Kejadian eksaserbasi akut pada pasien Penyakit Ginjal Kronik (PGK) dinamakan sebagai acute-on-chronic kidney failure (AORF). Penyebab terutama dari AORF adalah infeksi sistemik, penggunaan obat- obatan, dehidrasi, atau obstruksi dari saluran kencing dan retensi cairan. Penyebab lain termasuk penurunan perfusi ke ginjal, dan penumpukan metabolit dan toksin. Pasien dengan AORF dapat datang dengan gejala dan tanda dari sindrom uremik seperti asidosis, hiperkalemia, hiperparatiroidisme sekunder, dan hiponatremia. Manifestasi klinis serangan akut pada penyakit ginjal kronik : 1. Gangguan cairan, elektrolit, dan asam-basa Gangguan homeostasis natrium dan air PGK dapat mengganggu keseimbangan reabsorpsi natrium dan air, sehingga asupan masuk natrium melebihi ekskresi, hingga menyebabkan retensi natrium dan ekspansi volume cairan ekstraselular, atau extracellular fluid volume (ECFV). Ekspansi tersebut dapat berkontribusi terhadap hipertensi dan memperparah kerusakan nefron. Beberapa pasien dapat mengalami gangguan konservasi natrium dan air pada ginjal. Ketika terdapat penyebab ekstrarenal untuk kehilangan cairan, seperti melalui saluran pencernaan, pasien dapat menjadi rentan terhadap kehilangan ECFV karena ketidakmampuan ginjal yang gagal untuk reabsorpsi ulang natrium yang tersaring. Selain hiponatremia, deplesi ECFV dapat memperburuk fungsi ginjal melalui perfusi yang berkurang, hingga dapat menyebabkan serangan akut penyakit ginjal kronik. Gangguan homeostasis kalium Penurunan Laju Filtrasi Glomerulus (LFG) tidak selalu disertai dengan penurunan ekskresi kalium urin secara paralel, yang secara utama dimediasi oleh aksi hormon aldosteron di nefron bagian distal. Untuk mencegah retensi, selain aldosteron, juga terdapat mekanisme peningkatan ekskresi kalium di saluran pencernaan. Terlepas dari dua mekanisme homeostatik tersebut, hiperkalemia dapat dicetus pada keadaan tertentu, seperti pada peningkatan asupan kalium, katabolisme protein, hemolisis, perdarahan, dan asidosis metabolik. Sejumlah obat juga dapat menghambat ekskresi kalium, dan menyebabkan hiperkalemia. Obat yang paling penting dalam hal ini adalah inhibitor RAAS, spironolactone, dan diuretik potassium-sparing lainnya. Hipokalemia tidak umum pada PGK, tetapi dapat disebabkan oleh asupan kalium diet yang berkurang, terutama jika terkait dengan terapi diuretik yang berlebihan atau kehilangan kalium tubuh melalui saluran pencernaan Asidosis metabolik Asidosis metabolik adalah sebuah gangguan yang cukup umum. Mayoritas pasien masih dapat menjaga keasaman urin, tetapi mereka menghasilkan amonia secara lebih sedikit, dan oleh karena itu, tidak dapat mengekskresi jumlah proton yang cukup. Hiperkalemia, jika hadir juga, dapat memperparah produksi amonia. Pada PGK, ekskresi total asam harian urin biasanya terbatas 30-40 mmol. Anion dari asam organik yang tertahan dapat menyebabkan asidosis metabolik dengan anion-gap. Dengan demikian, asidosis metabolik non-anion-gap yang dapat dilihat pada tahap awal PGK dapat menjadi asidosis metabolik dengan anion-gap dengan perburukan PGK 2. Gangguan hematologis Anemia Anemia normositik normokromik dapat terjadi sedini tahap 3 PGK, dan hampir terdapat pada semua pasien tahap 4. Penyebab utama anemia pada PGK adalah penurunan produksi eritropoietin (EPO) oleh ginjal. Anemia PGK dapat menyebabkan berberapa konsekuensi, termasuk penurunan perfusi dan utilisasi oleh jaringan, peningkatan curah jantung, dan dilatasi dan hipertrofi ventrikel. Manifestasi klinis termasuk kelelahan dan berkurangnya toleransi beraktivitas, angina, gagal jantung, penurunan kapasitas mental, dan gangguan pertahanan sistem imun terhadap infeksi. 3. Gangguan hemostasis Pasien tahap lanjut PGK dapat memiliki peningkatan bleeding time, penurunan aktivitas faktor III, abnormalitas agregasi dan adhesi pletelet, dan gangguan konsumsi protrombin. Manifestasi klinis dari gangguan hemostasis tersebut termasuk peningkatan resiko perdarahan dan memar, berkepanjangan waktu perdarahan, menorrhagia, dan perdarahan saluran pencernaan. Pasien PGK juga memiliki kerentanan terhadap pembentukan tromboembolus, terutama jika mereka memiliki penyakit ginjal dengan proteinuria nefrotik yang menghasilkan hipoalbuminemia dan kehilangan faktor antikoagulan melalui ginjal, hingga dapat menyebabkan keadaan thrombofilik. 4. Gangguan kardiovaskular Penyakit vaskular iskemik Kehadiran PGK merupakan faktor resiko besar untuk penyakit kardiovaskular iskemik, seperti penyakit koroner, serebrovaskular, dan penyakit pembuluh darah perifer yang bersifat oklusif. Peningkatan prevalensi penyakit vaskular pada pasien PGK disebabkan oleh dua faktor, yaitu resiko klasik, seperti hipertensi, hipervolemia, dislipidemia, overaktivitas sistem saraf simpatis, dan faktor resiko terkait PGK, seperti anemia, hiperfosfatemia, hiperparatiroidisme, peningkatan FGF-23, sleep apnea, dan peradangan sistemik. Inflamasi dapat mempercepat perkembangan oklusi vaskular, dan tingkat fetuin yang menurun memungkinkan kalsifikasi pembuluh darah yang lebih cepat, terutama dalam kondisi hiperfosfatemia. Kelainan-kelainan lain pada PGK juga dapat memperburuk iskemia miokard, termasuk hipertrofi ventrikel kiri dan penyakit mikrovaskular. Selain itu, hemodialisis, yang sering disertai dengan episode hipotensi dan hypovolemia, dapat memperparah iskemia koroner. Gagal jantung Fungsi jantung abnormal yang disebabkan oleh iskemia miokard, hipertrofi ventrikel kiri, dan kardiomiopati, saat dikombinasi dengan retensi natrium dan air pada PGK, seringkali menyebabkan gagal jantung atau bahkan edema pulmonal. Suatu bentuk edema paru dengan tekanan rendah dapat terjadi pada PGK tahap lanjut. kondisi tersebut dapat terjadi bahkan tanpa adanya kelebihan ECFV, dan dapat terjadi dengan tekanan kapiler pulmonal yang normal. Edema pulmonal tersebut disebabkan oleh karena peningkatkan permeabilitas membran kapiler alveolus sebagai manifestasi dari uremia. Faktor resiko lainnya yang terkait dengan PGK, seperti anemia dan sleep apnea, juga dapat berkontribusi terhadap resiko gagal jantung. Hipertensi Hipertensi adalah salah satu komplikasi terumum dari PGK. Ketiadaan hipertensi dihubungkan dengan prognosis yang buruk dibandingkan dengan kehadiran hipertensi. Mekanisme ini berhubungan dengan penemuan reverse causation pada pasien dialisis, di mana kehadiran hipertensi, hiperlipidemia, dan obesitas, tampak menyebabkan prognosis yang lebih baik. Fenomena tersebut disebabkan karena pada PGK stadium akhir, tekanan darah rendah, indeks massa tubuh yang rendah, dan hipolipidemia mengindikasi keadaan malnutrisi-inflamasi lanjut. Penggunaan agen perangsang eritropoiesis eksogen dapat meningkatkan tekanan darah dan kebutuhan penggunaan obat antihipertensi. Kelebihan ECFV kronik juga berperan sebagai penyebab hipertensi, dan perbaikan pada tekanan darah sering terlihat dengan terapi pembatasan asupan natrium, diuretik, dan pembuangan cairan dengan dialisis. Namun, karena aktivasi sistem RAAS, dan gangguan lain pada keseimbangan vasokonstriktor dan vasodilator, beberapa pasien tetap akan mengalami hipertensi meskipun status ECFV sudah diperbaiki. 5. Gangguan gastrointestinal Fetor uremik, bau urin yang terdapat pada nafas, disebabkan oleh pemecahan urea menjadi amonia pada air liur, dan sering dikaitkan dengan dysgeusia. Anoreksia, gastritis, ulkus peptikum, dan ulserasi mukosa pada saluran pencernaan dapat terjadi pada pasien uremik, sebagian disebabkan oleh retensi toksin. Komplikasi tersebut dapat menyebabkan gejala nyeri abdomen, rasa mual, muntah, dan pendarahan gastrointestinal. Pasien-pasien tersebut juga rentan terhadap konstipasi, yang dapat diperburuk oleh pemberian suplemen kalsium dan zat besi. 6. Gangguan endokrin dan metabolisme Metabolisme glukosa terganggu pada PGK, ditandai dengan TTGO yang abnormal. Karena fungsi ekskretori ginjal terganggu, kadar insulin plasma meningkat pada pasien PGK, baik dalam keadaan puasa dan keadaan postprandial. Obat penurun kadar glukosa memerlukan pengurangan dosis pada PGK, dan pemberian beberapa agen tertentu, seperti metformin, dikontraindikasi.
Tahapan pada penyakit ginjal kronik diklasifikasikan sebagai berikut:
Tahap 1: Kerusakan ginjal dengan GFR normal atau meningkat (> 90 mL / mnt / 1,73 m2) Tahap 2: Pengurangan GFR ringan (60-89 mL / mnt / 1,73 m2) Tahap 3a: Reduksi GFR sedang (45-59 mL / mnt / 1,73 m2) Tahap 3b: Reduksi GFR sedang (30-44 mL / mnt / 1,73 m2) Tahap 4: Pengurangan parah GFR (15-29 mL / mnt / 1,73 m2) Tahap 5: Gagal ginjal (GFR <15 mL / mnt / 1,73 m2 atau dialisis) Terapi Serangan Penyakit Ginjal Kronik 1. Memperlambat Progresi Pengendalian hipertensi glomerular penting untuk memperlambat progresi PGK. Peningkatan tekanan darah meningkatkan proteinuria, dengan cara meningkat fluks arus terhadap kapiler glomerulus. Karena itu, dampak renoprotektif dari obat antihipertensif diukur melalui efek penurunan protein urianya. Dengan demikian, semakin efektif obat yang diberikan dalam menurunkan ekskresi protein, semakin besar dampaknya terhadap penurunan LFG. Observasi tersebut adalah alasan mengapa tekanan 130/80mmHg direkomendasikan sebagai target terapi tekanan darah pada pasien PGK dengan proteinuria. Obat golongan angiotensin-convertingenzyme inhibitor (ACEI) dan angiotensin-receptor blocker (ARB) dapat menghambat vasokonstriksi yang disebabkan oleh angiotensin II pada arteriol efferen glomerulus, sehingga dapat menurunkan tekanan filtrasi dan proteinuria, dan memperlambat progresi terhadap kegagalan ginjal pada pasien tahap lanjut. Efek samping dari obat golongan tersebut termasuk anafilaksis dan hiperkalemia, sementara ACEI memiliki efek samping tambahan batuk dan angioedema. Peningkatan konsentrasi kreatinin serum dengan penggunaan ACEI dan ARB dapat mengindikasi kehadiran penyakit renovaskular, dan mengindikasikan penggunaan obat antihipertensi lini kedua, seperti calcium channel blocker (CCB). Pada obat golongan CCB, diltiazem dan verapamil memiliki efek anti-proteinurik dan renoprotektif yang lebih tinggi, dibandingkan oba-obat dihidropiridin. Dua kategori respons yang berbeda dapat dipertimbangkan. Pertama, dimana progresi terkait dengan hipertensi sistemik dan intraglomerular, dan proteinuria, seperti pada nefropati diabetik dan penyakit glomerulus. Pada respons tersebut, ACEI dan ARB menjadi terapi lini pertama. Respons kedua adalah dimana proteinuria bersifat ringan atau tidak hadir pada tahap awal, seperti pada penyakit ginjal polikistik dan penyakit ginjal tubulointerstitial, dimana hipertensi intraglomerular kurang berperan dalam proses penyakit. Pada respons tersebut, agen antihipertensi selain ACEI dan ARB dapat digunakan untuk mengendalikan hipertensi sistemik 2. Dialisis Kriteria umum yang digunakan dalam menginisiasi dialisis rumatan meliputi hadirnya gejala uremia, hiperkalemia yang tidak responsif terhadap penanganan konservatif, ekspansi ECFV yang persisten setelah pemberian terapi diuretik, asidosis yang refraktori terhadap terapi, diatesis pendarahan, dan creatinine clearance atau eLFG dibawah 10mL/menit/1,73 m2 . Indikasi inisiasi dialisis sebagai berikut: Indikasi inisiasi dialisis Asidosis yang refraktori terhadap penanganan Hiperkalemia yang refraktori terhadap penanganan Intoksikasi (metanol, etilen glikol, litium) Overload volume cairan tubuh yang refraktori terhadap penanganan Uremia (perikarditis uremik, ensefalopati, neuropati) BUN >100, kreatinin >10 pada keadaan non-hiperkatabolik BUN >70, kreatinin >7 pada keadaan hiperkatabolik eLFG dibawah 10mL/menit/1,73 m2 Pasien sebaiknya dirujuk secara tepat waktu kepada seorang nefrologis untuk perancanaan tatalaksana lanjut, instalasi akses untuk dialisis, edukasi mengenai pilihan terapi gagal ginjal stadium akhir, dan penanganan komplikasi dari PGK tahap lanjut, yang meliputi hipertensi, anemia, asidosis, dan hiperparatiroidisme. Banyak kasus gagal ginjal stadium akhir disebabkan oleh sebuah episode GGA, terutama pada individu yang sudah terkena PGK. Tidak ada keuntungan inisiasi dialisis secara preemptif pada pasien dengan LFG 10-14mL/menit/1.73m2 dibanding dengan pasien yang inisiasi dialisis karena uremia. Pada gagal ginjal stadium akhir, pilihan terapi termasuk hemodialisi, dialisis peritoneal, atau transplantasi ginjal. Dialisis peritoneal terdiri dari continuous ambulatory peritoneal dialysis (CAPD) atau continuous cyclic peritoneal dialysis (CCPD). Dibandingkan dengan hemodialisis, dialisis peritoneal berkerja secara terus-menerus, tetapi kurang efisien dalam laju solute clearance. Hasil dari hemodialisis dan dialisis peritoneal mirip, dan keputusan untuk memilih metode terapi dibuat berdasarkan preferensi personal dan atas pertimbangan kualitas hidup.
Terapi Komplikasi Penyakit Ginjal Kronik
1. Restriksi asupan garam dan penggunaan diuretik loop, terkadang dalam kombinasi dengan metolazon, mungkin diperlukan untuk mempertahankan euvolemia. Namun, bila pembatasan garam atau penggunaan diuretik terlalu berlebihan, deplesi ECFV dapat terjadi, hingga mempercepat penurunan LFG. Walaupun jarang, pasien dapat datang dengan nefropati yang menyebabkan kehilangan garam. Pasien tersebut memperlukan diet kaya natrium, atau suplementasi garam. Pembatasan asupan cairan hanya diindikasikan bila pasien memiliki hiponatremia. Ekspansi ECFV yang persisten, walaupun setelah dilaksanakan diet pembatas garam dan terapi diuretik, adalah indikasi inisiasi dialisis. Hiperkalemia pada umumnya merespon baik pada pembatasan asupan kalium, terapi diuretik kaliuretik, dan penghindaran suplemen kalium dan obat yang menyebabkan retensi kalium, seperti ACEI dan ARB. Diuretik kaliuretik mempromosikan ekskresi kalium melalui urin, sedangkan resin pengikat kalium, seperti kalsium resonium atau natrium polistirena, dapat meningkatkan ekskresi kalium melalui saluran pencernaan, sehingga menurunkan resiko kejadian hiperkalemia. Hiperkalemia yang refraktori adalah indikasi untuk inisasi dialisis pada pasien PGK. Asidosis tubulus ginjal dan asidosis metabolik dengan anion-gap pada PGK akan merespon secara baik dengan suplementasi alkali, biasanya dengan penggunaan natrium bikarbonat. Terapi suplementasi alkali dapat dipertimbangkan ketika konsentrasi serum bikarbonat turun di bawah 20 sampai 23mmol/L, untuk menghindari terjadinya protein-catabolic state, dan untuk memperlambat progresi PGK. 2. Hipertensi Tujuan utama dari terapi hipertensi pada PGK adalah pencegahan komplikasi kardiovaskular dan stroke. Maka itu, tekanan darah semua pasien harus dikontrol. Pada pasien PGK dengan diabetes atau proteinuria >1g/24 jam, tekanan darah harus dijaga pada 130/80 mmHg, jika dapat tercapai tanpa efek samping merugikan. Diet pembatasan garam adalah lini pertama terapi. Bila tidak cukup, pilihan obat antihipertensi mirip dengan yang digunakan pada populasi umum. ACEI dan ARB dapat memperlambat progresi penurunan fungsi ginjal. Namun terkadang, penggunaan ACEI dan ARB dapat memicu kejadian GGA, terutama jika digunakan pada pasien dengan penyakit iskemik renovaskular. ACEI inhibitor dan ARB juga dapat dikomplikasikan dengan hiperkalemia. Penggunaan diuretik kaliuretik secara bersamaan, seperti metolazone, dapat membantu meningkatkan ekskresi kalium. Diuretik hemat kalium harus digunakan secara hati- hati atau dihindari. 3. Kardiovaskular Perubahan gaya hidup, termasuk olahraga teratur, harus dianjurkan untuk dilakukan. Hiperlipidemia pada pasien dengan PGK harus diatasi. Jika diet tidak cukup, obat penurun lipid, seperti statin, harus digunakan. Namun, penggunaan agen tersebut belum terbukti memiliki manfaat mortalitas jangka panjang untuk pasien dengan PGK tingkat lanjut. 4. Anemia Human recombinant erythropoietin-stimulating agents (ESA) dapat digunakan untuk memperbaiki anemia. Namun, penyimpanan besi pada sumsum tulang yang cukup harus tersedia sebelum pengobatan dengan ESA dimulai. Suplementasi zat besi penting untuk memastikan respon yang optimal terhadap ESA pada pasien PGK, karena penggunaan besi oleh sumsum tulang seringkali melebihi jumlah besi yang tersedia untuk eritropoiesis, serta jumlah besi dalam penyimpanan. Kadar besi dapat diukur melalui persen saturasi transferin, yang dan ferritin serum. Jika terdapat intoleransi gastrointestinal, pasien dapat diberikan infus besi secara intravena. Untuk pasien hemodialisis, besi dapat diberikan secara intravena bersama dialisis. Namun, harus diingat bahwa terapi besi dapat meningkatkan kerentanan terhadap infeksi bakteri. Selain besi, juga harus dipastikan bahwa zat lain yang diperlukan untuk produksi sel darah merah, seperti vitamin B12 dan asam folat, sudah terdapat dalam kadar yang cukup. Anemia yang resisten setelah pemberian ESA, dalam kondisi dosis yang tepat dan sumber besi yang adekuat, mungkin disebabkan oleh peradangan akut atau kronik, dialisis yang tidak memadai, hiperparatiroidisme berat, kehilangan darah kronik atau hemolisis, infeksi kronik, atau keganasan. Transfusi darah meningkatkan resiko hepatitis, kelebihan zat besi, dan sensitisasi terhadap transplantasi, dan harus dihindari kecuali anemia tetap simtomatik, dan gagal untuk merespon terhadap pemberian ESA. Terdapat hubungan antara penggunaan ESA dan peningkatan resiko stroke pada pasien PGK dengan diabetes mellitus tipe 2, peningkatan kejadian tromboembolik, dan mungkin dapat mempercepat keperluan untuk inisiasi dialisis. Oleh karena itu, manfaat dalam perbaikan anemia perlu dipertimbangi dengan resiko kardiovaskular. Target konsentrasi hemoglobin pada pasien PGK direkomendasikan pada 10.00-11.50g/dL. Normalisasi penuh konsentrasi hemoglobin tidak terbukti dapat memberikan manfaat tambahan bagi pasien PGK. 5. Gangguan gastrointestinal dan gizi Diet restriksi protein mungkin berguna untuk memperbaik gejala mual dan muntah. Namun, restriksi tersebut dapat meningkatkan resiko malnutrisi. Malnutrisi energi protein disebabkan oleh asupan protein dan kalorik rendah, dan sangat umum pada PGK lanjut. Kondisi tersebut merupakan indikasi untuk inisiasi dialisis. 6. Hipertensi Tujuan utama dari terapi hipertensi pada PGK adalah pencegahan komplikasi kardiovaskular dan stroke. Maka itu, tekanan darah semua pasien harus dikontrol. Pada pasien PGK dengan diabetes atau proteinuria >1g/24 jam, tekanan darah harus dijaga pada 130/80 mmHg, jika dapat tercapai tanpa efek samping merugikan. Diet pembatasan garam adalah lini pertama terapi. Bila tidak cukup, pilihan obat antihipertensi mirip dengan yang digunakan pada populasi umum. ACEI dan ARB dapat memperlambat progresi penurunan fungsi ginjal. Namun terkadang, penggunaan ACEI dan ARB dapat memicu kejadian GGA, terutama jika digunakan pada pasien dengan penyakit iskemik renovaskular. ACEI inhibitor dan ARB juga dapat dikomplikasikan dengan hiperkalemia. Penggunaan diuretik kaliuretik secara bersamaan, seperti metolazone, dapat membantu meningkatkan ekskresi kalium. Diuretik hemat kalium harus digunakan secara hati- hati atau dihindari. 7. Kardiovaskular Perubahan gaya hidup, termasuk olahraga teratur, harus dianjurkan untuk dilakukan. Hiperlipidemia pada pasien dengan PGK harus diatasi. Jika diet tidak cukup, obat penurun lipid, seperti statin, harus digunakan.
Diagnosis serangan akut penyakit ginjal kronis dapat ditegakkan karena
adanya perburukan tiba-tiba pada penyakit ginjal kronik. Manifestasi klinis dan pemeriksaan penunjang yang mendukung diagnosis yaitu : Gangguan cairan, elektrolit dan asam basa pada tanggal 10/04/2019 ↓↓ sodium (108 mmol/L), ↑ potasium (5,9 mmol/L), ↓ klorida (76 mmol/L), ↓ pH (7.130), ↑ pO2 (120 mmHg), ↓ pCO2 (9.8), ↓ HCO3 (3,1 mmol/L), total CO2 (3,4 mmol/L). Anemia pada tanggal 12/04/2019 Hemoglobin 11.3 g/dL, Hematocrit 31%, Eritrosit 3.71 106/ųL. Peningkatan bleeding time pada pemeriksaan laboratorium tanggal 11/04/2019 PT : 14.9 detik APTT : 52.6 detik INR : 1.42 Penyakit kardiovaskular iskemik pada pemeriksaan EKG pada tanggal 10/04/2019 ditemukan STEMI. Hipertensi, gangguan gastrointestinal, gangguan endokrin dan metabolisme karena adanya peningkatan kadar gula dalam darah Tekanan darah : 160/80, keluhan gastrointestinal berupa mual dan muntah sejak pagi hari serta peningkatan gula dalam darah yaitu 600 mg/dL. LFG jatuh dibawah <90 mL/menit/1.73m^2 dan ditemukan pada pasien LFG 9.4 mL/menit/1.73m^2 pada tanggal 10/04/2019.
Lamb E, Hall E, Fahie-Wilson M. Cardiac troponins and chronic kidney
disease. Kidney International. 2006;70(8):1525–6. Prasher P, Varma P. Chronic Renal Failure - Pitfalls In Diagnosis. Medical Journal Armed Forces India. 1997;53(4):295–7. Thomas R, Kanso A, Sedor JR. Chronic Kidney Disease and Its Complications. Primary Care: Clinics in Office Practice. 2008;35(2):329–44. Liu KD, Chertow GM. Dialysis in the Treatment of Renal Failure. In: Kasper DL, Hauser SL, Jameson JL, Fauci AS, Longo DL, Loscalzo J, editors. Harrison’s Principles of Internal Medicine. 19th ed. McGrawHill; 2015. p. 1822–25 Perazella MA, Lerma EV. Chronic Kidney Disease. In: Jr. RFR, Perazella MA, editors. Nephrology in 30 Days. 2nd ed. Mcgrawhill Lange; 2014. P. 245-76.