You are on page 1of 12

1.

4 Serangan Akut Penyakit Ginjal Kronik


Kejadian eksaserbasi akut pada pasien Penyakit Ginjal Kronik
(PGK) dinamakan sebagai acute-on-chronic kidney failure (AORF).
Penyebab terutama dari AORF adalah infeksi sistemik, penggunaan obat-
obatan, dehidrasi, atau obstruksi dari saluran kencing dan retensi cairan.
Penyebab lain termasuk penurunan perfusi ke ginjal, dan penumpukan
metabolit dan toksin. Pasien dengan AORF dapat datang dengan gejala
dan tanda dari sindrom uremik seperti asidosis, hiperkalemia,
hiperparatiroidisme sekunder, dan hiponatremia.
Manifestasi klinis serangan akut pada penyakit ginjal kronik :
1. Gangguan cairan, elektrolit, dan asam-basa
 Gangguan homeostasis natrium dan air
PGK dapat mengganggu keseimbangan reabsorpsi natrium dan air,
sehingga asupan masuk natrium melebihi ekskresi, hingga
menyebabkan retensi natrium dan ekspansi volume cairan
ekstraselular, atau extracellular fluid volume (ECFV). Ekspansi
tersebut dapat berkontribusi terhadap hipertensi dan memperparah
kerusakan nefron. Beberapa pasien dapat mengalami gangguan
konservasi natrium dan air pada ginjal. Ketika terdapat penyebab
ekstrarenal untuk kehilangan cairan, seperti melalui saluran
pencernaan, pasien dapat menjadi rentan terhadap kehilangan
ECFV karena ketidakmampuan ginjal yang gagal untuk reabsorpsi
ulang natrium yang tersaring. Selain hiponatremia, deplesi ECFV
dapat memperburuk fungsi ginjal melalui perfusi yang berkurang,
hingga dapat menyebabkan serangan akut penyakit ginjal kronik.
 Gangguan homeostasis kalium
Penurunan Laju Filtrasi Glomerulus (LFG) tidak selalu disertai
dengan penurunan ekskresi kalium urin secara paralel, yang secara
utama dimediasi oleh aksi hormon aldosteron di nefron bagian
distal. Untuk mencegah retensi, selain aldosteron, juga terdapat
mekanisme peningkatan ekskresi kalium di saluran pencernaan.
Terlepas dari dua mekanisme homeostatik tersebut, hiperkalemia
dapat dicetus pada keadaan tertentu, seperti pada peningkatan
asupan kalium, katabolisme protein, hemolisis, perdarahan, dan
asidosis metabolik. Sejumlah obat juga dapat menghambat ekskresi
kalium, dan menyebabkan hiperkalemia. Obat yang paling penting
dalam hal ini adalah inhibitor RAAS, spironolactone, dan diuretik
potassium-sparing lainnya. Hipokalemia tidak umum pada PGK,
tetapi dapat disebabkan oleh asupan kalium diet yang berkurang,
terutama jika terkait dengan terapi diuretik yang berlebihan atau
kehilangan kalium tubuh melalui saluran pencernaan
 Asidosis metabolik
Asidosis metabolik adalah sebuah gangguan yang cukup umum.
Mayoritas pasien masih dapat menjaga keasaman urin, tetapi
mereka menghasilkan amonia secara lebih sedikit, dan oleh karena
itu, tidak dapat mengekskresi jumlah proton yang cukup.
Hiperkalemia, jika hadir juga, dapat memperparah produksi
amonia. Pada PGK, ekskresi total asam harian urin biasanya
terbatas 30-40 mmol. Anion dari asam organik yang tertahan dapat
menyebabkan asidosis metabolik dengan anion-gap. Dengan
demikian, asidosis metabolik non-anion-gap yang dapat dilihat
pada tahap awal PGK dapat menjadi asidosis metabolik dengan
anion-gap dengan perburukan PGK
2. Gangguan hematologis
 Anemia
Anemia normositik normokromik dapat terjadi sedini tahap 3 PGK,
dan hampir terdapat pada semua pasien tahap 4. Penyebab utama
anemia pada PGK adalah penurunan produksi eritropoietin (EPO)
oleh ginjal. Anemia PGK dapat menyebabkan berberapa
konsekuensi, termasuk penurunan perfusi dan utilisasi oleh
jaringan, peningkatan curah jantung, dan dilatasi dan hipertrofi
ventrikel. Manifestasi klinis termasuk kelelahan dan berkurangnya
toleransi beraktivitas, angina, gagal jantung, penurunan kapasitas
mental, dan gangguan pertahanan sistem imun terhadap infeksi.
3. Gangguan hemostasis Pasien tahap lanjut PGK dapat memiliki
peningkatan bleeding time, penurunan aktivitas faktor III, abnormalitas
agregasi dan adhesi pletelet, dan gangguan konsumsi protrombin.
Manifestasi klinis dari gangguan hemostasis tersebut termasuk
peningkatan resiko perdarahan dan memar, berkepanjangan waktu
perdarahan, menorrhagia, dan perdarahan saluran pencernaan. Pasien
PGK juga memiliki kerentanan terhadap pembentukan
tromboembolus, terutama jika mereka memiliki penyakit ginjal dengan
proteinuria nefrotik yang menghasilkan hipoalbuminemia dan
kehilangan faktor antikoagulan melalui ginjal, hingga dapat
menyebabkan keadaan thrombofilik.
4. Gangguan kardiovaskular
 Penyakit vaskular iskemik
Kehadiran PGK merupakan faktor resiko besar untuk penyakit
kardiovaskular iskemik, seperti penyakit koroner, serebrovaskular,
dan penyakit pembuluh darah perifer yang bersifat oklusif.
Peningkatan prevalensi penyakit vaskular pada pasien PGK
disebabkan oleh dua faktor, yaitu resiko klasik, seperti hipertensi,
hipervolemia, dislipidemia, overaktivitas sistem saraf simpatis, dan
faktor resiko terkait PGK, seperti anemia, hiperfosfatemia,
hiperparatiroidisme, peningkatan FGF-23, sleep apnea, dan
peradangan sistemik. Inflamasi dapat mempercepat perkembangan
oklusi vaskular, dan tingkat fetuin yang menurun memungkinkan
kalsifikasi pembuluh darah yang lebih cepat, terutama dalam
kondisi hiperfosfatemia. Kelainan-kelainan lain pada PGK juga
dapat memperburuk iskemia miokard, termasuk hipertrofi ventrikel
kiri dan penyakit mikrovaskular. Selain itu, hemodialisis, yang
sering disertai dengan episode hipotensi dan hypovolemia, dapat
memperparah iskemia koroner.
 Gagal jantung
Fungsi jantung abnormal yang disebabkan oleh iskemia miokard,
hipertrofi ventrikel kiri, dan kardiomiopati, saat dikombinasi
dengan retensi natrium dan air pada PGK, seringkali menyebabkan
gagal jantung atau bahkan edema pulmonal. Suatu bentuk edema
paru dengan tekanan rendah dapat terjadi pada PGK tahap lanjut.
kondisi tersebut dapat terjadi bahkan tanpa adanya kelebihan
ECFV, dan dapat terjadi dengan tekanan kapiler pulmonal yang
normal. Edema pulmonal tersebut disebabkan oleh karena
peningkatkan permeabilitas membran kapiler alveolus sebagai
manifestasi dari uremia. Faktor resiko lainnya yang terkait dengan
PGK, seperti anemia dan sleep apnea, juga dapat berkontribusi
terhadap resiko gagal jantung.
 Hipertensi
Hipertensi adalah salah satu komplikasi terumum dari PGK.
Ketiadaan hipertensi dihubungkan dengan prognosis yang buruk
dibandingkan dengan kehadiran hipertensi. Mekanisme ini
berhubungan dengan penemuan reverse causation pada pasien
dialisis, di mana kehadiran hipertensi, hiperlipidemia, dan obesitas,
tampak menyebabkan prognosis yang lebih baik. Fenomena
tersebut disebabkan karena pada PGK stadium akhir, tekanan darah
rendah, indeks massa tubuh yang rendah, dan hipolipidemia
mengindikasi keadaan malnutrisi-inflamasi lanjut. Penggunaan
agen perangsang eritropoiesis eksogen dapat meningkatkan
tekanan darah dan kebutuhan penggunaan obat antihipertensi.
Kelebihan ECFV kronik juga berperan sebagai penyebab
hipertensi, dan perbaikan pada tekanan darah sering terlihat dengan
terapi pembatasan asupan natrium, diuretik, dan pembuangan
cairan dengan dialisis. Namun, karena aktivasi sistem RAAS, dan
gangguan lain pada keseimbangan vasokonstriktor dan vasodilator,
beberapa pasien tetap akan mengalami hipertensi meskipun status
ECFV sudah diperbaiki.
5. Gangguan gastrointestinal
Fetor uremik, bau urin yang terdapat pada nafas, disebabkan oleh
pemecahan urea menjadi amonia pada air liur, dan sering dikaitkan
dengan dysgeusia. Anoreksia, gastritis, ulkus peptikum, dan ulserasi
mukosa pada saluran pencernaan dapat terjadi pada pasien uremik,
sebagian disebabkan oleh retensi toksin. Komplikasi tersebut dapat
menyebabkan gejala nyeri abdomen, rasa mual, muntah, dan
pendarahan gastrointestinal. Pasien-pasien tersebut juga rentan
terhadap konstipasi, yang dapat diperburuk oleh pemberian suplemen
kalsium dan zat besi.
6. Gangguan endokrin dan metabolisme
Metabolisme glukosa terganggu pada PGK, ditandai dengan TTGO
yang abnormal. Karena fungsi ekskretori ginjal terganggu, kadar
insulin plasma meningkat pada pasien PGK, baik dalam keadaan puasa
dan keadaan postprandial. Obat penurun kadar glukosa memerlukan
pengurangan dosis pada PGK, dan pemberian beberapa agen tertentu,
seperti metformin, dikontraindikasi.

Tahapan pada penyakit ginjal kronik diklasifikasikan sebagai berikut:


 Tahap 1: Kerusakan ginjal dengan GFR normal atau meningkat (> 90
mL / mnt / 1,73 m2)
 Tahap 2: Pengurangan GFR ringan (60-89 mL / mnt / 1,73 m2)
 Tahap 3a: Reduksi GFR sedang (45-59 mL / mnt / 1,73 m2)
 Tahap 3b: Reduksi GFR sedang (30-44 mL / mnt / 1,73 m2)
 Tahap 4: Pengurangan parah GFR (15-29 mL / mnt / 1,73 m2)
 Tahap 5: Gagal ginjal (GFR <15 mL / mnt / 1,73 m2 atau dialisis)
Terapi Serangan Penyakit Ginjal Kronik
1. Memperlambat Progresi
Pengendalian hipertensi glomerular penting untuk memperlambat
progresi PGK. Peningkatan tekanan darah meningkatkan proteinuria,
dengan cara meningkat fluks arus terhadap kapiler glomerulus. Karena
itu, dampak renoprotektif dari obat antihipertensif diukur melalui efek
penurunan protein urianya. Dengan demikian, semakin efektif obat
yang diberikan dalam menurunkan ekskresi protein, semakin besar
dampaknya terhadap penurunan LFG. Observasi tersebut adalah alasan
mengapa tekanan 130/80mmHg direkomendasikan sebagai target
terapi tekanan darah pada pasien PGK dengan proteinuria. Obat
golongan angiotensin-convertingenzyme inhibitor (ACEI) dan
angiotensin-receptor blocker (ARB) dapat menghambat vasokonstriksi
yang disebabkan oleh angiotensin II pada arteriol efferen glomerulus,
sehingga dapat menurunkan tekanan filtrasi dan proteinuria, dan
memperlambat progresi terhadap kegagalan ginjal pada pasien tahap
lanjut. Efek samping dari obat golongan tersebut termasuk anafilaksis
dan hiperkalemia, sementara ACEI memiliki efek samping tambahan
batuk dan angioedema.
Peningkatan konsentrasi kreatinin serum dengan penggunaan ACEI
dan ARB dapat mengindikasi kehadiran penyakit renovaskular, dan
mengindikasikan penggunaan obat antihipertensi lini kedua, seperti
calcium channel blocker (CCB). Pada obat golongan CCB, diltiazem
dan verapamil memiliki efek anti-proteinurik dan renoprotektif yang
lebih tinggi, dibandingkan oba-obat dihidropiridin. Dua kategori
respons yang berbeda dapat dipertimbangkan. Pertama, dimana
progresi terkait dengan hipertensi sistemik dan intraglomerular, dan
proteinuria, seperti pada nefropati diabetik dan penyakit glomerulus.
Pada respons tersebut, ACEI dan ARB menjadi terapi lini pertama.
Respons kedua adalah dimana proteinuria bersifat ringan atau tidak
hadir pada tahap awal, seperti pada penyakit ginjal polikistik dan
penyakit ginjal tubulointerstitial, dimana hipertensi intraglomerular
kurang berperan dalam proses penyakit. Pada respons tersebut, agen
antihipertensi selain ACEI dan ARB dapat digunakan untuk
mengendalikan hipertensi sistemik
2. Dialisis
Kriteria umum yang digunakan dalam menginisiasi dialisis
rumatan meliputi hadirnya gejala uremia, hiperkalemia yang tidak
responsif terhadap penanganan konservatif, ekspansi ECFV yang
persisten setelah pemberian terapi diuretik, asidosis yang refraktori
terhadap terapi, diatesis pendarahan, dan creatinine clearance atau
eLFG dibawah 10mL/menit/1,73 m2 . Indikasi inisiasi dialisis sebagai
berikut: Indikasi inisiasi dialisis Asidosis yang refraktori terhadap
penanganan Hiperkalemia yang refraktori terhadap penanganan
Intoksikasi (metanol, etilen glikol, litium) Overload volume cairan
tubuh yang refraktori terhadap penanganan Uremia (perikarditis
uremik, ensefalopati, neuropati) BUN >100, kreatinin >10 pada
keadaan non-hiperkatabolik BUN >70, kreatinin >7 pada keadaan
hiperkatabolik eLFG dibawah 10mL/menit/1,73 m2 Pasien sebaiknya
dirujuk secara tepat waktu kepada seorang nefrologis untuk
perancanaan tatalaksana lanjut, instalasi akses untuk dialisis, edukasi
mengenai pilihan terapi gagal ginjal stadium akhir, dan penanganan
komplikasi dari PGK tahap lanjut, yang meliputi hipertensi, anemia,
asidosis, dan hiperparatiroidisme. Banyak kasus gagal ginjal stadium
akhir disebabkan oleh sebuah episode GGA, terutama pada individu
yang sudah terkena PGK. Tidak ada keuntungan inisiasi dialisis secara
preemptif pada pasien dengan LFG 10-14mL/menit/1.73m2 dibanding
dengan pasien yang inisiasi dialisis karena uremia. Pada gagal ginjal
stadium akhir, pilihan terapi termasuk hemodialisi, dialisis peritoneal,
atau transplantasi ginjal. Dialisis peritoneal terdiri dari continuous
ambulatory peritoneal dialysis (CAPD) atau continuous cyclic
peritoneal dialysis (CCPD). Dibandingkan dengan hemodialisis,
dialisis peritoneal berkerja secara terus-menerus, tetapi kurang efisien
dalam laju solute clearance. Hasil dari hemodialisis dan dialisis
peritoneal mirip, dan keputusan untuk memilih metode terapi dibuat
berdasarkan preferensi personal dan atas pertimbangan kualitas hidup.

Terapi Komplikasi Penyakit Ginjal Kronik


1. Restriksi asupan garam dan penggunaan diuretik loop, terkadang
dalam kombinasi dengan metolazon, mungkin diperlukan untuk
mempertahankan euvolemia. Namun, bila pembatasan garam atau
penggunaan diuretik terlalu berlebihan, deplesi ECFV dapat terjadi,
hingga mempercepat penurunan LFG. Walaupun jarang, pasien dapat
datang dengan nefropati yang menyebabkan kehilangan garam. Pasien
tersebut memperlukan diet kaya natrium, atau suplementasi garam.
Pembatasan asupan cairan hanya diindikasikan bila pasien memiliki
hiponatremia. Ekspansi ECFV yang persisten, walaupun setelah
dilaksanakan diet pembatas garam dan terapi diuretik, adalah indikasi
inisiasi dialisis. Hiperkalemia pada umumnya merespon baik pada
pembatasan asupan kalium, terapi diuretik kaliuretik, dan
penghindaran suplemen kalium dan obat yang menyebabkan retensi
kalium, seperti ACEI dan ARB. Diuretik kaliuretik mempromosikan
ekskresi kalium melalui urin, sedangkan resin pengikat kalium, seperti
kalsium resonium atau natrium polistirena, dapat meningkatkan
ekskresi kalium melalui saluran pencernaan, sehingga menurunkan
resiko kejadian hiperkalemia.
Hiperkalemia yang refraktori adalah indikasi untuk inisasi dialisis pada
pasien PGK. Asidosis tubulus ginjal dan asidosis metabolik dengan
anion-gap pada PGK akan merespon secara baik dengan suplementasi
alkali, biasanya dengan penggunaan natrium bikarbonat. Terapi
suplementasi alkali dapat dipertimbangkan ketika konsentrasi serum
bikarbonat turun di bawah 20 sampai 23mmol/L, untuk menghindari
terjadinya protein-catabolic state, dan untuk memperlambat progresi
PGK.
2. Hipertensi
Tujuan utama dari terapi hipertensi pada PGK adalah pencegahan
komplikasi kardiovaskular dan stroke. Maka itu, tekanan darah semua
pasien harus dikontrol. Pada pasien PGK dengan diabetes atau
proteinuria >1g/24 jam, tekanan darah harus dijaga pada 130/80
mmHg, jika dapat tercapai tanpa efek samping merugikan. Diet
pembatasan garam adalah lini pertama terapi. Bila tidak cukup, pilihan
obat antihipertensi mirip dengan yang digunakan pada populasi umum.
ACEI dan ARB dapat memperlambat progresi penurunan fungsi ginjal.
Namun terkadang, penggunaan ACEI dan ARB dapat memicu
kejadian GGA, terutama jika digunakan pada pasien dengan penyakit
iskemik renovaskular. ACEI inhibitor dan ARB juga dapat
dikomplikasikan dengan hiperkalemia. Penggunaan diuretik kaliuretik
secara bersamaan, seperti metolazone, dapat membantu meningkatkan
ekskresi kalium. Diuretik hemat kalium harus digunakan secara hati-
hati atau dihindari.
3. Kardiovaskular
Perubahan gaya hidup, termasuk olahraga teratur, harus dianjurkan
untuk dilakukan. Hiperlipidemia pada pasien dengan PGK harus
diatasi. Jika diet tidak cukup, obat penurun lipid, seperti statin, harus
digunakan. Namun, penggunaan agen tersebut belum terbukti memiliki
manfaat mortalitas jangka panjang untuk pasien dengan PGK tingkat
lanjut.
4. Anemia
Human recombinant erythropoietin-stimulating agents (ESA) dapat
digunakan untuk memperbaiki anemia. Namun, penyimpanan besi
pada sumsum tulang yang cukup harus tersedia sebelum pengobatan
dengan ESA dimulai. Suplementasi zat besi penting untuk memastikan
respon yang optimal terhadap ESA pada pasien PGK, karena
penggunaan besi oleh sumsum tulang seringkali melebihi jumlah besi
yang tersedia untuk eritropoiesis, serta jumlah besi dalam
penyimpanan. Kadar besi dapat diukur melalui persen saturasi
transferin, yang dan ferritin serum. Jika terdapat intoleransi
gastrointestinal, pasien dapat diberikan infus besi secara intravena.
Untuk pasien hemodialisis, besi dapat diberikan secara intravena
bersama dialisis. Namun, harus diingat bahwa terapi besi dapat
meningkatkan kerentanan terhadap infeksi bakteri. Selain besi, juga
harus dipastikan bahwa zat lain yang diperlukan untuk produksi sel
darah merah, seperti vitamin B12 dan asam folat, sudah terdapat dalam
kadar yang cukup.
Anemia yang resisten setelah pemberian ESA, dalam kondisi dosis
yang tepat dan sumber besi yang adekuat, mungkin disebabkan oleh
peradangan akut atau kronik, dialisis yang tidak memadai,
hiperparatiroidisme berat, kehilangan darah kronik atau hemolisis,
infeksi kronik, atau keganasan. Transfusi darah meningkatkan resiko
hepatitis, kelebihan zat besi, dan sensitisasi terhadap transplantasi, dan
harus dihindari kecuali anemia tetap simtomatik, dan gagal untuk
merespon terhadap pemberian ESA. Terdapat hubungan antara
penggunaan ESA dan peningkatan resiko stroke pada pasien PGK
dengan diabetes mellitus tipe 2, peningkatan kejadian tromboembolik,
dan mungkin dapat mempercepat keperluan untuk inisiasi dialisis.
Oleh karena itu, manfaat dalam perbaikan anemia perlu dipertimbangi
dengan resiko kardiovaskular. Target konsentrasi hemoglobin pada
pasien PGK direkomendasikan pada 10.00-11.50g/dL. Normalisasi
penuh konsentrasi hemoglobin tidak terbukti dapat memberikan
manfaat tambahan bagi pasien PGK.
5. Gangguan gastrointestinal dan gizi
Diet restriksi protein mungkin berguna untuk memperbaik gejala mual
dan muntah. Namun, restriksi tersebut dapat meningkatkan resiko
malnutrisi. Malnutrisi energi protein disebabkan oleh asupan protein
dan kalorik rendah, dan sangat umum pada PGK lanjut. Kondisi
tersebut merupakan indikasi untuk inisiasi dialisis.
6. Hipertensi
Tujuan utama dari terapi hipertensi pada PGK adalah pencegahan
komplikasi kardiovaskular dan stroke. Maka itu, tekanan darah semua
pasien harus dikontrol. Pada pasien PGK dengan diabetes atau
proteinuria >1g/24 jam, tekanan darah harus dijaga pada 130/80
mmHg, jika dapat tercapai tanpa efek samping merugikan. Diet
pembatasan garam adalah lini pertama terapi. Bila tidak cukup, pilihan
obat antihipertensi mirip dengan yang digunakan pada populasi umum.
ACEI dan ARB dapat memperlambat progresi penurunan fungsi ginjal.
Namun terkadang, penggunaan ACEI dan ARB dapat memicu
kejadian GGA, terutama jika digunakan pada pasien dengan penyakit
iskemik renovaskular. ACEI inhibitor dan ARB juga dapat
dikomplikasikan dengan hiperkalemia. Penggunaan diuretik kaliuretik
secara bersamaan, seperti metolazone, dapat membantu meningkatkan
ekskresi kalium. Diuretik hemat kalium harus digunakan secara hati-
hati atau dihindari.
7. Kardiovaskular
Perubahan gaya hidup, termasuk olahraga teratur, harus dianjurkan
untuk dilakukan. Hiperlipidemia pada pasien dengan PGK harus
diatasi. Jika diet tidak cukup, obat penurun lipid, seperti statin, harus
digunakan.

Diagnosis serangan akut penyakit ginjal kronis dapat ditegakkan karena


adanya perburukan tiba-tiba pada penyakit ginjal kronik.
Manifestasi klinis dan pemeriksaan penunjang yang mendukung diagnosis
yaitu :
 Gangguan cairan, elektrolit dan asam basa pada tanggal 10/04/2019
↓↓ sodium (108 mmol/L), ↑ potasium (5,9 mmol/L), ↓ klorida (76
mmol/L), ↓ pH (7.130), ↑ pO2 (120 mmHg), ↓ pCO2 (9.8), ↓ HCO3 (3,1
mmol/L), total CO2 (3,4 mmol/L).
 Anemia pada tanggal 12/04/2019
Hemoglobin 11.3 g/dL, Hematocrit 31%, Eritrosit 3.71 106/ųL.
 Peningkatan bleeding time pada pemeriksaan laboratorium tanggal
11/04/2019
PT : 14.9 detik
APTT : 52.6 detik
INR : 1.42
 Penyakit kardiovaskular iskemik pada pemeriksaan EKG pada tanggal
10/04/2019 ditemukan STEMI.
 Hipertensi, gangguan gastrointestinal, gangguan endokrin dan
metabolisme karena adanya peningkatan kadar gula dalam darah
Tekanan darah : 160/80, keluhan gastrointestinal berupa mual dan muntah
sejak pagi hari serta peningkatan gula dalam darah yaitu 600 mg/dL.
 LFG jatuh dibawah <90 mL/menit/1.73m^2 dan ditemukan pada pasien
LFG 9.4 mL/menit/1.73m^2 pada tanggal 10/04/2019.

Lamb E, Hall E, Fahie-Wilson M. Cardiac troponins and chronic kidney


disease. Kidney International. 2006;70(8):1525–6.
Prasher P, Varma P. Chronic Renal Failure - Pitfalls In Diagnosis. Medical
Journal Armed Forces India. 1997;53(4):295–7.
Thomas R, Kanso A, Sedor JR. Chronic Kidney Disease and Its Complications.
Primary Care: Clinics in Office Practice. 2008;35(2):329–44.
Liu KD, Chertow GM. Dialysis in the Treatment of Renal Failure. In: Kasper DL,
Hauser SL, Jameson JL, Fauci AS, Longo DL, Loscalzo J, editors. Harrison’s
Principles of Internal Medicine. 19th ed. McGrawHill; 2015. p. 1822–25
Perazella MA, Lerma EV. Chronic Kidney Disease. In: Jr. RFR, Perazella MA,
editors. Nephrology in 30 Days. 2nd ed. Mcgrawhill Lange; 2014. P. 245-76.

You might also like