You are on page 1of 9

Makalah Referat Kedokteran

SENIN, 19 JULI 2010

Demam Typhoid

BAGIAN ILMU PENYAKIT ANAK

FAKULTAS KEDOKTERAN

2005

BAB I

PENDAHULUAN

Demam tifoid adalah suatu penyakit sistemik yang disebabkan oleh Salmonella typhi. Penyakit ini
ditandai oleh panas yang berkepanjangan, di topang dengan bakteremia tanpa terlibat struktur
endotelial atau endokardial dan invasi bakteri sekaligus multiplikasi ke dalam sel fagosit mononuklear
dari hati, limpa, kelenjar limfe usus dan Peyer’s patch. Sampai saat ini demam tifoid masih menjadi
masalah kesehatan masyarakat, serta berkaitan dengan sanitasi yang buruk terutama negara-negara
berkembang.

Di negara-negara berkembang perkiraan angka kejadian demam tifoid bervariasi dari 10 sampai 540 per
100.000 penduduk. Meskipun angka kejadian demam tifoid turun dengan adanya sanitasi pembuangan
di berbagai negara berkembang, diperkirakan setiap tahun masih terdapat 35 juta kasus dengan 500.000
kematian terdapat di dunia. Di Indonesia demam tifoid masih merupakan penyakit endemik dengan
angka kejadian yang masih tinggi. Di antara penyakit yang tergolong penyakit infeksi usus, demam tifoid
menduduki urutan kedua setelah gastroenteritis.

BAB II

URAIAN

Etiologi

Salmonella typhi sama dengan Salmonella yang lain adalah bakteri Gram-negatif, mempunyai flagela,
tidak berkapsul, tidak membentuk spora fakultatif anaerob. Mempunyai antigen somatik (O) yang terdiri
dari oligosakarida, flagelar antigen (H) yang terdiri dari protein dan envelope antigen (K) yang terdiri
polisakarida. Mempunyai makromolekular lipopolisakarida kompleks yang membentuk lapis luar dari
dinding sel da dinamakan endotoksin. Salmonella typhi juga dapat memperoleh plasmid faktor-R yang
berkaitan dengan resistensi terhadap multipel antibiotik.

Patogenesis

Salmonella typhi hanya dapat menyebabkan gejala demam tifoid pada manusia. Salmonella typhi
termasuk bakteri famili Enterobacteriaceae dari genus Salmonella. Kuman berspora, motile,
berflagela,berkapsul, tumbuh dengan baik pada suhu optimal 37ºC (15ºC-41ºC), bersifat fakultatif
anaerob, dan hidup subur pada media yang mengandung empedu. Kuman ini mati pada pemanasan
suhu 54,4ºC selama satu jam, dan 60ºC selama 15 menit, serta tahan pada pembekuan dalam jangka
lama. Salmonella memunyai karakteristik fermentasi terhadap glukosa dan manosa, namun tidak
terhadap laktosa dan sukrosa.

Patogenesis demam tifoid secara garis besar terdiri dari 3 proses, yaitu (1) proses invasi kuman S.typhi ke
dinding sel epitel usus, (2) proses kemampuan hidup dalam makrofag dan (3) proses berkembang
biaknya kuman dalam makrofag. Akan tetapi tubuh mempunyai beberapa mekanisme pertahanan untuk
menahan dan membunuh kuman patogen ini, yaitu dengan adanya (1) mekanisme pertahanan non
spesifik di saluran pencernaan, baik secara kimiawi maupun fisik, dan (2) mekanisme pertahanan spesifik
yaitu kekebalan tubuh humoral dan selular.

Kuman Salmonella typhi masuk ke dalam tubuh manusia melalui mulut bersamaan dengan makanan dan
minuman yang terkontaminasi. Setelah kuman sampai di lambung maka mula-mula timbul usaha
pertahanan non-spesifik yang bersifat kimiawi yaitu adanya suasana asam oleh asam lambung dan enzim
yang dihasilkannya. Ada beberapa faktor yang menentukan apakah kuman dapat melewati barier asam
lambung, yaitu (1) jumlah kuman yang masuk dan (2) kondisi asam lambung.

Untuk menimbulkan infeksi diperlukan S.typhi sebanyak 105-109 yang tertelan melalui makanan atau
minuman. Keadaan asam lambung dapat menghambat multiplikasi Salmonella dan pada pH 2,0 sebagian
besar kuman akan terbunuh dengan cepat. Pada penderita yang mengalami gastrotektomi,
hipoklorhidria atau aklorhidria maka akan mempengaruhi kondisi asam lambung. Pada keadaan tersebut
S.typhi lebih mudah melewati pertahanan tubuh.

Sebagian kuman yang tidak mati akan mencapai usus halus yang memiliki mekanisme pertahanan lokal
berupa motilitas dan flora normal usus. Tubuh berusaha menghanyutkan kuman keluar dengan usaha
pertahanan tubuh non spesifik yaitu oleh kekuatan peristaltik usus. Di samping itu adanya bakteri
anaerob di usus juga akan merintangi pertumbuhan kuman dengan pembentukan asam lemak rantai
pendek yang akan menimbulkan suasana asam. Bila kuman berhasil mengatasi mekanisme pertahanan
tubuh di lambung, maka kuman akan melekat pada permukaan usus. Setelah menembus epitel usus,
kuman akan masuk ke dalam kripti lamina propria, berkembang biak dan selanjutnya akan difagositosis
oleh monosit dan makrofag. Namun demikian S.typhi dapat bertahan hidup dan berkembang biak dalam
fagosit karena adanya perlindungan oleh kapsul kuman.

Pendekatan Diagnosis Demam Tifoid


Demam tifoid pada anak biasanya memberikan gambaran klinis yang ringan bahkan asimtomatik.
Walaupun gejala klinis sangat bervariasi namun gejala yang timbul setelah inkubasi dapat dibagi dalam
(1) demam, (2) gangguan saluran pencernaan, dan (3) gangguan kesadaran. Timbulnya gejala klinis
biasanya bertahap dengan manifestasi demam dan gejala konstitusional seperti nyeri kepala, malaise,
anoreksia, letargi, nyeri dan kekakuan abdomen, pembesaran hati dan limpa, serta gangguan status
mental. Sembelit dapat merupakan gangguan gastointestinal awal dan kemudian pada minggu ke-dua
timbul diare. Diare hanya terjadi pada setengah dari anak yang terinfeksi, sedangkan sembelit lebih
jarang terjadi. Dalam waktu seminggu panas dapat meningkat. Lemah, anoreksia, penurunan berat
badan, nyeri abdomen dan diare, menjadi berat. Dapat dijumpai depresi mental dan delirium. Keadaan
suhu tubuh tinggi dengan bradikardia lebih sering terjadi pada anak dibandingkan dewasa. Rose spots
(bercak makulopapular) ukuran 1-6 mm, dapat timbul pada kulit dada dan abdomen, ditemukan pada
40-80% penderita dan berlangsung singkat (2-3 hari). Jika tidak ada komplikasi dalam 2-4 minggu, gejala
dan tanda klinis menghilang namun malaise dan letargi menetap sampai 1-2 bulan.

Gambaran klinis lidah tifoid pada anak tidak khas karena tanda dan gejala klinisnya ringan bahkan
asimtomatik. Akibatnya sering terjadi kesulitan dalam menegakkan diagnosis bila hanya berdasarkan
gejala klinis. Oleh karena itu untuk menegakkan diagnosis demam tifoid perlu ditunjang pemeriksaan
laboratorium yang diandalkan. Pemeriksaan laboratorium untuk membantu menegakkan diagnosis
demam tifoid meliputi pemeriksaan darah tepi, bakteriologis, dan serologis. Dalam kepustakaan lain
disebutkan bahwa pemeriksaan laboratorium untuk menegakkan diagnosis demam tifoid dibagi dalam
tiga kelompok, yaitu (1) isolasi kuman penyebab demam tifoid melalui biakan kuman dari spesimen
penderita, seperti darah, sumsum tulang, urin, tinja, cairan duodenum dan rose spot, (2) uji serologi
untuk mendeteksi antibodi terhadap antigen S.typhi dan menentukan adanya antigen spesifik dari
Salmonella typhi, dan (3) pemeriksaan melacak DNA kuman S.typhi.

Patogenesis perubahan gambaran darah tepi pada demam tifoid masih belum jelas, umumnya ditandai
dengan leukopenia, limfositosis realtif dan menghilangnya eosinofil (aneosinofilia). Dahulu dikatakan
bahwa leukopenia mempunyai nilai diagnostik yang penting, namun hanya sebagian kecil penderita
demam tifoid mempunyai gambaran tersebut. Diduga leukopenia disebabkan oleh destruksi leukosit oleh
toksin dalam peredaran darah.

Diagnosis demam tifoid dengan biakan kuman sebenarnya amat diagnostik namun identifikasi kuman
S.typhi memerlukan waktu 3-5 hari. Biakan darah seringkali positif pada awal penyakit sedangkan biakan
urin dan tinja, positif setelah terjadi septikemia sekunder. Biakan sumsum tulang dan kelenjar limfe atau
jaringan retikulo endotelial lainnya sering masih positif setelah darah steril. Pemeriksaan Widal,
meskipun kegunaannya masih banyak diperdebatkan, jika interpretasi dilakukan dengan hati-hati dan
memperdebatkan sensitivitas, spesifitas, serta perkiraan nilai Widal pada laboratorium dan populasi
setempat, maka angka Widal cukup bermakna.

Diagnosis pasti demam tifoid bila ditemukan kuman S.typhi dari darah, urin, tinja, sumsum tulang, cairan
duodenum atau rose spots. Berkaitan dengan patogenesis, maka kuman lebih mudah ditemukan di
dalam darah dan sumsum tulang di awal penyakit, sedangkan pada stadium berikutnya didalam urin dan
tinja. Hasil biakan yang positif memastikan demam tifoid, namun hasil negatif tidak menyingkirkan
demam tifoid, karena hasilnya tergantung beberapa faktor. Faktor tersebut adalah (1) jumlah darah yang
diambil, (2) perbandingan volume darah dan media empedu, serta (3) waktu pengambilan darah. Untuk
menetralisir efek bakterisidal oleh antibodi atau komplemen yang dapat menghambat kuman
pertumbuhan kuman, maka darah harus diencerkan 5-10 kali. Waktu pengambilan darah paling baik
adalah pada saat demam tinggi atau sebelum pemakaian antibiotik, karena 1-2 hari setelah diberi
antibiotik kuman sudah sukar ditemukan di dalam darah.

Biakan darah positif ditemukan pada 75-80% penderita pada minggu pertama sakit, sedangkan pada
akhir minggu ke-tiga, biakan darah positif hanya pada 10% penderita. Setelah minggu ke-empat penyakit,
sangat jarang ditemukan kuman di dalam darah. Bila terjadi relaps, maka biakan darah akan positif
kembali.

Biakan sumsum tulang sering tetap positif selama perjalanan penyakit dan menghilang pada fase
penyembuhan.

Pengobatan antibiotik akan mematikan kuman di dalam darah beberapa jam setelah pemberian,
sedangkan kuman di dalam sumsum tulang lebih sukar dimatikan. Oleh karena itu pemeriksaan biakan
darah sebaiknya dilakukan sebelum pemberian antibiotik.

Walaupun metoda biakan kuman S.typhi sebenarnya amat diagnostik namun memerlukan waktu 3-5
hari. Biakan kuman ini sulit dilakukan di tempat pelayanan kesehatan sederhana yang tidak memiliki
sarana laboratorium lengkap.

Uji serologi standar yang rutin digunakan untuk mendeteksi antibodi terhadap kuman S.typhi yaitu uji
Widal. Uji telah digunakan sejak tahun 1896. Pada uji Widal terjadi reaksi aglutinasi antara antigen
kuman S.typhi dengan antibodi yang disebut aglutinin. Prinsip uji Widal adalah serum penderita dengan
pengenceran yang berbeda ditambah dengan antigen dalam jumlah yang sama. Jika pada serum
terdapat antibodi maka akan terjadi aglutinasi. Pengenceran tertinggi yang masih menimbulkan
aglutinasi menunjukkan titer antibodi dalam serum.

Pada demam tifoid mula-mula akan terjadi peningkatan titer antibodi O. Antibodi H timbul lebih lambat,
namun akan tetap menetap lama sampai beberapa tahun, sedangkan antibodi O lebih cepat hilang. Pada
seseorang yang telah sembuh, aglutinin O masih tetap dijumpai setelah 4-6 bulan, sedangkan aglutinin H
menetap lebih lama antara 9 bulan – 2 tahun. Antibodi Vi timbul lebih lambat dan biasanya menghilang
setelah penderita sembuh dari sakit. Pada pengidap S.typhi, antibodi Vi cenderung meningkat. Antigen
Vi biasanya tidak dipakai untuk menentukan diagnosis infeksi, tetapi hanya dipakai untuk menentukan
pengidap S.typhi.

Di Indonesia pengambilan angka titer O aglutinin ≥ 1/40 dengan memakai uji widal slide aglutination
menunjukkan nilai ramal positif 96%. Banyak senter mengatur pendapat apabila titer O aglutinin sekali
periksa ≥ 1/200 atau pada titer sepasang terjadi kenaikan 4 kali maka diagnosis demam tifoid dapat
ditegakkan. Aglutinin H banyak dikaitkan dengan pasca imunisasi atau infeksi masa lampau, sedang Vi
aglutinin dipakai pada deteksi pembawa kuman Salmonella typhi (karier). Meskipun uji serologi Widal
untuk menunjang diagnosis demam tifoid telah luas digunakan di seluruh dunia, namun manfaatnya
masih menjadi perdebatan. Sampai saat ini uji serologi Widal sulit dipakai sebagai pegangan karena
belum ada kesepakatan akan nilai standar aglutinasi (cut off point). Interpretasi pemeriksaan Widal harus
hati-hati karena banyak faktor yang mempengaruhi antara lain stadium penyakit, pemberian antibiotik,
teknik laboratorium, gambaran imunologis dari masyarakat setempat (daerah endemis atau non
endemis), riwayat mendapat imunisasi sebelumnya, dan reaksi silang.

Komplikasi

Komplikasi yang dapat terjadi pada demam tifoid adalah komplikasi intestinal berupa perdarahan sampai
perforasi usus. Perforasi terjadi pada 0,5-3% dan perdarahan usus yang berat ditemukan pada 1-10%
anak dengan demam tifoid. Komplikasi ini biasanya terjadi pada minggu ke-3 sakit. Komplikasi ini
umumnya didahului dengan suhu tubuh dan tekanan darah menurun, disertai dengan peningkatan
denyut nadi. Perforasi jarang terjadi tanpa adanya perdarahan sebelumnya dan sering terjadi di ileum
bagian bawah. Perforasi biasanya ditandai dengan peningkatan nyeri abdomen, kaku abdomen, muntah-
muntah, nyeri pada perabaan abdomen, defence muskular, hilangnya keredupan hepar dan tanda-tanda
peritonitis yang lain.

Adanya komplikasi neuropsikiatri. Sebagian besar bermanifestasi gangguan kesadaran, diorientasi,


delirium, obtudansi, stupor bahkan koma. Hepatitis tifosa asimtomatik dapat dijumpai pada kasus
demam tifoid dengan ditandai peningkatan kadar transaminase yang tidak mencolok. Ikterus dengan
atau tanpa disertai kenaikan kadar transaminase maupun kolesistitis akut juga dapat dijumpai, sedang
kolesistitis kronik yang terjadi pada penderita setelah mengalami demam tifoid dapat dikaitkan dengan
adanya batu empedu dan fenomena pembawa kuman (karies).

Sistitis dan pielonefritis dapat juga merupakan penyulit demam tifoid. Proteinuria transien sering
dijumpai, sedangkan glomerulonefritis yang dapat bermanifestasi sebagai gagal ginjal maupun sindrom
nefrotik mempunyai prognosis buruk. Pneumonia sebagai komplikasi sering dijumpai pada demam tifoid,
seringkali akibat infeksi sekunder oleh kuman lain.

Komplikasi lain yang juga dapat terjadi adalah enselopati, trombosis serebral, ataksia, dan afasia,
trombositopenia, koagulasi intrvaskular diseminata, Hemolytic Uremic Syndrome, fokal infeksi di
beberapa lokasi sebagai akibat bakteremia misalnya infeksi pada tulang, otak, hati, limpa, otot, kelenjar
ludah dan persendian. Dilaporkan pula komplikasi berupa orkitis, endokarditis, osteomielitis, artritis,
parotitis, pankreatitis, dan meningitis.

Relaps yang didapat pada 5-10% kasus demam tifoid saat era pre antibiotik, sekarang lebih jarang
ditemukan. Apabila terjadi relaps, demam timbul kembali seminggu setelah penghentian antibiotik. Pada
umumnya relaps lebih ringan dibandingkan gejala demam tifoid sebelumnya.

Gambaran Darah Tepi

Anemia normokrom normositik terjadi sebagai akibat perdarahan usus atau supresi pada sumsum tulang
jumlah leukosit rendah, namun jarang di bawah 3000 /µl³. Apabila terjadi abses piogenik maka jumlah
leukosit dapat meningkat mencapai 20.000-25.000 /µl³. Trombositopenia sering dijumpai, kadang-
kadang berlangsung beberapa minggu.

Penatalaksananaan

Pengobatan terhadap demam tifoid merupakan gabungan antara pemberian antibiotik yang sesuai,
perawatan penunjang termasuk pemantauan, manajemen cairan, serta pengenalan dini dan tata laksana
terhadap adanya komplikasi (perdarahan usus, perforasi dan gangguan hemodinamik).

Pengobatan akan berhasil dengan baik bila penegakan diagnosis dilakukan dengan tepat. Demam lebih
dari 7 hari disertai gejala gastointestinal, pada anak usia di atas 5 tahun, tanpa gejala penyerta lain,
dapat dicurigai menderita demam tifoid.

Pemilihan antibiotik sebelum dibuktikan adanya infeksi Samonella dapat dilakukan secara empiris
dengan memenuhi kriteria berikut (1) spektrum sempit, (2) penetrasi ke jaringan cukup, (3) cara
pemberian mudah untuk anak, (4) tidak mudah resisten, (5) efek samping minimal, dan (6) adanya bukti
efikasi klinis.

Saat redanya demam (time of fever defervescence) merupakan parameter keberhasilan pengobatan, dan
saat tersebut menentukan efektifitas antibiotik. Bila suhu turun, berarti membaik, sedang bila menetap
mungkin ada infeksi lain, komplikasi, atau kuman penyebab adalah MDRST (multidrug resistant S.typhi)

Penggunaan antibiotik yang dianjurkan selama ini adalah sebagai berikut :

1. Lini pertama

a. Kloramfenikol, masih merupakan pilihan pertama dalam urutan antibiotik, diberikan dengan dosis 50-
100 mg/kgBB/hari secara intravena dalam 4 dosis selama 10-14 hari. Banyak penelitian membuktikan
bahwa obat ini masih cukup sensitif untuk Salmonella typhi namun perhatian khusus harus diberikan
pada kasus dengan leukopenia (tidak dianjurkan pada leukosit <2000/ul)>

b. Ampisilin dengan dosis 150-200 mg/kgBB/hari diberikan peroral/iv selama 14 hari, atau

c. Kotrimoksazol dengan dosis 10 mg/kgBB/hari trimetoprim, dibagi 2 dosis, selama 14 hari.

2. Lini ke dua, diberikan pada kasus-kasus demam tifoid yang disebabkan S.typhi yang resisten terhadap
berbagai obat (MDR=multidrug resistance), yang terdiri atas :

a. Seftriakson dengan dosis 50-80 mg/kgBB/hari, dosis tunggal selama 10 hari . Penyembuhan sampai
90% juga dilaporkan pada pengobatan 3-5 hari.

b. Sefiksim dengan dosis 10-12 mg/kgBB/hari peroral, dibagi dalam 2 dosis selama 14 hari, adalah
alternatif pengganti seftriakson yang cukup handal.

c. Florokinolon dilaporkan lebih superior daripada derivat sefalosporin diatas, dengan angka
penyembuhan mendekati 100% dalam kesembuhan kinis dan bakteriologis, di samping kemudahan
pemberian secara oral. Namun pemberian obat ini masih kontroversial dalam pemberian untuk anak
mengingat adanya pengaruh buruk terhadap pertumbuhan kartilago.

Siprofloksasin, 10 mg/kgBB/hari dalam 2 dosis, sudah dipakai untuk pengobatan. Demam biasanya turun
dalam 5 hari. Lama pemberian obat dianjurkan 2-10 hari. Penggunaan obat-obat ini dianjurkan pada
kasus demam tifoid dengan MDR.

d. Asitromisin dengan pemberian 5-7 hari juga telah dicoba dalam beberapa penelitian dengan hasil baik,
berupa penurunan demam sebelum hari ke 4. Aztreonam juga diuji pada beberapa kasus demam tifoid
pada anak dengan hasil baik, namun tidak dianjurkan sebagai pengobatan lini pertama.

Pengobatan suportif akan sangat sangat menentukan keberhasilan pengobatan demam tifoid dengan
antibiotik. Pemberian cairan dan kalori yang adekuat sangat penting. Penderita demam tifoid sering
menderita demam tinggi, anoreksia dan diare, sehingga keseimbangan cairan sangat penting
diperhatikan. Pemberian antipiretik masih kontroversial, di satu pihak demam diperlukan untuk
efektifitas respons imun dan pemantauan keberhasilan pengobatan, namun di pihak lain ketakutan akan
terjadinya kejang dan kenyamanan anak terganggu, sering membutuhkan pemberian antipiretik.
Dianjurkan pemberian antipiretik bila suhu di atas 38,5ºC.

Terapi dietetik pada anak dengan demam tifoid tidak seketat penderita dewasa. Makanan bebas serat
dan mudah dicerna dapat diberikan. Setelah demam turun, dapat diberikan makanan lebih padat
dengan kalori yang adekuat.

Pengobatan terhadap demam tifoid dengan antibiotik memerlukan acuan data adanya angka kejadian
demam tifoid yang bersifat MDR. Pemberian kortikosteroid juga dianjurkan pada demam tifoid berat,
misalnya bila ditemukan status kesadaran delir, stupor, koma, ataupun syok. Deksametason diberikan
dengan dosis awal 3 mg/kbBB, diikuti dengan 1 mg/kgBB setiap 6 jam selama 2 hari.

Pencegahan terhadap demam tifoid dilakukan dengan memperbaiki sanitasi lingkungan dan perilaku
sehari-hari, serta imunisasi secara aktif dengan vaksin terhadap demam tifoid. Beberapa jenis vaksin
telah beredar di Indonesia saat ini.

Pencegahan

Secara umum, untuk memperkecil kemungkinan tercemar S.typhi, maka setiap individu harus
memperhatikan kualitas makanan dan minuman yang mereka konsumsi. Salmonella typhi di dalam air
akan mati apabila dipanasi setinggi 57ºC untuk beberapa menit atau dengan proses iodinasi/klorinasi.

Untuk makanan, pemanasan sampai suhu 57ºC beberapa menit dan secara merata juga dapat
mematikan kuman Salmonella typhi. Penurunan endemisitas suatu negara/daerah tergantung pada baik
buruknya pengadaan sarana air dan pengaturan pembuangan sampah serta tingkat kesadaran individu
terhadap higiene pribadi. Imunisasi aktif dapat membantu menekan angka kejadian demam tifoid.

Vaksin Demam Tifoid


Saat sekarang dikenal tiga macam vaksin untuk penyakit demam tifoid, yaitu yang berisi kuman yang
dimatikan, kuman hidup dan komponen Vi dari Salmonella typhi. Vaksin yang berisi kuman Salmonella
typhi hidup yang dilemahkan (Ty-21a) diberikan peroral tiga kali dengan interval pemberian selang
sehari, memberi daya perlindungan 6 tahun. Vaksin ini diberikan pada anak berumur diatas 2 tahun.
Vaksin yang berisi komponen Vi dari Salmonella typhi diberikan secara suntikan intramuskular
memberikan perlindungan 60-70% selama 3 tahun.

Prognosis

Penyembuhan sempurna adalah peran pada anak sehat yang berkembang gastroenteritis Salmonella.
Bayi muda dan penderita dengan gangguan imun sering mempunyai keterlibatan sistemik, dalam
perjalanan penyakit yang lama, dan komplikasi. Prognosis jelek pada anak dengan meningitis Salmonella
(angka mortalitas 50%) atau endokarditis.

KESIMPULAN

Tatalaksana kasus demam tifoid pada anak harus didasari strategi yang sesuai dengan patogenesis
penyakti tersebut. Kegagalan pengobatan tidak selalu berarti antibiotik yang diberikan sudah resisten,
dapat juga merupakan kesalahan strategi sejak awal tata laksana dalam diagnosis sampai pemantauan

DAFTAR PUSTAKA

1. Widodo Darmowandoyo. Demam Tifoid. Dalam Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak Infeksi dan Penyakit
Tropis. Edisi pertama. 2002. Jakarta ;Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI: 367-375

Alan R. Tumbelaka. Diagnosis dan Tata laksana Demam Tifoid. Dalam Pediatrics Update. Cetakan
pertama. 2003. Jakarta ;Ikatan Dokter Anak Indonesia: 37-46

SILAHKAN DINIKMATI, BUKAN BUATAN SENDIRI, HANYA ARSIP DARI SENIOR

Makalah Referat Kedokteran di 03.54

Berbagi

2 komentar:

ladymarple5 Desember 2011 07.23


makasih makasih banyak

Balas

Obat Demam Tifoid Alami29 Juni 2015 20.12

terimakasih nih pembahasannya...

Balas

Beranda

Lihat versi web

MENGENAI SAYA

Foto saya

Makalah Referat Kedokteran

Lihat profil lengkapku

Diberdayakan oleh Blogger.

You might also like