You are on page 1of 6

Nama : AGRA NABILFAVIAN.E.

Matkul : PAI

NIM : M17010002

1. Hal yg dipersiapkan suami istri untuk anak pertama?

PASCA MENIKAH
Setelah prosesi pernikahan, pasangan baru yang biasa disebut pengantin baru, akan selalu
mendapatkan perasaan yang penuh suka cita. Mungkin, masa inilah puncak keindahan dan
dambaan setiap insan, baik laki-laki maupun wanita.
Di balik rasa kegembiraan ini, tidak sedikit keluhan yang dialami pasangan baru. Selain harus
mempertimbangkan dalam hal kepribadian masing-masing, masalah kesehatan hampir
selalu terjadi pada awal kehidupan barunya. Secara fisik, sering terjadi pada pihak wanita.

Beberapa hari, bahkan sampai beberapa bulan setelah menikah, menikahi istri yang
sebelumnya masih perawan atau gadis, biasa akan mengeluh sakit di daerah farji, kemudian
menerima bantuan saat buang air kecil. Terkecil. Lebih lanjut, bisa beresiko terkena infeksi
saluran, terutama mereka yang sebelumnya pernah mengidap penyakit ini. Tak ketinggalan
nyeri pinggang dan punggung akan menyertai hai-hari baru sang istri.

Dengan berjalannya waktu, keluhan-keluhan tersebut dapat dihilangkan dengan sendirinya.


Jika sakit pada saat berkemih juga luka di daerah farji terus-menerus, sangat dibutuhkan
pemahaman dan keikhlasan dari sang suami, berarti untuk sementara tidak melakukan
sanggama, sampai rasa sakit itu hilang. Jika kondisi istri masih sakit, namun tetap dipaksakan
untuk berjima '-meskipun semuanya ridha- malah tak akan mendapatkan kesenangan yang
sempurna, juga bisa menyebabkan sakit sang istri akan bertambah parah. Bila keluhan
terhenti tidak berkurang atau hilang, segera diantisipasi. Obat-obat analgetik bisa
meredakan rasa sakit tersebut. Bila perlu diberi antibiotik, bila perlu infeksi di saluran
kencing dan daerah farji.

Ada lagi penyakit yang tiba-tiba datang pada saat pengantin baru ini, yaitu gastritis akut.
Dikenal dengan penyakit maag. Hal ini terjadi karena istri sering terlambat makan, lantaran
selalu menunggu sang suami tercinta datang dari mencari nafkah untuk bisa makan berdua.
Untuk menghindari datangnya penyakit maag ini, cobalah makan tepat waktu, atau saat
perut sudah lapar. Jika menghindar makan bersama suami, makanlah dengan porsi sedikit
lebih lama, atau makan camilan untuk mengusir rasa lapar tersebut, kemudian bisa diulangi
lagi pada saat suami datang. Hati-hati untuk mereka yang sebelumnya harus penyakit ini,
meminta lebih dijaga penyakit ini tidak lebih parah.

Selain pihak istri, sang suami pun setelah menikah menghabiskan sebagian besar waktunya.
Ini biasa terjadi pada mereka yang memperbaiki ejakulatio dini. Hal ini mendesak perlu
dikhawatirkan, karena ini masih dalam kondisi normal seperti pengantin baru.
2. Hal yg dilakukan suami istri untuk anak pertama?
Menyambut Kelahiran Si Buah Hati
A. Ketika lahir
1. Dianjurkan memberikan kabar gembira dengan kelahiran seorang anak.
2. Mentahnik (mengunyah buah kurma, lalu mengolesinya ke langit-langit mulut si bayi, atau
jika tidak ada dengan madu) dan mendoakan keberkahan untuknya (seperti mengucapkan
“Baarakallahu fiih”).

ْ‫ع‬
‫ن‬ َ ‫سى أَبِى‬ َ ‫ل – عنه هللا رضى – ُمو‬ ُ ، ُْ‫ى بِ ِْه فَأَت َيت‬
َْ ‫ قَا‬: ‫غالَمْ لِى ُو ِل َْد‬ َّْ ِ‫س َّماْهُ وسلم عليه هللا صلى النَّب‬ َْ ‫ إِب َراه‬، ُ‫ بِت َم َرةْ فَ َحْنَّ َك ْه‬،
َ َ‫ِيم ف‬
َ ‫ ِبال َب َر َك ِْة لَ ْهُ َو َد‬.
‫عا‬

Dari Abu Musa ia berkata: Anak saya lahir, lalu saya membawanya kepada Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam, kemudian Beliau menamainya Ibrahim, mentahkniknya dengan kurma dan
mendoakan keberkahan untuknya.” (HR. Bukhari)
B. Pada hari ketujuh (hari lahir dihitung sebagai hari pertama)
1. Mencukur habis rambutnya (baik anak laki-laki maupun anak perempuan) dan bersedekah
kepada orang-orang miskin dengan perak atau senilainya sesuai berat rambutnya ketika
ditimbang. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada
Fathimah saat ia melahirkan Al Hasan:

‫س ْهُ اِح ِلقِيْ فَاطِ َم ْة ُ يَا‬ َ َ ‫ب ِِ ِزنَ ِْة َوت‬


َ ‫ص َّدقِيْ َرأ‬ ِ ‫فِضَّةْ شَع ِرِْه‬

“Wahai Fathimah! Cukurlah rambutnya dan bersedekahlah sesuai berat rambutnya dengan
perak.” (HR. Ahmad, Malik, Tirmidzi, Hakik, dan Baihaqi, dihasankan oleh Syaikh al-Albani
dalam Shahih at-Tirmidzi no. 1226)
2. Memberinya nama (bisa dilakukan pada hari lahirnya, hari ketiga atau hari ketujuh),

melahirkan secara Secar ?Haram operasi caesar tanpa indikasi medis Kita diperintahkan
untuk bertanya kepada ahlinya jika kita tidak mengetahui.

‫ل فَاسأَلُوا‬
َْ ‫ت َعلَ ُمونَْ ال ُكنتُمْ إِنْ ال ِذِّك ِْر أَه‬

“Maka bertanyalah kepada orang yang berilmu jika kamu tidak mengetahui!” (QS. An-Nahl:
43).

3. Aqiqah anak pertama?


Waktu Pelaksanaan Aqiqah

Aqiqah disunnahkan dilaksanakan pada hari ketujuh. Hal ini berdasarkan hadits,

ْ‫عن‬
َ َ ‫س ُم َرْة‬
َ ‫ن‬ َّْ َ ‫ل أ‬
ِْ ‫ن ُجندُبْ ب‬ َْ ‫سو‬
ُ ‫ّللا َر‬ َْ ‫غالَمْ كُلْ « قَا‬
َِّْ -‫وسلم عليه هللا صلى‬- ‫ل‬ ُْ ‫عن ْهُ تُذ َب‬
ُ ْ‫ح ِب َْعقِيقَتِ ِْه َرهِينَة‬ َ ‫سا ِب ِع ِْه َيو َْم‬ ُْ َ‫س َّمى َويُحل‬
َ ‫ق‬ َ ُ‫» َوي‬

Dari Samuroh bin Jundub, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Setiap anak
tergadaikan dengan aqiqahnya, disembelihkan untuknya pada hari ketujuh, digundul
rambutnya dan diberi nama.” (HR. Abu Daud no. 2838, An Nasai no. 4220, Ibnu Majah nol.
3165, Ahmad 5/12. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Apa hikmah aqiqah dilaksanakan pada hari ketujuh?

Murid Asy Syaukani, Shidiq Hasan Khon rahimahullah menerangkan, “Sudah semestinya ada
selang waktu antara kelahiran dan waktu aqiqah. Pada awal kelahiran tentu saja keluarga
disibukkan untuk merawat si ibu dan bayi. Sehingga ketika itu, janganlah mereka dibebani
lagi dengan kesibukan yang lain. Dan tentu ketika itu mencari kambing juga butuh usaha.
Seandainya aqiqah disyariatkan di hari pertama kelahiran sungguh ini sangat menyulitkan.
Hari ketujuhlah hari yang cukup lapang untuk pelaksanaan aqiqah.”[1]

Dari waktu kapan dihitung hari ketujuh?

Disebutkan dalam Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah,

ِّْ ‫ السِّبعة من يحسب الوالدة يوم‬، ‫ ليالْ ولد إن اللِّيلة تحسب وال‬، ‫يليها الِّذي اليوم يحسب بل‬
‫أن إلى الفقهاء جمهور وذهب‬

“Mayoritas ulama pakar fiqih berpandangan bahwa waktu siang[2] pada hari kelahiran
adalah awal hitungan tujuh hari. Sedangkan waktu malam[3] tidaklah jadi hitungan jika bayi
tersebut dilahirkan malam, namun yang jadi hitungan hari berikutnya.”[4] Barangkali yang
dijadikan dalil adalah hadits berikut ini,

ْ‫عن ْهُ تُذ َب ُح‬


َ ‫سا ِب ِع ِْه َيو َْم‬
َ

“Disembelih baginya pada hari ketujuh.” Hari yang dimaksudkan adalah siang hari.

Misalnya ada bayi yang lahir pada hari Senin (21/06), pukul enam pagi, maka hitungan hari
ketujuh sudah mulai dihitung pada hari Senin. Sehingga aqiqah bayi tersebut dilaksanakan
pada hari Ahad (27/06).

Jika bayi tersebut lahir pada hari Senin (21/06), pukul enam sore, maka hitungan awalnya
tidak dimulai dari hari Senin, namun dari hari Selasa keesokan harinya. Sehingga aqiqah bayi
tersebut pada hari Senin (28/06). Semoga bisa memahami contoh yang diberikan ini.

Bagaimana jika aqiqah tidak bisa dilaksanakan pada hari ketujuh?

Dalam masalah ini terdapat silang pendapat di antara para ulama.

Menurut ulama Syafi’iyah dan Hambali, waktu aqiqah dimulai dari kelahiran. Tidak sah
aqiqah sebelumnya dan cuma dianggap sembelihan biasa.

Menurut ulama Hanafiyah dan Malikiyah, waktu aqiqah adalah pada hari ketujuh dan tidak
boleh sebelumnya.

Ulama Malikiyah pun membatasi bahwa aqiqah sudah gugur setelah hari ketujuh. Sedangkan
ulama Syafi’iyah membolehkan aqiqah sebelum usia baligh, dan ini menjadi kewajiban sang
ayah.
Sedangkan ulama Hambali berpendapat bahwa jika aqiqah tidak dilaksanakan pada hari
ketujuh, maka disunnahkan dilaksanakan pada hari keempatbelas. Jika tidak sempat lagi
pada hari tersebut, boleh dilaksanakan pada hari keduapuluh satu. Sebagaimana hal ini
diriwayatkan dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha.

Adapun ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa aqiqah tidaklah dianggap luput jika diakhirkan
waktunya. Akan tetapi, dianjurkan aqiqah tidaklah diakhirkan hingga usia baligh. Jika telah
baligh belum juga diaqiqahi, maka aqiqahnya itu gugur dan si anak boleh memilih untuk
mengaqiqahi dirinya sendiri.[5]

Dari perselisihan di atas, penulis sarankan agar aqiqah dilaksanakan pada hari ketujuh, tidak
sebelum atau sesudahnya. Lebih baik berpegang dengan waktu yang disepakati oleh para
ulama.

Adapun menyatakan dialihkan pada hari ke-14, 21 dan seterusnya, maka penentuan tanggal
semacam ini harus butuh dalil.

Sedangkan menyatakan bahwa aqiqah boleh dilakukan oleh anak itu sendiri ketika ia sudah
dewasa sedang ia belum diaqiqahi, maka jika ini berdalil dengan perbuatan Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam yang dikatakan mengaqiqahi dirinya ketika dewasa, tidaklah tepat.
Alasannya, karena riwayat yang menyebutkan semacam ini lemah dari setiap jalan. Imam
Asy Syafi’i sendiri menyatakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah
mengaqiqahi dirinya sendiri (ketika dewasa) sebagaimana disebutkan dalam salah satu kitab
fiqih Syafi’iyah Kifayatul Akhyar[6]. Wallahu a’lam.

Apakah Disunnahkan Aqiqah pada Bayi yang Keguguran?

Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin –rahimahullah– pernah ditanya, “Seorang bayi
yang dilahirkan dan ketika ia lahir langsung meninggal dunia, apakah diwajibkan baginya
aqiqah?”

Beliau menjawab, “Jika bayi dilahirkan setelah bayi dalam kandungan sempurna empat
bulan, ia tetap diaqiqahi dan diberi nama. Karena bayi yang telah mencapai empat bulan
dalam kandungan sudah ditiupkan ruh dan ia akan dibangkitkan pada hari kiamat.”[7]

Dalam pertemuan yang lain, Syaikh Ibnu ‘Utsaimin ditanya, “Jika seorang anak mati setelah
ia lahir beberapa saat, apakah mesti diaqiqahi?”

Jawabannya, “Jika anak termasuk mati beberapa saat setelah kelahiran, ia tetap diaqiqahi
pada hari ketujuh. Hal ini disebabkan anak tersebut telah ditiupkan ruh saat itu, maka ia
akan dibangkitkan pada hari kiamat. Dan di antara faedah aqiqah adalah seorang anak akan
memberi syafa’at pada kedua orang tuanya. Namun sebagian ulama berpendapat bahwa jika
anak tersebut mati sebelum hari ketujuh, maka gugurlah aqiqah. Alasannya, karena aqiqah
barulah disyariatkan pada hari ketujuh bagi anak yang masih hidup ketika itu. Jika anak
tersebut sudah mati sebelum hari ketujuh, maka gugurlah aqiqah. Akan tetapi, barangsiapa
yang dicukupkan rizki oleh Allah dan telah diberikan berbagai kemudahan, maka hendaklah
ia menyembelih aqiqah. Jika memang tidak mampu, maka ia tidaklah dipaksa.”
Si penanya bertanya lagi, “Apakah ketika itu ia diberi nama?” Jawaban beliau, “Iya diberi
nama jika ia keluar setelah ditiupkannya ruh yaitu bila genap empat bulan dalam
kandungan.”[8]

Dianjurkan Daging Aqiqah untuk Dimasak

An Nawawi Asy Syafi’i menyatakan dalam matan Minhajuth Tholibin, “(Daging aqiqah)
disunnahkan untuk dimasak (sebelum dibagikan).”[9] Dengan dimasaknya sembelihan
aqiqah ini menunjukkan seseorang itu berbuat baik dengan bertambahnya nikmat dari Allah.
Hal ini juga menunjukkan akhlaq mulia dan tanda kedermawanan.[10]

Penulis Kifayatul Akhyar –Taqiyuddin Abu Bakr rahimahullah– menjelaskan, “Hendaklah hasil
sembelihan hewan aqiqah tidak disedekahkan mentahan, namun dalam keadaan sudah
dimasak. Inilah yang lebih tepat. Lebih baik lagi jika dihidangkan dengan bumbu manis
menurut pendapat yang lebih tepat.”[11]

Mengundang Makan-Makan Aqiqah

Taqiyuddin Abu Bakr rahimahullah menjelaskan, “Yang lebih afdhol hasil sembelihan aqiqah
tersebut yang dikirim kepada orang miskin. Inilah pendapat dari Imam Asy Syafi’i. Namun
jika mesti mengundang orang untuk menikmatinya (di rumah), itu juga tidak mengapa.”[12]

Jadi, dibolehkan jika seseorang mengundang orang lain untuk menyantap hasil sembelihan
aqiqah dan dinikmati sebagaimana pada walimahan ketika nikah.

Ulama yang duduk di Al Lajnah Ad Daimah lil Buhuts Al ‘Ilmiyyah wal Ifta’ pernah ditanya,
“Apa hukum peraayaan aqiqah dan mengadakan walimah untuk aqiqah?”

Para ulama tersebut menjawab, “Yang dimaksud aqiqah adalah sesuatu yang disembelih
untuk si anak pada hari ketujuh setelah kelahiran. Sedangkan walimah adalah makanan yang
disajikan pada suatu pesta berupa sembelihan atau yang lainnya. Aqiqah dan walimah
adalah dua perkara yang disunnahkan. Berkumpul-kumpul untuk menikmati makanan
semacam ini dan sama-sama bersuka cita serta mengumumkan pernikahan ketika itu adalah
suatu hal yang baik.”[13]

Tidak Mengapa Tulang Sembelihan Aqiqah Dipecah

Sebagian ulama memang melarang hal ini karena jika tulang itu tidak dihancurkan, dianggap
bahwa tulang-tulang si anak pun nantinya akan selamat.[14]

Di antara ulama Syafi’iyah, Asy Syarbini rahimahullah mengatakan, “Tidak dimakruhkan jika
daging sembelihan aqiqah dipecah karena tidak ada dalil yang melarang hal ini.”[15]

Intinya, tidak terlarang memecah tulang hasil sembelihan aqiqah karena tidak ada dalil
shahih yang melarang hal ini.[16]

Tidak Perlu Mengusapkan Darah Hewan Aqiqah pada Bayi


Ini adalah perbuatan masa Jahiliyah yang terlarang dilakukan di saat Islam itu datang.

Dari Buraidah, ia berkata,

‫غالَمْ أل َ َح ِدنَا ُو ِل َْد إِذَا ال َجا ِه ِليَّ ِْة فِى ُكنَّا‬ َْ َ‫خ شَاةْ ذَب‬
ُ ‫ح‬ َ َ‫س ْهُ َول‬
َْ ‫ط‬ َ ‫ّللاُ َجا َْء فَلَ َّما بِدَمِ َها َرأ‬ ِ ِ‫ح ُكنَّا ب‬
َّْ ‫اإلسالَ ِْم‬ َ ‫َونَل‬
َ ‫ط ُخ ْهُ َرأ‬
ُْ ‫س ْهُ َونَحل‬
ُْ َ‫ِق شَاةْ نَذب‬
ْ‫بِزَ عف ََران‬.

“Dahulu kami pada masa jahiliyah apabila salah seorang di antara kami lahir anaknya, maka
ia menyembelih seekor kambing dan melumuri kepala anaknya tersebut dengan darah
sembelihan. Kemudian tatkala Allah datang membawa Islam maka kami menyembelih
seekor kambing dan mencukur rambutnya serta melumurinya dengan za’faran.” (HR. Abu
Daud no. 2843. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih)

Alhamdulillah, usai sudah bahasan kami tentang aqiqah. Semoga bermanfaat bagi
pengunjung Rumaysho.com.

Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat. Wa shallallahu ‘ala nabiyyina


Muhammad wa ‘ala aalihi wa shohbihi wa sallam.

Baca Selengkapnya : tugas pai penulis Agra Nabilfavian.E.

You might also like