Professional Documents
Culture Documents
com/2008/10/16/mengenal-sekilas-tentang-zat-aditif-pewarna-makanan/
Makanan yang berwarna-warni merupakan daya tarik yang paling utama di kalangan anak-
anak. Mereka terkadang tidak memperdulikan bagaimana rasa makanan atau minuman
yang ingin mereka beli. Kadangkala aroma yang wangi, rasa yang lezat, dan tekstur yang
lembut bisa jadi akan diabaikan jika warna dari makanan itu tidak menarik atau tidak sesuai
dengan apa yang diharapkan dari makanan itu.
Bahan pewarna makanan terbagi dalam dua kelompok besar yakni pewarna alami dan
pewarna buatan. Di Indonesia, penggunaan zat pewarna untuk makanan (baik yang
diizinkan maupun dilarang) diatur dalam SK Menteri Kesehatan RI No.
235/MenKes/Per/VI/79 dan direvisi melalui SK Menteri Kesehatan RI No.
722/MenKes/Per/VI/88 mengenai bahan tambahan makanan.
Pewarna alami diperoleh dari tanaman ataupun hewan yang berupa pigmen. Beberapa
pigmen alami yang banyak terdapat di sekitar kita antara lain: klorofil (terdapat pada daun-
daun berwarna hijau), karotenoid (terdapat pada wortel dan sayuran lain berwarna oranye-
merah). Umumnya, pigmen-pigmen ini bersifat tidak cukup stabil terhadap panas, cahaya,
dan pH tertentu. Walau begitu, pewarna alami umumnya aman dan tidak menimbulkan efek
samping bagi tubuh.
Pewarna buatan untuk makanan diperoleh melalui proses sintesis kimia buatan yang
mengandalkan bahan-bahan kimia, atau dari bahan yang mengandung pewarna alami
melalui ekstraksi secara kimiawi. Beberapa contoh pewarna buatan yaitu :
Kelebihan pewarna buatan dibanding pewarna alami adalah dapat menghasilkan warna
yang lebih kuat dan stabil meski jumlah pewarna yang digunakan hanya sedikit. Warna
yang dihasilkan dari pewarna buatan akan tetap cerah meskipun sudah mengalami proses
pengolahan dan pemanasan, sedangkan pewarna alami mudah mengalami degradasi atau
pemudaran pada saat diolah dan disimpan. Misalnya kerupuk yang menggunakan pewarna
alami, maka warna tersebut akan segera pudar ketika mengalami proses penggorengan.
Bahan perwarna dapat membahayakan kesehatan bila pewarna buatan ditambahkan dalam
jumlah berlebih pada makanan, atau dalam jumlah kecil namun dikonsumsi secara terus-
menerus dalam jangka waktu lama. Perlu diperhatikan bahwa pada saat ini banyak
pengusaha nakal yang menggunakan zat-zat pewarna berbahaya yaitu zat pewarna bukan
untuk makanan (non food grade). Misalnya, pemakaian zat pewarna tekstil atau kulit.
Selain itu, terjadi juga penggunaan bahan pewarna buatan dengan dosis tidak tepat. Hal-hal
tersebutlah yang dapat membahayakan kesehatan tubuh.
http://smk3ae.wordpress.com/2008/10/16/mengenal-sekilas-tentang-zat-aditif-pewarna-makanan/
Perilaku hiperaktif pada anak-anak ternyata terkait dengan pewarna makanan dan
pengawet sodium benzoat, sebut penelitian yang diterbitkan “The Lancet”, baru-baru ini.
Dampak zat-zat tersebut sangat luas, kata para peneliti. Mereka menyarankan para
orangtua mengatur makanan anak-anak mereka, karena langkah itu ternyata cara mudah
untuk menangani perilaku hiperaktif.
Para peneliti di Universitas Southampton, Inggris selatan, merekrut 153 balita berumur tiga
tahun dan 144 anak-anak berumur delapan atau sembilan tahun. Keduanya dibagi menjadi
dua kelompok. Satu kelompok diberi juice buah biasa dan yang lain diberi minuman yang
rasa dan tampaknya sama dengan juice itu, padahal mengandung pengawet. Kedua
minuman itu dipasok ke para orangtua dalam botol serupa tanpa keterangan apapun dan
tersegel. Kelompok “pengawet” dibagi ke dalam dua grup. Satu grup diberi “Campuran A,”
minuman yang mengandung pewarna buatan yang biasa ada dalam permen ukuran dua
kantong 56 gram. Grup lainnya diberi “Campuran B”, dengan tingkat pewarna yang lebih
tinggi, setara empat kantong permen itu. Kedua minuman campuran itu punya takaran
sodium benzoat yang sama. Sebelum percobaan selama enam pekan itu dilakukan, para
peneliti minta orangtua dan guru menilai anak-anak mereka dalam segi overaktif, impulsif
dan perilaku kurang memerhatikan, yang semuanya adalah ciri-ciri hiperaktif.
Penilaian juga dilakukan oleh para pengamat terlatih (bahkan oleh para sarjana psikologi),
yang duduk di kelas dan mencatat perilaku masing-masing anak, sesuai ukuran-ukuran
yang berlaku secara internasional. Selama sepekan pertama pecobaan, anak-anak
menerima makanan biasa. Setelah itu, semua permen-permen dan minuman yang
menggunakan pengawet tidak lagi diberikan, lalu para orangtua diminta menggantinya
dengan minuman percobaan dalam botol tersebut.
Takaran minuman yang diberikan kepada anak-anak itu disesuaikan dengan takaran
pewarna pada makanan mereka sehari-hari. Para orangtua tidak tahu manakah Campuran
A, Campuran B atau juice asli. Enam pekan kemudian, anak-anak itu kembali dinilai tingkat
hiperaktifnya. Campuran A memberi efek yang “merugikan secara signifikan” kepada balita
usia tiga tahun, meski Campuran B tidak berpengaruh terhadap kelompok itu. Pada
kelompok usia 8-9 tahun, Campuran A maupun Campuran B punya efek yang kuat.
“Secara keseluruhan, anak-anak yang diberi minuman campuran, maju sekitar 10 persen ke
arah hiperaktif. Kita sekarang punya bukti nyata bahwa campuran antara pewarna tertentu
dengan pengawet benzoat memengaruhi tingkah laku anak-anak secara merugikan,” (Jim
Stevenson, yang juga profesor psikologi di universitas Southampton).
Peringatan mengenai zat tambahan pada makanan serta akibatnya terhadap kesehatan
anak-anak sudah disampaikan sejak tiga puluh tahun lalu, namun bukti konkret mengenai
peringatan itu selalu dinyatakan masih kurang atau tidak ilmiah.
Para dokter di Amerika Serikat (AS), rata-rata memandang hiperaktivitas sebagai masalah
kejiwaan (ADHD) dan memberi resep obat merk paten, ritalin. Mereka mengemukakan
penggunaan obat kuat untuk memengaruhi pikiran adalah langkah berbahaya. Dalam
penelitian terbaru itu, Campuran A berisi 45 mg sodium benzoat dan 20 mg pewarna
makanan bernama sunset yellow (European food code E110), carmoisine (E122); tartrazine
(E102); dan ponceau 4R (E124). Campuran B berisi 45 mg sodium benzoat dan 30 mg
pewarna sunset yellow (E110); carmoisine (E122); quinoline yellow (E110) dan allura red
AC (E129). Gula maupun pengganti gula tidak menjadi fokus dalam penelitian itu.
Bagaimana cara menghindari penggunaan zat warna buatan dalam produk makanan ?.
1. Setiap kali membeli produk makanan, baca jenis dan jumlah pewarna yang digunakan
dalam produk tersebut.
2. Perhatikan label pada setiap kemasan produk. Pastikan di label itu tercantum izin dari
BPOM (Badan Pengawas Obat dan Makanan) yang tertulis: “POM dan Nomor izin
http://smk3ae.wordpress.com/2008/10/16/mengenal-sekilas-tentang-zat-aditif-pewarna-makanan/
pendaftaran”. Atau jika produk tersebut hasil industri rumah tangga maka harus ada
nomor pendaftarannya yang tertulis : “ P-IRT dan nomor izin pendaftaran”.
3. Untuk produk makanan yang tidak dikemas secara khusus, sebaiknya pilih makanan
atau minuman yang warnanya tidak terlalu mencolok, karena kemungkinan warna
tersebut berasal dari bahan pewarna bukan makanan (non food grade) seperti pewarna
tekstil.