You are on page 1of 16

ASET/HARTA, UTANG, DAN MODAL DALAM

PANDANGAN SYARIAH

Dosen pembimbing:

Ahmad Subeki, SE, MM, AK

Disusun oleh:
Jihan Namira 01031381722137

Fakultas Ekonomi Jurusan Akuntansi


Universitas Sriwijaya
ASET/HARTA DALAM PANDANGAN ISLAM

A. Harta Dalam Sudut Pandang Islam


Harta dalam literatur Islam (Al-Qur’an dan al-Hadits) dikenal dengan sebutan al-mal,
kata jamaknya al-amwal. Dalam al-Qur’an tersebut 24 kali kata mal atau al-mal, satu kali kata
maliyah dan 61 kata amwal dalam puluhan surat dan puluhan ayat.
Secara harfiah, kata al-mal berasal dari kata mala-yamilu-maylan-wa-mayalanan-wa-
maylulatan-wa-mamilan, artinya miring, condong, cenderung, suka, senang dan simpati. Harta
dinamakan al-mal mengingat semua orang, siapa, kapan dan dimanapun pada dasarnya adalah
condong, senang, mau dan cinta pada harta khususnya uang. Al-Qur’an surah Al-Fajr ayat 20
melukiskan kegemaran manusia terhadap harta di antaranya :
“Dan kamu mencintai harta benda dengan kecintaan yang berlebihan”
Oleh karena itu kecintaan manusia terhadap harta ini harus mendapatkan bimbingan
wahyu yang mengarahkannya bahwa harta bukanlah tujuan hidup ini akan tetapi hanya sebagai
wasilah belaka yang nanti di hari kiamat harus dipertanggung jawabkan.
Harta dalam Islam dianggap sebagai bagian dari aktivitas dan tiang kehidupan yang dijadikan
Allah sebagai sarana untuk membantu proses tukar-menukar (jual beli), dan juga digunakan
sebagai ukuran terhadap nilai. Allah memerintahkan untuk saling menukarkannya dan melarang
menimbunnya. Oleh karena itu syariat Islam dengan kaidah dan konsepnya akan mengontrol cara
untuk mendapatkan harta, menyalurkannya, proses pertukaran dengan barang lain serta
pengaturan hak-hak orang lain dalam harta itu.
Menurut istilah syar’i harta diartikan sebagai segala sesuatu yang dimanfaatkan pada
sesuatu yang legal menurut hukum syara’ (hukum Islam) seperti jual-beli, pinjaman, konsumsi
dan hibah atau pemberian. Maka seluruh apapun yang digunakan oleh manusia dalam kehidupan
dunia merupakan harta. Uang, tanah, kendaraan, rumah, perhiasan, perabotan rumah tangga,
hasil perkebunan, hasil perikanan-kelautan dan pakaian termasuk dalam kategori al-amwal atau
harta kekayaan.
Hukum Islam memandang harta mempunyai nilai yang sangat strategis, karena harta
merupakan alat dan sarana untuk memperoleh berbagai manfaat dan mencapai kesejahteraan
hidup manusia sepanjang waktu.
Hubungan manusia dengan harta sangatlah erat. Demikian eratnya hubungan tersebut
sehingga naluri manusia untuk memilikinya menjadi satu dengan naluri mempertahankan hidup
manusia itu sendiri. Justru harta termasuk salah satu hal penting dalam kehidupan manusia,
karena harta termasuk unsur lima asas yang wajib dilindungi bagi setiap manusia (al-dharuriyyat
al-khomsah) yaitu jiwa, akal, agama, harta dan keturunan.

Pengertian Harta dalam al-Qur’an:


“Dijadikan indah dalam (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu:
wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-
binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah lah
tempat kembali yang baik (surga)”. (QS. Ali Imron 3:14).
Jadi, secara umum dapat dikatakan bahwa harta dalam pandangan al-Qur’an adalah segala
sesuatu yang disenangi manusia seperti emas, perak, kuda pilihan, hewan ternak, sawah ladang
dan lain sebagainya yang kesemuanya itu diperlukan untuk memenuhi hajat hidup. Menurut al-
Qur’an, harta menjadi baik bila digunakan sesuai petunjuk Ilahi, dan sebaliknya akan menjadi
buruk bila penggunaannya tidak sesuai dengan petunjuk-Nya.

B. Kedudukan Harta Dalam Syariat Islam


Harta merupakan nikmat Allah yang diberikan untuk hamba-hambanya sebagai penyangga
khidupan manusia sebagaimana dijadikannya harta sebagai penyangga bagi komoditas barang-
barang sehingga berjalanlah roda kehidupan manusia dengan mudah. Oleh karena itu Islam
memandang harta dengan pandangan memulyakan, karena Allah SWT menjadikan harta
sebagai hartanya dan Ia menghendaki bagi siapa saja yang di limpahi harta agar
membelanjakannya di jalan Allah karena ia merupakan orang yang dikusakan kepadanya harta
namun bukan pemiliknya. Allah SWT berfirman: “ dan nafkahkanlah sebagian harta yang mana
Allah telah menjadikan kamu menguasainya” (QS. al-Hadid: 7) dalam ayat lain Allah
berfirman: “dan berikanlah mereka dari harta Allah yang telah diberikan kepadamu” (QS. al-
Nur: 33).
Dua ayat ini menguatkan bahwa sesungguhnya harta hanyalah milik Allah, dan Dia
mengkuasakan harta kepada hambanya, manusia hanyalah wakil-wakil dari pemilik harta oleh
karenanya manusia harus menjalankan akad wakalah ini sesuai dengan ketentuan-ketemtuan
Nya, maka bagi manusia yang diberi harta tetapi tidak melaksanakan sesuai dengan perintahnya
Oleh karena pemilik harta yang hakiki adalah Allah, maka manusia sebagai orang yang diberi
amanat harta dalam mengelolanya ada aturan mempergunakannya adapun aturan-aturan tersebut
antaralain:
1. dalam mempergunakan harta tidak boleh israf (boros) dan tabdzir (menyia-nyiakan harta)
2. diwajibkan menginfaqkan harta baik orang yang kaya maupun miskin sesuai dengan
kemampuannya
3. keharusan untuk memutarkan kekayaan, agar kekayaan dan harta ini tidak beredar hanya
ditangan segelintir orang saja.

C. Fungsi Harta
Fungsi harta bagi manusia sangat banyak. Harta dapat menunjang kegiatan manusia, baik
dalam kegiatan yang baik maupun yang buruk. Oleh karena itu, manusia selalu berusaha untuk
memiliki dan menguasainya. Tidak jarang dengan memakai beragam cara yang dilarang syara’
dan urge urge, atau ketetapan yang disepakati oleh manusia.
Biasanya cara memperoleh harta, akan berpengaruh terhadap fungsi harta. Seperti orang
yang memperoleh harta dengan mencuri, ia memfungsikan harta tersebut untuk kesenangna
semata, seperti mabuk, bermain wanita, judi, dan lain-lain. Sebaliknya, orang yang mencari harta
dengan cara yang halal, biasanya memfungsikan hartanya untuk hal-hal yang bermanfaat.
Dalam pembahasan ini, akan dikemukakan fungsi harta yang sesuai dengan syara’, antara
lain untuk:
1. Kesempurnaan ibadah mahdhah, seperti shalat memerlukan kain untuk menutup aurat.
2. Memelihara dan meningkatkan keimanan dan ketaqwaan kepada Allah SWT, sebagai
kefakiran mendekatkan kepada kekufuran.
3. Meneruskan estafeta kehidupan, agar tidak meninggalkan generasi lemah (QS. An-
Nisaa’:9).
4. Menyelaraskan antara kehidupan dunia dan akhirat, Rasulullah SAW. Bersabda:
5.
Artinya:
“tidaklah seseorang itu makan walaupun sedikit yang lebih baik daripada makanan yang ia
hasilkan dari keringatnya sendiri. Sesungguhnya Nabi Allah, Daud, telah makan dari hasil
keringatnya sendiri” (HR. Bukhari dari Miqdam bin Madi Kariba)
Dalam hadist lain dinyatakan:

َْ ‫خ ْي ِر ُك‬
ََ‫م لَ ْيس‬ َْ ‫ك م‬
َ ِ‫َن ب‬ ََ ‫ه تَ َر‬
َِ ِ‫خ َرت‬ ِ ِٰ ‫الد ْنيَا‬
ِ ‫ل‬ ُ ‫ه‬ ِ ‫لِ ُد ْنيَا َُه َول َ ِٰا‬
َُ َ‫خ َرت‬

( ‫ح َّتى‬ ََّ ‫اف ِا‬


ِ ‫ن ُي‬
َ ََ‫ص ْيب‬ َ ‫م ْي ًع‬ ُّ ‫خ َر َِة إلَى‬
َ ‫الد ْنيَابَالَغَ ِم ْن ُهمَا‬
ِ ‫ج‬ ِٰ ‫البخارى رواه ( ْا‬
ِ ِ ‫ل‬

Artinya:
“bukanlah orang yang baik bagi mereka, yang meninggalkan masalah dunia untuk masalah
akhirat, dan meninggalkan masalah akhirat untuk urusan dunia, melainkan seimbang di antara
keduanya, karena masalah dunia dapat menyampaikan manusia kepada masalah akhirat” (HR.
Bukhari)
6. Bekal mencari dan mengembangkan ilmu.
7. Keharmonisan hidup bernegara dan bermasyarakat, seperti orang kaya yang memberikan
pekerjaan kepada orang miskin.
8. Untuk memutarkan peranan-peranan kehidupan yakni adanya pembantu dan tuan.
9. Untuk menumbuhkan silaturrahim.

HUTANG DALAM PANDANGAN ISLAM

A. Pengertian Hutang Dalam Pandangan Islam

Di dalam fiqih Islam, hutang piutang atau pinjam meminjam telah dikenal dengan istilah
Al-Qardh. Makna Al-Qardh secara etimologi (bahasa) ialah Al-Qath’u yang berarti memotong.
Harta yang diserahkan kepada orang yang berhutang disebut Al-Qardh, karena merupakan
potongan dari harta orang yang memberikan hutang

Adapun qardh secara terminologis adalah memberikan harta kepada orang yang akan
memanfaatkannya dan mengembalikan gantinya dikemudian hari. Menurut Firdaus at al., qardh
adalah pemberian harta kepada orang lain yang dapat ditagih atau diminta kembali. Dalam
literature fikih, qardh dikategorikan dalam aqad tathawwu’i atau akad saling membantu dan
bukan transaksi komersil.
Menurut ulama Hanafiyah:
ُ ‫ه ََو ال َقر‬
َ‫ْض‬ ُ ‫ه مَا‬ َِ ‫ط ْي‬ِ ‫ن تُ ْع‬
َْ ‫ضا َُه ِمثِليَ مَالَ ِم‬ ْ ‫ه ََو ُأ‬
َ ‫ لِ َت َت َقا‬،َ‫خرَى بِ ِعبَارَةَ أَ ْو‬ َ ‫صوصَ َع ْق‬
ُ ‫د‬ ُ ‫عِ َعلَى يَ ُر َُّد ُم‬
ُ ‫خ‬ َ ‫مَالَ د َْف‬
َ‫خ َرلِيَ ُر ََّد ِم ْثلِي‬
َ ‫ه ِِل‬ َُ َ‫ِم ْثل‬
Artinya:
“Qaradh adalah harta yang diberikan seseorang dari harta mitsil (yang memiliki perumpamaan)
untuk kemudian dibayar atau dikembalikan. Atau dengan ungkapan yang lain, qaradh adalah
suatu perjanjian yang khusus untuk menyerahkan harta (mal mitsil) kepada orang lain untuk
kemudian dikembalikan persis seperti yang diterimanya.”
Hutang piutang termasuk salah satu sikap dalam islam karena terkait dengan kata saling tolong
menolong. Orang yang memberikan hutang tidak boleh mengenakan bayaran tambahan ke atas
hutang itu, kerana jumlah tambahan ke atas hutang itu dikenali sebagai RIBA yang amat dilarang
dalam Islam.

B. Hukum Hutang Dalam Pandangan Islam


Hukum Hutang piutang pada asalnya DIPERBOLEHKAN dalam syariat Islam. Bahkan
orang yang memberikan hutang atau pinjaman kepada orang lain yang sangat membutuhkan
adalah hal yang DISUKAI dan DIANJURKAN, karena di dalamnya terdapat pahala yang besar.
Adapun dalil-dalil yang menunjukkan disyariatkannya hutang piutang ialah sebagaimana berikut
ini:
Dalil dari Al-Qur’an adalah firman Allah :
ََ ‫ض ال َّ ِذي َذا‬
َْ ‫م‬
‫ن‬ ََ َّ ‫ضا‬
َُ ‫ّللا ُي ْق ِر‬ ً ‫َس ًنا َق ْر‬ َُ ‫ع َف‬
َ ‫ه ح‬ ِ ‫ضا‬ َُ َ‫افا ل‬
َ ‫ه َف ُي‬ ْ َ‫َّللا َكثِي َر ًَة أ‬
ً ‫ض َع‬ َُ ِ‫طُ ي َْقب‬
َُ َّ ‫ض و‬ ِ ‫ون وَإِلَ ْي‬
ُ ‫هَ َويَب‬
َ ‫ْس‬ ََ ‫ج ُع‬
َ ‫تُ ْر‬
(245)
“Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan
hartanya di jalan Allah), maka Allah akan meperlipat gandakan pembayaran kepadanya dengan
lipat ganda yang banyak. Dan Allah menyempitkan dan melapangkan (rezki) dan kepada-Nya-
lah kamu dikembalikan.” (QS. Al-Baqarah: 245)

Sedangkan dalil dari Al-Hadits adalah apa yang diriwayatkan dari Abu Rafi’, bahwa Nabi
 pernah meminjam seekor unta kepada seorang lelaki. Aku datang menemui beliau membawa
seekor unta dari sedekah. Beliau menyuruh Abu Rafi’ untuk mengembalikan unta milik lelaki
tersebut. Abu Rafi’ kembali kepada beliau dan berkata, “Wahai Rasulullah! Yang kudapatkan
hanya-lah seekor unta ruba’i terbaik?” Beliau bersabda,
“Berikan saja kepadanya. Sesungguhnya orang yang terbaik adalah yang paling baik dalam
mengembalikan hutang.” (3)

Nabi  juga bersabda:


‫ن مَا‬ َُ ‫ما ُي ْق ِر‬
ْ ‫ض ُم‬
َْ ‫سلِمَ ِم‬ ْ ‫ضا ُم‬
ً ‫س ِل‬ َِ ‫ل َّ َم َّرتَ ْي‬
ً ‫ن َق ْر‬ ََ ‫صد ََقتِهَا َك‬
َ ِ‫ان إ‬ َ ‫َم َّر ًَة َك‬
“Setiap muslim yang memberikan pinjaman kepada sesamanya dua kali, maka dia itu seperti
orang yang bersedekah satu kali.” (HR. Ibnu Majah II/812 no.2430, dari Ibnu Mas’ud . Hadits
ini di-hasan-kan oleh Al-Albani di dalam Irwa’ Al-ghalil Fi Takhrij Ahadits manar As-sabil
(no.1389).)
Hukum hutang piutang bersifat fleksibel tergantung situasi kondisi dan toleransi. Pada umumnya
pinjam-meminjam hukumnya sunah / sunat bila dalam keadaan normal. Hukumnya haram jika
meminjamkan uang untuk membeli narkoba, berbuat kejahatan, menyewa pelacur, dan lain
sebagainya. Hukumnya wajib jika memberikan kepada orang yang sangat membutuhkan seperti
tetangga yang anaknya sedang sakit keras dan membutuhkan uang untuk menebus resep obat
yang diberikan oleh dokter.

C. Adab Dalam Hutang Piutang Dalam Islam

1. Hendaknya hutang piutang yang dilakukan ditulis dan dipersaksikan

Allah SWT telah memberikan petunjuk kepada hamba-hamba-Nya dalam Al-


Qur’an terkait dengan hutang piutang agar apabila mereka melakukan transaksi non tunai
(hutang piutang) hendaknya ditulis. Hal ini bertujuan untuk menguatkan persaksian serta
tidak mendatangkan keraguan nantinya. (Ada dalam QS. Al-Baqarah ayat 282)

2. Di dalam hutang piutang tidak diperbolehkan adanya unsur riba

riba’ adalah perbuatan yang diharamkan dalam islam. Dalam salah satu hadist
Nabi Shalallahu Alaihi Wassalam di atas telah jelas hukumnya bahwa: “Barangsiapa
yang meminjamnya dengan niat ingin merugikannya, Allah pun akan merugikannya”.(
Riwayat Al-Bukhari)

3. Bagi mereka yang berhutang, hendaknya tujuan dari hutang yang ia ajukan adalah untuk
niat yang baik dan ia berjanji akan mengembalikannya

4. Hendaknya pihak yang berhutang melunasi hutang-hutangnya dengan cara yang baik.

5. Hendaknya berhutang kepada orang-orang yang sholeh dan memiliki penghasilan yang
halal.
Hal ini bertujuan agar dapat menenangkan jiwa serta dapat terhindar dari hal-hal
yang haram dan kotor, sehingga ketika dipergunakan, harta pinjaman tersebut dapat
membawa berkah serta datangnya ridho dari Allah SWT.

6. Hendaknya hutang dilakukan dalam keadaan darurat


Artinya adalah seseorang hendaknya berhutang ketika ia dalam kondisi yang tidak
memungkinkan untuk mendapatkan jalan keluar selain dengan berhutang atau bisa
dikatakan dalam keadaan darurat dan mendesak.

7. Tidak diperbolehkan adanya hutang pitang dalam unsur jual beli


Artinya adalah seseorang tidak diperbolehkan dalam pinjaman atau hutang
dengan memberikan persyaratan agar nantinya pihak yang meminjam atau berhutang mau
menjual atau menyewakan sesuatu kepada pihak pemberi hutang. Atau pihak penghutang
disyaratkan untuk membeli ataupun menyewa sesuatu dari pihak pemberi hutang.

Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassalam bersabda :


َ‫ل‬ َُّ ‫ح‬
َ ‫ل‬ ِ َ‫سلَفَ ي‬
َ َ‫َوبَ ْيع‬

Artinya “Tidak dihalalkan melakukan peminjaman plus jual beli.” (HR. Abu Daud dan
At- Tirmidzi)
8. Jika ternyata pihak penghutang mengalami keterlambatan pembayaran hutang
dikarenakan suatu hal, maka hendaknya ia segera memberitahukan hal tersebut kepada
pihak pemberi hutang

Mengembalikan pinjaman merupakan kewajiban bagi penghutang, akan tetapi


apabila karena kondisi tertentu ia mengalami keterlambatan dalam pembayaran hutang
tersebut maka pihak pemberi hutang berhak untuk mengetahuinya, sehingga pihak
penghutang harus segera memberitahukan hal tersebut kepada pihak pemberi hutang.

9. Timbulnya kesadaran dari pihak peminjam bahwasannya hutang merupakan amanah


yang harus dikembalikan, untuk itu sebaiknya menggunakan pinjaman tersebut dengan
sebaik mungkin

Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassalam bersabda :


َِ َ‫ت مَا ْالي‬
‫د َعلَى‬ َ َ‫ح َّتى أ‬
َْ ‫خ َذ‬ ََ ‫تُ َؤ َِد‬
َ ‫ى‬

Artinya “Tangan bertanggung jawab atas semua yang diambilnya, hingga dia
menunaikannya.” (HR. Abu Dawud dan At- Tirmidzi)

10. Hendaknya hutang-hutang atau pinjaman segera dibayar

D. Macam – Macam Hutang


Hutang dalam hukum Islam terbagi menjadi dua bagian: hutang yang baik (qardh hasan) dan
hutang berbunga (qardh ribawi).
a) Hutang Baik atau Hutang Halal (‫)الحسن القرض‬
Hutang piutang yang halal adalah transaksi hutang dari pemberi hutang kepada orang yang
hutang berdasarkan pada belas kasih pada terhutang (muqtaridh) agar supaya mengembalikan
dengan nilai yang sama tanpa syarat lebih.
b) Hutang Ribawi atau Hutang Haram
Yaitu harta yang diberikan pada orang yang hutang dengan syarat mengembalikannya dengan
nilai lebih dari yang jumlah yang dihutang.
Rukun Hutang
Dalam Hutang Piutang Harus Sesuai Rukun yang Ada :
Ø Ada yang berhutang / peminjam / piutang / debitor
Ø Ada yang memberi hutang / kreditor
Ø Ada ucapan kesepakatan atau ijab qabul / qobul
Ø Ada barang atau uang yang akan dihutangkan

MODAL DALAM PANDANGAN ISLAM

A. Pengertian Modal

Secara bahasa (arab) modal disebut al-amal (mufrad tunggal), atau al-amwal (jamak). Modal
adalah sejumlah kekayaan yang bisa saja berupa assets ataupun intangible assets, yang bisa
digunakan untuk menghasilkan kekayaan.

Modal dalam literatur fiqih disebut ra’sul malyang merujuk pada arti uang dan barang.Modal
tidak boleh diabaikan, namun wajib menggunakannya dengan baik agar ia terus produktif dan
tidak habis digunakan. Seperti yang terdapat pada hadist riwayat Bukhari.

‫َار‬ َ ‫َارا َي ْشت َِري َلهُ بِ ِه شَاة ً َفا ْشت ََرى لَهُ ِب ِه شَاتَي ِْن فَ َبا‬
ٍ ‫ع ِإحْ دَا ُه َما ِب ِد ْين‬
ٍ ‫َار َو َجا َءهُ ِب ِد ْين‬ ً ‫طاهُ ِد ْين‬ َّ ‫َع ْن ع ُْر َوة َ أ َ َّن النَّ ِب‬
َ ‫ي صلى هللا عليه وسلم ا َ ْع‬
(‫َارى‬ ِ ‫)ر َواهُ ْالبُخ‬ َ ‫َوشَاةٍ فَدَ َعا لَهُ بِ ْالبَ َر َك ِة فِي بَ ْي ِع ِه َو َكانَ لَ ْو ا ْشت ََرى التُّ َرابَ َح فِ ْي ِه‬

Artinya: “Dari ‘Urwah bahwa Nabi SAW memberinya satu dinar untuk dibelikan seekor
kambing, dengan uang itu ia beli dua ekor kambing, kemudian salah satunya dijual seharga satu
dinar, lalu dia menemui beliau dengan membawa seekor kambing dan uang satu dinar. Maka
beliau mendoakan dia keberkahan dalam jual belinya itu, “sungguh dia apabila berdagang debu
sekalipun, pasti mendapatkan untung”. (HR. Bukhari)

Pentingnya Modal
Pentingnya modal dalam kehidupan manusia ditunjukkan dalam al-Qur'an sebagai berikut:

Artinya :"Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa apa yang diingini,
yaitu wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan,
binatang-binatang ternak dan sawah lading. Itulah kesenanagan hidup di dunia, dan di sisi
allahlah tempat kembali yang baik (surga)". Kata "mata'un" berarti modal karena disebut emas
dan perak, kuda yang bagus dan ternak (termasuk bentuk modal yang lain). Kata "zuyyina"
menunjukkan kepentingan modal dalam kehidupan manusia.

Urgensi Modal

Afzalurrahman mengatakan, Rasulullah saw. menekankan pentingnya modal dalam ucapan ini:
"Tidak akan ada kecemburuan kecuali dalam dua hal: orang yang diberi oleh Allah kekayaan
(atau modal) dan kekuasaan untuk membelanjakannya dalm menegakkan kebenaran, dan orang
yang dijamin oleh Allah dengan ilmu pengetahuan yang banyak untuk menilai dan
mengajarkannya pada orang lain. (Bukhari) .

B. Modal dalam Perspektif Islam

Dalam pandangan Al-Quran, uang merupakan modal serta salah


satu faktor produksi yang penting, tetapi "bukan yang terpenting". Manusia menduduki
tempat di atas modal disusul sumber daya alam. Pandangan ini berbeda dengan pandangan
sementara pelaku ekonomi modern yang memandang uang sebagai segala sesuatu, sehingga
tidak jarang manusia atau sumber daya alam dianiaya atau ditelantarkan. Dalam sistem ekonomi
Islam modal diharuskan terus berkembang agar sirkulasi uang tidak berhenti.

Di karenakan jika modal atau uang berhenti (ditimbun/stagnan) maka harta itu tidak dapat
mendatangkan manfaat bagi orang lain, namun seandainya jika uang diinvestasikan dan
digunakan untuk melakuakan bisnis maka uang tersebut akan mendatangkan manfaat bagi orang
lain, termasuk di antaranya jika ada bisnis berjalan maka akan bisa menyerap tenaga kerja.
Seorang wali yang menguasai harta orang-orang yang tidak atau belum mampu mengurus
hartanya, diperintahkan untuk mengembangkan harta yang berada dalam kekuasaannya itu
dan membiayai kebutuhan pemiliknya yang tidak mampu itu, dari keuntungan perputaran modal,
bukan dari pokok modal. Sebagaimana firman Allah swt:

Artinya : "Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya,
harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan.
Berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-
kata yang baik."

C. Ketentuan Hukum Islam Mengenai Modal

Beberapa ketentuan hukum Islam mengenai modal dikemukakan A. Muhsin Sulaiman,


sebagaimana yang dikutip oleh Rustam Effendi adalah sebagai berikut:

 Islam mengharamkan penimbunan modal


 Modal tidak boleh dipinjam dan meminjamkan dengan cara riba
 Modal harus dengan cara yang sama dengan mendapatkan hak milik (dengan cara yang
halal misalnya, lihat )
 Modal yang mencapai nisab, zakatnya wajib dikeluarkan (85 gram emas, pen)
 Modal tidak boleh digunakan untuk memproduksi dengan cara boros
 Pembayaran gaji buruh/pekerja harus sesuai dengan ketentuan gajih dalam Islam.

D. Pengembangan Modal

Dalam mengembangkan modal, umtuk meningkatkan atau memperbanyak jumlah modal dengan
berbagai upaya yang halal, baik melalui produksi maupun investasi. Semua itu bertujuan agar
harta bisa bertambah sesuai yang diinginkan. Adapun bentuk-bentuk pengembangan modal
menurut ketentuan Syari'ah Mu'amalah, dapat dilakukan dalam bentuk atau pola sebagai berikut:

Transaksi akad jual-beli, yaitu pengembangan modal usaha di mana seseorang berada dalam
posisi sebagai penjual dan yang lainnya sebagai pembeli, seperti dalam akad al-Ba'i, as-Salam,
dan al-Istinsya'. "Dari Shuhaib Radliyallaahu 'anhu bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam
bersabda: "Tiga hal yang didalamnya ada berkah adalah jual-beli bertempo, ber-qiradl
(memberikan modal kepada seseorang hasil dibagi dua), dan mencampur gandum dengan sya'ir
untuk makanan di rumah, bukan untuk dijual."

Transaksi akad bagi-hasil, yaitu pengembangan modal usaha di mana seseorang dapat bertindak
sebagai pemberi modal dan yang lainnya bertindak sebagai pengelola modal dengan kerentuan
akan membagi hasil yang diperoleh sesuai perjanjian yang telah disepakati. Transaksi ini dapat
dilihat dalam akad-akad bagi hasil seperti dalam akad as-syirkah seperti akad al-Mudharabah dan
akad as-Syirkah. "Dari Hakim Ibnu Hizam bahwa disyaratkan bagi seseorang yang memberikan
modal sebagai qiradl, yaitu: Jangan menggunakan modalku untuk barang yang bernyawa, jangan
membawanya ke laut, dan jangan membawanya di tengah air yang mengalir. Jika engkau
melakukan salah satu di antaranya, maka engkaulah yangmenanggung modalku". Riwayat
Daruquthni dengan perawi-perawi yang dapat dipercaya. Malik berkata dalam kitabnya al-
Muwattho', dari Ala' Ibnu Abdurrahman Ibnu Ya'qub, dari ayahnya, dari kakeknya: Bahwa ia
pernah menjalankan modal Utsman dengan keuntungan dibagi dua.

Hadist ini menerangkan bahwa maksud dari ketiga syarat tersebut (jangan engkau gunakan
modalku pada barang berjiwa dan tidak juga dibawa melintasi laut dan melintasi lembah yang
berair) adalah dalam perbuatan seperti yang disyaratkan tadi (ke tiga perkara tadi) ada bahaya
yang tidak terduga lebih dahulu, yaitu apabila seseorang menggunakan modalnya itu dengan
bebas dalam artian tidak memikirkan madhoratnya, maka itu akan berbahaya karena ada sesuatu
yang tidak terduga yang bisa saja datang kepada si pemilik modal.

Dan apabila syarat tersebut dilanggar, maka kerugian yang akan terbit dari padanya adalah atas
tanggungan penerima modal itu, maksudnya adalah apabila terjadi kerugian yang disebabkan
kecerobohan salah satu pihak, maka ia harus menanggung kerugiannya sendiri. Tetapi apabila
kerugian tersebut karena kecelakaan atau unsur kecelakaan, maka kerugaian tersebut ditanggung
bersama.

Dengan demikian syarat/pernyataan tersebut memberikan unsur keadilan bagi kedua belah pihak
sesuai dengan prinsip dasar ekonomi Islam. Dan khususnya bagi pebankan syariah, akad
mudharabah/kerjasama ini digunakan sebagai salah satu produk perbankan syariah untuk
mencegah terjadinyasistem riba dalam masyarakat, karena akad mudharabah ini sangat
membantu bagiorang-orang yang mempunyai kemampuan usaha akan tetapi tidak mempunyai
modal, sehingga dapat terhindar dari sistem riba.

Transaksi akad jasa, yaitu pengembangan modal di mana seseorang bertindak sebagai
konsumen/pemakai jasa dan wajib memberikan harga kepada pihak yang telah memberikan jasa
tersebut menurut kesepakatan yang dibuat, seperti dalam akad al-rahn, al-wadi'ah. Sabda
Rasulullah sawyang artin ya: Dari Khaulah Al-Anshariyah radhiyallahu anha, bahwa Nabi
Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda: "Sesungguhnya ada orang-orang yang mengelola dan
mengambil harta kaum muslimin tanpa hak, maka bagi mereka azab neraka pada hari kiamat."

Sistem pengembangan dalam hal ini, ekonomi Islam memberikan batasan-batasan sebagai
berikut:

Cara mendapatkan modal (harta) dan mengembangkannya tidak dilakukan dengan yang dilarang
Syari'at Islam. Antara lain pertama, dengan jalan perjudian, karena cara ini dapat menimbulkan
permusuhan dan dapat merusak tatanan kehidupan masyarakat. Pada dasarnya cara
pengembangan ini dilakukan tanpa adanya usaha yang jelas dan hanya bersifat spekulasi semata.
Kedua, pengembangan harta/modal dengan jalan riba (apapun bentuk dan jumlahnya), yaitu
pengambilan keuntungan dengan cara mengeksploitasi tenaga orang lain. Ketiga, pengembangan
modal dengan jalan penipuan (al-ghabn atau at-tadlis). Menentukan mekanisme pengembangan
dan pengelolaannya, di mana dalam mekanisme ini harus jelas cara atau bentuk serta tujuan yang
akan dicapai. Prinsipnya adalah peningkatan dan pembagian hasil untuk menciptakan sirkulasi
yang benar dan tepat bagi setiap golongan masyarakat dengan latar belakang perekonomian yang
berbeda.

Hak milik pribadi kadangkala dalam keadaan tertentu dapat berubah menjadi milik umum. Di
antara hal penting yang diungkapkan ajaran Islam adalah penetapan antara pemilikan bersama
menyangkut benda-benda yang bersifat dharuri (yang sangat dibutuhkan bagi semua manusia),
sehingga kepemilikannya bersifat bersama dan umum. Rasul saw bersabda yakni artinya sebagai
berikut : "Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Sa'id berkata, telah menceritakan
kepada kami Abdullah bin Khirasy bin Hausyab Asy Syaibani dari Al Awwam bin Hausyab dari
Mujahid dari Ibnu Abbas ia berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Kaum
muslimin berserikat dalam tiga hal; air, rumput dan api. Dan harganya adalah haram." Abu Sa'id
berkata, "Yang dimaksud adalah air yang mengalir."

Mensuplai atau memberikan orang yang memiliki keterbatasan faktor-faktor produksi dengan
ketentuan-ketentuan yang ada, seperti memberikan pinjaman modal untuk digunakan sebagai
modal usaha sehingga dapat dikembangkan lagi menjadi lebih besar, ataupun dengan
memberikan modal kepada seseorang dengan perjanjian membagi hasil yang didapat sesuai
perjanjian yang sudah disepakati oleh kedua belah pihak.

Telah diterangkan dalam sebuah hadis yang artinya sebagai berikut : "Tuan kami, Abbas Ibn Abd
al-Muthalib jika menyerahkan hartanya (kepada seorang yang pakar dalam perdagangan) melalui
akad mudharabah, dia mengemukakan syarat bahwa harta itu jangan diperdagangkan melalui
lautan, juga jangan menempuh lembah-lembah, dan tidak boleh dibelikan hewan ternak yang
sakit tidak dapat bergerak atau berjalan. Jika (ketiga) hal itu dilakukan, maka pengelola modal
dikenai ganti rugi. Kemudian syarat yang dikemukakan Abbas Ibn Abd al-Muthalib ini sampai
kepada Rasulullah SAW dan Rasul membolehkannya
DAFTAR PUSTAKA

http://myhelipathurrahaman.blogspot.com/2017/03/harta-dan-kepemilikan-dalam-islam.html

http://amrianidris.blogspot.com/2014/06/konsep-harta-dan-kepemilikan-dalam-islam.html

http://www.makalah.co.id/2016/09/makalah-konsep-hutang-dalam-islam.html

https://www.kompasiana.com/rasminiyanti/5a92900fcbe52337d27187c2/modal-dalam-presektif-
islam?page=all

You might also like