You are on page 1of 27

STRATEGI PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN HIV AIDS

TUGAS MATA KULIAH KEPERAWATAN HIV/AIDS

oleh
Kelompok G

Nurul Hidayah 162310101144

Cirila Ari Pratiwi 162310101161

Vio Nadya Permatasari 162310101173

Mutiara Dwi Elvandi 162310101181


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS JEMBER
2019

KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT. yang telah melimpahkan rahmat-Nya,
sehingga kami bisa menyelesaikan tugas Keperawatan HIV/AIDS. Tugas ini kami
susun dengan sebenar-benarnya. Diluar dari kelebihan, kami sadar bahwa masih ada
kekurangan. Oleh karena itu, besar harapan kami agar tugas ini menjadi sarana
edukatif bagi setiap pembaca dan saya ucapkan banyak terima kasih kepada:

1. Ns. Rifa’i, S. Kep., M.Kep., selaku PJMK mata kuliah HIV/AIDS yang
memberikan dukungan penuh.
2. M. Nur Khamid, S.KM., M.Kes selaku dosen mata kuliah HIV/AIDS

3. Seluruh keluarga dan teman-teman kelas D Fakultas Keperawatan Universitas


Jember yang selalu memberikan doa dan dorongan dalam mengerjakan tugas
ini.

Akhir kata semoga tugas ini bisa bermanfaat untuk meningkatkan mutu
kesehatan masyarakat luas.

Jember, 16 Maret 2019

Penulis
DAFTAR ISI

Halaman
HALAMAN JUDUL............................................................................................i
KATA PENGANTAR..........................................................................................ii
DAFTAR ISI........................................................................................................iii
BAB 1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang...................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah.............................................................................1
1.3 Tujuan.................................................................................................2
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Strategi Pencegahan Penularan HIV Melalui CST........................3
2.2 Keefektifan Dan Keberhasilan Program CST................................8
2.3 Kekurangan Dan Kelemahan CST..................................................8
2.4 Kontribusi Perawat Dalam Program CST......................................11
BAB 3. PENUTUP
3.1 Kesimpulan ........................................................................................14
3.2 Saran...................................................................................................14
DAFTAR PUSTAKA
...........................................................................................................................
15
BAB 1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Masalah HIV merupakan masalah kesehatan yang mengancam Indonesia bahkan
negara lain. Saat ini tidak ada negara yang terbebas dari masalah HIV/AIDS dan
menyebabkan munculnya masalah krisis yang bersamaan. HIV (Human
Immunodeficiency Virus) adalah virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh
manusia lalu menimbulkan AIDS. AIDS (Acquired Immuno Deficiency Sindrom)
adalah kumpulan gejala penyakit yang disebabkan oleh virus HIV yang tergolong
kepada kelompok retroviriade
Menurut WHO kualitas hidup adalah presepsi individu tentang harkat dan
martabatnya didalam konteks budaya dan sistem nilai yang berhubungan dengan
tujuan dan tergetan hidup. Sementara menurut Nasronudin (2007) kualitas Hidup
ODHA merupakan berfungsinya keadaan fisik, Psikologis, Sosial dan Spiritual
sehingga dapat hidup produktif seperti orang sehat dalam menjalankan kehidupannya.
Terdapat beberapa rumah sakit rujukan untuk perawatan dan pengobatan bagi
ODHA. Rumah sakit tersebut ialah rumah sakit yang mempunyai layanan kusus bagi
penderita yakni Klinik VCT ( Voluntory Conseling and Testing ) yaitu konseling dan
tes secara sukarela, Care support and treatment (CST) yang mempunyai arti
dukungan dalam pelayanan, perawatan dan pengobatan, hingga konsultasi terkait
infeksi opurtunistik.
1.2 Rumusan Masalah
a. Bagaimana strategi pencegahan penularan HIV melalui Care support and
treatment (CST) pada level nasional dan global?
b. Bagaiana keefektifan dan keberhasilan program Care support and treatment
(CST)?
c. Apa saja kekurangan dan kelemahan Care support and treatment (CST)?
d. Bagaimana kontribusi perawat dalam program Care support and treatment
(CST)?

1.3 Tujuan
a. Untuk mengetahui strategi pencegahan penularan HIV melalui Care support
and treatment (CST) pada level nasional dan global
b. Untuk mengetahui keefektifan dan keberhasilan program Care support and
treatment (CST)
c. Untuk mengetahui kekurangan dan kelemahan Care support and treatment
(CST)
d. Untuk mengetahui kontribusi perawat dalam program Care support and
treatment (CST)
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Stategi Pencegahan HIV/AIDS pada level Nasional dan Global


a. Strategi Pencegahan HIV/AIDS pada level Nasional
Pada awalnya, mayoritas program penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia
mengacu pada berbagai program yang pernah dilakukan di berbagai negara dan
pedoman yang dikeluarkan oleh WHO. Terminologi yang dipakai pun mengacu pada
terminologi WHO, seperti care, support and treatment (CST). Layanan-layanan yang
ada pada CST :
a. Pengobatan supportif
b. Profilaksis infeksi oportunistik (IO)
c. Terapi Antiretroviral (ARV)
d. Memberi layanan perawatan dan dukungan,
Pada 2010-an istilah CST dalam dokumen SRAN Penanggulangan HIV dan
AIDS 2010–2014 disebut dengan Perawatan, Dukungan dan Pengobatan (PDP).
Tujuan dari program PDP ialah penguatan dan pengembangan layanan kesehatan
serta koordinasi antar-layanan dengan beberapa target, yakni :
1) Tersedianya layanan kesehatan yang berkualitas dan sesuai dengan kebutuhan
masyarakat;
2) 100 % ODHA yang memerlukan pencegahan dan pengobatan IO dapat
mengakses layanan kesehatan sesuai kebutuhan;
3) Memberikan pengobatan ARV kepada orang terinfeksi HIV yang
membutuhkan sesuai dengan standar WHO untuk kualitas hidup yang lebih
produktif;
4) Pengembangan perawatan komunitas untuk memberikan dukungan psikologis
dan sosial;
5) Meningkatkan kapasitas ODHA melalui pendidikan dan pelatihan bagi ODHA
Untuk melihat kinerja program dan capaiannya, beberapa laporan dari instansi
terkait di-review. Laporan situasi perkembangan HIV dan AIDS di Indonesia tahun
2013 dari Ditjen PP dan PL, Kemenkes RI, menunjukan hasil sebagai berikut:
• Jumlah infeksi HIV yang dilaporkan menurut faktor risiko heterokseksual
cenderung meningkat tahun 2010–2013;
• Persentase AIDS yang dilaporkan menurut risiko dari tahun 1987 sampai
dengan September 2013 adalah 60,9% heteroseksual dan 17,4 % penasun;
• Persentase AIDS yang dilaporkan menurut faktor risiko pada Juli–September
2013 mayoritas adalah heteroseksual (81,9%).
Laporan tersebut mengindikasikan bahwa penularan HIV dan AIDS melalui
hubungan seks masih tinggi sampai saat ini, walaupun banyak program yang sudah
dilaksanakan. Progam PDP saat ini sudah menunjukkan kemajuan. Jumlah rumah
sakit, puskesmas dan klinik layanan meningkat pesat sejalan dengan meningkatnya
temuan kasus. Berbagai kebijakan dibuat untuk memperbaiki penyediaan layanan.
Kebijakan yang berhubungan dengan PDP mayoritas dikeluarkan oleh Kemenkes,
kementerian dan badan teknis yang menjadi anggota KPAN. Kebijakan dari
Kemenkes berupa UU Kesehatan, Permenkes, Kepmenkes dan Surat Edaran dan
Instruksi Menkes. Di tingkat daerah ada juga keputusan kepala dinkes di tingkat
provinsi dan kabupaten/ kota.
Komponen dalam program PDP bagi ODHA secara signifikan ada dua, yakni
layanan ARV dan penjangkauan dan pendampingan.
Layanan ARV
2004–2007: Penambahan jumlah dan sebaran layanan ARV, serta standarisasi
layanan dan pemeriksaan diagnostik.
2010–2011: Revisi terhadap pedoman nasional atas terapi ARV sebagai
penyesuaian langkah global bahwa ARV bukanlah langkah “pengobatan HIV”
melainkan sebagai “pengobatan untuk pencegahan HIV”.
Pokdisus RS Dr. Cipto Mangunkusumo dan dokterdokter RS Dr. Soetomo mulai
kewalahan menangani ODHA dalam stadium lanjut. Mereka kemudian mem pelopori
advokasi penyediaan ARV di rumah sakit. Hasilnya, pada tahun 2006 dikeluarkan
Kepmenkes Nomor 832/Menkes/SK/X/2006 tentang Penetapan Rumah Sakit
Rujukan Bagi ODHA dan Standar Pelayanan Rumah Sakit Rujukan ODHA dan
Satelitnya (25 rumah sakit). Jumlah rumah sakit ditingkatkan menjadi 75 di tahun
2007, dan 278 rumah sakit di tahun 2011 di seluruh Indonesia melalui Kepmenkes
Nomor 760/Menkes/SK/VI/2007 tentang Penetapan Lanjutan Rumah Sakit Rujuk an
Bagi ODHA dan Kepmenkes Nomor 782/Menkes/SK/IV/2011 tentang Rumah Sakit
Rujukan Bagi ODHA. Penanganan Infeksi Oportunistik juga penting dikembangkan
setelah terjadi inisiasi melalui Kepmenkes Nomor 241/Menkes/SK/ IV/2006 tentang
Standar Pelayanan Laboratorium Kesehatan Pemeriksaan HIV dan Infeksi
Oportunistik.
SRAN Penanggulangan HIV dan AIDS 2010–2014 menyatakan menargetkan
tersedianya pelayanan komprehensif di mana semua ODHA yang memenuhi syarat
dapat menerima ARV, pengobatan, perawatan dan dukungan yang manusiawi,
profesional dan tanpa diskriminasi, serta didukung oleh sistem rujukan dan
pembinaan serta pengawasan yang memadai. Persyaratan ODHA yang dapat
menerima ARV disesuaikan dengan situasi global sebagaimana pedoman WHO tahun
2010 Antiretroviral Therapy for HIV Infection in Adults and Adolescents in
Resourcelimited Settings: Towards Universal Access Recommendations for A Public
Health yang merupakan pemutahiran strategi penurunan epidemi.
Perbedaan mendasar pada indikasi pemberian ARV menurut pedoman terbaru ini
yakni ARV diberikan pada ODHA dengan hasil pemeriksaan CD4 kurang dari 350
sel/mm kubik. Perbedaan juga terlihat pada ODHA hamil, dengan koinfeksi TB dan
Hepatitis B, yakni pemberian ARV tanpa memandang jumlah CD4. Begitu juga
dengan rejimen terapi ARV yang digunakan di mana pada panduan terbaru TDF
digunakan sebagai lini pertama dan mulai dilakukannya phase out D4T dan mulai
terapi AZT atau TDF, mengingat efek samping dari D4T. Semua ini ditetapkan
melalui Permenkes Nomor 21/2013 yang telah diantisipasi akan berimplikasi pada
pembengkakan jumlah pasien ARV sehingga harus ada perbaikan manajemen logistik
dan distribusi ARV dari nasional ke subnasional. Setahun sebelumnya (2012),
pemerintah mengeluarkan Perpres Nomor 76/2012 tentang Pelaksaaan Paten oleh
Pemerintah terhadap Obat Antiviral dan Antiretroviral, yang intinya mengatur tentang
“hak guna pemerintah”—sejenis lisensi wajib yang membebaskan pemerintah dari
pembatasan hak paten. Langkah ini ditempuh guna memproduksi tujuh jenis obat-
obatan generik yang sangat penting dalam terapi HIV dan Hepatitis B.
Pada periode 2004–2011 diterapkan kolaborasi TBHIV melalui Kemenkes
Nomor 1990/Menkes/SK/X/2004 tentang pemberian gratis Obat AntiTuberklosis
(OAT) dan obat Antiretroviral (ARV) untuk HIV dan AIDS. Kolaborasi ni semakin
diperkuat dengan adanya Kepmenkes Nomor 1190/Menkes/SK/X/2004 tentang
pemberian gratis Obat Antituberkulosis (OAT) dan Obat Antiretroviral (ARV) untuk
HIV dan AIDS.
Bisa dilihat bahwa sektor yang aktif mengeluarkan peraturan dengan tujuan
meningkatkan capaian dan kualitas layanan hiv dan aids ialah kemenkes. Beberapa
kebijakan lainnya yang telah dihasilkan antara lain kemenkes nomor 1508/
menkes/sk/x/2005 tentang rencana kerja jangka menengah perawatan, dukung an dan
pengobatan untuk odha serta pencegahan hiv/aids tahun 2005–2009. Kemenkes
mengeluarkan rencana strategis departemen kesehatan 2005–2009, dilanjutkan
dengan rencana strategis kementrian kesehatan 2010–2014, peraturan menteri
kesehatan republik indonesia nomor 21 tahun 2013 tentang penanggulangan hiv dan
aids dengan rahmat tuhan yang maha esa menteri kesehatan republik indonesia,
peraturan menteri kesehatan republik indonesia nomor 87 tahun 2014 tentang
pedoman pengobatan antiretroviral dengan rahmat tuhan yang maha esa menteri
kesehatan republik indonesia, dan dalam proses periode 2015–2019. Kebijakan
terbaru terkait penanggulangan hiv dan aids dari kemenkes berupa surat edaran
menkes nomor 129/2013 yang menyatakan bahwa pelaksanaan pengendalian hiv/aids
dan ims untuk mencapai tujuan MDGS yang keenam.

Program ART merupakan bagian dari respons yang lebih luas terhadap HIV/
AIDS. Keberadaannya melengkapi program yang sudah ada dan dibangun dari
program tersebut, sebagaimana digariskan dalam Stranas dan SRAN Penanggulangan
HIV dan AIDS. Program ART mendukung upaya pencegahan dengan mendorong
warga yang berperilaku berisiko tinggi untuk menggunakan layanan konseling dan
tes. Program ART dalam pelayanan komprehensif perawatan, dukungan dan
pengobatan ODHA harus memperkuat sistem kesehatan nasional serta layanan
kesehatan dasar untuk menjamin layanan efektif dari perawatan dan pengobatan HIV
dan AIDS secara paripurna. Pelayanan ini terintegrasi ke dalam tersedianya layanan
kesehatan di semua tingkatan daerah kabupaten/kota maupun provinsi dan nasional.
Secara khusus pelaksanaan ART tidak akan mengurangi dana untuk prioritas dan
program perawatan kesehatan lain yang sama pentingnya. Investasi dalam program
ini akan banyak digunakan untuk memperkuat sistem kesehatan, termasuk
pengembangan SDM, mengadakan perlengkapan sarana kesehatan, dan menata
sistem pemantauan, pengadaan dan manajemen (PKMK FK UGM,2015).
Penjangkauan dan pendampingan
Program penjangkauan dan pendampingan saat ini bisa dibilang masih minim
sehingga tidak kalah penting untuk diperhatikan. Minimnya program penjangkauan
dan pendampingan bisa menurunkan kualitas program. Sejak kasus AIDS pertama di
Indonesia tahun 1987 di Bali yang diikuti dengan meningkatnya penemuan kasus
tidak terlepas dari upaya pendampingan dan penjangkauan oleh kelompok masyarakat
sipil. Seperti kasus di Bali, penjangkauan dan pendampingan dipelopori oleh Yayasan
Kerthi Praja untuk WPS dan Yayasan Citra Usadha Indonesia untuk homoseksual.
Selanjutnya, Yayasan Hati-Hati mulai menjangkau kelompok penasun. Kegiatan ini
direplikasi oleh lembaga lain di beberapa wilayah di Indonesia. Sangat disadari
bahwa upaya LSM ini digerakkan oleh orang-orang yang peduli dan didukung oleh
donor. Program mereka dirancang dengan mengutamakan penjangkauan dan
pendampingan sebagai ujung tombak. Hasilnya nyata, mereka yang rentan terkena
HIV terpapar informasi dan mulai mengakses layanan (PKMK FK UGM,2015).

Alur tatalaksana HIV di fasyankes (menurut Permenkes no 87 tahun 2014)


A. Persiapan Pemberian ARV

Prinsip pemberian ARV adalah harus menggunakan 3 jenis obat


yang ketiganya harus terserap dan berada dalam dosis
terapeutik dalam darah, dikenal dengan highly active
antiretroviral therapy (HAART). Istilah HAART sering
disingkat menjadi ART (antiretroviral therapy) atau terapi ARV.
Pemerintah menetapkan paduan yang digunakan dalam
pengobatan ARV dengan berdasarkan pada 5 aspek yaitu
efektivitas, efek samping/toksisitas, interaksi obat, kepatuhan,
dan harga obat.

Konseling terapi yang memadai sangat penting untuk terapi


seumur hidup dan keberhasilan terapi jangka panjang. Isi dari
konseling terapi ini termasuk: kepatuhan minum obat,
potensi/kemungkinan risiko efek samping atau efek yang tidak
diharapkan atau terjadinya sindrom pulih imun (Immune
Reconstitution Inflammatory Syndrome/IRIS) setelah memulai
terapi ARV, terutama pada ODHA dengan stadium klinis lanjut

atau jumlah CD4 <100 sel/mm3, dan komplikasi yang


berhubungan dengan terapi ARV jangka panjang.

Orang dengan HIV harus mendapatkan informasi dan konseling


yang benar dan cukup tentang terapi antiretroviral sebelum
memulainya. Hal ini sangat penting dalam mempertahankan
kepatuhan minum ARV karena harus diminum selama
hidupnya. Faktor yang mempengaruhi kepatuhan minum ARV
adalah penyediaan ARV secara cuma-cuma, kemudahan
minum obat dan kesiapan untuk meminumnya. Setelah
dilakukan konseling kepatuhan, ODHA diminta berkomitmen
untuk menjalani pengobatan ARV secara teratur untuk jangka
panjang. Konseling meliputi cara dan ketepatan minum obat,
efek samping yang mungkin terjadi, interaksi dengan obat lain,
monitoring keadaan klinis dan monitoring pemeriksaan
laboratorium secara berkala termasuk pemeriksaan CD4.

Pada anak dengan HIV, perlu dilakukan kajian khusus untuk


kesiapan terapi ARV, di antaranya:
1. Kaji situasi keluarga termasuk jumlah orang yang terkena
atau berisiko terinfeksi HIV dan situasi kesehatannya.
2. Identifikasi orang yang mengasuh anak dan kesediaannya
untuk mematuhi pengobatan ARV dan pemantauannya.
3. Kaji pemahaman keluarga mengenai infeksi HIV dan
pengobatannya serta informasi mengenai status infeksi HIV
dalam keluarga.
4. Kaji status ekonomi, termasuk kemampuan untuk
membiayai perjalanan ke klinik, kemampuan membeli atau
menyediakan tambahan makanan untuk anak yang sakit dan
kemampuan membayar bila ada penyakit yang lain.

B. Pemantauan pada ODHA yang Belum Mendapat ART

ODHA yang belum memenuhi syarat untuk mendapat terapi


ARV perlu dimonitor perjalanan klinis penyakit dan jumlah
CD4-nya setiap 6 bulan sekali, atau lebih sering pada anak
dan bayi yang lebih muda. Evaluasi klinis meliputi parameter
seperti pada evaluasi awal termasuk pemantauan berat badan
dan munculnya tanda dan gejala klinis perkembangan infeksi
HIV. Pada anak, juga dilakukan pemantauan tumbuh kembang
dan pemberian layanan rutin lainnya, seperti imunisasi.
Parameter klinis dan CD4 ini digunakan untuk mencatat
perkembangan stadium klinis WHO pada setiap kunjungan
dan menentukan apakah ODHA mulai memenuhi syarat untuk
pengobatan pencegahan kotrimoksazol (PPK) dan/atau ARV.
Evaluasi klinis dan jumlah CD4 perlu dilakukan lebih ketat
ketika mulai mendekati ambang dan syarat untuk memulai
ART.
C. Indikasi Memulai ART

Inisiasi ART secara dini terbukti bermanfaat secara klinis,


berguna untuk pencegahan, meningkatkan harapan hidup dan
menurunkan insiden infeksi terkait HIV dalam populasi.
Rekomendasi inisiasi ART pada dewasa dan anak dapat dilihat
dalam tabel 6.
-
Tabel 6. Rekomendasi Inisiasi ART pada Dewasa dan Anak

Populasi Rekomendasi
Dewasa Inisiasi ART pada orang terinfeksi HIV stadium klinis 3 dan 4,
dan atau jika jumlah CD4 ≤ 350 sel/mm3
anak > Inisiasi ART tanpa melihat stadium klinis WHO dan
5 tahun berapapun jumlah CD4
 Koinfeksi TBa

 Koinfeksi Hepatitis B
 Ibu hamil dan menyusui terinfeksi HIV
 Orang terinfeksi HIV yang pasangannya HIV negatif
(pasangan serodiskordan), untuk mengurangi risiko
penularan
 LSL, PS, Waria, atau Penasunb

 Populasi umum pada daerah dengan epidemi HIV meluas


Anak < Inisiasi ART tanpa melihat stadium klinis WHO dan berapapun
5 tahun jumlah CD4c

a. Pengobatan TB harus dimulai lebih dahulu,


kemudian obat ARV diberikan dalam 2-8 minggu sejak
mulai obat TB, tanpa menghentikan terapi TB. Pada

ODHA dengan CD4 kurang dari 50 sel/mm 3, ARV harus


dimulai dalam 2 minggu setelah mulai pengobatan TB.
Untuk ODHA dengan meningitis kriptokokus, ARV
dimulai setelah 5 minggu pengobatan kriptokokus.
b. Dengan memperhatikan kepatuhan
Bayi umur < 18 bulan yang didiagnosis terinfeksi HIV
dengan cara presumtif, maka harus segera mendapat
terapi ARV. Bila dapat segera dilakukan diagnosis
konfirmasi (mendapat kesempatan pemeriksaan PCR

DNA sebelum umur 18 bulan atau menunggu sampai umur


18 bulan untuk dilakukan pemeriksaan antibodi HIV ulang),
-
maka perlu dilakukan penilaian ulang apakah anak pasti
terdiagnosis HIV atau tidak. Bila hasilnya negatif, maka
pemberian ARV dihentikan.

D. Paduan ART Lini Pertama

Pilihan paduan ART lini pertama berikut ini berlaku untuk


ODHA yang belum pernah mendapatkan ARV sebelumnya
(naive ARV).
1. Paduan ART lini pertama pada anak usia 5 tahun ke atas dan
dewasa

Tabel 7. ART lini pertama untuk anak usia 5 tahun ke atas


dan dewasa, termasuk ibu hamil dan menyusui,
ODHA koinfeksi hepatitis B, dan ODHA dengan
TB

ARV lini pertama untuk dewasa


Paduan TDFa + 3TC (atau FTC) + EFV dalam bentuk KDTc
pilihan
Paduan AZTb + 3TC + EFV (atau NVP)
alternatif
TDFa + 3TC (atau FTC) + NVP

a Jangan memulai TDF jika creatine clearance test (CCT)


hitung < 50 ml/menit, atau pada kasus diabetes lama,
hipertensi tak terkontrol dan gagal ginjal
b Jangan memulai dengan AZT jika Hb < 10 g/dL sebelum terapi

c Kombinasi 3 dosis tetap (KDT) yang tersedia: TDF + 3TC +


EFV
-
2. Paduan ART lini pertama pada anak usia kurang dari 5 tahun

Paduan ART lini pertama pada anak sama seperti orang


dewasa, yaitu menggunakan kombinasi 2 NRTI dan 1
NNRTI dengan pilihan seperti pada tabel 8.

Tabel 8. ART lini pertama pada anak <5 tahun

Pilihan NRTI ke-1 Pilihan NRTI ke-2 Pilihan NNRTI


Zidovudin (AZT)a Lamivudin (3TC) Nevirapin (NVP)
Stavudin (d4T)b Efavirenz (EFV)d
Tenofovir (TDF)c
a Zidovudin (AZT) merupakan pilihan utama. Namun bila Hb anak <
7,5 g/dl maka dipertimbangkan pemberian Stavudin(d4T).
b Dengan adanya risiko efek samping pada penggunaan d4T jangka
panjang, maka dipertimbangkan mengubah d4T ke AZT (bila Hb anak
> 10 gr/dl) setelah pemakaian 6 – 12 bulan. Bila terdapat efek anemia
berulang maka dapat kembali ke d4T.
c Tenofovir saat ini dapat digunakan pada anak usia di atas 2 tahun. Selain itu
perlu dipertimbangkan efek samping osteoporosis pada tulang anak yang
sedang bertumbuh karena penggunaan ARV diharapkan tidak mengganggu
pertumbuhan tinggi badan.

d.EFV dapat digunakan pada anak ≥ 3 tahun atau BB ≥ 10 kg, jangan


diberikan pada anak dengan gangguan psikiatrik berat. EFV adalah
pilihan pada anak dengan TB.Jika berat badan anak memungkinkan,
sebaiknya gunakan KDT.

E. Pemantauan Setelah Pemberian ARV

Pemantauan setelah pemberian ARV bertujuan untuk


mengevaluasi respons pengobatan. Evaluasi ODHA selama
dalam pengobatan dilakukan bersama-sama antara dokter,
perawat, dan konselor. Evaluasi tidak hanya dilakukan untuk
-
kondisi fisik, namun juga psikologis, untuk membantu
ODHA dan keluarganya selama menjalani pengobatan.
1. Jadwal Pemantauan Setelah Pemberian ARV

Penilaian klinis dan tes laboratorium berperan penting untuk


melihat kondisi ODHA sebelum inisiasi ART dan berguna
untuk memonitor respons pengobatan dan kemungkinan
toksisitas obat ARV. Pemantauan klinis dalam pengawasan
dokter dilakukan rutin minimal sebulan sekali dalam 6 bulan
pertama setelah inisiasi ART. Pemantauan oleh dokter
selanjutnya dapat dilakukan minimal 3 bulan sekali atau
lebih sering, sesuai dengan kondisi dan kepatuhan
pengobatan.
b. Strategi Pencegahan HIV/AIDS pada level Global
Sejalan dengan perkembangan program, kegiatan penjangkauan dan
pendampingan selalu mendapat pro dan kontra dari berbagai pihak. Saat ini kegiatan
lapangan dikoordinir oleh Community Organizer. Sedangkan kegiatan penjangkauan
dan pendampingan disederhanakan dengan pembagian KIE, pendistribusian material
pencegahan, dan perujukan ke layananan kesehatan. Bentuk dan pola program KIE
dengan memanfaatkan penyuluhan massal dan edutainment menjadi pilihan saat ini.
Pelaksanaannya pun hanya pada waktu tertentu, seperti pada bulan Desember
menjelang Hari AIDS Sedunia. Program penjangkauan dan pendampingan merupakan
langkah awal dan pintu masuk untuk upaya pencegahan dan perawatan. Sayangnya,
program penjangkauan dan pendampingan tereduksi dengan pembagian materi
pencegahan saja, semisal kondom dan pelicin.

2.2 Kefetifan Program CST/PDP


PDP merupakan singkatan dari perawatan, dukungan dan pengobatan (Care,
Support and Treatment), adalah suatu layanan terpadu dan berkesinambungan untuk
memeberikan dukungan baik aspek manajerial, medis, psikologis maupun sosial
untuk mengurangi atau menyelesaikan permasalahan yang dihadapi ODHA selama
perawatan dan pengobatan. Layanan PDP baru berkembang di Indonesia sejak
program 3 by 5 diluncurkan WHO pada tahun 2004. Meskipun layanan PDP dengan
skala kecil telah berjalan di kota besar sejak munculnya kasus HIV/AIDS,
pemerataan layanan PDP ke masyarakat berjalan secara bertahap (Mujiati dkk, 2012).
PDP dinilai efektif dibeberapa tempat dengan didukungnya surat organisasi yang
sesuai. PDP dinilai efektif karena dapat mengurasi isolasi bagi penderita,
meningkatkan dukungan sosial, mengurangi stiga, membantu berbagai pengalaman,
2

membantu orang untuk melihat bahwa hidup dengan HIV adalah mungkin, penderita
dapat mengontrol dirinya dengan hidup yang lebih ehat, dan dapat meningkatkan
kualitas hidup ODHA (KPA, Sumatra Utara, 2007).
Program PDP terutama ditujukan untuk menurunkan angka kesakitan dan
rawat inap, angka kematian yang berhubungan dengan AIDS, dan meningkatkan
kualitas hidup orang terinfeksi HIV (berbagai stadium). Pencapaian tujuan tersebut
dapat dilakukan antara lain denganpemberian terapi antiretroviral (ARV).
Perkembangan PDP di puskesmas yaitu sebagai contoh
diPuskesmasLKBKotaMedan,sebagai tindak lanjut terhadap hasil tes HIV yang
dilakukan Puskesmas LKB Kota Medan, maka Puskesmas merujuk pasien tersebut ke
rumah sakit rujukan yaitu RS Pirngadi RSU H Adam Malik, RSU Haji Medan,
Rumkit Bhayangkara Medan, Rumkit Tk II Putri Hijau Medan untuk mendapatkan
pengobatan ARV. Pasien dapat memilih apakah ia akan melanjutkan pengobatannya
di Rumah Sakit atau kembali ke Puskesmas yang merujuknya. Saat ini di kota Medan
terdapat tiga Puskesmas yang sudah dapat memberikan layanan terapi ARV yaitu
Puskesmas Teladan, Puskesmas Padang Bulan dan Puskesmas Helvetia. Dalam
layanan LKB pemberian ARV dapat langsung diberikan tanpa memandang jumlah
CD4nya kepada mereka yang HIV (+) yaitu pada ibu hamil, pasien koinfeksi TB,
pasien koinfeksi Hepatitis B dan C, LSL, WPS, Penasun, ODHA yang pasangan
tetapnya memiliki status HIV (-) dan tidak menggunakan kondom secara konsisten.
Puskesmas akan bekerjasama dengan LSM atau Kelompok Dampingan
Sebaya (KDS) untuk memberikan layanan konseling, pendampingan, perawatan dan
untuk memastikan kepatuhan pasien dalam minum obat seumur hidup dengan
memberikan pendampingan terutama pada awal pengobatan, serta memberikan
dukungan yang tepat dari keluarga, komunitas, kelompok dukungan sebaya dan
layanan kesehatan.

2.3 Kelebihan dan kekurangan program CST/PDP


A. Kelebihan :
Layanan PDP di Indonesia memang dilaksanakan lebih belakangan daripada
layanan pencegahan. Namun sesuai dengan makin banyaknya orang yang terinfeksi
3

HIV maka layanan PDP makin dibutuhkan masyarakat. Tersedianya obat ARV
generik juga mempercepat layanan PDP karena salah satu komponen layananPDP
adalah layanan ARV. Layanan obat ARV generik memperkuat PDP yang selama ini
lebih diutamakan pada layanan infeksi oportunisik, layanan obat simtomatik,
pendampingan, dan dukungan. Layanan obat ARV di Indonesia meningkat sejak
penggunaan obat ARV generik yang didatangkan dari India dan Thailand. Karena
obat ARV generik harganya hanya sekitar 5 % dari harga obat paten maka sebagian
masyarakat mampu menjangkaunya. Apalagi dengan kebijakan pemerintah Indonesia
untuk memproduksi obat ARV generik di Indonesia maka pengadaan obat ARV
generik lebih berkesinambungan serta harganya semakin murah.
B. Kekurangan :
a. Sebagian infeksi HIV terdiagnosis pada keadaan tahap lanjut, tak jarang
ODHA mempunyai infeksioprtunistik berat bahkan infeksi oportunistik yang
lebih dari satu. Dengan demikian angka kematian perawatan di rumah sakit
masih tinggi.Angka kematian perawatan di salah satu rumah sakit di Jakarta
Barat mencapai 30% dan sebagian besar kematian terjadi pada awal
perawatan sebelum penderita memperoleh ARV.
b. Biaya untuk diagnosis dan terapi infeksi oportunistik mahal dan sebagian
besar biaya ini masih ditanggung oleh ODHA dan keluarga. Pada umumnya
perusahaan asuransi tidak bersedia memberikan penggantian biaya untuk
kasus AIDS.
c. Infeksi HIV di kalangan penguna narkoba semakin meningkat. Pada pengguna
narkoba suntikan selain infeksi HIV juga terdapat ko-infeksi Hepatitis C dan
B, serta terdapatnya infeksi pneumonia dan infeksi endokarditis bakteri.
Keadaan ini mempersulit penatalaksanaan karena tak jarang seorang ODHA
yang dirawat menderita berbagai infeksi oportunistik disertai pula ko-infeksi
hepatitis.
d. Kemampuan layanan PDP masih beragam. Terdapat unit layanan yang sudah
mempunyai pengalaman luas dalam PDP namun juga terdapat unit layanan
yang baru memulai layanan PDP. Selama ini sistem dukungan untuk
meningkatkan mutu layanan belum terprogram dengan baik.
e. Layanan AIDS pada anak masih belum mendapat perhatian yang memadai.
4

f. Agar mampu memberikan layanan PDP pada anak maka diperlukan SDM
yang berpengalaman, fasilitas laboratorium yang mencukupi serta obat ARV
untuk anak. Tenaga dokter yang mampu mendiagnosis dan melakukan terapi
pada anak yang terinfeksi HIV masih sedikit dan terbatas di kota besar.
Pemeriksaan viral load dan CD4 yang dibutukan untuk diagnosis dan terapi
HIV pada anak harganya mahal dan masoh harusemnjadi beban keluarga.
Obat ARV khusus anak belum tersedia sehingga masih menggunakan obat
ARV dewasa demhgam penyesuaian dosis.
g. Kerjasama rumah sakit dengan LSM di berbagai unit layanan belum terbina
dengan baik. Ada kecenderungan saling merasa benar sendiri dan
menyalahkan pihak lain. Situasi ini harus dirubahsehingga terjadi kerjasama
yang menguntungkan demi terwujudnya layanan yang bermutu.
h. Dukungan pengadaan fasilitas dan peralatan medik untuk menerapkan
kewaspadaan universalmasih minim. Di banyak unit layanan, sarung tangan
yang amat esensial sebagai barier dalam kewaspadaan universal tidak tersedia
cukup.
i. Kurangnya komunikasi antara pembuat kebijakan dengan pelaksana di
lapangan. Dukungan untuk pelaksana di lapangan baik berupa dukungan
finansial maupun teknik yang pada umumnya diberikan oleh lembaga donor
atau LSM internasional masih kurang terkoordinasi sehingga membingungkan
petugas di lapangan.
j. Dalam hal pelaporan, pelaksana layanan PDP dimintakan laporan oleh
berbagai pihak yaitu Departemen Kesehatan (Depkes), lembaga donor dan
WHO. Sewajarnya laporan hanya diserahkan pada satu instansi saja dan
lembaga lain yang memerlukan dapat berhubungan dengan Depkes tanpa
turun langsung ke lapangan.
k. Manajemen logistik (perencanaan, pengadaan obat ARV, pendistribusian, dan
pemantauan) belum tertata dengan baik sehingga masih dialami adanya
kekurangan obat, kelebihan obat, atau terlambatnya distribusi.

2.4 Kontribusi Perawat dan Inovasi pada CST


a. Care (Perawatan)
5

Implemetasi perawatan bersifat komprehensif berkesinambungan yaitu perawatan


yang melibatkan jaringan sumberdaya dan pelayanan dukungan secara holistik,
komprehensif dan luas untuk ODHA maupun keluarganya dan menghubungkan
antara perawatan di rumah sakit dengan perawatan di rumah secara timbal balik
sepanjang perjalanan penyakit (KPA, 2007).
Perawatan komprehensif berkesinambungan ini meliputi :
1. tata laksana klinis
2. perawatan pasien
3. edukasi
4. pencegahan
5. konseling
6. perawatan paliativ
7. dukungan sosial
Dalam hal ini care atau perawatan untuk ODHA ini, perawat berperan sebagai
care giver, educator dan konselor.
b. Support (Dukungan)
Dukungan merupakan pengobatan aspek psikologis klinis dan sosial. Upaya
dapat berupa konseling psikoterapi oleh konselor dan psikoreligi oleh pemuka agama
sesuai keyakinan ODHA. Masyarakat khususnya populasi beresiko perlu diberikan
edukasi yang benar tentang HIV/AIDS berupa penyuluhan dan diskusi terbuka,
termasuk menghilangkan stigma dan diskriminasi untuk mengurangi beban psikis,
stress dan depresi pada ODHA sebab ODHA juga memiliki hak-hak asasi. Dalam hal
ini perawat dapat menjadi konselor sekaligus educator bagi ODHA, keluarganya
maupun masyarakat secara umum.
Jika semua ODHA terjangkau mendapatkan akses layanan CST, dan negara
bersama rakyat memiliki visi dan misi yang sama dalam penanggulangan HIV/ AIDS
maka program ini akan mencapai puncak keberhasilan selaras dengan program
universal acces WHO.
c. Treatment (Pengobatan)
6

Pada dasarnya mencakup aspek medis klinis, psikologis klinis dan sosial.
Pengobatan medis klinis meliputi:
1.Pengobatan supportif
Mencakup penilaian gizi ODHA dari awal untuk mencegah gangguan nutrisi yang
memperburuk kondisi. Bila nafsu makan sangat menurun pertimbangkan pemberian
obat anabolik steroid.
2.Profilaksis infeksi oportunistik (IO)
Infeksi oprortunistik yang sering terjadi misalnya renitis, kebutaan bahkan ensefalitis
akibat cyto megalo virus, tuberkulosis, toksoplasmosis, PCP, jamur kandida.
Pengobatan profilaksis IO bisa didapatkan di RS Rujukan khusus penanganan
HIV/AIDS.
3.Terapi Antiretroviral (ARV)
ARV berfungsi memperlambat perjalanan penyakit, meningkatkan jumlah sel CD4
dan mengurangi jumlah virus dalam darah. Pertimbangan memulai ARV adalah jika
CD4 berjumlah 200-350/mm3. Sebelum memulai terapi ARV, ODHA perlu
mendapatkan konseling kepatuhan tentang cara penggunaan, efek samping, tanda
bahaya dan semua yang terkait dengan terapi agar tidak terjadi resistensi.
Pengobatan Pencegahan Kotrimoksasol (PPK) merupakan bagian penting dari
rencana pengobatan bagi ODHA dimana PPK diberikan pada ODHA dengan stadium
klinis 2, 3, dan 4 pada CD4<200 sel/mm3 atau stadium klinis 3 dan 4 bila tidak
tersedia pemeriksaan CD4. Dosis PPK untuk orang dewasa 1x960 mg (dua tablet
atau satu tablet forte). Efek samping yang mungkin timbul antara lain ruam kulit
(alergi) dari tingkat ringan sampai berat. Bila timbul ruam kulit yang luas atau basah
disertai gejala sistemik seperti deman, secepatnya mencari pertolongan. Desensitisasi
tidak dianjurkan pada pasien dengan riwayat alergi berat (Steven Johnson Syndrome)
Kotrimoksasol tidak menggantikan terapi ARV. Oleh karena itu perlu direncanakan
pemberian ARV setelah kotrimoksasol, idealnya sekitar 2 minggu setelah pemberian
kotrimoksasol. Profilaksis kotrimoksasol tetap diberikan walaupun pasien
mendapatkan pengobatan untuk IO-nya. Profilasis kotrimoksasol dihentikan satu
7

tahun setelah pasien sehat kembali dengan tingkat kepatuhan minum obat ARV baik
dan CD4 >200 setelah pemberian terapi ARV pada 2 kali pemeriksaan berturut-turut.
Selain PPK juga terdapat PPINH yaitu melaksanakan kolaborasi program HIV
dan TB dalam satu atap, dengan melakukan kerjasama antara tim HIV, tim DOTS dan
manajemen layanan. Penemuan kasus TB yang lebih intensif dan pengobatannya
melalui skrining gejala dan tanda TB bagi ODHA yang berkunjung ke layanan pada
setiap kunjungan. Pengobatan TB sesuai dengan pedoman nasional pengendalian TB.
Pemberian anjuran tes dan konseling HIV kepada semua terduga dan pasien TB di
layanan. Menjamin akses perawatan, dukungan, dan pengobatan bagi pasien
koinfeksi TBHIV. Memberikan pengobatan pencegahan kotrimoksasol untuk
mengurangi kesakitan dan kematian ODHA dengan atau tanpa TB. Pencatatan dan
pelaporan TB dan HIV. Terapi ARV diberikan pada semua pasien koinfeksi TB-HIV
berapapun jumlah CD4. Pengobatan ARV dapat dimulai setelah OAT dapat
ditoleransi, biasanya setelah 2 - 8 minggu. Pantau kemungkinan terjadi efek samping
obat. Gunakan rejimen yang mengandung Efavirenz. Pertemuan TB-HIV koordinasi
internal Faskes (diskusi klinis, perencanaan, monev)
Berbagai inovasi dapat dilakukan pada program CST, salah satunya yang ada di
RSUD Bangil yang membuat terobosan kreatif dan inovatif dengan nama “ODHA
link”. Strategi yang digunakan ODHA link meliputi
1) online SMS 24jam (memberikan kartu nama dengan nomor telepon semua petugas
VCT, CST dan Farmasi kepada Puskesmas, LSM, KPA, kelompok risti, layanan
klinik Spesialis, dan ruangan rawat inap; masyarakat dapat bertanya mengenai
HIV/AIDS, follow up pasien yang akan test, test berkelanjutan untuk pasien
indeterminate, pasien resiko tinggi, serta pasien yang memulai dan yang sudah
mendapat ART);
2) delivery service (memberi kemudahan pasien dengan ART yang rumahnya jauh,
sibuk bekerja, sedang sakit, berhalangan karena suatu hal, biaya transfortasi dan malu
untuk mengambil obat di poli CST); dan
3) high acces (kegiatan rutin dan berkesinambungan berupa penyuluhan, promosi,
edukasi, pelatihan, ketrampilan, dan mobile visit). Kegiatan ini dilaksanakan supaya
8

masyarakat lebih mengerti tentang penyakit HIV, bagaimana penularannya dan


pengobatan penyakitnya. Masih banyak masyarakat tidak paham tentang penyakit ini,
karena menganggap penyakit yang memalukan dan menjijikkan harus
disembunyikan, sehingga mereka makin tidak mengerti, malu memeriksakan diri, dan
tidak mau berobat (JIPP Jatim, 2016). Selain itu juga terdapat di Banyuwangi Diana
obat ARV bisa dikirim melalui kurir
9

BAB 3. PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Program penanggulangan AIDS di indonesia mempunyai 4 pilar, yang
semuanya menuju pada paradigma Zero new infection, Zero AIDS related death and
Zero Discrimination. Empat pilar tersebut adalah pencegahan (prevention) yang
meiputi pencegahan penularan HIV melalui transmisi seksual dan alat suntik,
pencegahan di lembaga pemasyarakatan dan rumah tahanan, pencegahan HIV dari
ibu ke bayi (Prevention Mother to Child Transmission atau PMTCT), pencegahan di
kalangan pelanggan penjaja seks, dan lain-lain. Program PDP terutama ditujukan
untuk menurunkan angka kesakitan dan rawat inap, angka kematian yang
berhubungan dengan AIDS , dan meningkatkan kualitas hidup orang yang terinfeksi
HIV (berbagai stadium).

3.2 Saran
Menurut saya masih banyak hal-hal di indonesia yang perlu
diperbaiki,terutama untuk masalah kesehatan dan program kesehatan yang sedang
berjalan untuk tetap dilaksanakan dengan baik dan benar. Dan penulis menyadari
bahwa penulis masih jauh dari kata sempurna.

DAFTAR PUSTAKA
10

Depkes.2016. Program Pengendalianhiv AIDS Dan Pimsfasilitaskesehatan Tingkat


Pertama.Http://Siha.Depkes.Go.Id/Portal/Files_Upload /
4__Pedoman_Fasyankes_Primer_Ok.Pdf.[Diaksessecara Online 17 Maret 2019
Pukul 08.17 WIB]

Institute Of Medicine (US). Committee On Envisioning A Strategy To Prepare For


The Long-Term Burden Of HIV/AIDS: African Needs And US Interests,
&Briere, R. (2011). Preparing For The Future Of HIV/AIDS In Africa: A
Shared Responsibility. National Academies Press.

JIPP Jatim. 2016. ODHA-LINK. Http://Jipp.Jatimprov.Go.Id/?Page=Database_


Detail&Id=8 [Diakses Secara Online Pada 16 Maret 2019 Pukul 14.55 WIB].

Kementerian kesehatan. 2013. PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK


INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2013 TENTANG PENANGGULANGAN
HIV DAN AIDS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA.
https://www.kebijakanaidsindonesia.net/id/dokumen-kebijakan/send/17-
peraturan-pusat-national-regulation/361-permenkes-ri-no-21-tahun-2013-
tentang-penanggulangan-hiv-dan-aids. [Diakses secara online pada 7 April
2019 pukul 08.10 WIB].

Kementerian kesehatan.2014. PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK


INDONESIA NOMOR 87 TAHUN 2014 TENTANG PEDOMAN
PENGOBATAN ANTIRETROVIRAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG
11

MAHA ESA MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA.


https://www.kebijakanaidsindonesia.net/id/dokumen-kebijakan/send/17-
peraturan-pusat-national-regulation/645-permenkes-ri-no-87-tahun-2014-
tentang-pedoman-pengobatan-antiretroviral [Diakses secara online pada 7 April
2019 pukul 08.23 WIB].

KPA. 2007. Care Support Treatment (CST) . Https://Kpa-Provsu.Org/Cst.Php.


[Diakses Secara Online Pada 16 Maret 2019 Pukul 14.40 WIB].

KPA. 2007. Care Support Treatment (CST) . Https://Kpa-Provsu.Org/Cst.Php.


[Diakses Secara Online Pada 16 Maret 2019 Pukul 14.40 WIB].

Mujiati, Dkk. 2012. Evaluasi Pelaksanaan Layanan Perawatan, Dukungan Dan


Pengobatan (Pdp) Hiv-Aids Di Jawa Barat Dan Papua Tahun 2012.
Https://Media.Neliti.Comdiakses Pada 14 Maret 2019

PKMK FK UGM. 2015. Kajian Dokumen Kebijakan Hiv-Aids Dan Sistem Kesehatan
Di Indonesi. Yogyakarta: FK UGM

You might also like