You are on page 1of 32

Case Report Session

MORBUS HANSEN

Oleh:

Amelia Welinda
1310311129

Indria Asrinda
1310311008

Preseptor:

Dr. Dr. Satya Wydya Yenny, Sp. KK(K), FINSDV, FAADV

BAGIAN ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN

RSUP DR. M. DJAMIL PADANG

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS

2017

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL………………………………………………………………1

1
DAFTAR
ISI………………………………………………………………………………….2

BAB 1 PENDAHULUAN.......................................................................................3

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA..............................................................................4

2.1 Definisi.........................................................................................................4
2.2 Epidemiologi................................................................................................4
2.3 Etiologi.........................................................................................................6
2.4 Klasifikasi....................................................................................................6
2.5 Patogenesis...................................................................................................7
2.6 Gejala Klinis..............................................................................................10
2.7 Diagnosis....................................................................................................13
2.8 Diagnosis Banding.....................................................................................15
2.9 Pemeriksaan Penunjang.............................................................................15
2.10 Reaksi Kusta............................................................................................17
2.11 Pengobatan...............................................................................................17
2.12 Prognosis..................................................................................................20

BAB 3 LAPORAN KASUS..................................................................................21

DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................33

BAB 1
PENDAHULUAN

Penyakit Morbus hansen (MH) atau dikenal juga dengan nama lepra dan

Kusta merupakan penyakit yang telah menjangkit manusia sejak lebih dari 4000

tahun yang lalu. Kata lepra merupakan terjemahan dari bahasa Hebrew, zaraath,

yang sebenarnya mencakup beberapa penyakit kulit lainnya. Kusta juga dikenal

2
dengan istilah kusta yang berasal dari bahasa India, kushtha. Nama Morbus

Hansen ini sesuai dengan nama yang menemukan kuman, yaitu Dr. Gerhard

Armauwer Hansen pada tahun 1874.1


Morbus hansen adalah penyakit kronik granulomatosa yang terutama

mengenai kulit, saluran pernapasan atas dan sistem saraf perifer. Penyebab MH

adalah Mycobacterium leprae yang bersifat intraseluler obligat, dan pada tahun

2009 telah ditemukan penyebab baru yaitu Mycobacterium lepramatosis. Morbus

hansen dahulu dikenal dengan penyakit yang tidak dapat sembuh dan diobati,

namun sejak tahun 1980, dimana program Multi Drug Treamtment (MDT) mulai

diperkenalkan, MH dapat didiagnosis dan diterapi secara adekuat, tetapi

sayangnya meskipun telah dilakukan terapi MDT secara adekuat, risiko untuk

terjadi kerusakan sensorik dan motorik yaitu disabilitas dan deformitas masih

dapat terjadi sehingga gejala tangan lunglai, dan mutilasi jari. Keadaan tersebut

yang membuat timbulnya stigma terhadap penyakit kusta. 2 Meskipun 25 tahun

terakhir banyak yang telah dikembangkan mengenai kusta, pengetahuan mengenai

patogenesis, penyebab, pengobatan, dan pencegahan lepra masih terus diteliti.2

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Morbus Hansen (MH) atau kusta adalah penyakit menular yang menahun

yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium leprae yang terutama menyerang

serabut saraf di kulit, saraf tepi, kulit serta jaringan tubuh lainnya kecuali susunan

saraf pusat.3
2.2 Epidemiologi
Berdasarkan pemantauan WHO dan laporan oleh 130 negara,

pemberitahuan secara global melaporkan sejak 2004-2010 sebanyak 228,474

3
terdapat kasus baru. Prevalensi seluruh dunia dimulai dari 2010 adalah sebanyak

192,246 kasus. Kasus baru yang muncul berasal dari beberapa negara seperti :

Angola, Bangladesh, Brazil, Cina, India, Indonesia dll. Beberapa negara tersebut

masih menjadi wilayah endemic untuk morbus hansen. Morbus hansen lebih

sering menyerah laki-laki dari pada perempuan dengan rasio 2:1. Morbus hansen

dapat menyerang semua usia, tetapi di negara berkembang insiden sering terjadi

pada anak-anak.2
Gambar 2.1 Prevalensi MH di dunia tahun 2014.2

Perkembangan MH di Indonesia dilihat dari periode 2008-2013, angka

penemuan kasus baru pada tahun 2013 merupakan temuan yang terendah yaitu

6,79 per 100.000 penduduk. Angka prevalensi MH berkisar antara 0,79-0,96 per

10.000 penduduk. Data untuk kasus pada anak dari tahun 2008-2013, pada tahun

2012 merupakan angka tertinggi yaitu 11,40 per 100.000 penduduk. Berdasarkan

gambar 1 di antara tahun 2011-2013 terlihat sebanyak 14 provinsi termasuk

kedalam kusta tinggi, dan 19 provinsi termasuk kusta rendah.4

4
Gambar 2.2 Jumlah Kasus Baru dan NCDR per 100.000 penduduk per provinsi
2011-20134

2.3 Etiologi
Morbus Hansen disebabkan oleh kuman Mycobacterium leprae. Kuman

ini bersifat gram positif, tidak bergerak dan tidak berspora, tahan asam, berbentuk

batang, dengan ukuran 1-8µ, lebar 0,2-0,5 µ, biasanya berkelompok dan ada yang

tersebar satu-satu. Bakteri ini yang terutama berkembangbiak dalam sel Schwann

saraf, makrofag kulit, dan tidak dapat dikultur dalam media buatan. Distribusi lesi

yang secara klinik predominan pada kulit, mukosa hidung, dan saraf perifer

superfisial menunjukkan pertumbuhan basil ini cenderung menyukai temperatur

kurang dari 37ºC. Masa belah diri kuman ini memerlukan waktu yang sangat lama

dibandingkan dengan kuman lain yaitu 12-21 hari, oleh karena itu masa tunas

menjadi lama yaitu rata-rata 2-5 tahun.2


2.4 Klasifikasi

5
Terdapat beberapa jenis klasifikasi MH sebagaimana yang tertera pada

tabel berikut ini.1


Tabel 2.1 Klasifikasi Morbus Hansen1
Madrid Ridley-Jopling WHO
Tuberkuloid Tuberkuloid polar (TT) Pausibasiler (PB)
Tuberkuloid Indefinite
(Ti)
Borderline Tuberkuloid
(BT)
Borderline Mid Borderline (BB) Multibasiler (MB
Borderline Lepromatous
(BL)
Lepromatous indefinite
(Li)
Lepromatosa Lepromatosa polar (LL)

Gambar 2.3

Spektrum Klinis

Lepra Berdasarkan

Klasifikasi Ridley-

Jopling6

Tuberculoid polar (TT) dan lepromatous polar (LL) merupakan tipe yang

stail dan tidak mungkin berubah. Sedangkan borderline tuberculoid (BT), mid

borderline (BB), dan borderline lepramatous (BL) merupakan bentuk yang tidak

stabil sehingga dapat berubah tipe sesuai derajat imunitas. Tipe indeterminate (I)

tidak dimasukkan ke dalam spektrum. 5,6,7

Klasifikasi WHO ditentukan oleh jumlah basil yang ditemukan dari

pemeriksaan slit skin smear. Tipe TT dan BT memiliki jumlah BTA yang rendah

oleh karena itu diklasifikasikan ke dalam pausibasilar. Sementara tipe BB, BL,

6
dan LL memiliki jumlah BTA yang tinggi sehingga diklasifikasikan ke dalam

multibasilar.5

2.5 Patogenesis

Sel Schwann merupakan sel target untuk pertumbuhan M.leprae,

disamping itu sel Schwann berfungsi sebagai demielinisasi dan hanya sedikit

fungsinya sebagai fagositosis. Jadi, bila terjadi gangguan imunitas tubuh dalam sel

Schwann, kuman dapat bermigrasi dan beraktivasi. Akibatnya aktifitas regenerasi

saraf berkurang dan terjadi kerusakan saraf yang progresif.2,6 Meskipun cara

masuk M.leprae ke dalam tubuh masih belum diketahui dengan pasti, beberapa

penelitian telah memperlihatkan bahwa yang tersering ialah melalui kulit yang

lecet pada bagian tubuh yang bersuhu dingin dan melalui mukosa nasal. Bila

kuman masuk kedalam tubuh maka tubuh akan bereaksi dengan mengeluarkan

makrofag untuk memfagositnya.2


M. Leprae mempunyai patogenesis dan daya invasi yang rendah, sebab

penderita yang mengandung kuman lebih banyak belum tentu memberikan gejala

yang lebih berat, bahkan dapat sebaliknya. Ketidakseimbangan antara derajat

infeksi dengan derajat penyakit, tidak lain disebabkan oleh respon imun yang

berbeda, yang menggunggah timbulanya reaksi granuloma setempat atau

menyeluruh yang dapat sembuh sendiri atau progresif. Oleh karena itu penyakit

kusta disebut sebagai penyakit imunologik. Gejala klinisnya lebih sebanding

dengan tingkat reaksi selularnya daripada intensitas infeksinya5.

Seseorang yang terinfeksi M.leprae gejala klinis yang akan timbul

tergantung dari respon tubuh terhadap mikroorganisme tersebut. Apabila imunitas

seluler orang tersebut bagus dan kuat, maka gejala klinis yang terjadi adalah MH

7
tipe tuberkuloid. Apabila imunitas selulernya lemah, maka gejala klinisnya adalah

MH tipe lepramatosa.5

Patogenesis MH tipe tuberkuloid

Kuman masuk ke dalam tubuh melalui kontak langsung dengan kulit

penderita atau melalui inhalasi, kemudian masuk melalui pembuluh limfe dan

darah kemudian mencapai target dari basal antara lain :3

1. Sel Schwann saraf tepi


2. Sel endotel pembuluh darah
3. Sel pericytes pembuluh darah
4. Sel monosit dan makrofag

Apabila imunitas seluler penderita tersebut tinggi ditandai dengan uji

lepromin yang positif maka dalam waktu yang singkat sel-sel radang akan

datang ke sekitar makrofag atau sel Schwann tersebut. Tujuan sel radang

tersebut adalah memfagosit kuman-kuman dan mengaktifkan makrofag untuk

menghancurkan kuman M. leprae. Namun, efek samping dari peradangan

tersebut akan menyebabkan penekanan pada saraf sehingga proses

anestesinya terjadi lebih cepat dan berat. Peradangan yang terjadi hanya

sekitar sel Schwann yang terbatas pada saraf kulit saja, tidak masuk ke

pembuluh darah sehingga lesinya sedikit dan asimetris, berbatas tegas karena

dibatasi oleh sel radang, kelenjar ekrin dan pilosebaseus akan tertekan yang

menyebabkan keringat berkurang, kulit kering dan rambut kulit tidak ada.3

Patogenesis MH tipe lepramatosa


Sistem imun seluler yang rendah dan ditandai dengan uji lepromin negative,

maka proses fagositasis yang terjadi lemah, sehingga kuman akan bermultiplikasi

lebih banyak di dalam sel makrofag atau sel Schwann. Makrofag akan berubah

menjadi sel Virchow atau Foam cell yang mengandung banyak kuman basil.

8
Apabila kuman basil sudah terlalu banyak Foam cell akan pecah sehingga kuman

basil akan keluar, lalu di tangkap oleh sel Schwann yang lain sehingga terjadi

penyebaran sesuai dengan jaras saraf tepi. Kemudian kuman basil akan masuk

kedalam aliran darah dan menimbulkan lesi pada kulit dengan jumlah banyak,

simteris, batas tegas, dengan anestesi yang lama terjadi.3


Patogenesis MH tipe Borderline
Pada MH tipe ini klinisnya berada di antara tipe tuberkuloid dan

lepromatosa.

2.6 Manifestasi klinis

Secara klinis, sifat lesi (jumlah, morfologi, distribusi, permukaan,

anestesia) dan kerusakan saraf dapat mengarahkan kita untuk menegakkan

diagnosis kearah tuberkuloid atau lepromatosa. Semakin ke arah tuberkuloid,

biasanya ditandai dengan lesi berbentuk makula saja / makula yang dibatasi

infiltrat dengan permukaan kering bersisik, anestesia jelas, berjumlah 1-5, tersebar

asimetris, kerusakan saraf biasanya terlokalisasi sesuai letak lesinya. Di sisi lain,

semakin mengarah ke tipe lepromatosa, lesi akan lebih polimorfik (makula,

infiltrat difus, papul, nodus) dengan permukaan yang halus berkilat, anestesia

tidak ada sampai tidak jelas, berjumlah banyak (>5 lesi), dan biasanya tersebar

simetris, kerusakan saraf biasanya lebih luas. 5,7

Karena pemeriksaan slit skin smear tidak selalu tersedia, maka pada tahun

1995 WHO menyederhanakan klasifikasi klinis kusta berdasarkan lesi di kulit dan

kerusakan saraf.8
Tabel 2.2 Klasifikasi Klinis Kusta Berdasarkan WHO 19958
PB MB
1.Lesi kulit (makula  1-5 lesi  > 5 lesi
yang datar, papul yang  Hipopigmentasi/eritema
meninggi, infiltrat, plak  Distribusi tidak simetris  Distribusi simetris
eritem, nodus)

9
2.Kerusakan saraf  Hilangnya sensasi yang  Hilangnya sensasi
(menyebabkan hilangnya jelas kurang jelas
sensasi/kelemahan otot
yang dipersarafi oleh  Hanya satu cabang  Banyak cabang saraf
saraf yang terkena) saraf

1. Tipe Tuberkuloid (TT)


Lesi ini mengenai baik kulit maupun saraf. Lesi kulit bisa satu atau

beberapa, dapat berupa makula atau plakat, batas jelas dan pada bagian

tengah dapat ditemukan lesi yang regrasi atau central healing. Permukaan

lesi dapat bersisik dengan tepi yang meninggi bahkan dapat menyerupai

gambaran psoriasis atau tinea sirsinata. Dapat disertai penebalan saraf

perifer yang biasanya teraba, kelemahan otot, dan sedikit rasa gatal.

Adanya infiltrasi tuberkuloid dan tidak adanya kuman merupakan tanda

terdapatnya respon imun pejamu yang adekuat terhadap kuman MH.1,9,10


2. Tipe Boderline Tuberkuloid (BT)
Lesi pada tipe ini menyerupai tipe TT, yakni berupa makula atau

plak yang sering disertai lesi satelit di tepinya. Jumlah lesi dapat satu atau

beberapa, tetapi hipopigmentasi, kekeringan kulit atau skuama tidak

sejelas tipe tuberkuloid. Gangguan saraf tidak seberat tipe tuberkuloid, dan

biasanya asimetris. Lesi satelit biasanya ada dan terletak dekat saraf perifer

yang menebal.1
3. Tipe Mid Borderline (BB)
Merupakan tipe yang paling tidak stabil dari semua tipe dalam

spektrum penyakit MH. Merupakan bentuk dimorfik. Lesi dapat berupa

makula infiltratif, permukaan lesi dapat berkilap, batas lesi kurang jelas

dengan jumlah lesi yang melebihi tipe BT dan cenderung simetris. Lesi

sangat bervariasi baik dalam ukuran, bentuk, ataupun distribusinya. Bisa

didapatkan lesi punched out yang merupakan ciri khas tipe ini. 1,11
4. Tipe Borderline Lepromatous (BL)

10
Lesi dimulai dengan makula. Awalnya hanya dalam jumlah sedikit

dan dengan cepat menyebar ke seluruh badan. Makula lebih jelas dan lebih

bervariasi bentuknya. Papul dan nodus lebih tegas dengan distribusi lesi

yang hampir simetris dan beberapa nodus tampaknya melekuk pada bagian

tengah. Lesi bagian tengah sering tampak normal dengan bagian pinggir

dalam infiltrat lebih jelas dibandingkan dengan pingir luarnya, dan

beberapa plak tampak seperti punched out.1


Tanda-tanda kerusakan saraf berupa kerusakan sensasi,

hipopigmentasi, berkurangnya keringat, dan hilangnya rambut lebih cepat

muncul dibandingkan dengan tipe LL. Penebalan saraf dapat teraba pada

tempat-tempat penebalan saraf.1


5. Tipe Lepromatosa (LL)
Jumlah lesi sangat banyak, simetris, permukaan halus, lebih

eritematosa, berkilap, berbatas tidak tegas, dan pada stadium dini tidak

ditemukan anestesi dan anhidrosis. Distribusi lesi khas, yakni di wajah,

mengenai dahi, pelipis, dagu, cuping telinga, sedangkan di badan

mengenai bagian yang dingin, lengan, punggung tangan, dan permukaan

ekstensor tungkai bawah. 1


Pada stadium lanjut terdapat penebalan kulit yang progresif, cuping

telinga menebal, garis muka menjadi kasar, dan cekung membentuk facies

leonina yang dapat disertai dengan madarosis, iritis, keratitis. Lebih lanjut

dapat terjadi deformitas hidung. Dapat dijumpai pembesaran kelenjar

limfe, orkitis yang selanjutnya dapat terjadi atrofi testis.1


Kerusakan saraf yang luas menyebabkan gejala stocking and glove

anaesthesia. Bila menjadi progresif, muncul makula dan papula baru

sedangkan lesi lama menjadi plakat dan nodus. Pada stadium lanjut

11
serabut-serabut saraf perifer mengalami degenerasi hialin atau fibrosis

yang menyebabkan anestesi dan pengecilan otot tangan dan kaki.1


Tanda-tanda penyakit kusta bermacam-macam, tergantung dari tingkat

atau tipe dari penyakit tersebut. yaitu:10,11,12


 Adanya bercak tipis seperti panu pada badan/tubuh manusia
 Pada bercak putih ini pertamanya hanya sedikit, tetapi lama-lama semakin
melebar dan banyak.
 Adanya pelebaran saraf terutama pada syaraf ulnaris, medianus,

auricularis, magnus serta peroneus.


 Kelenjar keringat kurang bekerja sehingga kulit menjadi tipis dan

mengkilat.
 Adanya bintil-bintil kemerahan (leproma, nodul) yarig tersebar pada kulit
 Alis rambut rontok
 Muka berbenjol-benjol dan tegang yang disebut facies leonina (muka

singa).
2.7 Diagnosis
Diagnosa pasien kusta dapat ditegakkan berdasarkan pada penemuan tanda

kardinal (minimal 1 tanda kardinal) yaitu:1,5


1.Bercak kulit yang mati rasa
Bercak kulit hipopigmentasi atau eritematosa,mendatar atau

meninggi. Ada tidaknya baal yang dapat diketahui melalui tes sensitivitas

cukup membantu penyingkiran diagnosis banding. Tes sensitivitas

dilakukan menggunakan kapas (untuk rangsang raba), jarum (untuk

rangsang nyeri), dan tabung reaksi berisi air panas dan hinggin (untuk

rangsang suhu).
2. Penebalan saraf tepi
Dapat disertai rasa nyeri dan juga disertai atau tanpa gangguan

fungsi saraf yang terkena:


a. Gangguan fungsi sensoris: mati rasa
b. Gangguan fungsi motorik
Adanya pembesaran saraf perifer yang diketahui dengan cara palpasi

bisanya mengindikasikan adanya kelainan fungsi saraf yang

bersangkutan. Untuk itu perlu untuk melakukan voluntary muscle test.

12
Saraf perifer yang diperiksa antara lain : n. fasialis, n. aurikularis

magnus, n. radialis, n. ulnaris, n. medianus, n. poplitea lateralis, dan n.

tibialis posterior.
c. Gangguan fungsi otonom kulit kering,edema, pertumbuhan rambut

terganggu.

3. Adanya basil tahan asam (BTA) didalam kerokan jaringan kulit (slit skin
smear).

Bila ditemukan tanda cardinal di atas maka pasien adalah tersangka

kusta,observasi dan periksa ulang setelah 3-6 bulan. Namun untuk diagnosa kusta

di lapangan cukup dengan anamnesis dan pemeriksaan klinis. Bila ada keraguan

dan fasilitas memungkinkan sebaiknya dilakukan pemeriksaan bakteriologis.

Kerokan dengan pisau skalpel dari kulit, selaput lendir hidung bawah atau dari

biopsi kuping telinga, dibuat sediaan mikrokopis pada gelas alas dan diwarnai

dengan pewarnaan Ziehl Neelsen. Biopsi kulit atau saraf yang menebal

memberikan gambaran histologis yang khas.5,6


2.8 Diagnosis Banding
Diagnosis banding untuk lesi eritem :3

1. Psoriasis vulgaris
2. Tinea
3. Dermatitis seboroik
4. Urtikaria

Diagnosis banding untul lesi kulit hipopigmentasi :

a. Vitiligo
b. Ptiriasis versikolor
c. Ptiriasis alba3

2.9 Pemeriksaan Penunjang


1. Pemeriksaan bakterioskopik1
 Pemeriksaan BTA dengan Ziehl-Nielsen

13
Bahan pemeriksaan diambil dari 4-6 tempat, yaitu kedua cuping telinga

bagian bawah dan 2 atau 4 lesi lain yang paling aktif berarti yang paling

eritematosa dan paling infiltratif.


 Indeks Morfologi
Untuk menentukan persentasi BTA hidup atau mati
Rumus:
Jumlah BTA solid x 100 % = X %
Jumlah BTA solid + non solid
Guna: Untuk melihat keberhasilan terapi, melihat resistensi kuman BTA,

dan melihat infeksiositas penyakit


 Indeks Bakteri
Untuk menentukan klasifikasi penyakit Lepra, dengan melihat kepadatan

BTA tanpa melihat kuman hidup (solid) atau mati (fragmented/ granular).
Tabel 2.3 Indeks Bakteri1

0 BTA
1 – 10/ 100 L.P +1
1 – 10/ 10 L.P +2
1 – 10/ 1 L.P +3
10 – 100/ 1 L.P +4
100 – 1000/ 1 L.P +5
> 1000/ 1 L.P +6

2. Pemeriksaan histopatologik1
Untuk membedakan tipe TT & LL
 Pada tipe TT ditemukan Tuberkel (Giant cell, limfosit) yang akan menekan

saraf di kulit dan saraf tepi.


 Pada tipe LL ditemukan sel busa (Virchow cell/ sel lepra) di histiosit

dimana di dalamnya BTA tidak mati, tapi berkembang biak membentuk

gelembung. Ditemukan lini tenang (subepidermal clear zone).


3. Pemeriksaan serologik1
• Tes ELISA
• Uji MLPA (Mycobacterium Leprae Partikel Aglutination)
• ML dipstick
2.10 Reaksi Kusta

14
Reaksi kusta adalah interupsi dengan episode akut pada perjalanan

penyakit yang sebenarnya sangat kronik. Reaksi kusta adalah khusus dan

tersendiri, merusak jaringan dimana proses inflamasi didorong secara imunologik

yang sangat meningkatkan morbiditas penyakit, sehingga membutuhkan

perawatan yang optimal. Reaksi kusta dapat terjadi sebagai akibat komplikasi

pengobatan, sebelum pengobatan dan setelah pengobatan1,3


2.11 Pengobatan
Paket terapi multiobat (MDT/Multi Drug Therapy)1,5
Kelompok Kerja WHO melaporkan Kemoterapi Kusta pada 1993 dan

merekomendasikan dua tipe terapi multiobat standar. Yang pertama adalah

pengobatan selama 24 bulan untuk kusta lepromatosa dengan rifampisin,

klofazimin, dan dapson. Yang kedua adalah pengobatan 6 bulan untuk kusta

tuberkuloid dengan rifampisin dan dapson.

Gambar 2.4 Regimen MDT8

Regimen pengobatan MDT

Kombinasi obat dapson (DDS), rifampisin, dan klofazimin (lampren),

yang bertujuan untuk mengurangi resistensi dapson, memperpendek masa

pengobatan, mempercepat memutus mata rantai penularan, serta mengurangi

ketidak-taatan pasien dan menurunkan angka putus obat.1

Berikut merupakan kelompok orang yang membutuhkan MDT:

1. Pasien yang baru didiagnosis kusta dan belum pernah mendapat MDT.
2. Pasien ulangan, yaitu pasien yang mengalami hal-hal dibawah ini:

15
a. Relaps
b. Masuk kembali setelah default (dapat PB maupun MB)
c. Pindahan (pindah masuk)
d. Ganti klasifikasi/tipe

Berikut merupakan regimen pengobatan MDT di Indonesia sesuai dengan yang

direkomendasikan oleh WHO. Regimen tersebut adalah sebagai berikut:


Tabel 2.4 Pengobatan Morbus Hansen Pausibasiler

Jenis Obat <5 th 5-9 th 10-15 th >15 th Keteranga


n
Minum
Rifampisin 300mg/bln 450 mg/bln 600 mg/bln didepan
petugas
Berdasarka
Minum di
n berat
25 mg/bln 50mg/bln 100 mg/bln depan
badan
DDS petugas
100 Minum di
25 mg/hari 50 mg/hari
mg/hari rumah

Keterangan:
Dewasa
Pengobatan bulanan: hari pertama (obat diminum diminum didepan petugas)

 2 kapsul rifampisin @ 300mg (600 mg)


 1 tablet dapson/DDS 100mg

Pengobatan harian: hari ke 2-28

 1 tablet dapson/DDS100 mg

Tabel 2.5 Pengobatan Morbus Hansen Multibasiler

Jenis Obat <5 th 5-9 th 10-15 th >15 th Keterangan


Berdasarkan Minum
Rifampisin berat badan 300 mg/bln 450 mg/bln 600 mg/bln didepan
petugas
Minum
25 mg/bln 50 mg/bln 100 mg/bln didepan
Dapson petugas
Minum
25 mg/bln 50 mg/bln 100 mg/bln
dirumah
Lampren 100 mg/bln 150 mg/bln 300 mg/bln Minum
didepan
petugas

16
50 mg
50 mg 2x 50 mg Minum
setiap 2
seminggu perhari dirumah
hari

Keterangan:
Dewasa
Pengobatan bulanan: hari pertama (obat diminum didepan petugas)

 2 kapsul rifampisin @ 300 mg (600 mg)


 3 tablet lampren @ 100mg (300 mg)
 1 tablet dapson/DDS 100 mg

Pengobatan harian: hari ke 2-28

 1 tablet lampren50 mg
 1 tablet dapson/DDS 100 mg

Dosis MDT MB untuk anak (10-15 tahun)


Pengobatan bulanan: hari pertama (obat diminumdi depan petugas)

 2 kapsul rifampisin 150 mg dan 300 mg


 3 tablet lampren @ 50 mg (150 mg)
 1 tablet dapson/DDS 50 mg

Pengobatan harian: hari ke 2-28

 1 tablet lampren 50 mg selang sehari


 1 tablet dapson/DDS 50 mg

2.12 Prognosis

Bergantung pada seberapa luas lesi dan tingkat stadium penyakit.

Kesembuhan bergantung pula pada kepatuhan pasien terhadap pengobatan.

Terkadang pasien dapat mengalami kelumpuhan bahkan kematian, serta kualitas

hidup pasien menurun.2

17
BAB III
LAPORAN KASUS
3.1 IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn.R
Umur/Tgl Lahir : 39 tahun / 20 April 1978
Jenis kelamin : Laki-laki
Pekerjaan : Satpam UNP
Tanggal pemeriksaan : 15 Agustus 2017
Alamat : Jl. Hamka No.74 RT01/RW02 Air tawar Padang
Status perkawinan : Belum Menikah
Negeri asal : Indonesia
Agama : Islam
Nama Ibu kandung : Deswani
Suku : Tanjung
No. HP : 085264027870
3.2 ANAMNESIS
Seorang pasien laki-laki usia 39 tahun datang ke Poliklinik Kulit dan Kelamin

RSUP Dr. M. Djamil Padang pada tanggal 15 Agustus 2017 dengan:


Keluhan Utama
Bercak kemerahan yang mati rasa dan semakin banyak di wajah, dada,

badan,punggung, lengan kiri dan kanan,tangan kanan-kiri, tungkai kanan-kiri,

kaki kanan-kiri sejak ±4 bulan yang lalu.

Riwayat Penyakit Sekarang


 Awalnya muncul bercak kemerahan pada pipi kanan yang disertai

mati rasa pada ±2 tahun yang lalu tanpa pengobatan lama kelamaan

bercak merah tersebut menebal.

18
 Bercak kemerahan yang mati rasa dan semakin banyak di wajah, dada,

badan, punggung, lengan kiri-kanan,tangan kanan-kiri, tungkai kanan-

kiri, kaki kanan-kiri sejak ±4 bulan yang lalu. Pada bercak mati rasa

dibandingkan bagian kulit yang sehat. Bercak tidak terasa gatal.


 Pasien tidak menderita demam sebelum timbul bercak kemerahan.

 Riwayat sandal sering terlepas sendiri tanpa disadari tidak ada.


 Riwayat menjatuhkan benda tanpa disadari ketika dipegang tidak ada.
 Penglihatan berkurang tidak ada, mata berair tidak ada.

 Riwayat kelopak mata tidak dapat menutup sempurna tidak ada.


 Riwayat kerontokan bulu mata tidak ada.
 Tidak ada riwayat kaku pada jari tangan dan kaki.
 Tidak ada riwayat lemah pada tungkai.
 Ada riwayat nyeri pada sendi-sendi jari tangan ±4 bulan yang lalu.
 Riwayat kaki sering terasa kesemutan sebelumnya ada sejak ±2 tahun

yang lalu.
 Tidak ada riwayat mengalami kelelahan dan stress.
 Riwayat mengalami luka yang tidak disadari tidak ada.
 Riwayat luka dan ulkus pada bercak kemerahan yang mati rasa tidak
ada.
 Pasien tidak pernah dirawat di rumah sakit sebelumnya.
 Pasien berdomisili di Padang sejak kecil
Riwayat Penyakit Dahulu

 Riwayat batuk-batuk lama tidak ada. Riwayat minum obat paket 6 bulan

tidak ada.
 Riwayat vaksinasi BCG saat kecil tidak diketahui.
 Pasien tidak pernah mengalami keluhan bercak merah atau putih yang

mati rasa sebelumnya.

Riwayat Penyakit keluarga/atopi/alergi


 Riwayat bersin-bersin pagi hari tidak ada
 Riwayat alergi makanan tidak ada.
 Riwayat alergi obat tidak ada.
 Riwayat mata merah, gatal, dan berair tidak ada.
 Riwayat asma tidak ada.
 Riwayat kaligata tidak ada.

19
 Tidak ada anggota keluarga pasien yang memiliki riwayat atopi seperti

yang disebutkan di atas.


 Tidak ada anggota keluarga pasien yang pernah mengalami atau sedang

mengalami keluhan bercak dan mati rasa seperti pasien.


 Tidak ada anggota keluarga pasien yang pernah minum obat paket MDT

ataupun OAT
 Tidak ada anggota keluarga pasien yang punya riwayat batuk-batuk lama.

 Pasien menyatakan tidak ada tetangga sekitar rumahnya yang juga

mengalami bercak merah atau putih yang mati rasa sebelumnya.

Riwayat Pengobatan Sebelumnya


 Pasien sudah berobat ke Puskesmas Air Tawar 3 Agustus 2017 dan diberi

rujukan ke RS Ibnu Sina lalu di rujuk lagi ke RSUP M.Djamil Padang.

Riwayat Sosial Ekonomi


 Keluarga pasien termasuk sosial ekonomi menengah ke bawah.
 Pasien seorang Satpam di UNP, tinggal dengan ibu dan 3 orang saudara.
 Pasien berdomisili di Padang Jl. Hamka No.74 Air tawar Padang sejak

kecil.
3.3 PEMERIKSAAN FISIK
Status Generalisata
Keadaan Umum : Tampak sakit ringan
Kesadaran : Komposmentis kooperatif
Nadi : 84x/menit
Tekanan darah : 100/70 mmHg
Berat Badan : 53 kg
Tinggi badan : 169 cm
Status gizi : Normoweight
Suhu : 37,0C
Frekuensi Nafas : 22x/ menit
Mata : Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik
Hidung : Tidak ada deformitas
KGB : Tidak ada pembesaran
Pemeriksaan thorak : Dalam batas normal
Pemeriksaan abdomen : Dalam batas normal
Ekstremitas : Tidak ada kelainan.
Status Dermatologikus
Lokasi : Wajah, dada, badan,punggung, lengan kiri dan kanan,tangan

kanan-kiri, tungkai kanan-kiri, kaki kanan-kiri

20
Distribusi : Regional
Bentuk : Bulat-tidak khas
Susunan : Tidak khas
Batas : Tegas-tidak tegas
Ukuran : Numular-plakat
Efloresensi : Plak eritem dan makula eritem
Jumlah lesi : ± 97 buah

21
22
23
24
Status Venerologikus : Tidak dilakukan pemeriksaan
Kelainan selaput : Dalam batas normal
Kelainan kuku : Jaringan sekitar kuku tidak ditemukan kelainan
Kelainan rambut : Dalam batas normal
Kelainan Kelenjar Limfe : Dalam batas normal
Pemeriksaan Sensibilitas:
 Rasa raba : Hipoestesi (kurang rasa) pada lesi
 Rasa tusuk : Hipoestesi (kurang rasa) pada lesi
 Rasa suhu : Hipoestesi (kurang rasa) pada lesi
Pembesaran Saraf Perifer:
 N. aurikularis magnus : Tidak ada pembesaran
 N. ulnaris : Tidak ada pembesaran
 N. peroneus lateral : Tidak ada pembesaran
 N. tibialis posterior : Tidak ada pembesaran
Pemeriksaan Motoris:
 M. orbicularis oculi : 5/5
 M. abductor digiti minimi : 5/5
 M. interoseous dorsalis : 5/5

25
 M. abductor pollicis brevis : 5/5
 M. tibialis anterior : 5/5
Pemeriksaan kecacatan :
 Kontraktrur : tidak ada
 Mutilasi : tidak ada
 Atrofi otot : ada, pada : otot tenar dan hipotenar
 Xerosis kutis : ada, pada : tungkai bawah kiri dan kanan
 Ulkus trofik : tidak ada
 Madarosis : ada pada bulu mata kiri dan kanan
 Lagoftalmus : tidak ada
 Claw hand : tidak ada
 Wrist drop : tidak ada
 Dropped foot : tidak ada
 Facies leonina : tidak ada
3.4 RESUME

Seorang pasien laki-laki berusia 39 tahun datang ke Poliklinik Kulit dan

Kelamin RSUP Dr. M.Djamil Padang pada tanggal 15 Agustus dengan keluhan :

• Muncul bercak kemerahan pada pipi kanan yang disertai mati rasa pada

±2 tahun yang lalu lama kelamaan bercak merah tersebut menebal. Bercak

kemerahan yang mati rasa dan semakin banyak di wajah, dada, badan,

punggung, lengan kiri-kanan,tangan kanan-kiri, tungkai kanan-kiri, kaki

kanan-kiri sejak ±4 bulan yang lalu. Pada bercak mati rasa dibandingkan

bagian kulit yang sehat. Bercak tidak terasa gatal.


• Ada riwayat nyeri pada sendi-sendi jari tangan ±4 bulan yang lalu.
• Riwayat kaki sering terasa kesemutan sebelumnya ada sejak ±2 tahun yang

lalu.
• Pada pasien ditemukan xerosis kutis pada tungkai bawah kiri dan kanan.

• Status dermatologikus: Lokasi di wajah, dada, badan,punggung, lengan

kiri dan kanan,tangan kanan-kiri, tungkai kanan-kiri, kaki kanan-kiri,

distribusi regional, bentuk bulat-tidak khas, susunan tidak khas, batas

tegas-tidak tegas, ukuran, numular-plakat, efloresensi makula eritem, dan

jumlah lesi ± 97 buah.

3.5 DIAGNOSIS KERJA

26
Morbus Hansen tipe BL

3.6 DIAGNOSIS BANDING

 Morbus Hansen suspek tipe LL

3.7 PEMERIKSAAN RUTIN

 Pemeriksaan BTA

o Pada cuping telinga kanan : 3+

o Pada cuping telinga kiri : 3+

o Wajah : 4+

o Punggung : 4+

o Jari Tengah Kanan : 3+

o Jari Tengah Kiri : 3+

Tabel Indeks Bakteri


0 BTA
1 – 10/ 100 L.P +1
1 – 10/ 10 L.P +2
1 – 10/ 1 L.P +3
10 – 100/ 1 L.P +4
100 – 1000/ 1 L.P +5
> 1000/ 1 L.P +6

27
3.8 PEMERIKSAAN ANJURAN
Pemeriksaan biopsi histopatologis
3.9 DIAGNOSIS
Morbus Hansen tipe BL
3.10 TATALAKSANA
Terapi Umum:
 Menjelaskan pada pasien bahwa penyakit kusta bukan merupakan penyakit

keturunan, melainkan penyakit yang disebabkan oleh bakteri, dan dapat

menular bila terjadi kontak dalam waktu lama (beberapa tahun).


 Memberikan edukasi kepada pasien untuk mencegah kecacatan dengan

cara melakukan latihan ringan pada tangan, kaki, leher,dan wajah.


 Sering memeriksa kaki jika ada yang luka atau lecet sedikit apapun.

28
 Segera rawat dan istirahatkan kaki (jangan diinjakkan) jika ada luka,

memar atau lecet.


 Kaki direndam, disikat dan diminyaki agar tidak kering dan pecah-pecah.
 Menganjurkan kepada pasien untuk kontrol secara teratur.
 Edukasi anggota keluarga yang serumah agar diperiksa karena kusta dapat

muncul tanpa gejala klinis yang jelas.


 Memberikan edukasi kepada pasien untuk segera datang ke pelayanan

kesehatan jika lesi yang ada menjadi lebih merah, bengkak, disertai

kehilangan fungsi dan timbul lesi baru.


Terapi Khusus:

 MDT MB selama 12 bulan


Pengobatan bulanan: hari pertama (obat diminum didepan petugas)
 2 kapsul rifampisin @ 300 mg (600 mg)
 3 tablet lampren @ 100mg (300 mg)
 1 tablet dapson/DDS 100 mg
Pengobatan harian: hari ke 2-28
 1 tablet lampren50 mg
 1 tablet dapson/DDS 100 mg

3.11 PROGNOSIS

 Quo ad Vitam : bonam


 Quo ad Sanationam : Dubia ad bonam
 Quo ad Functionam : Dubia ad bonam
 Quo ad kosmetikum : Dubia ad bonam

DISKUSI

Berdasarkan anamnesis, pasien dicurigai menderita morbus hansen, yaitu

satu penyakit menular kronik yang disebabkan oleh Mycobacterium leprae.1

29
Sebagai penyakit yang tampilan klinisnya berupa lesi polimorfik, perlu untuk

mengidentifikasi dengan cermat lesi primer yang ditemukan. Hal ini dikarenakan

lesi yang ditemukan bisa jadi mirip dengan kondisi kelainan kulit tertentu. 2 Pada

pasien ditemukan lesi primer berupa makula hipopigmentasi, lesi seperti ini

umum pada infeksi jamur, namun pada infeksi jamur lesi biasanya gatal dan

meluas karena terdapat invasi pada seluruh lapisan stratum korneum oleh jamur

dan aktivasi respon imun pejamu.1 Hal yang membedakan lesi pasien dengan

infeksi jamur adalah lesi tidak gatal dan terasa mati rasa (seperti yang sudah

dijelaskan dalam tinjauan pustaka bahwa M. leprae merupakan organisme

intraseluler obligat yang menyerang saraf perifer sebagai afinitas pertama).1

Kecurigaan diperkuat oleh keterangan pasien yang mengatakan bahwa akhir-akhir

ini pasien sering mati rasa pada lesi yang terdapat di wajah, leher, lengan kiri dan

kanan, tungkai kiri dan kanan.

Sumber infeksi pada kasus ini diidentifikasi berdasarkan anamnesis.

Namun, tidak ditemukannya tetangga sekitar rumahnya yang mengalami bercak

berwarna putih atau merah dan mati rasa seperti pasien bukan berarti pasien tidak

mendapatkan infeksi dari sekitar, mengingat masa inkubasi penyakit ini cukup

lama yaitu berkisar 4 hari sampai dengan 40 tahun. Hal ini mengingat evidence

dari morbus hansen bawah rute penularan dapat melalui kontak langsung.2

Pasien ini dicurigai menderita morbus hansen karena keluhan dimulai dari

adanya benjolan kemerahan yang disertai bengkak, nyeri, dan mati rasa di wajah,

leher, lengan kiri dan kanan, tungkai kiri dan kanan sejak ±1 tahun yang lalu.

Lama kelamaan bengkak berubah menjadi bercak berwarna merah kemudian

berubah menjadi berwarna putih.

30
Pada pasien ini terdapat makula hipopigmentasi yang berbatas tegas

dengan distribusi terlokalisir, jumlah makula masih dapat dihitung dihitung yaitu

±27 buah dan masih ada kulit sehat. Gambaran lesi ini merupakan ciri dari MH

tipe BL. Pada pemeriksaan fisik didapatkan lesi yang mati rasa, penebalan saraf

tepi disertai gangguan fungsi saraf. Untuk menegakkan diagnosa MH berdasarkan

minimal 1 dari 3 tanda cardinal, yaitu ada nya bercak kulit mati rasa, penebalan

saraf tepi dan pemeriksaan BTA. Untuk memastikan diagnosa pasien di lakukan

pemeriksaan BTA dengan sampel di ambil dari kedua cuping telinga dan di lesi

dan didapatkan hasil BTA (+).

Pengobatan untuk penyakit ini harus cepat dan tepat, terapi yang diberikan

pada pasien didasarkan pada terapi sesuai rekomendasi WHO. Pada pasien ini

diberikan MDT untuk multi basilar.1

DAFTAR PUSTAKA

1. Djuanda A, Kosasih A, Wiryadi, et al, 2010. Ilmu Penyakit Kulit dan


Kelamin, edisi 6. Jakarta: badan Penerbit fakultas Kedokteran universitas
Indonesia, hal 73-83.

2. Smith DS, 2014. Leprosy. Diakses dari:


http://emedicine.medscape.com/article/220455-overview pada tanggal 15
Agustus 2017.

3. Diagnosis dan Pencegahan Kecacatan Kusta dalam Kumpulan Makalah


Simposium dan Workshop. FK UNAND, 2011

31
4. Pusat Data dan Informasi Kementrian Kesehatan RI, 2015

5. Adyatma, dkk, 2012. Pedoman Nasional Program Pengendalian Penyakit


Kusta. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI Direktorat Jendral
Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan.

6. Anonim, 2004. Louisiana office of Public Health – Infectious disease


Control Manual : hansen’s Disease (Leprosy). Diakses dari
http://dhh.louisiana.gov/assets/oph/Center-PHCH/Center-CH/infectious-
epi/EpiManual/Leprosymanual.pdf pada tanggal 15 Agustus 2017.

7. Legendre DP, Muzny CA, et al, 2012. Hansen’s Disease (Leprosy).


Diakses dari http://www.medscape.com/viewarticle/757133_4

8. World Health Organization, 2015. Leprosy. Diakses dari


http://www.who.int/lep/en/

9. MontoyaD, Moddlin RL, 2010. Learning from Leprosy: Insight into the
Human Innate Immune response, In Advance in Immunology vol 105. Los
Angeles: Elsevier. Diakses dari
http://www.sciencwdirect.com/science/article/pii/S0065277610050017

10. Misch EA, et al, 2010. Journal American Society for Microbiology:
Microbiol. Diakses dari
http://mmbr.asm.org/content/74/4/58/F1.expansion.html. diakses tanggal
15 Agustus 2017.

11. RSCM, 2007. Panduan Pelayanan medis Departemen Penyakit Kulit dan
Kelamin. Jakarta; RSCM, hal 147. WHO Expert Committee on Leprosy.
Eight Report. Diakses dari
http://apps.who.int/iris/bitstream/10665/75151/1WHO_TRS_968_eng.pdf]
diakses tanggal 15 Agustus 2017.

32

You might also like