Professional Documents
Culture Documents
ETIKA KOMUNIKASI
Pada dekade terakhir ini meningkatnya kemajuan dalam pelayanan kesehatan dan
pemakaian suatu teknologi baru telah merubah lingkungan dimana pelayanan kesehatan
diberikan. Meskipun perubahan terjadi dengan cepat, lingkungan pelayanan kesehatan
menyisakan tempat yang menarik dan kompleks yang menawarkan banyak kesempatan untuk
pertumbuhan, kepuasan professional, dan tantangan intelektual yang menarik yang
mempengaruhi semua professional termasuk farmasis. Peraturan farmasi yang muncul
sebagai manager terapi memerlukan anda untuk menjadi lebih efektif dan efisien ketika
terlibat dalam semua bentuk komunikasi yang berhubugan dengan obat (Dhillon et al, 2001).
Farmasis dapat dibanggakan, yang mana oleh WHO telah dipuji kepentingannya
sebagai komunikator dan pemberi pelayanan kesehatan (Zelmer, 2001). Oleh karena itu,
farmasis harus bersiap untuk mengenal dan memecahkan persoalan etika dengan pemahaman
umum dan prinsip etika yang spesifik dan dengan menggunakan prinsip-prinsip tersebut
dalam asuhan kefarmasian dan managemen terapi pengobatan.
1. nonmaleficence,
2. beneficence,
3. autonomy versus paternalism,
4. honesty and truth telling,
5. informed consent,
6. confidentiality, dan
7. fidelity.
Prinsip ini dapat dilanggar dengan dua cara yang berbeda. Yang pertama, jika farmasis
mengetahui dan sengaja menyebabkan bahaya/celaka pada pasien. Sebagai contoh,
dengan sengaja memenuhi resep untuk pasien yang memiliki alergi atau memenuhi resep
dimana pada literatur yang dipublikasikan dinyatakan dapat terjadi interaksi obat-
makanan dan farmasis meyerahkan obat tanpa mengatakan pada pasien tentang interaksi
obat-makanan, hal ini dapat disebut sebagai malfeasance. Prinsip nonmaleficence dapat
pula dilanggar dimana tidak ada niat untuk melakukan hal yang mencelakakan atau
merugikan pasien. Sebagai contoh, farmasis dengan tidak sengaja salah membaca resep
untuk Zyrtec dan memberinya Zyprexa. Maka hal ini dapat merugikan pasien, farmasis
mungkin lalai pada apa yang mereka perbuat meskipun farmasis tidak berniat untuk
mencelakakan pasien. Farmasis dapat dianggap gagal dalam menjalankan aktivitas
pelayanan yang seharusnya menjadi tanggung jawabnya sebagai seorang professional.
Farmasis gagal untuk memenuhi kewajiban nonmaleficence-nya dan perbuatannya
dipertanggungjawabkan dengan sistem pengadilan.
Untuk melindungi anggota masyarakat lebih lanjut dari malfeasance, beberapa standar
proses wajib dicocokkan dengan menggunakan undang-undang dan regulasi yang
berlaku, keperluan edukasi, standar untuk practical learning dan kepercayaan komite
untuk mengatur entry barrier pada profesi. Dengan jalan ini, masyarakat memiliki
jaminan yakni individu yang dilatih sebagai farmasis dan selanjutnya diharuskan untuk
“Pada sebuah penyakit, biasakanlah dua hal untuk membantu atau tidak melakukan hal
yang merugikan”. Pedoman ini didapat dari tulisan Hippocrates fokus pada dua prinsip
moral: nonmaleficence, seperti yang telah didiskusikan sebelumnya dan beneficence.
Kedua prinsip tersebut menghendaki penyedia layanan kesehatan untuk mengevaluasi
keuntungan yang potensial dari intervensi pada hubugan resiko yang merugikan pasien.
Untuk lebih spesifik, beneficence merupakan prinsip bahwa professional kesehatan
seharusnya bersikap untuk kepentingan terbaik pada pasien. Prinsip beneficence juga
tertulis pada APhA Code of Ethics for Pharmacists (APhA, 1994) dinyatakan “a
pharmacist places concern for the well-being of the patient at the center of professional
practice”.
Walaupun ada waktu ketika semua atau sebagian besar pertnyaan dapat dijawab, ada
kalanya pada kehidupan tiap professional ketika dihadapkan pada hal yang sulit untuk
mencapai outcome terapi yang diinginkan yang disebabkan adanya konflik antara pasien
dan harapan provider (contohnya apa yang pasien inginkan versus apa yang professional
inginkan untuk pasien) (Jonsen et al, 2002). Sebagai contoh, penggunaan kombinasi
terapi antiretroviral pada terapi infeksi HIV dapat membawa keuntungan dan juga
kerugian. Penggunaan obat memperbaiki kualitas hidup pasien dan memperpanjang
Prinsip etik lain yang diharapkan pada layanan kesehatan didasarkan atas penemuan
keseimbangan antara autonomy dan paternalism untuk menyediakan bantuan terbaik
pada pasien. Paternalism berarti profesi kesehatan atau farmasis yang melihat hubungan
dengan pasien sebagai paternalistik. Mereka melihat dirinya sebagai orang tua yang
mengerti apa yang terbaik untuk anaknya (pasien). Intinya, paternalism merupakan
praktik yang tak memungkinkan untuk mengambil pertimbangan pada kesenangan,
kepercayaan dan kebiasaan pasien, terutama bila itu dapat mendatangkan keuntungan
untuknya. Sebaliknya, prinsip autonomy menetapkan hak pasien untuk memutuskan hal
untuk dirinya. Hak moral pasien untuk memilih rencana hidupnya sendiri dan apa yang
akan dilakukan (Jonsen et al, 2002; Munson, 2000). Hak ini diperhitungkan terutama bila
profesi kesehatan memutuskan keputusan pada pasien yang merugikan untuk
kesehatannya. Sesuai dengan “Harm Principle” memaksakan sebuah pilihan pada
individu secara moral diperbolehkan hanya ketika keinginan individu tersebut melanggar
hak dan keselamatan orang lain.
Ketika farmasis ingin menilai situasi dilema etik, mereka menemukan itu dapat
membantu menyelesaikannya secara mudah antara patient autonomy-paternalistic.
Perbuatan yang mengajak pasien terlibat pada pengambilan keputusan dapat mengarah
pada “patient autonomy” pada akhir proses. Pada kebiasaan sehari-hari, ada kekuatan
yang membatasi atau bahkan menghalangi penghargaan pada patient autonomy, seperti
mengabaikan kemampuan pasien, ketidakseimbangan antara pengetahuan pasien dengan
penyedia layanan kesehatan, psikodinamik dari hubungan pasien-provider dan tekanan
sakit (Jonsen et al, 2002).
Walaupun sebagian besar profesi kesehatan menganut dan menemukan keuntungan dari
prinsip patient autonomy, pada beberapa situasi patient autonomy sengaja diabaikan.
Hal mudah untuk melihat bagaimana autonomy sangat dikaitkan dengan informasi.
Informasi merupakan hal yang penting untuk melindungi dan menjaga patient autonomy.
Pada era consumer-driven heath care, hal sulit untuk menolak well-informed patients
active partnership roles pada pelayanan kesehatan mereka. Begitu juga, untuk menjadi
pemberi informasi yang baik, pasien perlu untuk diberi informasi dengan bahasa yang
mereka mengerti, dan untuk menjelaskan pada istilah yang tidak bias pilihan pengobatan
yang mungkin termasuk keuntungan dan resikonya. Pada lingkungan medik yang
cenderung terburu-buru, edukasi pada pasien dan informed consent terkadang
dikesampingkan. Itu sebabnya, pasien sering merasa sibuk dan kurang persiapan untuk
membuat keputusan tentang kesehatannya dan menyebabkan hak autonomy-nya
diserahkan pada penyedia layanan kesehatan.
4. Prinsip Honesty (Kejujuran) dan Truth Telling (Mengatakan Hal yang Benar)
Pada prinsipnya, semua komunikasi antara pasien dan para profesi kesehatan lain
haruslah dilakukan secara benar. Namun apa yang seharusnya dilakukan ketika
penyingkapan secara penuh (full disclosure) pada tiap hal yang detail dapat menunjukkan
hal yang berbahaya? Dengan meningkatnya keunggulan prinsip autonomy dan dengan
hak pasien untuk informed consent pada saat yang modern ini, full disclosure dan
truthfulness dapat menjadi tindakan etik yang lebih diterima (Da Silva et al, 2003;
Jonsen et al, 2002).
Prinsip honesty menyatakan bahwa pasien memiliki hak untuk komunikasi yang benar
selama kondisi mediknya, perjalanan penyakitnya, pengobatan yang direkomendasikan
dan alternatif pengobatan yang mungkin. APhA Code of Ethics for Pharmacist (1994)
menyatakan bahwa farmasis memiliki kewajiban untuk mengatakan hal yang benar dan
bertindak dengan keyakinan sesuai hati nurani. Kepercayaan pada level tertentu harus
dikembangkan antara pasien dan farmasis untuk memperkuat hubungan. Kepercayaan ini
dikembangkan karena farmasis merupakan bagian dari prinsip kejujuran (honesty).
Farmasis mungkin mendapati dirinya diantara dilema etik yang berhubungan dengan
mengatakan truth telling dan therapeutic privilege. Sebagai contoh, pasien yang
mengklaim memiliki alergi dan atau hipersensitif pada beberapa pengobatan sebelumnya
yang diambil mungkin diresepkan pengobatan yang mirip namun tidak disampaikan
potensi alergi atau hipersensitivitas oleh penulis resep yang mempercayai informasi
terkait psikologi dan tidak ada dasar patologi. Pada beberapa kasus, farmasis dari pasien
mungkin bertanya untuk tidak memberi lembar informasi obat pasien. Penulis resep
mungkin mengklaim professional privilege, menyatakan bahwa mengatakan pada pasien
tentang efek samping yang mungkin atau reaksi samping dapat menyebabkan kesedihan
pasien yang tidak pada tempatnya atau mendorong pasien untuk tidak mengambil seluruh
pengobatan. Hal ini membiarkan farmasis pada posisi untuk membuat keputusan sendiri
dengan tidak melewati batas undang-undang dan regulasi, tetapi juga interpretasinya
dapat diterima secara etis.
“Informed consent merupakan elemen kritis dari beberapa teori yang memberi pengaruh
pada autonomy” (Veatch, 2000). Informed consent merupakan jalan dimana keinginan
pasien diungkapkan dan digunakan sebagai penghargaan pada patient’s autonomy
(Jonsen et al, 2002). Honesty dan autonomy dipenuhi sebagai dasar hak pasien untuk
memberikan informed consent untuk pengobatan. Prinsip informed consent menyatakan
bahwa pasien mempuyai hak untuk penyingkapan penuh (full disclosure) pada semua
aspek pelayanan yang sesuai dan harus memberi deliberate consent untuk pengobatan
yang berdasar pada informasi yang bersifar usable dan pemahaman yang benar pada
informasi (Munson, 2000; Quallich, 2005). Secara umum, consent tidak dikehendaki
ketika prosedurnya sederhana dan resiko umumnya dapat dimengerti (Cady, 2000).
Meski begitu, beberapa provider yang merekomendasikan pengobatan pada pasien,
khususnya bila bersifat invasif, harus mendapatkan informed consent. Informed consent
berbentuk dasar etik untuk hubungan pasien-provider yakni terdiri atas karakteristik
partisipasi satu sama lain, komunikasi yang baik, saling menghormati dan turut andil
dalam pengambilan keputusan (Jonsen et al, 2002).
Agar inform consent dapat berjalan dengan baik, maka diperlukan dialog antara pasien
dan penyedia layanan kesehatan yang terdiri dari lima komponen berbeda (Quallich,
2005) yaitu :
Terapi dapat dilaksanakan apabila tersedia semua informasi yang memadai, persetujuan
tersebut diberikan secara bebas dan tanpa paksaan, dan pasien mampu mengerti
pentingnya informasi yang diberikan.
Bahkan pada keadaan yang sangat baik, inform concent tidak selalu mudah untuk
menentukan siapakah yang berkompeten dan tidak berkompeten untuk menyetujui terapi
yang dilaksanakan (Munson, 2000; Wingfield, 2003). Penyedia layanan kesehatan harus
mempertimbangkan keadaan masyarakat yang mudah terserang penyakit seperti anak–
anak, pasien yang mengalami kemunduran mental dan gangguan jiwa. Pasien yang
demikian harus menjadi pertimbangan apakah pasien tersebut setuju untuk mematuhi
inform concent. Di dalam Undang - Undang sering digunakan istilah “competence” dan
“incompetence” untuk menunjukkan apakah seseorang mempunyai kewenangan hukum
membuat keputusan layanan kesehatan terhadap dirinya. Hakim sendiri mempunyai
kewenangan untuk untuk mengatur apakah seseorang tidak berkompeten secara hukum.
Walaupun demikian, penyedia layanan kesehatan mungkin menghadapi pasien yang
mempunyai kompetensi secara hukum yang terlihat dari kekuatan mentalnya dalam
menghadapi penyakit, penuaan, nyeri, atau bahkan ketika dirawat di rumah sakit (Jonsen
et al, 2002; Wingfield, 2003). Keadaan klinis ini disebut sebagai “decisional capacity”
yang lebih sering digunakan daripada istilah hukumnya yaitu “determination
competency”.
Dalam praktek sehari – hari, banyak waktu yang digunakan oleh profesional layanan
kesehatan untuk lebih fokus dalam menyingkap masalah kesehatan pasien (disclosure)
daripada pemahaman pasien terhadap informasi yang diberikan. Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa “masalah utama inform consent adalah masalah komunikasi
dibandingkan pencabutan dan ringkasan masalah tentang penyingkapan standard hukum”
(Beauchamp, 1989). Pesan yang secara lengkap diberikan bahwa keberhasilan farmasis
dalam berkomunikasi dengan pasien berkaitan dengan gangguan kesehatan pasien adalah
mengikutsertakan pasien dalam komunikasi yang dilakukan secara terbuka dan jujur
berdasarkan pertanyaan yang disampaikan oleh farmasis dan saling bertukar informasi
serta sepenuhnya menyingkap semua permasalahan yang dihadapi pasien dalam
komunikasi tersebut. Farmasis harus menciptakan suasana yang mendorong pasien untuk
mencoba menjawab pertanyaan. Kerugian dari komunikasi jenis ini adalah sering
menghambat komunikasi itu sendiri karena membatasi gaya dan kemampuan
komunikasi, pemahaman pasien, ketidakmampuan farmasis untuk mendengarkan secara
teliti kata–kata pasien dan emosi yang dirasakan pasien, dan waktu yang dipaksakan
mengesankan bahwa pasien mengeluarkan uang untuk membayar semua prosedur
komunikasi yang telah dilaksanakan bukan karena pasien memperoleh edukasi dari
komunikasi tersebut (Jonsen et al., 2002).
Terapi obat merupakan salah satu bentuk terapi dalam terapi layanan kesehatan. Pada
waktu terapi obat paling banyak digunakan sebagai terapi dalam layanan kesehatan,
persoalan inform concent dalam terapi pengobatan diabaikan penggunaannya
dibandingkan dengan penggunaan inform concent dalam terapi bentuk lain seperti
pembedahan. Pada awalnya masyarakat berasumsi bahwa resiko yang berhubungan
dengan terapi obat adalah minimal. Tetapi asumsi ini bertentangan dengan penelitian
yang dilakukan baru-baru ini dan laporan pemerintah seperti Institute of Medicine’s
Crossing the Quality Chasm (Iom, 2001). Berdasarkan penelitian dan laporan pemerintah
disebutkan bahwa perkiraan jumlah kematian dan kejadian berbahaya yang berhubungan
dengan kesehatan yang disebabkan oleh terapi yang tidak tepat ternyata mengejutkan.
Pada masa mendatang, farmasis diharapkan bertanggung jawab dalam menjamin inform
concent yang terjadi sebelum treatment obat dimulai.
|Apakah peran farmasis dalam inform concent? Beberapa farmasis beranggapan bahwa
ketika pasien membawa resep : a. dokter yang menangani pasien pembawa resep telah
memberikan semua informasi yang relefan, b. pasien telah mengerti tentang informasi
yang diberikan, c. pasien menyetujui terapi pengobatan. Pada kenyataannya, beberapa
pasien kekurangan informasi pada aspek penting dari terapi pengobatan. Selain itu,
dokter sering kali tidak secara jelas mendiskusikan aspek inti terapi pengobatan dan
sering mengalami kegagalan untuk memperoleh persetujuan yang berarti dari pasien.
Dalam keadaan tertentu, inform concent ternyata tidak dilakukan. Pasien mungkin tidak
sepenuhnya mengerti aspek penting dari terapi, mungkin tidak menjawab pertanyaan,
atau mungkin tidak peduli terhadap efek samping yang signifikan berhubungan dengan
terapi obat yang akan dilakukan. Selain itu, pasien mungkin menunjukkan keengganan
untuk memulai melakukan pengobatan tetapi merasa bahwa mereka tidak mempunyai
pilihan dan hanya untuk mengikuti petunjuk dokternya. Dalam hal ini sulit untuk
menentukan apakah persetujuan terapi dapat secara bebas diberikan. Ketika pasien
pertama kali mengungkapkan keberatan tentang terapi pengobatan, farmasis mungkin
memerlukan untuk melakukan konsultasi tidak hanya dengan pasien tetapi juga dokter
penulis resep untuk menginformasikan kepada pasien dan dokter bahwa persetujuan
terapi kurang dapat diberikan secara bebas.
Farmasis terlibat langsung dalam layanan kesehatan, mereka memperoleh akses untuk
mendapatkan informasi pribadi pasien yang dibutuhkan untuk mengatur terapi
pengobatan secara tepat. Dengan adanya peraturan baru yang disusun oleh Health
Insurance Portability and Accountability Act tahun 1996 (HIPAA), farmasis harus
mengetahui peraturan mengenai pekerjaan kefarmasian dan dapat mengetahui persoalan
yang berhubungan dengan prinsip kerahasiaan dan persetujuan, dan peraturan mengenai
“informasi kesehatan yang dilindungi” (protected health information). Semua tanggung
jawab profesionalisme ini bersifat penting karena perubahan besar yang terjadi saat ini
dalam prinsip kerahasiaan merupakan hasil dari perkembangan teknologi dalam
menyimpan informasi, mencari informasi, dan melakukan akses untuk mendapatkan
informasi tersebut (Jonsen et al., 2002; Wingfield and Foster, 2002). Ketika
komputerisasi mulai digunakan dalam pekerjaan kefarmasian dan catatan medis dapat
meningkatkan layanan pasien, meningkatkan informasi statistik dan tugas administratif
memberikan tersedianya beberapa catatan untuk tiga bagian employer, badan
pemerintah, orang yang membayar karena telah munggunakan layanan kesehatan, serta
anggota keluarga yang terlibat dalam layanan kesehatan.
Tanggal 14 April 2003 HIPAA mengambil pengaruh terhadap prinsip kerahasiaan dan
merupakan bagian paling signifikan dalam Undang–undang federal untuk mempengaruhi
praktek kefarmasian sejak Omnibus Budget Reconciliation Act tahun 1990 (OBRA)
(Spies and Van Dusen, 2003). HIPAA juga merupakan peraturan federal pertama yang
berarti luas yang dirancang untuk melindungi rahasia pribadi dan menjaga informasi
kesehatan yang dilindungi (protected health information). Setiap farmasi mengadakan
transaksi keuangan dan administratif tertentu secara elektronik seperti pembayaran
tagihan yang harus memenuhi peraturan HIPAA. HIPAA menentukan kerangka kerja
untuk menggunakan dan menyingkap informasi kesehatan yang dibutuhkan untuk
treatment, pembayaran, dan pelaksanaan layanan kesehatan di semua institusi pelayanan
kesehatan termasuk farmasis (Giacalone and Cacciatore, 2003; Spies and Van Dusen,
2003). HIPAA juga menuliskan untuk “meningkatkan efisiensi dan keefektifan
penukaran data untuk transaksi administrasi dan keuangan serta meningkatkan keamanan
dan kerahasiaan informasi layanan kesehatan” (Mackowiak, 2003).
Kerahasiaan selalu memainkan peran penting dalam praktek kefarmasian dan pedoman
baru HIPAA tidak perlu mengganti pernyataan yang ada didalam Undang–undang dan
Fokus pada hak-hak pasien dan kewajiban penyedia dapat membuat hubungan antara
mereka terlihat mekanistik dan legalistik. Akan mudah untuk membuat daftar dos dan
don’ts untuk masing-masing pihak untuk mengikuti. Namun, situasi yang dihadapi dalam
hubungan pasien-provider sering rumit. Demikian, prinsip-prinsip yang dibahas di atas
harus dipertimbangkan ketika bekerja dengan pasien. Selain itu, kemampuan untuk
secara efektif bekerja melalui isu-isu sensitif tergantung pada kepercayaan. Merawat
hubungan antara pasien dan penyedia layanan. Setiap pasien adalah individu yang unik
dan dalam situasi sakit, sangat rentan. Demikian, pasien memiliki hak untuk
diperlakukan dengan manusiawi. Pasien membutuhkan keramahan, perawatan sensitif
dari penyedia, peduli akan membantu mereka dalam membuat keputusan terbaik yang
mereka mampu perbuat. Ini adalah inti dari peran membantu dari professional kesehatan.
Ada peringatan untuk membantu peran ini. Sangat dipengaruhi oleh kerentanan pasien,
khususnya status yang diberikan kepada dokter dan para profesional lain yang membantu
mendirikan sebuah power difference antara pasien dan penyedia.
Pada kenyataannya, "if one shares power with the person having the greatest danger
of being victimized, the potential for self-correction of errors seems greatest”
(Brody,1992). Sehingga sekali lagi perlunya partisipasi bersama melalui peran aktif
pasien dalam pengambilan keputusan kesehatan menjadi sangat penting jika seseorang
ingin mengurangi kesalahan perawatan kesehatan dan kecelakaan. Menyemangati pasien
untuk berpartisipasi secara aktif pada pengambilan keputusan terapi, dengan keputusan
dibuat dalam konteks hubungan yang saling menghargai, hubungan saling percaya
kemudian menjadi bagian besar dari pekerjaan farmasis sebagai bagian dari tanggung
jawab profesional mereka untuk pasien.