You are on page 1of 44

Nama : AULIA IS NAIDA

Nim : 1713211004
Matkul : Media Komunikasi Gizi
D. Pengampu : Tyas Permatasaru,S.Gz, M.Si
UTS

1.Carilah jurnal ilmiah dari sumber yang valid berdasarkan topickyang kamu pilih terkait media
komunikasi gizi, baik jurnal nasional maupun internasional. Kemudian Pilihlah 3 Topik dari
pilihan berikut kemudian analisilah!
A. Obesitas
B. Anemia
C. Kekurangan Yodium

Analislah ketiga jurnal tersebut berdasarkan topik yang kamu pilih.


a. Buat rangkuman jurnal berdasarkan format berikut
b. Analisis media yang digunakan dalam penelitian tersebut
c. Kekurangan dan kelebihan media yang digunakan

A. OBESITAS
1. Judul :
Faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian obesitas pada remaja

2. Penulis :
Weni
Kurdanti1 ,
Isti
Suryani1 ,
Nurul Huda
Syamsiatun
1 , Listiana
Purnaning
Siwi1 ,
Mahardika
Marta
Adityanti1 ,
Diana
Mustikanin
gsih1 ,
Kurnia
Isnaini
Sholihah1

3. Nama Jurnal :

Jurnal gizi klinik indonesia

4. Tahun : 2015
5. Volume : 11
6. Halaman : 179-190
7. Abstrak :
ABSTRACT Background: The cause of obesity in adolescents is multifactorial. Increased
consumption of fast food (fast food), lack of physical activity, genetic factors, the influence of
advertising, psychological factors, socioeconomic status, diet, age, and gender are all factors that
contribute to changes in energy balance and lead to obesity. Objective: To determine the factors
that affect the incidence of obesity in adolescents. Methods: A case-control study with a total of
144 subjects, cases are obese adolescents (BMI / u> + 2sd) and controls were non-obese
adolescents. The independent variable is the macronutrient intake, fiber intake, the pattern of
consumption of fast food, the consumption patterns of food / sugary beverages, physical activity,
psychological factors (self-esteem), genetic factors, and intake of breakfast, while the dependent
variable was the incidence of obesity. Data analysis using chi-square test and logistic regression.
Results: Factors significantly associated (p

8. Objective:
9. Method: Penelitian case control dengan total 144 subjek, kasus adalah remaja obesitas (IMT/U
> +2SD) dan kontrol adalah remaja non-obesitas. Variabel bebas adalah asupan zat gizi makro,
asupan serat, pola konsumsi fast food, pola konsumsi makanan/minuman manis, aktivitas fisik,
faktor psikologis (harga diri), faktor genetik, dan asupan sarapan pagi, sedangkan variabel terikat
adalah kejadian obesita
10. Results:
Factors significantly associated (p <0.05) and a risk factor for obesity in adolescent is energy
intake (or = 4.69; ci: 2.12 to 10.35); fat (or = 2.34; ci: 1.19 to 4.57); carbohydrates (or = 2.64;
ci: 1.34 to 5.20); the frequency of fast food (or = 2.47; ci: 1.26 to 4.83); and the morning
breakfast intake (or = 5.24; ci: 2.56 to 10.71).
11. Hasil Analisis : HASIL
Karakteristik subjek
Berdasarkan Tabel 1, nilai p pada variabel umur, jenis kelamin, dan asal sekolah adalah sama
yaitu 1,000. Hal ini menunjukkan bahwa ketiga variabel tersebut bersifat homogen karena pada
penelitian ini dilakukan matching
Tabel 1. Karakteristik subjek penelitian (n=144)
Karakte Status obesitas p
ristik Obesitas N
(Kasus) o
n
-
o
b
e
s
i
t
a
s

(
K
o
n
t
r
o
l
)
n %n %
Pekerjaan ayah 0,368

PNS 1 1 9 1
2 6 2
, ,
7 5
TNI/PO 1 1 1 1
LRI , ,
4 4
Pegawai 2 3 3 4
swasta 7 7 5 8
, ,
5 6
Pedagan 2 2 2 3
g/wiraus 1 9 2 0
aha , ,
2 6
Buruh/S 1 1 2 2
erabutan , ,
4 8
Pensiuna 7 9 1 1
n , ,
7 4
Tidak 3 4 2 2
bekerja , ,
2 8
Pekerjaan Ibu 0,290
PNS 1 1 1 1
4 9 4 9
, ,
4 4
TNI/PO 1 1 0 0
LRI ,
4
Pegawai 1 2 7 9
swasta 5 0 ,
, 7
8
Pedagan 1 1 1 2
g/wiraus 2 6 7 3
aha , ,
7 6
Pensiuna 1 1 0 0
n ,
4
Tidak 2 4 3 4
bekerja 9 0 4 7
, ,
3 2
Pendidikan terakhir ayah
Tidak 1 1,4 0 0,0 0,570
sekolah/
tidak
tamat
SD
Tamat 1 1,4 3 4,2
SLTP/
sederajat
Tamat 19 26,4 19 26,8
SLTA/se
derajat
Tamat 51 70,8 50 69,4
PT
Pendidikan Terakhir Ibu 0,520
Tidak 0 0 2 2
sekolah/ , ,
tidak 0 8
tamat
SD
Tamat 2 2 2 2
SLTP/ , ,
sederajat 8 8
Tamat 1 2 2 2
SLTA/se 9 6 1 9
derajat , ,
4 2
Tamat 5 7 4 6
PT 1 0 7 5
, ,
8 3

12. Kekuatan dan Kelemahan Penelitian (Bisa dari jurnal bisa dari Analisis Masing-
masing Individu)

13. Kesimpulan dan saran : Remaja yang memiliki asupan energi, lemak, dan karbohidrat
berlebih, frekuensi konsumsi fast food, aktivitas fisik tidak aktif, memiliki ibu dan ayah dengan
status obesitas, serta tidak sarapan, berisiko lebih terhadap terjadinya obesitas. Remaja rentan
akan risiko obesitas sebaiknya diberi edukasi dengan media yaitu untuk memperbaiki asupan
makanan khususnya asupan energi dengan memperhatikan keseimbangan asupan zat gizi protein,
lemak dan karbohidrat.

b. Analisis media yang digunakan dalam penelitian tersebut

c. Kekurangan dan kelebihan media yang digunakan

b. anemia

1. Judul : Pengaruh taburia terhadap status anemia dan status gizi balita gizi
kurang
2. Penulis : Wahyuni Kunayarti1, Madarina Julia2, Joko Susilo3
3. Nama Jurnal : jurnal gizi klinik indonesia
4. Tahun : No. 04 Juli • 2014
5. Volume : 11
6. Halaman : Halaman 38-47
7. Abstrak
ABSTRACT
Background: Micronutrient defi ciency seriously contributes to child morbidity and mortality.
The need for micronutrient can be
fulfi lled from food, fortifi ed food, and direct supplementation. Taburia is multivitamin
multimineral that is aimed to meet the need
for micronutrient of undernourished underfi ves and to prevent the increased prevalence of
undernourishment. It is necessary effi cacy
and effectiveness study of Taburia to anemia and nutritional status of undernourished underfi
ves of 24-55 months. Objective: To
identify the effect of Taburia supplementation to anemia and nutrition status of underfi ves at
District of Lombok Timur. Method:
The study was experimental with prospective cohort study design carried out at District of
Lombok Timur, Province of Nusa
Tenggara Barat. Subject of the study were undernourished underfi ves at the area of Nutrition
Improvement Community through
Empowerment (NICE) project. The independent variables were Taburia and biscuits; the
dependent variables were anemia and
nutrition status; and the external variables were intake of energy, protein, vitamin A, vitamin C,
Fe and zinc. Data analysis used
ANOVA and paired t-test. Results: There was signifi cant difference in average level of
hemoglobin of the subject after intervention,
either in taburia group, biscuit group, or taburia+biscuit group (p<0.05). There was difference
in average weight after intervention
in the three groups (p<0.05). There was no signifi cant difference in average level of hemoglobin
and average level of weight
between biscuit group and Taburia+biscuit group. There was change in anemia status from
anemia to non anemia; the highest
was in Taburia group, i.e. 96%; and better nutrition status at the end of the experiment occurred
at Taburia+biscuit group from
emaciated to normal (100%). Conclusion: Taburia supplementation could increase anemia
status. Micronutrient supplementation
was needed to increase nutrition status.
KEY WORDS: taburia, anemia status, nutrition status.

8. Objective: Objective: To
identify the effect of Taburia supplementation to anemia and nutrition status of underfi ves at
District of Lombok Timur.
9. Method: Method:
The study was experimental with prospective cohort study design carried out at District of
Lombok Timur, Province of Nusa
Tenggara Barat. Subject of the study were undernourished underfi ves at the area of Nutrition
Improvement Community through
Empowerment (NICE) project. The independent variables were Taburia and biscuits; the
dependent variables were anemia and
nutrition status; and the external variables were intake of energy, protein, vitamin A, vitamin C,
Fe and zinc. Data analysis used
ANOVA and paired t-test.
10. Results: There was signifi cant difference in average level of hemoglobin of the subject after
intervention,
either in taburia group, biscuit group, or taburia+biscuit group (p<0.05). There was difference
in average weight after intervention
in the three groups (p<0.05). There was no signifi cant difference in average level of hemoglobin
and average level of weight
between biscuit group and Taburia+biscuit group. There was change in anemia status from
anemia to non anemia; the highest
was in Taburia group, i.e. 96%; and better nutrition status at the end of the experiment occurred
at Taburia+biscuit group from
emaciated to normal (100%
11. Hasil Analisis :
12. Kekuatan dan Kelemahan Penelitian (Bisa dari jurnal bisa dari Analisis Masing-
masing Individu)
13. Kesimpulan dan saran : Pemberian taburia berpengaruh terhadap perubahan
status anemia balita gizi kurang umur 24-55 bulan.
Pemberian taburia, pemberian biskuit maupun pemberian
taburia+biskuit berpengaruh terhadap perubahan
status gizi balita gizi kurang umur 24-55 bulan. Untuk
mendapatkan status kesehatan balita yang lebih optimal
dalam pemberian taburia, perlu diikuti dengan upaya
peningkatan asupan energi dan protein yang cukup yang
dapat dicapai melalui peningkatan fungsi posyandu
dalam memberikan penyuluhan tentang menu seimbang.
Perlu peningkatan fungsi kelompok kerja operasional
(pokjanal) posyandu untuk meningkatkan kerjasama
lintas sektor dalam upaya meningkatkan sosialisasi gizi
kurang melalui pertemuan koordinasi.
c. kekurangan yodium

1. Judul : Faktor-faktor pada kejadian GAKY ibu hamil di Tabunganen


Barito Kuala, Kalimantan Selatan
2. Penulis : Alfi tri1, Untung S. Widodo2, Toto Sudargo3
3. Nama Jurnal : JURNAL GIZI DAN DIETETIK INDONESIA
4. Tahun : Januari 2013: 7-14
5. Volume : 1
6. Halaman : 7-14
7. Abstrak
ABSTRACT
Background: Iodine Defi ciency Disorder (IDD) is a health problem that affects quality of
human resources. IDD
happens not only due to iodine defi ciency but also other disorders such as goitrogenic substance
(thiocyanate),
pollutants of heavy metals (Pb) and micronutrient defi ciency (Fe) that inhibit thyroid hormone
biosynthesis which
cause the sweling of goitre glands.
Objective: To identify the association between consumption of iodine, thiocyanate, Fe
consumption, status of
anemia and Pb and status of IDD in pregnant mothers at Subdistrict of Tabunganen, District of
Barito Kuala,
Province of Kalimantan Selatan.
Method: The study was observational using case control design and quantitative method. Data
were obtained
through the palpation of goitre glands, measurement of thyroid stimulating hormone (TSH) level
using ELISA method,
iodine and thiocyanate consumption using food recall 2x24 hours and food frequency
questionnaire (FFQ), Fe
consumption using FFQ, Hb level using photometric method and Pb level using AAS method.
Data were analysed
by using chi-square and logistic regression.
Result: There was signifi cant association (p<0.05) between consumption of iodine (fi sh) based
on FFQ and IDD
status (goitre) with OR=3.44 and IDD status (TSH) with OR=8.00. There was no association
between consumption
of thiocyanate and Fe measured with food recall, FFQ and IDD status (goitre and TSH). There
was signifi cant
association (p<0.05) between Pb status and IDD status (TSH) with OR=9.35.
Conclusion: There was association between iodine consumption based on FFQ (fi sh) and IDD
status (goitre)
after the control of iodine consumption status (food recall). There was association between
iodine consumption
status (FFQ) in fi sh together with anemia status and the prevalence of IDD disorder (TSH) after
the control of Pb
status.
KEYWORDS: iodine defi ciency disorder, pregnant mothers, iodine, thiocyanate, Fe, anemia,
Pb

8. Objective: To identify the association between consumption of iodine, thiocyanate, Fe


consumption, status of
anemia and Pb and status of IDD in pregnant mothers at Subdistrict of Tabunganen, District of
Barito Kuala,
Province of Kalimantan Selatan.
9. Method: The study was observational using case control design and quantitative method. Data
were obtained
through the palpation of goitre glands, measurement of thyroid stimulating hormone (TSH) level
using ELISA method,
iodine and thiocyanate consumption using food recall 2x24 hours and food frequency
questionnaire (FFQ), Fe
consumption using FFQ, Hb level using photometric method and Pb level using AAS method.
Data were analysed
by using chi-square and logistic regression.
10. Results: There was signifi cant association (p<0.05) between consumption of iodine (fi sh)
based on FFQ and IDD
status (goitre) with OR=3.44 and IDD status (TSH) with OR=8.00. There was no association
between consumption
of thiocyanate and Fe measured with food recall, FFQ and IDD status (goitre and TSH). There
was signifi cant
association (p<0.05) between Pb status and IDD status (TSH) with OR=9.35.
11. Hasil Analisis : HASIL DAN BAHASAN
Prevalensi GAKY
Ibu hamil yang tercatat di Puskesmas Tabunganen
sebanyak 227, namun yang bersedia ikut dalam
pemeriksaan palpasi gondok sebanyak 152. Berdasarkan
hasil pemeriksaan palpasi gondok ibu hamil, diketahui
sebanyak 33 (21,71%) ibu hamil termasuk dalam
pembesaran grade 1 dan sebanyak 10 (6,58%) ibu hamil
tergolong pembesaran grade 2. Total pembesaran (grade
1 dan grade 2) di Kecamatan Tabunganen sebanyak 43
(28,29%) ibu hamil, sehingga digolongkan sebagai daerah
endemik sedang.
Hasil pemeriksaan terhadap 147 ibu hamil
menunjukkan bahwa konsentrasi EYU (ekskresi yodium
urine) berkisar antara 8-456 μg/L dengan median EYU
sebesar 129 μg/L. Dengan menggunakan batasan median
EYU yang sebesar 150 μg/L (13), asupan yodium di
Kecamatan Tabunganen tergolong kurang. Terdapat 86
(58,50%) ibu hamil dengan status intake yodium kurang
(EYU < 150 μg/L), 44 (29,93%) ibu hamil dengan status
cukup (EYU 150-249 μg/L), dan 17(11,56%) ibu hamil
dengan status intake yodium lebih dari cukup (EYU 250-
499 μg/L).
Distribusi EYU pada responden menunjukkan
median pada kasus (115 μg/L) lebih kecil daripada median
kontrol (124 μg/L) dan memiliki kesamaan di bawah median
normal dengan sebagian besar responden memiliki EYU
kurang dari 150 μg/L baik pada kasus (67,60%) maupun
pada kontrol (57,50%). Mengingat besarnya dampak
GAKY pada ibu hamil (terutama terhadap kesehatan ibu
dan perkembangan anak), selain pemeriksaan palpasi
dan EYU, perlu juga dipertimbangkan pemeriksaan TSH
(4). Kadar TSH >5 mU/L merupakan tanda kerawanan
perkembangan otak janin, berisiko aborsi, dan anak
lahir mati (14). Batas TSH normal di Indonesia sekitar
0,5–5 mU/L (2). Berdasarkan pemeriksaan TSH serum
responden di Kecamatan Tabunganen, terdapat 9 (11,54%)
responden dengan kadar TSH serum >5 mU/L. Hal ini
menunjukkan adanya penurunan T4 (hipotiroid) pada
11,5% responden. Penelitian ini sesuai dengan laporan
Vaidya et al. (2007) yang menunjukkan peningkatan TSH
pada kelompok ibu hamil berisiko GAKY dengan RR (risk
ratio) 6,5 kali (CI95%:3,3-12,6; p<0,0001) (15).
Hasil pemeriksaan TSH juga menunjukkan 6
(7,69%) responden dengan kadar TSH serum <0,5
mU/L. Penurunan kadar TSH serum menggambarkan
adanya peningkatan T4 (hipertiroid). Penderita hipertiroid
menunjukkan konsentrasi TSH yang lebih kecil daripada
normal dan seringkali nol (16).
Batasan normal TSH di setiap negara berbeda-beda
dan pada umumnya lebih rendah dibanding Indonesia.
Zimbabwe memiliki batasan normal TSH 0,2–5,0 mU/L
(17), di Rumah Sakit James Cook University 0,27–4,2
mU/L (15), penelitian pada National Health and Nutrition
Examination Survey (NHANES) di Amerika menggunakan
batasan normal TSH 0,1–4,5 mU/L (18), dan di Turki
dengan batasan normal TSH adalah 0,27 – 4,2 mU/L (19).
Dalam rangka kebijakan program penanggulangan GAKY,
batasan normal TSH di Indonesia perlu dikaji lebih jauh.
Penanggulangan GAKY
Upaya penanggulangan GAKY di Kecamatan
Tabunganen dapat dilihat dari penggunaan garam
beryodium, distribusi kapsul yodium, dan penyuluhan
tentang GAKY pada responden selama masa kehamilan
(Tabel 1).
Tabel 1.Distribusi responden berdasarkan pencapaian
upaya penanggulangan GAKY (gangguan akibat
kekurangan yodium)
Upaya
penanggulangan
Kasus Kontrol Total
n%n%n%
Garam bermerk
Tidak ada
Ada
Jumlah
0
38
0
100
0
40
0
100
0
78
0
100
38 100 40 100 78 100
Tes garam
Tidak
beryodium
Beryodium
Jumlah
2
36
5,3
94,7
3
37
7,5
92,5
5
73
6,4
93,6
38 100 40 100 78 100
Kapsul yodium
Tidak dapat
Dapat
Jumlah
18
20
47,4
52,6
16
24
40
60
34
44
35,9
64,1
38 100 40 100 78 100
Penyuluhan GAKY
Tidak pernah
Pernah
Jumlah
33
5
86,8
13,2
39
1
97,5
2,5
72
6
92,3
7,7
38 100 40 100 78 100
Hubungan tingkat konsumsi yodium dengan status
GAKY
Gambaran tingkat konsumsi yodium dalam penelitian
ini diperoleh melalui wawancara food recall (2X24 jam)
dengan perhitungan kandungan yodium berdasarkan
kadar yodium dalam bahan makanan (20) dan wawancara
food frequency dengan perhitungan frekuensi konsumsi
yodium berdasarkan skor (6).
Tingkat konsumsi yodium berdasar metode food
recall. Berdasarkan hasil food recall, diketahui rata-rata
konsumsi yodium sebesar 210,28 μg/hari (SD±39,43).
Dengan menggunakan batas angka kecukupan yodium
ibu hamil sebesar 200 μg/hari (21), rata-rata konsumsi
yodium responden tergolong cukup. Berdasarkan batas
10 Alfi tri, Untung S. Widodo, Toto Sudargo
angka tersebut pula, konsumsi yodium 47 (60,30%)
responden tergolong cukup dan 31 (39,70%) reponden
tergolong kurang.
Hasil uji statistik Chi-Square menunjukkan tidak
ada hubungan yang bermakna antara tingkat konsumsi
yodium berdasarkan food recall dengan status GAKY
(gondok) (p>0,05) (Tabel 2), demikian pula antara tingkat
konsumsi yodium berdasarkan food recall dengan status
GAKY (TSH) (p>0,05) (Tabel 3). Hal ini dapat disebabkan
oleh konsumsi yodium pada individu yang bervariasi
dari hari ke hari dan kondisi lingkungan seperti adanya
senyawa goitrogen yang dapat berimbas pada menetap
dan berkembangnya kasus baru (6). Selain itu, adanya
berbagai zat yang berpengaruh terhadap metabolisme
yodium juga dapat berpengaruh terhadap kejadian,
kegawatan, dan prognosis GAKY (7).
Tingkat konsumsi yodium berdasar metode FFQ.
Hasil wawancara melalui FFQ menunjukkan skor konsumsi
bahan makanan sumber yodium responden dari ikan
laut rata-rata sebesar 33,53 (SD±10,07). Hasil tersebut
menggambarkan kebiasaan makan responden untuk
menghidangkan menu makanan sumber yodium dari ikan
laut. Berdasarkan skor rata-rata tersebut juga diketahui 50
(64,10%) responden memiliki skor konsumsi ikan laut di
atas rata-rata dan 28 (35,90%)responden memiliki skor
konsumsi ikan laut di bawah rata-rata.
Hasil uji statistik Chi Square menunjukkan hubungan
bermakna antara tingkat konsumsi yodium berdasarkan
FFQ dengan status GAKY (gondok) (p<0,05) (Tabel
2). Responden dengan tingkat konsumsi ikan laut yang
rendah berpeluang menderita GAKY 3,44 kali lebih besar
(95% CI:1,29-9,15) dibanding responden dengan tingkat
konsumsi ikan laut yang tinggi. Hubungan bermakna juga
ditunjukkan antara tingkat konsumsi yodium berdasarkan
FFQ terhadap status GAKY (TSH) (p<0,05) (Tabel 3).
Responden dengan tingkat konsumsi ikan laut yang rendah
berpeluang menderita GAKY 8,0 kali lebih besar (95%
CI:1,53-41,78) dibandingkan dengan responden dengan
tingkat konsumsi ikan laut yang tinggi.
Hasil pemeriksaan median EYU ibu hamil pada
penelitian ini sebesar 129 μg/L. Hasil tersebut kurang
dari batasan median EYU normal yaitu 150 μg/L yang
menunjukkan asupan yodium ibu hamil di Kecamatan
Tabunganen tergolong kurang. Walaupun tinggal di
daerah dekat laut dengan potensi hasil laut kaya sumber
yodium, kecukupan yodium responden ternyata belum
dapat terpenuhi. Hal ini dapat dipengaruhi oleh adanya
faktor-faktor lain seperti: daya beli, penghasilan, aturan
makan dalam keluarga, tabu, dan kepercayaan tertentu
(22).
Hubungan tingkat konsumsi tiosianat dengan status
GAKY
Zat goitrogenik yang terdapat pada kelompok
tiosianat bekerja menghambat mekanisme transport aktif
yodium dalam pembentukan tiroksin sehingga dapat
memperparah kejadian GAKY. Data asupan yodium
dalam penelitian ini diperoleh melalui wawancara food
recall dengan perhitungan kandungan tiosianat (sianida)
berdasarkan kadar sianida hasil analisis dari bahan
makanan dan melalui wawancara FFQ dengan perhitungan
frekuensi konsumsi yodium berdasarkan skor (6,23).
Tabel 2. Hubungan antara tingkat konsumsi yodium, tiosianat, dan Fe dengan status
GAKY
(gondok)
Tingkat konsumsi
Pemeriksaan gondok
OR
p
GAKY Non-GAKY (CI 95%)
n%n%
Food recall yodium
Kurang
Cukup
19
19
50
50
12
28
30
70
2,33 0,071 (0,92-5,90)
FFQ ikan laut
Rendah
Tinggi
19
19
50
50
9
31
22,5
77,5
3,44 0,011*
(1,29-9,15)
Food recalltiosianat
Tinggi
Rendah
18
20
47,4
52,6
16
24
40
60
1,35 0,512
(0,65-0,34)
FFQ tiosianat
Tinggi
Rendah
20
18
52,6
47,4
17
23
42,5
57,5
1,50 0,370
(0,61-3,67)
Food recall Fe
Rendah
Tinggi
16
22
42.1
57,9
16
24
40
60
1,09 0,850
(0,44-2,69)
Keterangan:
FFQ (food frequency questionnaire)
* Bermakna pada p<0,05
Faktor-faktor pada kejadian GAKY ibu hamil di Tabunganen Barito Kuala, Kalimantan Selatan
11
Berdasarkan hasil wawancara food recall, diketahui
rata-rata konsumsi tiosianat sebesar 1,06 μg/hari
(SD±1,05). Jumlah ini jauh di bawah rata-rata asupan
tiosianat di daerah endemik yang berkisar 15-50 mg perhari
(24). Dengan demikian dapat diketahui bahwa 34 (43,60%)
responden mengkonsumsi tiosinat di atas rata-rata dan
44 (56,40%) responden lainnya mengkonsumsi tiosinat
di bawah rata-rata.
Hasil uji statistik Chi Square menunjukkan tidak ada
hubungan antara tingkat asupan tiosianat responden (food
recall) dengan status GAKY, baik berdasarkan gondok
maupun TSH (p>0,05). Demikian juga hubungan antara
tingkat asupan tiosianat melalui FFQ terhadap status
GAKY, baik berdasarkan status gondok maupun TSH tidak
menunjukkan hubungan yang bermakna (p>0,05). Hal
ini dapat disebabkan rata-rata konsumsi tiosianat pada
responden relatif kecil (1,06 μg/hari, SD±1,05) sehingga
tidak banyak berpengaruh terhadap status GAKY baik
pada gondok maupun TSH (Tabel 2 dan Tabel 3).
Hubungan tingkat konsumsi Fe dengan status GAKY
Hasil food recall menunjukkan rata-rata asupan zat
gizi Fe responden 12,63 mg per hari (SD±3,27) dan hasil
uji statistik menunjukkan tidak ada hubungan antara tingkat
konsumsi Fe dengan kejadian GAKY, baik berdasarkan status
gondok maupun TSH (p>0,05) (Tabel 2 dan Tabel 3). Hasil
tersebut memberi gambaran bahwa konsumsi Fe responden
rata-rata di bawah angka kecukupan, yaitu sebesar 35,11%
AKG besi. Hal ini diperkuat dengan rendahnya distribusi tablet
tambah darah (TTD), yaitu hanya 17,9% responden yang
masing-masing telah mendapat TTD sebanyak 90 tablet.
Pada masa kehamilan, kebutuhan Fe ibu hamil
meningkat dari 26 mg/hari menjadi 39 mg/hari pada
trimester ketiga (21). Pada penelitian ini, asupan Fe
rata-rata masih di bawah AKG, sehingga variabel status
konsumsi Fe tidak mampu berperan terhadap terhadap
status GAKY.
Hubungan status anemia dengan status GAKY
Kadar Hb rata-rata responden sebesar 11,41 g/dL
(SD±1,21) atau berkisar antara 8,40-15,80 g/dL, yang masih
tergolong ambang batas anemia bagi ibu hamil (<11,00 g/
dL). Berdasarkan ambang batas tersebut, ibu hamil yang
mengalami anemia sebanyak 21 (26,9%) responden dan
57 (73,1%) responden lainnya nonanemia.
Hasil uji statistik Chi Square menunjukkan bahwa
tidak ada hubungan antara status anemia dengan status
GAKY (gondok) (p>0,05), namun terdapat hubungan
bermakna antara status anemia dengan status GAKY
(TSH) (p<0,05). Adapun peluang responden anemia
berpeluang menderita GAKY (TSH) sebanyak 7,2 kali (95%
CI:1,61-32,25) lebih besar dibanding yang nonanemia.
Penelitian ini memberikan gambaran pada tingkatan
klinis,sehingga status anemia (kadar Hb) diketahui
tidakberpengaruh terhadap status GAKY (gondok), namun
pada level biokimia sudah menunjukkan hubungan yang
bermakna pada responden dengan kadar Hb <11,00 g/dL
berhubungan erat dengan peningkatan kadar TSH>5 mU/L
(p<0,05). Penelitian Sihite et al. (2008) juga melaporkan
tidak ada hubungan antara status anemia dengan status
GAKY (gondok) (25). Perbedaan kemaknaan hubungan
antara status anemia terhadap kejadian GAKY (gondok-
Tabel 3. Hubungan antara tingkat konsumsi yodium, tiosianat dan Fe dengan status
GAKY
(thyroid stimulating hormone/TSH)
Tingkat konsumsi
Pemeriksaan TSH
OR p
GAKY Non-GAKY (CI 95%)
n%n%
Food recall yodium
Kurang
Cukup
6366,7
33,3
25
44
36,2
63,8
3,52 0,144
(0,81-15,31)
FFQ Ikan laut
Rendah
Tinggi
72
77,8
22,2
21
48
22,5
77,5
8,00 0,009*
(1,53-41,78)
Food recall tiosianat
Tinggi
Rendah
45
44,4
55,6
30
39
43,5
56,5
1,04 1,000
(0,26-4,21)
FFQ tiosianat
Tinggi
Rendah
54
55,6
44,4
32
37
46,4
53,6
1,44 0,729
(0,36-5,84)
Food recall Fe
Rendah
Tinggi
63
66,7
33,3
26
43
37,7
62,3
3,31 0,149
(0,76-14,37)
Keterangan:
FFQ (food frequency questionnaire)
* Bermakna pada p<0,05
12 Alfi tri, Untung S. Widodo, Toto Sudargo
TSH) diduga karena perubahan akibat kekurangan suatu
zat gizi terjadi pada level biokimia terlebih dahulu, baru
kemudian diikuti perubahan klinis.
Penelitian Zimmermann et al. (2002) menunjukkan
bahwa anak yang semula menderita kekurangan yodium
atau menderita kekurangan yodium dan Fe, setelah diberi
200 mg kapsul yodium terjadi penurunan volume tiroid ratarata
masing-masing sebesar 45,1% dan 21,8% (9).
Hubungan status Pb dengan status GAKY
Hasil pemeriksaan sampel darah responden
menunjukkan kadar Pb rata-rata responden berkisar antara
0,007-4,18 mg/L. Berdasarkan ambang batas maksimal
kadar Pb dalam darah (0,4 mg/L) (11), sebanyak 28
(38,9%) ibu hamil memiliki kadar Pb tinggi dan sebanyak
44 (61,1%) responden memiliki kadar Pb rendah.
Uji statistik Chi Square menunjukkan tidak ada
hubungan antara status Pb dengan status GAKY (gondok)
(p>0,05). Responden dengan kadar Pb tinggi berpeluang 1,2
kali (95% CI:0,46-3,10) lebih besar untuk menderita GAKY
dibanding responden dengan Pb normal (Tabel 4). Antara
status Pb dengan status GAKY (TSH) terdapat hubungan
bermakna (p<0,05) dan responden yang memiliki kadar Pb
tinggi berpeluang menderita GAKY (TSH) 9,35 kali (95%
CI:1,03-84,86) lebih besar dibanding responden dengan
kadar Pb normal (Tabel 4). Adanya hubungan antara status
Pb dengan status GAKY (TSH) ini menunjukkan pengaruh
Pb sebagai blocking agent yang mengganggu fungsi tiroid
dengan menghambat penyerapan yodium ke dalam kelenjar
gondok, termasuk kelenjar adrenal dan pituitari (26).
Tidak adanya hubungan antara status Pb dengan
status GAKY (gondok) menunjukkan bahwa proses
terjadinya pembesaran gondok tidak hanya dipengaruhi
oleh status Pb yang tinggi. GAKY (gondok) dapat terjadi
karena tubuh kekurangan yodium secara terus-menerus
dalam jangka waktu lama (13). Dengan demikian,
walaupun uji statistik berdasarkan pemeriksaan gondok
tidak menunjukkan adanya hubungan, berdasarkan analisa
biokimia GAKY (TSH) mengindikasikan adanya peran
status Pb terhadap awal kejadian GAKY (TSH). Hal ini
berarti status Pb tinggi dapat mengganggu penyerapan
yodium, namun asupan yodium yang tinggi dapat
mempertahankan kecukupan yodium dalam tubuh. Di sisi
lain, status Pb yang rendah dapat menyebabkan kejadian
GAKY jika asupan yodium seseorang rendah. Kejadian
GAKY juga berhubungan dengan zat gizi lain seperti
selenium (Se), seng (Zn), dan logam berat lain seperti Hg
dan Cd (7,8). Dengan demikian kejadian GAKY pada tiap
individu dapat bervariasi penyebabnya.
Hubungan beberapa variabel dengan status GAKY
Berdasar analisis multivariat berbagai variabel
terhadap status GAKY (gondok), hanya variabel status
konsumsi sumber yodium (FFQ) dari ikan laut yang
bermakna (p<0,05). Responden dengan status konsumsi
ikan laut yang rendah (skor<33,53) berpeluang menderita
GAKY (gondok) 3,69 kali (95% CI:1,239-9,112) lebih besar
dibanding responden yang mengkonsumsi ikan laut lebih
tinggi setelah mengontrol variabel status konsumsi yodium
(food recall) (Tabel 5). Perbedaan tingkat kemaknaan
antara metode pengumpulan status yodium FFQ dan
food recall terhadap status GAKY (gondok) disebabkan
food recall (2x24 jam) cenderung lebih menggambarkan
konsumsi yodium pada saat tersebut, sedangkan metode
FFQ menggambarkan kebiasaan makan individu dalam
rentang waktu lama (6 bulan). GAKY dapat terjadi akibat
kekurangan yodium secara terus-menerus dalam waktu
lama (13).
Model akhir regresi logistik terhadap status GAKY
(TSH) menunjukkan ada dua variabel yang secara
Tabel 4. Hubungan antara status anemia dan status Pb terhadap status GAKY (gondok
dan TSH)
Status GAKY Non-GAKY OR p
n % n % (95% CI)
Pemeriksaan gondok
Status anemia
Anemia
Nonanemia
Status Pb
Tinggi
Normal
Pemeriksaan TSH
Status anemia
Anemia
Nonanemia
14
24
14
20
63
36,8
63,2
41,2
58,8
66,7
33,3
7
33
14
24
15
54
17,5
82,5
36,8
63,2
21,7
88,5
2,75
1,20
7,20
0,054
(0,96-7,85)
0,706
(0,46-3,10)
0,010
(1,61-32,25)
Status Pb
Tinggi
Normal
51
83,3
16,7
23
43
34,8
65,2
9,35 0,030*
(1,03-84,86)
Keterangan:
* Bermakna pada p<0,05
Faktor-faktor pada kejadian GAKY ibu hamil di Tabunganen Barito Kuala, Kalimantan Selatan
13
bersamaan dapat mempengaruhi kejadian GAKY (TSH),
yaitu status konsumsi yodium melalui FFQ pada sumber
yodium ikan laut dan status anemia (p<0,05). Responden
dengan konsumsi ikan laut yang rendah (skor<33,53)
berpeluang menderita GAKY (TSH) sebanyak 12,75 kali
(95% CI:1,055-154,084) lebih besar dibanding responden
yang mengkonsumsi ikan laut lebih tinggi setelah
mengontrol variabel status Pb. Responden anemia (<11,00
g/dL) berpeluang menderita GAKY (TSH) 20,32 kali (95%
CI:1,697-243,288) lebih besar dibandingkan dengan
responden tidak anemia setelah mengontrol variabel status
Pb (Tabel 5).
Di antara kedua variabel yang berhubungan dengan
status GAKY (TSH) tersebut, status anemia (<11,00 g/
dL) merupakan variabel yang paling dominan dengan
OR sebesar 20,32 kali. Hal ini disebabkan variabel status
konsumsi yodium yang diuji hanya berasal dari tingkat
konsumsi ikan laut, sehingga belum menggambarkan
konsumsi yodium sebenarnya. Status anemia berdasarkan
kadar Hb dalam darah (<11,0 g/dL) merupakan level
status gizi pada tingkat biokimia yang sama seperti kadar
TSH dalam serum. Hal ini sesuai dengan penelitian
yang menunjukkan bahwa status kekurangan Fe akan
memperparah keadaan GAKY(9) serta penambahan Fe
dan yodium melalui fortifi kasi pangan dapat meningkatkan
kadar Fe dalam tubuh (10).
Kandungan Pb yang berlebihan dalam tubuh
akan menghambat penyerapan yodium, sehingga
mengganggu fungsi kelenjar adrenal dan pituitari (26).
Selain mengganggu penyerapan yodium, Pb dapat
menyebabkan anemia karena menghambat reaksi sentesis
heme (11). Teori tersebut menggambarkan keterkaitan
antara yodium-Fe-Pb-yodium yang merupakan rangkaian
mineral saling bersinergi yang pada akhirnya bisa
memperparah kejadian penyakit. Berdasar hasil analisis
regresi logistik dalam penelitian ini, status Pb merupakan
faktor pengganggu, baik terhadap status anemia (selisih
OR 63,12%) maupun status konsumsi yodium dari ikan
laut (selisih OR 34,83%).
Faktor penyebab status Pb sebagai faktor
pengganggu dapat dihubungkan dengan sumber cemaran
Pb tersebut dalam bahan makanan. Hal ini sesuai dengan
12. Kekuatan dan Kelemahan Penelitian (Bisa dari jurnal bisa dari Analisis Masing-
masing Individu)
13. Kesimpulan : laut) berdasarkan FFQ terhadap status GAKY
(gondok dan TSH), antara status konsumsi yodium
berdasarkan FFQ ikan laut terhadap status GAKY (gondok)
setelah mengontrol variabel status konsumsi yodium (food
recall), antara status konsumsi yodium (FFQ) pada sumber
yodium ikan laut bersama variabel status anemia terhadap
status GAKY (TSH) setelah mengontrol variabel status Pb,
antara status anemia dengan status GAKY (TSH), dan
antara status Pb dengan status GAKY (TSH)
14. Saran : sebaiknya distribusi kapsul yodium bagi
sasaran beriringan dengan pembagian tablet tambah darah
sesuai dengan status GAKY individu guna menurunkan
prevalensi GAKY dan anemia di Kecamatan Tabunganen
Kabupaten Barito Kuala, penurunan kadar Pb dalam darah
oleh tim medis, dan perlu dilakukan penelitian lebih lanjut
tentang kandungan Pb pada berbagai bahan makanan
laut, serta penanggulangan dan pencegahan pencemaran
Pb oleh Bapedalda Provinsi Kalimantan Selatan.
2. Mengapa komunikasi kesehatan dikatakan penting dalam dunia kesehatan ? Tinjau dari
pencegahan penyakit dan penanganan penyakit? (berikan alasan berdasarkan referensi ilmiah)
Jawab :
Masalah kesehatan dan masalah penyakit, tidak semata-mata bersumber dari kelalaian
masyarakat tetapi karena ketidaktahuan dan kesalahpahaman atas berbagai informasi kesehatan yang
diterima. Maka kita harus ber komunikasi untuk menyampaikan pesan dan mempengaruhi proses
pengambilan keputusan yang berhubungan dengan upaya peningkatan dan pengelolaan kesehatan
oleh masyarakat. Kegiatan menyebarluaskan informasi tentang kesehatan kepada masyarakat agar
tercapai perilaku hidup sehat, menciptakan kesadaran, mengubah sikap dan memberikan motivasi
pada masyarakat untuk perilaku sehat yang direkomendasikan menjadi tujuan utama komunikasi
kesehatan. Contohnya bila dalam sebuah keluarga ada anggota keluarga yang menderita
sakit diabetes (=isu kesehatan dan masalah kesehatan). Sebagai seorang penderita, ia
harus memperhatikan dengan baik asupan makanannya sehari-hari. Pola makan nya harus
dijaga dengan baik. Pengaturan pola makan yang sesuai juga harus dipahami oleh anggota
keluarganya yang lain. Bila, misalnya penyakit diabetes yang diderita anggota keluarga ini
menjadi semakin parah (kronis) dan ia harus menjalani amputasi (=resiko kesehatan), tentu
akan muncul reaksi emosional (seperti denial). Reaksi emosional ini akan diikuti oleh reaksi
yang kurang nyaman secara psikologis (misal mudah marah dan tersinggung).
Ketidaknyamanan ini akan berpengaruh pada bentuk komunikasi yang terjadi ditengah-
tengah keluarga (antar anggota keluarga saling berbicara dalam kemarahan). Oleh karena
itu, seandainya isu kesehatan, masalah kesehatan dan segala resiko kesehatan yang
berkaitan dengan penyakit diabetes ini dikomunikasikan dengan baik, maka
ketidaknyamanan psikologis dan emosional tidak akan terjadi. Antara anggota keluara yang
sakit dengan anggota keluarga lainnya akan menemukan solusi kesehatan yang tepat
sehubungan dengan kasus kesehatan ini ataupun kasus kesehatan lain, seperti kasus
kesehatan penyakit genetik.
3. Audiens terdiri dari beberapa Tipe. Menurut Anda sebagai seorang calon Ahli Gizi ketika
Anda melakukan suatu pendidikan Gizi di masyarakat dan menemukan beberapa tipe
Audiens yang ada, sikap apa yang bisa Anda ambil agar audiens bisa mengikuti kegiatan
pendidikan gizi yang Anda lakukan?
Jawab :
Tipe Audiens Hal yang harus dilakukan
Audiens Bersahabat Persiapkan topik Anda dengan baik. Pahami
kemandirian mereka dalam proses belajar.
Gunakan pertanyaan untuk mengeluarkan ide
dan pendapat mereka serta aktifitas seperti
diskusi didalam grup akan membuat proses
belajar mereka berkembang.

Jika Anda tidak mengetahui jawaban dari


pertanyaan mereka, jangan berpura-pura.
Katakana saja “ini adalah pertanyaan yang
sangat bagus dan hingga saat ini saya belum
memiliki jawaban yang tepat untuk pertanyaan
ini, tapi saya akan mencari jawabannya.”
Anda juga bisa lemparkan pertanyaan ini
kepada para peserta yang lain “apakah Anda
diantara bapak / ibu yang bisa menjawab
pertanyaan ini ?”

Audiens Bermusuhan Menjadi kawan yang baik

Jika Anda mengalami kesulitan dalam


menangani audients Anda, ini dikarenakan
kurangnya tipe Sheep yang hadir. Anda dapat
menjadikan mereka “pembela” Anda, saat
Anda di berikan pertanyaan negative dan sulit.

Bawalah para tipe yang lain menjadi Sheep


dengan memberikan gambaran mengenai siapa
Anda dan apa yang akan mereka peroleh dari
Anda. Pastikan mereka tetap mempercayai
Anda dengan terus menunjukan pemahaman
Anda terhadap topik yang di bahas. The sheep
akan menjauhi Anda saat mereka merasa Anda
tidak kompoten dengan topik Anda.

Audiens Netral 1.Me


Audiens Apatis
Audiens bersikap campuran

The Hotshot

Hotshop adalah audients yang percaya diri dan nyaman dalam mengikuti seminar

·Mereka mendengar dengan saksama apa yang Anda sampaikan diwaktu yang sama juga mereka
tetap fokus kepada apa yang mereka cari dalam seminar Anda

·Mereka suka menghadiri seminar dimana belajar melalui diskusi juga sangat membantu mereka
dan mereka sangat gampang berpartisipasi dalam setiap diskusi

·Mereka mudah bersahabat dengan pembicara dan bertanggung jawab dengan proses belajar
mereka
·Mereka belajar dengan cepat dan akan menanyakan pertanyaan yang menantang untuk menggali
materi bahasan Anda lebih dalam atau untuk memperjelas pengertian mereka

·Jika Anda tidak memenuhi harapan dari para peserta seminar dimana mereka mungkin akan
memberikan masukan atau complaint kepada Anda, maka hotshot terkadang bertindak sebagai
juru bicara para peserta untuk mengutarakan harapan mereka.

Jika ruangan Anda di penuhi dengan Hotshots:

Para peserta seminar akan terlihat sangat berpartisipasi, positif dan menyukai tantangan. Sesi
diskusi akan mengalir dengan mudah dan tanggapan –tanggapan positif serta ide –ide akan
keluar dengan alami. Dan para peserta ini segera akan tahu apakah Anda menguasai topik Anda
atau apakah Anda mempersiapkan seminar dengan baik atau tidak.

Bagaimana menangani Hotshots :

Persiapkan topik Anda dengan baik. Pahami kemandirian mereka dalam proses belajar. Gunakan
pertanyaan untuk mengeluarkan ide dan pendapat mereka serta aktifitas seperti diskusi didalam
grup akan membuat proses belajar mereka berkembang.

Jika Anda tidak mengetahui jawaban dari pertanyaan mereka, jangan berpura-pura. Katakana
saja “ini adalah pertanyaan yang sangat bagus dan hingga saat ini saya belum memiliki jawaban
yang tepat untuk pertanyaan ini, tapi saya akan mencari jawabannya.”

Anda juga bisa lemparkan pertanyaan ini kepada para peserta yang lain “apakah Anda diantara
bapak / ibu yang bisa menjawab pertanyaan ini ?”

(lihat Rahasia X menjawab pertanyaan sulit)

The Clown

·Clowns menyukai untuk berinteraksi secara sosial

·Mereka cerewet dan seringkali mananyakan pertanyaan atau memberikan komentar hanya untuk
menghibur dari pada mendukung si pembicara

·Mereka menyukai diskusi dan tugas-tugas yang butuh interaksi dan sering menjadi pemimpin
didalam kelompok

·Jika ditangai dengan baik, Clowns akan menjadi fokus apalagi jika mereka melihat para peserta
yang lain juga serius.
·Clowns mudah dimotivasi hanya dengan memberikan mereka sedikit perhatian

Jika ruangan Anda di penuhi dengan The Clown:

Rungan Anda akan”hidup” tetapi rasanya akan berbeda dengan jika ruangan dipenuhi oleh
Hotshots, disini Anda akan temui banyak humor, bahasan yang keluar dari topik.

Ini bisa menjadi situasi yang akan membuat para peserta fun atau frustrasi, tergantung bagaimana
Anda menangani The Clown

Bagaimana menangani The Clown:

Gunakan kemampuan bersosialisasi mereka untuk latihan yang butuh diskusi dan interaksi dalam
grup , akan tetapi pastikan bahwa The Clown tetap berada pada “jalur” dengan menanyakan
pertanyaan yang jelas serta tidak menanggapi pernyataan yang tidak ada hubungannya dengan
topik Anda.

Hindari untuk terlalu serius dengan mereka atau menjadi arogan. Tertawalah jika mereka
mengutarakan sebuah guyon, bawa para peserta lain untuk menikmati hal itu dan segera bawa
fokus mereka kembali kepada topik Anda.

Salah satu cara untuk membawa fokus mereka kembali ke topik Anda atau meminta mereka
untuk serius adalah dengan mengutarakan tujuan dari seminar tersebut.

Hindari untuk membuat permusuhan dengan mereka atau terlalu membatasi partisipasi mereka
karena ini akan membuat mereka frustrasi. Dan jika mereka frustrasi, mereka akan berubah
menjadi Sniper yang menakutkan.

Juga pastikan bahwa para peserta yang lain tidak merasa terganggu karena umumnya The
Clowns sangat ribut.

4. Carilah referensi , bagaimana cara menjadi Komunikator yang efektif dalam melakukan
komunikasi kesehatan. Agar pesan yang disampaikan dapat merubah perilaku masyrakat
tersebut!

Jawab :
1. Mengetahui latar belakang komunikan
Penting bagi sang komunikator untuk mengetahui latar belakang komunikan agar komunikasi
yang dilakukan dapat berjalan dengan baik. Latar belakang yang perlu diketahui oleh
komunikator antara lain pendidikan dan pengalaman. Seseorang tidak akan mungkin berhasil
menyampaikan sesuatu bila berbeda tingkat pendidikan dan pengalamannya. Oleh karena itu,
komunikator harus dapat menyesuaikan topik atau materi sesuai dengan latar belakang
pendidikan dan pengalaman komunikannya agar mudah dimengerti dan dipahami.

2. Kuasailah topik pembicaraan.


Sebagai seorang komunikator harus selalu mempersiapkan materi atau topik yang akan
disampaikan sebaik-baiknya. Persiapan dan pemahaman yang lebih dapat sangat membantu
ketika ada pertanyaan dari komunikan, sehingga pesan yang diinginkan tercapai dan
komunikan merasa puas atas keingintahuan mereka.

3. Gunakan kalimat yang singkat dan mudah dipahami.


Dalam menyampaikan suatu materi, komunikator harus menyampaikan materi tersebut
dengan kalimat yang singkat, tidak berbelit-belit dan mudah dipahami. Hal ini agar
komunikan tidak menjadi bingung dan tidak mengerti dengan materi yang disampaikan.
Bahasa yang digunakan sebaiknya menggunakan kata-kata yang dapat dipahami oleh
komunikan.

4. Berbicaralah dengan jelas dan sistematis.


Salah satu faktor agar komunikasi yang dilakukan berhasil dengan baik adalah kejelasan saat
berbicara, hal ini penting agar setiap kalimat yang disampaikan dapat terdengar oleh
komunikan dengan baik. Komunikator juga dituntut berbicara secara sistematis mengenai
topik yang dibahas agar tidak terjadi overlap pembahasan yang dibawakan. Sistematis
penyampaian materi juga membantu komunikan memahami materi yang dibawakan dengan
mudah.

5. Perhatikan bahasa tubuh.


Memperhatikan bahasa tubuh komunikan juga penting, hal ini bertujuan agar kita dapat
mengetahui kondisi komunikan itu sendiri. Ketika komunikator menyadari bahwa bahasa
tubuh dari komunikan sudah terlihat bosan dengan topik yang komunikator sampaikan,
komunikator dapat menghidupkan suasana dengan mencoba memberikan lelucon agar
komunikan dapat kembali fokus kepada topik yang disampaikan.

6. Be confident.
Bagian yang tidak kalah pentingnya adalah be confident. Percaya diri sangat membantu
dalam menyampaikan pesan. Hal ini dapat mempengaruhi secara psikologis pada diri
komunikan. Komunikan akan memberikan perhatian lebih bila melihat komunikator yang
percaya diri, sehingga komunikan lebih dapat memahami topik yang disampaikan.

1. Memberikan perhatian penuh kepada lawan bicara.

Jika pendengar kita merupakan salah satu skala prioritas, maka ada baiknya kita berusaha untuk
meluangkan waktu untuk berbicara. Kita beri perhatian penuh terhadap lawan bicara. Sedapat mungkin
kita menghindari perhatian kita terpecah karena kita memikirkan hal yang lain.

2. Mengakui pikiran, gagasan, atau perasaan orang lain terlebih dahulu.


Maksudnya adalah perlihatkan kesiapan kita untuk mendengarkan dengan menyadari dan mendengar
pikiran, gagasan, dan perasaan orang lain. Pemberian komentar mengindikasikan bahwa kita menyadari
validitas perasaan orang lain.

3. Berbicaralah dengan cara yang dapat diterima oleh orang lain.

Ketika kita berhadapan dengan orang yang baru kita kenal, maka kita harus bisa berbicara dengan
menggunakan kata-kata, nada suara, dan infleksi yang tepat. Meskipun begitu, potensi tidak diterimanya
pesan dengan baik oleh orang yang kita tuju juga sangat besar. Jika kita melihat reaksi yang tidak sesuai,
maka kita bisa dengan segera mengidentifikasi sumber kesalahpahaman dan menyatakan kembali pesan
yang ingin kita sampaikan dengan cara yang dapat diterima oleh orang yang bersangkutan.

4. Berbicara dengan pelan.

Ketika kita berinteraksi dengan orang lain maka kita harus berbicara dengan pelan, tidak perlu keras-
keras, dan tidak terburu-buru. Hal ini agar orang lain mengerti dan memahami apa yang menjadi maksud
dan tujuan kita berkomunikasi.

5. Mengutarakan apa yang kita maksudkan dalam kata-kata yang berbeda.

Sebuah komponen terpenting dan terkuat dari mendengarkan secara aktif adalah refleksi atau dikenal
sebagai parafrase. Parafrase membiarkan orang lain mengetahui bahwa kita berusaha untuk mengerti
atau memahami. Parafrase juga mengklarifikasi komunikasi dan memperlambat proses percakapan. Cara
melakukan parafrase adalah dengan mengulangi apa yang dikatakan oleh orang lain dengan
menggunakan kata-kata sendiri tanpa memberikan penambahan apapun.

6. Memberikan pertanyaan terbuka.

Pertanyaan dapat diberikan ketika kita memerlukan pertolongan saat merasa tidak mengerti dengan apa
yang dibicarakan. Kita dapat melakukannya melalui uji penafsiran tentang apa yang dikatakan oleh orang
lain. Caranya adalah dengan memberikan pertanyaan terbuka yang relevan dan biasanya dimulai dengan
“apa”, “bagaimana”, “tolong jelaskan”, atau “gambarkan”.

7. Menyusun intisari dan melakukan klarifikasi.

Kita mengumpulkan semua hal yang telah kita dengar dan memastikan bahwa kita memahami apa yang
dimaksud oleh orang lain. Hal ini menghindari kita dari persepsi selektif. Ketika kita melakukan persepsi
secara selektif, maka kita telah mengharapkan orang lain untuk bereaksi dalam cara tertentu seperti
berdasarkan pengalaman masa lalu, atau berdasarkan cara kita bereaksi. Kemudian kita memberikan
respon terhadap reaksi yang sebelumnya telah ditentukan bukan yang sebenarnya. Hal ini tidak
membantu dan komunikasi yang terjadi adalah komunikasi yang tidak jelas. Menjadi jelas dapat
membantu orang lain mengklarifikasi berbagai pilihan yang mungkin.

8. Memberikan pendapat.

Hal ini dilakukan dengan memberikan pertanyaan apakah orang yang bersangkutan memiliki keinginan
untuk mendengar pendapat kita atau tidak. Jika orang yang bersangkutan tidak menginginkannya, maka
kita jangan memberikan pendapat.
9. Memberikan perhatian kepada berbagai petunjuk yang dibutuhkan untuk menjelaskan apa yang
menjadi maksud kita.

Ketika berinteraksi dengan orang lain, maka kita akan menerima berbagai pertanyaan yang kerapkali
menstimulasi pemikiran hingga kita melihat perbedaan apa yang menjadi tujuan kita dengan persepsi
orang lain. Untuk itu, kita harus fokus dengan berbagai petunjuk yang dibutuhkan guna mendukung
penjelasan yang kita sampaikan.

10. Melakukan koreksi dengan segera ketika melakukan kesalahan dalam berbicara.

Terkadang, kita membuat pernyataan yang membuat kita menyadari dengan segera bahwa terdapat
kesalahan dalam pemikiran kita. Yang harus kita lakukan adalah jangan mengingkari kesalahan yang
telah kita buat namun segera mengakui dan memperbaiki kesalahan sesegera mungkin.

11. Berhenti sejenak dan mendengarkan orang lain.

Ketika kita berada dalam diskusi atau bertukar pendapat dengan orang lain, seringkali kita mengalami
kesulitan untuk hanya mendengarkan pendapat orang lain. Seringkali kita merasa takut pendapat
kita tidak akan didengar dan untuk menutupinya kita akan terus tetap berbicara dan memaksa orang lain
untuk mendengarkan. Perilaku seperti ini bukanlah perilaku yang baik jika merujuk pada etika
komunikasi secara umum. Begitu pula dalam etika komunikasi organisasi, etika komunikasi bisnis, etika
komunikasi antar pribadi, dan etika public relations, perilaku seperti ini harus dihindari karena membuat
orang lain tidak mau mendengarkan apa yang menjadi pemikiran kita.

12. Paksakan diri kita sendiri untuk mau mendengar apa yang dikatakan orang lain.

Ketika kita dapat berhenti sejenak namun pemikiran kita masih terus berjalan, maka hal tersebut dapat
membuat kita tidak mampu mendengar apa yang dikatakan oleh orang lain. Untuk itu, hal yang dapat kita
lakukan adalah memaksakan diri kita sendiri untuk benar-benar mendengar apa yang dikatakan oleh
orang lain. Teknik yang biasa digunakan dalam komunikasi terapeutik dalam keperawatan ini hendaknya
tidak dilakukan dalam setiap saat karena hal itu dapat membuat orang lain merasa tidak nyaman.

13. Bersikap sabar ketika mendengarkan orang lain.

Kita harus sabar mendengarkan apa yang dikatakan oleh orang lain. Caranya adalah dengan
menghindari melakukan prediksi terhadap apa yang akan dikatakan oleh orang lain dan tetap fokus pada
apa yang sedang dikatakan oleh orang lain. Melakukan prediksi dapat mengarahkan kita pada kesalahan
dalam memberikan respon. Hal ini dapat menimbulkan keslahapahaman yang tidak perlu.

14. Melakukan konfirmasi atas apa yang kita pahami.

Ketika kita berinteraksi dengan orang lain untuk pertama kalinya, kemungkinan untuk terjadinya
kegagalan komunikasi sangat besar. Jika kita tidak yakin tentang apa yang akan terjadi selanjutnya,
memberikan pertanyaan adalah jalan terbaik. Jika kita merasa yakin dengan apa yang kita pikirkan, maka
tidak ada salahnya kita menyatakan kembali apa yang kita pikirkan untuk mengkonfirmasi pemahaman
bersama. Terkait dengan hal ini, dalam teori pengurangan ketidakpastian telah dijelaskan bahwa kita
cenderung menggunakan komunikasi untuk meminimalisir perasaan ragu-ragu ketika berinteraksi dengan
orang lain. Pun dalam teori disonansi kognitif yang menjelaskan kecenderungan kita untuk mengurangi
disonansi atau ketidaknyaman dalam situasi tertentu.

15. Mengingat percakapan sebelumnya.


Mengingat dan memanggil kembali berbagai informasi yang kita simpan sebelumnya adalah salah satu
elemen penting dalam komunikasi intrapersonal. Ketika berkomunikasi, ada baiknya kita tetap mengingat
apa yang telah kita komunikasikan sebelumnya. Agar komunikasi yang terjalin dapat berjalan
berkesinambungan. Semakin banyak yang dapat kita ingat tentang isi percakapan sebelumnya, maka kita
akan dapat berkomunikasi secara lebih baik dan percakapan selanjutnya.

16. Bersikap terbuka dan jujur dengan orang lain.

Tidak semua orang bisa bersikap terbuka kepada orang lain. Beberapa orang bahkan tidak dapat
mengenali diri mereka sendiri, tidak mengerti apa yang ia butuhkan dan inginkan. Namun, ketika kita
berada dalam suatu hubungan, maka bersikap terbuka adalah hal yang sangat penting. Bersikap terbuka
artinya adalah kita dapat membicarakan banyak hal yang tidak dapat kita bicarakan sebelumnya dengan
orang lain dalam hidup kita. Bersikap terbuka juga berarti kita bersikap jujur kepada orang lain. Bersikap
terbuka juga memiliki arti adanya kesempatan untuk kita mengalami rasa sakit hati atau kekecewaan. Hal
ini dikupas lebih mendalam dalam teori komunikasi kelompok, teori-teori komunikasi antar
pribadi atau teori komunikasi interpersonal seperti teori penetrasi sosial.

17. Mengekspresikan diri sendiri ketika bersikap terbuka dengan orang lain.

Ketika kita bersikap terbuka dan jujur dengan orang lain maka kita juga terbuka pada berbagai cara
berkomunikasi yang berbeda dan mengetahui bahwa orang lain juga membutuhkan keterbukaan yang
sama. Bersikap terbuka dengan orang lain dapat memudahkan kita dalam mengekspresikan apa yang
kita pikirkan dan apa yang kita rasakan kepada orang lain.

18. Menaruh perhatian kepada berbagai petunjuk nonverbal.

Sebagian besar komunikasi yang kita lakukan dengan orang lain bukanlah apa yang kita katakan namun
bagaimana kita mengatakannya. Komunikasi nonverbal meliputi bahasa tubuh, nada suara, kontak mata,
dan seberapa jauh jarak ketika kita berkomunikasi dengan orang lain. Belajar cara berkomunikasi dengan
baik berarti kita belajar bagaimana membaca berbagai petunjuk seperti kita mendengar apa yang
dikatakan oleh orang lain.

Perlu diperhatikan juga bahwa ketika kita memperhatikan berbagai petunjuk nonverbal yang disampaikan
oleh orang lain, kita juga jangan melupakan berbagai petunjuk nonverbal yang kita berikan untuk orang
lain. Ketika berkomunikasi dengan orang lain, kita juga harus membuat dan mengelola kontak mata,
menjaga posisi tubuh tetap netral, menjaga nada suara, dan duduk di depan atau di hadapan orang
tersebut ketika berbicara dengan mereka.

19. Menilai pengetahuan lawan bicara.

Daripada kita bersikap merendahkan atau mengagungkan latar belakang seseorang dalam topic tertentu,
ada baiknya kita menanyakan apa yang ia ketahui tentang topik yang sedang dibicarakan. Namun perlu
diingat bahwa kurangnya pengetahuan seseorang di bidang yang benar-benar kita kuasai tidak berarti
bahwa mereka kurang informasi atau berpendidikan rendah. Lebih baik dilakukan pengecekan untuk
memahaminya selama percapakapan dan membuat penyesuaian yang diperlukan.

20. Tetap fokus pada pokok permasalahan.

Terkadang, suatu diskusi berkembang menjadi debat atau perang opini. Untuk menghadapi situasi
seperti ini, maka ada baiknya masing-masing orang yang terlibat dalam diskusi atau debat tetap
memberikan rasa hormat satu sama lain dan tetap fokus pada pokok permasalahan. Jika salah satu
pihak tidak berusaha untuk mencoba mengendalikan eskalasi debat, maka debat akan menjadi semakin
besar. Untuk itu, masing-masing pihak perlu mengendalikannya salah satunya dengan keluar dari situasi
debat.

Namun, ketika meninggalkan situasi debat, kita harus melakukannya dengan cara-cara yang terhormat.
Misalnya dengan berkata, “Kita telah menjalani hari yang sangat melelahkan dan apa yang kita
diskusikan saat ini tidak menemukan hasil yang positif. Ada baiknya kita pulang ke rumah masing-masing
untuk istirahat dan membicarakannya kembali besok pagi.”

21. Menunjukkan rasa hormat terhadap nilai-nilai yang dimiliki lawan bicara.

Melakukan beberapa penelitian dasar dengan cara melihat kembali pernyataan atau tujuan individu atau
organisasi dan lain-lain untuk memperoleh perspektif orang yang bersangkutan tentang dunia. Kita harus
bisa memastikan bahwa berbagai gagasan yang kita miliki sesuai dengan nilai-nilai yang dimiliki oleh
orang lain.

22. Menggunakan referensi yang dikenal.

Maksudnya adalah mempelajari tentang latar belakang professional, hobi, gaya hidup, keluarga, dan lain-
lain dari lawan bicara. Caranya adalah dengan menggunakan metafora dan bercerita yang
menghubungkan berbagai konsep dengan pengalaman hidup mereka.

23. Berusaha untuk mengendalikan emosi ketika membicarakan sesuatu hal yang sangat penting.

Tidak seorangpun dapat berbicara tentang hal-hal yang penting atau hal-hal besar jika mereka merasa
rentan secara emosi dan marah. Rasa marah dapat menyuguhkan informasi dan merangsang energi
yang dapat digunakan secara positif. Adalah penting untuk memahami emosi orang lain seperti rasa
sakit, frustrasi, kehilangan, dan lain-lain. Ketika membicarakan topik tertentu yang mungkin dapat
memancing emosi, maka kita harus berhati-hati dangan penggunaan bahasa, kalimat, serta kata-kata
yang kita gunakan.

24. Memahami kemarahan atau emosi sendiri dan bagaimana mereka berdampak pada respon yang
kita berikan.

Ketika kita dikuasasi oleh emosi, maka pola pikir kita pun agak terganggu. Kita menjadi tidak terkontrol
dalam mengeluarkan kata-kata dan pendapat kita. Bahkan berdampak pula terhadap perilaku kita.
Sebaiknya kita dapat menghidari hal-hal yang tidak kita inginkan sehingga kita dapat berpikir tenang dan
memberikan respon yang baik dan dapat diterima oleh orang lain tanpa menimbulkan hal-hal yang dapat
merusak hubungan antar manusia atau bahkan hubungan sosial.

25. Mengakui pemikiran, gagasan, atau perasaan orang lain.

Ketika kita menunjukkan minat kita, orang yang sedang marah cenderung untuk mulai tenang. Ketika
situasi mulai kondusif, maka komunikasi dapat kita lanjutkan. Kita bisa mulai dengan mengakui dan
menghormati pemikiran, gagasan, atau perasaan orang lain. Kemudian kita sampaikan maksud kita
tanpa menyinggung perasaan orang lain.

26. Mengungkapkan kembali apa yang kita dengar dari apa yang dikatakan oleh orang lain.
Orang yang sedang marah tidak akan mudah menerima respon yang kita berikan hingga pemikiran,
gagasan atau perasaannya tidak dapat dikomunikasikan dan dipahami dengan baik. Ada baiknya kita
mencoba untuk membuatnya tenang, menarik nafas, agar ia dapat mengkomunikasikan kembali
pemikiran, gagasan atau perasaannya dengan baik. Setelah semua terkendali, kemudian kita coba untuk
mengungkapkan kembali apa yang telah kita dengar dari orang lain dan sekaligus bisa memberikan
respon secara elegan. Dengan demikian, apa yang menjadi maksud kita dapat tersampaikan dengan
baik.

27. Bersiap untuk mengalah.

Dalam hubungan dengan kedekatan yang erat seperti pasangan hidup, tentunya kita sering terus
berdebat dalam suatu diskusi karena kita ingin menjadi yang paling benar. Sejatinya kita memang sering
dihadapkan pada situasi seperti ini dimana salah satu pihak berupaya untuk mempengaruhi pemikiran
pihak lain bahwa pihaknyalah yang benar namun pihak lain tidak ingin mundur alias sama-sama keras
kepala. Ketika dihadapkan pada situasi seperti ini, jalan terbaik adalah kedua belah pihak harus sama-
sama mengalah.

Dengan melakukan hal ini bukan berarti kita menyerah kalah dengan berkompromi dan tidak bersikeras
dengan apa yang dianggap benar. Hal ini adalah sesuatu yang hanya dapat kita putuskan sendiri,
apakah ingin berada dalam hubungan yang sehat dan saling menghormati satu sama lain atau
sebaliknya. Jika kita hanya mementingkan apa yang kita anggap benar dan mengesampingkan
kebahagiaan orang lain maka kita bukanlah mitra yang baik.

28. Mengembangkan selera humor dan bermain.

Kita tidak perlu menjadi lucu sekedar untuk menggunakan humor dalam sebuah percakapan. Yang perlu
kita lakukan hanya menggunakan selera humor yang kita miliki dan mencoba untuk memasukkannya
lebih banyak ke dalam percakapan atau komunikasi dengan orang lain. Humor membantu mencerahkan
hati dan pikiran. Humor juga dapat membantu menempatkan hal-hal kedalam sebuah perspektif atau
sudut pandang yang lebih baik dibandingkan metode lain. Bermain tidak hanya monopoli anak-anak.
Orang dewasa juga butuh bermain sekedar untuk melepaskan diri dari penatnya kehidupan dan lain-lain.

29. Menanyakan umpan balik.

Komunikasi adalah tentang keterhubungan dengan orang lain hingga sangat dimungkinkan kita dapat
melakukan kesalahan. Memikirkan tentang berapa banyak orang berbicara tentang diri mereka sendiri
dan bukan tentang orang yang mereka ajak bicara.

30. Komunikasi itu lebih dari sekedar berbicara.

Dalam konteks komunikasi interpersonal atau komunikasi antar pribadi, untuk dapat berkomunikasi
dengan baik dan lebih efektif dalam hubungan yang kita jalani, kita tidak perlu harus selalu berbicara. Kita
juga dapat berkomunikasi melalui berbagai macam cara seperti melalui tindakan dan secara elektronik
seperti melalui media sosial. Hal ini juga berlaku dalam konteks komunikasi dan bidang komunikasi
lainnya misalnya komunikasi organisasi, komunikasi bisnis, dan komunikasi antar budaya. Hendaknya
kita tetap berhubungan sepanjang hari melalui surat elektronik atau media lainnya karena hal ini
mengingatkan kita akan pentingnya orang tersebut dan bagaimana pentingnya mereka bagi kehidupan
kita.

1. Berbicara efektif
Berbicara efektif artinya tidak bertele-tele, tidak berputar-putar untuk menyampaikan suatu poin
pembicaraan. Cepat, tepat, lugas dan dapat dimengerti oleh lawan bicara kita. Berbicara efektif membuat
lawan bicara kita akan fokus pada setiap hal yang kita sampaikan dan dapat mempengaruhi langsung ke
dalam pikirannya.

2. Berbicara penuh motivasi


Komunikasi yang terjalin dan sampai kepada lawan bicara haruslah yang bersifat mendorong. Hal ini
terlebih ketika yang berbicara adalah orang yang memiliki jabatan lebih tinggi daripada lawan bicaranya,
seperti bos kepada anak buahnya. Motivasi yang dimaksud adalah adanya dorongan/penyemangat
dalam kata-kata yang diucapkan agar lawan bicara tergerak untuk melakukan sesuatu dengan baik dan
sungguh-sungguh berdasarkan pengarahan yang sudah diberikan.

3. Berbicara untuk mendapat perhatian


Pembicaraan yang membosankan dan bertele-tele tentu akan membuat lawan bicara atau pendengar
mengabaikan kata-kata kita. Dalam teknik berkomunikasi/bicara perlu diperhatikan tema/materi yang
akan kita sampaikan pada lawan bicara agar membuat mereka tetap focus dengan kita. Ada baiknya
untuk memperhatikan siapa lawan bicara kita agar materi yang kita sampaikan tepat sasaran, selain itu
usahakan penyampaiannya dilakukan dengan gaya yang menarik. Temukan materi yang belum pernah
pendengar tahu dan selipkan hal-hal unik untuk menarik perhatian lawan bicara.

4. Berbicara melalu keinderaan


Agar tema/materi yang kita sampaikan meninggalkan bekas dalam pikiran lawan bicara maka kita bisa
menguatkan komunikasi kita dengan ekspresi indera yang meyakinkan. Gerak tangan, tatapan mata,
senyuman, atau kernyitan dahi akan menambah kesan tentang tema yang kita sampaikan. Hal ini juga
agar lawan bicara mengerti bahwa tema yang kita bicarakan adalah hal yang penting dan patut untuk
didengar.

https://jurnal.ugm.ac.id/jgki/article/view/18882
https://jurnal.ugm.ac.id/jgki/article/view/22900
http://ejournal.almaata.ac.id/index.php/IJND/article/view/34/33
https://www.kompasiana.com/ongky/55299690f17e61800ad623ac/mengetahui-tipetipe-audiens-l

https://mandiriart.com/artikel/68/tips-agar-komunikasi-dapat-diterima/

https://pakarkomunikasi.com/cara-berkomunikasi-dengan-baik

http://direktoritraining.com/teknik-berkomunikasi-yang-baik/

You might also like