You are on page 1of 36

BAB II

TINJAUAN TEORI

A. Masalah Ekspresi Marah/Perilaku Kekerasan


A. Definisi
Perilaku kekerasan adalah tingkah laku individu yang ditujukan untuk
melukai atau mencelakakan individu lain yang tidak menginginkan datangnya
tingkah laku tersebut (Purba, dkk: 2008). Menurut Stuart dan Sundeen
(2005), perilaku kekerasan adalah suatu keadaan dimana seseorang
melakukan tindakan yang dapat membahayakan secara fisik baik terhadap diri
sendiri, orang lain maupun lingkungan. Hal tersebut dilakukan untuk
mengungkapkan perasaan kesal atau marah yang tidak konstruktif.
Pada pasien perilaku kekerasan mengungkapkan rasa kemarahan secara
fluktuasi sepanjang rentang adaptif dan maladaptif. Marah merupakan
perasaan jengkel yang timbul sebagai respons terhadap kecemasan/kebutuhan
yang tidak terpenuhi yang tidak dirasakan sebagai ancaman (Stuart &
Sundeen: 2005). Marah merupakan emosi yang memiliki ciri-ciri aktivitas
sistem saraf parasimpatik yang tinggi dan adanya perasaan tidak suka yang
sangat kuat. Pada saat marah ada perasaan ingin menyerang, menghancurkan
atau melempar sesuatu dan biasanya timbul pikiran yang kejam. Bila hal ini
disalurkan maka akan terjadi perilaku agresif (Purba, dkk: 2008).
Keberhasilan individu dalam berespon terhadap kemarahan dapat
menimbulkan respon asertif yang merupakan kemarahan yang diungkapkan
tanpa menyakiti orang lain dan akan memberikan kelegaan pada individu
serta tidak akan menimbulkan masalah. Kegagalan yang menimbulkan
frustasi dapat menimbulkan respon pasif dan melarikan diri atau respon
melawan dan menentang. Respon melawan dan menentang merupakan respon
yang maladaptif yaitu agresi-kekerasan (Purba dkk: 2008).

B. Faktor Predisposisi
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya perilaku kekerasan
menurut teori biologik, teori psikologi, dan teori sosiokultural yang dijelaskan
oleh Townsend (2005) adalah:
a. Teori biologik
Teori biologik terdiri dari beberapa pandangan yang berpengaruh
terhadap perilaku:
1) Neurobiologik
Ada 3 area pada otak yang berpengaruh terhadap proses impuls
agresif: sistem limbik, lobus frontal dan hypothalamus.
Neurotransmitter juga mempunyai peranan dalam memfasilitasi atau
menghambat proses impuls agresif. Sistem limbik merupakan sistem
informasi, ekspresi, perilaku, dan memori. Apabila ada gangguan pada
sistem ini maka akan meningkatkan atau menurunkan potensial
perilaku kekerasan. Adanya gangguan pada lobus frontal maka
individu tidak mampu membuat keputusan, kerusakan pada penilaian,
perilaku tidak sesuai, dan agresif. Beragam komponen dari sistem
neurologis mempunyai implikasi memfasilitasi dan menghambat
impuls agresif. Sistem limbik terlambat dalam menstimulasi timbulnya
perilaku agresif. Pusat otak atas secara konstan berinteraksi dengan
pusat agresif.
2) Biokomia
Berbagai neurotransmitter (epinephrine, norepinefrine,
dopamine, asetikolin, dan serotonin) sangat berperan dalam
memfasilitasi atau menghambat impuls agresif. Teori ini sangat
konsisten dengan fight atau flight yang dikenalkan oleh Selye dalam
teorinya tentang respons terhadap stress.
3) Genetik
Penelitian membuktikan adanya hubungan langsung antara
perilaku agresif dengan genetik karyotype XYY.
4) Gangguan otak
Sindroma otak organik terbukti sebagai faktor predisposisi
perilaku agresif dan tindak kekerasan. Tumor otak, khususnya yang
menyerang sistem limbik dan lobus temporal; trauma otak, yang
menimbulkan perubahan serebral; dan penyakit seperti ensefalitis, dan
epilepsi, khususnya lobus temporal, terbukti berpengaruh terhadap
perilaku agresif dan tindak kekerasan.
b. Teori psikologi
1) Teori psikoanalitik
Teori ini menjelaskan tidak terpenuhinya kebutuhan untuk
mendapatkan kepuasan dan rasa aman dapat mengakibatkan tidak
berkembangnya ego dan membuat konsep diri rendah. Agresi dan
tindak kekerasan memberikan kekuatan dan prestise yang dapat
meningkatkan citra diri dan memberikan arti dalam kehidupannya.
Perilaku agresif dan kekerasan merupakan pengungkapan secara
terbuka terhadap rasa ketidakberdayaan dan rendahnya harga diri.
2) Teori pembelajaran
Anak belajar melalui perilaku meniru dari contoh peran mereka,
biasanya orang tua mereka sendiri. Contoh peran tersebut ditiru karena
dipersepsikan sebagai prestise atau berpengaruh, atau jika perilaku
tersebut diikuti dengan pujian yang positif. Anak memiliki persepsi
ideal tentang orang tua mereka selama tahap perkembangan awal.
Namun, dengan perkembangan yang dialaminya, mereka mulai meniru
pola perilaku guru, teman, dan orang lain. Individu yang dianiaya
ketika masih kanak-kanak atau mempunyai orang tua yang
mendisiplinkan anak mereka dengan hukuman fisik akan cenderung
untuk berperilaku kekerasan setelah dewasa.
c. Teori sosiokultural
Pakar sosiolog lebih menekankan pengaruh faktor budaya dan
struktur sosial terhadap perilaku agresif. Ada kelompok sosial yang
secara umum menerima perilaku kekerasan sebagai cara untuk
menyelesaikan masalahnya. Masyarakat juga berpengaruh pada
perilaku tindak kekerasan, apabila individu menyadari bahwa
kebutuhan dan keinginan mereka tidak dapat terpenuhi secara
konstruktif. Penduduk yang ramai/padat dan lingkungan yang ribut
dapat berisiko untuk perilaku kekerasan. Adanya keterbatasan sosial
dapat menimbulkan kekerasan dalam hidup individu.

C. Faktor Presipitasi
Menurut Yosep (2009) faktor-faktor yang dapat mencetuskan perilaku
kekerasan sering kali berkaitan dengan:
a. Ekspresi diri, ingin menunjukkan eksistensi diri atau simbol solidaritas
seperti dalam sebuah konser, penonton sepak bola, geng sekolah,
perkelahian masal dan sebagainya.
b. Ekspresi dari tidak terpenuhinya kebutuhan dasar dan kondisi sosial
ekonomi.
c. Kesulitan dalam mengkomunikasikan sesuatu dalam keluarga serta tidak
membiasakan dialog untuk memecahkan masalah cenderung melalukan
kekerasan dalam menyelesaikan konflik.
d. Ketidaksiapan seorang ibu dalam merawat anaknya dan ketidakmampuan
dirinya sebagai seorang yang dewasa.
e. Adanya riwayat perilaku anti sosial meliputi penyalahgunaan obat dan
alkoholisme dan tidak mampu mengontrol emosinya pada saat
menghadapi rasa frustasi.
f. Kematian anggota keluarga yang terpenting, kehilangan pekerjaan,
perubahan tahap perkembangan, atau perubahan tahap perkembangan
keluarga.

D. Tanda dan Gejala


Yosep (2009) mengemukakan bahwa tanda dan gejala perilaku kekerasan
adalah sebagai berikut:
a. Fisik
1) Muka merah dan tegang
2) Mata melotot/ pandangan tajam
3) Tangan mengepal
4) Rahang mengatup
5) Postur tubuh kaku
6) Jalan mondar-mandir
b. Verbal
1) Bicara kasar
2) Suara tinggi, membentak atau berteriak
3) Mengancam secara verbal atau fisik
4) Mengumpat dengan kata-kata kotor
5) Suara keras
6) Ketus
c. Perilaku
1) Melempar atau memukul benda/orang lain
2) Menyerang orang lain
3) Melukai diri sendiri/orang lain
4) Merusak lingkungan
5) Amuk/agresif
d. Emosi
1) Tidak adekuat, tidak aman dan nyaman
2) Rasa terganggu, dendam dan jengkel
3) Bermusuhan, mengamuk, dan ingin berkelahi
4) Menyalahkan dan menuntut
e. Intelektual
1) Mendominasi
2) Cerewet
3) Kasar
4) Berdebat
5) Meremehkan dan sarkasme
f. Spiritual
1) Merasa diri berkuasa dan benar
2) Mengkritik pendapat orang lain
3) Menyinggung perasaan orang lain
4) Tidak perduli dan kasar.
g. Sosial
1) Menarik diri, pengasingan
2) Penolakan
3) Kekerasan
4) Ejekan dan sindiran.
h. Perhatian
1) Bolos
2) Mencuri
3) Melarikan diri
4) Penyimpangan seksual.

E. Mekanisme Terjadinya Perilaku Kekerasan


Menurut Iyus Yosep (2009) kemarahan diawali oleh adanya stressor
yang berasal dari internal atau eksternal. Stressor internal seperti penyakit,
hormonal, dendam, kesal sedangkan stressor eksternal bisa berasal dari
lingkungan seperti ledekan, cacian, makian, hilangnya benda berharga,
tertipu, penggusuran, bencana dan sebagainya. Hal tersebut akan
mengakibatkan kehilangan atau gangguan pada sistem individu (disruption
and loss). Hal yang terpenting adalah bagaimana individu memaknai setiap
kejadian yang menyedihkan atau menjengkelkan tersebut (personal meaning).
Bila seseorang memberi makna positif, misalnya kemacetan adalah
waktu untuk beristirahat, penyakit adalah sarana penggugur dosa, suasana
bising adalah melatih persyarafan telinga maka ia akan dapat melakukan
kegiatan secara positif (compensatory act) dan tercapai perasaan lega
(resolution). Bila ia gagal dalam memberikan makna menganggap segala
sesuatunya sebagai ancaman dan tidak mampu melakukan kegiatan positif
misalnya: olah raga, menyapu atau baca puisi saat ia marah dan sebagainya.
Maka akan muncul perasaan tidak berdaya dan sengsara (helplessness).
Perasaan itu akan memicu timbulnya kemarahan (anger). Kemarahan yang
diekspresikan keluar (exspressed outward) dengan kegiatan yang konstruktif
dapat menyelesaikan masalah. Kemarahan yang diekspresikan dengan
kegiatan destruktif dapat menimbulkan perasaan bersalah dan menyesal
(guilt). Kemarahan yang dipendam akan menimbulkan gejala psikomatis
(painfull symptom).
Perasaan marah normal terjadi pada setiap individu, namun perilaku yang
dimanifestasikan oleh perasaan marah dapat berfungsi sepanjang rentang adaptif
dan mal adaptif. (Gambar 1)

Respon adaptif Respon mal adaptif

Asertif Frustasi Pasif Agresif Kekerasan

Gambar 1. Rentang Respon Marah

Kegagalan dapat menimbulkan frustasi dapat menimbulkan respon pasif dan


melarikan diri atau respon melawan dan menentang. Respon melawan dan
menentang merupakan respon yang maladaptif, yaitu agresif=kekerasan perilaku
yang I menampakkan mulai dari yang rendah sampai yang tinggi, yaitu:
1. Asertif, mampu menyatakan rasa marah tanpa menyakiti orang lain dan
merasa lega.
2. Frustasi, merasa gagal mencapai tujuan disebabkan karena tujuan yang
tidak realistis.
3. Pasif, diam saja karena tidak mampu mengungkapkan perasaan yang
sedang dialami.
4. Agresif
Memperlihatkan permusuhan, keras dan menuntut, mendekati orang lain
dengan ancaman, memberi kata-kata ancaman tanpa niat melukai.
Umumnya klien masih dapat mengontrol perilaku untuk tidak melukai
orang lain.
5. Kekerasan
Sering juga disebut gaduh-gaduh atau amuk. Perilaku kekerasan ditandai
dengan menyentuh orang lain secara menakutkan, member kata-kata
ancaman, melukai disertai melukai pada tingkat ringan, dan yang paling
berat adalah melukai/merusak secara serius. Klien tidak mampu
menegndalikan diri.
Respon terhadap marah dapat diungkapkan melalui tiga cara yaitu:
a. Mengungkapkan secara verbal
b. Menekan
c. Menantang.
Dari ketiga cara ini yang pertama adalah konstruktif sedang dua cara
lain adalah destruktif. Dengan melarikan diri atau menantang akan
menimbulkan rasa bermusuhan dan bila cara ini dipakai terus menerus, maka
kemarahan dapat diekspresikan pada diri sendiri atau lingkungan dan akan
tampak sebagai depresi psikosomatik atau agresif dan mengamuk.
Mekanisme terjadinya masalah dapat digambarkan melalui diagram
berikut:

Provokasi
(ancaman atau kebutuhan yang tidak terpenuhi)

Stress

Cemas

Marah

Diungkapkan secara tepat/asertif Mengingkari marah/merasa kuat

Masalah teratasi Marah tidak terungkap

Marah berkepanjangan

Marah pada diri sendiri Marah pada orang lain

Depresi Agresi
F. ASKEP PERILAKU KEKERASAN
A. Pengkajian
1. Identitas
Meliputi data-data demografi seperti nama, usia, pekerjaan, dan
tempat tinggal klien
2. Keluhan utama
Biasanya klien memukul anggota keluarga atau orang lain.
3. Alasan masuk
Tanyakan pada klien atau keluarga:
a. Apa yang menyebabkan klien atau keluarga datang ke rumah
sakit?
b. Apa yang sudah dilakukan oleh keluarga untuk mengatasi
masalah ini?
c. Bagaimana hasilnya?
4. Tinjau kembali riwayat klien untuk adanya stressor pencetus dan data
signifikan tentang:
a. Kerentanan genetika-biologik (misal, riwayat keluarga)
b. Peristiwa hidup yang menimbulkan stress dan kehilangan yang
baru dialami
c. Episode-episode perilaku kekerasan di masa lalu
d. Riwayat pengobatan
e. Penyalahgunaan obat dan alkohol
f. Riwayat pendidikan dan pekerjaan
5. Faktor predisposisi
Berbagai pengalaman yang dialami tiap orang yang merupakan faktor
predisposisi, artinya mungkin terjadi / tidak terjadi perilaku kekerasan
jika faktor tersebut dialami oleh individu:
a. Psikologis, kegagalan yang dialami dapat menimbulkan frustasi
yang kemudian dapat timbul agresif atau amuk. Masa kanak-
kanak yang tidak menyenangkan yaitu perasaan ditolak, dihina,
dianiaya atau saksi penganiayaan.
b. Perilaku, reinforcement yang diterima saat melakukan kekerasan,
sering mengobservasi kekerasaan dirumah atau diluar rumah,
semua aspek ini menstimulasi individu mengadopsi perilaku
kekerasan.
c. Sosial budaya, budaya tertutup dan membalas secara diam (pasif
agresif) dan kontrol sosial yang tidak pasti terhadap pelaku
kekerasan akan menciptakan seolah-olah perilaku kekerasan
diterima (permisive).
d. Bioneurologis, banyak pendapat bahwa kerusakan sistem limbik,
lobus frontal, lobus temporal dan ketidakseimbangan
neurotransmiter berperan dalam terjadinya perilaku kekerasan
6. Faktor presipitasi
Faktor presipitasi dapat bersumber dari klien , lingkungan atau
interaksi dengan orang lain. Kondisi klien seperti kelemahan fisik,
keputusasaan, ketidakberdayaan, percaya diri yang kurang dapat
menjadi penyebab perilaku kekerasan. Demikian pula dengan situasi
lingkungan yang ribut, padat, kritikan yang mengarah pada
penghinaan, kehilangan orang yang dicintai/ pekerjaan dan kekerasan
merupakan faktor penyebab yang lain. Interaksi sosial provokatif dan
konflik dapat memicu perilaku kekeraaan.
7. Tanda dan gejala
Padapengkajian awal dapat diketahui alasan utama klien dibawa
kerumah sakit adalah perilaku kekersan dirumah. Kemudian perawat
dapat melakukan pengkajian dengan cara obsevasi dan wawancara.
Data perilaku kekerasan yang diperoleh melalui observasi dan
wawancara tentang perilaku berikut ini:
a. Muka merah dan tegang
b. Pandangan tajam
c. Mengatupkan rahang dengan kuat
d. Mengepalkan tangan
e. Jalan mondar-mandir
f. Bicara kasar
g. Suara tinggi, menjerit atau berteriak
h. Mengancam secara verbal atau fisik
i. Melempar atau memukul benda/ orang lain
j. Merusak barang atau benda
k. Tidak mempunyai kemampuan untuk mencegah perilaku
kekerasan.
l. tanda-tanda kekambuhan serta tindakan perawatan sendiri.

B. Analisa Data
C.
Data Masalah Keperawatan
DS: Klien mengatakan benci perilaku kekerasan
atau kesal pada seseorang.
Klien suka membentak dan
menyerang orang yang
mengusiknya jika sedang
kesal atau marah.
DO : Mata merah, wajah agak
merah, nada suara tinggi dan
keras, pandangan tajam

DS : Klien mengatakan benci Risiko tinggi mencederai orang lain


atau kesal pada seseorang.
Klien suka membentak dan
menyerang orang yang
mengusiknya jika sedang
kesal atau marah.
DO : Mata merah, wajah
agak merah, nada suara tinggi
dan keras, pandangan tajam
DS: klien merasa tidak Gangguan konsep diri: harga diri rendah
berguna, merasa kosong
DO: kehilangan minat
melakukan aktivitas

Pohon masalah
Resiko mencederai orang lain/lingkungan

Perilaku kekerasan

Gangguan harga diri : harga diri rendah

D. Diagnosa Keperawatan
a. Resiko mencederai orang lain berhubunagan dengan perilaku kekerasan
b. Perilaku kekerasan berhubungan dengan harga diri rendah
E. Rencana tindakan keperawatan
Rencana tindakan keperawatan dibagi dua, yaitu:
A. Rencana tindakan keperawatan pada keluarga klien
Tujuan tindakan keperawatan adalah keluarga dapat merawat pasien
dirumah.
Tindakan keperawatan
1. Diskusikan masalah yang dihadapi keluarga dalam merawat pasien
2. Diskusikan bersama keluarga tentang perilaku kekerasan (penyebab,
tanda, dan gejala, perilaku yang muncul dan akibat dari perilaku
tersebut).
3. Diskusikan bersama keluarga kondisi-kondisi pasien yang perlu segera
dilaporkan kepada perawat, seperti melempar atau memukul benda/
orang lain.
4. Latih kelurga merawat pasien dengan perilku kekerasan.
a. Anjurkan keluarga untuk memotivasi pasien melakukan tindakan
yang telah diajarkan oleh perawat.
b. Ajarkan keluarga untuk memberikan pujian kepada pasien bila
pasien dapat melakukan kegiatan tersebut secara tepat.
c. Diskusikan bersama keluarga tindakan yang harus dilakukan bila
pasien menunjukkan gejala-gejala perilku kekerasan
d. Evaluasi pengetahan keluarga tentang marah.
5. Buat perawatan lanjutan
a. Buat perencanaan pulang bersama keluarga
B. Rencana Tindakan Keperawatan pada Klien
NO Diagnosis Perencanaan Intervensi
Keperawatan Tujuan Kriteria Hasil
1 Resiko TUM:
mencederai Klien tidak
diri b.d mencederai diri
perilaku sendiri 1.1 Klien mau membalas salam 1.1.1 Beri salam atau panggil nama
1.2 Klien mau menjabat tangan 1.1.2 Sebutkan nama perawat sambil jabat tangan
kekerasan TUK:
1.3 Klien mau menyebutkan 1.1.3 Jelaskan maksud hubungan interaksi
1. Klien dapat 1.1.4 Jelaskan tentang kontrak yang akan dibuat
nama
1.1.5 Beri rasa aman dan sikap empati
membina 1.4 Klien mau tersenyum
1.1.6 Lakukan kontak singkat tapi sering
1.5 Klien mau kontak mata
hubungan saling
1.6 Klien mau mengetahui nama
percaya
perawat
2. Klien dapat 2.1 Klien mengungkapkan 2.1.1 Beri kesempatan untuk mengungkapkan perasaannya
mengidentifikasi perasaannya 2.1.2 Bantu klien mengungkapkan penyebab perasaan jengkel
2.2 Klien dapat mengungkapkan
penyebab atau kesal
perasaan jengkel ataupun
perilaku
kesal
kekerasan

3. Klien dapat 3.1 Klien dapat mengungkapkan 3.1.1 Anjurkan klien mengungkapkan apa yang dialami dan
mengidentifikasi perasaan saat marah atau dirasakannya saat jengkel atau marah
tanda dan gejala jengkel 3.1.2 Observasi tanda dan gejala perilaku kekerasan pada
3.2 Klien dapat menyimpulkan
perilaku klien
tanda dan gejala jengkel atau
kekerasan 3.2.1 Simpulkan bersama klien yanda dan gejala jengkel atau
kesal yang dialaminya
kesal yang dialami klien
4. Klien dapat 4.1 Klien dapat mengungkapkan 4.1.1 Anjurkan klien untuk mengungkapkan perilaku
mengidentifikasi perilaku kekerasan yang biasa kekeraan yang biasa dilakukan klien
perilaku dilakukan 4.2.1 Bantu klien bermain peran sesuai perilaku kekerasan
4.2 Klien dapatbermain peran
kekerasan yang yang biasa dilakukan
sesuai perilaku kekerasan
biasa dilakukan 4.3.1 Bicarakan dengan klien apakah dengan cara klien
yang biasa dilakukan
lakukan masalahnya selesai
4.3 Klien dapat menngetahui cara
yang biasa dilakukan untuk
menyelesaikan masalah
5. Klien dapat 5.1 Klien dapat menjelaskan 5.1.1 Bicarakan akibat atau kerugian dari cara yang dilakukan
mengidentifikasi akibat dari cara yang klien
akibat perilaku digunakan klien: 5.1.2 bersama klien menyimpulkan akibat dari cara yang
a. akibat pada klien sendiri,
kekerasan dilakukan klien
b. akibat pada orang lain,
c. akibat pada lingkungan 5.1.3 Tanyakan pada klien apakah dia ingin mempelajari cara
baru yang sehat
6. Klien dapat 6.1 klien dapat menyebutkan 1.1.1 diskusikan kegiatan fisik yang biasa dilakukan klien
1.1.2 beri pujian atas kegiatan fisik yang biasa dilakukan
mendemonstrasi contoh pencegahan perilaku
klien
kan cara fisik kekerasan secara fisik: tarik
1.1.3 diskusikan dua cara fisik yang paling mudah untuk
untuk mencegah napas dalam, pukul kasur, dan mencegah perilaku kekerasan
perilaku bantal 6.2.1 Diskusikan cara melakukan tarik napas dalam dengan
6.2 klien dapat
kekerasan klien
mendemonstrasikan cara fisik
6.2.2 Beri contoh klien cara menarik napas dalam
untuk mencegah perilaku 6.2.3 Minta klien untuk mengikuti contoh yang diberikan
kekerasan sebanyak 5 kali
6.3 Klien mempunyai jadwak 6.2.4 Beri pujian positif atas kemampuan klien
untuk melatih cara mendemonstrasikan cara menarik napas dalam
6.2.5 Tanyakan perasaan klien setelah selesai
pencegahan fisik yang telah
6.3.1 diskusikan dengan klien mengenai frekuensi latihan
dipelajari sebelumnya
6.4 Klien mengevaluasi yang akan dilakukan sendiri oleh klien
kemampuannya dalam 6.3.2 susun jadwal kegiatan untuk melatih cara yang
melakukan cara fisik sesuai dipelajari
jadwal yang disusun 6.4.1 klien mengevaluasi peaksanaan latihan
6.4.2 validasi kemampuan klien dalam melaksanakan latihan
6.4.3 beikan pujian atas keberhasilan klien
6.4.4 Tanyakan pada klien apakah kegiatan cara pencegahan
perilaku kekerasan dapat mengurangi perasaan marah
7. Klien dapat 7.1 Klien dapat menyebutkan cara 7.1.1. diskusikan cara bicara yang baik dengan klien
mendemonstrasi bicara yang baik dalam 7.1.2. Beri contoh cara bicara yang baik :
kan cara social mencegah perilaku kekerasan d. Meminta dengan baik
a. Meminta dengan baik e. Menolak dengan baik
untuk mencegah
b. Menolak dengan baik f. Mengungkapkan perasaan dengan baik
perilaku c. Mengungkapkan perasaan 7.2.1. Minta klien mengikuti contoh cara bicara yang baik
kekerasan dengan baik a. Meminta dengan baik : “Saya minta uang untuk beli
7.2 Klien dapat
makanan”
mendemonstrasikan cara b. Menolak dengan baik : “ Maaf, saya tidak dapat
verbal yang baik melakukannya karena ada kegiatan lain.
7.3 Klien mumpunyai jadwal c. Mengungkapkan perasaan dengan baik : “Saya kesal
untuk melatih cara bicara karena permintaan saya tidak dikabulkan” disertai
yang baik nada suara yang rendah.
7.4 Klien melakukan evaluasi
7.2.2. Minta klien mengulang sendiri
terhadap kemampuan cara
7.2.3. Beri pujian atas keberhasilan klien
bicara yang sesuai dengan
7.3.1. Diskusikan dengan klien tentang waktu dan kondisi
jadwal yang telah disusun
cara bicara yang dapat dilatih di ruangan, misalnya :
meminta obat, baju, dll, menolak ajakan merokok, tidur
tidak pada waktunya; menceritakan kekesalan pada
perawat
7.3.2. Susun jadwaj kegiatan untuk melatih cara yang telah
dipelajari.
7.4.1. Klien mengevaluasi pelaksanaa latihan cara bicara
yang baik dengan mengisi dengan kegiatan jadwal
kegiatan ( self-evaluation )
7.4.2. Validasi kemampuan klien dalam melaksanakan latihan
7.4.3 Berikan pujian atas keberhasilan klien
7.4.4 Tanyakan kepada klien : “ Bagaimana perasaan Budi
setelah latihan bicara yang baik? Apakah keinginan
marah berkurang?”
8. Klien dapat 8.1 Klien dapat menyebutkan 8.1.1. Diskusikan dengan klien kegiatan ibadah yang pernah
mendemonstrasi kegiatan yang biasa dilakukan dilakukan
8.2 Klien dapat
kan cara 8.2.1. Bantu klien menilai kegiatan ibadah yang dapat
mendemonstrasikan cara
spiritual untuk dilakukan di ruang rawat
ibadah yang dipilih
mencegah 8.2.2. Bantu klien memilih kegiatan ibadah yang akan
8.3 Klien mempunyai jadwal
perilaku dilakukan
untuk melatih kegiatan ibadah
kekerasan 8.4 Klien melakukan evaluasi 8.2.3. Minta klien mendemonstrasikan kegiatan ibadah yang
terhadap kemampuan dipilih
melakukan kegiatan ibadah 8.2.4. Beri pujian atas keberhasilan klien
8.3.1 Diskusikan dengan klien tentang waktu pelaksanaan
kegiatan ibadah
8.3.2. Susun jadwal kegiatan untuk melatih kegiatan ibadah
8.4.1. Klien mengevaluasi pelaksanaan kegiatan ibadah
dengan mengisi jadwal kegiatan harian (self-evaluation)
8.4.2. Validasi kemampuan klien dalam melaksanakan latihan
8.4.3. Berikan pujian atas keberhasilan klien
8.4.4 Tanyakan kepada klien : “Bagaimana perasaan Budi
setelah teratur melakukan ibadah? Apakah keinginan
marah berkurang
9. Klien dapat 9.1 Klien dapat menyebutkan 9.1.1 Diskusikan dengan klien tentang jenis obat yang
mendemonstrasi jenis, dosis, dan waktu minum diminumnya (nama, warna, besarnya); waktu minum
kan kepatuhan obat serta manfaat dari obat obat (jika 3x : pukul 07.00, 13.00, 19.00); cara minum
minum obat itu (prinsip 5 benar: benar obat.
untuk mencegah orang, obat, dosis, waktu dan 9.1.2 Diskusikan dengan klien tentang manfaat minum obat
perilaku cara pemberian) secara teratur :
9.2 Klien mendemonstrasikan
kekerasan a.Beda perasaan sebelum minum obat dan sesudah
kepatuhan minum obat sesuai
minum obat
jadwal yang ditetapkan b. Jelaskan bahwa dosis hanya boleh diubah oleh
9.3 Klien mengevaluasi
dokter
kemampuannya dalam c.Jelaskan mengenai akibat minum obat yang tidak
mematuhi minum obat teratur, misalnya, penyakit kambuh
9.2.1 Diskusikan tentang proses minum obat :
a.Klien meminat obat kepada perawat ( jika di rumah
sakit), kepada keluarga (jika di rumah)
b. Klien memeriksa obat susuai dosis
c.Klien meminum obat pada waktu yang tepat.
9.2.2. Susun jadwal minum obat bersama klien
9.3.1 Klien mengevaluasi pelaksanaan minum obat dengan
mengisi jadwal kegiatan harian (self-evaluation)
9.3.2 Validasi pelaksanaan minum obat klien
9.3.3 Beri pujian atas keberhasilan klien
9.3.4 Tanyakan kepada klien : “Bagaiman perasaan Budi
setelah minum obat secara teratur? Apakah keinginan
untuk marah berkurang?”
10. Klien dapat 10.1 Klien mengikuti TAK : 10.1.1 Anjurkan klien untuk mengikuti TAK : stimulasi
mengikuti TAK : stimulasi persepsi pencegahan persepsi pencegahan perilaku kekerasan
stimulasi persepsi perilaku kekerasan 10.1.2 Klien mengikuti TAK : stimulasi persepsi pencegahan
10.2 Klien mempunyai jadwal
pencegahan perilaku kekerasan (kegiatan tersendiri)
TAK : stimulasi persepsi
perilaku 10.1.3 Diskusikan dengan klien tentang kegiatan selama TAK
pencegahan perilaku
kekerasan 10.1.4 Fasilitasi klien untuk mempraktikan hasil kegiatan
kekerasan
TAK da beri pujian atas keberhasilannya
10.3 Klien melakukan evaluasi
10.2.1 Diskusikan dengan klien tentang jadwal TAK
terhadap pelaksanaan TAK
10.2.2 Masukkan jadwak TAK ke dalam jadwal kegiatan
harian (self- evaluation).
10.3.2 Validasi kemampuan klien dalam mengikuti TAK
10.3.3 Beri pujian atas kemampuan mengikuti TAK
10.3.4 Tanyakan pada klien: “Bagaimana perasaan Ibu
setelah mengikuti TAK?”

11. Klien 11.1 Keluarga dapat 11.1.1 Identifikasi kemampuan keluarga dalam merawat klien
mendapatkan mendemonstrasikan cara sesuai dengan yang telah dilakukan keluarga terhadap
dukungan merawat klien klien selama ini
keluarga dalam 11.1.2 Jelaskan keuntungan peran serta keluarga dalam
melakukan cara merawat klien
pencegahan 11.1.3 Jelaskan cara- cara merawat klien :
perilaku a. Terkait dengan cara mengontrol perilaku marah
kekerasan secara konstruktif
b. Sikap dan cara bicara
c. Membantu klien mengenal penyebab marah dan
pelaksanaan cara pencegahan perilaku kekerasan
11.1.4 Bantu keluarga mendemonstrasikan cara merawat
klien
11.1.5 Bantu keluarga mengngkapkan perasaannya setelah
melakukan demonstrasi
11.1.6 Anjurkan keluarga mempraktikannya pada klien
selama di rumah sakit dan melanjutkannya setelah
pulang ke rumah.
B. Perilaku Merusak Diri (Bunuh Diri), Orang Lain dan Lingkungan
a. Pengertian Bunuh Diri
Resiko bunuh diri adalah resiko untuk mencederai diri sendiri yang
dapat mengancam kehidupan. Bunuh diri merupakan kedaruratan psikiatri
karena merupakan perilaku untuk mengakhiri kehidupannya. Perilaku
bunuh diri disebabkan karena stress yang tinggi dan berkepanjangan
dimana individu gagal dalam melakukan mekanisme koping yang
digunakan dalam mengatasi masalah. Beberapa alasan individu
mengakhiri kehidupan adalah kegagalan untuk beradaptasi, sehingga tidak
dapat menghadapi stress, perasaan terisolasi, dapat terjadi karena
kehilangan hubungan interpersonal/gagal melakukan hubungan yang
berarti, perasaan marah/bermusuhan, bunuh diri dapat merupakan
hukuman pada diri sendiri, cara untuk mengakhiri keputusasaan
(Stuart,2006).

Bunuh diri adalah segala perbuatan dengan tujuan untuk


membinasakan dirinya sendiri dan yang dengan sengaja dilakukan oleh
seseorang yang tahu akan akibatnya yang mungkin pada waktu yang
singkat. Menciderai diri adalah tindakan agresif yang merusak diri sendiri
dan dapat mengakhiri kehidupan. Bunuh diri mungkin merupakan
keputusanterakhir dari individu untuk memecahkan masalah yang dihadapi
(Captain, 2008).

Bunuh diri adalah tindakan agresif yang merusak diri sendiri dan
dapat mengakhiri kehidupan. Bunuh diri mungkin merupakan keputusan
terkahir dari individu untuk memecahkan masalah yang dihadapi (Keliat
1991 : 4). Risiko bunuh diri dapat diartikan sebagai resiko individu untuk
menyakitidiri sendiri, mencederai diri, serta mengancam jiwa. (Nanda,
2012).

Menurut Beck (1994) dalam Keliat (1991 hal 3) mengemukakan


rentang harapan-putus harapan merupakan rentang adaptif - maladaptif.
Respon adaptif merupakan respon yang dapat diterima oleh norma-norma
sosial dan kebudayaan yang secara umum berlaku, sedangkan respon
maladaptif merupakan respon yang dilakukan individu dalam
menyelesaikan masalah yang kurang dapat diterima oleh norma-norma
sosial dan budaya setempat. Prilaku destruktif diri yaitu setiap aktivitas
yang jika tidak di cegah dapatmengarah kepada kematian. Rentang respon
protektif diri mempunyai peningkatandiri sebagai respon paling adaptif,
sementara perilaku destruktif diri, pencederaan diri,dan bunuh diri
merupakan respon maladaptif (Wiscarz dan Sundeen, 1998). Pikiran bunuh
diri biasanya muncul pada individu yang mengalami gangguan mood,
terutama depresi. Bunuh diri adalah tindakan yang dilakukan dengan
sengaja untuk membunuh diri sendiri (Videbeck, 2008).

Sehingga dari beberapa pendapat diatas, bunuh diri merupakan


tindakan yang sengaja dilakukan seseorang individu untuk mengakhiri
hidupnya dengan berbagai cara. Dan seseorang dengan gangguan
psikologi tertentu atau sedang depresi dapat pula beresiko melakukan
bunuh diri. Banyak faktor yang menyebabkan seseorang bunuh diri, dapat
dari faktor eksternal seperti lingkungan dan faktor internal seperti
gangguan psikologi dalam dirinya.
Perilaku bunuh diri terbagi menjadi tiga kategori yaitu (Stuart, 2006):
1) Ancaman bunuh diri yaitu peringatan verbal atau nonverbal bahwa
seseorang tersebut mempertimbangkan untuk bunuh diri. Orang yang ingin
bunuh diri mungkin mengungkapkan secara verbal bahwa ia tidak akan berada
di sekitar kita lebih lama lagi atau mengomunikasikan secara non verbal.
2) Upaya bunuh diri yaitu semua tindakan terhadap diri sendiri yang
dilakukan oleh individu yang dapat menyebabkan kematian jika tidak dicegah.
3) Bunuh diri yaitu mungkin terjadi setelah tanda peringatan terlewatkan
atau diabaikan. Orang yang melakukan bunuh diri dan yang tidak bunuh
diri akan terjadi jika tidak ditemukan tepat pada waktunya.
Sementara itu, Yosep (2010) mengklasifikasikan terdapat tiga jenis bunuh
diri, meliputi:

1) Bunuh diri anomik adalah suatu perilaku bunuh diri yang didasari oleh
faktor lingkungan yang penuh tekanan (stressful) sehingga mendorong
seseorang untuk bunuh diri.
2) Bunuh diri altruistik adalah tindakan bunuh diri yang berkaitan dengan
kehormatan seseorang ketika gagal dalam melaksanakan tugasnya.
3) Bunuh diri egoistik adalah tindakan bunuh diri yang diakibatkan faktor
dalam diri seseorang seperti putus cinta atau putus harapan.

b. Psikodinamika
1. Etiologi Resiko Bunuh Diri
Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya resiko bunuh diri
ada dua faktor, yaitu factor predisposisi (factor risiko) dan factor
presipitasi (factor pencetus).
a. Faktor predisposisi
Stuart (2006) menyebutkan bahwa faktor predisposisi yang
menunjang perilaku resiko bunuh diri meliputi:
1) Diagnosis psikiatri
Tiga gangguan jiwa yang membuat klien berisiko untuk
bunuh diri yaitu gangguan alam perasaan, penyalahgunaan obat,
dan skizofrenia.
2) Sifat kepribadian
Tiga aspek kepribadian yang berkaitan erat dengan
peningkatan resiko bunuh diri adalah rasa bermusuhan, impulsif,
dan depresi.
3) Lingkungan psikososial
Baru mengalami kehilangan, perpisahan atau
perceraian,kehilangan yang dini, dan berkurangnya dukungan
sosial merupakan faktor penting yang berhubungan dengan bunuh
diri.
4) Biologis
Banyak penelitian telah dilakukan untuk menemukan
penjelasan biologis yang tepat untuk perilaku bunuh diri.
Beberapa peneliti percaya bahwa ada gangguan pada level
serotonin di otak, dimana serotonin diasosiasikan dengan perilaku
agresif dan kecemasan. Penelitian lain mengatakan bahwa
perilaku bunuh diri merupakan bawaan lahir, dimana orang yang
suicidal mempunyai keluarga yang juga menunjukkan
kecenderungan yang sama. Walaupun demikian, hingga saat ini
belum ada faktor biologis yang ditemukan berhubungan secara
langsung dengan perilaku bunuh diri
5) Psikologis
Leenars (dalam Corr, Nabe, & Corr, 2003) mengidentifikasi
tiga bentuk penjelasan psikologis mengenai bunuh diri.
Penjelasan yang pertama didasarkan pada Freud yang menyatakan
bahwa “suicide is murder turned around 180 degrees”, dimana dia
mengaitkan antara bunuh diri dengan kehilangan seseorang atau
objek yang diinginkan. Secara psikologis, individu yang beresiko
melakukan bunuh diri mengidentifikasi dirinya dengan orang
yang hilang tersebut. Dia merasa marah terhadap objek kasih
sayang ini dan berharap untuk menghukum atau bahkan
membunuh orang yang hilang tersebut. Meskipun individu
mengidentifikasi dirinya dengan objek kasih sayang, perasaan
marah dan harapan untuk menghukum juga ditujukan pada diri.
Oleh karena itu, perilaku destruktif diri terjadi.
6) Sosiokultural
Penjelasan yang terbaik datang dari sosiolog Durkheim yang
memandang perilaku bunuh diri sebagai hasil dari hubungan
individu dengan masyarakatnya, yang menekankan apakah
individu terintegrasi dan teratur atau tidak dengan masyarakatnya.

b. Faktor presipitasi
Stuart (2006) menjelaskan bahwa pencetus dapat berupa
kejadian yang memalukan, seperti masalah interpersonal,
dipermalukan di depan umum,kehilangan pekerjaan, atau ancaman
pengurungan. Selain itu, mengetahui seseorang yang mencoba atau
melakukan bunuh diri atau terpengaruh media untuk bunuh diri, juga
membuat individu semakin rentan untukmelakukan perilaku bunuh
diri.
Faktor pencetus seseorang melakukan percobaan bunuh diri
adalah perasaan terisolasi karena kehilangan hubungan
interpersonal/gagal melakukan hubungan yang berarti, kegagalan
beradaptasi sehingga tidak dapat menghadapi stres, perasaan
marah/bermusuhan dan bunuh diri sebagai hukuman pada diri sendiri,
serta cara utuk mengakhiri keputusasaan.
c. Respon terhadap stress
1) Kognitif: Klien yang mengalami stress dapat mengganggu proses
kognitifnya, seperti pikiran menjadi kacau, menurunnya daya
konsentrasi, pikiran berulang, dan pikiran tidak wajar.
2) Afektif: Respon ungkapan hati klien yang sudah terlihat jelas dan
nyata akibat adanya stressor dalam dirinya, seperti: cemas, sedih
dan marah.
3) Fisiologis: Respons fisiologis terhadap stres dapat diidentifikasi
menjadi dua, yaitu Local Adaptation Syndrome (LAS) yang
merupakan respons lokal tubuh terhadap stresor (misal: kita
menginjak paku maka secara refleks kaki akan diangkat) dan
Genital Adaptation Symdrome (GAS) adalah reaksi menyeluruh
terhadap stresor yang ada.
4) Perilaku: Klien dengan penyakit kronik atau penyakit yang
mengancam kehidupan dapat melakukan perilaku bunuh diri dan
sering kali orang ini secara sadar memilih untuk melakukan
tindakan bunuh diri. Perilaku bunuh diri berhubungan dengan
banyak faktor, baik faktor social maupun budaya.
5) Sosial: Struktur social dan kehidupan bersosial dapat menolong
atau bahkan mendorong klien melakukan perilaku bunuh diri.
Isolasi social dapat menyebabkan kesepian dan meningkatkan
keinginan seseorang untuk melakukan bunuh diri. Seseorang yang
aktif dalam kegiatan masyarakat lebih mampu menoleransi stress
dan menurunkan angka bunuh diri. Aktif dalam kegiatan
keagamaan juga dapat mencegah seseorang melakukan tindakan
bunuh diri.
d. Kemampuan mengatasi masalah/ sumber coping
1) Kemampuan personal: kemampuan yang diharapkan pada klien
dengan resiko bunuh diri yaitu kemampuan untuk mengatasi
masalahnya.

2) Dukungan sosial: adalah dukungan untuk individu yang di dapat


dari keluarga, teman, kelompok, atau orang-orang disekitar klien
dan dukungan terbaik yang diperlukan oleh klien adalah dukungan
keluarga.
3) Asset material: ketersediaan materi antara lain yaitu akses
pelayanan kesehatan, dana atau finansial yang memadai, asuransi,
jaminan pelayanan kesehatan dan lain-lain.
4) Keyakinan positif: merupakan keyakinan spiritual dan gambaran
positif seseorang sehingga dapat menjadi dasar dari harapan yang
dapat mempertahankan koping adaptif walaupun dalam kondisi
penuh stressor. Keyakinan yang harus dikuatkan pada klien resiko
bunuh diri adalah keyakinan bahwa klien mampu mengatas
masalahnya.
e. Mekanisme coping
Klien dengan penyakit kronis, nyeri, atau penyakit yang
mengancam kehidupan dapat melakukan perilaku destruktif-diri.
Sering kali klien secara sadar memilih bunuh diri. Menurut Stuart
(2006) mengungkapkan bahwa mekanisme pertahanan ego yang
berhubungan dengan perilaku destruktif diri tidak langsung adalah
penyangkalan, rasionalisasi, intelektualisasi, dan regresi. Menurut
Fitria (2012) mengemukakan rentang harapan-putus harapan
merupakan rentang adaptif-maladaptif.

f. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan yang dapat diambil pada klien dengan
resiko bunuh diri adalah:
Resiko bunuh diri

g. Intervensi
a) Bantu klien untuk mengenal masalah yang sedang dialami
b) Bantu klien untuk menurunkan resiko perilaku destruktif
(behavior management)
c) Berikan lingkungan yang aman (safety) berdasarkan tingkatan
resiko
d) Bantu klien mengidentifikasi dan mendapatkan dukungan sosial

e) Membantu klien mengembangkan mekanisme koping yang positif


h. Penatalaksanaan Medis dan Keperawatan
1. Penatalaksanaan Medis
Penatalaksanaan medis yang dapat dilakukan pada klien
resiko bunuh diri salah satunya adalah dengan terapi farmakologi.
Menurut (videbeck, 2008), obat-obat yang biasanya digunakan
pada klien resiko bunuh diri adalah SSRI (selective serotonine
reuptake inhibitor) (fluoksetin 20 mg/hari per oral), venlafaksin
(75-225 mg/hari per oral), nefazodon (300-600 mg/hari per oral),
trazodon (200-300 mg/hari per oral), dan bupropion (200-300
mg/hari per oral). Obat-obat tersebut sering dipilih karena tidak
berisiko letal akibat overdosis.
Mekanisme kerja obat tersebut akan bereaksi dengan sistem
neurotransmiter monoamin di otak khususnya norapenefrin dan
serotonin. Kedua neurotransmiter ini dilepas di seluruh otak dan
membantu mengatur keinginan, kewaspadaan, perhataian, mood,
proses sensori, dan nafsu makan.
2. Penatalaksanaan Keperawatan
Setelah dilakukan pengkajian pada klien dengan resiko bunuh
diri selanjutnya perawat dapat merumuskan diagnosa dan
intervensi yang tepat bagi klien. Tujuan dilakukannya intervensi
pada klien dengan resiko bunuh diri adalah (Keliat, 2009)
1) Klien tetap aman dan selamat

2) Klien mendapat perlindungan diri dari lingkungannya

3) Klien mampu mengungkapkan perasaannya

4) Klien mampu meningkatkan harga dirinya

5) Klien mampu menggunakan cara penyelesaian yang baik

2. Penatalaksanaan Klien Dengan Perilaku Bunuh Diri


Menurut Stuart dan Sundeen (1997, dalam Keliat, 2009:13)
mengidentifikasi intervensi utama pada klien untuk perilaku bunuh diri
yaitu :
1) Melindungi
Merupakan intervensi yang paling penting untuk mencegah klien
melukai dirinya. Intervensi yang dapat dilakukan adalah tempatkan
klien di tempat yang aman, bukan diisolasi dan perlu dilakukan
pengawasan, temani klien terus-menerus sampai klien dapat
dipindahkan ke tempat yang aman dan jauhkan klien dari semua benda
yang berbahaya.
2) Meningkatkan harga diri
Klien yang ingin bunuh diri mempunyai harga diri yang rendah. Bantu
klien mengekspresikan perasaan positif dan negatif. Berikan pujian
pada hal yang positif.
3) Menguatkan koping yang konstruktif/sehat
Perawat perlu mengkaji koping yang sering dipakai klien. Berikan
pujian penguatan untuk koping yang konstruktif. Untuk koping yang
destruktif perlu dimodifikasi atau dipelajari koping baru.
4) Menggali perasaan
Perawat membantu klien mengenal perasaananya. Bersama mencari
faktor predisposisi dan presipitasi yang mempengaruhi prilaku
klien.
5) Menggerakkan dukungan sosial
Untuk itu perawat mempunyai peran menggerakkan sistem sosial
klien, yaitu keluarga, teman terdekat, atau lembaga pelayanan di
masyarakat agar dapat mengontrol prilaku klien.

A. Penatalaksanaan klien dengan resiko bunuh diri yaitu:


1) Mendiskusikan tentang cara mengatasi keinginan bunuh diri, yaitu dengan
meminta bantuan dari keluarga atau teman.
2) Meningkatkan harga diri klien, dengan cara:
a) Memberi kesempatan klien mengungkapkan perasaannya.
b) Berikan pujian bila klien dapat mengatakan perasaan yang positif.
c) Meyakinkan klien bahwa dirinya penting
d) Membicarakan tentang keadaan yang sepatutnya disyukuri oleh klien
e) Merencanakan aktifitas yang dapat klien lakukan
3) Meningkatkan kemampuan menyelesaikan masalah, dengan cara:
a) Mendiskusikan dengan klien cara menyelesaikan masalahnya
b) Mendiskusikan dengan klien efektifitas masing-masing cara
penyelesaian masalah
c) Mendiskusikan dengan klien cara menyelesaikan masalah yang lebih
baik

c. Contoh Kasus
Tn.K berusia 30 tahun merupakan penulis terkenal yang memiliki banyak
penggemar. Kesuksesannya tidak diimbangi dengan keharmonisan keluarga
yang diidamkan setiap keluarga. Tn.K memiliki riwayat masa lalu yang bisa
dikatakan suram. Ketika dia duduk di sekolah dasar, ibunya menikah lagi
dengan laki-laki kasar yang suka memukul. Hampir setiap hari dia, kakak, dan
ibunya dipukul oleh ayah tirinya tersebut. Sampai pada akhirnya ketika Tn.K
dipukul oleh ayahnya, kakaknya marah dan mengambil pisau, dan setelah
terjadi beberapa kali perdebatan, sang ayah tertusuk pisau dan meninggal.
Karena sang kakak ingin melindungi adiknya maka dia rela dipenjara, akan
tetapi ternyata hukuman yang dijatuhkan lama dan akhirnya sang kakak
menghabiskan waktu 13 tahun dipenjara. Karena kejadian itu, kakak Tn.K
memiliki dendam kepada adiknya yang pada akhirnya pada saat keluar penjara
kakak Tn.K menyerang Tn.K dengan menusuknya. Sejak kejadian itu, Tn.K
mempunyai teman anak SMA yang mengaku fansnya yang ternyata memiliki
kisah yang sama dengan dirinya yaitu sering dipukuli oleh ayahnya. Setelah
teman-temannya menyelidiki, ternyata anak SMA yang dimaksud Tn.K
hanyalah teman khayalan yang dia ciptakan sendiri. Dan karena teman
khayalannya tersebut, Tn.K seringkali melukai dirinya demi menyelamatkan
anak SMA tersebut, sampai pernah kejadian dia menabrakkan mobilnya untuk
melindungi anak SMA tersebut dari bahaya. Sehingga Tn.K seringkali
mengalami bahaya sampai orang yang melihatnya Tn.K seperti bunuh diri
karena sering membahayakan dirinya sendiri. Dan Tn.K tidak mempercayai
ketika teman-temannya mengatakan bahwa anak SMA itu tidak nyata.
Sehingga dia dipaksa untuk dibawa di rumah sakit dan ternyata didiagnosis
skizopfrenia.
1. Pengkajian
a. Faktor predisposisi
1) Diagnosis psikiatri
Tn.K dalam kasus tersebut didiagnosis skizofrenia.
2) Sifat kepribadian
Sifat kepribadian pada Tn.K yang meningkatkan resiko bunuh diri
adalah adanya teman khayalan sehingga Tn.K selalu berusaha
melindunginya dengan mengorbankan dirinya sendiri yang bisa
membahyakan.
3) Lingkungan psikososial
Tn.K mulai mengalami gangguan adalah ketika dia diserang dan
dicoba dibunuh oleh kakaknya yang baru keluar penjara dimana
kakaknya mengalami dendam terhadapnya.
4) Biologis
Tidak ada keturunan dari Tn.K yang sama memiliki gangguan seperti
dirinya.
5) Psikologis
Perilaku yang ditujukan oleh Tn.K dengan selalu melindungi teman
khayalannya yang merupakan cerminana dirinya tersebut karena dia
ingin teman khayalan tersebut tidak seperti dirinya sekarang. Dia
juga merasa bersalah dengan apa yang terjadi pada kakaknya
sehingga dia juga tertekan. Tn.K akan selalu berusaha melindungi
dengan cara yang membahayakan dirinya tanpa dia sadari tersebut.
Karena pada dunia Tn.K, teman khayalan yang dia lihat itu nyata dan
perlu perlindungannya.
6) Sosiokultural:
Hubungan dengan orang disekitarnya, Tn.K memiliki hubungan
yang baik dan Tn.K merupaka tokoh yang diidolakan karena karya
bukunya. Akan tetapi, hubungan Tn.K dengan kakaknya sangat tidak
baik. Dan hal tersebut salah satu yang melatarbelakangi apa yang
dialaminya sekarang.

b. Faktor prepitasi
Faktor pencetus dari kasus diatas adalah adanya rasa bersalah
terhadap kakaknya, dan adanya perasaan dendam dari kakaknya yang
terus ingin menyerang Tn.K, sehingga teman khayalan Tn.K muncul
sebagai cerminan dirinya.

c. Respon terhadap stress


1) Kognitif
Kognitif klien sejak mengalami gangguan ini terganggu, yaitu
kemampuan menulisnya sangat menurun dan cenderung hanya
mengulang tulisan yang sudah pernah dia tulis sebelumnya.
2) Afektif
Tn.K seringkali merasakan cemas akan serangan dari kakaknya,
dan selain itu bayangan dari masa lalunya terus saja datang
membayangi
3) Fisiologis:
Tn.K sering kali merasakan keringat dingin dan susah tidur ketika
bayangan dari masa lalunya sudah mulai ada, dan Tn.K selalu
mencemaskan teman bayangannya.
4) Perilaku
Tn.K sehari-harinya berperilaku seperti orang normal lainnya
dalam menjalani aktivitas hariannya, hanya saja orang sekeliling
Tn.K sering melihat Tn.k mengobrol sendiri seolah ada orang lain
didepannya yang diajak mengobrol. Selain itu, Tn.K sering
berperilaku yang membahayakn seperti menabrakkan mobilnya
sendiri dan menjatuhkan dirinya sendiri seperti orang yang sedang
dipukuli
5) Sosial
Hubungan sosial Tn.k dengan sekitar baik, tidak mengalami
gangguan

d. Kemampuan Mengatasi Masalah/ Sumber Coping


1) Kemampuan personal:
Tn.K kurang bisa mengendalikan dirinya apabila sudah
menyangkut dengan teman bayangannya, sehingga menurut orang
sekitar Tn.K sering melakukan hal-hal yang membahayakan
dirinya.
2) Dukungan social:
Pada awalnya, keluarga dan temannya tidak mengetahui apa yang
sedang dialami Tn.K, akan tetapi ketika mengetahui Tn.K sedang
sakit keluarga dan temannya memberikan dukungan penuh pada
Tn.K agar cepat sembuh.
3) Asset material:
Tn.K merupakan penulis terkenal, sehingga memiliki penghasilan
yang cukup untuk kehidupannya dan keluarganya
4) Keyakinan positif:
Tn.K memiliki keyakinan penuh bahwa dirinya akan sembuh
dengan keyakinan padaNya, selain itu dukungan dari keluarga dan
orang sekitar juga menjadi penyemangat tersendiri baginya.

2. Diagnosa

Diagnosa NOC NIC

Resiko Bunuh Diri 1. Pengendalian diri 1. Membantu klien untuk mengenali


terhadap bunuh diri masalah yang sedang dialami
2. Manajemen perilaku
a. Bantu klien menurunkan resiko
perilaku destruktif yang
diarahkan pada diri sendiri
dengan cara:
1) Kaji tingkat resiko yang
dialami klien: tinggi,
sedang, rendah
2) Kaji level Long-Term
Risk:
Lifestyle, dukungan sosial,
tindakan yang bisa
membahayakan dirinya
b. Bantu klian untuk
meningkatkan harga diri
1) Tidak menghakimi dan
bersikap empati
2) Mengidentifikasi aspek
positif yang dimiliki
3) Berikan jadwal aktivitas
harian yang terencana
untuk klien dengan kontrol
impuls yang rendah
4) Lakukan terapi kelompok
dan terapi kognitif serta
perilaku bila diindikasikan
3. Surveillance: safety
a. Berikan lingkungan yang aman
(safety)
1) Tempatkan klien di ruang
perawatan yang mudah
dkpantau
2) Mengidentifikasi dan
mengamankan benda-
benda yang dapat
membahayakan klien
3) Berikan ruangan yang
nyaman dan aman yaitu
dengan situasi lingkungan
yang cukup cahaya dan
jendela yang tidak terbuka
lebar untuk menghindari
kemungkinan klien lari
dari ruang perawatan
4) Ketika memberi obat oral,
dampingi klien dan
pastikan semua obat telah
diminum
5) Monitor keadaan klien
secara kontinyu
6) Batasi orang dalam
ruangan klien
4. Active Listening
a. Bantu klien untuk
mendapatkan dukungan sosial
1) Informasikan kepada
keluarga dan saudara
bahwa klien
membutuhkan dukungan
sosial yang adekuat
2) Dorong klien melakukan
aktivitas sosial
3) Jadilah pendengar yang
baik bagi klien dan bantu
klien untuk mengatasi
masalah
5. Afirmasi Positif
6. Berikan reinforcement positif
kepada klien

3. Implementasi
Melakukan apa yang sudah direncakan di intervensi kepada klien

4. Evaluasi
: Tuliskan apa yang masih dirasakan klien
a. Klien masih sering melihat teman bayangannya setiap waktu yang
seolah-olah selalu meminta bantuannya
O : Klien masih terlihat sering berbicara sendiri seolah ada lawan
bicara didepannya.

A : Tanda gejala yang masih ada atau yang sudah hilang

a. klien masih terlihat murung dan melakukan hal yang mengarah


pada mencedari diri dengan alasan melindungi temannya

b. klien masih sering mengobrolsendiri

c. klien masih menaganggap bahwa temannya itu nyata

P : Lanjutkan intervensi no 2, 4, 5, 6
DAFTAR PUSTAKA

Anna, budi. 2011. Keperawatan Kesehatan Jiwa Komunitas: CMHN(basic


course).jakarta: EGC

Anna, budi.2009. ModelPraktik Keperawatan Profesional jiwa. Jakarta : EGC

Purba, J. M, dkk. 2008. Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Masalah


Psikososial dan Gangguan Jiwa. Medan: Usu Press.

Stuart dan Sundeen. 2005. Buku Saku Keperawatan Jiwa Edisi 3. Jakarta: EGC.

Townsend, Mary C. 2005. Diagnosa Keperawatan pada Keperawatan Psikiatri,


Pedoman untuk Pembuatan Rencana Perawatan Edisi 3. Jakarta: EGC.

Yosep, Iyus. 2009. Keperawatan Jiwa. Bandung: Refika Aditama.

Keliat, Budi Anna, d kk. 2005. Proses Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta:
EGC

Townsend, MC. 1998. Diagnosa Keperawatan pada Keperawatan Psikiatri:


Pedoman untuk Pembuatan Rencana Keperawatan. Jakarta : EGC

Keliat, Budi Ana. 1999. Proses Keperawatan Kesehatan Jiwa. Edisi 1. Jakarta:
EGC

Keliat, Budi Ana. 2001. Peran Serta Keluarga dalam Perawatan Klien Gangguan
Jiwa. Jakarta: EGC.

Maramis, W.F. 2004. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Airlangga University


press, Surabaya.

Purba J. M, dkk. 2008. Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Masalah


Psikososial dan Gangguan Jiwa. Medan: Usu Press

Stuart, G.W., and Laraia, M.T. (1998). Principles and practice of psychiatric
nursing. Fifth edition. St. Louis: Mosby Year Book.

You might also like