You are on page 1of 49

TEORI KEPRIBADIAN

“PSIKOANALISA DASAR DAN TEORI SIGMUND FREUD”

Dosen Pengampu :

Pradipta Christy P., M.Psi., Psikolog

Disusun Oleh :

Jonson Siagian 46114120112


Nurmalasari 46114120075
Restya Puspa. P 46114120132

Fakultas Psikologi Universitas Mercu Buana

Jakarta

2016/2017
DAFTAR ISI

COVER

DAFTAR ISI ............................................................................................. 2

KATA PENGANTAR ............................................................................... 3

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ............................................................................................................. 4

B. Rumusan Masalah ........................................................................................................ 5

C. Tujuan Pembahasan ..................................................................................................... 5

BAB II PEMBAHASAN

A. Gambaran Umum Teori Psikoanalis Sigmund Freud ................................................ 6

B. Struktur Kepribadian .................................................................................................... 7

C. Dinamika Kepribadian Freud ...................................................................................... 13

D. Tahap Perkembangan Kepribadian .............................................................................. 29

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan ................................................................................................................. 46

B. Saran ............................................................................................................................ 47

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................ 49

2
KATA PENGANTAR

Dengan segala ucapan puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa

atas berkat dan kemurahannya maka kelompok kami dapat menyelesaikan tugas

mata kuliah Teori Kepribadian ini. Tugas makalah yang kami selesaikan bertema

mengenaiTeori Kepribadian Psikoanalis : Sigmund Freud. Dalam hal ini kami

akan berusaha mencoba menjelaskan dan merangkumkan semaksimal mungkin

mengenai teori tersebut. Demikian pula kami mengucapkan terimakasih kepada

semua pihak yang telah membantu dalam proses pembuatan makalah ini dari

awal hingga pada akhirnya.

Kami menyadari masih banyak kekurangan dan perbaikan didalam

penulisan makalah kelompok kami ini, oleh karena itu sangat kami harapkan

saran dan kritik yang positif dan membangun untuk perbaikan kesempurnaan

makalah ini pada waktu kemudian yang akan datang nantinya.

3
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Secara khusus, psikologi yang berkonsentrasi pada pembahasan tentang

hubungan interaksi antara satu individu dengan individu lainnya adalah psikologi

kepribadian. Psikologi ini mempelajari pribadi manusia yang sangat unik, dan

dengan keunikan tersebut, seorang individu menemukan pribadinya ditengah

pribadi-pribadi lainnya. Psikologi kepribadian bukan ilmu baru, tetapi sudah

berdiri sejak lama. Sedikit tentang perkembangan psikologi kepribadian yang

dibangun atas berbagai asumsi tentang hakikat dan martabat manusia menjadi

sentral dari pembahasan ciri kepribadiannya. Perkembangan pemikiran dan

kajian empirik di kalangan para ahli tentang kepribadian manusia telah

melahirkan berbagai teori yang beragam sesuai dengan perspektif pemikiran dan

pengalaman pribadi para ahli yang membangun teori tersebut. Struktur

kepribadian merupakan unsur-unsur atau komponen yang membentuk diri

seseorang secara psikologis. Salah satu contoh struktur kepribadian yang paling

tua gagasannya disampaikan oleh Sigmund Freud tokoh psikoanalis.

4
B. Rumusan Masalah

Dari latar belakang di atas dapat disimpulkan beberapa rumusan masalah

yang menjadi pokok dari pembahasan makalah ini, yaitu:

1. Apa asumsi yang mendasari teori psikoanalisis Freud ?

2. Apa yang disimpulkan teori psikoanalisis Freud mengenai kepribadian ?

3.Bagaimana penjelasan teori psikoanalisis Sigmund Freud mengenai

kepribadian ?

C. Tujuan pembahasan

1. Tujuan umum diajukan guna memenuhi salah satu tugas mata kuliah Teori

Kepribadian yang diberikan oleh dosen pengampu.

2. Tujuan khusus adapun dari rumusan makalah yang di uraikan diharapkan:

a. Mengetahui gambaran umum teori psikoanalisis : Sigmund Freud

b. Mengetahui dan mengerti teori psikoanalisis : Sigmund Freud

c. Memahami dan menjelaskan teori psikoanalisis Sigmund Freud

5
BAB II

PEMBAHASAN

A. Gambaran Umum Teori Psikoanalisis Sigmund Freud

Dua batu pijakan yang membuat teori psikoanalisis Sigmund Freud yang

menarik, yang pertama adalah pembahasan mengenai seks dan agresi yang

terus populer. Kedua, oleh pengikutnya yang antusias juga setia, di mana

sebagian dari mereka menganggap Freud sebagai tokoh pahlawan yang

kesepian seperti dalam mitos, membuat teori ini tersebar luas, karena

kepiawaian Freud berbahasa membuat penyajian teorinya begitu inspiratif dan

hidup. Pemahaman Freud tentang kepribadian manusia dibangun berdasarkan

pengalamannya dengan sejumlah pasien penyakit histeria. Meskipun histeria

tidak begitu umum pada masa kini, gangguan tersebut cukup menjadi masalah,

cukup tepat untuk mengatakan bahwa histeria adalah penyakit yang popular

pada masa itu. Selain itu juga analisis terhadap mimpinya sendiri, dan

bacaannya yang luas dalam bidang ilmu pengetahuan dan humaniora.

Pengalaman-pengalaman tersebut menjadi data dasar untuk mengembangkan

teorinya. Bagi Freud, teorinya berkembang mengikuti kemajuan observasi, dan

konsep kepribadiannya terus-menerus direvisi selama 50 tahun terakhir

hidupnya. Freud lebih mengandalkan penalaran deduktif ketimbang metode

penelitian yang ketat, dan observasi yang dilakukan secara subjektif terhadap

sampel pasien yang jumlahnya terbatas yang kebanyakan berasal dari kelas

menengah juga kalangan kelas atas. Ia tidak menghitung data yang diperolehnya

ataupun melakukan observasi dalam kondisi tertentu. Ia hampir selalu

menggunakan pendekatan studi kasus serta kerap merumuskan hipotesis

setelah fakta terkumpul.

6
B. Struktur Kepribadian

Menurut Freud, kehidupan jiwa memiliki tiga tingkat kesadaran, yaitu

sadar (conscious), prasadar (preconscious), dan tidak sadar (unconscious).

Sampai dengan tahun 1920-an, teori tentang konflik kejiwaan hanya melibatkan

ketiga unsur tesebut. Kemudian pada tahun 1923, Freud mengenalkan tiga

model struktural yang lain, yaitu das es, das ich, dan das uber ich. Struktur baru

ini untuk melengkapi gambaran mental, terutama dalam fungsi dan tujuannya.

Berdasarkan pandangan Freud tersebut, ranah mental manusia seperti

gunung es (iceburg) yang sebagian besarnya tersembunyi, alam kesadaran

adalah bagian terkecil dari gunung es, yaitu bagian puncak yang dapat dilihat,

sementara alam tidak sadar menjadi bagian bawah yang tidak terlihat dari

gunung es tersebut.

Oleh karena itu, semua tindakan manusia, secara tidak disadari,

merupakan dorongan-dorongan alam bawah sadar, termasuk tindakan manusia

dalam beragama merupakan tindakan tidak sadar yang berasal dari libido yang

disublimasi. Freud mempertegas psikoanalisisnya dengan mengemukakan tiga

struktur spesifik kepribadian, yaitu id, ego dan super ego.

a. Id ( Das Es), Aspek Biologis Kepribadian

Id merupakan komponen kepribadian yang primitif, instinktif (yang

berusaha untuk memenuhi kepuasan insting) dan rahim tempat ego dan super

ego berkembang. Semua teori kepribadian menyepakati bahwa manusia, seperti

binatang lain, dilahirkan dengan sejumlah insting dan motivasi. Insting yang

paling dasar adalah tangisan anak yang baru lahir kedunia, sebagai bentuk

respon stimulasi menyakitkan dan akan menyusu sampai mereka terpuaskan.

7
Ketika lahir, kekuatan motivasi dalam diri tentunya belum dipengaruhi oleh dunia

luar. Freud menyebut inti kepribadian yang belum tercemar ini sebagai id.

Id berorientasi pada prinsip kesenangan (pleasure principile) berisikan

motivasi dan energi psikis dasar, yang sering disebut insting atau impuls.

Maksudnya bahwa id itu merupakan sumber dari insting kehidupan (eros) atau

dorongan-dorongan biologis (makan, minum, tidur, bersetubuh, dsb.) dan insting

kematian (tanatos) yang menggerakan tingkah laku. Id merupakan proses primer

yang bersifat primitif, tidak logis, tidak rasional, dan orientasinya bersifat fantasi

(maya).

Id merupakan libido murni atau energi psikis yang bersifat irasional dan

berkarakter seksual yang secara instingtual menetukan proses-proses tanpa

sadar. Id berusaha memuaskan kebutuhan libidinal instingtual, baik secara

langsung dengan pengalaman seksual maupun tidak langsung melalui mimpi

atau fantasi. Id tidak memiliki kontak langsung dengan lingkungan, tetapi

berhubungan dengan struktur kepribadian lainnya yang memediasi id dengan

dunia luar.

Dalam mereduksi ketegangan atau menghilangkan kondisi yang tidak

menyenangkan id menempuh dua cara (proses), yaitu ;

1. Refleks

Merupakan reaksi-reaksi mekanis/otomatis yang bersifat bawaan (bukan

hasil belajar) seperti ; bersin, menguap, berkedip, dsb.

2. Proses Primer (the primary process)

Merupakan reaksi-reaksi psikologis yang lebih rumit, seperti : berhayal,

berfantasi, mimpi, dsb.

8
Freud meyakini bahwa mimpi merupakan usaha pemenuhan keinginan atau

dorongan yang tidak terpenuhi dalam kondisi nyata. Berbagai halusinasi pada

orang yang mengalami gangguan jiwa merupakan contoh dari proses primer ini.

Namun yang jelas proses primer ini tidak dapat mengurangi ketegangan atau

memenuhi keinginan, maka cara atau proses baru perlu dikembangkan. Atas

dasar kebutuhan inilah komponen kepribadian kedua terbentuk, yaitu Ego (Das

Ich).

b. Ego (Das Ich), Aspek Psikologis Kepribadian

Struktur lain adalah ego yang berhubungan dengan id. Ego sering disebut

pengatur (executive) kepribadian karena perannya sebagai penyalur energi-

energi id kepada saluran yang dapat diterima secara sosial. Ego yang membuat

keputusan (decision maker) tentang insting-insting yang akan dipenuhi atau

sebagai sistem kepribadian yang terorganisasi, rasional, dan berorientasi kepada

prinsip realitas (reality priciple) peran utama ego adalah menjembatani antara id

dengan kondisi lingkungan atau dunia luar (external social world) yang

diharapkan. Ego adalah satu-satunya wilayah pikiran yang memiliki kontak

dengan realita.

Ego berkembang dari id semasa bayi antara usia usia 1 dan 2 tahun, saat

anak pertama kali menghadapi lingkungan. Menurut Freud (1933/1964), ego

berkembang terpisah dari id ketika bayi belajar untuk membedakan dirinya

dengan dunia luar. Sementara id tetap tak berubah, ego terus mengembangkan

aneka strategi untuk mengontrol tuntutan-tuntutan id akan kesenangan yang

tidak realistis dan tidak sudi untuk tunduk. Terkadang ego sanggup mengekang

dorongan id yang serba kuat dan mencari kesenangan, tetapi terkadang id yang

memegang kendali. Ego mempunyai keinginan untuk memaksimalkan

9
pencapaian kepusaan, hanya dalam prosesnya, ego berdasar pada “secondary

process thinking“. Proses sekunder adalah berpikir realistik yang berorientasi

kepada pemecahan masalah. Termasuk pula fungsi-fungsi persepsi, belajar,

memori, dsb. Melalui proses tersebut ego merumuskan suatu rencana untuk

memuaskan kebutuhan atau dorongan, kemudian menguji rencana itu. Kegiatan

itu disebut reality testing (pengujian keberadaan objek pemuasan di dunia nyata).

Hal yang perlu diperhatikan dari ego adalah :

1. Ego merupakan bagian dari id yang kehadirannya bertugas untuk

memuaskan kebutuhan id, bukan untuk mengecewakannya.

2. Seluruh energi (daya) ego berasal dari id, sehingga ego tidak terpisah

dari id.

3. Peran utamanya menengahi kebutuhan id dan kebutuhan lingkungan

sekitar.

4. Ego bertujuan untuk mempertahankan kehidupan individu dan

pengembangbiakannya.

Begitu anak memasuki usia lima atau enam tahun, mereka mengidentifikasi diri

mereka dengan orang tua dan mulai belajar apa yang seharusnya dan tidak

seharusnya mereka lakukan. Inilah yang menjadi asal-usul dari superego.

c. Super Ego (Das Uber Ich), Aspek Sosiologis Kepribadian

Dalam psikologi Freudian, superego mewakili aspek-aspek moral dan ideal

dari kepribadian serta dikendalikan oleh prinsip-prinsip moralistis dan idealis

(moralistic and idealistic principles) yang berbeda dari dengan prinsip

kesenangan dari id dan prinsip realistis dari ego. Superego berkembang dari

ego, dan sama seperti ego tidak memiliki sumber energi sendiri. Akan tetapi,

10
superego berbeda dalam satu hal penting, superego tidak mempunyai kontak

dengan dunia luar sehingga tuntutan superego akan kesempurnaan pun menjadi

tidak realistis ( Freud, 1923/1961a). Superego merupakan komponen moral

kepribadian yang terkait dengan standar atau norma masyarakat. Melalui

pengalaman hidup, individu telah menerima latihan atau informasi tentang

tingkah laku yang baik atau buruk. Individu menginternalisasi berbagai norma

sosial tersebut. Dalam arti, individu menerima norma-norma sosial atau prinsip-

prinsip moral tertentu, kemudian menuntut individu yang bersngkutan untuk

hidup sesuai dengan norma tersebut.

Superego berkembang pada usia sekitar 3 atau 5 tahun. Pada usia ini anak

belajar untuk memperoleh hadiah (rewards) dan menghindari hukuman

(punishment) dengan cara mengarahkan tingkah lakunya yang sesuai dengan

ketentuan atau keinginan orangtuanya. Superego memiliki dua subsistem, suara

hati (conscience) dan ego ideal. Mekanisme terbentuknya kata hati dan ego ideal

itu disebut introjeksi. Freud tidak membedakan kedua fungsi ini secara jelas,

tetapi secara umum, suara hati lahir dari pengalaman-pengalaman mendapatkan

hukuman atas perilaku yang tidak pantas dan mengajari kita tentang hal-hal yang

sebaiknya tidak dilakukan, sedangkan ego ideal berkembang dari pengalaman

mendapatkan imbalan atas perilaku yang tepat dan mengarahkan kita pada hal-

hal yang sebaiknya dilakukan. Suara hati yang primitif datang dari kepatuhan

anak pada standar orang tua karena takut kehilangan rasa cinta dan dukungan

orang tua. Superego yang berkembang dengan baik berperan dalam

mengendalikan dorongan-dorongan seksual dan agresif melalui proses represi.

Superego memang tidak bisa memproduksi represi sendiri, tetapi superego bisa

memerintahkan ego untuk melakukan hal tersebut. Superego mengawasi ego

11
dengan ketat serta menilai tindakan dan niat dari ego. Freud (1933/1964)

menggaris bawahi bahwa antar wilayah pikiran tersebut tidaklah dipisahkan

secara tegas maupun dibagi oleh sekat yang jelas. Perkembangan ketiga

wilayah ini bervariasi antar individu yang berbeda. Bagi sebagian orang,

superego baru berkembang setelah masa kanak-kanak; sedangkan bagi yang

lain, superego mendominasi kepribadian lewat rasa bersalah dan perasaan

inferior. Sedangkan bagi yang lain, ego dan superego bergantian mengendalikan

kepribadian sehingga mengakibatkan mood berfluktuasi secara ekstrem dan

muncul siklus di mana rasa percaya diri dan rasa menghukum diri sendiri muncul

bergantian. Dengan terbentuknya superego ini, berarti pada diri individu telah

terbentuk kemampuan untuk mengontrol dirinya sendiri (self control)

menggantikan kontrol dari orang tua (out control).

Dapat dipahami superego berfungsi sebagai berikut :

1. Merintangi dorongan-dorongan id, terutama dorongan seksual dan

agresif, karena dalam perwujudannya sangat dikutuk oleh

masyarakat.

2. Mendorong ego untuk menggantikan tujuan-tujuan realistik dengan

tujuan-tujuan moralistik.

3. Mengejar kesempurnaan (perfection)

Superego serupa dengan hati nurani, namun lebih dalam lagi. Kita dapat berpikir

mengenai apa yang diperintahkan oleh hati nurani-serangkaian panduan etis

dalam diri-namun sebagian dari superego tidak dapat kita sadari. Maksudnya,

kita tidak selalu sadar akan dorongan moral dalam diri yang menekan dan

membatasi tindakan kita.

12
C. Dinamika Kepribadian Freud

Tingkat kehidupan mental dan wilayah pikiran mengacu pada komposisi

kepribadian; tetapi kepribadian itu sendiri bertindak. Sehingga Freud

mengusulkan sebuah dinamika atau prinsip motivasional untuk menerangkan

kekuatan-kekuatan yang mendorong tindakan manusia. Motivasi ini diperoleh

dari energi psikis dan fisik dari dorongan-dorongan dasar yang dimiliki.

a. Distribusi Energi

Freud memandang organisme manusia sebagai sistem energi yang

kompleks. Sistem energi ini berasal dari makanan yang dikonsumsi dan

dipergunakan untuk berbagai macam kegiatan aktivitas manusia. Energi

manusia dibedakan hanya dari penggunaannya, energi fisik untuk

aktivitas fisik dan energi psikis untuk aktivitas psikis. Berdasarkan doktrin

konservasi energi, bahwa energi dapat berubah dari energi fisiologis ke

energi psikis atau sebaliknya. Ini sesuai dengan kaidah fisika, bahwa

energi tidak dapat hilang, tetapi dapat pindah dan berubah bentuk. Freud

berpendapat bahwa apabila energi itu digunakan dalam kegiatan

psikologis, seperti berpikir. Kemudian yang menjadi titik pertemuan atau

jembatan antara energi jasmaniah dengan energi kepribadian adalah id

dan insting.

b. Insting Sebagai Energi Psikis

Insting adalah perwujudan psikologis dari kebutuhan tubuh yang

menuntut pemuasan. Mereka yang menerjemahkan pikiran Freud

menggunakan istilah insting, tetapi sebetulnya kata yang lebih cocok

adalah “dorongan“ (drive) atau impuls (impulse). Kata insting pada

umumnya digunakan untuk menggambarkan pola perilaku yang menetap.

13
Dorongan bekerja sebagai tekanan motivasional yang konstan. Sebagai

stimulus internal, dorongan ini berbeda dengan stimulus eksternal karena

stimulus internal tidak bisa dihindari. Setiap dorongan yang ada memiliki

beberapa hal yang dapat dijelaskan sebagai berikut :

- Desakan (impetus), yaitu besar kekuatan atau intensitas dari

dorongan yang keluar.

- Sumber (source), yaitu adalah bagian tubuh yang mengalami

ketegangan atau rangsangan. Tubuh yang menuntut keadaan

seimbang terus-menerus beserta perubahan dan perkembangannya.

- Tujuan (aim), yaitu untuk memperoleh kepuasaan dengan cara

meredam rangsangan atau mengurangi ketegangan. Pada dasarnya

bersifat regressive (kembali ke asal), berusaha kembali keadaan

tenang seperti sebelumnya, juga bersifat konservatif,

mempertahankan keseimbangan dengan menghilangkan stimulus

yang menggangu. Sumber dan tujuan yang konstan, bisa

menimbulkan pengulangan tingkahlaku. Kalau pengulangan menjadi

irasional, tanpa dapat dicegah oleh kesadaran, menjadi gejala

neurotik kompulsi repetisi (repetition compulsion).

- Objek (Object), yaitu segala sesuatu yang menjembatani antara

kebutuhan yang timbul dengan pemenuhannya. Dengan kata lain

orang atau benda yang dijadikan alat memperoleh tujuan.

Gagasan mengenai dorongan ini sesuai dengan apa yang dipikirkan oleh Freud

saat mendiskusikan proses kepribadian. Freud mengajukan kategori klasifikasi

dorongan tersebut dalam dua kelompok :

1. Insting Hidup (life instinct)

14
Insting hidup juga disebut juga Eros adalah dorongan yang menjamin survival

dan reproduksi. Insting hidup merupakan motif dasar manusia yang

mendorongnya untuk bertingkah laku secara positif atau konstruktif. Insting ini

berfungsi untuk melayani tujuan manusia agar tetap hidup dan berkembang.

Insting ini meliputi dorongan jasmaniah, seperti seks, lapar dan haus. Insting ini

juga dinyatakan atau diwujudkan dalam berbagai komponen budaya kreatif,

seperti : seni lukis, musik, kerjasama, dan cinta. Insting hidup mencakup

dorongan yang berhubungan dengan ego awal dan insting seksual. Freud

memberikan pada energi dari insting hidup, yaitu libido.

Freud menjadi kontroversial karena berpendapat insting hidup yang

terpenting adalah insting seks. Freud meyakini bahwa seluruh tubuh dialiri libido.

Libido ini bersumber dari erotogenic zones yaitu bagian-bagian tubuh yang

sangat peka terhadap rangsangan (seperti: bibir/mulut, anus, dan organ seks)

yang apabila dimanipulasi dengan cara tertentu (seperti sentuhan) akan

menimbulkan perasaan nikmat (menyenangkan). Karena kepuasan seks dapat

diperoleh bukan hanya dari organ genital, dan cara mencapainya juga bervariasi,

semua tingkah laku yang dimotivasi oleh insting hidup mirip dengan tingkah laku

seksual. Bagi Freud semua aktivitas yang memberi kenikmatan dapat dilacak

hubungannya dengan insting seksual.

Bayi umumnya berpusat pada diri sendiri (self-centered) karena nyaris

mengarahkan libido pada ego sendiri. Kondisi ini dikenal dengan narsisme

pertama (primary narcisism). Ketika ego berkembang anak melepaskan narsisme

pertamanya dan mengembangkan ketertarikan diluar dirinya yang berubah

menjadi libido objek. Akan tetapi, di masa puber, remaja seringkali kembali

mengarahkan libido mereka ke ego dan memusatkan perhatian mereka pada

15
penampilan dan ketertarikan pribadi lainnya. Ini membuktikan bahwa kemunculan

narsisme sekunder (secondary narcisism) tidak universal, tetapi kecintaan

terhadap diri sendiri hingga taraf menengah, umum terjadi pada hampir semua

orang.

Manifestasi kedua dari eros adalah cinta, yang berkembang pada saat

mengarahkan libido pada objek atau orang lain. Ketertarikan seksual pertama

pada anak-anak adalah pada orang yang merawatnya, biasanya ibu. Akan tetapi,

cinta seksual yang terbuka kepada anggota keluarga umumnya ditekan sehingga

memunculkan cinta jenis kedua. Freud menyebut cinta jenis kedua ini sebagai

tujuan yang terhambat (aim-inhibited) karena tujuan mengurangi ketegangan

seksual ini terhambat atau ditekan. Cinta yang lazimnya dirasakan orang kepada

saudara sekandung atau orang tua umumnya memiliki tujuan yang terhambat.

Dua dorongan seksual lain yang juga saling terkait adalah sadisme, yaitu

kebutuhan akan kesenangan seksual dengan cara menimbulkan rasa sakit atau

mempermalukan orang lain. Apabila dilakukan secara ekstrem, maka sadisme

dipandang sebagai kelainan seksual. Sadisme menjadi kelainan pada saat tujuan

seksual dari kesenangan erotis tersebut tersisihkan oleh tujuan merusak

(Freud,1933/1964).

Yang kedua adalah masokisme, dorongan seksual dengan menyerang

atau menyakiti diri sendiri. Seorang masokis mengalami kesenangan seksual dari

penderitaan yang diakibatkan oleh rasa sakit dan perasaan dipermalukan yang

dipicu, baik oleh diri sendiri ataupun oleh orang lain. Oleh karena seorang

masokis bisa menimbulkan rasa sakit pada dirinya sendiri, maka mereka tidak

bergantung pada orang lain untuk memenuhi masokistis mereka.

16
2. Insting mati (death instink: thanatos)

Insting ini merupakan motif dasar manusia yang mendorongnya untuk

bertingkah laku yang bersifat negatif atau destruktif. Freud meyakini bahwa

manusia dilahirkan dengan membawa dorongan untuk mati (keadaan tak

bernyawa = inanimate state). Pendapat ini didasarkan kepada prinsip

konstansi dari Fechner yaitu bahwa semua proses kehidupan itu cenderung

kembali kepada dunia yang anorganis. Kenyataan manusia akhirnya mati,

oleh karena itu tujuan hidup adalah mati. Hidup itu sendiri tiada lain hanya

perjalanan ke arah mati. Dia beranggapan bahwa insting ini merupakan sisi

gelap dari kehidupan manusia. Bekerja secara sembunyi-sembunyi akibatnya

pengetahuan mengenai insting mati menjadi terbatas. Fungsinya tidak begitu

jelas, oleh karena itu tidak begitu dikenal. Freud, gagal menunjukan sumber

fisik dari insting mati dan energi apa yang dipakai. Insting mati mendorong

untuk merusak diri sendiri. Devriatif dari insting ini adalah tingkah laku

agresif, serupa dengan dorongan seksual, agresi bersifat fleksibel dan bisa

berubah bentuk baik secara verbal (seperti marah-marah dan

mencemooh/mengejek orang lain) maupun non-verbal (seperti berkelahi,

membunuh, atau bunuh diri dan memukul orang lain). Sebagian agresif dapat

disalurkan pada kegiatan yang dapat diterima lingkungan sosial, seperti

pengawasan lingkungan (oleh polisi), dan olah raga. Ada juga yang tersalur

dalam ekspresi yang dilemahkan seperti menghukum atau menyalahkan diri

sendiri, menyiksa diri dengan bekerja lebih keras dan sikap

merendah/meminta maaf. Kecenderungan agresi ada pada semua orang dan

hal ini menjelaskan mengapa terjadi perang, dan pencemaran agama.

17
Sepanjang hidup, dorongan untuk hidup dan mati terus bergulat untuk

saling menaklukan. Akan tetapi, di saat yang sama, keduanya tunduk pada

prinsip kenyataan yang mewakili tuntutan dari luar. Tuntutan dunia nyata

inilah yang menghambat pemenuhan dorongan seksual maupun agresi

secara langsung, tersembunyi, dan tanpa halangan. Hal inilah yang sering

kali menciptakan kecemasan.

c. Konflik

Freud berasumsi bahwa tingkah laku manusia merupakan hasil dari

rentetan konflik internal yang terus menerus. Konflik (peperangan) antara

id, ego, dan superego adalah hal yang biasa (rutin). Karena id

menginginkan kepuasaan dengan segera, sementara ego menundanya

sampai ada kecocokan dengan dunia luar, dan superego seringkali

menghalanginya. Freud meyakini bahwa konflik-konflik itu bersumber

kepada dorongan-dorongan seks dan agresif. Dengan alasan yang

diberikan sebagai berikut :

1. Freud berpikir bahwa seks dan agresi merupakan dorongan yang

lebih kompleks dan membingungkan kontrol sosial dari pada motif-

motif dasar lainnya.

2. Dorongan seks dan agresi dirintangi secara lebih teratur (reguler) dari

pada dorongan biologis lainnya.

Konflik sering terjadi secara tidak disadari. Walaupun tidak disadari,

konflik tersebut dapat melahirkan kecemasan (anxiety).

d. Kecemasan

18
Kecemasan ini dapat dilacak dari kekhawatiran ego akan dorongan id

yang tidak dapat dikontrol, sehingga melahirkan suasana yang

mencekam/mengerikan. Kecemasan dipandang sebagai komponen

pokok dinamika kepribadian. Kecemasan ini mempunyai peranan sentral

dalam teori psikoanalisis. Freud menjelaskan bahwa kecemasan

merupakan situasi afektif yang dirasa tidak menyenangkan yang diikuti

oleh sensasi fisik oleh ego sebagai isyarat adanya bahaya yang

mengancam. Hanya ego yang bisa memproduksi atau merasakan

kecemasan. Akan tetapi, baik id, superego, maupun dunia luar terkait

dalam salah satu dari tiga jenis kecemasan.

- Kecemasan neurosis (neurotic anxiety), adalah rasa cemas akibat

bahaya yang tidak diketahui. Kecemasan ini berkembang

berdasarkan pengalaman masa anak yang terkait dengan hukuman

atau ancaman dari orang tua. Perasaan tersebut digeneralisasikan ke

dalam kecemasan neurosis tidak sadar. Cemas akan hukuman yang

maya (hayalan) dari orang tua atau orang yang otoritas lebih tinggi.

- Kecemasan moral (moral anxiety), adalah respon superego terhadap

dorongan id yang mengancam untuk memperoleh kepuasan secara

“immoral“. Kecemasan ini diwujudkan dalam bentuk perasaan

bersalah (guilty feeling) atau rasa malu (shame). Seseorang yang

mengalami kecemasan ini, merasa takut akan dihukum oleh

superegonya atau kata hatinya. Biasanya di usia lima atau enam

tahun. Kecemasan ini juga bisa muncul karena kegagalan bersikap

konsisten dengan apa yang mereka yakini benar secara moral.

19
- Kecemasan realistis (realistic anxiety), adalah respon terhadap

ancaman dari dunia luar atau perasaan takut terhadap bahaya yang

nyata (real), yang berada dilingkungan.Kecemasan ini didefinisikan

sebagai perasaan yang tidak menyenangkan dan tidak spesifik yang

mencakup kemungkinan bahaya itu sendiri. Akan tetapi, kecemasan

realistis ini berbeda dari rasa takut karena tidak mencakup objek

spesifik yang ditakuti.

Ketiga kecemasan ini, umumnya sulit dipisahkan satu dari yang lainnya

dan tidak tergambar dengan jelas. Biasanya, kecemasan ini muncul dalam

bentuk kombinasi. Kecemasan berfungsi sebagai mekanisme yang

mengamankan ego karena memberi sinyal bahwa ada bahaya didepan mata

(Freud, 1933/1964). Kecemasan memungkinkan ego yang selalu siaga ini tetap

waspada terhadap tanda-tanda ancaman dan bahaya. Sinyal adanya bahaya

yang mengintai membuat kita bersiaga untuk melawan atau melindungi diri.

Kecemasan juga mengatur dirinya sendiri (self-regulating) karena bisa memicu

represi, yang kemudian mengurangi rasa sakit akibat kecemasan tadi (Freud,

1933/1964). Apabila ego tidak punya pilihan untuk melindungi diri, maka

kecemasan tak akan bisa ditoleransi. Oleh karena itu, perilaku melindungi diri ini

bermanfaat melindungi ego dari rasa sakit akibat kecemasan. Setiap orang

berusaha untuk membebaskan diri dari kecemasan ini yang dalam usahanya

sering menggunakan mekanisme pertahanan ego.

e. Mekanisme pertahanan diri (self defense mecanisms)

Freud pertama kali mengembangkan pemikiran tentang mekanisme

pertahanan diri ini pada tahun 1926 (Freud, 1926/1959a). Mekanisme

20
pertahanan ego merupakan proses mental yang berujuan untuk mengurangi

kecemasan dan dilakukan melalui dua karakteristik khusus yaitu:

1. Tidak disadari, membentengi impuls sehingga tidak dapat muncul menjadi

tingkahlaku sadar.

2. Menolak, memalsukan atau mendistorsi (mengubah) kenyataan.

Membelokkan impuls sehingga intensitas aslinya dapat dilemahkan atau

diubah.

Mekanisme pertahanan diri dapat juga diartikan sebagai reaksi-reaksi yang tidak

disadari dalam upaya melindungi diri dari emosi atau perasaan yang

menyakitkan, seperti cemas dan perasaan bersalah. Ego menggunakan

mekanisme ini untuk mengendalikan kekuatan (antiteksis) sehingga terjadi

represi atau menekan ingatan, pikiran, atau gagasan yang melahirkan

kecemasan. Sekalipun mekanisme pertahanan ini normal dan digunakan secara

universal, apabila digunakan secara ekstrem, maka mekanisme-mekanisme ini

akan mengarah pada perilaku yang kompulsif, repetitif, juga neoritis. Oleh karena

itu perlu mencurahkan energi psikis untuk menyusun dan mempertahankan

mekanisme pertahanan, semakin defensif, semakin berkurang energi psikis

yang tersisa pada kita untuk memuaskan dorongan-dorongan id. Sehingga ego

membangun mekanisme pertahanan agar untuk tidak perlu menghadapi

ledakan-ledakan seksual dan agresif secara langsung dan untuk

mempertahankan diri dari kecemasan yang mengikuti dorongan tersebut (Freud,

1926/1959a). Freud sendiri hanya mendeskripsikan tujuh mekanisme

pertahanan, menurutnya orang cenderung menggunakan lebih dari satu

mekanisme pertahan untuk melindungi diri dari kecemasan, baik secara

bersama-samaan maupun secara bergantian sesuai dengan bentuk

21
ancamannya. Semua jenis mekanisme pertahanan ego ini berkembang, karena

ego sangat lemah untuk mengatasi tuntutan lingkungan. Kita mengembangkan

cara untuk mengubah realitas dan meniadakan perasaan dari kesadaran

sehingga kita tidak merasa cemas. Fungsi ini dilakukan oleh ego, sebagai usaha

yang strategis oleh ego untuk menghadapi impuls id yang tidak dapat diterima

secara sosial. Mekanisme pertahanan yang dideskripsikan oleh Freud yang

paling banyak dipakai dalam kehidupan sehari-hari adalah sebagai berikut:

1. Represi (Repression)

Mekanisme pertahanan yang paling dasar, ini merupakan proses penekanan

dorongan-dorongan ke alam tidak sadar, dapat diartikan juga sebagai proses

“penguburan“ pikiran dan perasaan. Represi adalah proses ego memakai

kekuatan antiteksis untuk menekan keinginan atau hasrat yang apabila

dilakukan dapat menimbulkan perasaan bersalah (guilty feeling) dan konflik yang

menimbulkan rasa cemas atau memori (ingatan) yang menyakitkan. Namun

kalau ego tidak mampu menekan impuls kompleks tertekan yang mengganggu,

impuls itu mencari jalan keluar melalui celah-celah antiteksis yang saling

berlawanan, atau muncul dalam bentuk displasement. Agar tidak memicu

kecemasan, displasement itu disembunyikan dalam bentuk sublimasi, substitusi,

atau kompensasi dengan lambang tertentu yang cocok. Dinamika campuran

antara represi dan pemindahan, sebagai berikut:

a. Represi + displacement: gadis yang takut mengekspresikan

kemarahannya kepada orang tuanya menjadi memberontak dan

mengamuk kepada gurunya.

22
b. Represi + Simptom histerik: Seorang pilot menjadi buta walaupun secara

fisiologik matanya sehat, setelah mengalami kecelakaan pesawat dan

kopilot teman baiknya meninggal.

c. Represi + psychophysiological disorder: wanita yang mengalami migrain

setiap menekan rasa marahnya, memilih menuruti orang lain dari pada

keinginan sendiri agar tidak perlu timbul rasa marah yang harus ditekan.

d. Represi + fobia: Pria yang takut dengan barang yang terbuat dari karet .

waktu masa kecil dia pernah dihukum berat ayahnya karena meletuskan

balon karet hadiah adiknya. Karet kini menjadi pemicu ingatan meskipun

hukuman itu dan harapan massa-kecil agar adiknya mati.

e. Represi + Nomadisme: Orang yang selalu pindah tempat atau perubahan

minat, sebagai usaha pelarian dari suasana frustasi.

Masyarakat tidak memperkenankan ekspresi seks dan agresi total tanpa batas.

Ketika anak yang menunjukkan perilaku kekerasan atau seksual mendapatkan

hukuman atau tekanan, mereka kemudian belajar merasa cemas begitu mereka

merasakan dorongan tersebut. Sekalipun kecemasan tersebut jarang mengarah

kepada represi total atas dorongan agresi maupun seksual, sering kali

kecemasan tersebut memunculkan regresi yang sifatnya parsial. Freud meyakini:

1. Dalam alam bawah sadar, dorongan tersebut tetap tidak berubah.

2. Dorongan tersebut mendesak masuk ke alam sadar dalam bentuk yang

tak berubah sehingga justru menciptakan kecemasan yang lebih besar

yang tidak bisa dikendalikan, akibatnya akan dicekam rasa cemas

berkepanjangan.

3. Bahwa dorongan yang direpresi tersebut diekspresikan dalam bentuk lain

yang terselubung.

23
Dorongan yang mengalami tekanan tersebut juga bisa tersalurkan lewat mimpi,

salah ucap, ataupun bentuk-bentuk mekanisme pertahanan lainnya.

2. Pembentukan reaksi (Reaction Formation)

Pembentukan reaksi ini merupakan penggantian sikap dan tingkah laku dengan

kondisi yang berlawanan. Bertujuan untuk menyembunyikan pikiran dan

perasaan yang dapat menimbulkan kecemasan. Biasanya ditandai dengan sikap

atau perilaku yang berlebihan yang obsesif juga kompulsif. Cenderung

penggantian perasaan itu dari negatif ke positif, meskipun teradang dari positif ke

negatif juga ada. Contoh dari pembentukan reaksi bisa dilihat dari seorang

perempuan muda yang sangat marah dan benci pada ibunya. Oleh karena ia

tahu bahwa masyarakat menuntut anak untuk sayang pada orang tua, maka

kesadaran akan rasa benci pada sang ibu akan membuatnya merasakan

kecemasan yang besar. Guna menghindari rasa sakit akibat kecemasan itu,

maka perempuan muda tersebut berkonsentrasi pada dorongan sebaliknya yaitu

cinta. Akan tatapi “cinta“-nya pada sang ibu tidaklah tulus. Cintanya terlalu

ditonjolkan, dibesar-besarkan, dan dibuat-buat. Orang lain bisa dengan mudah

melihat perasaan yang ada di balik rasa cintanya, tetapi perempuan muda tadi

harus menipu dirinya sendiri dan berpegang pada pembentukan reaksinya, yang

membantu dirinya menyembunyikan kebenaran-yaitu rasa benci pada sang ibu-

yang membuatnya cemas.

3. Pengalihan (Displacement)

Freud meyakini bahwa pembentukan reaksi terbatas hanya pada satu objek

tunggal. Manakala objek kateksis asli tidak dapat dicapai karena rintangan

(sosial, alami), dorongan itu direpres kembali kedalam alam bawah sadar, atau

24
ego menawarkan kateksis objek baru, yang berarti mengalihkan dari objek satu

ke yang lain. Proses mengganti objek kateksis untuk meredakan ketegangan

adalah kompromi antara id dengan realitas ego, sehingga disebut dengan reaksi

kompromi (reaction compromise). Ada tiga macam rekasi kompromi :

a. Sublimasi adalah kompromi yang menghasilkan prestasi budaya yang

lebih tinggi, diterima masyarakat sebagai kultural kreatif. Misalnya:

Leonardo da Vinci gemar melukis Madonna sebagai sublimasi

kerinduannya kepada ibunya yang meninggalkannya pada usia yang

masih muda.

b. Substansi adalah pemindahan atau kompromi di mana kepuasan yang

diperoleh masih mirip dengan kepuasan aslinya. Misalnya remaja yang

cemas untuk menyalurkan dorongan seksnya, mengganti dengan

membaca buku cabul atau masturbasi.

c. Kompensasi adalah kompromi dengan mengganti dorongan yang harus

dipuaskan. Pelajar yang cacat/paraplegia merasa tehambat impuls-impuls

sosialnya, berusaha belajar tekun untuk menjadi anak yang terpandai di

kelas yang berarti memuaskan impuls berkuasa.

Kemampuan untuk mengalihkan objek ini adalah mekanisme yang paling kuat

dalam perkembangan kepribadian. Semua perhatian, minat, kegemaran, nilai-

nilai, sikap, dan ciri kepribadian orang dewasa menjadi ada berkat mekanisme

pengalihan ini. Bila sekiranya tidak dapat dialihkan dan tidak dapat dibagi-bagi,

maka tidak ada perkembangan kepribadian, dan orang hanya akan menjadi robot

(melakukan tindakan yang pasti dan tetap dengan seluruh dorongan insting).

Namun bila pengalihan tidak mampu meredakan kecemasan atau ketegangan,

25
jumlahnya akan menumpuk tegangan dan dapat menjadi sumber motivasi yang

permanen, juga dapat menimbulkan kegelisahan dan gangguan syaraf.

4. Fiksasi (Fixation)

Fiksasi adalah terhentinya perkembangan normal pada tahap perkembangan

tertentu karena perkembangan lanjutannya sangat sukar sehingga menimbulkan

frustasi dan kecemasan yang terlalu kuat. Secara umum, pertumbuhan psikis

lazim bergerak secara kontinu melalui serangkaian tahap perkembangan. Akan

tetapi proses pendewasaan secara psikologis tidaklah bebas dari momen stres

dan kecemasan. Bila menikmati kenyamanan karena merasa puas pada tahap

perkembangan tertentu dan menolak untuk bergerak maju, impuls tegangan

pada tahap fiksasi itu dapat terus menerus diredakan. Misalnya kecemasan dan

frustasi untuk mandiri secara finansial, membuat remaja/dewasa yang hidup

bersama orang tuanya mengalami fiksasi, tergantung secara berlebihan kepada

orang tuanya. Secara teknis, fiksasi merupakan keterikatan permanen dari libido

pada tahap perkembangan sebelumnya yang lebih primitif (Freud, 1917/1963).

Orang yang terus-menerus mendapatkan kepuasan lewat makan, merokok, atau

bicara bisa jadi memiliki fiksasi oral, sebagaimana mereka yang terobsesi pada

kerapihan dan keteraturan memiliki fiksasi anal.

5. Regresi (Regression)

Regresi merupakan pengulangan kembali tingkah laku yang cocok bagi tahap

perkembangan atau usia sebelumnya (perilaku kekanak-kanakan). Tujuannya

adalah untuk memperoleh bantuan dalam mengahadapi peristiwa yang

traumatik. Upaya ini mengatasi kecemasan dengan bertingkah laku yang tidak

sesuai dengan tingkat perkembangannya dan berbalik kembali kepada perilaku

26
yang dulu pernah dialami. Pada saat libido melewati tahap perkembangan

tertentu, di masa-masa penuh stres dan kecemasan, libido bisa kembali ke tahap

yang sebelumnya. Salah satu cara yang umum diambil oleh orang dewasa dalam

menghadapi situasi yang memunculkan kecemasan adalah untuk mundur ke

pola perilaku sebelumnya yang lebih aman dan nyaman serta mengarahkan

libidonya ke objek-objek yang lebih primitif dan familiar. Pada kondisi stres yang

ekstrem, seorang dewasa bisa berbaring dalam posisi meringkuk seperti bayi

dalam kandungan, seorang istri kerumah ibunya ketika bertengkar dengan

suaminya, atau berbaring sepanjang hari ditempat tidur dan bersembunyi dibalik

selimut dari dunia yang penuh ancaman.

6. Proyeksi

Proyeksi adalah mekanisme mengubah kecemasan neurotik/moral menjadi

kecemasan realistik, dengan cara melemparkan impuls-impuls internal yang

mengancam dipindahkan ke objek diluar, sehingga seolah-olah ancaman itu

terprojeksi dari objek eksternal kepada diri orang itu sendiri. Pengubahan ini

mudah dilakukan karena sumber asli kecemasan neurotik/moral itu adalah

ketakutan terhadap hukuman dari luar. Contoh:

- Impuls “saya membenci dia“ menimbulkan kecemasan neurotik (saya

akan dihukum) diproyeksikan menjadi “dia membenci saya“ (dia yang

dihukum)

- Impuls “saya mencintai dia“ menimbulkan kecemasan neurotik (malu

kalau ditolak) diproyeksikan menjadi “dia mencintai saya“ (dia yang

akan malu.

27
Jenis proyeksi yang ekstrem adalah paranoid (paranoia), yaitu kelainan

mental yang ditandai dengan pikiran-pikiran keliru (delusi) yang begitu

kuat berupa rasa cemburu terhadap orang lain dan merasa dikejar-kejar

oleh orang lain. Paranoid tidak selalu muncul akibat proyeksi, tetapi

merupakan jenis ekstrem dari proyeksi. Menurut Freud (1922/1955),

perbedaannya adalah paranoid selalu ditandai dengan perasaan

homoseksualitas yang ditekan terhadap pihak yang dianggap mengejar-

ngejar orang tersebut.

7. Introyeksi (Introjection)

Mekanisme untuk mengundang serta “menelaah“ sistem nilai atau standar orang

lain. Proses pengembangan superego dengan mengadopsi nilai-nilai orang tua.

Dengan kata lain mencakup pengarahan dorongan yang tidak diinginkan ke

objek eksternal. Mekanisme pertahanan ini meleburkan sifat-sifat positif orang

lain ke dalam egonya sendiri. Contohnya adalah seorang remaja yang

melakukan introyeksi atau mengadopsi perilaku, nilai atau gaya hidup seorang

bintang film. Introyeksi ini memberikan remaja tersebut rasa menghargai diri

sendiri yang berlebihan dan meminimalkan perasaan-perasaan inferiornya.

f. Sublimasi

Masing-masing dari mekanisme pertahanan diatas, membantu individu

melindungi ego dari kecemasan. Akan tetapi, setiap mekanisme tersebut tidak

sepenuhnya bisa diterima oleh masyarakat. Menurut Freud (1917/1963), satu

mekanisme-yaitu sublimasi-dapat diterima, baik oleh individu maupun kelompok

sosial. Sublimasi merupakan represi dari tujuan genital dari Eros dengan cara

menggantinya ke hal-hal yang bisa diterima, baik secara kultural ataupun sosial.

28
Tujuan sublimasi diungkapkan secara jelas terutama melalui pencapaian kultural

kreatif, seperti pada seni, musik, juga sastra, lebih tepatnya, pada segala bentuk

hubungan antarmanusia dan aktivitas-aktivitas sosial lainnya.

Secara ringkas, semua mekanisme pertahanan melindungi ego dari

kecemasan. Mekanisme-mekanisme tersebut bersifat universal yang artinya

semua orang melakukan perilaku-perilaku defensif sampai pada tahap tertentu.

Masing-masing mekanisme pertahanan ini bercampur dengan represi dan setiap

mekanisme bisa berkembang menjadi bentuk-bentuk psikopatologi. Akan tetapi

pada umumnya memberikan manfaat pada individu dan tak berbahaya bagi

masyarakat. Selain itu, sublimasi umumnya menguntungkan masyarakat

misalnya dalam kegiatan melakukan operasi pembedahan, impuls agresif dapat

berubah ke arah yang berguna dan membangun pada akhirnya.

D. Tahap Perkembangan Kepribadian

Freud dipandang sebagai teoretisi psikologi pertama yang memfokuskan

perhatiannya kepada perkembangan kepribadian. Freud berpendapat bahwa

masa anak (usia 0 – 5 tahun ) atau usia pra-genital mempunyai peranan yang

sangat dominan dalam membentuk kepribadian atau karakter seseorang.

Karena sangat menentukannya masa ini Freud berpendapat bahwa “The

child is the father of man“ (“anak adalah ayah manusia“). Berdasarkan hal ini,

maka hampir semua masalah kejiwaan pada usia selanjutnya (khususnya

usia dewasa), faktor penyebabnya dapat ditelusuri pada usia pregenital.

Makna perkembangan kepribadian menurut Freud adalah “Belajar tentang

cara-cara baru untuk mereduksi ketegangan (tension reduction) dan

29
memperoleh kepuasan“. Ketegangan itu bersumber kepada empat aspek,

sebagai berikut:

a. Pertumbuhan fisik, Seperti peristiwa menstruasi dan mimpi pertama dapat

menimbulkan perubahan aspek psikologis, dan juga ada tuntutan baru dari

lingkungan ( seperti berpakaian dan bertingkah laku).

b. Frustasi, Orang yang tidak pernah frustasi tidak akan berkembang. Jika anak

dimanja (over protection) tidak akan berkembang rasa tanggung jawab dan

kemandiriannya.

c. Konflik, ini terjadi antara id, ego dan superego. Apabila individu dapat

mengatasi setiap konflik yang terjadi diantara ketiga komponen kepribadian

tersebut, maka dia akan mengalami perkembangan yang sehat.

d. Ancaman, lingkungan, di samping dapat memberikan kepuasan kepada

kebutuhan atau dorongan insting individu, juga merupakan sumber ancaman

baginya yang dapat menimbulkan ketegangan. Apabila individu dapat

mengatasi ancaman yang dihadapinya, maka dia akan mengalami

perkembangan yang diharapkan.

Perkembangan kepribadian berlangsung melalui tahapan-tahapan

perkembangan psikoseksual yaitu yang sangat mempengaruhi kepribadian

masa dewasa, bahwa seksualitas adalah dimensi dan pernyataan dari

kepribadian.

Menurut model perkembangan Freud, tahap infantil (infantile stage),

sangat penting bagi pembentukan kepribadian. Salah satu asumsi freud

adalah bayi mempunyai kehidupan seksual dan mengalami perkembangan

seksual pragenital selama empat atau lima tahun pertama setelah kelahiran.

Pada anak dan orang dewasa, dorongan seksual bisa dipuaskan oleh organ-

30
organ selain genital. Mulut juga anus adalah bagian-bagian yang sensitif

terhadap stimulasi bersifat erogen (Freud,1933/1964). Pada tahap ini anak

mengalami tiga fase berdasarkan zona erogen, sebagai berikut:

1. Fase Oral

Bayi mendapatkan zat-zat nutrisi untuk mempertahankan hidup melalui

aktivitas oral,tetapi selain itu, mereka juga memperoleh kesenangan dari perilaku

mengisap tersebut. Pada masa ini libido didistribusikan ke daerah oral sehingga

perbuatan mengisap dan menelan menjadi metode utama untuk mereduksi

ketegangan dan mencapai kepuasan (kenikmatan). Ketidak puasan pada masa

oral dapat menimbulkan gejala regresi yaitu berbuat seperti bayi atau anak yang

sangat bergantung kepada orang tuanya atau banyak tuntutan yang harus

dipenuhi dan juga perasaan iri hati. Reaksi dari gejala tersebut dapat dinyatakan

beberapa tingkah laku, seperti mengisap jempol, mengompol, membandel, dan

diam membisu. Ketika perkembangan kepribadian yang terfiksasi pada tahap ini

akan tetap tersibukan dengan masalah-masalah ketergantungan, kelekatan, dan

memasukkan zat-zat yang menarik ke dalam mulut mereka. Fiksasi ini menjadi

dasar perkembangan mereka. Sebagai orang dewasa, mereka dapat

memperoleh kepuasan dari menggigit, mengunyah, mengisap permen, makanan,

atau merokok. Mereka memperoleh kepuasan psikologi yang sama dari

berbicara, dekat (mungkin terlalu dekat) dengan orang lain, dan terus menerus

mencari pengetahuan. Anak yang mendapat kepuasan berlebihan pada tahap ini

pun ternyata berdampak kurang baik terhadap perkembangan kepribadiannya.

Seperti menampilkan pribadi yang kurang mandiri (kurang bertanggung jawab),

bersikap rakus, dan haus perhatian atau cinta orang lain.

31
2. Fase Anal

Tahap ini berada pada usia kira-kira 2 sampai 3 tahun. Pada tahap ini libido

terdistribusikan ke daerah anus. Anak akan mengalami ketegangan, ketika

duburnya penuh dengan ampas makanan dan peristiwa buang air besar yang

dialami oleh anak merupakan proses pelepasan ketegangan dan pencapaian

kepuasan, rasa tenang atau rasa nikmat. Peristiwa ini disebut erotik anal. Fase

ini dibagi menjadi dua subfase, yaitu:

- Periode anal awal (early anal period), anak memperoleh kepuasan

dari merusak atau menghilangkan objek. Bersifat menghancurkan dari

dorongan sadistis lebih kuat dibandingkan dorongan erotis sehingga

anak-anak sering kali bertindak agresif pada orang tua karena

membuat mereka frustasi dengan latihan penggunaan toilet (toilet

training)

- Periode anal akhir (late anal period), terkadang memiliki ketertarikan

pada feses atau kotoran, ketertarikan yang berakar pada kesenangan

erotis yang diperoleh dari perilaku buang air besar.

Kesenangan narsistis juga masokis ini menjadi pondasi dari karakter anal

(anal character)-yaitu orang yang terus memperoleh kepuasan erotis

dengan menyimpan dan memiliki berbagai objek serta menatanya dengan

sangat rapi dan serba teratur. Hipotesis Freud (1933/1964) adalah

karakter anal adalah mereka yang semasa kanak-kanak sangat

menentang latihan penggunaan toilet, sering menahan feses mereka, dan

memperpanjang masa latihan penggunaan toilet lebih lama dari biasanya.

Erotisme anal ini berubah menjadi segitiga anal (triad anal) dari sikap

32
serba teratur, kikir, dan keras kepala yang khas pada orang dewasa

dengan karakter anal. Pada tahap oral dan anal, tak ada perbedaan

mendasar antara perkembangan psikoseksual pada pria dan wanita.

Keduanya bisa mengembangkan orientasi aktif ditandai dengan kualitas

maskulin dari kekuatan dan sadisme, atau orientasi pasif dengan kualitas

feminim dari voyeurisme dan masokisme.

3. Fase Falik

Tahap ini berlangsung kira-kira usia 4 sampai 5 tahun. Pada usia ini anak

mulai memperhatikan atau senang memainkan alat kelaminnya sendiri.

Dengan kata lain, anak sudah mulai bermasturbasi-mengusap-usap atau

memijit-mijit organ seksualnya sendiri-yang menghasilkan kepuasaan atau

rasa senang. Pada tahap ini, anak masih bersikap “selfish“, sikap

mementingkan diri sendiri, belum berorientasi ke luar, atau memperhatikan

orang lain. Freud meyakini bahwa anatomi adalah takdir perbedaan fisik

antara laki-laki dan perempuan mendasari sederetan perbedaan psikologis

penting diantara keduanya.

Pada tahap ini alat kelamin merupakan daerah erogen terpenting.

Masturbasi menimbulkan kenikmatan yang besar. Pada saat yang sama

terjadi peningkatan gairah seksual anak kepada orang tuanya yang

mengawali berbagai pergantian kateksis objek yang penting. Perkembangan

terpenting pada masa ini adalah timbulnya oedipus kompleks, yang diikuti

fenomena castration anxiety (dikebiri pada laki-laki) dan penis envy (pada

perempuan).

33
Oedipus kompleks adalah kateksis objek seksual anak laki-laki ingin

memiliki ibunya dan bermusuhan ingin menyingkirkan ayahnya. Kecemasan

inilah yang kemudian mendorong laki-laki mengidentifikasikan diri dengan

ayahnya. Identifikasi ini bermanfaat:

1. Anak secara tidak langsung memperoleh kepuasan impuls seksual

kepada ibunya, seperti kepuasan ayahnya.

2. Perasaan erotik kepada ibu (yang berbahaya) diubah menjadi sikap

menurut/ sayang kepada ibu.

3. Identifikasi kemudian menjadi sarana terpenting untuk mengembangkan

superego. Pada laki-laki superego adalah warisan dari oedipus kompleks.

4. Identifikasi menjadi ritual akhir dari oedipus kompleks, yang sesudah itu

ditekan kedalam ketidak sadaran.

Ketika oedipus complex ini hilang atau ditekan, maka anak laki-laki pun

menyerah pada hasrat insesnya dan mengubahnya menjadi perasaa

n cinta yang lembut serta mulai mengembangkan superego primitifnya. Mampu

mengidentifikasikan dirinya, baik pada ayah maupun ibu, tegantung kepada

kekuatan sifat feminin yang ada pada dirinya. Biasanya identifiksinya adalah

pada ayah, tetapi ini tidak sama dengan pra-oedipal. Anak laki-laki ini tidak lagi

ingin menjadi si ayah, justru ia menggunakan ayahnya sebagai model untuk

memilah perilaku baik dan buruk. Melakukan introyeksi atau meleburkan otoritas

ayahnya ke dalam egonya sendiri dan menanam benih superego yang dewasa.

Superego yang tumbuh mengambil alih larangan dari si ayah atas perilaku inses

dan memastikan agar oedipus kompleks ini terus ditekan (Freud, 1933/1964).

34
Penis Envy pada anak perempuan menurut Freud, menyadari dan

mengetahui bahwa anak perempuan cukup kecewa ketika mereka mengetahui

bahwa mereka tidak memiliki penis seperti anak laki-laki dan pria dewasa.

Dengan asumsi dasar pada masa atau tempat dimana pria memiliki kedudukan

yang lebih tinggi dibandingkan wanita. Penilaian ini dilihat dari perbedaan, yaitu

tidak adanya penis. Menurut pemikiran ini, anak perempuan mengembangkan

perasaan rendah diri dan kecemburuan akan penis. Dalam pandangan Freud,

mengenai perkembangan yang normal, anak perempuan memutuskan bahwa,

meskipun ia tidak dapat memiliki penis, ia bisa memiliki bayi ketika ia tumbuh

dewasa, sehingga ia menjadi sempurna. Dengan kata lain perkembangan

kepribadian anak perempuan didasarkan pada perasaan psikoseksual awal

mengenai identitas alat kelaminnya. Sebelum kompleks kastrasi terjadi, anak

perempuan membentuk identifikasi dengan ibunya serupa dengan yang terjadi

pada anak laki-laki; di mana anak perempuan memiliki fantasi dirinya digoda oleh

ibunya. Perasaan inses ini, menurut Freud, kemudian berkembang menjadi

kebencian manakan anak perempuan melihat si ibu bertanggung jawab karena

melahirkan dirinya tanpa penis. Libido anak perempuan ini beralih pada ayah,

yang bisa memuaskan keinginan memiliki penis denga cara memberi seorang

bayi, sebagi pengganti penis. Hasrat untuk berhubungan seksual dengan ayah

serta perasaan benci pada ibu dikenal oedipus complex sederhana pada

perempuan (simple female oedipus complex). Freud (1920/1955b, 1931/1961)

dketahui menentang istilah kompleks elecra (electra complex), yang terkadang

digunakan dalam menjelaskan oedipus complex pada perempuan. Karena istilah

ini menyiratkan hubungan paralel langsung perkembangan laki-laki dan

perempuan pada tahap falik. Bahwa hubungan seperti itu tidak ada perbedaan

35
anatomi mengarahkan perkembangan seksual pada laki-laki dan perempuan

setelah fase falik ke jalan yang berbeda. Tidak semua anak perempuan,

mengalihkan ketertarikan seksual pada ayahnya dan mengembangkan rasa

benci pada ibunya. Pada masa pra-Oedipal mengetahui tentang kasrasi mereka

dan mengakui, maka akan memilih salah satu mengambil sikap:

1. Melepaskan seksualitas baik sifat feminin dan maskulin dan

mengembangkan kebencian yang kuat pada ibu.

2. Bergantung erat pada maskulinitas mereka mengidamkan penis,

berfantasi menjadi laki-laki.

3. Berkembang secara normal,menjadikan ayah sebagai pilihan seksual dan

menjalani oedipus complex sederhana.

Agar perkembangan kepribadian anak pada tahap ini dapat berjalan dengan

baik, maka orang tua baik untuk memperhatikan hal-hal berikut:

1. Orang tua memelihara keharmonisan keluarga.

2. Ibu memerankan diri yang feminin, ramah gembira, dan penuh kasih

sayang.

3. Ayah berperan sebagai figur yang menerapkan prinsip realitas, tidak lari

dari realitas atau bertindak berlebih-lebihan.

4. Orang tua berkomitmen tinggi mengamalkan nilai-nilai agama yang

dianut.

5. Ayah besrsikap demokratis, penuh perhatian, akrab dengan anak, dan

tidak munafik.

Freud sering kali mengusulkan berbagai teori tanpa didukung oleh bukti klinis

maupun eksperimental. Kebanyakan dari teori tersebut sebagai bangunan fakta-

36
fakta, sekalipun ia sama sekali tak punya bukti pendukung yang memadai. Freud

meragukan validitas teori-teorinya tentang perempuan. Pertanyaan yang muncul

setelah lama berteori, menyiratkan bahwa Freud tidak hanya melihat perempuan

berbeda dari laki-laki, tetapi juga sebagai sebuah misteri yang tak dipahami oleh

laki-laki.

4. Periode Laten

Tahap latensi antara usia 6 sampai 12 tahun (masa sekolah dasar). Tahap ini

merupakan masa tentang seksual, karena segala sesuatu yang terkait dengan

seks dihambat atau direpres (ditekan). Selama ini anak mengembangkan

kemampuan bersublimasi dan mulai menaruh perhatian untuk berteman (bergaul

dengan orang lain). Belum memiliki perhatian khusus dengan lawan jenis (netral)

sehingga dalam bermain pun anak laki-laki akan berkelompok demikian pula

perempuan. Anak merasa malu bila diminta untuk duduk sebangku dengan

lawan jenisnya. Tahap ini sebagai perluasan kontak sosial dengan orang lain

diluar keluarga. Proses identifikasi mengalami perluasan atau pengalihan objek.

Yang semula orang tua, sekarang meluas kepada guru, tokoh-tokoh, atau para

bintang (film, musik, dan olah raga). Tahap ini sebagian muncul oleh upaya

orang tua menghukum atau mencegah aktivitas seksual. Bila orang tua berhasil

menekan, maka anak mampu merepresi dorongan seksual mengarahkannya ke

sekolah, teman, hobi, dll. Freud menjelaskan hipotesisnya pada awal

perkembangannya, manusia tinggal didalam keluarga dan ayah berkuasa

seluruh aktivitas seksual untuk dirinya sendiri. Ayah akan menyingkirkan anak

laki-lakinya sebagai ancaman otoritasnya. Kemudian suatu hari anak bergabung,

bersatu, membunuh dan menyantap ayah tersebut. Secara individual anak terlalu

lemah mengambil alih warisan ayah. Maka mereka bergabung membentuk

37
sebuah klan atau totem dan melarang bahwa didalam keluarga, membunuh ayah

dan berhubungan seksual adalah hal yang melanggar hukum. Begitu penekanan

ini tuntas maka masuk pada periode laten seksual. Seiring perkembangan

pengalaman ini berulang dari generasi ke generasi lain, maka dalam

perkembangan psikoseksual sesorang pun menjadi dorongan yang aktif, tetapi

tidak disadari. Berlanjutnya masa laten ini diperkuat oleh supresi terus-menerus

oleh orang tua juga guru dan oleh perasaan-perasaan internal seperti rasa malu,

rasa bersalah, dan moralitas. Dorongan seksual, tentu saja, tetap ada di masa

laten ini, hanya saja ada hambatan dalam mencapai tujuan dari dorongan

tersebut. Sekarang, libido yang tersublimasi muncul dalam bentuk pencapaian

sosial kultural. Selama periode ini, anak membentuk grup hal yang tak mungkin

dimasa infantil ketika dorongan seksual sepenuhnya bersifat autoerotis.

Meskipun Freud tidak mengetahuinya, ternyata di masa ini perkembangan

biologis tidak terhenti. Pada tahun-tahun sebelum pubertas (antara umur enam

dan sebelas tahun), kelenjar adrenal mulai berkembang, dan terdapat lonjakan

pertumbuhan bersamaan dengan terjadinya perubahan dalam hormon-hormon

yang distimulasi oleh kelenjar adrenal. Tidak heran bila ketertarikan seksual telah

muncul pada anak kelas empat, jauh sebelum individu mencapai kematangan

seksual (McCilntock & Herdt, 1996).

5. Periode Genital

Periode ini ditandai dengan perubahan biokimia dan fisiologi dalam diri remaja.

Tahap ini dimulai sekitar usia 12 atau 13 tahun. Ditandai dengan matangnya

organ reproduksi anak. Sistem endokrin memproduksi hormon-hormon yang

memicu pertumbuhan tanda-tanda seksual primer dan sekunder. Pada tahap ini

insting seksual dan agresif menjadi aktif. Mengembangkan motif untuk mencintai

38
orang lain, atau motif altruis (keinginan untuk memperhatikan kepentingan orang

lain). Impuls pregenital bangun kembali dan membawa aktivitas dinamis yang

harus diadaptasi, untuk mencapai perkembangan yang stabil. Tahap genital

impuls seks mulai disalurkan ke objek luar, seperti: ikut kegiatan kelompok, cinta

lain jenis, perkawinan dan keluarga. Terjadi perubahan dari anak narkistik

menjadi dewasa yang berorientasi sosial, realistik, dan altruistik. Selama masa

puber ini, kehidupa seksual mempunyai sederetan mendasar sebagai berikut:

- Remaja melepaskan oto-erotisme dan mengarahkan energi kepada

seksual yang lain, tidak lagi kepada diri sendiri.

- Dapat melakukan reproduksi biologis

- Pada anak perempuan, cemburu terhadap penis berubah akan status

vagina yang sama seperti penis. Pada anak laki-laki melihat organ

perempuan yang dicari dan bukan sumber kecemasan.

- Dorongan seksual mengalami organisasi yang utuh dan komponen

semula beroperasi terpisah, mengalami sintesis. Mulut, anus, dan

dilengkapi area genital, yang menjadi zona erogen paling penting.

Zona erogen yang lebih rendah terus menjadi alat yang memberikan kesenangan

seksual. Misalnya mulut yang mempertahankan kebanyakan aktivitas semasa

bayi, yang membuat seseorang menghentikan tindakan mengisap ibu jari, tetapi

menggantinya dengan merokok atau mencium pasangan.

E. Kematangan

Fase genital berlanjut sampai orang tutup usia, di mana puncak perkembangan

seksual dicapai ketika orang dewasa mengalami kematangan kepribadian.

Tahapan perkembangan psikoseksual akan memberikan dampak yang beragam

39
bagi perkembangan karakter atau kepribadian individu pada masa dewasanya.

Ini ditandai dengan kematangan tanggung jawab seksual sekaligus tanggung

jawab hubungan sosial, mengalami kepuasan melalui hubungan cinta

heteroseksual tanpa diikuti dengan perasaan berdosa atau perasaan bersalah.

Pemuasan impuls libido melalui hubungan seksual memungkinkan kontrol

fisiologis terhadap impuls genital. Berikut beberapa gambaran tingkah laku

kepribadian dewasa menurut Freud:

- Menunda kepuasan: karena objek pemuas belum tersedia.

- Tanggung jawab: kendali tingakah laku dilakukan superego

berlangsung efektif, tidak lagi bantuan dari lingkungan.

- Pemindahan/sublimasi: mengganti kepuasan seksual menjadi

kepuasan dalam bidang seni, budaya dan keindahan.

- Identifikasi: memiliki tujuan-tujuan kelompo, terlibat dalam organisasi

sosial, politik, dan kehidupan sosial yang harmonis.

Menurut Freud indikator dari karakter atau pribadi yang sehat adalah

kemampuan untuk memperoleh kenikmatan atau kesenangan dalam bercinta

(hubungan sosial) dan bekerja. Sayangnya, kematangan psikologis jarang terjadi

karena manusia mempunyai begitu banyak kesempatan untuk mengembangkan

kelainan patologis (maladaptif) atau sifat neurotis (gangguan jiwa) yang dimiliki

sejak awal.

F. Penerapan Teori Psikoanalisis

Freud adalah pemikir yang spekulatif juga inovatif, yang boleh jadi lebih tertarik

pada pengembangan teori daripada menangani mereka yang sakit. Psikoanilisis

dibangun berdasarkan kinerja Freud dalam membantu para pasien yang

40
mengalami masalah kejiwaan. Oleh karena itu, psikoalisis dipandang juga

sebagai pendekatan atau metode terapi (bimbingan dan konseling).

a. Teknik Terapeutik Awal Freud

Bimbingan dan konseling bertujuan:

1. Memperkuat ego, sehingga mampu mengontrol dorongan-dorongan

insting.

2. Meningkatkan kemampuan individu dalam bercinta dan bekerja.

Yang menjadi fokus utama bimbingan dan konseling adalah represi yang tidak

terpecahkan, dengan cara menganilisis pengalaman masa lalu pasien. Terapi

psikoanalisis terdisonal dengan proses yang sangat memakan waktu lama.

Biasanya pasien diminta datang empat sampai lima kali dalam satu minggu, dan

memakan waktu selama dua atau tiga tahun.

b. Teknik Terapeutik Freud yang Berkembang Kemudian

Tujuan utama dari terapi psikoanalisis Freud yang berkembang kemudian adalah

mengungkapkan ingatan yang direpresi melalui asosiasi bebas dan analisis

mimpi. Lebih spesifik lagi, tujuan dari psikoanalisis adalah untuk memperkuat

ego, menjadi mandiri dari superego, memperluas persepsi, dan mengembangkan

organisasinya sehingga ego tersebut dapat mengambil alih id. Beberapa metode

yang digunakan sebagai berikut:

1. Asosiasi bebas

Pasien diminta untuk mengutarakan setiap pikiran yang muncul dalam benaknya,

tanpa memandang apakah pikiran tersebut ada atau tidak ada hubungannya

41
ataupun menimbulkan rasa jijik. Tujuan asosiasi bebas adalah untuk sampai ke

alam tidak sadar dengan cara mulai dari ide yang disadari saat ini,

menelusurinya melalui serangkaian asosiasi, dan mengikuti kemana ide ini pergi.

2. Transferensi

Mengacu pada perasaan seksual atau agresif yang kuat, baik positif maupun

negatif, yang dikembangkan oleh pasien selama penanganan terhadap terapis

mereka. Transferensi memberikan petunjuk tentang hakikat masalah atau

kesulitan pasien, sehingga memudahkan menginterpretasikannya. Perasaan

transferensi ini berangkat dari pengalaman masa lalunya terutama dengan orang

tua. Reaksi transferensi pasien dipengaruhi oleh prasangka yang tidak realistik

sebagai refleksi dari suasana emosional masa lalunya.

3. Resistensi

Memperoleh wawasan (insight) tidaklah mudah, karena masalah-masalah

neurotik yang dialami pasien dapat juga menimbulkan sikap resisten passien

terhadap proses terapeutik. Sikap ini dipicu juga oleh ketidaksadaran dan

pertahanan diri yang terancam. Resistensi, yaitu beragam respon tidak sadar

pasien yang menghambat kemajuan proses terapi, ini dinyatakan dalam banyak

cara: ingkar, menolak interpretasi, menghabiskan waktu diskusi.

Ternyata tidak semua kenangan masa lalu bisa atau sebaliknya dibawa ke alam

sadar. Penanganan ini tidak efektif untuk psikosis atau penyakit menetap

dibandingkan masalah-masalah fobia, histeria, dan obsesi. Selain itu setelah

sembuh pasien bisa mengalami psikis lain. Idealnya, ketika penanganan analitis

berhasil, pasien tidak lagi menderita gejala yang membuatnya terhambat. Bisa

42
menggunakan energi psikis untuk melakukan fungsi ego dan mereka berhasil

mengembangkan ego yang mencakup pengalaman yang dulu direpresi. Tidak

mengalami perubahan kepribadian yang berarti, tetapi menjadi seperti yang bisa

dicapai dalam kondisi yang serba mendukung.

c. Analisis Mimpi

Dalam teori psikoanalisis, mimpi memiliki tingkatan isi: isi yang jelas merupakan

jalan cerita mimpi dan isi yang tersembunyi, terdiri dari ide, emosi, dan dorongan

yang dimanifestasikan dalam jalan cerita mimpi. Ketika tidur kontrol kesadaran

menurun, dan mimpi adalah ungkapan isi-isi tidak sadar. Freud menggunakan

analisis mimpi untuk mengubah muatan manifes pada mimpi menjadi muatan

laten yang lebih penting:

- Muatan manifes (manifest content), makna mimpi pada permukaan

atau deskripsi sadar yang disampaikan oleh orang yang bermimpi. Ini

terdiri dari keinginan yang dapat dipenuhi secara simbolis

melambangkan pemenuhan keinginan (wish fulfillments) yang sulit

dipenuhi dikehidupan nyata, yang biasanya berakar dari kehidupan

sehari-hari.

- Muatan Laten (Latent content), berarti hal-hal yang tidak disadari.

Muatan laten mengandung harapan yang tidak disadari, yang

biasanya berakar dari pengalaman masa anak-anak.

Asumsi bahwa mimpi merupakan upaya pemenuhan keinginan, tidak muncul

pada pasien yang mengalami pengalaman traumatis, tetapi mimpi muncul

mengikuti prinsip kompulsi repetisi (reetition complusion) daripada pemenuhan

keinginan. Biasanya muncul pada yang mengalami kelainan sres pasca trauma

43
(posttraumatic stress disorder) yang berulang memimpikan pengalaman yang

menakutkan (Freud, 1920/1955a,1933/1964).

Mimpi mencoba menyelinap dari alam bawah sadar ke alam sadar. Sehingga

bersembunyi dalam selubung penyamaran, yang bekerja deengan dua dasar:

- Kondensasi, mengacu pada kenyataan bahwa muatan manifes mimpi

tidak seluas muatan tingkat laten, atau materi diringkas sebelum

muncul ditingkat manifes.

- Pengalihan, berarti bahwa gambaran mimpi digantikan oleh gagasan

lain yang tidak berkaitan.

Keduanya berlangsung menggunakan simbol. Mimpi juga bisa menipu orang

yang bermimpi dengan menghambat atau memutar balikkan perasaan orang

yang bermimpi itu. Setelah muatan laten dari mimpi ini terdistorsi dan perasaan

yang terkait mengalami hambatan atau muncul dalam bentuk yang berlawanan,

maka muatan mimpi tersebut muncul dalam bentuk manifes yang bisa diingat

oleh orang yang bermimpi.

Dalam menafsirkan mimpi,biasanya mengikuti metode:

- Meminta pasien untuk mengaitkan mimpi dengan semua hal yang

berhubungan dengan mimpi tersebut, tanpa memperhatikan apakah

hal-hal tersebut benar keterkaitannya tidak logis.

- Simbol-simbol mimpi untuk mengungkapkan elemen tidak sadar

dibalik muatan manifes, bertujuan menelusuri terbentuknya mimpi

menjadi muatan laten.

44
Pemahaman bahwa mimpi adalah upaya untuk memenuhi keinginan juga

berlaku pada mimpi tentang kecemasan. Ada tiga jenis kecemasan, yaitu mimpi

malu terhadap ketelanjangan diri, mimpi tentang kematian seseorang yang

dicintai, dan mimpi gagal dalam ujian. Muatan laten diubah menjadi muatan

manifes melalui kerja mimpi (dream work). Kerja mimpi tersebut mencapai tujuan

melalui proses kondensasi, mengalihkan, dan mengahalangi perasaan.

45
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Teori Psikoanalisis Freud menjadi paradigma psikologi kepribadian, dan

terapan psikoanalisis dalam terapi jiwa menjadi primadona sampai sekarang.

Teorinya mencoba memotret manusia , baik fisik maupun psikisnya. Sumbangan

utama Freud adalah menyadarkan bahwa proses tidak sadar memiliki pengaruh

yang cukup besar terhadap kepribadian. Menurut Freud, kehidupan jiwa memiliki

tiga tingkat kesadaran, yaitu sadar (conscious), prasadar (preconscious), dan

tidak sadar (unconscious). Kemudian, Freud mengenalkan tiga model struktural

yang lain, yaitu id (das es), ego (das ich), dan superego (das uber ich). Semua

motivasi dapat dirunut kembali pada dorongan seksual dan agresif. Perilaku

masa kecil yang berhubungan dengan seks dan agresi biasanya akan

mendapatkan hukuman, yang kemudian berakibat pada represi dan kecemasan.

Freud menetapkan teori mengenai manusia yang secara ilmiah tepat sebagai

teori pada ilmu pengetahuan fisika dan biologi. Teori perkembangan

psikoseksual Freud menyatakan bahwa individu terjadi lima tahapan tahap oral,

tahap anal, tahap phalik, tahap laten, tahap genital. Freud juga mengembangkan

pemikiran tentang mekanisme pertahanan diri yang merupakan proses mental

yang berujuan untuk mengurangi kecemasan: represi, pembentukan reaksi,

pengalihan, fiksasi, regresi, proyeksi, introyeksi, sublimasi. Freud meyakini,

bahwa mimpi adalah cara yang terselubung untuk mengekspresikan impuls tidak

sadar. Ranah aplikasi psikoanalisis cukup bervariasi, yang terpenting

diantaranya aplikasi dibidang psikopatologi, psikoterapi, psikosomatis, dan

46
pengasuhan anak. Namun pada dasarnya psikoanalisis dapat memberi

sumbangan dalam berbagai bidang kemanusiaan, seperti masalah pendidikan di

sekolah, narapidana, kemiliteran, advertensi, sosial-antropologi, kreativitas, seni

dan sebagainya. Kritik terhadap teori Freud sangat banyak, tidak ada teori yang

menerima kritik sebanyak Freud. Kritik yang paling serius adalah teori Freud

tidak dikembangkan memakai metode ilmiah. Freud tidak menyusun laporan

risetnya secara sistematik sehingga sangat sulit untuk menilai kerjanya. Tanpa

definisi operasional, tanpa eksperimen dengan kelompok kontrol, tanpa

pengukuran kuantitatif, dan tanpa bukti saling hubungan antar gejala, nilai

prediktif dari teori meragukan, dengan kata lain teori ini tidak ilmiah. Bahkan ada

yang menganggap psikoanalisis itu bukan ilmu tetapi sekedar cara untuk

menginterpretasikan suatu peristiwa.

47
B. Saran

Kelompok kami mengharapkan dengan adanya makalah ini, semoga

membawa pemahaman baru yang lebih tepat terhadap teori kepribadian

menurut Sigmund Freud. Masih banyak keterbatasan, didalam penulisan

makalah ini,serta terdapat kelemahan yang perlu dibenahi untuk mendapatkan

dan memperoleh manfaat-manfaat seperti yang diharapkan. Untuk itu kami

masih membutuhkan bantuan bimbingan dan bahkan secara khusus dari

dosen pengampu mata kuliah yang bersangkutan Ibu Pradipta Christy P.,

M.Psi., Psikolog. Kelompok kami juga membuka dan memberikan diri untuk

menerima saran dan kritik yang sehat serta membangun dari pihak para

pembaca yang lain untuk hasil yang lebih baik lagi dimasa yang akan datang.

Akhir kata penulis mengucapkan banyak terima kasih untuk semua perhatian

dan dukungan yang ada sampai terselesaikannya makalah ini dengan hasil

yang sangat baik.

48
DAFTAR PUSTAKA

Alwisol. 2009. Psikologi Kepribadian – Edisi revisi. Malang: Alwisol

Cervone, Daniel.; Pervin, Lawrence A. 2011. Kepribadian – Teori dan Penelitian.

Jakarta: Salemba Humanika.

Feist, Jess.;Feist, Gregory J. 2014. Teori Kepribadian – Edisi 7. Jakarta:

Salemba Humanika.

Friedman, Howard S.; Schustack, Miriam W. 2008. Kepribadian – Teori Klasik

dan Riset Modern. Jakarta: Erlangga.

Hambali, Adang.; Jaenudin, Ujam. 2013. Psikologi Kepribadian (Lanjutan).

Bandung: Pustaka Setia.

Yusuf, Syamsu LN.; Nurihsan, Achmad J. 2011. Teori Kepribadian. Bandung:

Remaja Rosdakarya.

49

You might also like