You are on page 1of 13

BAB II

ANALISA OBAT DALAM CAIRAN HAYATI

I. TUJUAN
Agar mahasiswa dapat memahami langkah-langkah analisis obat didalam
cairan hayati
II. DASAR TEORI
Parameter farmakoterapi obat diperoleh berdasarkan hasil pengukuran
kadar obat utuh dan / metabolitnya didalam cairan hayati ( darah, urin, saliva,
atau cairan tubuh lainnya). Dalam praktikum ini dilakukan penentuan jangka
waktu larutan obat yang memberikan resapan tetap (khusus untuk reaksi warna),
pembuatan kurva baku, perhitingan nilai perolehan kembali, kesalahan acak dan
kesalahan sistemik. Parameter farmakokinetika obat diperoleh berdasarkan hasil
pengukuran kadar obat utuh atau metabolitnya didalam cairan hayati (darah, urin,
salaiva, atau cairan tubuh lainnya). Dalam praktikum ini dilakukan penentuan jangka
waktu larutan obat yanag memberikan resapan tetap (khusus untuk reaksi warna),
pembuatan kurva baku, perhitingan nilai perolehan kembali, kesalahan acak dan
kesalahan sistemik.
Kerja suatu obat merupakan hasil dari banyak proses dan kebanyakan
prosesnya sangat rumit. Sebelum obat mencapai tujuannya dalam tubuh yaitu
tempat kerja (target of site) obat terlebih dahulu mengalami beberapa proses.
Fase yang pertama adalah fase farmasetik yang meliputi hancurnya bentuk
sediaan obat dan melarutnya bahan obat, dimana bentuk sediaan obat padat
banyak digunakan. Yang kedua fase farmakokinetika, farmakokinetika adalah
ilmu yang mempelajari tubuh, dan eliminasi melalui proses metabolisme dan atau
ekskresi. Hipotesis dasar farmakokinetika adalah mengetahui hubungan antara
efek farmakologis atau respons toksik dengan konsentrasi obat yang dicapai pada
sirkulasi sistemik. Penerapan farmakokinetik bertujuan untuk meningkatkan
efektivitas terapi atau menurunkan efek samping dan toksisitas obat pada pasien.
Efek obat selalu dihubungkan dengan konsentrasi obat pada tempat aksinya atau
reseptornya. Tempat aksi obat dapat berada secara luas di dalam tubuh, misalnya
di jaringan, oleh karena itu tidak mungkin mengukur langsung konsentrasi obat
dalam plasma, urin, saliva dan cairan tubuh yang mudah pengambilannya,
diupayakan untuk menggambarkan prediksi hubungan antara konsentrasi obat
dalm plasma dengan konsentrasi obat pada tempat aksinya. Sifat homogenitas
kinetik adalah penting untuk dipakai sebagai asumsi dalam penerapan
farmakokinetika yaitu sebagai dasar untuk menegakkan konsentrasi obat dalam
plasma pada rentang terapi. Dalam arti sempit farmakokinetik khususnya
mempelajari perubahan-perubahan konsentrasi dari obat dan metabolisme
didalam darah dan jaringan sebagai fungsi dari waktu. Proses setelah obat
diabsorbsi disebut juga disposisi dan proses biotransformasi dan ekskresi disebut
juga eliminasi. Ketiga fase farmakodinamika merupakan interaksi obat-reseptor
dan juga proses-proses yang terlibat dimana akhir dari efek farmakologi terjadi
(Aslam dkk, 2003;Mutchler, 1986).
Beberapa faktor yang dapat menyebabkan variabilitas tercapainya
konsentrasi obat dalam plasma yang berakibat pada variabilitas respons
farmakologinya : perbedaan dalam proses absorbsi, distribusi, metabolisme dan
ekskresi atau eliminasi (ADME), status penyakit, patofisiologi,fisiologis dan
interaksi obat. Penggunaan farmakokinetika untuk menegakkan aturan dosis
dengan mengetahui status penderita serta hubungan antara efek terapi dan
konsentrasi obat dalam plasma dalam upaya mencapai efektivitas terapi yang
maksimal sangatlah diperlukan (Aslam dkk, 2003).

Faktor-faktor penentu dalam proses farmakokinetika adalah :

a. Sistem kompartemen dalam cairan tubuh, seperti cairan intrasel, ekstrasel (plasma
darah,cairan interstitial, cairan cerebrospinal), dan berbagai fasa lipofil dalam tubuh.
b. Protein plasma, protein jaringan dan berbagai senyawa biologis yang mungkin dapat
mengikat obat.
c. Distribusi obat dalam berbagai system kompartemen biologis, terutama hubungan
waktudan kadar obat dalam berbagai system tersebut, yang sangat menentukan
kinetika obat.
d. Dosis sediaan obat, transport antar kompartemen seperti proses absorbsi, bioaktivasi,
biodegradasi dan ekskresi yang menetukan lama obat dalam tubuh.

Agar nilai parameter obat dapat dipercaya, metode penetapan kadar harus
memenuhi berbagai kriteria yaitu meliputi perolehan kembali, presisi dan
akurasi. Menurut literatur, nilai recovery yang baik adalah diatas 90% dan untuk
suatu metode yang harus melalui proses preparasi sampel yang cukup panjang
misalnya dengan ekstraksi, maka recovery yang dicapai hendaknya tidak kurang
dari 75% sedangkan nilai kesalahan sistematik suatu metode hendaknya tidak
lebih dari 20%, nilai presisi yang baik harus kurang dari 20% (hakim, 2010; U.S
Department, 2001). Parameter farmakokinetika sangat penting karena dapat
menggambarkan seberapa besar obat diabsorbsi, seberapa tepat obat dieliminasi,
seberapa besar efek terapeutik dan ketoksisikan suatu obat. Oleh karena itu agar
parameter dapat dipercaya, metode yang digunakan dalam menentukan kadar
obat yang digunakan adalah Ketelitian (accuracy) dan ketepatan (precision).
Ketelitian (accuracy) ditunjukan oleh kemampuan suatu metode untuk
memberikan hasil pengukuran sedekat mungkin dengan true value (nilai
sesungguhnya). Ketelitian suatu metode dapat dilihat dari perbedaan antara harga
pnetepatan kadar rata-rata dengan harga sebenarnya atau konsentrasi yang di
ketahui. Ketepatan (precision ) menyatakan seberapa dekat nilai hasil dua kali
atau lebih pengulangan pengukuran. Semakin dekat nilai-nilai hasil pengulangan
pengukuran maka semakin tepat pengukuan tersebut :

Metode yang baik memberikan hasil recovery yang tinggi yaitu 75-90% atau
lebih. Ketelitian berkaitan dengan rata-rata. Bila satu hasil itu lebih akurat berarti rata-
rata sama dengan harga sebenarnya, walaupun penyebarannya lebar (luas). Ketepatan
(precision) menggambarkan hasil yang berulang-ulang tidak mengalami perbedaan hasil
(reprodusibilitas data). Ketepatan menunjukkan kedekatan hasil-hasil pengukuran
berulang. Ketepatan pengukuran hendaknya diperoleh melalui pengukuran ulang
(replikasi) dari berbagai konsentrasi obat dan melalui pengukuran ulang kurva
konsentrasi standar yang disiapkan secara terpisah pada hari yang sama. Ketepatan
berhubungan dengan penyebaran harga terhadap rata-rata kecil meskipun karena
kesalahan sistematik, rata-rata berbeda besar dengan harga sebenarnya. Kemudian
dilakukan perhitungan statistik yang sesuai dengan penyebaran data, seperti standar
deviasi atau koefisien variasi.

III. ALAT dan BAHAN


1. Bahan:
a. Asam salisilat
b. HCl 6 N
c. Na2 EDTA
d. Antikoagulan (larutan kalium oksalat 2% dengan dosis 20 mg kalium
oksalat / 10 ml darah).
e. TCA 10%
f. Sampel darah mencit

2. Alat:
a. Pipet volume 1 mL dan 10 mL
b. Spektrofotometri dan cuvet
c. Tabung reaksi
d. Skapel/silet
e. Sentrifuge
f. Rak tabung reaksi
g. Stopwatch
h. Spuit 3 ml dan 5 ml
IV. CARA KERJA
a. Pembuatan kurva baku
Ambil ± 4 ml asam salisilat
dibaca pada spektrofotometri uv vis dengan λ 256 nm

b. Pembuatan Blanko
Ambilah 1 ml Na2EDTA

+ 0.5 ml darah, + 5 ml TCA 10% (untuk deproteinsasi)

sentrifuk 3000 ppm ( 15 menit)

ambilah supernata

amati pada spektrofotometer uv vis λ246 nm

c. Perlakuan
Ambilah 1 ml Na2EDTA

+ 0.5 ml darah, +1 ml sampel ( asam salisilat)

5 ml TCA 10% (untuk deproteinsasi)+


sentrifuge 3000 ppm ( 15 menit)

ambilah supernata

amati pada spektrofotometer uv vis λ246 nm


V. DATA PERCOBAAN
1. Tabel kurva baku As. salisilat
Konsentrasi Nilai ABS
100 0,277
200 0,588
300 0,811
400 1,083

a. kurva baku
a= 0,0295
b= 2, 641 x 10 -3
r= 0,998
b. Persamaan kurva baku
y= bx + a
y= 0,002641 x + 0,0295

2. Tabel konsentrasi dan absorbansi sampel


Replikasi Konsentrasi Abs Kadar P% K.s% K.a%
(ppm)
terukur(ppm)
1 200 0.140 41,84 20,92 79,08 4,32
2 200 0.145 43,73 21,86 78,14
3 200 0.150 45,62 22,81 77,19

1 400 0.100 26,69 6,67 93,33 13,17


2 400 0.105 28,58 7,14 92,86
3 400 0.120 34,26 8,56 91,44

VI. Perhitungan
A. Perhitungan Kadar
1. Konsentrasi 200 ppm
a. Replikasi 1

y = bx + a →
b. Replikasi 2
y = bx + a →

c. Replikasi 3
y = bx + a →

2. Konsentrasi 400 ppm


a. Replikasi 1
y = bx + a →
b. Replikasi 2
y = bx + a →

c. Replikasi 3
y = bx + a →

B. Recovery
1. Konsentrasi 200 ppm

p% =

a. Replikasi 1

p% = x100%

= 20,92%

b. Replikasi 2

p% = x100%

= 21,86%
c. Replikasi 3

p% = x100%

= 22,81%

2. Konsetrasi 400 ppm


a. Replikasi 1

p% = x100%

=6,67%
b. Replikasi 2

p% = x100%

= 7,14%
c. Replikasi 3

p% = x100%

= 8,56%

C. Kesalahan sistematik
1. Konsentrasi 200 ppm
a. Replikassi 1
= 100 - p%
= 100 – 20,92%
= 79.08%
b. Replikasi 2
=100 – 21,86%
=78,14%
c. Replikasi 3
= 100 – 22,81%
=77,19%
2. Konsentrasi 400 ppm
a. Replikasi 1
= 100 – 6,67%
= 93,33%
b. Replikasi 2
= 100 – 7,14%
= 92,86%

c. Replikasi 3
=100 – 8.56%
= 91,44%
D. Kesalahan acak

Kesalahan acak = x100%

1. Konsentrasi 200 ppm

= x100%

= 4,32%
2. Konsentrasi 400 ppm

= x100%

= 13,17%
VII. PEMBAHASAN
Pada praktikum ini cairan hayati yang diambil berupa darah tikus.
Sedangkan sampel yang digunakan yaitu asam salisilat. Asam salisilat
merupakan salah satu obat sebagai antirematik, dimana penggunaannya
memerlukan dosis yang cukup tinggi dan dalam jangka lama. Menurut Roberts&
Morrow(2001); Agrawal(2011) perlunya dilakukan TDM pada penggunaan
salisilat ini disebabkan karena Salisilat dalam plasma terikat dengan protein
plasma (albumin), dimana kapasitas pengikatan ini terbatas sehingga pada kadar
tertentu maka lebih banyak obat yang bebas, akibatnya efek obat lebih sulit
dikontrol.
Cairan hayati yang diambil berupa darah tikus, Darah tikus ditambahkan
Na2EDTA dengan tujuan untuk koagulasi darah agar tidak mengental. Digunakan
cuplikan darah, karena darah sangat relevan. Semua proses obat dalam tubuh
melibatkan darah sebagai media, suatu alat ukur dari organ satu ke organ lain
seperti absorbsi, distribusi, metabolisme, dan ekskresi. Penambahan TCA
berfungsi untuk memberikan suasana asam bagi reaksi diazotasi, sebagai donor
proton untuk reaksi selanjutnya, serta merupakan senyawa yang dapat
menghentikan kerja enzim yang dapat memetabolisme obat sekaligus akan
menyebabkan denaturasi protein plasma. TCA akan mengikat protein dan
mengendapkannya saat sentrifugasi sehingga keberadaan protein tidak
mengganggu pembacaan absorbansi (Lethe dan Syahruddin, 2006).
Setelah disentrifuge akan didapatkan supernatan cairan bening. Cairan
bening yang diambil harus tanpa endapan, hal ini bertujuan untuk mengambil
obat yang bebas dari protein plasma karena obat yang terikat pada protein plasma
tidak akan aktif secara farmakologik sehingga tidak memiliki efek terapeutik atau
dengan kata lain akan dapat menyebabkan data hasil pengamatan tidak valid
(Anggraeni, 2010). Penentuan operating time digunakan untuk megetahui kapan
waktu pembacaan yang dapat menghasilkan absorbansi maksimum yang
menunjukan reaksi sempurna. penetapan maksimun untuk memperoleh yang
memberikan serapan maksimal dalam rentan 500-580 nm. Sedangkan pembuatan
kurva baku serapan vs kadar untuk perhitungan kadar dengan persamaan y=
bx+a. kurva baku yang baik jika nilai r -nya mendekati 1 dikatakan baik.
Pada sampel 200 saat dilakukan pengecekkan kadar menggunakan
spektrofotometer λ246 nm didapatkan nilai absorbansi -0.10, sedangkan pada
sampel 400 didapat nilai absorbansi 0.14 dan nilai r dari kurva baku yaitu 0.998
(hampir mendekati 1) yang berarti masih dianggap baik. adapun syarat untuk
mendapatkan nilai akurasi yang baik, nilai recovery yang didapat harus (75%-
90%) menurut (pasha dkk, 1986). Akan tetapi nilai yang didapat pada percobaan
tidak mencapai syarat yang ditentukan yaitu pada konsentrasi 200ppm (20,92%,
21,86%, dan 22,81%), konstentrasi 400ppm (6,67%, 7,14%, 8,56%). Hal ini
dikarenakan pada saat sentrifugasi harus mampu mengendapkan protein plasma
dan tidak menyebabkan hemolisis pada sampel darah, yaitu pecahnya sel darah
merah sehingga komponen–komponen intra sel keluar tercampur dengan plasma
sehingga tidak mengganggu pada proses absorbansi sampel. Saat pengambilan
supernata hasil sentrifugasi, jangan sampai endapan ikut kembali. Pengukuran
sampel dan larutan harus tepat, pemakaian alat yang baik dan benar sesuai
prosedur kerja, mengkondisikan sampel dan pereaksi tidak terkontaminasi
(Anggraeni,2010). Kesalahan sistematik bersifat konstan dan berhubungan
dengan ketelitian. kesalahan sistematik bersifat konstan dan dapat mengakibatkan
penyimpangan mean. Persyaratan untuk kesalahan sistematik yaitu ≤ 10%.
namun pada praktikum ini nilai kesalahan sistemik yang didapat dari konsentrasi
200ppm ( 79,08%, 78,14%, 77,19%) pada konsentrasi 400ppm (93,33%, 92,86%,
91,44%). Dari nilai yang diperoleh, bahwa hassil pengukuran belum memiliki
akurasi yang baik karena kesalahan sistemik yang didapat ≥10% (pasha dkk,
1986). Kesalahan acak acak dapat digambarkan sebagai kurva normal. Nilai
kesalahan acak yang diperoleh pada konsentrasi 200ppm yaitu 4,32% dan 400
ppm yaitu 13,17%. Pada konsentrassi 200ppm mempunyai nilai presisi yang
baik, akan tetapi konsentrasi 400ppm belum memiliki presisi yang baik, karena
syarat dari nilai kesalahan acak ≤10%. (pasha dkk, 1986).

VIII. KESIMPULAN
Didapat nilai perolehan kembali pada konsentrasi 200ppm (20,92%,
21,86%, dan 22,81%), konstentrasi 400ppm (6,67%, 7,14%, 8,56%). Nilai
kesalahan sistemik konsentrasi 200ppm ( 79,08%, 78,14%, 77,19%) pada
konsentrasi 400ppm (93,33%, 92,86%, 91,44%). Nilai kesalahan acak
konsentrasi 200ppm yaitu 4,32% dan 400 ppm yaitu 13,17%. pengukuran yang
dilakukan belum baik, karena belum memenuhi persyaratan parameter.
DAFTAR PUSTAKA

Aslam, M., Tan, C. K., Prayitno, A. (2003). Farmasi Klinis (Clinical Pharmacy),
Menuju Pengobatan Rasional dan Penghargaan Pilihan Pasien. Jakarta:
Elex Media Komputindo. Hal. 18.

Anggraeni, I.I., 2010, Penetapan Kadar Mendroksiprogesteron Asetat dalam Plasma


Secara In Vitro dengan KCKT, Skripsi : Universitas Negri Syarif

Hakim, L. 2010. Farmakokinetik. Yogyakarta: Bursa Ilmu


Mutchler, Jane F. 1986. Empirical Evidence Regarding the Auditor’s Going
concern. Auditing: A Journal of Practice & Theory. Vol.8, No.1: 148 -164.

Simaremare Pinondang, R.H. 2013. Pengaruh Jus Buah Durian (Durio Zibethinus
Murr). Terhadap Profil Farmakokinetik Parasetamol Pada Tikus Putih (Rattus
Norvegicus) Jantan Galur Wistar. Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran

U.S Department of Health and Human Services. 2001. Guidance for Industry,
Bioanalytical Method Validation. Halaman 5-6.
.
Wulansari Noviana. 2009. Pengaruh Perasan Buah Apel (Maulus Domestica Borkh)
Fuji Rrc Terhadap Farmakokinetika Parasetamol Yang Diberikan Bersama
Secara Oral Pada Kelinci Jantan. Fakultas Farmasi Universitas
Muhammadiyah Surakarta

You might also like