Professional Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
1. Septum Interatrial
Septum atrium terbentuk antara minggu keempat dan keenam masa
mudigah. Fase awal ditandai dengan pertumbuhan suatu septum primer
(Septum primum) dari dinding dorsal rongga atrium komunis kearah bantalan
endokardium yang sedang tumbuh sewaktu yang terakhir mulai memisahkan
rongga atrium dan ventrikel. Suatu celah, yang disebut ostium primum, mula-
mula memisahkan septum primum yang sedang tumbuh dari bantalan
endokardium akhirnya melenyapkan ostium primum; namun pada saat ini
lubangkedua, ostium sekundum, muncul dari bagian tengah septum primum.
Hal ini memungkinkan berlanjutnya aliran darah teroksigenasi dari atrium
kanan ke kiri yang esensial untuk kehidupan janin. Seiring dengan
membesarnya ostium sekundum, sebuah septum sekunder (septum
sekundum) muncul tepat disisi kanan ostium primum. Septum sekundum
berploriferasi untuk membentuk struktur seperti bulan sabit yang akan
mengelilingi suatu ruangan yang disebut foramen ovale. Foramen ovale
dijaga pada sisi kirinya oleh sebuah flap jaringan yang berasal dari septum
primum, yang berfungsi sebagai katup satu arah yang memungkinkan darah
terus mengalir dari kanan ke kiri selama kehidupan intrauterus. Saat lahir,
seiring dengan turunnya resisensi vaskular paru dan meningkatnya tekanan
arteri sistemik, tekanan di atrium kiri meningkat melebihi tekanan di atrium
kanan sehingga terjadi penutupan fungsional foramen ovale.
2. Septum Interventrikular
Septum interventrikular dibentuk antara minggu keempat dan kedelapan
getasi. Septum ini terbentuk oleh fusi suatu rigi otot intraventrikel yang
tumbuh keatas dari apeks jantung ke partisi membranosa tipis yang tumbuh
kebawah dari bantalan endokardium. Regio basal atau membranosa adalah
bagian terakhir dari septum yang tumbuh dan merupakan tempat dimana
sekitar 70 % defek septum berada.
3. Katup-katup Atrioventrikular
Setelah bantalan-bantalan endokardium bersatu, masing-masing
orifisium atrioventrikularis dikelilingi oleh proliferasi setempat jaringan
mesenkim. Ketika jaringan yang terletak diatas permukaan ventrikular
jaringan yang berploriferasi ini menjadi berongga dan menipis karena aliran
darah, terbentuklah katup-katup yang tetap menempel pada dinding ventrikel
melalui tali-tali otot. Akhirnya, jaringan otot di dalam tali-tali ini
berdegenerasi dan digantikan oleh jaringan penyambung padat. Katup-katup
ini kemudian terbentuk dari jaringan penyambung yang dibungkus oleh
endokardium dan dihubingkan ke trabekula-trabekula tebal di dinding
ventrikel, yaitu musculi papilares dan korda tendeniae. Sehingga terbentuklah
2 katup jantung (Bikuspidalis dan trikuspidalis)
2.3 Epidemiologi dan Faktor Resiko
Bayi baru lahir yang dipelajari adalah 3069 orang, 55,7% laki- laki dan
44,3% perempuan, 28 (9,1 per-1000) bayi mempunyai PJB. Patent Ductus
Arteriosus (PDA) ditemukan pada 12 orang bayi (42,9%), 6 diantaranya bayi
prematur. Ventricular Septal Defect (VSD) ditemukan pada 8 bayi (28,6%),
Atrial Septal Defect (ASD) pada 3 bayi (19,7%), Complete Atrio Ventricular
Septal Defect (CAVSD) pada 3,6% bayi, dan kelainan katup jantung pada bayi
yang mempunyai penyakit jantung sianotik (10,7%), satu bayi Transposition of
Great Arteries (TGA), dua lain dengan kelainan jantung kompleks sindrom
sianotik. (Harimurti, 2009)
Ditemukan satu bayi dengan sindrom Down dengan ASD, dengan ibu
pengidap diabetes. Satu orang bayi dilahirkan dari bapak dengan PJB, tidak ada
dari 4 orang ibu dengan PJB mempunyai bayi dengan PJB. Atrial fibrillation
ditemukan di satu orang bayi. Dari 28 bayi dengan PJB, 4 mati (14,3%) selama 5
hari pengamatan. Data menunjukkan ibu yang tidak mengkonsumsi vitamin B
secara teratur selama kehamilan awal mempunyai 3 kali risiko bayi dengan PJB.
Merokok secara signifikan sebagai faktor risiko bagi PJB 37,5 kali. Faktor risiko
lain secara statistik tidak berhubungan. (Harimurti, 2009)
Dalam hubungan keluarga yang dekat risiko terjadinya PJB yang terjadi
79,1%, untuk Heterotaxia, 11,7% untuk Conotruncal Defects, 24,3% untuk
Atrioventricular Septal Defect, 12,9% untuk Left Ventricular Outflow Tract
Obstruction, 7,1% untuk Isolated Atrial Septal Defect dan 3,4% untuk Isolated
Ventricular Septal Defect. Risiko terjadinya PJB dari jenis lain 2,68%, risiko
didapatnya PJB dari jenis yang sama berkisar 8,15%. Didapati hanya 2,2%
kejadian PJB pada populasi yang diamati. (Harimurti, 2009)
b. Sianosis.
Sianosis timbul akibat saturasi darah yang menuju sistemik rendah.
Sianosis mudah dilihat pada selaput lendir mulut, bukan di sekitar mulut.
Sianosis akibat kelainan jantung ini (sianosis sentral) perlu dibedakan pada
sianosis perifer yang sering didapatkan pada anak yang kedinginan. Sianosis
perifer lebih jelas terlihat pada ujung- ujung jari. (Rudolph, 2008)
c. Toleransi latihan.
Toleransi latihan merupakan petunjuk klinis yang baik untuk
menggambarkan status kompensasi jantung ataupun derajat kelainan jantung.
Pasien gagal jantung selalu menunjukkan toleransi latihan berkurang.
Gangguan toleransi latihan dapat ditanyakan pada orangtua dengan
membandingkan pasien dengan anak sebaya, apakah pasien cepat lelah, napas
menjadi cepat setelah melakukan aktivitas yang biasa, atau sesak napas dalam
keadaan istirahat. Pada bayi dapat ditanyakan saat bayi menyusui. Apakah ia
hanya mampu minum dalam jumlah sedikit, sering beristirahat, sesak waktu
mengisap, dan berkeringat banyak. Pada anak yang lebih besar ditanyakan
kemampuannya berjalan, berlari atau naik tangga. Pada pasien tertentu seperti
pada tetralogi Fallot anak sering jongkok setelah lelah berjalan. (Rudolph,
2008)
e. Bising jantung.
Terdengarnya bising jantung merupakan tanda penting dalam
menentukan penyakit jantung bawaan. Bahkan kadang-kadang tanda ini yang
merupakan alasan anak dirujuk untuk dilakukan pemeriksaan lebih lanjut.
Lokasi bising, derajat serta penjalarannya dapat menentukan jenis kelainan
jantung. Namun tidak terdengarnya bising jantung pada pemeriksaan fisis,
tidak menyingkirkan adanya kelainan jantung bawaan. Jika pasien diduga
menderita kelainan jantung, sebaiknya dilakukan pemeriksaan penunjang
untuk memastikan diagnosis. (Rudolph, 2008)
Adapun gejala lain jantung bawaan yaitu:
Ujung-ujung kuku, lidah, bibir berwarna biru.
Hemoglobin (Hb) tinggi (lebih dari 20). Normalnya 14.
Bayi sulit menyusu dan rewel.
Mudah tertular penyakit sehingga berat badan tidak naik-naik karena sering
sakit.
(Sudoyo, 2009)
2.7 Diagnosis
Diagnosis penyakit jantung bawaan ditegakkan berdasarkan pada
anamnesis, pemeriksaan fisis, pemeriksaan penunjang dasar serta lanjutan.
Pemeriksaan penunjang dasar yang penting untuk penyakit jantung bawaan
adalah foto rontgen dada, elektrokardiografi, dan pemeriksaan laboratorium rutin.
Pemeriksaan lanjutan (untuk penyakit jantung bawaan) mencakup ekokardiografi
dan kateterisasi jantung. Kombinasi ke dua pemeriksaan lanjutan tersebut untuk
visualisasi dan konfirmasi morfologi dan pato-anatomi masing-masing jenis
penyakit jantung bawaan memungkinkan ketepatan diagnosis mendekati seratus
persen. Kemajuan teknologi di bidang diagnostik kardiovaskular dalam dekade
terakhir menyebabkan pergeseran persentase angka kejadian beberapa jenis
penyakit jantung bawaan tertentu. Hal ini tampak jelas pada defek septum atrium
dan transposisi arteri besar yang makin sering dideteksi lebih awal. (Rudolph,
2008)
Makin canggihnya alat ekokardiografi yang dilengkapi dengan Doppler
berwarna, pemeriksaan tersebut dapat mengambil alih sebagian peran
pemeriksaan kateterisasi dan angiokardiografi. Hal ini sangat dirasakan
manfaatnya untuk bayi dengan PJB kompleks, yang sukar ditegakkan
diagnosisnya hanya berdasarkan pemeriksaan dasar rutin dan sulitnya
pemeriksaan kateterisasi jantung pada bayi. Ekokardiografi dapat pula dipakai
sebagai pemandu pada tindakan septostomi balon transeptal pada transposisi
arteri besar. Di samping lebih murah, ekokardiografi mempunyai keunggulan
lainnya yaitu mudah dikerjakan, tidak menyakitkan, akurat dan pasien terhindar
dari pajanan sinar X.
Bahkan di rumah sakit yang mempunyai fasilitas pemeriksaan ekokardiografi,
foto toraks sebagai pemeriksaan rutinpun mulai ditinggalkan. Namun demikian
apabila di tangan seorang ahli tidak semua pertanyaan dapat dijawab dengan
menggunakan sarana ini, pada keadaan demikian angiografi radionuklir dapat
membantu. Pemeriksaan ini di samping untuk menilai secara akurat fungsi
ventrikel kanan dan kiri, juga untuk menilai derasnya pirau kiri ke kanan.
Pemeriksaan ini lebih murah daripada kateterisasi jantung, dan juga kurang
traumatis. Tingginya akurasi pemeriksaan ekokardiografi, membuat pemeriksaan
kateterisasi pada tahun 1980 menurun drastis. Sarana diagnostik lain terus
berkem- bang, misalnya digital substraction angiocardiography, ekokardiografi
transesofageal, dan ekokardiografi intravaskular. Sarana diagnostik utama yang
baru adalah magnetic resonance imaging, dengan dilengkapi modus cine sarana
pemeriksaan ini akan merupakan andalan di masa mendatang. (Rudolph, 2008)
Serta jika menghadapi seorang anak yang dicurigai menderita penyakit jantung
bawaan, yang perlu dilakukan adalah:
1. Menempatkan pasien khususnya neonatus pada lingkungan yang hangat,
dapat dilakukan dengan membedong atau menempatkannya pada inkubator.
2. Memberikan oksigen
3. Memberikan cairan yang cukup dan mengatasi gangguan elektrolit serta asam
basa.
4. Mengatasi kegawatan dengan menggunakan obat-obatan jika terdapat tanda-
tanda seperti gagal jantung, serangan sianotik, renjatan kardiogenik. (Sudoyo,
2009)
4.1 Hasil
4.2 Pembahasan
Pelaksanaan observasi TPP blok X ini dilakukan pada satu penderita VSD
(Ventrical Septum Defect) yang berumur 3 tahun dan berjenis kelamin perempuan.
Penegakkan diagnosis dilakukan setelah An. R melakukan anamnesis,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang berupa echokardiografi dan rontgen
thorax AP-Lateral. Hal ini sesuai dengan literatur yang menyatakan diagnosis
penyakit jantung bawaan ditegakkan berdasarkan pada anamnesis, pemeriksaan
fisis, pemeriksaan penunjang dasar serta lanjutan. Pemeriksaan penunjang dasar
yang penting untuk penyakit jantung bawaan adalah foto rontgen thorax,
elektrokardiografi, dan pemeriksaan laboratorium rutin. Pemeriksaan lanjutan
untuk penyakit jantung bawaan mencakup echokardiografi dan kateterisasi
jantung (Rudolph, 2008).
Dari hasil wawancara kepada orangtua An. R dijumpai gejala khas penyakit
jantung bawaan. Seperti berat badan yang An. R sukar untuk naik yaitu hanya 1
ons perbulan, saat menyusu An. R sering beristirahat sejenak, bernapas cepat dan
sesak, serta mudah merasa lelah saat bermain. Hal ini sesuai dengan literatur pada
tinjauan pustaka yang menyatakan, gejala yang menunjukkan adanya penyakit
jantung bawaan yaitu adanya gangguan pertumbuhan, sianosis, toleransi latihan,
adanya infeksi saluran napas berulang, bayi sulit menyusu dan rewel (Rudolph,
2008).
Pada An. R tidak ditemukan adanya gejala sianotik yaitu biru pada ujung-
ujung kuku, bibir dan lidah. Dibuktikan dari keterangan yanng diberikan orangtua
An. R dan dari pengamatan penulis sendiri. Hal ini menandakan bahwa jenis
Penyakit Jantung Bawaan (PJB) yang dialami An. R merupakan PJB asianotik.
Adanya gejala sianotik menandakan rendahnya saturasi oksigen dalam darah yang
diakibatkan adanya aliran darah kaya CO2 yang mengalir ke sistemik dalam arteri
sistemik karena terdapat pirau kanan ke kiri ventrikel jantung. Pada An. R tidak
dijumpai adanya sianotik berarti pirau yang terjadi adalah aliran dari kiri ke
kanan, sehingga tidak menyebabkan tercampurnya darah kaya O2 di ventrikel kiri
dengan darah kaya CO2 di ventrikel kanan. Namun tidak menutup kemungkinan
komplikasi yang terjadi pada An. R dapat menyebabkan sindrom Eisenmenger.
Yang diakibatkan banyaknya aliran darah ke paru lama kelamaan akan membuat
pembuluh kapiler di paru bereaksi dengan meningkatkan resistensinya sehingga
tekanan di arteri pulmonal dan di ventrikel kanan meningkat. Jika tekanan di
ventrikel kanan melebihi tekanan di ventrikel kiri maka terjadi pirau terbalik dari
kanan ke kiri sehingga anak mulai sianosis.
Penyakit jantung bawaan yang diderita An. A berdasarkan hasil foto rontgen
thorax dan pemeriksaan echokardiografi adalah VSD (Ventricular Septal Defect).
Pada hasil pemeriksaan foto rontgen thorax didapati CTR (Cardio Thorax Ratio)
lebih dari 50% (photo terlampir), hal ini menunjukkan bahwa jantung An. R telah
mengalami pembesaran. Berdasarkan teori yang ada bahwa nilai normal untuk
CTR yaitu berkisar antara 40-50%. Hasil pemeriksaan echokardiografi terdapat
ventrikel septum defek perimembran outlet besar dan tampak pulmonal
regurgitasi ringan. Pulmonal regurgitasi ini terjadi kemungkinan dikarenakan
adanya defek septum ventrikel yang menyebabkan terjadi pirau dari kiri ke kanan
ventrikel, banyaknya volume aliran darah di ventrikel kanan ke paru
mengakibatkan katup semilunar pulmonal mengalami gangguan ringan dalam
menutup katupnya saat darah yang banyak terisi di ventrikel kanan.
Tatalaksana medikamentosa yang diberikan dokter untuk waktu 6 bulan
adalah obat-obatan antihipertensi kombinasi yaitu Sildenafil, Furosemide, dan
Captopril. Jenis hipertensi yang kemungkinan terjadi pada An. R adalah
pulmonary arterial hypertension. Obat-obatan antihipertensi ini juga bertujuan
untuk mencegahnya sindrom Eisenmenger dan mencegah komplikasi buruk
berupa gagal jantung. Sildenafil merupakan obat yang dapat memberikan efek
melebarkan pembuluh darah. Furosemide merupakan jenis golongan diuretik kuat
yang akan menurunkan tekanan darah dengan mengurangi volume CES. Selain
untuk menurunkan tekanan darah, pemberian furosemide juga diharapkan dapat
memperingan sesak napas yang diderita An. R dengan mekanisme kerjanya. Efek
samping pemberian furosemide adalah hipokalemia namun dapat dibatasi dengan
pemberian produk kalium. Captopril termasuk dalam golongan obat inhibitor
enzim angiotensin konverter (angiotensin-converting enzyme inhibitor, ACEI).
Dimana angiotensin berperan dalam mekanisme hipertensi sehingga apabila
angiotensin dihambat tidak akan terjadi peningkatan tekanan darah. Efek samping
pemberian captopril dalam waktu yang lama dapat menyebabkan hiperkalemia.
Hal ini dapat menutupi efek samping yang dihasilkan oleh furosemide.
Tatalaksana bedah pada An. R menurut keterangan orangtua sudah
dianjurkan oleh dokter namun masih menunggu perkembangan tatalaksana
medikamentosa selama 6 bulan. Pengobatan medikamentosa dimulai bulan
Agustus tahun 2015, dan bulan Maret tahun 2016 akan kembali dilakukan
echokardiografi pada An. R. Menurut keterangan orangtua An. R apabila jantung
tidak terjadi pembesaran (kardiomegali) yang bertambah parah, respon
pengobatan medikamentosa positif maka tindakan bedah bisa tidak dilakukan.
Orangtua An. R mengaku sulit untuk mengonsumsi makanan bergizi
sewaktu hamil An. R karena mual muntah hebat yang terus-menerus selama masa
kehamilan hingga melahirkan. Sewaktu mengalami mual dan muntah hebat Ibu
An. R mengaku sempat mengonsumsi obat antimual dari Puskesmas Desa tempat
mereka tinggal dulu. Namun setelah konsumsi obat antimual tersebut keluhan
mual Ibu An. R tidak kunjung membaik malah semakin parah. Kami menanyakan
nama obat antimual yang dikonsumsi Ibu An. R tapi beliau mengaku sudah lupa
dan tidak menyimpan contoh obat tersebut. Kami juga menanyakan bagaimana
konsumsi sehari-hari mengenai vitamin yang penting selama kehamilan (seperti
vitamin B untuk jantung, vitamin B9, B12, suplemen besi dll), namun Ibu An. R
mengaku tidak pernah mengonsumsi vitamin selama kehamilan dan pihak
Puskesmas tidak pernah memberikan vitamin sewaktu melakukan kunjungan
kehamilan di Puskesmas. Mungkin ketiga faktor ini yaitu konsumsi obat antimual
(yang dikhawatirkan adalah thalidomide), nutrisi yang kurang bergizi, dan
kurangnya mengonsumsi vitamin B menjadi penyebab timbulnya gangguan
jantung bawaan pada An. R. Hal ini sesuai data menunjukkan ibu yang tidak
mengkonsumsi vitamin B secara teratur selama kehamilan awal mempunyai 3 kali
risiko bayi dengan PJB (Harimurti, 2009).
Kedua orangtua An. R mengaku tidak menderita kelainan jantung bawaan
begitu pula dari pihak keluarga baik Bapak dan Ibu tidak ada yang menderita
gangguan jantung bawaan. Jadi tidak ada riwayat keluarga gangguan jantung
bawaan pada An. R yang berarti gangguan jantung bawaan pada An. R bukan
berasal dari genetik. Hal ini berkaitan dengan literatur di tunjauan pustaka yang
mengatakan bahwa gangguan jantung dapat disebabkan oleh genetik, dimana 10%
penderita PJB memiliki penyimpangan kromosom (Muaningsih, 2011).
Faktor lingkungan juga dapat menyebabkan gangguan jantung bawaan saat
kehamilan diantaranya adalah pengaruh lingkungan yang buruk yaitu sering
terpapar asap rokok, adanya infeksi virus rubella pada kehamilan trisemester
pertama, ibu menderita diabetes melitus yang tidak terkontrol, ibu yang
mengonsumsi alkohol ataupun pengaruh obat-obatan (Muaningsih, 2011). Kedua
orangtua An. R tidak ada yang memiliki riwayat merokok, mengonsumsi alkohol,
dan pemakaian narkoba. Kecuali kakek dari pihak Ibu An. R yang merupakan
perokok berat. Tidak ada riwayat penyakit infeksi yang diderita Ibu An. R selama
kehamilan, namun Ibu An. R mengaku sempat mengalami sakit kepala satu kali
saat kehamilan 5 bulan lalu meminum obat Panadol. Ibu An. R mengaku tidak
memiliki riwayat diabetes. Obat-obatan lain yang dikonsumsi adalah obat
antimual.
Riwayat kelahiran An. R adalah premature dengan usia 8,5 bulan saat lahir.
Berdasarkan literatur yang ada, terdapat hubungan antara bayi yang lahir kurang
bulan (premature) dengan angka kejadian penyakit jantung bawaan. Terdapat
angka prevalensi yang cukup tinggi bahwa bayi yang lahir prematur lebih sering
menderita kelainan jantung bawaan daripada bayi yang lahir tidak prematur.
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Adapun kesimpulan pada pelaksanaan TPP Blok X ini yaitu :
5.2 Saran
Adapun saran pada pelaksanaan Tugas Pengenalan Profesi kali ini adalah:
1. Diharapkan kepada semua anggota kelompok TPP lebih memahami topik
kasus yang dilaksanakan sehingga dapat menggali informasi yang lebih baik
lagi kepada pasien.
CHECKLIST WAWANCARA
“Observasi Penderita Yang Memiliki Gangguan Jantung Bawaan”