You are on page 1of 17

LAPORAN KASUS

ILMU PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN


DERMATITIS KONTAK ALERGI ET CAUSA HAIR DYE

Disusun oleh :
Yulyani Pratiwi
00000012159

Pembimbing:
dr. Muljani Enggalhardjo, SpKK

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KULIT DAN KELAMIN


SILOAM HOSPITAL LIPPO VILLAGE-RUMAH SAKIT UMUM SILOAM
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PELITA HARAPAN
PERIODE 4 MARET – 6 APRIL 2019
TANGERANG
BAB I
LAPORAN KASUS

1.1 Identitas Pasien


Nama : Bp. I
Jenis Kelamin : Pria
Tanggal lahir : 30 Oktober 1994
Usia : 24 tahun
Pekerjaan : Karyawan
Status : Belum menikah
Alamat : Taman Ubud
Agama : Islam
No. RM : 00-84-96-xx

1.2 Anamnesis
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis pada :
a. Hari,tanggal : Jumat, 8 Maret 2019
b. Pukul : 13:00
c. Tempat : Poliklinik Kulit & Kelamin RS Siloam Karawaci

Keluhan Utama
Pasien datang dengan keluhan gatal, perih, bengkak dan terasa kencang pada
tepi rambut sejak 1 hari SMRS.

Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang ke poliklinik kulit RS Siloam pada tanggal 8 April 2019 dengan
keluhan gatal, perih dan bengkak di sekitar tepi rambut sejak 1 hari SMRS. Pasien
menyatakan 2 hari SMRS mengecat rambut pada malam hari. Keesokan paginya
timbul bintik merah di kulit kepala dan sekitar tepi rambut. Bintik merah semakin
memburuk dari waktu ke waktu hingga timbul bengkak kemerahan yang disertai
perasaan kencang sekitar tepi rambut.
Gatal dan perih yang dirasakan pasien terus menerus. Gatal dan perih

2
membaik ketika pasien mengaplikasikan salep DiproSalic®, mengkonsumsi
Cetirizine® 10 mg 3x1 dan membasahi kepala dengan air dingin. Gatal dan perih
semakin memburuk ketika berkeringat. Pasien mengkonsumsi Cetirizine® dan
menggunakan salep DiproSalic® sejak 1 hari SMRS.
Pada pagi hari SMRS, pasien pergi berobat ke sebuah klinik dan diberikan
obat Medixon® 4 mg, kemudian pasien dirujuk ke RS Siloam Karawaci. Pasien
menyatakan bengkak tidak berkurang meskipun telah mengkonsumsi Cetirizine®,
Medixon® dan menggunakan salep DiproSalic®. Skala nyeri yang dirasakan pasien
adalah 5/10. Keluhan yang timbul pada pasien membuat pasien kesulitan beraktivitas
karena rasa gatal, perih dan keluhan dari segi kosmetik.

Riwayat Penyakit Dahulu


Pasien menyatakan pernah mengalami gejala serupa pada tahun 2014 karena
mengecat rambut, kemudian diberikan obat lewat injeksi oleh dokter, akan tetapi
pasien tidak mengetahui isi dari obat tersebut. Pasien menyangkal adanya riwayat
alergi baik pada makanan ataupun obat-obatan. Tidak ada riwayat penyakit asma,
diabetes melitus dan hipertensi pada pasien.

Riwayat Sosial dan Kebiasaan


Pasien menyatakan memiliki kebiasaan mengkonsumsi rokok 1 bungkus
perhari, alkohol 2 kali dalam sebulan, dan alprazolam pada bulan lalu karena
kesulitan tidur. Di lingkungan pasien tidak ada yang memiliki keluhan serupa.

Riwayat Penyakit Keluarga


Keluarga pasien tidak ada yang memiliki keluhan serupa, tidak memiliki
riwayat asma, alergi pada cat rambut, makanan, maupun alergen lainnya.

Riwayat Alergi dan Pengobatan


Pasien memiliki riwayat alergi terhadap cat rambut. Pasien menyangkal
memiliki riwayat alergi terhadap makanan maupun obat. Pasien tidak mengkonsumsi
obat-obatan rutin.

3
1.3 Pemeriksaan Fisik
a. Status Generalis
 Keadaan Umum : Tampak sehat
 Kesadaran : Compos Mentis
 GCS : 15 ( E4M6V5)
 Berat Badan : 70 kg
 Tinggi Badan : 168 cm
 IMT : 24,8 (Normal)
b. Tanda-tanda vital
 Tekanan Darah : 110/80 mmHg
 Denyut Nadi : 80x/menit regular, isi cukup

 Suhu : 36,5oC
 Laju Nafas : 18x/menit
 SpO2 : 99%
c. Pemeriksaan Umum

Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik, tidak ada injeksi


Mata konjungtiva, scar, rash, ataupun mata cekung. Jarak antar mata
simetris. Pupil isokor (3 mm/3 mm).
Kulit dan Normal, tidak ada rash, turgor baik.
kuku
Kepala dan Rambut Rambut tersebar merata, berwarna hitam
wajah
Kulit Tampak edema dan eritema disekitar tepi
rambut
Fungsi Pergerakan normal tanpa adanya keterbatasan.
Hidung Bentuk dan ukuran normal, tidak ditemukan deviasi,
pendarahan, pus, deformitas dan tidak terdapat napas cuping
hidung.
Telinga Bentuk dan ukuran normal, simetris, tidak ditemukan pus, tidak
terdapat pendarahan, pembesaran kelenjar getah bening auricular
dan deformitas.

4
Gigi dan Bibir simetris, merah. Pemeriksaan gigi tidak dilakukan. Tonsil
mulut normal (T1/T1).
Leher Tidak ditemukan rash, pembesaran tiroid, pembesaran KGB
leher dan supraklavikular.
Inspeksi Simetris, tidak ada bagian dada yang tertinggal, tidak
ada retraksi sela iga, tidak ada barrel chest, pectus
excavatum, pectus carinatum.
Paru Palpasi Tactile focal fremitus normal, simetris di seluruh
lapang paru anterior dan posterior. Tidak terdapat
deviasi trakea.
Perkusi Sonor di seluruh lapang paru anterior dan posterior.
Auskultasi Vesikuler +/+, ronki -/-, wheezing -/-
Inspeksi Tidak terlihat ictus cordis.
Palpasi Tidak ada thrill.
Jantung Perkusi Tidak dilakukan.
Auskultasi Katup aorta, pulmo, mitral, tricuspid S1/S2. Tidak
ada S3, S4,
murmur, ataupun gallop.
Abdomen Inspeksi Simetris, datar, tidak tampak erosi, ekskoriasi,
bengkak dan kemerahan.
Palpasi Supel, tidak teraba masa maupun pembesaran organ,
nyeri tekan (-)
Perkusi Timpani pada seluruh lapang abdomen
Auskultasi Terdengar bising usus
Ekstremitas, Ekstremitas simetris, tidak ada pucat, sianotik, ikterik, atau
kulit, dan deformitas. Kuku tidak ada clubbing finger, ataupun
kuku koilonychia. Cappilary refill time
(CRT) < 2 detik.

5
d. Status Dermatologis
Ad regio capitis tampak plak eritematosa, berbatas tegas, berukuran plakat,
diatasnya terdapat papul berwarna putih milier.

6
7
Gambar 1.1 DKA et causa hair dye

8
1.5 Pemeriksaan Penunjang
Tidak dilakukan pemeriksaan penunjang pada pasien.

1.6 Resume
Bp. I, berusia 24 tahun, datang dengan keluhan gatal dan perih pada tepi
rambut sejak 1 hari SMRS. 2 hari SMRS pasien mengecat rambut pada malam hari.
Keesokan paginya timbul bintik merah di sekitar tepi rambut. Bintik merah semakin
memburuk dari waktu ke waktu hingga timbul bengkak kemerahan pada sekitar tepi
rambut. Gatal dan perih dirasakan terus menerus, membaik ketika menggunakan salep
DiproSalic®, mengkonsumsi Cetirizine® 10 mg 3x1 dan membasahi kepala dengan air
dingin, keadaan memburuk ketika pasien berkeringat. Pagi hari SMRS pasien berobat
ke sebuah klinik kemudian mengkonsumsi obat yang diresepkan yaitu Medixon® 4 mg.
Kemerahan, bengkak dan perasaan kencang pada tepi rambut tidak membaik meskipun
telah mengkonsumsi obat dan menggunakan salep. Skala nyeri yang dirasakan pasien
adalah 4/10. Keluhan yang timbul menganggu aktivitasi karena rasa gatal, perih dan
keluhan dari segi kosmetik.
Pasien pernah mengalami keluhan serupa pada tahun 2014 karena
menggunakan cat rambut kemudian diberikan obat lewat injeksi, akan tetapi pasien
tidak mengetahui isi dari obat tersebut. Pada pemeriksaan fisik, tanda-tanda vital dan
status generalis dalam batas normal. Pada status dermatologis ditemukan pada regio
capitis tampak plak eritematosa, berbatas tegas, berukuran plakat, diatasnya terdapat
papul putih milier.

1.7 Diagnosis
Diagnosis kerja : Dermatitis Kontak Alergi
Diagnosis Banding : Dermatitis Kontak Iritan, Dermatitis Seboroik

1.8 Tatalaksana
a. Medikamentosa
Medixon® 4 mg 2x1 selama 7 hari
Xyzal® 5 mg 1x1 selama 7 hari
Elox 10 gr cream 2x1
b. Non-medikamentosa
Memberikan edukasi untuk tidak menggunakan cat rambut
9
1.9 Prognosis
Quo ad vitam : Ad bonam
Quo ad functionam : Ad bonam
Quo ad sanationam : Ad bonam
Quo ad cosmeticam : Ad bonam

10
BAB II
PEMBAHASAN KASUS

2.1 Definisi
Dermatitis Kontak Alergi (DKA) adalah sistem kekebalan tubuh yang
memiliki reaksi berlebihan terhadap zat-zat tertentu, terkadang dalam jumlah yang
sangat kecil yang biasanya tidak akan menyebabkan reaksi. DKA dapat menyebabkan
reaksi kulit yang berat, reaksi ini tidak terjadi segera, tetapi setelah satu hingga tiga
hari.2

2.2 Epidemiologi
Jumlah pasien DKA lebih sedikit dibandingkan dengan DKI, karena hanya
mengenai orang dengan keadaan kulit yang sangat peka (hipersensitif). Jumlah DKA
maupun DKI makin bertambah seiring dengan bertambahnya jumlah produk yang
mengandung bahan kimia.1
Sekitar 8% orang dewasa memiliki dermatitis kontak alergi dan lebih sering
terjadi pada wanita dibandingkan pria. Umumnya, dermatitis kontak alergi terjadi
pada occupational contact dermatitis (OCD) atau dermatitis kontak kerja seperti
penata rambut, pekerja logam dan tukang batu.2,5 Tingkat insiden tahunan yang
dilaporkan untuk OCD adalah 0,5-1,9%. Namun, insiden cenderung diabaikan karena
kurang dilaporkan untuk kasus penyakit kulit akibat alergi yang ringan. Paparan di
tempat kerja, usia, jenis kelamin, penggunaan produk oleh konsumen dan
kecenderungan genetik diidentifikasi sebagai faktor risiko yang paling penting.3
P-Phenylenediamine (PPD) : Merupakan salah satu dari bahan pewarna
rambut oksidatif yang menjadi perhatian khusus karena tingkat keparahannya dan
meluasnya penggunaan pewarna rambut. Diperkirakan 0,2-2,5% dari populasi Eropa
dan hingga 20% dari penata rambut menderita alergi pewarna rambut.4

11
2.3 Etiologi
Zat yang umumnya memicu DKA meliputi : Logam (nikel dan kobalt), karet
lateks, perekat (misalnya plester), tumbuhan (Chamomile dan arnica), pewangi (dalam
kosmetik seperti lipstick, parfum dan sabun), pewarna, agen pembersih dan pelarut,
minyak esensial dan obat yang dioleskan kekulit.2,5
Paparan pewarna rambut telah lama dikenal sebagai faktor risiko yang
signifikan untuk pengembangan dermatitis kontak alergi yang dapat menyebabkan
eksim wajah dan batang tubuh yang berat pada konsumen dan eksim tangan pada
penata rambut. Saat ini, PPD merupakan bahan utama yang digunakan dalam produk
warna rambut permanen di pasaran dan merupakan alergen yang paling penting.
Prevalensi sensitisasi PPD tinggi pada pasien dengan dermatitis kontak. Karena takut
akan DKA akibat PPD, penggunaannya secara umum dilarang di Jerman pada tahun
1906 dan kemudian dibeberapa Negara eropa lainnya. Oscar Wilde menjadi salah satu
kasus DKA pertama yang didokumentasikan pada pewarna rambut. Saat ini, pewarna
rambut diatur dalam instruksi kosmetik Uni Eropa sehingga PPD diperbolehkan
dalam konsentrasi hingga 6^ dan toluene-2,5-diamine hingga 10%.4

2.4 Faktor Risiko3


Faktor risiko DKA dapat dibagi menjadi inheren dan didapat. Faktor risiko
yang didapat adalah penyakit kulit inflamasi seperti Dermatitis Kontak Iritan (DKI)
dan dermatitis atopi. Sedangkan faktor risiko yang inheren adalah genetik. Faktor
risiko didapat sering didahului oleh DKI. DKI terjadi karena kerusakan sawar kulit
setelah terpapar dengan zat iritan. Penyebab paling sering adalah pekerjaan basah,
sering mencuci tangan dan memakai sarung tangan karet oklusif. Dermatitis atopi
sering mengakibatkan penurunan fungsi sawar kulit, oleh karena itu memudahkan
penetrasi toksin dan elergen.
Faktor risiko yang inheren seperti genetik merupakan dasar dari variasi
genetik (polimorfisme) yang terlibat dalam perkembangan menjadi dermatitis kontak.
Mulanya dari antigen yang melewati sawar kulit, respon spesifik antigen oleh sel
imun atau metabolisme antigen oleh enzim cutaneous. Contohnya adalah metabolisme
dan aktivasi antigen oleh epidermal N-acetyltransferases (NATs). Pasien dengan
polimorfisme genetik cenderung memiliki NAT dengan aktivitas enzimatik yang lebih
tinggi dari rata-rata.

12
2.5 Patogenesis
Tubuh sudah membuat antibodi untuk melawan alergen saat pertama kali
terpapar. Hal ini membuat kulit bereaksi lebih sensitif terhadap zat ketika bersentuhan
kembali. Gejala yang terlihat hanya muncul setelah kontak berulang dengan zat
tersebut. Sebagai contoh, pada penata rambut dapat berkembang menjadi DKA
terhadap zat yang terpapar dengannya setiap hari, seperti pewarna rambut. Beberapa
orang ada yang lebih rentan terhadap alergi, sehingga dapat mengalami gejala DKA
dalam waktu yang lebih singkat.2,5
Mekanisme terjadinya kelainan kulit pada DKA mengikuti respons imun yang
diperantarai oleh reaksi imunologik tipe IV atau reaksi hipersensitivitas tipe lambat.
Reaksi ini terjadi melalui dua fase, yaitu fase sensitisasi dan fase elisitasi. Hanya
individu yang telah mengalami sensitisasi dapat mengalami DKA.1
 Fase sensitisasi
Hapten yang masuk ke dalam epidermis melewati stratum korneum akan
ditangkap oleh sel Langerhans dengan cara pinositosis, dan diproses secara
kimiawi oleh enzim lisosom atau sitosol serta dikonjugasikan pada molekul HLA-
DR untuk menjadi antigen lengkap.
Awalnya sel Langerhans dalam keadaan istirahat dan hanya berfungsi sebagai
makrofag dengan sedikit kemampuan menstimulasi sel T. Setelah keratinosit
terpajan oleh hapten yang juga mempunyai sifat iritan. Keratinosit akan
melepaskan sitokin (IL-1) yang mengaktifkan sel Langerhans dan menstimulasi
sel T. Aktivasi tersebut mengubah fenotip sel Langerhans dan meningkatkan
sekresi sitokin IL-1 serta ekspresi molekul permukaan sel termasuk MHC (Major
Histocompability Complex klas I dan II), ICAM-1 (intercellular Adhesion
Molecule 1 / CD 54), LFA-3 (Lymphocyte function-associated antigen 3 / CD58)
dan B7, TNF α yang dapat mengaktifasi sel-T, makrofag dan granulosit,
menginduksi perubahan molekul adhesi sel dan pelepasan sitokin serta
meningkatkan MHC kelas I dan II.
TNF-α menekan produksi E-cadherin yang mengikat sel Langerhans pada
epidermis sehingga memperlancar sel Langerhans melewati membran basalis
bermigrasi ke kelenjar geah bening setempat melalui saluran limfe. Di dalam
kelenjar limfe, sel Langerhans mempresentasikan kompleks antigen HLA-DR
kepada sel-T penolong spesifik, yaitu sel T yang mengekspresikan molekul CD4

13
yang dapat mengenali HLA-DR yang dipresentasikan oleh sel Langerhans, dan
kompleks reseptor sel T-CD3 yang mengenali antigen yang telah diproses.
Sel Langerhans mensekresi IL-1 yang menstimulasi sel-T untuk mensekresi
IL-2 dan mengekspresi reseptor IL-2 (IL-2R). Sitokin ini akan menstimulasi
proliferasi dan diferensiasi sel T spesifik, sehingga menjadi lebih banyak dan
berubah menjadi sel-T memori (sel T-teraktivasi) yang akan meinggalkan kelenjar
getah bening dan beredar ke seluruh tubuh. Pada saat tersebut individu telah
tersensitisasi. Fase ini berlangsung selama 2-3 minggu.
 Fase elisitasi
Hipersensitivitas tipe lambat, terjadi pajanan ulang hapten yang sama atau
serupa. Hapten akan tertangkap sel Langerhans dan diproses secara kimiawi
menjadi antigen, diikat oleh HLA-DR kemudian diekspresikan di permukaan sel.
Selanjutnya HLA-DR dipresentasikan kepada sel-T yang telah tersensitisasi (sel-T
memori) baik di kulit maupun kelenjar limfe sehingga terjadi proses aktivasi.
Dikulit proses aktivasi lebih kompleks dengan hadirnya sel lain. Sel
Langerhans mensekresi IL-1 yang merangsang sel-T untuk memproduksi IL-2 dan
mengekspresi IL-2R, yang menyebabkan proliferasi dan ekspansi populasi sel-T
dikulit. Sel-T teraktivasi mengeluarkan IFN-γ yang mengaktifkan keratinosit
untuk mengekspresi ICAM-1 dan HLA-DR. ICAM-1 memungkinkan keratinosit
berinteraksi dengan sel-T dan leukosit lain yang mengekspresi molekul LFA-1.
Sedangkan HLA-DR memungkinkan keratinosit untuk berinteraksi langsung
dengan sel-T CD4+, dan presentasi antigen kepada sel tersebut.
Keratinosit menghasilkan sitokin IL-1, IL-6, TNF-α, dan GMCSF, semuanya
dapat mengaktivasi sel-T. IL-1 merangsang keratinosit menghasilkan eicosanoid.
Sitokin dan eicosanoid mengaktifkan sel mas dan makrofag. Sel mas berada
didekat pembuluh darah dermis akan melepaskan histamine, faktor kemotaktik,
PGE2 dan PGD2, leukotriene B4 (LTB4). Eikosanoid yang berasal dari sel mas
(prostaglandin) maupun dari eratinosit atau leukosit akan menyebabkan dilatasi
vascular dan meningkatkan permeabilitas sehingga molekul terlarut seperti
komplemen dan kinin mudah berdifusi kedalam dermis dan epidermis. Faktor
kemotaktik dan eicosanoid akan menarik neutrophil, monosit dan sel darah lain
dari dalam pembuluh darah masuk ke dermis. Rentetan kejadian tersebut akan
menimbullkan respons klinik DKA. Fase elisitasi umumnya berlangsung antara
24-48 jam.
14
2.6 Gejala Klinis
Pasien umumnya mengeluh gatal. Pada stadium akut dimulai dengan bercak
eriematosa berbatas tegas kemudian diikuti edema, papulovesikel, vesikel atau bula.
Vesikel atau bula dapat pecah menyebabkan erosi dan eksudasi (basah). DKA
ditempat tertentu misalnya kelopak mata, penis, skrotum, lebih didominasi oleh
eritema dan edema. Pada DKA kronis, terlihat kulit kering, berskuama, papul,
likenifikasi dan fisur, berbatas tidak tegas. Kelainan ini sulit dibedakan dengan
dermatitis kontak iritan kronis. DKA dapat meluas ketempat lain, misalnya dengan
cara autosensitisasi (skalp, telapak tangan dan kaki).1 Gejala khas meliputi : ruam
merah, seringkali tanpa tepi yang jelas, pembengkakan, gatal dan kulit kering. Pada
reaksi alergi yang parah, kulit mungkin sakit dan terasa kencang dan dapat terbentuk
lepuh. Lepuh yang pecah akan mengeluarkan cairan, koreng, kemudian mengelupas.
Pada mulanya, gejala hanya muncul pada area tubuh yang bersentuhan dengan
alergen. Sering kali tangan, terutama jari dan punggung tangan. Daerah lain yang
sering terkena termasuk wajah (terutama kelopak mata dan bibir), leher, tungkai
bawah dan kaki. Tingkat keparahan reaksi kulit alergi bergantung pada zat yang
bersentuhan dengan kulit dan berapa lama terpapar. Pada DKA, reaksi alergi juga
dapat terjadi dibagian tubuh lain yang tidak bersentuhan dengan alergen.2,5
Hubungan anfilaksis karena pewarna rambut juga telah dilaporkan. Gejalanya
mungkin mulai dari beberapa jam hingga 1-2 hari setelah aplikasi pewarna dengan
keluhan gatal, kemerahan, papulasi dan vesikel diatas kulit kepala, dahi, batas garis
rambut dan sekitar kelopak mata. Tingkat keparahannya bisa bervariasi dari gatal
ringan hingga edema pada wajah dan kelopak mata, lepuh dan eksudasi. Lesi juga
dapat meluas ke leher, dada bagian atas, dan lengan atas dan bisa generalized. Pada
kasus yang parah, pasien dapat mengalami lesi seperti prurigo pada aspek ekstensor
ekstremitas. 4

2.7 Diagnosis
Didasarkan atas hasil anamnesis yang cermat dan pemeriksaan klinis yang teliti.
Pertanyaan dapat dimulai dari kontaktan yang dicurigai berdasarkan pada kelainan kulit
yang ditemukan. Data yang berasal dari anamnesis juga meliputi riwayat pekerjaan, hobi,
obat topikal yang pernah digunakan, obat sistemik, kosmetika, dan berbagai bahan yang
diketahui menimbulkan alergi, penyakit kulit yang pernah dialami, riwayat atopi, baik
15
dari yang bersangkutan maupun keluarganya. Pemeriksaan fisik sangat penting, karena
dengan melihat lokasi dan pola kelainan kulit seringkali dapat diketahui kemungkinan
penyebabnya. Pemeriksaan dilakukan ditempat yang cukup terang, pada seluruh
permukaan kulit untuk melihat kemungkinan kelainan kulit lain karena berbagai sebab
endogen.1

2.8 Diagnosis Banding


Kelainan kulit pada DKA sering tidak menunjukkan gambaran yang khas, gambaran
klinis dapat menyerupai dermatitis atopik, dermatitis numularis, dermatitis seboroik atau
psoriasis. Diagnosis banding yang utama ialah DKI.5

2.9 Pencegahan
Secara umum ‘pencegahan primer umum’, yaitu eliminasi, penggantian atau
pengurangan zat alergenik, sejauh ini merupakan pendekatan yang paling efektif.
Langkah pencegahan lainnya termasuk reorganisasi pekerjaan, misalnya mengurangi jam
kerja basah untuk meminimalkan risiko eksim tangan. Untuk meminimalkan faktor risiko
dermatitis kontak kerja, harus menggunakan alat pelindung diri.3

2.10 Tatalaksana
Upaya pencegahan pajanan ulang dengan alergen penyebab. Umumnya kelainan kulit
akan mereda dalam beberapa hari. Kortikosteroid dapat diberikan dalam jangka pendek
untuk mengatasi peradangan pada DKA akut yang ditandai dengan eritema, edema,
vesikel atau bula, serta eksudatif (madidans).1 Reaksi alergi pada kulit biasanya
diobati dengan krim, salep atau solusio steroid.2

2.11 Prognosis
Prognosis umumnya baik, sejauh dapat menghindari bahan penyebabnya. Prognosis
kurang baik dan menjadi kronis bila terjadi bersamaan dengan dermatitis oleh faktor
endogen (dermatitis atopik, dermatitis numularis, atau psoriasis), atau sulit menghindari
alergen penyebab, misalnya berhubungan dengan pekerjaan tertentu atau yang terdapat
dilingkungan pasien.1

16
BAB III
DAFTAR PUSTAKA

1. Sularsito SA, Soebaryo RW. Dermatitis Atopik. In: SW SL, editor. Ilmu Penyakit Kulit
dan Kelamin. Jakarta: BP FKUI; 2015. p. 161–5.
2. Diepgen TL, Ofenloch RF, Bruze M, Bertuccio P, Cazzaniga S, Coenraads PJ et al.
Prevalence of contact allergy in the general population in different European regions. Br J
Dermatol 2016; 174(2): 319-329.
3. Peiser M, Tralau T, Heidler J, Api A, Arts J, Basketter D et al. Allergic contact
dermatitis: epidemiology, molecular mechanisms, in vitro methods and regulatory
aspects. Cellular and Molecular Life Sciences. 2011;69(5):763-781.
4. Handa S, De D, Mahajan R. Contact dermatitis to hair dye: An update. Indian Journal of
Dermatology, Venereology, and Leprology. 2012;78(5):583.
5. Rashid RS, Shim TN. Contact dermatitis. BMJ 2016; 353: i3299.

17

You might also like