You are on page 1of 10

BAB IV PEMBAHASAN

IV.1 Perencanaan Tempat

Dalam perencanaan area untuk pembuatan landasan pacu dilakukan beberapa pertimbangan.
Faktor-faktor yang dipertimbangkan oleh kami pada penentuan lokasi landasan pacu dibagi
menjadi askpek geologi dan aspek non geologi. Pada aspek geologi dibagi lagi menjadi
beberapa kriteria berupa: (1) litologi, (2) slope, dan (3) struktur. Pada aspek non geologi
dibagi lagi menjadi beberapa kriteria berupa: (1) pemukiman, (2) sungai, dan (3) jalan. Pada
perencanaan pembuatan bandara langkah pertama yang dilakukan adalah penentuan kriteria
dan bobot nilai dari kirteria-kriteria yang ditentukan. Kriteria sungai, jalan, dan struktur tidak
masuk ke dalam pembobotan karena ketiga parameter tersebut menjadi parameter pasti
ketidaklayakan daerah. Setelah penentuan kriteria dan bobotnya dilakukan pembuatan buffer
dari kriteria: pemukiman, sungai, jalan, dan struktur.

Setelah dilakukan rasterisasi dari kriteria-kritera yang ditentukan dilakukan analisis


menggunakan metode Weighted Overlay Analysis. Pada metode Weighted Overlay Analysis
kriteria yang digunakan adalah slope, litologi, dan pemukiman

Setelah dilakukan pembobotan dan rasterisasi maka dilakukan pembuatan peta zona tidak layak
yang didapat dari kriteria sungai, jalan dan zona sesar. Pada ketiga kriteria tersebut dilakukan
pembuatan buffer dengan radius tertentu sehingga dapat diketahui zona mana saja yang tidak
layak.

Pembobotan dilakukan dengan nilai ketidaklayakan. Maksudnya adalah semakin tinggi nilai
pembobotan, maka semakin tidak layak tempat tersebut menjadi landasan pacu.

Langkah selajanjutnya dilakukan overlay dari peta tidak layak dengan hasil dari Weighted
Overlay Analysis didapatkan zona layak, zona kurang layak, dan zona tidak layak. Dari zona
layak yang ada, dicari daerah yang memiliki jarak lebih dari sama dengan 1200 m sesuai
dengan kebutuhan minimum landasan pacu untuk pesawat jenis Hercules C-130 (kode 4D).

IV.2 Analisis Tempat Penelitian


Dengan menggunakan kriteria-kriteria yang telah ditentukan dibuat peta-peta menggunakan
metode buffer menggunakan GIS (Gambar IV.1). Dengan mengoverlay peta-peta yang sudah
dibuat maka dapat dtentukan daerah-daerah yang layak, kurang layak, dan tidak layak.

Gambar IV.1 Peta-peta dan buffer yang dibuat berdasarkan kriteria-kriteria yang telah
ditentukan

IV.2.1 Pendefinisian Kriteria Weighted Overlay Analysis

Secara umum terdapat dua jenis ketidaklayakan daerah: tidak layak absolut dan tidak layak
relatif. Tidak layak absolut berarti daerah tersebut benar-benar tidak layak untuk dipakai
walaupun dengan parameter yang mendukung. Tidak layak relatif berarti daerah tersebut
memberi pengaruh terhadap ketidaklayakan sebuah tempat.
Dalam hal ini, kami memasukkan setiap jenis tersebut ke dalam dua aspek: geologi dan
nongeologi. Untuk aspek geologi, zona struktur kami anggap sebagai zona tidak layak absolut
sedangkan untuk litologi dan slope adalah zona tidak layak relatif. Untuk aspek nongeologi,
kami menetapkan sungai dan jalan sebagai zona tidak layak absolut, dan pemukiman sebagai
zona tidak layak relatif.

Tabel IV.1 Pembobotan pada tiap aspek

Bobot 1 (%) Bobot 2 (%) Bobot 3 (%) Bobot 4 (%) Bobot 5(%)
Tets 30 8,1
Tmps 10 2,7
Litologi 30 27 Tmpv 10 2,7
Geologi 90
Tomd 20 5,4
Tomm 30 8,1
Slope 70 63 28
Geologi (Tidak
- Struktur -
Layak)
Non Geologi
(Masuk 10 Pemukiman 100 10 - - 30
Pembobotan)

Sungai
Non Geologi
- -
(Tidak Layak)
Jalan

100 100

IV.2.1.1 Slope

Slope adalah kirteria penting yang mempengaruhi fondasi pembuatan infrastruktur,


aksesibilitas tempat, dan keamanan pesawat. Karena alasan-alasan tersebut maka perlu
ditentukan daerah yang memiliki kemiringan lereng yang landai. Dengan klasifikasi Van
Zuidam maka didapat area yang layak ataupun tidak layak untuk menjadi calon tempat
landasan pacu (Gambar IV.2). Karena kriteria ini merupakan kriteria tidak layak relatif, maka
slope masuk ke dalam pembobotan untuk weighted overlay analysis. Secara umum tidak
dilakukan pembagian kelas-kelas untuk kemiringan karena kami menganggap seluruh
kemiringan memiliki bobot yang sama, sehingga raster slope memiliki bobot 63% terhadap
keseluruhan pembobotan.
Gambar IV.2 Peta Kemiringan Makele Selatan

IV.2.1.2 Litologi

Pada kriteria litologi dilakukan pembobotan berdasarkan resistensi batuan. Data batuan didapat
dari Peta Geologi Lembar Majene dan Bagian Barat Palopo (Djuri dkk, 1998). Resistensi
batuan dibobotkan secara subjektif. Daerah penelitian memiliki kondisi litologi sebagai berikut
(disusun berurutan dari tua ke muda):

1. Formasi Toraja (Tets)

Serpih coklat kemerahan, serpih napalan kelabu, batugamping, batupasir kuarsa,


konglomerat, batugamping, dan setempat batubara. Tebal formasi diduga tidak kurang
dari 1000 m. Fosil foraminifera besar pada batugamping menunjukkan umur Eosen –
Miosen (Budiman, 1981, dalam Simandjuntak, drr., 1993), sedang lingkungan
pengendapannya laut dangkal. Formasi ini menindih tidak selaras Formasi Latimojong
dan ditindih tidak selaras oleh Batuan Gunungapi Lamasi.
2. Formasi Makale (Tomm)

Batugamping terumbu, terbentuk di laut dangkal, umurnya diduga Miosen Awal –


Miosen Tengah.

3. Formasi Date (Tomd)

Napal diselingi batulanau gampingan dan batupasir gampingan; tebal singkapan


mencapai 500 – 1000 m; kandungan foraminifera menunjukkan Oligosen Tengah –
Miosen Tengah dengan lingkungan pengendapan laut dangkal. Di lembar Mamuju
(Ratman dan Atmawinata, 1993) formasi ini disebut Formasi Riu.

4. Formasi Sekala (Tmps)

Batupasir, konglomerat, serpih, tuf, sisipan lava andesitan – basalan; mengandung


foraminifera berumur Miosen Tengah – Pliosen dengan lingkungan pengendapan laut
dangkal; tebalnya sekitar 500 m. Di Lembar Mamuju (Ratman dan Atmawinata, 1993)
formasi ini juga disusun oleh batupasir hijau, napal, napal dan lava bantal, dan sebagian
bercirikan endapan turbidit.

5. Formasi Gunungapi Walimbong (Tmpv)

Lava bersusunan basal sampai andesit, sebagian lava bantal; breksi andesin piroksen,
breksi andesit trakit; mengandung feldspatoid di beberapa tempat; diendapkan di
lingkungan laut; diduga berumur Mio-Pliosen karena menjemari dengan Formasi
Sekala yang berumur Miosen Tengah – Pliosen; tebalnya ratusan meter.

Dari kelima formasi tersebut diambil batuan penyusun utama formasi (disederhanakan)
sehingga Formasi Gunungapi Walimbong disusun oleh batuan beku basal – andesit, Formasi
Sekala disusun oleh batu sedimen dengan sisipan lava, Formasi Date disusun oleh sedimen laut
dalam, Formasi Makale disusun oleh batugamping, dan Formasi Toraja disusun oleh serpih.
Pembobotan dilakukan secara relatif terhadap kekerasan/ketahanan batuan dan dibentuk rasio
pembobotan sebagai berikut (ingat lagi pembobotan tinggi menunjukkan ketidaklayakan
tempat) :

 Tets berbobot 30% karena terbentuk dari serpih, serpih dianggap sangat tidak resisten
sehingga berbobot tinggi.
 Tomm berbobot 30% karena terbentuk dari batugamping terumbu, batugamping juga
dianggap tidak resisten karena pelapukan oleh air intens pada litologi ini.
 Tomd berbobot 20% karena sedimen laut dalam dinilai relatif lebih kuat daripada
batugamping dan serpih.
 Tmps berbobot 10% karena pada batu sedimen terdapat sisipan lava sehingga dinilai
kuat.
 Tmpv berbobot 10% karena merupakan batu beku lava basal – andesit (sangat kuat).

Jika menggunakan klasifikasi batuan oleh Hoek dan Brown (nd) pada Rock Mass Classification
pada gambar di bawah ini. Dapat dilihat dari tabel tersebut bahwa serpih masuk pada batuan
kuat sedang, batugamping pada batuan kuat, batupasir dan basal masuk pada batuan sangat
kuat. Hal ini menunjukkan kesesuaian pembobotan jika dihubungkan secara kekuatan batuan.

Tabel IV.2 Klasifikasi Hoek dan Brown kekuatan batuan


Gambar IV,3 Peta Geologi Makele Selatan

IV.2.1.3 Pemukiman

Pemukiman dalam hal ini adalah satu-satunya aspek non-geologi yang masuk ke dalam
pembobotan, namun hal yang ditinjau dari pemukiman tidak berdampak besar bagi
ketidaklayakan landasan udara darurat. Hal yang ditinjau dari pemukiman adalah kebisingan
atau polusi suara. Menurut Miftahudin (2016), rata-rata jarak kebisingan ke segala arah (utara,
timur, selatan, barat) adalah 1500 m. Namun karena tidak menjadi hal yang berdampak besar
bagi ketidaklayakan, maka pembobotan pemukiman hanya sebesar 10 % dari keseluruhan
pembobotan.

IV.3 Penentuan Daerah Landasan Udara Darurat

Berdasarkan hasil peta tingkat kelayakan terdapat 3 segmen besar yang memungkinkan untuk
menjadi daerah landasan udara darurat:

Segmen 1: daerah dengan luas 1.217 km2 dan memiliki daerah yang panjangnya >= 1200 m,
namun segmen tersebut memiliki daerah daerah yang tidak layak untuk menjadi landasan udara
darurat.
Segmen 2: daerah dengan luas 0.510 km2 dan memiliki panjang >= 1200 m, serta didalam
panjang tersebut tingkat kelayakan relatif baik untuk menjadi landasan udara darurat.

Segmen 3: daerah dengan luas 0.73 km2 dan tidak memiliki panjang yang >= 1200 m serta
didominasi oleh tingkat kelayakan tidak layak.

Maka dari ketiga segmen tersebut yang paling memungkinkan untuk dibangun landasan udara
darurat adalah segmen 2.

2
3

Gambar IV,3 Peta Tingkat Kelayakan daerah Landasan Udara Darurat

IV. 4 Penentuan Klasifikasi

Dari hasil buffering yg didapat maka akan didapatkan titik koordinat:

810414.109,9636081.753

811381.619,9635346.733

811350.710,9635307.232

810380.394,9636042.340
Sehingga dari titik koordinat yang didapatkan akan diperoleh nilai panjang landasan udara
yaitu 1215.629 meter dan lebar landasan udara 51.106 meter. Dari kedua parameter ini dapat
diklasifikasikan berdasarkan Tabel 1 berikut.

Tabel 1 Kode untuk klasifikasi bandara berdasarkan CASA (Civil Aviation Safety Authority).

Maka dari tabel tersebut didapat untuk panjang landasan udara 1215.629 meter terdapat di
Code element 1 dan masuk kedalam Code Number 3 (1200 m up to but not including 1800 m).
Sedangkan untuk nilai lebar landasan udara 51.106 meter terdapat di Code Element 2 dan
masuk kedalam Code letter D (36 m up to but not including 52). Dari klasifikasi Tabel 1 dapat
diperoleh juga nilai lebar landasan udara minimum yang akan di dapat dari klasifikasi Tabel
2.

Tabel 2 Klasifikasi untuk penentuan lebar landasan pacu

Dari Tabel 1 didapat Code Number 3 dan Code letter D, maka diperoleh dari klasifikasi untuk
penentuan lebar landasan udara adalah 45 meter. Jadi dari hasil nilai buffer dengan
menghasilkan panjang 1215.629 meter dan lebar 51.106 meter maka daerah hasil dapat
ditentukan sebagai landasan udara dari hasil klasifikasi yang didapat. Karena apabila nilai yang
didapat tidak sesuai dengan klasifikasi dan mendapatkan nilai strip (-), maka daerah hasil buffer
tersebut tidak dapat digunakan sebagai landasan udara.

You might also like