You are on page 1of 16

STUDI KOMPARATIF : SISTEM TANAM PAKSA SUMATERA BARAT

DENGAN JAWA ABAD 19


Albani Suryani1, Mestika Zed2, Etmi Hardi3.
Jurusan Sejarah, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Padang
Email: Albani.suryani14046057@gmail.com
Abstract
This article is a comparative study of the Javanese Forced Planting
System with 19th century West Sumatra. The purpose of this study is to describe
the comparison of the Cultivation System in Java with West Sumatra.
This study uses library research methods. The library method is a technique or
process and guidelines for processing text data, especially secondary data in the
form of writings in books, and scientific journals. The author conducted a
literature review and analysis of existing sources, as well as studying reference
books in the library relating to writing in order to get the picture used as the
writing material.
The results of the study showed that the Cultivation System in Java was
successful while the Cultivation System in West Sumatra experienced few failures.
The Cultivation System in Java was successful because traditionally, community
service was part of the institutions that supported the state, and the government
issued large sums of money to obtain the export-intensive crops to farmers to be
willing to provide energy and supported by enforcer of power. The Cultivation
System in West Sumatra was not the first successful because coffee had been
worked on by the people irregularly in the forest near the second village of the
community's own garden was recommended by the heads without pay, all three
large and regular gardens were worked and cared for by people under the control
of people The Netherlands and is far from the settlement.

Keywords: Comparative Study, Forced Crop System, Java, West Sumatra.


A. PENDAHULUAN
Sistem Tanam Paksa adalah era paling eksploitatif dalam praktek
ekonomi Hindia Belanda. Sistem Tanam Paksa ini jauh lebih keras dan
kejam dibanding sistem monopoli VOC karena ada sasaran pemasukan
penerimaan negara yang sangat dibutuhkan pemerintah.1
Sistem Tanam Paksa dilaksanakan melalui alat birokrasi
pemerintah yang berfungsi sebagai pelaksana langsung dalam proses
mobilisasi sumber perekonomian berupa tanah dan tenaga kerja. 2 Pada
prakteknya peraturan itu dapat dikatakan tidak berarti karena seluruh
wilayah pertanian wajib ditanami tanaman laku ekspor dan hasilnya
diserahkan kepada pemerintahan Belanda.
Sistem Tanam Paksa merupakan suatu sistem yang diberlakukan
oleh Gubernur Johannes Van Den Bosch. Pada saat itu Van Den Bosch
mewajibkan setiap desa menyisihkan sebagian tanahnya (20%) untuk
ditanami komoditi ekspor, khususnya kopi, tebu, dan tarum (nila). Hasil
tanaman ini akan dijual kepada pemerintah kolonial dengan harga yang
sudah dipastikan dan hasil panen diserahkan kepada pemerintah kolonial.
Penduduk desa yang tidak memiliki tanah harus bekerja 75 hari dalam
setahun (20%) pada kebun-kebun milik pemerintah yang menjadi
semacam pajak.3
Sistem Tanam Paksa tidak hanya diberlakukan di Pulau Jawa akan
tetapi di Sumatera Barat juga diterapkan Sistem Tanam Paksa oleh Van
Den Bosch. Sistim Tanam Paksa ini diterapkan di Minangkabau, dan
menunjukkan bagaimana paksaan itu melahirkan stagnasi dalam ekonomi
masyarakat Sumatera Barat yang sebelumnya sangat giat dan aktif, suatu

1
Zulkarnain. 2011. “Kesengsaraan Masyarakat Jawa/Cultuurstelsel(Kajian Sosial Ekonomi )”,
Jurnal Istoria, Vol. II. No 1 , hal. 30
2
Hendra Kurniawan. 2014. “Dampak Sistem Tanam Paksa terhadap Dinamika Perekonomian
Petani Jawa 1830-1870”, Jurnal Ilmu-Ilmu Sosial Vol. 11, No. 2 , hal 164
3
M. C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2011,
hlm. 182.
keadaan yang ditambah lagi dengan kemacetan politik pada dasawarsa
terakhir dari abad ke 19.
Sesuai yang pernah dialami pemerintahan kolonial dalam
mengelola sektor pertanian di Pulau Jawa juga berdampak ke luar Pulau
Jawa. Ketika terjadi perluasan kekuasaan kolonial selama abad ke 19.
Belanda mencoba menyatukan kekuasaannya yang bertebaran menjadi
suatu perpaduan politik dan ekonomi yang nyata dibawah atribut negara
kolonial yang bernama Hindia Belanda. Sedangkan di Minangkabau
sendiri, sosok lain dari kebijaksanaan ekonomi yang dijalankan pemerintah
kolonial Belanda muncul dalam bentuk yang disebut Sistem Tanam Paksa
Kopi.4
Berdasarkan paparan permasalahan diatas penulis tertarik untuk
meneliti perbandingan Sistem Tanam Paksa di Jawa dengan Sistem Tanam
Paksa di Sumatera Barat abad 19 perbandingan yang akan peneliti
bandingkan ialah (1) Latar belakang Sistem Tanam Paksa (2) Pelaksanaan
Sistem Tanam Paksa (3) Dampak dari Sistem Tanam Paksa. Memang
banyak penelitian yang membahas tentang Sistem Tanam Paksa di Jawa,
namun hanya sedikit yang meneliti tentang Sistem Tanam Paksa yang ada
di Sumatera Barat, padahal dahulu Sistem Tanam Paksa ini juga ada di
Sumatera Barat. Banyak keunikan-keunikan yang perlu dikaji untuk
penelitian ini, oleh karena itu peneliti sangat tertarik untuk menelitinya.
Kajian relevan merupakan informasi dasar rujukan yang akan
digunakan dalam penelitian artikel yang berjudul” Studi Komparatif:
Sistem Tanam Paksa Jawa dengan Sumatera Barat abad 19” Adapun
penelitian dan tulisan-tulisan yang berkaitan dengan judul, sebagai berikut:
Pertama, tesis yang ditulis oleh Mestika Zed (1983) yang berjudul
“Melayu Kopi Daun: Eksploitasi Kolonial Dalam Sistim Tanam Paksa
Kopi Di Minangkabau, Sumatera Barat(1847-1908)”. Tesis ini membahas
tentang Sistim Tanam Paksa Kopi merupakan arus utama dari kehadiran

4
Mestika Zed, 1983. “Melayu Kopi Daun: Eksploitasi Kolonial di Sumatera Barat 1847-1908”
Thesis MA,Univ. Indonesia. Hal 81
kekuatan kolonial Belanda di Minangkabau abad ke 19. Sistem Tanam
Paksa itu diperintahkan oleh A.V Michiels, Gubernur Sumatera Barat,
pada tahun 1847 dimana beliau mewajibkan penduduk untuk menanam
sejumlah pohon kopi dan kemudian mengantarkan hasilnya ke gudang-
gudang kopi pemerintah yang telah disediakan di beberapa tempat tertentu.
Terkait dengan judul yang diangkat oleh penulis, tesis ini menjelaskan
mengenai Sistim Tanam Paksa Kopi yang berlaku di Sumatera Barat. Tesis
ini sangat membantu penulis sebagai bahan penelitian penulis. Tesis ini
secara umum memberi tahu tentang sejarah ekonomi Sumatera Barat pada
abad ke 19 dan dalam hubungan-hubungan dengan praktek Sistem Tanam
Paksa kopi. Kedua,buku yang ditulis oleh Rovert van Niel (2003) yang
berjudul “Sistem Tanam Paksa di Jawa”. buku ini terdiri dari 10 bagian
yang menjelaskan tentang sistem tanam paksa di Jawa. Di buku ini
dijelaskan Jawa mempunyai pengalaman sejarah cukup panjang. Salah
satu yang didahuluinya adalah periode Sistem Tanam Paksa. Sistem ini
diberlakukan secara resmi di Hindia (Timur) Belanda sejak tahun 1830 dan
berakhir pada 1870. Ketiga,buku yang ditulis oleh Jeffrey Hadler (2008)
yang berjudul “Sengketa Tiada Putus(Matriarkat, Reformasi Islam dan
Kolonialisme di Minangkabau”. :buku ini menceritakan tentang
minangkabau secara keseluruhan. Mulai dari perang paderi, menceritakan
tentang bentuk-bentuk rumah, Interior dan bentuk-bentuk keluarga,
mendidik anak-anak , sengketa pribadi, gempa bumi dan keluarga-keluarga
dalam gerak. Keempat,buku yang ditulis oleh Jan Breman (2014) yang
berjudul “Keuntungan Kolonial dari Kerja Paksa( Sistem Priangan dari
Tanam Paksa Kopi di Jawa 1720-1870)” menceritakan tentang
keuntungan-keuntungan yang diperoleh oleh para colonial. Kelima,buku
yang ditulis oleh Elizabeth E.Graves (2007) yang berjudul “Asal-Usul
Elite Minangkabau Modern(Respon terhadap Kolonial Belanda XIX/XX”.
Buku ini menceritakan tentang alam Minangkabau dan masyarakat
Negerinya tradisional, negeri dan dunia sekitarnya, format politik baru
pemerintahan sentralistik dan status quo .kesimpulan dari buku ini ialah
menceritakan tentang keadaan Sumatera Barat secara keseluruhan.
Sumatera Barat merupakan daerah yang terpadat penduduknya di
Sumatera dan merupakan salah satu dari lima kawasan yang paling padat
penduduknya di Indonesia, menyusul setelah tiga Provinsi di Pulau Jawa
dan Sulawesi Selatan. Keenam jurnal yang ditulis oleh Zulkarnain (2011)
yang berjudul Dampak Penerapan Sistem Tanam Paksabagi Masyarakat.
Di jurnal ini dijelaskan bahwa sistem Tanam Paksa yang diterapkan di
Hindia Belanda telah mendatangkan perubahan sosial masyarakat baik
secara makro maupun mikro. Sistem Tanarn Paksa merupakan
penghisapan dan pemerasan secara brutal yang dikelola oleh orang-orang
yang tamak dan haus akan kekuasaan, yang nilai-nilainya dibentuk oleh
latar belakang kebudayaan masing-masing. Sistem Tanam Paksa
menjalankan suatu tipu muslihat pada lingkungan sosio-ekonomi secara
lebih canggih dan rumit.

B. METODOLOGI
Metode yang digunakan dalam penelitian ini ialah metode
Kepustakaan. Metode kepustakaan atau library research adalah teknik
atau proses dan pedoman pengolahan data teks, khususnya data sekunder
berupa tulisan-tulisan dalam buku, dan jurnal ilmiah.5 Penulis melakukan
kajian kepustakaan dan analisa sumber yang ada, serta mempelajari buku-
buku referensi di perpustakaan yang berkaitan dengan penulisan guna
mendapatkan gambaran peneliti yang dijadikan bahan pengamatan atau
penulisan. Dalam hal ini penulis mempelajari buku-buku membahas
tentang Sistem Tanam Paksa di Jawa dan Sistem Tanam Paksa di
Sumatera Barat.

5
Mestika Zed, Handout (2) Metode Sejarah, (Padang: Jurusan Sejarah, FIS UNP, 2017), hlm. 2
C. HASIL DAN PEMBAHASAN
a. Sistem Tanam Paksa di Jawa
Sistem Tanam Paksa di terapkan oleh Johannes Van den Bosch.
Pada tanggal 19 Januari 1830 dia diangkat menjadi Jenderal Gubernur.
Sistem Tanam Paksa merupakan tindakan eksploitasi mengambil sumber
daya alam dan sumber daya manusia secara besar besaran.6
Tanam Paksa atau Cultuur Stelsel adalah peraturan yang
dikeluarkan oleh Gubernur Jenderal Johannes van den Bosch yang
mewajibkan setiap desa harus menyisihkan sebagian tanahnya (20%)
untuk ditanami komoditi ekspor khususnya kopi, tebu, nila. Hasil tanaman
ini akan dijual kepada pemerintah kolonial dengan harga yang sudah
dipastikan dan hasil panen diserahkan kepada pemerintah kolonial.
Penduduk desa yang tidak memiliki tanah harus bekerja 75 hari dalam
setahun (20%) pada kebun-kebun milik pemerintah yang menjadi
semacam pajak.7
Dalam penjabarannya tentang dasar Tanam Paksa J. van den Bosch
mengacu pada tanaman dan setoran wajib sebagai soko guru pemerintah
seperti dulu yang dilaksanakan oleh VOC.8
Sistem Tanam Paksa pada dasarnya merupakan penyatuan antara
sistem penyerahan wajib dengan sistem pajak tanah. Maka dari itu, ciri
pokok Sistem Tanam Paksa terletak pada keharusan rakyat untuk
membayar pajak dalam bentuk barang, yaitu berupa hasil tanaman
pertanian mereka, dan bukan dalam bentuk uang seperti yang berlaku
dalam sistem pajak.9
Diterapkannya prinsip yang pertama ini berkaitan dengan
pemikiran J. Van Den Bosch yang menganggap bahwa bila diterapkan

6
Wulan SondarikaTahun Terbitnya tidak diketahui.” Dampak Culturstelsel( Tanam Paksa) Bagi
Masyarakat Indonesia dari Tahun 1830-1870 hal 59
7
Daryanti,Mubyarto.1991.”Gula,kajiansocialekonomi ”, Yogyakarta: Aditya Media hal.34
8
Breman, Jan, 2014. Keuntungan Kolonial dari Kerja Paksa, Sistem Perdagangan dari Tanam
Paksa Kopi di Jawa 1720-1870. Jakarta: Pustaka Obor Indonesia. Hal 204
9
Wafiyatu Maslahah.2016. Kehidupan Sosial-Ekonomi Masyarakat di Jawa 1830-1870. jurnal
agastya vol 6 no 2 hal 20
ekonomi system bebas, masyarakat desa yang mayoritas adalah petani,
akan enggan untuk diajak menanam tanaman ekspor yang menjadi bahan
perdagangan utama untuk mengisi kas keuangan pemerintah.10
Sistem Tanam Paksa11 dilaksanakan melalui saluran birokrasi
pemerintah, yang melibatkan pejabat-pejabat pribumi dan eropa. Pejabat
pribumi mencakup para bupati hingga kepala desa. Pejabat eropa meliputi
para Residen, Asisten Residen, kontrolir, dan Direktur Tanaman, yang
bertugas sebagai pengawas jalannya Pelaksanaan Sistem Tanam Paksa.Ini
berarti Sistem Tanam Paksa menyadarkan diri.12
Secara umum pelaksanaan Sistem Tanam Paksa telah
mempengaruhi dua unsur pokok kehidupan agraris pedesaan jawa, yaitu
tanah dan tenaga kerja. Akan tetapi dampak dari Sistem Tanam Paksa di
Jawa selain mempengaruhi tanah (kemudian dikaitkan dengan sistem
ekonomi pedesaan) dan munculnya tenaga buruh yang murah, masih
ditambah satu hal lagi yaitu lahir- nya pembentukan modal di desa. Sistem
Tanam Paksa merupakan system eksploitasi Belanda terutama di Jawa
pada periode 1830-1870.13
Selain tanah, Sistem Tanam Paksa membutuhkan pengerahan
tenaga kerja rakyat secara besar-besaran untuk penggarapan lahan,
penanaman, pemanenan, pengangkutan, dan pengolahan di pusat-pusat
pengolahan atau pabrik. Semua kerja yang dibutuhkan ini dilakukan
dengan sistem kerja paksa. Pelaksanaan heerendiensten sangat
memberatkan penduduk, karena selain tidak diberi upah, juga pekerjaan
yang harus dikerjakan secara fisik cukup berat. Meskipun nantinya secara
berangsur-angsur sistem kerja paksa di perkebunan diganti menjadi sistem
kerja upah bebas. Sejak tahun 1837 mulai dilakukan individualisasi

10
Awaludin Nugraha.2001. Industri Indigo Di Kabupaten Cirebon Pada Masa Sistem Tanam
Paksa (1830-1870) Jurnal Sosiohumaniora Vol. 3, No. 2, Edisi 1 hal 96
11
Van Niel Robert. 2003. Sistem Tanam Paksa Di Jawa. Pustaka LP3ES Indonesia: Jakarta hal 1
12
Sartono kartodirdjo. 1993. Pengantar Sejarah Indonesia Baru: 1500-1900 Dari Emporium
Sampai Imperium Jilid 1. jakarta: Penerbit PT gramedia Pustaka Utama.hal 306
13
Hendra Kurniawan. 2014. “Dampak Sistem Tanam Paksa terhadap Dinamika Perekonomian
Petani Jawa 1830-1870”, Jurnal Ilmu-Ilmu Sosial Vol. 11, No. 2 , hal 169
pekerjaan dalam perkebunan. Tahun 1855 sistem pekerjaan di perkebunan
mulai teratur dan terspesifikasi. Pekerjaan di perkebunan maupun di sektor
pembangunan mulai memberlakukan system kerja kontrak.14
Berakhirnya Sistem Tanam Paksa itu bukan merupakan akibat
kesulitan ekonomi yang berlarut-larut. Tetapi justru kemungkinan
mengantungi keuntungan yang sangat besar, terutama dalam perdagangan
gula, serta rentetan skandal dan kasus-kasus korupsi yang mengakibatkan
begitu meningkatnya tekanan-tekanan politis terhadap pemerintah
Belanda, sehingga sejak tahun 1860 Sistem Tanam Paksa semakin
diperlonggar. Dengan dikeluarkannya “Undang-undang Agraria” dan
Undang-undang Gula”pada tahun 1870 Sistem Tanam Paksa dihapuskan
dan terbukalah peluang-peluang baru bagi para innovator swasta dari luar
negeri.15

b. Sistem Tanam Paksa di Sumatera Barat


Pada masa sebelum colonial, kehidupan perekonomian di
nagari-nagari dataran tinggi Minangkabau cenderung bersifat subsistensi,
artinya mencukupi kebutuhan poko yang ada disuatu nagari itu sendiri.
Penduduknya menanam padi. Hanya sebagian kecil saja yang bergerak
dibidang pertenunan, pandai besi atau perdagangan.16
Penerapan Sistem Tanam Paksa kopi diajukan Gubernur
Michiels yang mewajibkan setiap keluarga menanam sekurang-kurangnya
150 batang kopi. Diharapkan dari 150 batang kopi tersebut satu batang
kopi bias menghasilkan 1,05 pikul setiap tahunnya. Gubernur Michiels
percaya bahwa dengan membangun infrastruktur utama seperti jalan yang

14
Sartono kartodirdjo dan Djoko Suryo. 1991. Sejarah Perkebunan di Indonesia: Kajian Sosial
Ekonomi. Yogyakarta: Aditya Media 67-68
15
Mestika, Zed. & Emizal Amri. 1994. Sejarah Sosial dan Ekonomi jilid II. Laboratorium Jurusan
Pendidikan Sejarah. Fakultas Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial. IKIP Padang hal. 24
16
Elizabeth E Graves.2007.“Asal Usul Elit Minangkabau(respon terhadap kolonial Belanda abad
XXI dan XX) penerjemah Novi Andri dkk. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia hal 102
menghubungkan daerah pedalaman dengan pusat pengumpulan kopi akan
menjadi ramai datang mengantarkan hasil panennya.17
Mengenai pertumbuhan hasil kopi di akhir abad ke 19 telah
diajukan antara lain oleh Akira Oki (Qki, 1977). Dia juga menekankan
pada perkembangan di pusat regional sebagaimana yang telah dilukiskan
Gcrieke. Tempat pertumbuhan spektakuler yang paling banyak ditunjukan
oleh schrieke di daerah yang sama sekali terpencil dari daerah Pusat
"Minangkabau”, seperti Kerinci, di Muaro Bungo di Selatan, Talu, Ophir,
Cubadak di Utara,'Bangkiang (Bangkinang) di 'Timur dan lain-lain.
Daerah tersebut mempunyai pengaruh yang sangat penting di seluruh
Minangkabau, tetapi mereka terletak di luar daerah jantung; (pusat)
Minangkabau, dan di luar perkampungan penduduk.18
Kemungkinan besar VOC telah membawa biji-bijian dari
Moka beberapa puluh tahun sesudah mereka sampai di Jawa. Rupa-
rupanya orang segera gemar minum kopi, sebab VOC telah
memasukkannya dalam daftar barang dagangan. Akhir abad ke-17 kopi
mulai ditanam sendiri, terutama di daerah-daerah pinggiran Batavia,
Pariangan dan Cirebon. Selama zaman Cultuurstelsel, kopi praktis adalah
satu-satunya yang paling banyak memberi keuntungan dan paling lama
dipertahankan. Karena pengalaman yang baik di Jawa inilah, Van den
Bosch ingin meluaskan sistem Cultuurstelsel-nya ke Pulau Sumatra.19
Fase awal dari Sistem Tanam Paksa menemukan banyak
kesulitan, bukan saja karena masalah kurangnya prasarana akan tetapi juga
kurangnya tenaga-tenaga terampil yang sangat diperlukan terutama dalam
urusan administrasi digudang kopi.20

17
Mestika Zed, 1983. “Melayu Kopi Daun: Eksploitasi Kolonial di Sumatera Barat 1847-1908”
Thesis MA,Univ. Indonesia.hal 97
18
Kenneth R. Young, “The Late-Nineteenth Century Commodity Boom in West
Sumatera”terjemahan Mestika Zed. Indonesia, No 22,(Apr.1980), pp. 64 69). Hal 1
19
Rusli Amran. 1981. Sumatera Barat Plakat Panjang. Jakarta: PT Sinar Harapan hal 91
20
Mestika Zed, 1983. “Melayu Kopi Daun: Eksploitasi Kolonial di Sumatera Barat 1847-1908”
Thesis MA,Univ. Indonesia.hal 99
Pengumuman Michiels hanya formalitas saja, kecuali jual
paksa pada pemerintah segala kebijaksanaan diambil sebelumnya telah
bertentangan dengan jiwa plakat panjang. Hasil Sistem Tanam Paksa di
Sumatera Barat tidak mencapai tujuan. Jadi sewaktu peraturan itu
diberlakukan ada tiga macam kebun kopi. Pertama karena kopi telah
dikerjakan rakyat secara turun-temurun secara tidak teratur di hutan-hutan
dekat kampung atau sebagai pagar dipekarangan, kedua kebun-kebun oleh
rakyat sendiri dianjurkan oleh para kepalanya tanpa bayaran, ketiga kebun-
kebun luas dan teratur, dikerjakan dan dirawat rakyat dibawah control
orang-orang Belanda serta letaknya jauh dari pemukiman.21
Hasil Tanam Paksa Kopi mulai terlihat setelah tiga atau empat
tahun. Setelah itu, beberapa tahun kedepannya produksi kopi
memperlihatkan kecenderungan meningkat, hingga akhirnya mencapai
puncak produk sinya pada saat berumur 5 tahun sampai dengan 20 tahun.
Oleh karena itu selama tahun 1850an hingga 1860 kopi hasil Tanam Paksa
menjadi salah satu produksi unggulan Pantai Barat Sumatera.22
Sistem Tanam Paksa membuat rakyat menderita di Sumatera Barat.
Meskipun menderita karena system ini rakyat tetap dapat bertahan dalam
kegiatan berdagang ini, meskipun cenderung menderita tekanan dari
kebijaksanaan pemerintah colonial, tidaklah mengalami kepunahan.23
Pada tahun 1908, akhirnya budidaya paksa kopi dihapuskan di
Sumatera Barat dan digantikan dengan pajak biasa. Di Sumatera Barat
rakyat tidak sudi hak-haknya dirampas dan diinjak-injak secara sewenang-
wenang. Rakyat menentang dan menyabot usaha penjajah dengan
perkopiannya dan untuk itu rakyat menanggung risiko berat.24

21
Rusli Amran. 1981. Sumatera Barat Plakat Panjang. Jakarta: PT Sinar Harapan hal 91
22
Eko Yulianto, dkk 2018. “Mengawal Semangat Kewirausahaan: Peranan Saudagar dalam
Memajukan Roda Ekonomi Sumatera Barat” Bank Indonesia. Jakarta hal 95
23
Mestika Zed, 1983. “Melayu Kopi Daun: Eksploitasi Kolonial di Sumatera Barat 1847-1908”
Thesis MA,Univ. Indonesia.hal 167
24
Rusli Amran. 1981. Sumatera Barat Plakat Panjang. Jakarta: PT Sinar Harapan hal 111
c. Perbandingan Sistem Tanam Paksa Di Jawa Dengan Sumatera
Barat
Sistem Tanam Paksa di Jawa dilatar belakangi oleh kekosongan
kas Belanda. Kas Belanda kosong terjadi akibat banyaknya peperangan. Di
Jawa Sistem Tanam Paksa diterapkan oleh Van den Bosch25, dimana
rakyat disuruh menanam tanaman yang mempunyai nilai jual di pasar
internasional. Akibat dari penerapan Sistem Tanam Paksa ini rakyat Jawa
mengalami keterpurukan. Orang Jawa karena sudah terbiasa dengan
Sistem seperti ini mereka hanya menurut saja. Tidak dapat dipungkiri di
daerah Jawa sangat kental dengan hubungan antara raja dan rakyat. Istilah
Gusti Kaula sangat popular di Jawa. Tidak hanya di Pulau Jawa di
Sumatera Barat juga diterapkan Sistem Tanam Paksa. Berbeda dari Pulau
Jawa di Sumatera Barat tanaman wajibnya ialah kopi. 26 Kopi di
Padangsche bovenlanden harus duijual pada pemerintah franco
pakus(pakhuis, gudang) atau tempat-tempat penampungan yang
disediakan, dengan bayaran kontan. Kopi tersebut merupakan Tanam
Wajib Paksa di Sumatera Barat. Berbeda dengan Jawa ketentuan setiap
desa harus menyisihkan sebagian tanahnya (20%) untuk ditanami komoditi
ekspor khususnya kopi, tebu, nila.27 Hasil tanaman ini akan dijual kepada
pemerintah kolonial dengan harga yang sudah dipastikan dan hasil panen
diserahkan kepada pemerintah kolonial. Penduduk desa yang tidak
memiliki tanah harus bekerja 75 hari dalam setahun (20%) pada kebun-
kebun milik pemerintah yang menjadi semacam pajak.
Dampak dari pelaksanaan Sistem Tanam Paksa di Jawa yaitu
mempengaruhi tanah yang dikaitkan dengan sistem ekonomi pedesaaan
dan munculnya tenaga buruh yang murah serta ditambah satu lagi yaitu
lahirnya pembentukan modal di desa. Perolehan laba yang sangat luar

25
Wulan SondarikaTahun Terbitnya tidak diketahui.” Dampak Culturstelsel( Tanam Paksa) Bagi
Masyarakat Indonesia dari Tahun 1830-1870 hal 59
26
Rusli Amran. 1981. Sumatera Barat Plakat Panjang. Jakarta: PT Sinar Harapan hal 98
27
Mifta Hermawati. 2013. “Tanam Paksa Sebagai Tindakan Eksploitasi.” Jurnal Avatara, VoL. 1.
No. 1, hal 65
biasa bagi Belanda keuntungan dari Sistem Tanam Paksa eksploitasi
Belanda di Jawa tahun 1830-1870.28 Selain munculnya tenaga buruh yang
murah dampak lain dari pelaksaan Sistem Tanam Paksa ialah waktu yang
dibutuhkan dalam penggarapan budidaya tanaman ekspor seringkali
mengganggu kegiatan penanaman padi.29 Persiapan lahan untuk tanaman
kopi biasanya berbenturan dengan penanaman padi hal inilah yang
menyebabkan rakyat menderita akibat dari pelaksanaan Sistem Tanam
Paksa.
Dampak dari pelaksanaan Sistem Tanam Paksa di Sumatera Barat
terlihat ketika Michiels mengingkari isi Plakat Panjang. Dampak dari
budidaya Tanam Paksa Kopi terlihat dalam produksi beras dimana tenaga
kerja dulu yang mengerjakan sawah sekarang berganti profesi
mengerjakan kopi, rakyat yang dulunya berkecukupan dari hasil penjualan
beras sekarang kurang memenuhi kebutuhan hidupnya hal ini salah satu
penyebab dari dampak Tanam Paksa kopi. Selain dampak ini ada dampak
lain dari Tanam Paksa kopi yaitu Kopi sering kali diganti metode
menanamnya hal tersebut ulah dari mandor-mandor yang sering diganti
ganti.
Para bejabat sangat ketat dalam aturan Tanam Paksa dan tidak
boleh satu orangpun yang boleh melanggar isi perjanjian Plakat Panjang
namun sebenarnya pejabat Belandalah yang melanggar isi dari Plakat
Panjang tersebut. Setiap pengontrol tenaga kerja mempunyai banyak
mandor mandor30 akibat mempunyai banyak mandor sebagai pembantu
tentu saja mereka berupaya memeras rakyat Sumatera Barat untuk
memberi gaji mandor-mandornya tersebut. Gaji yang diberikan kepada
mandor mereka tersebut sebenarnya uang dari hasil perasan rakyat
Sumatera Barat yang diakali dengan memberikan berbagai macam denda

28
Hendra Kurniawan. 2014. “Dampak Sistem Tanam Paksa terhadap Dinamika Perekonomian
Petani Jawa 1830-1870”, Jurnal Ilmu-Ilmu Sosial Vol. 11, No. 2 , hal 169
29
Wulan SondarikaTahun Terbitnya tidak diketahui.” Dampak Culturstelsel( Tanam Paksa) Bagi
Masyarakat Indonesia dari Tahun 1830-1870 hal 64
30
Rusli Amran. 1981. Sumatera Barat Plakat Panjang. Jakarta: PT Sinar Harapan hal 105
jika terjadi pelanggaran. Tangan besi yang dijalankan paling keras di
daerah Bandar Sepuluh (Painan).
Sistem Tanam Paksa di Jawa berakhir pada tahun 1870.31pada
tahun 1870 partai Liberal menang sehingga rakyat Hindia Belanda juga
mengalami imbasnya dan akhirnya kebijakan Sistem Tanam Paksa diganti
dengan kebijakan Liberal. Sedangkan Sistem Tanam Paksa di Sumatera
Barat berakhir pada tahun 1908.32Dengan dipaksakannya penduduk
membayar pajak dengan uang, maka kini berkembang ekonomi uang.33
Hidup ekonomi yang dulunya agak statis sekarang orang giat
sehingga membentuk kehidupan yang dinamis. Kehidupan dinamis
tersebut terlihat dari ikatan keluarga yang dulunya lebih erat, sekarang
renggang. Hubungan adat pun begitu. Banyak keluarga yang mmepunai
keluarga berumah tangga dan anak-anaknya sudah sekolah tinggi-tinggi
sehingga anak-anak tesebut pandai dan tidak mau kampungnya dijajah
lagi. Akibat dari kesewenang-wenangan orang Belanda rakyat menentang
segala macam bentuk kebijakan dan sudah mulai banyak wilayah-wilayah
yang melawan penjajah. Harapan Belanda mengharapkan keuntungan di
Sumatera Barat pupus sudah karena harapan orang Belanda tidak sesuai
dengan kenyataan yang ada, malahan di daerah Sumatera Barat ini
Belanda tidak mendapatkan keuntungan sama sekali seperti yang
diharapkan di Jawa. Di Jawa Belanda bisa mengisi kekosongan kasnya
sedangkan di Sumatera Barat Belanda tidak mendapatkan hal itu.

KESIMPULAN
Sistem Tanam Paksa merupakan sebuah kebijakan ekonomi
pemerintahan Belanda pada abad 19. Sistem Tanam Paksa yang
sesungguhnya petani dibebaskan dari segala pajak tanah dan sebagai
gantinya diganti dengan menanam tanaman ekspor milik pemerintah pada

31
Mifta Hermawati. 2013. “Tanam Paksa Sebagai Tindakan Eksploitasi.” Jurnal Avatara, VoL. 1.
No. 1, hal 70
32
Rusli Amran. 1981. Sumatera Barat Plakat Panjang. Jakarta: PT Sinar Harapan hal 111
33
Rusli Amran. 1981. Sumatera Barat Plakat Panjang. Loc cit 111
seperlima luas tanahnya atau, sebagai alternative petani diharuskan bekerja
selama 66 hari setiap tahun di perkebunan-perkebunan milik pemerintah
atau dalam proyek lain. Namun pada saat pelaksanaannya jauh berbeda
dari ketentuan tersebut. Perkebunan ini terdapat serangkaian hal-hal
tambahan, system-sistem yang ada hubungannya, dan pertumbuhan-
pertumbuhan bebas, sehingga gambaran Pulau Jawa dari tahun 1830-1870
merupakan gambaran sebuah keadaan yang beraneka ragam dan lebih aktif
dari keadaan yang dibicarakan orang.
Sistem Tanam Paksa di Jawa menjadikan kas Belanda terisi.
Karena pelaksanaan Sistem Tanam Paksa ini menguntungkan di Jawa
ternyata Belanda juga menerapkan Sistem Tanam Paksa di Sumatera Barat
alaasn Belanda juga menerapkan system ini di Sumatera Barat tentu
karena orang Belanda juga berfikir bahwa Sumatera Barat juga akan
memberikan keuntungan untuk mengisi kas Belanda. Akan tetapi pada
pelaksaaannya di Sistem Tanam Paksa Sumatera Barat Belanda tidak
menemui hasil dan bisa dikatakan mengalami kegagalan di Sumatera
Barat. Walaupun mengalami kegagalan penerapan Sistem Tanam Paksa ini
tetap saja membuat orang Sumatera Barat menderita pada saat
dilaksanakannya Sistem Tanam Paksa ini. Berdasarkan pembahasan
penelitian diatas terdapat banyak perbedaan pelaksanaan Sistem Tanam
Paksa di Jawa dengan Sumatera Barat. Mulai dari segi latar belakang
daerah, proses pelaksaanannya, dampak yang didapatkan dari Sistem
Tanam Paksa ini serta berakhirnya Sistem Tanam Paksa ini di kedua
daerah ini.
D. DAFTAR RUJUKAN
Awaludin Nugraha. 2001. Industri Indigo Di Kabupaten Cirebon
Pada Masa Sistem Tanam Paksa (1830-1870) Jurnal
Sosiohumaniora Vol. 3, No. 2, Edisi
Breman, Jan, 2014. Keuntungan Kolonial dari Kerja Paksa, Sistem
Perdagangan dari Tanam Paksa Kopi di Jawa 1720-1870.
Jakarta: Pustaka Obor Indonesia
Daryanti. Mubyarto. 1991. “Gula, Kajian Sosial Ekonomi”,
Yogyakarta. Aditya Media
Elizabeth E Graves.2007.“Asal Usul Elit Minangkabau(respon
terhadap kolonial Belanda abad XXI dan XX) penerjemah
Novi Andri dkk. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia
Eko Yulianto, dkk 2018. “Mengawal Semangat Kewirausahaan:
Peranan Saudagar dalam Memajukan Roda Ekonomi
Sumatera Barat” Bank Indonesia. Jakarta
Hendra Kurniawan. 2014. “Dampak Sistem Tanam Paksa terhadap
Dinamika Perekonomian Petani Jawa 1830-1870”, Jurnal
Ilmu-Ilmu Sosial Vol. 11, No. 2
Kenneth R. Young, “The Late-Nineteenth Century Commodity
Boom in West Sumatera”terjemahan Mestika Zed. Indonesia,
No 22,(Apr.1980), pp. 64 69)
M. C. Ricklefs. 2011. Sejarah Indonesia Modern. Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press
Mestika Zed.2017. Handout (2) Metode Sejarah (Padang: Jurusan
Sejarah, FIS UNP
Mestika Zed, 1983. “Melayu Kopi Daun: Eksploitasi Kolonial di
Sumatera Barat 1847-1908” Thesis MA,Univ. Indonesia
Mestika, Zed. & Emizal Amri. 1994. Sejarah Sosial dan Ekonomi
jilid II. Laboratorium Jurusan Pendidikan Sejarah. Fakultas
Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial. IKIP Padang
Mifta Hermawati. 2013. “Tanam Paksa Sebagai Tindakan
Eksploitasi.” Jurnal Avatara, VoL. 1. No. 1
Rusli Amran. 1981. Sumatera Barat Plakat Panjang. Jakarta: PT
Sinar Harapan
Rusli Amran. 1981. Sumatera Barat Plakat Panjang. Jakarta: PT
Sinar Harapan
Sartono kartodirdjo. 1993. Pengantar Sejarah Indonesia Baru:
1500-1900 Dari Emporium Sampai Imperium Jilid 1. jakarta:
Penerbit PT gramedia Pustaka Utama.
Van Niel Robert. 2003. Sistem Tanam Paksa Di Jawa. Pustaka
LP3ES Indonesia: Jakarta
Wafiyatu Maslahah.2016. Kehidupan Sosial-Ekonomi Masyarakat
di Jawa 1830-1870. jurnal agastya vol 6 no 2
Wulan Sondarika Tahun Terbitnya tidak diketahui.” Dampak
Culturstelsel( Tanam Paksa) Bagi Masyarakat Indonesia dari
Tahun 1830-1870
Zulkarnain. 2011. “Kesengsaraan Masyarakat Jawa/Cultuurstelsel
(Kajian Sosial Ekonomi )”, Jurnal Istoria, Vol. II. No 1

You might also like