Professional Documents
Culture Documents
oleh
Kelompok G
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT. yang telah melimpahkan rahmat-Nya,
sehingga kami bisa menyelesaikan tugas Keperawatan HIV/AIDS. Tugas ini kami
susun dengan sebenar-benarnya. Diluar dari kelebihan, kami sadar bahwa masih ada
kekurangan. Oleh karena itu, besar harapan kami agar tugas ini menjadi sarana
edukatif bagi setiap pembaca dan saya ucapkan banyak terima kasih kepada:
1. Ns. Rifa’i, S. Kep., M.Kep., selaku PJMK mata kuliah HIV/AIDS yang
memberikan dukungan penuh.
2. M. Nur Khamid, S.KM., M.Kes selaku dosen mata kuliah HIV/AIDS
Akhir kata semoga tugas ini bisa bermanfaat untuk meningkatkan mutu
kesehatan masyarakat luas.
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL............................................................................................i
KATA PENGANTAR..........................................................................................ii
DAFTAR ISI........................................................................................................iii
BAB 1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang...................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah.............................................................................1
1.3 Tujuan.................................................................................................2
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Strategi Pencegahan Penularan HIV Melalui CST........................3
2.2 Keefektifan Dan Keberhasilan Program CST................................8
2.3 Kekurangan Dan Kelemahan CST..................................................8
2.4 Kontribusi Perawat Dalam Program CST......................................11
BAB 3. PENUTUP
3.1 Kesimpulan ........................................................................................14
3.2 Saran...................................................................................................14
DAFTAR PUSTAKA
...........................................................................................................................
15
BAB 1. PENDAHULUAN
1.3 Tujuan
a. Untuk mengetahui strategi pencegahan penularan HIV melalui Care support
and treatment (CST) pada level nasional dan global
b. Untuk mengetahui keefektifan dan keberhasilan program Care support and
treatment (CST)
c. Untuk mengetahui kekurangan dan kelemahan Care support and treatment
(CST)
d. Untuk mengetahui kontribusi perawat dalam program Care support and
treatment (CST)
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA
Program ART merupakan bagian dari respons yang lebih luas terhadap HIV/
AIDS. Keberadaannya melengkapi program yang sudah ada dan dibangun dari
program tersebut, sebagaimana digariskan dalam Stranas dan SRAN Penanggulangan
HIV dan AIDS. Program ART mendukung upaya pencegahan dengan mendorong
warga yang berperilaku berisiko tinggi untuk menggunakan layanan konseling dan
tes. Program ART dalam pelayanan komprehensif perawatan, dukungan dan
pengobatan ODHA harus memperkuat sistem kesehatan nasional serta layanan
kesehatan dasar untuk menjamin layanan efektif dari perawatan dan pengobatan HIV
dan AIDS secara paripurna. Pelayanan ini terintegrasi ke dalam tersedianya layanan
kesehatan di semua tingkatan daerah kabupaten/kota maupun provinsi dan nasional.
Secara khusus pelaksanaan ART tidak akan mengurangi dana untuk prioritas dan
program perawatan kesehatan lain yang sama pentingnya. Investasi dalam program
ini akan banyak digunakan untuk memperkuat sistem kesehatan, termasuk
pengembangan SDM, mengadakan perlengkapan sarana kesehatan, dan menata
sistem pemantauan, pengadaan dan manajemen (PKMK FK UGM,2015).
Penjangkauan dan pendampingan
Program penjangkauan dan pendampingan saat ini bisa dibilang masih minim
sehingga tidak kalah penting untuk diperhatikan. Minimnya program penjangkauan
dan pendampingan bisa menurunkan kualitas program. Sejak kasus AIDS pertama di
Indonesia tahun 1987 di Bali yang diikuti dengan meningkatnya penemuan kasus
tidak terlepas dari upaya pendampingan dan penjangkauan oleh kelompok masyarakat
sipil. Seperti kasus di Bali, penjangkauan dan pendampingan dipelopori oleh Yayasan
Kerthi Praja untuk WPS dan Yayasan Citra Usadha Indonesia untuk homoseksual.
Selanjutnya, Yayasan Hati-Hati mulai menjangkau kelompok penasun. Kegiatan ini
direplikasi oleh lembaga lain di beberapa wilayah di Indonesia. Sangat disadari
bahwa upaya LSM ini digerakkan oleh orang-orang yang peduli dan didukung oleh
donor. Program mereka dirancang dengan mengutamakan penjangkauan dan
pendampingan sebagai ujung tombak. Hasilnya nyata, mereka yang rentan terkena
HIV terpapar informasi dan mulai mengakses layanan (PKMK FK UGM,2015).
Populasi Rekomendasi
Dewasa Inisiasi ART pada orang terinfeksi HIV stadium klinis 3 dan 4,
dan atau jika jumlah CD4 ≤ 350 sel/mm3
anak > Inisiasi ART tanpa melihat stadium klinis WHO dan
5 tahun berapapun jumlah CD4
Koinfeksi TBa
Koinfeksi Hepatitis B
Ibu hamil dan menyusui terinfeksi HIV
Orang terinfeksi HIV yang pasangannya HIV negatif
(pasangan serodiskordan), untuk mengurangi risiko
penularan
LSL, PS, Waria, atau Penasunb
membantu orang untuk melihat bahwa hidup dengan HIV adalah mungkin, penderita
dapat mengontrol dirinya dengan hidup yang lebih ehat, dan dapat meningkatkan
kualitas hidup ODHA (KPA, Sumatra Utara, 2007).
Program PDP terutama ditujukan untuk menurunkan angka kesakitan dan
rawat inap, angka kematian yang berhubungan dengan AIDS, dan meningkatkan
kualitas hidup orang terinfeksi HIV (berbagai stadium). Pencapaian tujuan tersebut
dapat dilakukan antara lain denganpemberian terapi antiretroviral (ARV).
Perkembangan PDP di puskesmas yaitu sebagai contoh
diPuskesmasLKBKotaMedan,sebagai tindak lanjut terhadap hasil tes HIV yang
dilakukan Puskesmas LKB Kota Medan, maka Puskesmas merujuk pasien tersebut ke
rumah sakit rujukan yaitu RS Pirngadi RSU H Adam Malik, RSU Haji Medan,
Rumkit Bhayangkara Medan, Rumkit Tk II Putri Hijau Medan untuk mendapatkan
pengobatan ARV. Pasien dapat memilih apakah ia akan melanjutkan pengobatannya
di Rumah Sakit atau kembali ke Puskesmas yang merujuknya. Saat ini di kota Medan
terdapat tiga Puskesmas yang sudah dapat memberikan layanan terapi ARV yaitu
Puskesmas Teladan, Puskesmas Padang Bulan dan Puskesmas Helvetia. Dalam
layanan LKB pemberian ARV dapat langsung diberikan tanpa memandang jumlah
CD4nya kepada mereka yang HIV (+) yaitu pada ibu hamil, pasien koinfeksi TB,
pasien koinfeksi Hepatitis B dan C, LSL, WPS, Penasun, ODHA yang pasangan
tetapnya memiliki status HIV (-) dan tidak menggunakan kondom secara konsisten.
Puskesmas akan bekerjasama dengan LSM atau Kelompok Dampingan
Sebaya (KDS) untuk memberikan layanan konseling, pendampingan, perawatan dan
untuk memastikan kepatuhan pasien dalam minum obat seumur hidup dengan
memberikan pendampingan terutama pada awal pengobatan, serta memberikan
dukungan yang tepat dari keluarga, komunitas, kelompok dukungan sebaya dan
layanan kesehatan.
HIV maka layanan PDP makin dibutuhkan masyarakat. Tersedianya obat ARV
generik juga mempercepat layanan PDP karena salah satu komponen layananPDP
adalah layanan ARV. Layanan obat ARV generik memperkuat PDP yang selama ini
lebih diutamakan pada layanan infeksi oportunisik, layanan obat simtomatik,
pendampingan, dan dukungan. Layanan obat ARV di Indonesia meningkat sejak
penggunaan obat ARV generik yang didatangkan dari India dan Thailand. Karena
obat ARV generik harganya hanya sekitar 5 % dari harga obat paten maka sebagian
masyarakat mampu menjangkaunya. Apalagi dengan kebijakan pemerintah Indonesia
untuk memproduksi obat ARV generik di Indonesia maka pengadaan obat ARV
generik lebih berkesinambungan serta harganya semakin murah.
B. Kekurangan :
a. Sebagian infeksi HIV terdiagnosis pada keadaan tahap lanjut, tak jarang
ODHA mempunyai infeksioprtunistik berat bahkan infeksi oportunistik yang
lebih dari satu. Dengan demikian angka kematian perawatan di rumah sakit
masih tinggi.Angka kematian perawatan di salah satu rumah sakit di Jakarta
Barat mencapai 30% dan sebagian besar kematian terjadi pada awal
perawatan sebelum penderita memperoleh ARV.
b. Biaya untuk diagnosis dan terapi infeksi oportunistik mahal dan sebagian
besar biaya ini masih ditanggung oleh ODHA dan keluarga. Pada umumnya
perusahaan asuransi tidak bersedia memberikan penggantian biaya untuk
kasus AIDS.
c. Infeksi HIV di kalangan penguna narkoba semakin meningkat. Pada pengguna
narkoba suntikan selain infeksi HIV juga terdapat ko-infeksi Hepatitis C dan
B, serta terdapatnya infeksi pneumonia dan infeksi endokarditis bakteri.
Keadaan ini mempersulit penatalaksanaan karena tak jarang seorang ODHA
yang dirawat menderita berbagai infeksi oportunistik disertai pula ko-infeksi
hepatitis.
d. Kemampuan layanan PDP masih beragam. Terdapat unit layanan yang sudah
mempunyai pengalaman luas dalam PDP namun juga terdapat unit layanan
yang baru memulai layanan PDP. Selama ini sistem dukungan untuk
meningkatkan mutu layanan belum terprogram dengan baik.
e. Layanan AIDS pada anak masih belum mendapat perhatian yang memadai.
4
f. Agar mampu memberikan layanan PDP pada anak maka diperlukan SDM
yang berpengalaman, fasilitas laboratorium yang mencukupi serta obat ARV
untuk anak. Tenaga dokter yang mampu mendiagnosis dan melakukan terapi
pada anak yang terinfeksi HIV masih sedikit dan terbatas di kota besar.
Pemeriksaan viral load dan CD4 yang dibutukan untuk diagnosis dan terapi
HIV pada anak harganya mahal dan masoh harusemnjadi beban keluarga.
Obat ARV khusus anak belum tersedia sehingga masih menggunakan obat
ARV dewasa demhgam penyesuaian dosis.
g. Kerjasama rumah sakit dengan LSM di berbagai unit layanan belum terbina
dengan baik. Ada kecenderungan saling merasa benar sendiri dan
menyalahkan pihak lain. Situasi ini harus dirubahsehingga terjadi kerjasama
yang menguntungkan demi terwujudnya layanan yang bermutu.
h. Dukungan pengadaan fasilitas dan peralatan medik untuk menerapkan
kewaspadaan universalmasih minim. Di banyak unit layanan, sarung tangan
yang amat esensial sebagai barier dalam kewaspadaan universal tidak tersedia
cukup.
i. Kurangnya komunikasi antara pembuat kebijakan dengan pelaksana di
lapangan. Dukungan untuk pelaksana di lapangan baik berupa dukungan
finansial maupun teknik yang pada umumnya diberikan oleh lembaga donor
atau LSM internasional masih kurang terkoordinasi sehingga membingungkan
petugas di lapangan.
j. Dalam hal pelaporan, pelaksana layanan PDP dimintakan laporan oleh
berbagai pihak yaitu Departemen Kesehatan (Depkes), lembaga donor dan
WHO. Sewajarnya laporan hanya diserahkan pada satu instansi saja dan
lembaga lain yang memerlukan dapat berhubungan dengan Depkes tanpa
turun langsung ke lapangan.
k. Manajemen logistik (perencanaan, pengadaan obat ARV, pendistribusian, dan
pemantauan) belum tertata dengan baik sehingga masih dialami adanya
kekurangan obat, kelebihan obat, atau terlambatnya distribusi.
Pada dasarnya mencakup aspek medis klinis, psikologis klinis dan sosial.
Pengobatan medis klinis meliputi:
1.Pengobatan supportif
Mencakup penilaian gizi ODHA dari awal untuk mencegah gangguan nutrisi yang
memperburuk kondisi. Bila nafsu makan sangat menurun pertimbangkan pemberian
obat anabolik steroid.
2.Profilaksis infeksi oportunistik (IO)
Infeksi oprortunistik yang sering terjadi misalnya renitis, kebutaan bahkan ensefalitis
akibat cyto megalo virus, tuberkulosis, toksoplasmosis, PCP, jamur kandida.
Pengobatan profilaksis IO bisa didapatkan di RS Rujukan khusus penanganan
HIV/AIDS.
3.Terapi Antiretroviral (ARV)
ARV berfungsi memperlambat perjalanan penyakit, meningkatkan jumlah sel CD4
dan mengurangi jumlah virus dalam darah. Pertimbangan memulai ARV adalah jika
CD4 berjumlah 200-350/mm3. Sebelum memulai terapi ARV, ODHA perlu
mendapatkan konseling kepatuhan tentang cara penggunaan, efek samping, tanda
bahaya dan semua yang terkait dengan terapi agar tidak terjadi resistensi.
Pengobatan Pencegahan Kotrimoksasol (PPK) merupakan bagian penting dari
rencana pengobatan bagi ODHA dimana PPK diberikan pada ODHA dengan stadium
klinis 2, 3, dan 4 pada CD4<200 sel/mm3 atau stadium klinis 3 dan 4 bila tidak
tersedia pemeriksaan CD4. Dosis PPK untuk orang dewasa 1x960 mg (dua tablet
atau satu tablet forte). Efek samping yang mungkin timbul antara lain ruam kulit
(alergi) dari tingkat ringan sampai berat. Bila timbul ruam kulit yang luas atau basah
disertai gejala sistemik seperti deman, secepatnya mencari pertolongan. Desensitisasi
tidak dianjurkan pada pasien dengan riwayat alergi berat (Steven Johnson Syndrome)
Kotrimoksasol tidak menggantikan terapi ARV. Oleh karena itu perlu direncanakan
pemberian ARV setelah kotrimoksasol, idealnya sekitar 2 minggu setelah pemberian
kotrimoksasol. Profilaksis kotrimoksasol tetap diberikan walaupun pasien
mendapatkan pengobatan untuk IO-nya. Profilasis kotrimoksasol dihentikan satu
7
tahun setelah pasien sehat kembali dengan tingkat kepatuhan minum obat ARV baik
dan CD4 >200 setelah pemberian terapi ARV pada 2 kali pemeriksaan berturut-turut.
Selain PPK juga terdapat PPINH yaitu melaksanakan kolaborasi program HIV
dan TB dalam satu atap, dengan melakukan kerjasama antara tim HIV, tim DOTS dan
manajemen layanan. Penemuan kasus TB yang lebih intensif dan pengobatannya
melalui skrining gejala dan tanda TB bagi ODHA yang berkunjung ke layanan pada
setiap kunjungan. Pengobatan TB sesuai dengan pedoman nasional pengendalian TB.
Pemberian anjuran tes dan konseling HIV kepada semua terduga dan pasien TB di
layanan. Menjamin akses perawatan, dukungan, dan pengobatan bagi pasien
koinfeksi TBHIV. Memberikan pengobatan pencegahan kotrimoksasol untuk
mengurangi kesakitan dan kematian ODHA dengan atau tanpa TB. Pencatatan dan
pelaporan TB dan HIV. Terapi ARV diberikan pada semua pasien koinfeksi TB-HIV
berapapun jumlah CD4. Pengobatan ARV dapat dimulai setelah OAT dapat
ditoleransi, biasanya setelah 2 - 8 minggu. Pantau kemungkinan terjadi efek samping
obat. Gunakan rejimen yang mengandung Efavirenz. Pertemuan TB-HIV koordinasi
internal Faskes (diskusi klinis, perencanaan, monev)
Berbagai inovasi dapat dilakukan pada program CST, salah satunya yang ada di
RSUD Bangil yang membuat terobosan kreatif dan inovatif dengan nama “ODHA
link”. Strategi yang digunakan ODHA link meliputi
1) online SMS 24jam (memberikan kartu nama dengan nomor telepon semua petugas
VCT, CST dan Farmasi kepada Puskesmas, LSM, KPA, kelompok risti, layanan
klinik Spesialis, dan ruangan rawat inap; masyarakat dapat bertanya mengenai
HIV/AIDS, follow up pasien yang akan test, test berkelanjutan untuk pasien
indeterminate, pasien resiko tinggi, serta pasien yang memulai dan yang sudah
mendapat ART);
2) delivery service (memberi kemudahan pasien dengan ART yang rumahnya jauh,
sibuk bekerja, sedang sakit, berhalangan karena suatu hal, biaya transfortasi dan malu
untuk mengambil obat di poli CST); dan
3) high acces (kegiatan rutin dan berkesinambungan berupa penyuluhan, promosi,
edukasi, pelatihan, ketrampilan, dan mobile visit). Kegiatan ini dilaksanakan supaya
8
BAB 3. PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Program penanggulangan AIDS di indonesia mempunyai 4 pilar, yang
semuanya menuju pada paradigma Zero new infection, Zero AIDS related death and
Zero Discrimination. Empat pilar tersebut adalah pencegahan (prevention) yang
meiputi pencegahan penularan HIV melalui transmisi seksual dan alat suntik,
pencegahan di lembaga pemasyarakatan dan rumah tahanan, pencegahan HIV dari
ibu ke bayi (Prevention Mother to Child Transmission atau PMTCT), pencegahan di
kalangan pelanggan penjaja seks, dan lain-lain. Program PDP terutama ditujukan
untuk menurunkan angka kesakitan dan rawat inap, angka kematian yang
berhubungan dengan AIDS , dan meningkatkan kualitas hidup orang yang terinfeksi
HIV (berbagai stadium).
3.2 Saran
Menurut saya masih banyak hal-hal di indonesia yang perlu
diperbaiki,terutama untuk masalah kesehatan dan program kesehatan yang sedang
berjalan untuk tetap dilaksanakan dengan baik dan benar. Dan penulis menyadari
bahwa penulis masih jauh dari kata sempurna.
DAFTAR PUSTAKA
10
PKMK FK UGM. 2015. Kajian Dokumen Kebijakan Hiv-Aids Dan Sistem Kesehatan
Di Indonesi. Yogyakarta: FK UGM