haram.”
Menarik kesimpulan hukum dengan cara seperti ini jelas salah. Lalu di mana letak
kesalahannya karena tampaknya benar?

Kesalahan logika di atas, bisa dirunut sebagai berikut:


Pertama: Kesimpulan hukum ini bukanlah kesimpulan yang dibangun berdasarkan dalil,
istidlal atau istinbat, tetapi logika mantik. Memang benar, memberi peluang kepada
orang kafir untuk menguasai kaum Muslim, termasuk negerinya, hukumnya haram.
Keharaman ini dinyatakan dengan tegas dalam al-Qur'an (QS. an-Nisa' [4]: 141). Namun,
apakah benar, kaum kafir itu bisa menguasai kaum Muslim dan negerinya karena umat
Islam tidak ikut Pemilu? Di sinilah kesalahan logika itu tampak jelas:
(1) Faktanya justru melalui Pemilu, banyak negeri kaum Muslim dikuasai oleh kaum
kafir, sebagaimana Irak pasca pendudukan AS dan sekutunya. Justru, Pemilu dijadikan
sebagai alat untuk menjustifikasi cengkraman AS. Pemilu juga dijadikan alat untuk
mengakui kekuasaan yang sebenarnya tidak sah, sebagaimana AS dan Inggris
menggunakan keterlibatan Hamas di Palestina untuk melegalkan “negara Palestina.”
(2) Faktanya, ketika umat Islam menang dalam Pemilu, mereka juga tidak bisa
berkuasa, seperti FIS di Aljazair, Mursi di Mesir, Hamas di Palestina, dan banyak yang
lain. Ini bukti, bahwa logika di atas adalah salah. Kesalahannya sangat mudah
dibuktikan, cukup melalui fakta.

Kedua: Kesalahan berikutnya, karena menggunakan Ma'alat al-Af'al (hasil perbuatan)


sebagai pertimbangan hukum. Padahal menggunakan hasil perbuatan, positif dan
negatif, sebagai pertimbangan hukum jelas tidak boleh. Kita wajib terikat dengan
hukum syariah karena perintah dan larangan Allah, bukan karena pertimbangan
hasilnya, positif atau negatif, menurut akal dan nafsu kita.

Ketiga: Mungkin ada yang menggunakan pertimbangan kaidah berikut ini sebagai
argumen:

ّّ‫ا مّارّّلّ ةمّرمّم‬


‫ل ّّإ‬
ّ‫ةّ ليّس ّو ّّل‬
ّ‫ا‬
Sarana yang bisa mengantarkan pada keharaman hukumnya menjadi haram.
Kaidah ini benar. Namun, untuk digunakan dalam konteks hukum, harus memenuhi dua
syarat:
(1) Hukum yang menjadi tujuannya jelas haram dan keharamannya dinyatakan oleh
nash. Dalam hal ini, keadaan umat Islam dan negeri Muslim dikuasai oleh kaum kafir
jelas haram. Keharamannya juga dinyatakan dalam nas (QS. an-Nisa' [4]: 141).
(2) Sarana tersebut berdasarkan ghalabatu azh-zhann benar-benar bisa mengantarkan
umat Islam dalam cengkeraman kaum kafir. Nah, dalam kasus Pemilu, kemungkinan
umat Islam dicengkeram oleh kaum kafir jika kalah memang ada. Namun, kemungkinan
sebaliknya juga ada, misalnya ketika mereka menang tidak bisa berkuasa, dan justru
kemenangan mereka digunakan untuk melanggengkan kekuasaan kaum kafir juga ada.
Jadi, Pemilu sebagai wasilah yang mengantarkan pada keharaman itu tidak pasti. Karena
itu kaidah ini tidak bisa digunakan untuk menarik kesimpulan hukum Pemilu ini.

Keempat: Kesalahan lain juga bisa dibuktikan melalui fakta, bahwa memang setelah
Pemilu, sejumlah partai Islam atau partai yang berbasis umat Islam itu, jika
dikumpulkan, meraih suara 31%, dan merupakan perolehan terbesar. Namun, mereka
ternyata tidak berpikir untuk kepentingan Islam dan kaum Muslim, justru mereka
berpikir untuk berkoalisi dengan partai sekular. Ini juga fakta, bahwa ternyata
mengikuti Pemilu dengan memilih partai Islam atau partai berbasis Islam, justru
melanggengkan sekularisme.

Kelima: Orang yang mereka pilih akan melakukan tugas dan fungsi yang haram, seperti
membuat UU dan peraturan yang tidak bersumber dari hukum Islam. Mereka juga akan
mengangkat dan melantik presiden yang tidak menerapkan sistem Islam. Padahal,
memberikan suara, sebagai bentuk wakalah, kepada orang yang akan melakukan tugas
dan fungsi seperti ini jelas haram. Karena merupakan bentuk wakalah fi al-haram, jadi
hukumnya juga haram. Lalu dari mana tindakan ini dinyatakan mubah?

Semua ini adalah bukti yang nyata, bagi siapa saja yang masih mempunyai akal sehat
dan kewarasan nalar, bahwa argumentasi maslahat agar umat Islam mengikuti Pemilu
yang sejatinya haram itu jelas-jelas bentuk iftira' 'ala-Llah kadziba (berani berbohong
dengan mengatasnamakan Allah). [KH. Hafidz Abdurrahman]
http://hizb-indonesia.info/2014/04/25/bolehkah-maslahat-jadi-dasar-pengambilan-
hukum/

You might also like