Professional Documents
Culture Documents
ABSTRAK
LATAR BELAKANG : Asap rokok telah diidentifikasi sebagai penyebab utama
karsinoma rongga mulut. Baru-baru ini, dikembangkan rokok elektronik, alat yang
dioperasikan dengan baterai, untuk membantu perokok menghentikan mereka dari
kecanduan tembakau. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi keamanan
penggunaan rokok elektronik dan menetapkan kemungkinan peran dari alat tersebut
dalam pencegahan primer terjadinya kanker rongga mulut.
SUBYEK DAN METODE : Penelitian ini melibatkan 65 subyek yang dibagi
menjadi 3 kelompok (perokok, perokok e-cigarette, dan bukan perokok). Semua
subyek dilakukan pemeriksaan sitologik dengan cara mengorek mukosa mulut.
Apusan di evaluasi secara mikroskopik melalui tes assay mikronukleus.
HASIL : Prevalensi mikronuklei menurun dengan signifikan pada kelompok
perokok e-cigarette. Tidak ada perbedaan yang signifikan dari distribusi
mikronuklei berdasarkan tipe rokok, jenis kelamin, dan usia.
KESIMPULAN : Penggunaan rokok elektronik tampak aman untuk sel mulut dan
dapat dianjurkan sebagai alat bantu untuk berhenti merokok.
KATA KUNCI : rokok elektronik, e-cigarette, sitologi mulut, mikronuklei,
karsinoma sel skuamosa mulut
Pendahuluan
Kanker mulut merupakan penyebab tertinggi ke-8 dari kematian yang
berhubungan dengan kanker di dunia, dengan 12.7 juta kasus baru dan 7.6 juta
kematian tiap tahunnya. Data epidemiologi terbaru menunjukkan bahwa terdapat
73.000 kasus baru kanker mulut tiap tahunnya di Eropa, dengan angka mortalitas
tahunannya 28.200 (38.6%). Hampir 5840 kasus baru (8%) didiagnosa tiap
tahunnya di Italia, dengan rasio laki-laki/perempuan adalah 2:1 dan usia rata-rata
saat di diagnosis adalah 50 tahun.1
Kanker kepala dan leher merupakan hasil akhir dari mutasi multipel,
menyebabkan jaringan normal berkembang tidak terkontrol dan menginvasi
jaringan sekitar.2 Seringkali, diperlukan beberapa mutasi, dan faktor genetik dan
epigenetik dapat menjadi predisposisi dari suatu tipe spesifik jaringan menjadi
transformasi maligna.3, 4
Karsinoma sel skuamosa mulut (OSCC) merupakan tipe histologi yang paling
lazim dari kanker mulut; tumor maligna dapat berasal dari seluruh jaringan di
rongga mulut, meliputi kanker glandula saliva, sarkoma jaringan lunak dan skeletal,
melanoma, tumor odontogenik maligna, dan neoplasma limforetikular. Prognosis
pasien dengan kanker mulut dipengaruhi dengan stadium penyakit saat di diagnosa.
Angka harapan hidup lima tahun untuk stadium I dan II adalah 80%, dengan
penurunan yang drastis menjadi 20% pada stadium III dan IV.5 Rekurensi
lokoregional mempengaruhi angka harapan hidup, menurunkan angka menjadi
5.10% pada tahun ketiga setelah kemunculannya. Tambahan, pasien dengan OSCC
memiliki peningkatan risiko untuk mengalami tumor primer lainnya di kepala,
leher, dan paru.8
Tembakau dan alkohol memainkan peran yang paling penting dalam
karsinogenesis di kepala dan leher. Asap rokok telah teridentifikasi sebagai
penyebab utama terjadinya tumor tipe ini.9 Perokok memiliki risiko kanker mulut
3.43%, yang sangat bergantung dengan dosisnya, dibandingkan dengan individu
yang tidak pernah merokok.10 Paparan traktus aerodigestif atas dengan tembakau
dan alcohol kemungkinan dapat menyebabkan perubahan premalignant pada dan,
ketika dibandingkan dengan inhibisi gen supresor tumor seperti Tp53,
meningkatkan transformasi maligna dari mukosa kepala dan leher.11, 12 Sayangnya,
mukosa kepala dan leher terpapar konstan dengan substansi yang tidak diketahui
yang dapat menyebabkan perubahan premaligna.13
Rokok tradisional telah dikonsumsi selama berpuluh-puluh tahun sebelum
adanya teori efek karsinogenik dari paparan tembakau terhadap kepala dan leher,
yang ditetapkan maupun disebarkan kepada populasi umum. Bahkan beberapa
tahun setalah adanya data yang jelas mengindikasikan bahaya dari produk
tembakau, beberapa tahun berlalu sebelum penggunaan tembakau dipertimbangkan
sebagai kontributor yang signifikan terhadap terjadinya kanker kepala dan leher.
Berdasarkan keuntungan yang dilaporkan akibat tidak merokok, telah
dikembangkan kampanye pencegahan primer dan telah dipromosikan obat dan alat
yang spesifik.
Rokok elektronik (e-cigarette) merupakan alat terbaru yang dikembangkan
dan diperkenalkan ke pasar rokok untuk membantu perokok mengentikan
kecanduan tembakaunya. Alat yang dioperasikan dengan baterai ini melepaskan
nikotin dalam bentuk aerosol bersamaan dengan beberapa substansi, meliputi
propylene glycol, glyserin sayuran, dan perasa. Keistimewaan kuncinya adalah
bahawa alat ini bebas tembakau dan tidak menghasilkan produk bakaran yang
toksik.
Pemasaran rokok elektronik telah meluas dalam 10 tahun terakhir,14, 15
Hasil
Total 65 subyek dilakukan sitologi rongga mulut untuk deteksi mikronuklei;
23 (35.4%) subyek dimasukkan dalam kelompok A, 22 (33.8%) subyek
dimasukkan dalam kelompok B, dan 20 (30.8%) subyek dimasukkan dalam
kelompok C. Tabel 2 menunjukkan karakteristik demografi dari ketiga kelompok.
Tidak ada perbedaan yang signifikan secara statistik pada usia dan jenis kelamin
dari kelompok tersebut.
ABSTRAK
Latar Belakang: Panduan terkini untuk penanganan otore akut pada anak adalah
dengan pemasangan tympanostomi tube berdasarkan bukti yang ada dari uji coba
klinis dan perbandingan antara pemberian antibiotik oral dan topikal.
Metode: Penelitian ini dilakukan dengan terbuka, uji pragmatik, dimana peneliti
memasukkan 230 anak, dengan usia 1-10 tahun yang mengalami otore akut dengan
pemasangan tabung tympanostomi untuk menerima pengobatan tetes telinga
hydrocortisone-bacitracin colistin (pada 76 anak) atau suspensi amoksilin-
clavulanate oral (77 pasien), atau untuk mendapatkan observasi awal saja (77).
Hasil (outcome) primernya adalah adanya otore yang dinilai dengan otoskop, dalam
2 minggu terakhir setelah dimasukkan dalam penelitian. Outcome sekunder adalah
durasi dari episode awal otore, jumlah hari mengalami otore, dan jumlah otore
berulang dalam 6 bulan terakhir pemantauan, kualitas hidup, adanya komplikasi,
dan efek samping akibat pengobatan.
Hasil: Tetes telinga antibiotik glukokortikoid lebih efektif dibandingkan dengan
pemberian antibiotik oral dan observasi awal dilakukan untuk semua outcome yang
ada. Dalam 2 minggu, 5% anak yang diobati dengan tetes telinga antibiotik
glukokortikoid mengalami otore, dibandingkan dengan 44% pasien yang diobati
dengan antibiotik oral (perbedaan resiko -39 persentase poin; 95% confidence
interval [CI], -51 hingga -26) dan 55% dari pasien yang diobati dengan pemantauan
awal (perbedaan resiko, -49 persentase poin; 95% CI, -61 hingga -37). Nilai median
dari durasi episode awal otore adalah 4 hari untuk anak yang diobati dengan tetes
telinga antibiotik glukokortikoid dan 5 hari pada anak yang diobati dengan
antibiotik oral (P < 0.001). Efek samping terkait pengobatan tergolong ringan, dan
tidak ada komplikasi dari otitis media, termasuk selulitis, perichondritis,
mastoiditis, dan komplikasi intrakranial yang dilaporkan dalam 2 minggu setelah
pengobatan.
Kesimpulan: Tetes telinga antibiotik glukokortikoid lebih efektif dibandingkan
antibiotik oral dan observasi awal pada anak dengan pemasangan tympanostomi
tube yang mengalami otore akut tanpa komplikasi.
Pemasangan tympanostomi tube merupakan salah satu prosedur bedah yang sering
dilakukan pada anak-anak. Indikasi utama pada prosedur ini adalah untuk
pemulihan fungsi pendengaran pada anak yang mengalami otitis media persisten
dengan efusi serta pencegahan rekuren pada anak yang sering mengalami otitis
media akut berulang. Otore akut merupakan dampak yang sering terjadi pada anak
dengan pemasangan tympanostomi tube, dan tingkat kejadian yang dilaporkan
mencapai 26% berdasarkan meta analisis terutama pada penelitian observasional
(termasuk laporan kasus dari otore klinis) hingga 75% berdasarkan uji acak
(termasuk kasus asimptomatik dan subklinik). Otore akibat pemasangan
tympanostomi tube dapat disertai gejala telinga berbau busuk, nyeri, dan demam,
serta dapat mengurangi kualitas hidup pada anak.
Otore akut akibat pemasangan tympanostomi tube kemungkinan terjadi akibat otitis
media akut, terjadi karena drainase pada bagian telinga tengah yang melalui tube.
Infeksi bakteri atau superinfeksi pada telinga tengah dapat dipertimbangkan sebagai
penyebab utama dari otitis media serta otore akut akibat pemasangan tympanostomi
tube. Pengobatan ini bertujuan untuk eradikasi infeksi bakteri, dengan pilihan terapi
berupa pemberian antibiotik oral spektrum luas dan tetes telinga antibiotik dengan
atau tanpa kandungan glukokortikoid.
Beberapa penelitian yang telah dilakukan yaitu membandingkan pemberian
antibiotik oral dan topikal pada anak dengan kondisi penyakit yang sama seperti
penelitian ini baik dengan sampel yang berjumlah sedikit atau dengan beberapa
keterbatasan penelitian. Hasil penelitian ditujukan pada efektivitas antibiotik,
apakah tetes telinga antibiotik glukokortikoid sama efektif atau lebih efektif dari
antibiotik oral. Selain itu, pengobatan topikal jarang menimbulkan efek samping
sistemik dan jarang menyebabkan resistensi mikroba dari otopatogen dibandingkan
dengan pengobatan oral.
Karena otore akut akibat pemasangan tympanostomi tube bersifat self-limiting (bisa
sembuh sendiri), observasi awal dapat menjadi pilihan penanganan yang tepat. Pada
penelitian ini, peneliti membandingkan efektivitas dari tiga strategi untuk penangan
otore akut akibat pemasangan tympanostomi tube pada anak, yaitu pengobatan
dengan tetes telinga antibiotik glukokortikoid, pemberian antiobtik oral, dan
observasi awal.
Metode
Uji dan Pemantauan
Peneliti melakukan penelitian terbuka, pragmatik, randomisasi, dan uji terkontrol.
Semua penulis berperan dalam pelengkapan, akurasi data dan analisis yang
dilakukan untuk viabilitas dari penelitian dan protokol penelitian. Untuk rincian
dari rancangan penelitian dan rencana analisis statistik, dapat dilihat dalam protokol
penelitian yang tersedia dalam artikel lengkap di NEJM.org. Penelitian ini disetujui
oleh komite etik di Universitas Medical Center Utrecht. Tidak ada keterlibatan
komersial dari penelitian ini.
Pasien
Anak yang berusia 1-10 tahun dengan gejala otore akibat pemasangan
tympanostomi tube hingga 7 hari pada saat skrining diikutsertakan dan diminta
persetujuan dalam partisipasinya. Peneliti mengeklusikan anak dengan suhu tubuh
lebih dari 38.5oC, yang sudah menerima pengobatan antibiotik dalam 2 minggu
terakhir, pasien yang mengalami pemasangan tympanostomi tube dalam 2 minggu
terakhir, dan pasien yang mempunyai episode otore pada 4 minggu terakhir, tiga
atau lebih episode otore dalam 6 bulan terakhir, atau 4 kali atau lebih episode otore
dalam 1 tahun terakhir. Peneliti juga mengekslusikan anak dengan Down
Syndrome, Anomali Craniofacial, immunodefisiensi, atau alergi terhadap obat yang
digunakan dalam penelitian.
Perekrutan Pasien
Mulai Juni 2009 sampai Mei 2012, ahli bedah THT dan dokter keluarga memulai
pendekatan pada orang tua dengan anak yang dilakukan pemasangan tympanostomi
tube untuk meminta persetujuan untuk mengikuti penelitian. Tim Penelitian ini
menghubungi orang tua via telepon yang berminat untuk mengikuti penelitian.
Peneliti menginformasikan pada orang tua tentang penelitian, kriteria inklusi serta
ekslusi. Jika anak mengalami otore, maka saat itu juga akan dihubungi via telepon
untuk dapat mengikuti penelitian, dan kunjungan rumah mulai direncanakan untuk
pasien tersebut. Jika tidak ada gejala otore, orang tua anak diminta untuk
menghubungi pusat penelitian setelah gejala otore terjadi, sehingga kunjungan
rumah (home visit) oleh dokter penelitian dapat direncanakan.
Penilaian Dasar
Pada kunjungan rumah, peneliti meminta persetujuan medis dari orang tua,
memastikan adanya gejala otore dengan otoskop, mengambil sampel otore untuk
kultur bakteri, dan mengumpukan data demografis dan data spesifik terkait
penyakit. Orang tua melengkapi Child Health Questionare (CHQ), yang mengukur
kualitas hidup secara umum, dan kuesioner Otitis Media-6 (OM-6), yang mengukur
spesifisitas penyakit terkait kualitas hidup pasien. Skor dari CHQ berkisar antara 1-
35 dan dibagi menjadi 4 bagian, dimana skor yang lebih tinggi menunjukkan tingkat
kualitas hidup yang lebih baik. Skor dari OM-6 berkisar antara 6-42, dimana skor
yang lebih rendah menunjukkan kualitas hidup yang lebih baik.
Pemantauan
Orang tua tetap mencatat pengobatan, efek samping, dan komplikasi yang terjadi
dalam 2 minggu setiap harinya, dan gejala terkait gangguan telinga hingga 6 bulan.
Dalam 2 minggu awal dan 6 bulan akhir, dokter mengunjungi anak di rumah dan
melakukan pemeriksaan otoskopi dan memeriksa catatan orangtua serta
mengumpulkan data berdasarkan catatan tersebut dan kuesioner terkait keadaan
umum dan spesifisitas penyakit pada anak.
Analisis Statistik
Analisis dilakukan dengan menggunakan software SPSS, versi 20, dan Software
Episheet, versi Oktober 2012. Peneliti melakukan semua analisis berdasarkan
prinsip dalam penanganan dan mengecualikan efek samping dari pengobatan,
analisa ini tidak diberitahu kepada kelompok penelitian. Peneliti memasukkan data
dasar dengan menggunakan median yang ada.
Perbandingan utama pada penelitian ini adalah penggunaan tetes telinga antibiotik
glukokortikoid dan pemantauan awal. Untuk perbandingan ini, peneliti menghitung
resiko perbedaan dengan 95% convidence interval dan jumlah yang dibutuhkan
untuk mengobati pasien dengan tujuan mencegah satu kasus otore yang terjadi
dalam 2 minggu terkahir dan dinilai dengan menggunakan otoskop. Untuk
mengontrol uji multipel, pengobatan topikal harus lebih baik dibandingkan yang
lainnya. Dengan memperkirakan efek konservatif sekitar 60%, dengan ambang
batas dua sisi berkisar 5%, yang menunjukkan adanya perbedaan statistik dan
kekuatan nilai statistik mencapai 90%, peneliti memperkirakan bahwa 105 anak
harus dimasukkan ke dalam setiap kelompok untuk penelitian dalam rangka
menunjukkan perbedaan klinis absolut dengan perbedaan persentase 20% antara
kelompok dalam penilaian outcome primer.
Peneliti juga menghitung perbedaan resiko dan 95% confidence interval untuk
perbandingan antara pemberian antibiotik oral dan observasi awal untuk outcome
primer, serta resiko relatif 95% confidence interval untuk semua perbandingan
pengobatan. Dengan menggunakan analisa regresi log-binominal, peneliti
menghitung resiko relatif untuk kemungkinan adanya hubungan klinis dan
perbedan stastik berdasarkan karakteristik dasar.
Untuk outcome sekunder, peneliti melakukan penialai Kurva Kaplan-Meir untuk
menentukan durasi dari episode otore awal pada ketiga kelompok, dan
menggunakan uji log-rank untuk menilai perbedaan pada ketiga kelompok
penelitian. Peneliti menghitung nilai median untuk jumlah hari keseluruhan dari
gejala otore dan jumlah episode otore rekuren dalam 6 bulan pemantauan serta
perubahan dari skor kualitas hidup dalam 2 minggu pemantauan. Perubahan dari
skor OM-6 berkisar antara 1.0-1.4 dipertimbangkan mengalami perubahan sedang,
dan 1,5 atau lebih dipertimbangkan mengalami perbaikan yang lebih. Peneliti
mengevaluasi perbedaan antara ketiga kelompok dengan menggunakan Mann-
Whitney U test.
Analisis Interim
Setelah 2 tahun perekrutan, 150 anak dengan otore akut akibat pemasangan tabung
tympanostomi diacak. Jumlah ini lebih rendah dari pada target yang diharapkan
yaitu 315 anak. Setelah konsultasi dengan pemberi dana, Netherland Organization
for Health Research and Development, peneliti melakukan analisis interim untuk
menilai data independet dari review comitte. Anggota komite tidak diberitahu
tentang penilaian kelompok penelitian saat analisis dan intepretasi data.
Nilai akhir penelitian ini dinilai berdasarkan perbedaan resiko melebihi 20%. Nilai
akhir penelitian dinilai dengan menggunakan Hay bittle-Peto (dimana nilai P < 0.01
dipertimbangkan adanya perbedaan resiko). Karena tingkat keamanaan (resiko efek
samping) bukanlah alasan untuk dilakukannya analisis interim, pasien tetap
dimasukkan dalam penelitian ini. Analisis interim menunjukkan adanya perbedaan
resiko yang kecil pada outcome primer antara pengobatan yang lebih superior dan
pengobatan lainnya dengan nilai persentase -32 (95% Confidence Interval [CI], -48
sampai -17; P<0.001). Pada 21 Mei 2012, komite menyarankan perekrutan pasien
dihentikan, di mana pemantauan 230 anak yang dimasukkan dalam penelitian telah
selesai, dan menyamarkan analisis data, serta hasil yang dilaporkan sesuai dengan
standar yang diharapkan.
Hasil
Pendataan
Total 1133 pasien anak dengan pemasangan tympanostomi tube yang dimasukkan
dalam penelitian, orang tua harus menyetujui keikutsertaan anak yang mengalami
otore akut akibat pemasangan tympanostomi tube dalam penelitian. Orang tua dari
886 anak tidak menghubungi peneliti atau melaporkan bahwa anaknya mengalami
otore, sehingga tidak memenuhi kriteria inklusi (misal, gejala terjadi selama >7 hari
dan otore terjadi dalam 2 minggu setelah pemasangan tympanostomi tube).
Kunjungan rumah dijadwalkan pada 247 anak dengan otore akut akibat
pemasangan tympanostomi tube. Di antara anak ini, 17 anak mempunyai suhu
tubuh 38.5 0C atau lebih atau pemasangan tympanostomi tube yang lebih lama
(Gambar 1). Total 230 anak dengan otore akut akibat pemasangan tympanostomi
tube yang dimasukkan secara acak untuk menerima tetes telinga antibiotik
glukokortikoid (76 pasien) atau antibiotik oral (77) atau hanya menjalani
pemantauan awal (77). Pada 2 minggu pertama, 71 anak (93%), 68 (88%), dan 61
(79%) pada ketiga kelompok sudah selesai menjalani manajemen pengobatan
dalam penelitian.
Kelengkapan Data
Outcome primer dinilai dari 228 anak (99%). Catatan orangtua tersedia untuk 221
anak (96%). Pada catatan ini, informasi dari gejala otore tersedia pada 94% pasien
dalam hari-hari pemantauan.
Populasi Penelitian
Karakteristik demografis dan klinis dari peseta tersedia di Tabel 1 dan Tabel S1
pada Supplementary Appendix, terdapat pada NEJM.org. Tidak ada perbedaan
bermakna antara karakteristik dasar diantara ketiga kelompok penelitian yang
diamati. Indikasi dari pemasangan tympanostomi tube (otitis media akut rekuren vs
ototis media persisten dengan efusi) dan kultur bakteri dari otore menunjukkan nilai
berbeda di antara ketiga kelompok (Tabel 1) Nilai rata-rata dari usia anak adalah
4.5 tahun, dan nilai rata-rata durasi dari gejala otore yang muncul sebelum
penelitian ada 3 hari, serta 38 anak (17%) mengalami otore pada kedua telinga.
Analisis primer
Pada 2 minggu awal, 5% anak diobati dengan tetes telinga mengalami otore,
dibandingkan pada 44% anak yang menerima antibiotik oral (perbedaan resiko, -
39%; 95% CI, -51 hingga -2, jumlah yang dibutuhkan untuk pengobatan adalah 3),
dan 55% pada pasien yang dimasukkan dalam observasi awal (perbedaan resiko -
49 persen, 95% CI, -62 hingga -37, jumlah yang dibutuhkan untuk diobati adalah
2) (Tabel 2).
Analisis Sekunder
Dalam 2 minggu, anak yang diobati dengan antibiotik oral lebih sering mengalami
otore dibandingkan pasien yang diobservasi saja, namun perbedaan ini tidak
bermakna (resiko perbedaan, -11 persen, 95% CI, -27 hingga 5). Resiko relatif yang
dilihat berdasarkan perbedaan data dasar tidak terlalu menunjukkan perbedaan dari
resiko relatif dasar, dan secara konsisten lebih bermakna pada pemberian tetes
telinga antibiotik glukokortikoid (Tabel 2).
Durasi rata-rata dari episode awal otore adalah 4 hari untuk anak yang diobati
dengan tetes telinga dibandingkan 5 hari untuk anak yang diobati dengan antibiotik
oral (P < 0.001) dan 12 hari pada pasien yang dimasukkan dalam observasi awal (P
< 0.001) (Tabel 2 dan gambar 2). Nilai total rata-rata dari waktu otore terjadi adalah
selama 6 bulan pemantauan 5 hari untuk anak yang menerima tetes telinga
dibandingkan 13.5 hari untuk anak yang menerima antibiotik oral (P<0.001) dan 18
hari untuk anak yang dimasukkan dalam observasi saja (P<0.001). Nilai rata-rata
dari episode rekurensi dari otore saat 6 bulan pemantauan adalah 0 pada anak yang
diobati dengan tetes telinga antibiotik, 1 pada anak yang diobati dengan antibiotik
oral (P = 0.03) dan 1 pada anak yang dimasukkan dalam kelompok observasi (P =
0.26).
Pada dasarnya, nilai kualitas hidup secara umum dan berkaitan dengan spesifisitas
penyakit menunjukkan kualitas hidup yang baik dan serupa pada semua kelompok
penelitian. Pada pemantauan selama 2 minggu, adanya perubahan skor terkait
kesehatan umum tidak menunjukkan adanya perbedaan bermakna di antara
kelompok penelitian. Perubahan dari skor kualitas hidup dalam 2 minggu tergolong
kecil namun konsisten terhadap pemakaian tetes telinga.
Pembahasan
Pada penelitian pragmatik, randomisasi, terkontrol ini, peneliti menemukan bahwa
tetes telinga antibiotik glukortikoid lebih baik dibandingkan antibiotik oral dan
observasi awal di mana outcome primer dari otore berkisar 2 minggu, dan dinilai
dengan menggunakan otoskop pada anak yang mengalami otore akut akibat
pemasangan tympanostomi tube. Analisis sekunder peneliti mendukung temuan ini.
Sekitar 1 dari 2 anak yang dimasukkan dalam observasi tidak mengalami otore pada
2 minggu, dan observasi awal menyebabkan otore yang lebih lama dibandingkan
pada anak yang mendapatkan antibiotik oral atau topikal. Hal ini menunjukkan
bahwa observasi saja tidak menjadi pilihan penanganan adekuat untuk anak dalam
kondisi ini.
Salah satu penelitian sebelumnya yang membandingkan strategi manajemen yang
sama, pemberian tetes telinga antibiotik glukokortikoid, antibiotik oral, dan
observasi, namun penelitian ini hanya terbatas pada pemberian obat profilaksis
setelah pemasangan tympanostomi tube. Ada juga tiga penelitian lainnya yang
membandingkan pemberian tetes telinga dengan antibiotik oral untuk pengobatan
anak dengan otore akibat pemasangan tympanostomi tube. Pada kedua penelitian
yang dijelaskan diatas, tidak seperti penelitian ini, anak mengalami otore yang
bertahan lebih dari 3 minggu (durasi pasti dari otore tidak dilaporkan) dengan
menerima pengobatan sebelum pasien dimasukkan dalam penelitian. Kedua
penelitian mengeklusikan anak dengan kultur positif terhadap Group A
Streptococus atau Peudomonas aeroginosa dari analisis, yang mempengaruhi
aplikasi hasil penelitian terhadap praktik sehari-hari. Pada penelitian ketiga, di
mana populasi penelitian dapat dibandingkan dengan penelitian ini, 68 anak dengan
otore akut akibat pemasangan tympanostomi tube secara acak diberikan amoksilin
oral, tetes telinga ciprofloxacin, atau pembasuhan dengan salin dari liang telinga
pasien. Peneliti juga menyatakan bahwa pemberian tetes telinga lebih baik
dibandingkan pengobatan lainnya, namun tingkat kegagalan terapi lebih tinggi pada
pilihan pengobatan ini. Tingkat kegagalan terapi yang lebih rendah untuk
pengobatan topikal dalam penelitian ini mungkin terjadi akibat penggunaan tetes
telinga yang mengandung antibiotik serta glukokortikoid dan penelitian ini dinilai
setelah 2 minggu, bukan 1 minggu saja.
Uji Finnish yang membandingkan efektivitas dari antibiotik oral dengan placebo
pada anak dengan otore akut akibat pemasangan tympanostomi tube menunjukkan
adanya durasi yang lebih pendek terhadap otore pada anak yang diobati dengan
antibiotik oral. Saat penelitian ini, saluran telinga pada pasien dibersihkan dengan
suction setiap harinya. Terkait ketidakpastian dari keuntungan intervensi terapi ini,
hasil penelitian tidak bisa dipakai dalam praktik sehari hari, karena kesulitan dalam
penggunaan suction setiap harinya. Peneliti tidak menemukan bahwa pemberian
antibiotik oral menunjukkan keuntungan yang lebih dibandingkan observasi terkait
adanya pemantauan gejala otore dalam 2 minggu, dan dinilai dengan otoskop,
namun peneliti menemukan bahwa durasi otore lebih pendek pada anak yang
diobati dengan antibiotik oral dibandingkan dengan anak yang hanya diobservasi.
Beberapa aspek dari penelitian ini membutuhkan perhatian lebih. Pertama, tetes
telinga antibiotik yang digunakan tidak selalu tersedia di luar Belanda dan Prancis.
Peneliti memilih tetes telinga hydrocortisone-bacitracin-colistin karena lebih
banyak tersedia secara umum, dan merupakan tetes telinga yang tidak mengandung
aminoglikosida yang bersifat ototoksik. Tetes telinga ini sangat aktif untuk
kebanyakan bakteri yang dapat menyebabkan otore akut akibat pemasangan
tympanostomi tube (contoh Streptococcus pneumoniae, Haemophilus influenza,
Moraxella catarrhalis, Staphylococus aureus, dan P.aeruginosa). Walaupun bukti
klinis masih terbatas, peneliti yakin bahwa pemberian kombinasi tetes telinga
antibitoik dan glukokortikoid dapat menunjukkan aktivitas antimikroba yang
sesuai, seperti pada pemberian deksametason dan ciprofloxacin.
Kedua, dosis dari suspensi amoxicillin clavulanate yang digunakan dalam
penelitian ini (30 mg amoxicilin dan 7.5 mg clavulanate /kgBB/hari) merupakan
dosis rekomendasi dasar di Belanda dan negara Eropa lainnya, dimana tingkat
resistensi antimikroba obat ini tergolong rendah. Ketiga, peneliti menggunakan
penelitian pragmatik, dengan rancangan blinded (buta) untuk memperkuat
aplikasinya dalam praktik sehari-hari. Selain itu, penilaian hasil penelitian
dilakukan oleh dokter yang meneliti dan sesuai dengan laporan yang diberikan
berdasarkan catatan orang tua. Keempat, peneliti yakin bahwa data catatan orang
tua pasien tergolong akurat. Peneliti mengumpulkan catatan termasuk informasi
dari adanya otore pada pemantauan setiap harinya, pada seluruh anak. Pada
penelitian yang serupa, peneliti menemukan tingkat kerja sama yang tinggi antara
orang tua dan dokter dalam penilaian discharge telinga pada anak setelah
penangaan otore.
Kelima, dalam rancangan penelitian ini, peneliti menyatakan adanya pengurangan
absolut hingga 20 persen dari angka kejadian otore setelah 2 minggu untuk salah
satu strategi pengobatan dibandingkan dengan data klinis lainnya. Perbedaan resiko
yang diamati lebih tinggi 2 kali lipat, dan menunjukkan pentingnya penelitian ini
untuk praktik klinis sehari-hari. Akhirnya, perbandingan antara anak yang
dimasukkan dalam penelitian dan tidak, peneliti menemukan kesamaan terkait usia,
jenis kelamin, dan jumlah dari pemasangan tabung tympanostomi. Karena
rancangan dari penelitian ini dapat memasukkan anak yang diobati di seluruh
tempat kesehatan, peneliti mempercayai bahwa hasil penelitian ini dapat
diaplikasikan pada anak yang mengalami otore akut akibat pemasangan
tympanostomi tube baik di pusat kesehatan primer maupun sekunder.