You are on page 1of 19

KEHAMILAN POSTTERM

PENDAHULUAN

Kehamilan lewat bulan telah menjadi masalah lebih dari 100 tahun yang lalu sampai hari
ini. Kata postterm, prolonged, postdate, dan postmature adalah istilah yang digunakan secara
bergantian untuk menggambarkan kehamilan yang telah melampaui durasi yang dianggap
sebagai batas atas normal.. Definisi internasional tentang kehamilan yang lewat bulan, yang
didukung oleh American College of Obstetricians and Gynecologists (2016b, d) adalah
menggenapi 42 minggu (294 hari) atau lebih, dari hari pertama haid terakhir. Adalah penting
untuk menegaskan kata-kata “menggenapi 42 minggu.” Kehamilan antara 41 minggu hari 1
hingga 41 minggu hari 6, meskipun pada minggu ke-42, tidak melengkapi 42 minggu hingga hari
ketujuh telah berlalu. Metode yang kami gunakan secara luas dalam buku ini adalah dengan
membagi minggu ke-42 menjadi 7 hari, yaitu, 42 0/7 hingga 42 6/7 minggu.

ESTIMASI USIA GESTASI

Definisi kehamilan postterm yaitu kehamilan yang bertahan selama 42 minggu atau lebih
sejak onset dari sebuah periode menstruasi,diperkirakan bahwa menstruasi terakhir diikuti oleh
ovulasi dua minggu kemudian. Beberapa kehamilan mungkin sebenarnya tidak postterm, Dapat
terjadi kesalahan perhitungan dalam estimasi usia kehamilan karena salah ingat tanggal
menstruasi atau ovulasi tertunda. Jadi, terdapat dua kategori kehamilan yang mencapai 42
minggu lengkap :

1. Kehamilan yang benar-benar 40 minggu pasca konsepsi.


2. Kehamilan yang gestasinya kurang lanjut karena ketidaktepatan perkiraan usia kehamilan.
Bahkan dengan tanggal haid yang diingat dengan tepat, masih ada ketidak tepatan, dan
American College of Obstetricians and Gynecologists (2016d, 2017b) menganggap USG pada
trimester pertama sebagai metode yang paling akurat untuk menetapkan atau mengkonfirmasi
usia kehamilan. Beberapa studi klinis mendukung praktik ini (Bennett, 2004; Blondel, 2002;
Joseph, 2007).
INSIDENSI

Dari 3,93 juta neonatus yang lahir di Amerika Serikat selama 2015, 0,4 persen dilahirkan
pada usia kehamilan 42 minggu atau lebih (Martin, 2017). Untuk mengidentifikasi faktor-faktor
predisposisi potensial untuk kehamilan postterm, Olesen dkk (2006) menganalisis berbagai
karakteristik dalam Kelompok Kelahiran di Denmark. Hanya indeks massa tubuh prahamil
(BMI) ≥25 dan nulliparitas yang secara bermakna dikaitkan dengan kehamilan postterm. Mission
(2015) dan Arrowsmith dkk (2011) melaporkan hal serupa. Pada nulliparas, mereka yang
panjang serviks pada pertengahan kehamilan lebih panjang, yaitu, pada kuartil ketiga atau
keempat, dua kali lebih mungkin untuk melahirkan pada 42 minggu (van der Ven, 2016).

Kecenderungan beberapa ibu untuk mengulangi kelahiran postterm menunjukkan bahwa


beberapa kehamilan postterm ditentukan secara biologis. Oberg dkk (2013) melaporkan bahwa
ketika ibu dan anak perempuannya megalami kehamilan postterm, maka risiko untuk anak
perempuan tersebut untuk memiliki kehamilan postterm berikutnya meningkat secara signifikan.
Laursen dan rekan (2004) menemukan bahwa gen ibu, tetapi bukan ayah, mempengaruhi
kehamilan postterm.Seperti yang dibahas dalam Bab 5 (Sintesis Estriol Plasenta), faktor janin-
plasenta yang jarang terjadi yang mempengaruhi kehamilan postterm termasuk anencephaly,
adrenal hypoplasia, dan X-link defisiensi sulfatase plasenta (Ayyavoo, 2014; MacDonald, 1965).

MORTALITAS DAN MORBIDITAS PERINATAL

Tingkat lahir mati, kematian neonatal, dan morbiditas bayi semua meningkat setelah
melebihi tanggal tafsiran persalinan. Dalam dua penelitian besar di Swedia yang ditunjukkan
pada Gambar 43-1, setelah mencapai usia kehamilan 39 hingga 40 minggu, angka kematian
perinatal meningkat karena durasi kehamilan melebihi 41 minggu. Kejadian ini juga dilaporkan
terjadi di Amerika Serikat (Cheng, 2008; MacDorman, 2009). Seperti ditunjukkan dalam Tabel
43-1, penyebab utama kematian dalam studi ini diantaranya hipertensi kehamilan, persalinan
lama dengan disproporsi sefalopelvis, cedera lahir, dan ensefalopati hipoksik-iskemik.

Hasil serupa dilaporkan oleh Olesen dkk (2003) pada 78.022 wanita dengan kehamilan
postterm melahirkan sebelum diberikan induksi persalinan terjadi di Denmark. Moster dkk
(2010) menemukan tingkat cerebral palsy yang lebih tinggi pada kelahiran postterm, dan
penelitian Yang dkk (2010) melaporkan skor kecerdasan IQ (IQ) yang lebih rendah pada usia 6,5
tahun pada anak-anak yang lahir dengan usia ≥42 minggu. Sebaliknya, autisme tidak dikaitkan
dengan kelahiran postterm (Gardener, 2011).

Tabel 43-1

Kerugian Ibu dan Perinatal Terkait dengan Kehamilan Postterm

NICU = neonatal intensive care unit

GAMBAR 43-1 Angka kematian perinatal pada akhir kehamilan menurut usia kehamilan dari
semua kelahiran di Swedia selama 1943–1952 dibandingkan dengan mereka selama 1977– 1978.
Skala yang dikompresi sebagian digunakan untuk kenyamanan penggambaran. (Diadaptasi dari
Bakketeig, 1991; Lindell, 1956.)
Alexander dkk (2000a) meninjau 56.317 persalinan kehamilan tunggal berturut-turut
pada usia kehamilan ≥40 minggu antara 1988 dan 1998 di Parkland Hospital. Induksi persalinan
dilakukan pada 35 persen kehamilan dengan usia kehamilan 42 minggu penuh. Tingkat
persalinan sesar untuk distosia dan gawat janin secara signifikan lebih besar pada usia kehamilan
42 minggu dibandingkan dengan persalinan sebelum usia kehamilan 42 minggu . Lebih banyak
bayi baru lahir dari kehamilan postterm dirawat di unit perawatan intensif. Penting untuk
diketahui, kejadian kejang neonatal dan kematian meningkat dua kali lipat pada usia kehamilan
42 minggu. Smith (2001) telah menentang analisis seperti ini karena populasi yang berisiko
untuk kematian perinatal dalam minggu tertentu terdiri dari semua kehamilan yang sedang
berlangsung daripada hanya kelahiran dalam minggu tertentu. Dia menghitung angka kematian
perinatal yang dihitung hanya dengan menggunakan kelahiran pada minggu kehamilan tertentu
dari 37 hingga 43 minggu lengkap dibandingkan dengan probabilitas kumulatif — indeks
perinatal — dari kematian ketika semua kehamilan yang sedang berlangsung dimasukkan dalam
penyebut. Dengan menggunakan perhitungan ini, persalinan pada usia kehamilan 38 minggu
memiliki indeks risiko terendah untuk kematian perinatal.

PATOFISIOLOGI

Sindrom Postmaturity

Bayi postmature yang baru lahir adalah unik, dengan ciri - ciri kulit keriput, mengelupas;
tubuh yang panjang dan kurus menunjukkan kematangan lanjut karena mata bayi itu terbuka,
kondisi yang tidak biasa, dan tampak tua juga cemas (Gbr. 43-2). Kerutan kulit bisa sangat
menonjol di telapak tangan dan telapak kaki. Kuku biasanya panjang. Kebanyakan bayi
postmature secara teknis tidak ada hambatan pertumbuhan karena berat lahirnya jarang turun di
bawah persentil ke-10 untuk usia kehamilan (Bab 44, Pertumbuhan Janin Terhambat).

GAMBAR 43-2 Sindrom pascamaturitas. Bayi pada usia kehamilan 43 minggu dengan
mekonium kental yang melapisi kulit dengan deskuamasi. Perhatikan penampilan tubuh yang
panjang, kurus dan kerutan tangan.

Insiden sindrom postmaturity pada bayi baru lahir pada usia kehamilan 41, 42, atau 43
minggu, masing-masing, belum ditentukan secara meyakinkan. Dari data, sindrom ini
merumitkan 10 hingga 20 persen pada kehamilan 42 minggu (American College of Obstetricians
and Gynecologists, 2016d). Oligohidramnion terkait secara substansial meningkatkan
kemungkinan postmaturitas. Trimmer dkk(1990) melaporkan bahwa 88 persen janin dikatakan
postmature jika terdapat oligohidramnion yang ditentukan dengan USG, yaitu apabila kantong
cairan amnion vertikal maksimal yang diukur ≤1 cm pada usia kehamilan 42 minggu.

Disfungsi Plasenta

Banyak yang percaya bahwa kehamilan postterm adalah keadaan abnormal. Redman dan
Staw (2015) berpendapat bahwa kapasitas plasenta yang terbatas, yang ditandai dengan disfungsi
syncytiotrophoblast , menjelaskan risiko yang lebih besar terjadinya sindrom postmaturity.

Cliword (1954) memperkirakan bahwa perubahan kulit yang terjadi adalah karena
hilangnya efek perlindungan dari vernix caseosa. Dia juga menghubungkan sindrom
postmaturity dengan penuaan plasenta, meskipun ia tidak menemukan degenerasi plasenta secara
histologis. Namun, konsep bahwa postmaturity berasal dari insufisiensi plasenta tetap ada
meskipun tidak ada temuan kuantitatif morfologis yang signifikan (Larsen, 1995; Redman, 2015;
Rushton, 1991). Ada temuan bahwa tingkat apoptosis plasenta ( kematian sel terprogram ) secara
signifikan lebih besar pada usia kehamilan 41 hingga 42 minggu dibandingkan dengan usia
kehamilan 36 hingga 39 minggu (Smith, 1999). Beberapa gen proapoptotik seperti kisspeptin
diregulasi dalam eksplan plasenta postterm dibandingkan dengan gen yang sama dalam eksplan
plasenta (T orricelli, 2012). Makna klinis dari apoptosis tersebut saat ini belum jelas.

Jazayeri dkk (1998) meneliti kadar eritropoietin darah tali pusat di 124 bayi baru lahir
yang lahir pada usia kehamilan 37 hingga 43 minggu. Satu-satunya stimulator erythropoietin
yang diketahui adalah penurunan tekanan oksigen parsial. Dengan demikian, mereka berusaha
menilai apakah oksigenasi janin terganggu karena penuaan plasenta pada kehamilan postterm.
Semua wanita yang diteliti adalah wanita dengan persalinan tanpa komplikasi. Para peneliti ini
menemukan bahwa kadar eritropoietin dalam darah tali pusat secara signifikan lebih tinggi pada
kehamilan yang mencapai 41 minggu atau lebih. Meskipun skor Apgar dan gas darah tali pusat
normal pada bayi-bayi ini, para peneliti ini menyimpulkan bahwa oksigenasi janin menurun pada
beberapa kehamilan postterm.
Skenario lain adalah bahwa janin postterm dapat terus bertambah berat dan dengan
demikian menjadi luar biasa besar saat lahir. Ini setidaknya menunjukkan bahwa fungsi plasenta
tidak sangat terganggu. Memang, pertumbuhan janin yang berkelanjutan adalah normal
meskipun dengan laju yang lebih lambat mulai usia kehamilan 37 minggu (Gbr. 43-3).

Nahum dkk (1995) menegaskan bahwa pertumbuhan janin berlanjut hingga paling tidak 42
minggu. Namun, Link dkk (2007) menunjukkan bahwa aliran darah umbilical tidak meningkat
secara bersamaan

GAMBAR 43-3 Rata-rata pertumbuhan harian janin selama minggu sebelum gestasi (Redrawn
from Hendricks CH: Patterns of fetal and placental growth: the second half of pregnancy. Obstet
Gynecol 24:357, 1964.)

Gawat Janin dan Oligohidramnion

Alasan utama meningkatnya risiko janin postterm digambarkan oleh Leveno dkk (1984).
Baik bahaya janin antepartum dan gawat janin intrapartum adalah akibat dari kompresi tali pusat
yang terkait dengan oligohidramnion. Dalam analisis mereka terhadap 727 kehamilan postterm,
gawat janin intrapartum yang terdeteksi dengan pemantauan NST tidak dikaitkan dengan
karakteristik deselerasi lambat dari insufisiensi uteroplasenta.

Sebaliknya, satu atau lebih deselerasi memanjang seperti yang ditunjukkan pada Gambar 43-4
terjadi pada tiga perempat persalinan sesar emergency untuk denyut jantung janin yang
meragukan. Dalam semua kecuali dua kasus, ada juga deselerasi variabel. Pola detak jantung
janin yang umum lainnya, adalah saltatory baseline. Seperti dijelaskan dalam Bab 24 (Deselerasi
memanjang), temuan ini konsisten dengan oklusi tali pusat sebagai penyebab langsung dari
denyut jantung janin yang meragukan. Korelasi lain termasuk oligohidramnion dan mekonium
kental.

Schaffer dkk (2005) menduga ada hubungan antara lilitan tali pusat dengan pola denyut
jantung janin intrapartum yang abnormal, mekonium, dan gangguan kondisi bayi baru lahir pada
kehamilan lewat waktu

GAMBAR 43-4 A. Deselerasi detak jantung janin yang memanjang sebelum kelahiran sesar
pada kehamilan postterm dengan oligohidramnion. B. Berat (Severe) — kurang dari 70 bpm
selama 60 detik atau lebih — deselerasi variabel pada kehamilan postterm dengan
oligohidramnion. C. Saltatory baseline detak jantung janin menunjukkan osilasi melebihi 20
bpm dan berhubungan dengan oligohidramnion pada kehamilan postterm pasca-kehamilan.
(Diambil dengan izin dari Leveno KJ, Quirk JG, Cunningham FG, dkk: Kehamilan lewat waktu,
I. Pengamatan tentang penyebab gawat janin, Am J Obstet Gynecol. 1984 Nov 1; 150 (5 Pt 1):
465-473. )
Volume cairan amnion biasanya terus menurun setelah 38 minggu dan dapat menjadi
masalah. Selain itu, pelepasan mekonium ke dalam cairan amnion yang sudah berkurang
menghasilkan mekonium kental yang dapat menyebabkan meconium aspiration syndrome (Bab
33, Ensefalopati Neonatal dan Cerebral Palsy). Trimmer dkk (1990) secara sonografik mengukur
produksi urin janin setiap jam menggunakan pengukuran volume kandung kemih secara
berurutan pada 38 kehamilan postterm. Produksi urin yang berkurang ditemukan berhubungan
dengan oligohidramnion. Mereka berhipotesis bahwa penurunan aliran urin janin kemungkinan
merupakan hasil dari oligohidramnion yang sudah ada sebelumnya yang membatasi gerakan
janin. Oz dkk (2002), menggunakan gelombang Doppler, menyimpulkan bahwa aliran darah
ginjal janin berkurang pada kehamilan postterm yang dipersulit oleh oligohidramnion.

Pertumbuhan Janin Terhambat

Divon dkk. (1998) dan Clauson dkk. (1999) menganalisis kelahiran dari 700.000 wanita
diantara 1991-1995 menggunakan register National Swedish Medical Birth. Lahir mati
(stillbirth) lebih umum ditemukan diantara bayi-bayi yang lahir pada 42 minggu atau lebih.
Sepertiga dari stillbirth postterm adalah growth-restricted (pertumbuhan terhambat). Selama
tahun-tahun tersebut di Swedia, induksi pesalinan dan tes janin antenatal biasanya dilaksanakan
pada 42 minggu. Alexander dkk (2000) meneliti dari 355 bayi postterm 42 minggu atau lebih
dimana berat badannya pada persentil ke-3 atau kurang. Mereka membandingkan hasilnya
dengan 14.520 bayi diatas persentil ke-3 yang dilahirkan pada RS Parkland dan menemukan
bahwa morbiditas dan mortalitas meningkat drastis pada bayi yang growth-restricted
(pertumbuhan terhambat). Sebagai catatan, seperempat dari seluruh bayi hidup yang
berhubungan dengan kehamilan postterm termasuk dalam sejumlah kecil dari bayi growth-
restricted (pertumbuhan terhambat).

KOMPLIKASI

Jika terjadi komplikasi medis atau obstetri lainnya, umumnya tidak dianjurkan kehamilan
dilanjutkan selama 42 minggu. Dalam kasus seperti itu merupakan indikasi persalinan lebih
awal. Contoh umum termasuk gangguan hipertensi gestasional, kelahiran sesar sebelumnya, dan
diabetes. Faktor klinis penting lainnya termasuk volume cairan amnion dan potensi makrosomia
janin.
Oligohidramnion

Sebagian besar studi klinis mendukung pandangan bahwa berkurangnya cairan amnion
yang ditentukan dengan USG yang mengidentifikasi peningkatan risiko janin postterm. Memang,
penurunan cairan amnion pada setiap kehamilan menandakan peningkatan risiko janin (Bab 11,
Hasil Kehamilan). Sayangnya, kurangnya metode yang tepat untuk mendefinisikan "penurunan
cairan amnion" memiliki penelitian yang terbatas, dan banyak kriteria yang berbeda untuk
diagnosis dengan USG. Fischer dkk (1993) berusaha untuk menentukan kriteria mana yang
paling prediktif terhadap hasil normal versus abnormal pada kehamilan postterm. Seperti
ditunjukkan pada Gambar 43-5, semakin kecil kantong cairan amnion, semakin besar
kemungkinan ada oligohidramnion. Yang penting, volume cairan amnion normal tidak
menghalangi hasil abnormal. Alfirevic dkk (1997) secara acak meneliti 500 wanita dengan
kehamilan postterm untuk menilai indeks cairan amnion (AFI) atau saku vertikal terdalam yang
dijelaskan pada Bab 11 (Pengukuran). Mereka menyimpulkan bahwa AFI berlebih dalam
perkiraan jumlah hasil abnormal dalam kehamilan postterm.

GAMBAR 43-5 Perbandingan nilai prognostik dari berbagai hasil USG volume cairan amnion
pada kehamilan postterm. Hasil abnormal yang mencakup sesar, pervaginam untuk gawat janin,
skor Apgar menit ke 5 ≤6, pH darah arteri umbilikalis <7,1, atau masuk ke unit perawatan
intensif neonatal. (Digambar ulang dari Fischer RL, McDonnell M, Bianculli KW, dkk: Estimasi
volume cairan ketuban pada kehamilan postdate: perbandingan teknik. Obstet Gynecol 81: 698,
1993.)
Terlepas dari kriteria yang digunakan untuk mendiagnosis oligohidramnion pada
kehamilan postterm, kebanyakan peneliti telah menemukan peningkatan insidensi fetal distress
selama persalinan. Jadi oligohidramnion oleh kebanyakan pengertian merupakan penemuan
klinis penting. Sebaliknya, jaminan janin yang baik pada volume cairan amnion “normal” adalah
kecil karena tidak diketahui seberapa cepat oligohidramnion patologis berkembang. Clement
dkk. (1987) melaporkan enam kehamilan postterm dimana volume cairan amnion berkurang
mendadak dalam 24 jam dan satu janin meninggal.

Makrosomia

Kecepatan pertambahan berat badan janin mencapai puncaknya sekitar 37 minggu (lihat
Gambar 43-3). Meskipun kecepatan pertumbuhan melambat pada saat itu, sebagian besar janin
terus bertambah berat badannya. Sebagai contoh, persentase janin yang lahir pada 2009 yang
berat lahirnya melebihi 4000 g adalah 8,2 persen pada 37 hingga 41 minggu dan meningkat
menjadi 11,0 persen pada 42 minggu atau lebih (Martin, 2011). Menurut Duryea dkk (2014),
persentil ke-95 pada 42 minggu adalah 4475 g. Meski begitu, dalam beberapa penelitian, cedera
pleksus brakialis tidak terkait dengan kehamilan postterm (Walsh, 2011). Secara intuitif,
nampaknya morbiditas ibu dan janin yang berhubungan dengan makrosomia akan berkurang
dengan induksi tepat waktu untuk mencegah pertumbuhan lebih lanjut. Namun, ini tampaknya
belum dilakukan. American College of Obstetricians and Gynecologists (2016c) telah
menyimpulkan bahwa bukti saat ini tidak mendukung praktik semacam itu pada wanita yang
diduga makrosomia janin. Selain itu, College menyimpulkan bahwa dengan tidak adanya
diabetes, persalinan pervaginam tidak dikontraindikasikan untuk wanita dengan perkiraan berat
janin hingga 5.000 g (Bab 27, Dystocia Bahu). Masalah yang jelas dengan semua rekomendasi
tersebut adalah variasi substantif dalam estimasi berat janin.

MANAJEMEN ANTEPARTUM

Meskipun beberapa intervensi diindikasikan untuk kehamilan postterm, metode dan


waktu ini tidak bulat. Keputusan ini berfokus pada apakah induksi persalinan diperlukan atau
apakah manajemen hamil dengan pengawasan janin adalah yang terbaik. Dalam sebuah survei
yang dilakukan lebih dari 10 tahun yang lalu, Cleary Goldman dkk (2006) melaporkan bahwa 73
persen anggota American College of Obstetricians dan Gynaecologists secara rutin menginduksi
wanita pada usia 41 minggu. Sebagian besar sisanya melakukan pengujian janin dua kali
seminggu hingga 42 minggu.

Faktor induksi

Meskipun semua dokter kandungan tahu apa itu "unfavorable cervix", istilah tersebut
sayangnya tidak sesuai dengan definisi objektif. Dengan demikian, peneliti telah menggunakan
kriteria berbeda untuk penelitian kehamilan postterm. Harris dkk (1983) mendefinisikan
"unfavorable cervix" dengan skor Bishop < 7 dan melaporkan dari 92 persen wanita pada usia
kehamilan 42 minggu (Bab 26, Preinduction Servical Ripening).

Hannah dkk (1992) menemukan bahwa 40 persen dari 3407 wanita dengan kehamilan 41
minggu memiliki “undilated cervix.” Dalam sebuah penelitian terhadap 800 wanita yang
menjalani induksi untuk kehamilan postterm di Parkland Hospital, Alexander dkk (2000b)
melaporkan bahwa wanita dengan “undilated cervix" memiliki dua kali lipat tingkat kelahiran
sesar yang lebih tinggi karena "dystocia". Yang dkk (2004) menemukan bahwa panjang serviks
≤3 cm yang diukur dengan sonografi transvaginal merupakan prediksi keberhasilan induksi.
Dalam studi yang serupa, Vankayalapati dkk (2008) menemukan bahwa panjang serviks ≤25 mm
merupakan prediksi dari persalinan spontan atau induksi yang berhasil.

Beberapa peneliti telah mengevaluasi prostaglandin E2 (PGE2) dan E1 (PGE1) untuk


induksi pada wanita dengan unfavorable cervix dan kehamilan postterm. Sebuah studi oleh
Maternal-Fetal Medicine Units Network (1994) menemukan bahwa gel PGE2 tidak lebih efektif
daripada plasebo. Alexander dkk (2000c) merawat 393 wanita dengan kehamilan postterm
dengan PGE2, terlepas dari “favorability” serviks, dan melaporkan bahwa hampir setengah dari
84 wanita dengan dilatasi serviks 2 sampai 4 cm memasuki persalinan dengan penggunaan PGE2
saja. Dalam penelitian lain, mifepristone dilaporkan meningkatkan aktivitas uterus tanpa agen
uterotonik pada wanita di atas 41 minggu (Fasset, 2008). Prostaglandin dan agen lain yang
digunakan untuk pematangan serviks dibahas pada Bab 26 (Teknik Farmakologis).

Pemecahan kantung ketuban untuk menginduksi persalinan sehingga mencegah


kehamilan postterm dipelajari dalam 15 percobaan acak selama 1990-an. Boulvain dkk (2005)
melakukan metaanalisi ini dan menemukan bahwa pemecahan kantung ketuban pada 38 hingga
40 minggu menurunkan frekuensi kehamilan postterm. Meskipun tingkat infeksi ibu dan bayi
baru lahir tidak meningkat, praktik ini tidak mengubah angka kelahiran sesar. Sejak itu,
percobaan acak oleh Wong (2002), Kashanian (2006), Hill dkk (2008) menemukan bahwa
pemecahan kantung ketuban tidak mengurangi kebutuhan untuk menginduksi persalinan.
Kelemahan dari pemecahan kantung ketuban yaitu rasa sakit, perdarahan vagina, dan kontraksi
yang tidak teratur tanpa persalinan.Bidang Hodge kepala janin dalam panggul adalah prediktor
lain keberhasilan induksi kehamilan postterm. Shin dkk (2004) mempelajari 484 nullipara yang
menjalani induksi pada usia kehamilan 41 minggu. Tingkat kelahiran sesar berhubungan
langsung dengan bidang Hodge. Angka tersebut adalah 6 persen jika vertex sebelum induksi
berada pada Hodge I ; 20 persen di Hodge 2 ; 43 persen di Hodge 3 ; dan 77 persen di Hodge 4.

Induksi versus Pengawasan Kesejahteraan Janin

Karena manfaat marjinal dari induksi pada unfavorable cervix, seperti yang baru saja
dibahas, beberapa dokter lebih suka menerapkan strategi Pengawasan Kesejahteraan Janin mulai
dari usia kehamilan 41 minggu. Sebagai contoh, dalam sebuah penelitian di Kanada, 3407 wanita
secara acak pada usia kehamilan 41 minggu atau lebih untuk induksi atau untuk pengawasan
Kesejahteraan Janin (Hannah, 1992). Pada kelompok pengawasan , evaluasi meliputi: (1)
menghitung pergerakan janin selama periode 2 jam setiap hari, (2) pengujian NST tiga kali
seminggu, dan (3) penilaian volume cairan amnion dua hingga tiga kali seminggu, dengan
kantong <3 cm dianggap abnormal.

Induksi persalinan menghasilkan penurunan kecil tetapi signifikan dalam tingkat


kelahiran sesar dibandingkan dengan pengawasan kesejahteraan janin, masing-masing 21 versus
24 persen. Perbedaan ini disebabkan oleh lebih sedikit prosedur untuk gawat janin. Hanya ada
dua bayi lahir mati dalam kelompok pengawasan kesejahteraan janin.

Maternal-Fetal Medicine Network melakukan uji coba secara acak antara induksi versus
pengawasan kesejahteraan janin yang dimulai pada usia kehamilan 41 minggu (Gardner, 1996).
Pengawasan kesejahteraan janin mencakup pengujian NST dan USG volume cairan amnion
yang dilakukan dua kali seminggu pada 175 wanita. Hasil pengawasan kesejahteraan janin
dibandingkan dengan 265 wanita yang juga pada usia kehamilan 41 minggu secara acak di
induksi dengan atau tanpa pematangan serviks. Hasilnya tidak ada kematian perinatal, dan
tingkat kelahiran sesar tidak berbeda antara kelompok manajemen. Hasil penelitian ini dapat
digunakan untuk mendukung validitas skema manajemen mana pun.

Dalam analisis dari 22 percobaan, Gulmezoglu dkk (2012) menemukan bahwa induksi
setelah usia kehamilan 41 minggu dibanding pengawasan kesejahteraan janin, berhubungan
dengan kematian perinatal yang lebih sedikit, kasus sindrom aspirasi mekonium dan tingkat
kelahiran sesar yang lebih rendah. Dalam review dari dua metaanalyses dan studi acak,
kesimpulan serupa dicapai (Mozurkewich, 2009).

Dalam kebanyakan studi, induksi persalinan pada 420/7 minggu memiliki tingkat
kelahiran sesar yang lebih tinggi dibandingkan dengan persalinan spontan. Dari Parkland
Hospital, Alexander dkk (2001) mengevaluasi kehamilan pada 638 wanita dengan persalinan
yang diinduksi dan membandingkannya dengan hasil dari 687 wanita dengan kehamilan
postterm yang menjalani persalinan spontan. Angka kelahiran sesar meningkat secara signifikan
19 banding 14 persen pada kelompok yang diinduksi karena kegagalan untuk kemajuan
persalinan. Namun, ketika para peneliti mengoreksi faktor-faktor risiko, mereka menyimpulkan
bahwa faktor maternal intrinsik, daripada induksi itu sendiri, menyebabkan tingkat sesar yang
lebih tinggi. Faktor-faktor ini termasuk nulliparitas, unfavorable cervix, dan analgesia epidural.

Sebuah studi besar dari Denmark oleh Zizzo dkk (2017) juga bersifat instruktif. Pada
tahun 2011, pedoman nasional Denmark diubah dari induksi persalinan pada 420/7 minggu tanpa
pengawasan kesejahteraan janin menjadi induksi persalinan pada 412/7 menjadi 416/7 minggu
dengan pengawasan kesejahteraan janin dimulai pada 410/7 minggu. Mereka membandingkan
dua zaman tiga tahun sebelum dan tiga tahun sesudah 2011 dan hasilnya ditunjukkan pada Tabel
43-2. Tingkat kehamilan yang berkembang melewati 420/7 minggu menurun dari 2,85 menjadi
0,62 persen. Bersamaan, seperti yang diharapkan, tingkat induksi meningkat secara signifikan,
dan ini disertai dengan penurunan tingkat kematian perinatal yaitu 22 hingga 13 per 1.000
kelahiran. Tingkat kelahiran sesar tidak berubah. Penelitian observasional sebelum dan sesudah
yang sama melaporkan bahwa induksi pada ≥42 minggu dikaitkan dengan tingkat kelahiran sesar
yang jauh lebih rendah yaitu 15 berbanding 19,4 persen (Bleicher, 2017).

Dari hal tersebut di atas, bukti untuk mendukung intervensi - apakah induksi atau
pengawasan kesejahteraan janin dimulai pada 41 vs 42 minggu masih terbatas. Sebagian besar
bukti yang digunakan untuk membenarkan intervensi pada 41 minggu adalah dari investigasi
acak Kanada dan Amerika yang dikutip sebelumnya. Tidak ada penelitian acak yang secara
khusus menilai intervensi pada 41 minggu versus intervensi identik yang digunakan pada 42
minggu. Sebuah uji coba multicenter Swedia secara acak terhadap lebih dari 10.000 wanita pada
410/7 minggu telah dirancang untuk menjawab pertanyaan tersebut (Elden, 2016).

Strategi Manajemen

American College of Obstetricians and Gynecologists (2016a) mendefinisikan kehamilan


postterm adalah kehamilan yang telah mencapai 42 minggu, yaitu, melampaui 420/7 minggu.
Tidak ada bukti yang cukup untuk melakukan strategi manajemen kehamilan antara 40 dan 42
minggu. Jadi, meskipun tidak dianggap wajib, inisiasi pengawasan kesejahteraan janin pada
usia 41 minggu adalah pilihan yang masuk akal. Setelah melampaui 42 minggu,
rekomendasinya adalah untuk induksi persalinan sebagaimana dirangkum dalam Gambar 43-6.

GAMBAR 43-6 Algoritma untuk manajemen kehamilan postterm. (Dirangkum dari American
College of Obstetricians and Gynaecologists, 2016d.)
Ketika usia kehamilan tidak pasti, American College of Obstetricians and Gynecologists
(2017b) merekomendasikan persalinan pada usia kehamilan 41 minggu menggunakan estimasi
klinis terbaik usia kehamilan. Kolese juga merekomendasikan amniosintesis untuk kematangan
paru janin.

Di Parkland Hospital, berdasarkan hasil dari percobaan yang baru saja dibahas, kami
menganggap kehamilan 41 minggu tanpa komplikasi lain sebagai hal yang normal. Dengan
demikian, tidak ada intervensi yang dilakukan hingga 42 minggu. Dengan komplikasi seperti
hipertensi, penurunan pergerakan janin, atau oligohidramnion, induksi persalinan dilakukan.

Kami berpandangan bahwa uji coba acak yang besar harus dilakukan sebelum kehamilan
41 minggu tanpa komplikasi secara rutin dianggap memanjang secara patologis. Pada wanita
yang usia kehamilannya diketahui, persalinan diinduksi pada akhir 42 minggu. Hampir 90 persen
wanita tersebut berhasil diinduksi atau memasuki persalinan dalam waktu 2 hari setelah induksi.
Bagi mereka yang tidak melahirkan dengan induksi pertama, induksi kedua dilakukan dalam 3
hari. Hampir semua wanita dilahirkan menggunakan rencana manajemen ini, tetapi pada
beberapa yang tidak biasa lahir, keputusan manajemen melibatkan induksi ketiga - atau bahkan
lebih - dibandingkan dengan sesar. Wanita yang diklasifikasikan dengan kehamilan postterm
dievaluasi dengan NST mingguan dan penilaian volume cairan amnion. Wanita dengan AFI ≤5
cm atau dengan laporan gerakan janin berkurang menjalani induksi persalinan.

MANAJEMEN INTRAPARTUM

Persalinan adalah waktu yang sangat berbahaya bagi janin postterm. Oleh karena itu,
wanita yang kehamilannya diketahui atau diduga sebagai postterm idealnya datang ke rumah
sakit segera setelah mereka mencurigai persalinan. Saat sedang dievaluasi untuk persalinan aktif,
kami merekomendasikan bahwa denyut jantung janin dan kontraksi uterus dipantau secara
elektronik untuk variasi yang konsisten dengan gawat janin.

Selama persalinan, keputusan untuk melakukan amniotomi cukup problematic.


Berkurangnya volume cairan setelah amniotomi dapat meningkatkan kemungkinan kompresi tali
pusat. Sebaliknya, setelah membrane pecah, scalp electrode, dan kateter tekanan intrauterin dapat
dipasang. Alat ini biasanya memberikan data yang lebih tepat mengenai detak jantung janin dan
kontraksi uterus. Amniotomi juga membantu identifikasi tebal mekonium . Mekonium yang tebal
dalam cairan amnion sangat mengkhawatirkan. Viskositas mungkin menandakan kurangnya
cairan yang berarti terjadi oligohidramnion. Aspirasi mekonium kental dapat menyebabkan
disfungsi paru yang parah dan kematian neonatal (Bab 33, Ensefalopati Neonatal dan Cerebral
Palsy). Karena itu, amnioinfusi selama persalinan telah diusulkan sebagai cara melarutkan
mekonium untuk menurunkan kejadian sindrom aspirasi (Wenstrom, 1989). Sebagaimana
dibahas dalam Bab 24 (Opsi Manajemen), manfaat amnioinfusi tetap kontroversial. Dalam
percobaan acak oleh Fraser dkk (2005), amnioinfusi tidak mengurangi risiko sindrom aspirasi
mekonium atau kematian perinatal. Menurut American College of Obstetricians dan
Gynecologists (2016a), amnioinfusion tidak mencegah aspirasi meconium, tetapi, masih menjadi
pilihan pengobatan yang wajar untuk deselerasi variabel berulang.

Kemungkinan keberhasilan persalinan pervaginam cukup rendah pada nulipara yang


berada dalam persalinan dini dengan cairan amnion yang bercampur mekonium. Oleh karena itu,
jika ibu masih jauh dari persalinan, harus pertimbangan untuk melahirkan sesar segera, terutama
ketika diduga ada disproporsi cephalopelvic atau persalinan disfungsional hipotonik atau
hipertonik. Beberapa praktisi memilih untuk menghindari penggunaan oksitosin dalam kasus
ini.Sampai baru-baru ini, diajarkan - termasuk di Rumah Sakit Parkland - bahwa aspirasi
meconium dapat diminimalkan tetapi tidak dihilangkan dengan menyedot faring segera setelah
kepala keluar. Menurut pedoman American Heart Association, ini tidak lagi direkomendasikan
(Wycko, 2015). American College of Obstetricians and Gynecologists (2017a) tidak
merekomendasikan pengisapan intrapartum rutin. sebagai alternatif, jika bayi yang baru
dilahirkan terjadi gawat janin akibat menghirup cairan ketuban bercampur meconium, maka
dilakukan intubasi.

You might also like