You are on page 1of 41

LAPORAN KASUS

SKULL DEFECT DENGAN TINDAKAN PEMBEDAHAN


CRANIOPLASTY AUTOGRAFT

Oleh:
Cahyo Adi Baskoro, A.Md. Kep.
Riswan Ardy Isnanta, A.Md. Kep.

PELATIHAN SCRUB NURSE KAMAR BEDAH ANGKATAN XIX


BIDANG PENDIDIKAN & PELATIHAN
RSD dr. SOEBANDI JEMBER
TAHUN 2019
BAB I. PENDAHULUAN

1. Latar Belakang
Dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi seiring dengan pertambahan
penduduk yang pesat, membuat manusia semakin lupa akan keadaaan kesehatannya. Banyak
timbul kecelakaan dan penyakit dimana-mana, salah satunya yaitu defek tulang tengkorak.
Defek tulang tengkorak dapat terjadi karena cacat bawaan maupun cedera kepala. Cedera
kepala menyebabkan kematian atau ketidakmampuan yang berat pada semua tingkatan umur.
Cedera kepala merupakan penyebab kedua defisit neurologis dan penyebab kematian yang
tinggi untuk umur 1 sampai 35 tahun. Kira-kira 77.000 orang meningkat setiap tahun akibat
cedera kepala dan jumlah 50.000 yang lain sembuh dengan ketidakmampuan ringan sampai
berat (Barbara C. Long).Untuk mempemperbaiki struktur tulang tengkorak yang berubah di
perlukan tindakan Cranioplasty.
Skull defect menjadi suatu masalah sejak awal periode kehidupan manusia. Skull defect
sudah dapat ditemukan pada jaman neolitikum. Skull defect adalah kelainan pada kepala
dimana tidak adanya tulang cranium/tulang tengkorak. Skull deffect adalah adanya pengikisan
pada tulang cranium yang disebabkan oleh adanya pengikisan yang disebabkan massa
ekstrakranial atau intrakranial, atau juga bisa berasal dari dalam tulang (Burgener & Kormano,
1997).
Salah satu tindakan medis untuk penatalaksaan pasien Skull defect adalah Cranioplasty.
Cranioplasty adalah prosedur bedah saraf yang dirancang untuk memperbaiki atau membentuk
kembali penyimpangan/ketidakseimbangan dalam tengkorak. Untuk memperbaiki
kecacatan/celah dalam tengkorak dapat digunakan cangkok tulang dari tempat lain dari dalam
tubuh pasien (Autograft), atau dengan bahan sintetis (Acrylic).
Dalam hal ini, ilmu keperawatan juga berperan yaitu kaitannya dengan asuhan
keperawatan perioperative pada pasien dengan Skull defect dengan tindakan pembedahan
Cranioplasty Autograft, maka dari itu penyusun tertarik untuk menyusun makalah ini dengan
judul “Skull defect dengan tindakan pembedahan Cranioplasty Autograft”.

2. Tujuan
Untuk mengetahui asuhan keperawatan perioperatif pada pasien Skull defect dengan
tindakan pembedahan Cranioplasty Autograft.

1
3. Manfaat
Dapat mengetahui asuhan keperawatan perioperatif pada pasien Skull defect dengan
tindakan pembedahan Cranioplasty Autograft.

2
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

1. Definisi
Skull defect merupakan suatu kelainan pada kepala ketika tidak adanya tulang
cranium/tulang tengkorak Skull defect menjadi suatu masalah sejak awal periode kehidupan
manusia. Skull defect sudah dapat ditemukan pada jaman neolitikum.. Skull effect adalah
adanya pengikisan pada tulang cranium yang disebabkan oleh adanya pengikisan yang
disebabkan massa ekstrakranial atau intrakranial, atau juga bisa berasal dari dalam tulang. Skull
defect dapat terjadi dari lahir atau kongenital pada bayi yang biasanya disebut dengan
anenchephaly dan juga Skull defect yang dilakukan secara sengaja untuk membantu
pengeluaran cairan atau pendarahan atau massa yang ada di kepala atau otak.
Menurut Brain Injury Assosiation of America, cedera kepala adalah suatu kerusakan pada
kepala, bukan bersifat kongenital ataupun degeneratif, tetapi disebabkan oleh serangan /
benturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau mengubah kesadaran, sehingga
menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi fisik.

2. Etiologi
Penyebab terjadinya Skull defect adalah:
2.1 Fraktur kranium
2.2 Tumor
2.3 Penipisan tulang
2.4 Kelainan kongenital (enchephalocele)
2.5 Pengikisan massa ekstrakranial atau intrakranial
2.6 Post op trepanasi (Burgener & Kormano, 1997)
2.7 Trauma parah pada tengkorak dan tulang wajah
2.8 Reseksi tumor tengkorak
2.9 Hilangnya tulang akibat osteomyelitis (Ramamurthi, et al, 2007)

3
3. Anatomi Dan Fisiologi

Gambar 1. Anatomi dan fisiologi kepala

3.1 Tengkorak
Tulang tengkorak menurut, Evelyn C Pearce (2008) merupakan struktur tulang yang
menutupi dan melindungi otak, terdiri dari tulang kranium dan tulang muka. Tulang
kranium terdiri dari 3 lapisan :lapisan luar, etmoid dan lapisan dalam. Lapisan luar dan
dalam merupakan struktur yang kuat sedangkan etmoid merupakan struktur yang
menyerupai busa. Lapisan dalam membentuk rongga/fosa; fosa anterior didalamnya
terdapat lobus frontalis, fosa tengah berisi lobus temporalis, parientalis, oksipitalis, fosa
posterior berisi otak tengah dan sereblum.

Gambar 2. Lapisan cranium

4
3.2 Meningen
Pearce, Evelyn C. (2008) otak dan sumsum tulang belakang diselimuti meningia yang
melindungi syruktur saraf yang halus itu, membawa pembulu darah dan dengan sekresi
sejenis cairan, yaitu: cairan serebrospinal yang memperkecil benturan atau goncangan.
Selaput meningen menutupi terdiri dari 3 lapisan yaitu:
a. Dura mater
Dura mater secara konvensional terdiri atas dua lapisan yaitu lapisan endosteal dan
lapisan meningeal. Dura mater merupakan selaput yang keras, terdiri atas jaringan ikat
fibrisa yang melekat erat pada permukaan dalam dari kranium. Karena tidak melekat
pada selaput arachnoid di bawahnya, maka terdapat suatu ruang potensial ruang
subdural yang terletak antara dura mater dan arachnoid, dimana sering dijumpai
perdarahan subdural. Pada cedera otak, pembuluh-pembuluh vena yang berjalan
pada permukaan otak menuju sinus sagitalis superior di garis tengah atau disebut
Bridging Veins, dapat mengalami robekan dan menyebabkan perdarahan subdural.
Sinus sagitalis superior mengalirkan darah vena ke sinus transversus dan sinus
sigmoideus. Laserasi dari sinus-sinus ini dapat mengakibatkan perdarahan hebat .
Hematoma subdural yang besar, yang menyebabkan gejala-gejala neurologis biasanya
dikeluarkan melalui pembedahan. Petunjuk dilakukannya pengaliran perdarahan ini
adalah: 1) sakit kepala yang menetap 2) rasa mengantuk yang hilang-timbul 3)
linglung 4) perubahan ingatan 5) kelumpuhan ringan pada sisi tubuh yang berlawanan.
Arteri-arteri meningea terletak antara dura mater dan permukaan dalam dari kranium
ruang epidural. Adanya fraktur dari tulang kepala dapat menyebabkan laserasi pada
arteri-arteri ini dan menyebabkan perdarahan epidural. Yang paling sering
mengalami cedera adalah arteri meningea media yang terletak pada fosa media fosa
temporalis. Hematoma epidural diatasi sesegera mungkin dengan membuat lubang di
dalam tulang tengkorak untuk mengalirkan kelebihan darah, juga dilakukan pencarian
dan penyumbatan sumber perdarahan.
b. Selaput Arakhnoid
Selaput arakhnoid merupakan lapisan yang tipis dan tembus pandang. Selaput
arakhnoid terletak antara pia mater sebelah dalam dan duramater sebelah luar yang
meliputi otak. Selaput ini dipisahkan dari duramater oleh ruang potensial, disebut
spatium subdural dan dari piamater oleh spatium subarakhnoid yang terisi oleh liquor
serebrospinalis. Perdarahan sub arakhnoid umumnya disebabkan akibat cedera kepala.
c. Pia mater
5
Pia mater melekat erat pada permukaan korteks serebri. Pia mater adalah membrana
vaskular yang dengan erat membungkus otak, meliputi gyri dan masuk kedalam sulci
yang paling dalam. Membrana ini membungkus saraf otak dan menyatu dengan
epineuriumnya. Arteri-arteri yang masuk kedalam substansi otak juga diliputi oleh pia
mater.

3.3 Otak
Menurut Price, (2005), otak terdiri dari 3 bagian, antara lain yaitu:
a. Cerebrum

Gambar 3. Lobus-lobus Otak


Serebrum atau otak besar terdiri dari dari 2 bagian, hemispherium serebri kanan dan
kiri. Setiap henispher dibagi dalam 4 lobus yang terdiri dari lobus frontal, oksipital,
temporal dan pariental. Yang masing-masing lobus memiliki fungsi yang berbeda,
yaitu:
1) Lobus frontalis
Lobus frontalis pada korteks serebri terutama mengendalikan keahlian motorik
misalnya menulis, memainkan alat musik atau mengikat tali sepatu. Lobus frontalis
juga mengatur ekspresi wajah dan isyarat tangan. daerah tertentu pada lobus
frontalis bertanggung jawab terhadap aktivitas motorik tertentu pada sisi tubuh
yang berlawanan. Efek perilaku dari kerusakan lobus frontalis bervariasi,
tergantung kepada ukuran dan lokasi kerusakan fisik yang terjadi. Kerusakan yang
kecil, jika hanya mengenai satu sisi otak, biasanya tidak menyebabkan perubahan
perilaku yang nyata, meskipun kadang menyebabkan kejang. Kerusakan luas yang
mengarah ke bagian belakang lobus frontalis bisa menyebabkan apati, ceroboh, lalai
dan kadang inkontinensia. Kerusakan luas yang mengarah ke bagian depan atau

6
samping lobus frontalis menyebabkan perhatian penderita mudah teralihkan,
kegembiraan yang berlebihan, suka menentang, kasar dan kejam.
2) Lobus parietalis
Lobus parietalis pada korteks serebri menggabungkan kesan dari bentuk, tekstur
dan berat badan ke dalam persepsi umum. Sejumlah kecil kemampuan
matematikan dan bahasa berasal dari daerah ini. Lobus parietalis juga membantu
mengarahkan posisi pada ruang di sekitarnya dan merasakan posisi dari bagian
tubuhnya. Kerusakan kecil di bagian depan lobus parietalis menyebabkan mati rasa
pada sisi tubuh yang berlawanan. Kerusakan yang agak luas bisa menyebabkan
hilangnya kemampuan untuk melakukan serangkaian pekerjaan keadaan ini disebut
ataksia dan untuk menentukan arah kiri-kanan. Kerusakan yang luas bisa
mempengaruhi kemampuan penderita dalam mengenali bagian tubuhnya atau ruang
di sekitarnya atau bahkan bisa mempengaruhi ingatan akan bentuk yang sebelumnya
dikenal dengan baik misalnya, bentuk kubus atau jam dinding. Penderita bisa menjadi
linglung atau mengigau dan tidak mampu berpakaian maupun melakukan pekerjaan
sehari-hari lainnya.
3) Lobus temporalis
Lobus temporalis mengolah kejadian yang baru saja terjadi menjadi dan
mengingatnya sebagai memori jangka panjang. Lobus temporalis juga memahami
suara dan gambaran, menyimpan memori dan mengingatnya kembali serta
menghasilkan jalur emosional. Kerusakan pada lobus temporalis sebelah kanan
menyebabkan terganggunya ingatan akan suara dan bentuk. Kerusakan pada lobus
temporalis sebelah kiri menyebabkan gangguan pemahaman bahasa yang berasal dari
luar maupun dari dalam dan menghambat penderita dalam mengekspresikan
bahasanya. Penderita dengan lobus temporalis sebelah kanan yang non-dominan,
akan mengalami perubahan kepribadian seperti tidak suka bercanda, tingkat
kefanatikan agama yang tidak biasa, obsesif dan kehilangan gairah seksual.
4) Lobus Oksipital
Fungsinya untuk visual center. Kerusakan pada lobus ini otomatis akan kehilangan
fungsi dari lobus itu sendiri yaitu penglihatan.
b. Cereblum
Terdapat dibagian belakang sophag menepati fosa serebri posterior dibawah lapisan
durameter. Cereblum mempunyai aski yaitu; merangsang dan menghambat serta
mempunyai tanggunag jawab yang luas terhadap koordinasi dan gerakan halus.
7
Ditambah mengontrol gerakan yang benar, keseimbangan posisi dan mengintegrasikan
input sensori.
c. Brainstem
Batang otak terdiri dari otak tengah, pons dan sophag oblongata. Otak tengah midbrain/
ensefalon menghubungkan pons dan sereblum dengan hemisfer sereblum. Bagian ini
berisi jalur sensorik dan motorik, sebagai pusat reflek pendengaran dan penglihatan.
Pons terletak di depan sereblum antara otak tengah dan sophag, serta merupakan
jembatan antara 2 bagian sereblum dan juga antara medulla dengan serebrum. Pons berisi
jarak sensorik dan motorik. Medula oblongata membentuk bagian inferior dari batang
otak, terdapat pusat-pusat otonom yang mengatur fungsi-fungsi vital seperti
pernafasan, frekuensi jantung, pusat muntah, tonus vasomotor, reflek batuk dan bersin.
3.4 Syaraf-Syaraf Otak
Smeltzer (2001) Nervus kranialis dapat terganggu bila trauma kepala meluas sampai
batang otak karena edema otak atau pendarahan otak. Kerusakan nervus yaitu:
a. Nervus Olfaktorius (Nervus Kranialis I)
Saraf pembau yang keluar dari otak dibawa oleh dahi, membawa rangsangan aroma
(bau-bauan) dari rongga hidung ke otak.
b. Nervus Optikus (Nervus Kranialis II)
Mensarafi bola mata, membawa rangsangan penglihatan ke otak.
c. Nervus Okulomotorius (Nervus Kranialis III)
Bersifat motoris, mensarafi otot-otot orbital (otot pengerak bola mata) menghantarkan
serabut-serabut saraf para simpati untuk melayani otot siliaris dan otot iris.
d. Nervus Trokhlearis (Nervus Kranialis IV)
Bersifat motoris, mensarafi otot-otot orbital. Saraf pemutar mata yang pusatnya terletak
dibelakang pusat saraf penggerak mata.
e. Nervus Trigeminus (Nervus Kranialis V)
Sifatnya majemuk (sensoris motoris) saraf ini mempunyaitiga buah cabang. Fungsinya
sebagai saraf kembar tiga, saraf ini merupakan saraf otak besar, sarafnya yaitu:
1) Nervus oftalmikus: sifatnya sensorik, mensarafi kulit kepala bagian depan kelopak
mata atas, selaput sopha kelopak mata dan bola mata.
2) Nervus maksilaris: sifatnya sensoris, mensarafi gigi atas, bibir atas, palatum, batang
hidung, ronga hidung dan sinus maksilaris.

8
3) Nervus mandibula: sifatnya majemuk (sensori dan motoris) mensarafi otot-otot
pengunyah. Serabut-serabut sensorisnya mensarafi gigi bawah, kulit daerah
temporal dan dagu.
f. Nervus Abducens (Nervus Kranialis VI)
Sifatnya motoris, mensarafi otot-otot orbital. Fungsinya sebagai saraf penggoyang sisi
mata.
g. Nervus Fasialis (Nervus Kranialis VII)
Sifatnya majemuk (sensori dan motori) serabut-serabut motorisnya mensarafi otot-otot
lidah dan selaput sopha ronga mulut. Di dalam saraf ini terdapat serabut-serabut saraf
otonom (parasimpatis) untuk wajah dan kulit kepala fungsinya sebagai soph wajah
untuk menghantarkan rasa pengecap.
h. Nervus Akustikus (Nervus Kranialis VIII)
Sifatnya sensori, mensarafi alat pendengar, membawa rangsangan dari pendengaran dan
dari telinga ke otak. Fungsinya sebagai saraf pendengar.
i. Nervus Glosofaringeus (Nervus Kranialis IX)
Sifatnya majemuk (sensori dan motoris) mensarafi faring, tonsil dan lidah, saraf ini
dapat membawa rangsangan cita rasa ke otak.
j. Nervus Vagus (Nervus Kranialis X)
Sifatnya majemuk (sensoris dan motoris) mengandung saraf-saraf motorik, sensorik dan
parasimpatis faring, laring, paru-paru, sophagus, gaster intestinum minor, kelenjar-
kelenjar pencernaan dalam abdomen. Fungsinya sebagai saraf perasa.
k. Nervus Aksesorius (Nervus Kranialis XI)
Saraf ini mensarafi muskulus sternokleidomastoid dan muskulus trapezium, fungsinya
sebagai saraf tambahan.
l. Nervus Hipoglosus (Nervus Kranialis XII)
Saraf ini mensarafi otot-otot lidah, fungsinya sebagai saraf lidah. Saraf ini terdapat di
dalam sumsum penyambung.
3.5 Kulit kepala

9
Lapian Kulit Kepala jika diurut dari luar ke dalam biasa disingkat dengan SCALP, yang
merupakan singkatan dari :
a. Skin atau kulit;
b. Connective Tissue atau jaringan penyambung;
c. Aponeurosis atau galea aponeurotika, merupakan jaringan ikat yang berhubungan langsung
dengan tulang tengkorak;
d. Loose areolar tissue atau jaringan penunjang longgar, Merupakan tempat yang biasa
terjadinya perdarahan subgaleal (hematom subgaleal) pada trauma/benturan kepala;
e. Perikranium, merupakan lapisan yang membungkus dan berhubungan langsung dengan
permukaan luar tulang tengkorak.

4. Tanda-Tanda
Gejala yang nampak pada pasien Skull defect dapat berupa:
a. Bentuk kepala asimetris
b. Pada bagian yang tidak tertutup tulang teraba lunak
c. Pada bagian yang tidak tertutup tulang dapat dilihat adanya denyutan atau fontanela
Sedangkan manifestasi klinis dari cedera kepala tergantung dari berat ringannya cedera
kepala yaitu berupa:
a. Perubahan kesadaran adalah merupakan indicator yang paling sensitive yang dapat dilihat
dengan penggunaan GCS (Glasgow Coma Scale). Pada cedera kepala berat nilai GCS nya 3-8.
b. Peningkatan TIK yang mempunyai trias klasik seperti: nyeri kepala karena regangan dura
dan pembuluh darah; papil edema yang disebabkan oleh tekanan dan pembengkakan diskus
optikus; muntah seringkali proyektil.

10
c. Perubahan tekanan darah atau normal (hipertensi), perubahan frekuensi jantung (bradikardi,
takikardia, yang diselingi dengan bradikardia disritmia).
d. Perubahan pola nafas (apnea yang diselingi oleh hiperventilasi), nafas berbunyi, stridor,
terdesak, ronchi, mengi positif (kemungkinan karena aspirasi), gurgling.

5. Patofisiologi
Berdasarkan patofisiologinya cedera kepala dapat digolongkan menjadi 2 proses yaitu
cedera kepala primer dan cedera kepala sekunder. Cedera otak primer adalah cedera yang
terjadi saat atau bersamaan dengan kejadian trauma dan merupakan suatu fenomena mekanik.
Umumnya menimbulkan lesi permanen. Tidak banyak yang bisa dilakukan kecuali membuat
fungsi stabil, sehingga sel-sel yang sedang sakit bisa mengalami proses penyembuhan yang
optimal. Cedera primer, yang terjadi pada waktu benturan, mungkin karena memar pada
permukaan otak, laserasi substansi alba, cedera robekan atau hemoragi karena terjatuh, dipukul,
kecelakaan dan trauma saat lahir yang bisa mengakibatkan terjadinya gangguan pada seluruh
sistem dalam tubuh.
Cedera otak sekunder merupakan hasil dari proses yang berkelanjutan sesudah atau
berkaitan dengan cedera primer dan lebih merupakan fenomena metabolik sebagai akibat,
cedera sekunder dapat terjadi sebagai kemampuan autoregulasi serebral dikurangi atau tak ada
pada area cedera. Cidera kepala terjadi karena beberapa hal diantanya, bila trauma ekstrakranial
akan dapat menyebabkan adanya leserasi pada kulit kepala selanjutnya bisa perdarahan karena
mengenai pembuluh darah. Karena perdarahan yang terjadi terus- menerus dapat menyebabkan
hipoksia, hiperemi peningkatan volume darah pada area peningkatan permeabilitas kapiler,
serta vasodilatasiarterial, semua menimbulkan peningkatan isi intrakranial, dan akhirnya
peningkatan tekanan intrakranial (TIK), adapun, hipotensi namun bila trauma mengenai tulang
kepala akan menyebabkan robekan dan terjadi perdarahan juga. Cidera kepala intrakranial
dapat mengakibatkan laserasi, perdarahan dan kerusakan jaringan otak bahkan bisa terjadi
kerusakan susunan syaraf kranial terutama motorik yang mengakibatkan terjadinya gangguan
dalam mobilitas.

6. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan adanya Skull defect yaitu dengan melakukan operasi kraniotomi yang
kemudian dilakukan Cranioplasty. Cranioplasty adalah memperbaiki kerusakan tulang kepala
dengan menggunakan bahan plastik atau metal plate. Cranioplasty adalah perbaikan defek
kranial dengan menggunakan plat logam atau plastik. Setelah dilakukan operasi Cranioplasty
11
perawatan selanjutnya adalah dengan pemberian antibiotik selama 3 hingga 5 hari, dan
memonitor drain untuk membantu pengeluaran darah dan mencegah hematoma hingga cairan
atau darah berkurang 2 hingga 3 cc. Instruksi penting selanjutnya adalah tidak melakukan dan
tidak memberikan tekanan pada area yang telah dioperasi selama 3 sampai 4 minggu. Proses
pembentukan dan penyambungan tulang akan terjadi selama 6 hingga satu tahun (Ramamurthi,
et al, 2007).
Berbagai jenis bahan digunakan sepanjang sejarah kranioplasti. Dengan teknologi
biomedis baru yang terus berkembang, bahan-bahan baru sekarang tersedia untuk digunakan
oleh para ahli bedah.
Bahan kranioplasti yang ideal harus memiliki fitur berikut:
• Harus sesuai dengan cacat kranial dan mencapai penutupan total
• Radiolusen
• Resistansi terhadap infeksi
• Tidak melebar dengan panas
Tujuan dari Cranioplasty bukan hanya masalah kosmetik; juga, perbaikan cacat kranial
memberikan bantuan untuk kelemahan psikologis dan meningkatkan kinerja sosial. Selain itu,
kejadian epilepsi terbukti menurun setelah kranioplasti. Di sisi lain, kontraindikasi untuk
Cranioplasty adalah adanya hidrosefalus, infeksi, dan pembengkakan otak. Pada anak di bawah
4 tahun, jika ada dura mater utuh, tempurung kepala dapat mencapai penutupan sendiri.
Menunggu untuk melakukan kranioplasti adalah penting untuk mencegah perkembangan
infeksi autograft atau allograft yang didevitalisasi. Secara umum diterima untuk menunggu 3
hingga 6 bulan sebelum operasi rekonstruksi. Jika ada area yang terinfeksi, masa tunggu ini
bisa selama satu tahun.
a. Cranioplasty Autograft
1) Cranium
Macewen (1885) dan Burrell (1888) menggunakan tulang calvarial yang tersisa setelah
trepanation. Pada tahun 1890, Muller mengembangkan teknik "sliding flaps" pada tabula
eksternal, yang diterapkan pada periode akhir pasca operasi. Contoh pertama transplantasi
tulang adalah teknik Söhr, di mana ia hanya menggunakan tabula eksternal cranium tanpa
periosteum. Meskipun penggunaan tabula eksternal merupakan cara kranioplasti yang cukup
banyak, penggunaan tabula internal agak baru. Cranioplasty tengkorak split-ketebalan adalah
biokompatibel, yang mudah dipanen dan dengan risiko infeksi dan reaksi lebih sedikit. Karena
alasan ini, ini dianggap sebagai pilihan yang baik untuk kasus dengan risiko infeksi yang tinggi.
Pada pasien anak-anak yang pertumbuhan tengkoraknya terus berlanjut, cangkok tengkorak
12
split-ketebalan menunjukkan integrasi dan bekerja sama dengan pembentukan kembali
tengkorak, berbeda dengan bahan nonbiologis yang diperbaiki yang mengakibatkan
pertumbuhan tengkorak terbatas dan kelainan bentuk pada usia dewasa.
2) Tibia
Rekonstruksi tengkorak pertama dalam aspek estetika dilakukan dengan meletakkan
potongan tibia antara periosteum dan dura mater. Seri pasien pertama milik Exhausen, yang
merawat 27 pasien dengan metode ini.5 Baru-baru ini, penggunaan tibia jarang, karena panen
sulit dan traumatis bagi pasien. Juga, kontur kranial tidak dapat diperoleh dengan mudah
dengan tibia graft.
3) Rib
Metode ini dipopulerkan pada awal abad ke-20. Namun, banyak ahli bedah tidak suka
menggunakan tulang rusuk, karena komplikasi teknik intra dan pasca operasi, seperti kelainan
bentuk dada dan masalah pernapasan.
4) Scapula
Meskipun skapula adalah pilihan yang baik sebagai cangkok tulang autologous, skapula
tidak lagi digunakan. Hal ini disebabkan oleh kesulitan dan tingkat komplikasi yang tinggi dari
memanen cangkok ini.
5) Fascia
Dengan jaringan lunak seperti otot temporal atau fasia, hanya sebagian kecil dari
kerusakan tulang yang bisa ditutup. Di sisi lain, kegunaannya dalam duraplasty tidak dapat
dibenci. Perbaikan dural dengan cangkok dural dan flap vaskularisasi lebih disukai oleh banyak
ahli bedah saraf karena kemampuan penyembuhan dan penutupan defek yang efektif. Cangkok
otot dan omental dianggap sebagai cangkok vascularized yang kaya, dan aplikasi untuk
rekonstruksi operasi dasar tengkorak dan revaskularisasi otak telah dilaporkan. Flap lokal
bertangkai termasuk flap perikranial dan galeal tidak cukup tebal untuk mencegah erosi dan
tidak dapat digunakan pada pasien yang telah menjalani beberapa kraniotomi sebelumnya
seperti pada kasus rumit. Fasia non-pedicled memberikan perlindungan yang lebih sedikit
terhadap infeksi dan tidak cocok setelah kraniotomi berulang yang berisiko meningitis tinggi.
Banyak faktor yang menentukan keberhasilan duraplasti, seperti tekanan intrakranial normal
atau rendah, viabilitas graft dan dura, dan usia pasien yang muda [Gambar]. Peningkatan
tekanan intrakranial dapat dicegah dengan divergensi cairan serebrospinal (CSF) dengan
kateter lumbal yang dipasang pasca operasi, yang merupakan praktik umum dalam bedah saraf.
Selain itu, penting untuk menyediakan jaringan yang layak untuk duraplasti, yang akan
menghasilkan penyembuhan cangkok dan / atau flap yang sehat dengan penutupan cacat dan
13
pencegahan kebocoran CSF secara konsekuen. Ini mungkin kadang-kadang sulit dalam situasi
tertentu, seperti operasi berulang di satu lokasi, radioterapi kranial sebelumnya, kemoterapi,
dan penyakit sistemik yang dapat mengganggu penyembuhan luka normal, seperti anemia,
penyakit jantung rendah, hipoproteinemia dan hipoalbuminemia, hipovitaminosis, merokok,
dan diabetes. Dalam situasi ini, disarankan untuk menggunakan jaringan yang paling layak
yang tersedia untuk melakukan duraplasti yang dapat mengatasi masalah ini. Flap lebih baik
daripada cangkok dalam perbaikan cacat karena aliran darah paten mereka dari pedikel dan
penyembuhan yang dihasilkan sehat. Cangkok terbaik yang dikenal cocok untuk duraplasti
adalah fasia autologus dan cangkok otot. Dibandingkan dengan cangkok sintetis, cangkok
autologous lebih layak dan dengan sedikit reaksi jaringan.

Gambar: Intraoperative view of one of our cases demonstrating the application fascia lata graft. (B: boney skull, F: fascia lata)

6) Sternum
Sternum adalah cangkok kanselus kortikal campuran. Cangkok ini tidak banyak
digunakan karena kelemahannya, seperti kurangnya volume yang cukup untuk menutupi cacat
kranial dan pemanenan yang sulit dan rumit. Selain itu, lebih berpori di alam, lebih cepat
direvaskularisasi, dan karenanya lebih cepat diserap.
7) Ilium
Ilium adalah cangkok tulang autologous yang disukai karena kesamaan dengan kontur
kranium. Namun, karena komplikasi, seperti perdarahan, perforasi usus, dan kerusakan saraf,
penggunaan ilium untuk kranioplasti menjadi tidak populer. Selain itu, cangkok iliaka kanselus
kortikal campuran lebih berpori di alam, lebih cepat direvaskularisasi, dan karenanya lebih
cepat diserap.
8) Perlindungan Autograft
Banyak teknik yang disarankan untuk perlindungan autografts ketika tidak tepat untuk
mengganti flap tulang setelah kraniotomi. Pertimbangan utama dari teknik-teknik ini adalah
untuk menggunakan jaringan tulang pasien sendiri untuk mencapai penutupan tulang dan untuk

14
menjaga agar tulang tetap "hidup" dalam masa tunggu. Westerman mengusulkan untuk
menggunakan bahan kraniotomi setelah direbus dalam air. Tetapi setelah tingkat infeksi yang
tinggi, metode ini ditinggalkan. Metode lain adalah autoclaving untuk mencegah infeksi.
Namun, terlihat bahwa tulang tidak dapat mempertahankan viabilitasnya setelah diautoklaf
pada kebanyakan kasus. Metode terbaru untuk melindungi autografts adalah membekukan
tulang. Beku kering di -70oC adalah cara yang diterima untuk menjaga flap tulang steril dan
siap digunakan. Teknik ini menjaga arsitektur matriks tulang tetap utuh dan siap digunakan.
Tetapi teknik ini tidak mencegah tulang dari “sekarat.” Menyimpan flap kraniotomi dalam
jaringan lemak perut pertama kali dijelaskan oleh Kreider pada tahun 1920. Metode ini tidak
sepopuler yang pertama kali dijelaskan, karena kebutuhan untuk operasi kedua muncul,
jaringan parut di perut terjadi, dan kapasitas osteogenik tulang tidak pernah seperti yang
diharapkan.

b. Cranioplasty Acrylic
1) Methyl-methacrylate
Akrilik memiliki beberapa keunggulan di atas zat logam; mudah dibentuk, bobotnya
lebih ringan, memancarkan lebih sedikit panas, dan radiolusen. Akrilik dalam bentuk metil-
metakrilat (polimetilmetakrilat) pertama kali digunakan dalam model-model hewan, dan
kemudian pada manusia pada tahun-tahun pertama Perang Dunia II. Eksperimen hewan
mengungkapkan bahwa akrilik melekat pada dura mater tanpa reaksi terhadap lapisan dasar
lainnya. Methyl-methacrylate digunakan secara luas setelah artikel Spence pada tahun 1954.3
Seiring berjalannya waktu, bertujuan untuk mencegah kerusakan yang tidak diinginkan dari
bahan ini, ia mencoba untuk memberikan dukungan struktural dengan jerat baja atau titanium.
Sebelum penggunaan metil-metakrilat, kulit kepala yang melekat pada dura dihilangkan
dengan lembut dan bersihkan batas tulang. Metil-metakrilat kemudian disiapkan dalam bentuk
yang tepat dengan kelengkungan. Setelah pemasangan, metil-metakrilat harus dicuci dengan
air dingin untuk mencegah kerusakan panas pada jaringan otak yang berdekatan. Setelah
langkah ini, metil-metakrilat ditempatkan dalam cangkir yang diisi dengan serum fisiologis
untuk menyelesaikan pendinginan dan pengerasan. Bahan tersebut dipasang pada tulang
dengan miniplates. Ketika dicoba menggunakan metil-metakrilat dengan titanium mesh,
titanium mesh harus diperbaiki dengan miniplates terlebih dahulu, kemudian dituangkan dalam
bentuk cair. Sekali lagi, pendinginan yang tepat dicapai dengan air. Methyl-methacrylate
adalah bahan kranioplasti yang paling banyak digunakan.
2) Hydroxyapatite
15
Hidroksiapatit terdiri dari bentuk kalsium fosfat heksagonal. Bahan ini sudah ada di
jaringan tulang; dengan demikian, diyakini bahwa hidroksiapatit meningkatkan perbaikan
tulang. Keuntungan hidroksiapatit adalah reaksi jaringan yang minimal, perbaikan tulang yang
meningkat, dan osteointegrasi yang baik. Di sisi lain, kerugian yang paling menonjol adalah
bahwa bahan ini tidak terlalu tahan terhadap tekanan mekanik dan dapat dengan mudah pecah.
Baru-baru ini, struktur berpori memberi bahan ini lebih bersifat osteointegrasi dan
penggunaannya dengan titanium mesh membuat hidroksiapatit lebih tahan lama . Disarankan
agar pasien dengan hidroksiapatit kranioplasti harus menjauhi trauma sampai perbaikan tulang
total.
3) Polyethylene and silicon
Silikon diusulkan sebagai bahan kranioplasti pada tahun 1968, tetapi bentuknya yang
lembut membatasi penggunaannya. Polietilen adalah bahan yang digunakan dalam isolasi kabel
listrik di pesawat. Pada pertengahan abad ke-20, itu mulai digunakan sebagai bahan
cranioplasty. Terutama bentuknya yang mudah dibentuk dengan panas membuat bahan ini
populer. Lembaran polietilen berpori memiliki biokompatibilitas yang sangat baik, tercermin
dari kelangkaan reaksi alergi yang diketahui dan oleh respon jaringan yang menguntungkan
terhadap permukaannya. Karakteristik pori-terbuka memungkinkan vaskularisasi awal
polietilena berpori, diikuti oleh pertumbuhan jaringan lunak dan deposisi kolagen. Fitur-fitur
ini menawarkan keunggulan keunggulan melawan infeksi. Konsisten dengan sebagian besar
implan alloplastik lainnya, jika infeksi terjadi, pengobatan mungkin dilakukan dengan
antibiotik sistemik daripada dengan pengangkatan implan.

Gambar: Silicon Cranioplasty Kit

4) Cortoss
CortossTM (Orthovita ®, Malvern, USA) adalah pengisi kekosongan tulang sintetis
baru yang berisi bis-glikidil-metil-metakrilat, bisphenol (polietilena glikol dieter
dimetilakrilat), monomer trietilen glikol dimetilakrilat, dan keramik bioaktif. Ini disediakan
16
dalam kartrid lumen ganda dengan tips yang dirancang khusus untuk pencampuran. Setelah
komposit diekspresikan melalui tips ini, polimerisasi dimulai dan bahan siap digunakan.
Monomer tidak mudah menguap dan CortossTM berpolimerisasi dalam jaringan tiga dimensi,
yang meminimalkan kemungkinan bocor. Setelah pencampuran, bahan tersebut memiliki
konsistensi pasta gigi, dan tetap seperti itu sampai terpolimerisasi dalam hitungan detik atau
menit. Selama polimerisasi, mencampurkan CortossTM dengan darah memperpanjang waktu
pengerasan, yang mengarah pada aplikasi yang mudah. Karakteristik ini memberikan umpan
balik sentuhan yang konsisten dan memungkinkan injeksi yang merata. CortossTM telah
menunjukkan bahwa hal itu menyebabkan reaksi eksotermik lebih sedikit dan polimerisasi
maksimum pada 40 ° C, paling dekat dengan kondisi biologis (37 ° C). Modulus elastisitas
CortossTM dekat dengan tulang. Komposit ini bioaktif, dan antarmuka semen-tulang terus
diperkuat dari waktu ke waktu dengan aposisi tulang terjadi pada antarmuka tanpa interposisi
berserat. Tulang periosteal dan endosteal terlihat di situs yang diperbaiki CortossTM. Tulang
baru terlihat di daerah tempat darah pembuluh telah tumbuh berbatasan langsung dengan
CortossTM tetapi tidak ada invasi vaskular yang terlihat. CortossTM menyebabkan tingkat
peradangan yang lebih rendah. CortossTM telah terbukti menunjukkan nilai yang lebih tinggi
untuk kekuatan tekan, modulus tekuk, dan kekuatan geser.

Gambar: One of our cases with skull defect reconstructed with CortossTM. (a) Intraoperative view of CortossTM use, (b)
postoperative head 3D CT-scan demonstrating the defect reconstructed with CortossTM (arrows)

17
7. Pemeriksaan Penunjang
a. Foto polos kepala
Indikasi foto polos kepala Tidak semua penderita dengan cidera kepala diindikasikan
untuk pemeriksaan kepala karena masalah biaya dan kegunaan yang sekarang makin
dittinggalkan. Jadi indikasi meliputi jejas lebih dari 5 cm, Luka tembus (tembak/tajam),
Adanya corpus alineum, Deformitas kepala (dari inspeksi dan palpasi), Nyeri kepala yang
menetap, Gejala fokal neurologis, Gangguan kesadaran. Sebagai indikasi foto polos kepala
meliputi jangan mendiagnose foto kepala normal jika foto tersebut tidak memenuhi syarat,
Pada kecurigaan adanya fraktur depresi maka dillakukan foto polos posisi AP/lateral dan
oblique.
b. CT-Scan (dengan atau tanpa kontras)
Indikasi CT Scan adalah :
1) Nyeri kepala menetap atau muntah – muntah yang tidak menghilang setelah pemberian
obat–obatan analgesia/anti muntah.
2) Adanya kejang – kejang, jenis kejang fokal lebih bermakna terdapat lesi intrakranial
dicebandingkan dengan kejang general.
3) Penurunan GCS lebih 1 point dimana faktor – faktor ekstracranial telah disingkirkan
(karena penurunan GCS dapat terjadi karena misal terjadi shock, febris, dll).

4) Adanya fraktur impresi dengan lateralisasi yang tidak sesuai, misal fraktur depresi
temporal kanan tapi terdapat hemiparese/plegi kanan.
5) Luka tembus akibat benda tajam dan peluru
6) Perawatan selama 3 hari tidak ada perubahan yang membaik dari GCS.
7) Bradikardia (Denyut nadi kurang 60x/menit).

18
Fungsi CT Scan ini adalah untuk mengidentifikasi luasnya lesi, perdarahan, determinan
ventrikuler, dan perubahan jaringan otak. Catatan : Untuk mengetahui adanya infark / iskemia
jangan dilekukan pada 24 - 72 jam setelah injuri.
c. MRI
Digunakan sama seperti CT-Scan dengan atau tanpa kontras radioaktif.
d. Cerebral Angiography
Menunjukan anomali sirkulasi cerebral, seperti : perubahan jaringan otak sekunder
menjadi udema, perdarahan dan trauma.
e. Serial EEG
Dapat melihat perkembangan gelombang yang patologis
f. BAER
Mengoreksi batas fungsi corteks dan otak kecil

g. CSF, Lumbal Punksi


Dapat dilakukan jika diduga terjadi perdarahan subarachnoid.
h. Analisis Gas Darah
Mendeteksi keberadaan ventilasi atau masalah pernapasan (oksigenisasi) jika terjadi
peningkatan tekanan intrakranial
i. Kadar Elektrolit
Untuk mengkoreksi keseimbangan elektrolit sebagai akibat peningkatan tekanan
intrkranial.

8. Diagnosa Keperawatan
a) Anamnesis
1) Identitas pasien

19
2) Riwayat penyakit sekarang
Umumnya pasien dengan skull defect yang terjadi sejak lahir (enchephalocele) tidak
memiliki keluhan apapun, kecuali pada skull defect akibat trauma, tumor atau yang
lainnya, biasanya pasien mengeluhkan nyeri bagian kepala hingga diikuti penurunan
kesadaran.
3) Riwayat penyakit dahulu
Merupakan riwayat penyakit yang pernah diderita pasien dan berhubungan dengan
sistem persarafan. Pasien dengan skull defect biasanya pernah mengalami craniopasty,
tumor otak, atau penyakit infeksi otak.
4) Keluhan utama
Pada umumnya keluhan utama pada kasus skull defect adalah penurunan tingkat
kesadaran (GCS 9-12), pusing, sakit kepala, gangguan motorik, kejang, gangguan sensorik dan
gangguan kesadaran. Format PQRST dapat digunakan untuk mempermudah pengumpulan
data, penjabaran dari PQRST adalah:
P (provokatif/paliatif): Apa yang menjadi hal-hal yang meringankan dan memperberat
nyeri? Apa saja yang telah dilakukan untuk mengobati nyeri?
Q (quality/quantity): Seberapa berat keluhan, bagaimana rasanya? Seberapa sering
terjadinya?
R (egio/radiasi) : Dimanakah lokasi keluhan? Bagaimana penyebarannya?
S (skala/severity): Dengan menggunakan GCS untuk gangguan kesadaran, skala nyeri
untuk keluhan nyeri.
T (Timing) : Kapan keluhan itu terasa? Seberapa sering keluhan itu terasa?
5) Riwayat penyakit keluarga
Meliputi susunan anggota keluarga khususnya yang kemungkinan bisa berpengaruh
pada kesehatan anggota keluarga yang lain penyakit infeksi yang pernah di derita ibu
pasien ketika hamil, penyakit genetik seperti kanker.
b) Pemeriksaan fisik
Pada dasarnya dalam pemeriksaan fisik menggunakan pendekatan secara sistematik yaitu:
inspeksi, palpasi, auskultasi dan perkusi.
1) Keadaan umum
Pada pasien skull defect yang disertai dengan cedera kepela biasanya pasien tidak sadar,
apabila pasien sadar pasien akan mengeluhkan nyeri di bagian kepalanya.
2) Kesadaran
Skala Koma Glasgow (Glasgow Coma Scale, GCS)

20
a) Respon membuka mata (E)
1. Membuka mata dengan spontan (4)
2. Membuka mata dengan perintah (3)
3. Membuka mat dengan rangsangan nyeri (2)
4. Tidak reaksi reaksi apapun (1)
b) Respon motorik (M)
1. Mengikuti perintah (6)
2. Melokalisir nyeri (5)
3. Menghindar nyeri (4)
4. Fleksi abnormal (3)
5. Ekstensi abnormal (2)
6. Tidak ada reaksi apapun (1)
c) Respon verbal (V)
1. Orientasi baik dan sesuai (5)
2. Disorienasi tempat dan waktu (4)
3. Bicara kacau (3)
4. Mengerang (2)
5. Tidak ada reaksi apapaun (1)
Kesadaran pasien dengan skull defect tergantung dari seberapa berat cedera kepala
yang dialaminya, GCS: 14-15 = CKR (Cidera kepala ringan), GCS: 9-13 = CKS (Cidera
kepala sedang) dan GCS: 3-8 = CKB (Cidera kepala berat)
c) Pemeriksaan head to toe
1. Kepala dan rambut
Kepala pasien tidak simetris, pada bagian kepala yang tidak tertutup oleh tulang teraba
lunak dan dapat dilihat adanya denyutan atau fontanel. Rambut bisa berdistribusi tidak
rata apabila pasien telah mengalami operasi/ cranioplasty.
2. Wajah
Wajah pasien dengan skull defect akibat trauma dapat tidak simetris dan bisa
terdapat lesi pada wajah.
3. Mata
Apabila skull defect dikarenakan trauma, maka akan terjadi odema pada papil, rakun
eyes, atau bahkan pupil anisokor.
4. Hidung

21
Pada skull defect dengan trauma bisa dijumpai perdarahan pada hidung,
5. Telinga
Tidak ada gangguan pada telinga pasien dengan skul defect
6. Mulut dan bibir
Mulut kering, bibir sianosis dikarenakan kekurangan cairan tubuh akibat muntah
proyektil.
7. Gigi
Tidak ada kelainan pada gigi pasien dengan skull defect
8. Leher
bisa terdapat jejas pada leher.
9. Integumen
Meliputi warna, kebersihan, turgor, tekstur kulit, dan kelembaban, perubahan bentuk
dan warna pada kulit. Pada pasien skull defect akibat trauma bisa terdapat odema, atau
lesi pada kulit yang terkena.
10. Thorax
Dikaji kesemetrisannya, ada tidaknya suara redup pada perkusi, kesemetrisan ekspansi
dada, ada tidaknya suara ronchi dan whezzing. Pada pasien dengan skull defect dengan
cedera kepala bisa terjadi penyumbatan jalan nafas oleh sekret sehingga apabila
dilakukan auskultasi terdengar suara ronchi.
11. Abdomen
Tidak ada lesi pada abdomen, dan terdapat rasa tidak nyaman pada bagian perut,
biasanya keinginan untuk muntah.
12. Ektremitas atas dan bawah
13. Ekstremitas bawah simetris, dan tidak ada kelainana pada pasien skull defect

b) Diagnosis Keperawatan
1) Pre Operasi
1. Nyeri berhubungan dengan peningkatan TIK
2. Cemas berhubungan dengan kebutuhan yang tidak terpenuhi
2) Intra Operasi
1. Resiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan cairan
2. Resiko Cedera b/d disfungsi integrasi sensori
3. Resiko gangguan integritas kulit b/d tekanan tulang menonjol
3) Post Operasi
1. Resiko cedera berhubungan dengan trauma intracranial

22
2. Resiko infeksi berhubungan dengan luka post operasi
3. Ketidakefektifan Bersihan Jalan Napas

23
BAB III. TINJAUAN KASUS

1. Pengkajian

a) Anamnesis
1) Identitas pasien
Nama : Tn. T
Alamat : Wringin Bondowoso
Jenis Kelamin : Laki-Laki
2) Riwayat penyakit sekarang
Pasien mengatakan bahwa pernah mengalami kecelakaan di Wringin sehingga ada
simpanan tulang pada kepalanya. Namun hingga pengkajian dilakukan pasien mengatakan
tidak merasakan nyeri pada daerah kepalanya. Pasien mengatakan bahwa tanggal 11 April
2019 dirinya harus dioperasi lagi sehingga dirinya harus ke rumah tanggal 10 April 2019
dan rawat inap di ruang gardena sebelum operasi.
3) Riwayat penyakit dahulu
Pasien mengatakan bahwa pernah mengalami operasi pada kepala setelah terjadi
kecelakaan saat berkendara.
4) Keluhan utama
Pasien mengatakan tidak mengeluhkan apapun pada dirinya hanya merasa takut
meninggal saat operasi.
5) Riwayat penyakit keluarga
Pasien mengatakan bahwa tidak ada riwayat penyakit keluarga yang memiliki
penyakit yang sama dengan dirinya.
b) Pemeriksaan fisik
1) Keadaan umum
Keadaan Umum pasien cukup
2) Kesadaran
GCS Kompos mentis: 14-15
3) Pemeriksaan head to toe
a) Kepala dan rambut
Terlihat cekungan pada frontal pasien, teraba lunak dan ada denyut/fontanel, distribusi
rambut tidak rata pada bekas luka insisi mulai dari temporal memutar melewati
pariental serta terlihat tonjolan (simpanan tulang) pada daerah pariental.

24
b) Wajah
Wajah pasien simetris, tidak ada lesi pada wajah.
c) Mata
Tidak oedema pada pupil, tidak ada rakun eyes, dan pupil isokor.
d) Hidung
Tidak dijumpai perdarahan pada hidung,
e) Telinga
Tidak ada gangguan pada telinga pasien.
f) Mulut dan bibir
Sesuai dengan terori yaitu ditemukan mulut kering, namun bibir tidak sianosis, dan
tidak ada reflek muntah tidak ditemukan pada pasien.
g) Gigi
Sesuai dengan teori yaitu tidak ada kelainan pada gigi pasien.
h) Leher
Seusai dengan teori yaitu Ada jejas pada jakun pasien.
i) Persyarafan
GCS: 456, Tingkat kesadaran: Compos mentis, Pupil Isokor ukuran 4mm, reflek cahaya
positif (ka/kir).
j) Pemeriksaan Penunjang

25
2. Asuhan Keperawatan Pre-Operatif
NO DATA PENYEBAB MASALAH
1 Ds: Ancaman kematian Cemas
Pasien mengatakan takut untuk
meninggal ketika operasi
Do:
Terlihat pasien gelisah, melihat
sekilas, gugup.
DK: Cemas b/d Ancaman
kematian d/d gelisah, gugup

NO DIAGNOSA
NOC NIC
DX KEPERAWATAN
1 Cemas b/d Ancaman NOC: NIC:
kematian a) Kontrol kecemasan a) Anxiety Reduction
b) Koping (penurunan kecemasan)
Setelah dilakukan tindakan Tindakan:
keperawatan kecemasan pasien 1. Gunakan pendekatan yang
teratasi dgn kriteria menenangkan
hasil: 2. Nyatakan dengan jelas
1. Mampu mengidentifikasi dan harapan terhadap pelaku
mengungkapkan gejala cemas pasien
2. Mengidentifikasi, 3. Jelaskan semua prosedur dan
mengungkapkan dan apa yang dirasakan selama
menunjukkan tehnik untuk prosedur
mengontol cemas 4. Temani pasien untuk
3. Postur tubuh, ekspresi wajah, memberikan keamanan dan
bahasa tubuh menunjukkan mengurangi takut
berkurangnya kecemasan 5. Berikan informasi faktual
mengenai diagnosis, tindakan
prognosis
6. Libatkan keluarga untuk
mendampingi klien
7. Instruksikan pada pasien untuk
menggunakan tehnik relaksasi
8. Dengarkan dengan penuh
perhatian
9. dentifikasi tingkat kecemasan
10. Bantu pasien mengenal
situasi yang menimbulkan
kecemasan
11. Dorong pasien untuk
mengungkapkan perasaan,
ketakutan, persepsi
12. Kelola pemberian obat anti
cemas:........

26
3. Asuhan Keperawatan Intra-Operatif
NO DATA PENYEBAB MASALAH
1 Ds: Trauma Intrakranial Resiko Cedera
Do:
Pasien dilakukan Cranioplasty
Auto graft
Frontal pasien tidak memiliki
cranium
DK: Resiko Cedera b/d trauma
intrakranial

2 Ds: Prosedur Invasif Resiko Infeksi


Do:
Pasien dilakukan Cranioplasty
Auto graft
Dilakukan pemasangan plate
and screw pada cranium auto
graft
DK: Resiko Infeksi b/d prosedur
invasif
3 Tekanan tulang menonjol Resiko Gangguan Integritas Kulit
Ds:
Do:
Posisi pasien supine
Pasien dalam keadaan tidak
sadar

DK: Resiko gangguan


integritas kulit b/d tekanan
tulang menonjol

NO DIAGNOSA
NOC NIC
DX KEPERAWATAN
1 Resiko cedera b/d Trauma NOC : Pengendalian Resiko NIC : Positioning
Intrakranial Tujuan : Pasien mengalami stress 1. Konsul dengan ahli bedah
minimal pada sisi operasi mengenai pemberian posisi,
Kriteria hasil : termasuk derajat fleksi
a. Stress minimal pada sisi leher.
operasi 2. Posisikan pasien datar dan
b. Pasien tetap pada posisi yang mirirng, bukan terlentang
diinginkan atau tinggikan kepala
3. Balikkan pasien dengan
hati-hati
4. Hindari posisi trendelenburg
2 Resiko Infeksi b/d prosedur NOC: NIC:
invasif a) Kontrol Infeksi a) Kontrol infeksi: Intraopertaif

27
Setelah dilakukan tindakan Tindakan:
keperawatan pasien tidak 1. Monitor dan jaga suhu ruangan
mengalami infeksi dgn kriteria 20-24°C
hasil: 2. Monitor dan jaga aliran udara
1. Pasien bebas dari tanda dan yang berlapis
gejala infeksi 3. Masukan antibiotik profilaksis
2. Mempertahankan teknik ceftriaxon 2 gr
aseptik dan steril 4. Siapkan Linen, dan BHP
dengan mempertahankan
teknik steril
5. Lakukan Scrubing, Gowning,
Dan Gloving
6. Lakukan prosedur operasi
dengan mempertahankan
aseptik teknik dan steril
7. Jaga ruangan tetap rapi dan
teratur untuk membatasi
kontamintasi
3 Resiko Gangguan Integritas NOC: NIC:
Kulit b/d tekanan tulang a) Integritas jaringan: Kulit a) Pencegahan Luka Tekan
menonjol Setelah dilakukan tindakan Tindakan:
keperawatan pasien tidak 1. Pastikan bahwa alas meja
mengalami gangguan integritas operasi terbuat dari bahan
kulit dgn kriteria hasil: yang empuk
1. Tidak lesi tambahan pada 2. Hindarkan kulit dari
kulit pasien kelembaban yang berlebihan
3. Lapisi meja operasi
menggunakan perlak untuk
menghindari terjadinya
kelembaban
4. Pertimbangkan lama operasi

4. Asuhan Keperawatan Post-Operatif


NO DATA PENYEBAB MASALAH
1 Ds: Disfungsi neuromuskular Ketidakefektifan bersihan jalan
Do: napas
Pasien tidak sadar
Saliva dalam jumlah yang
berlebihan
Penurunan reflek menelan

DK: Ketidakefektifan bersihan


jalan napas b/d disfungsi
neuromuskular d/d pasien tidak
sadar, penuruanan reflek
menelan

28
NO DIAGNOSA
NOC NIC
DX KEPERAWATAN
1 Ketidakefektifan bersihan NOC : NIC :
jalan napas b/d disfungsi a) Status Pernapasan: a) Manajemen Jalan Napas
neuromuskular Kepatenan jalan napa Tindakan:
Setelah dilakukan tindakan 1. Observasi suara napas
keperawatan pasien menunjukkan tambahan
bersihan jalan napas yang efektif 2. Observasi status pernapasan
dengan kriteria hasil: dan oksigenasi
1. Tidak ada suara napas 3. Ganti kassa di mulut pasien
tambahan dan bersihkan saliva yang
2. Tidak ada akumulasi saliva ada
berlebihan 4. Posisikan pasien untuk
3. Pasien mampu bernapas memaksimalkan ventilasi
spontan 5. Usahakan sebelum
memindakan pasien ke RR
pastikan pasien sudah
mampu bernapas spontan.

BAB IV. PEMBAHASAN

1. Pengkajian

c) Anamnesis
1) Identitas pasien
Nama : Tn. T
Alamat : Wringin Bondowoso
Jenis Kelamin : Laki-Laki

29
2) Riwayat penyakit sekarang
Pada riwayat penyakit terjadi perbedaan antara fakta dan teori dimana nyeri tidak
muncul pada pasien.
3) Riwayat penyakit dahulu
Pada riwayat penyakit dahulu antara fakta dan teori mengalami persamaan yaitu
memiliki riwayat operasi sebelumnya.
4) Keluhan utama
Terjadi perbedaan antara teori dan fakta, dimana faktanya tidak terjadi penurunan
kesadaran dan laporan nyeri tidak muncul pada pasien.
5) Riwayat penyakit keluarga
Terjadi perbedaan antara teori dan fakta, dimana pasien melaporkan bahwa tidak ada
riwayat penyakit yang sama diantara keluarga.
d) Pemeriksaan fisik
3) Keadaan umum
Keadaan Umum pasien cukup.
4) Kesadaran
GCS Kompos mentis: 14-15. Tidak sesuai dengan teori karena tidak mengalami
penuruanan kesadaran.
3) Pemeriksaan head to toe
a) Kepala dan rambut
Terjadi persamaan yang terjadi antara teori dan fakta, yaitu ditemukannya bagian
kepala yang lunak dan fontanel, distribusi rambut tidak rata.
b) Wajah
Tidak sesuai dengan teori karena pada pasien ditemukan wajah masih simetris.
c) Mata
Tidak sesuai teori karena pada pasien tidak ditemukan oedema pada pupil, tidak ada
rakun eyes, dan pupil isokor.
d) Hidung
Tidak sesuai dengan teori yang menyebutkan ada perdarahan pada hidung,
e) Telinga
Tidak ada gangguan pada telinga pasien.
f) Mulut dan bibir
Mulut kering, bibir tidak sianosis, dan tidak ada reflek muntah.
g) Gigi

30
Tidak ada kelainan pada gigi pasien.
h) Leher
Ada jejas pada jakun pasien.
i) Persyarafan
GCS: 456, Tingkat kesadaran: Compos mentis, Pupil Isokor ukuran 4mm, reflek cahaya
positif (ka/kir).
j) Pemeriksaan Penunjang

2. INTRAOPERASI
A. Team Operasi
Operator :
1. dr. Fal. Sp.Bs (DPJP)
Asisten :
1. Yahya, Amd. Kep
Instrument :
1. Ika, Amd. Kep
2. Nanta, Amd. Kep
Sirkulator Nurse :
1. Susi, Amd. Kep
2. Ibas Amd. Kep
b. Set Ruangan
1. Set Ruangan
Set Ruangan Jumlah
Meja Operasi 1
Meja Mayo 1

31
Meja Besar 1
Suhu Ruangan 18-220c
Kelembapan Ruangan 60%
Suction 1
Esu 1
Mesin Anestesi 1
Papan Tulis 1
Lampu Operasi 1
Tempat Sampah 1

2. Desinfeksi
Desinfeksi Jumlah
Povidone Iodine 10% +/- 50 Cc

3. Draping
Bahan Jumlah
Doek Steril
1. Doek Besar 5 Buah
2. Doek Kecil 6 Buah

4. Gowning
Bahan Jumlah
Gowning 4 Buah

5. Gloving
Jenis/Ukuran Jumlah
Gloving
1. Gamex Ukuran 7 1
2. Ortho Ukuran 7.5 2
3. Ortho Ukuran 6,5 1

32
6. Set Instrumen
No Jenis/Ukuran Jumlah
1 Duk Klem 5
2 Desinfeksi Klem 1
3 Pinset Chirurgis Kecil 2
4 Pinset Anatomis Kecil 2
5 Pinset Chirurgis Besar 1
6 Gunting Metzenbeum 1
7 Gunting benang 1
8 Hand vaad mess no.3/4 1/1
9 Koker besar 1
10 Knabel tang 1
11 Gale haak 2
12 Langen beck 1
13 Raspatorium 1
14 Adson 1
15 Kanul Suction no 12 1
16 Kom 2
17 Nald Fouder 2
18 Crani Clip 6
19 Vicryl 2-0 2
20 Vicryl Rapid 2-0 2
21 Side 3-0 1
22 ESU Bipolar 1
23 Kertas 1
24 Mini Plate 2 Hole Panjang 3
25 Mini Screw 4mm 6

7. BAHAN HABIS PAKAI


NO JENIS/UKURAN JUMLAH
1 Scalpel Blader No 10/20 1/1
2 Alkohol 10% 20 cc
3 Povidone Iodine 10 % 20 cc

33
4 Kassa 20
5 Benang Atraumatik Silk 3-0 1
6 Benang Atraumatik Vicryl 2-0 / Vicryl quick 2-0 2/2
7 Underpad 2
8 Ceftriaxon 1gr 2
9 Pehacain 2
10 Aquabidest 2
11 HS Ortho 6,5/7,5 1/2
12 HS Gammex 7 1
13 Bactigres 1
14 Kannamicin 1
15 Opsite 48x55 1
16 Connecting Suction 1
17 ESU Monopolar 1
18 Kassa 60
19 Spuit 10cc 2
20 Needle no 25 G 1

8. OPERATING DAN INSTRUMENT TEKHNIK


NO OPERATING INSTRUMEN KETERANGAN
1 SKIN PREPARATION Dressing Forceps Kassa
Cucing CHG 4 %
2 ANTISEPSIS Dressing Forceps Kassa
Cucing Bethadine 10%
ESU
3 DRAPING Doek Kecil 6 ESP
Towel Klem
Opsite
Doek Besar 3
4 TIME OUT Jumlah Insterumen : 56 Kassa 4 Buah
Jumlah Kassa : 60 Buah
5 INSISI
Operator :

34
a. Dilakukan insisi oblique  Chirurgis
25 cm  Mess no 20
Asisten :
 Pean

Operator : Jika perdarah


b. Sampai lapisan fasia  Chirurgis sudah di hentikan,
dibersihkan lalu disayat,  ESU Monoplar dan berikan Metzem
rawat perdarahan dengan Bipolar boum kepada
kassa dan suction darah  Metzemboum operator.
yang menggenang  Mesh no 10 Jika sampai fasia,
Asisten : ganti

 Pean metzemboum

 Chirurgis dengan mesh 10.


Dan dilanjutkan
dengan metzem
boum.

Operator : Berikan 2-3 kassa


c. Melebarkan daerah  Gale Hak basah yang
operasi pada kulit yang Asisten : dilebarkan
telah diberi kassa basah  Gale Hak
(flap)
Operator : Berikan Kassa dan
d. Membersihkan tulang  Chirurgis Metzenbaum
dari periosteum.  Raspatorium/Adson kepada asisten

 Couter Monopolar
Asisten :
 Chirurgis
 Suction
 Metzenbaum

Operator:

35
e. Memperlebar Insisi  Chirurgi Jika perdarahan
dengan mess 2 no 10 atau  Metzenbaum rawat perdarahan
Metzenbaum, hindari  Mess no 2 10 dengan couter
tembus ke duramater Asisten: bipolar sambil

 Chirurgi spolling dengan

 Suction cairan NS
menggunakan
Operator: spuit.
1. Eksplorasi kulit sisi  Pegangan rani clip Siapkan rani clip
bawah Asisten: dan kasa basah
 Kassa basah

Operator:
 Chirurgis Siapkan Cucing
f. Pengambilan tulang yang Asisten: berisi iodin
akan digunakan autograft  Kocker besar povidon
pada daerah kepala
daerah pariental

Operator:
g. Perapian tulang
yang  Knable tang Siapkan mini plate,
akan digunakan untuk Asisten: mini screw, serta
auotgraft screw-driver
 Mini plate dan screw

Operator:
h. Membuat fixasi Siapkan kassa
 Nald Fouder
menggunakan side 3-0
 Side 3-0
dua sisi pada sisi diatas
Asisten:
duramater
 Gunting benang

Operator:
Siapkan Mini
 Screw-driver
i. Setelah sudah sesuai Screw dan mini
Asisten:
bentuk dan ukurannya, plate
 Kroom kelm

36
Pasang miniplate pada  Mini plate
cranium beserta
merekatkan screwnya
pada kurang lebih tiga.
Operator:

j. Fixasi cranium dengan  Nald Fouder


membuat simpul pada Asisten:
side 3-0 yang terjahit di  Gunting benang

sisi atas duramater  Kroom klem

Operator:

h. Sebelum ditutup dan  Kannamicin


dilakukan penjahitan, Asisten:
asisten memberikan
kanamicin bubuk pada
area yang dilakukan
autograft Operator:
k. Jahit fascia menggunakan  Nald Fouder
T-Vio 2-0 atau Vicril 2-0  Chirurgis
Asisten:
 Nald Fouder
 Chirurgi
 Gunting benang

Operator:
l. Lepas Rani Clip dan Gale  Chirurgi
haak Asisten:

Operator:
m. Pasang Drain  Chirurgis Siapkan Polivex
Asisten: drain sambungkan
 Gunting Kasar dan kunci, pastikan

37
Operator:
n. Jahit Kulit menggunkan  Nald Fouder
Viciril Rapid 2-0  Chirurgis
Asisten:
 Nald Fouder
 Chirurgi
 Gunting benang

Operator:
o. Bersihkan luka dengan  Kassa basah
kassa basah Asisten:
 Kassa basah

Operator:
p. Tutup luka menggunakan  Bactigres
Bactigres Asisten:
 Bactigres

q. Tutup menggunakan kassa Operator:


kering dan elastommul Asisten

38
BAB V. PENUTUP

1. Kesimpulan
Skull defect menjadi suatu masalah sejak awal periode kehidupan manusia. Skull defect
sudah dapat ditemukan pada jaman neolitikum. Skull defect adalah kelainan pada kepala
dimana tidak adanya tulang cranium/tulang tengkorak. Skull deffect adalah adanya pengikisan
pada tulang cranium yang disebabkan oleh adanya pengikisan yang disebabkan massa
ekstrakranial atau intrakranial, atau juga bisa berasal dari dalam tulang (Burgener & Kormano,
1997).
Salah satu tindakan medis untuk penatalaksaan pasien Skull defect adalah Cranioplasty.
Cranioplasty adalah prosedur bedah saraf yang dirancang untuk memperbaiki atau membentuk
kembali penyimpangan/ketidakseimbangan dalam tengkorak. Untuk memperbaiki
kecacatan/celah dalam tengkorak dapat digunakan cangkok tulang dari tempat lain dari dalam
tubuh pasien (Autograft), atau dengan bahan sintetis (Acrylic).
Masalah keperawatan yang muncul yaitu Cemas, Resiko Infeksi, Resiko Cedera, Resiko
Gangguan Integritas Kulit, dan Ketidakefektifan Bersihan Jalan Napas.

2. Saran
Penyusun menyarakan untuk pembaca lebih menekankan pada Instrument Teknik dan
Operating Teknik guna lebih efek ketika berperan sebagai Scrube Nurse.

39
DAFTAR PUSTAKA

Aatman, M. S., Jung, H., Skirboll, S. 2014. "Materials Used in Cranioplasty: A History and
Analysis." Neurosurgery Vol. 36 /No. 4 E19.
Barbara C. Long. 1996. Perawatan Medikal Bedah (Suatu Pendekatan Proses Keperawatan).
Alih bahasa : Yayasan Ikatan alumsi Pendidikan Keperawatan Pajajaran Bandung.
Cetakan I.

Bowers, dkk. 2013. "Risk Factors and Rates of Bone Flap Resorption in Pediatric Patients
After Decompressive Craniectomy for Traumatic Brain Injury. Clinical Article." J
Neurosurg Pediatr. 11:526–532.
Carpenito, L.J. 2003. Buku Saku Diagnosis Keperawatan. Jakarta: EGC.

Doengoes E.Marilyn. 2002. Rencana Asuhan Keperawatan. Jakarta: EGC

Dorland. 1998. Kamus Saku Kedokteran. Jakarta: EGC.

Herdman, T. Heather. 2012. Diagnosa Keperawatan: Definisi dan Klasifikasi 2012-2014.


Jakarta: EGC

Hertika, P. M. (2018). Laporan Pendahuluan Pada Pasien Dengan Skull Defect Di Ruang
Rawat Inap Gardena Rumah Sakit dr. Soebandi Jember. Jember: Fakultas Keperawatan
Universitas Jember.
Mansjoer, Arif dkk. 2001. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi 3. Jilid 1. Jakarta: Media
Aesculapius.

PriceS.A., Wilson L. M. 2006. Buku Ajar Ilmu. Penyakit Dalam Jilid I Edisi IV. Jakarta : EGC.

Seckin, A., Baris, K., Bashar, A., Sabri, A., & Galip, Z. (2011). Cranioplasty: Review of
materials and techniques. Istanbul Turkey: Istanbul University.
Smeltzer, Suzanne C. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah edisi 3 volume 8. Jakarta:
EGC.

Sylvia A. Price. 2006. Patofosiologi Konsep Penyakit. Jakarta: EGC

40

You might also like