You are on page 1of 25

BAB I

PENDAHULUAN

Sekitar 2% perempuan usia reproduktif mengalami pembengkakan pada satu atau kedua
glandula Bartholin dengan kasus abses Bartholin dan kista Bartholin mencapai 2% dari semua
kunjungan ginekologi per tahun. Kista Bartholin adalah kantung yang berisi cairan yang
berkembang pada salah satu glandula ataupun ductus Bartholin ketika ductus yang mengalirkan
sekret dari glandula mengalami penyumbatan dan menyebabkan ductus dan glandula menjadi
bengkak. Abses glandula Bartholin berkembang baik itu ketika terjadi infeksi pada kista Bartholin
atau dapat pula terjadi akibat adanya infeksi primer dari glandula Bartholin. Penelitan
menunjukkan bahwa abses tersebut bersifat polimikrobial dan jarang diakibatkan oleh patogen
menular seksual.1,2
Pada umumnya, pasien dengan abses Bartholin mengeluhkan nyeri pada vulva dengan onset
akut dan berkembang secara progresif cepat. Selain itu, pasien juga mengeluhkan adanya massa
lunak pada labia, berfluktuasi dengan eritema disekitarnya dan edema.1
Beberapa kasus membutuhkan insisi drainase. Pada satu penelitian menunjukkan keberhasilan
terapi word catheter pada 26 dari 36 kasus kista ataupun abses Bartholin (87%). Pasien dengan
abses sering terjadi pain relief segera setelah prosedur drainase. Bagaimanapun juga, pengobatan
yang digunakan untuk abses Bartholin termasuk anestesi lokal dan topikal. Anestesi oral biasanya
dibutuhkan selama beberapa hari setelah prosedur drainase. Terapi antibiotik empirik tidak
diindikasikan pada pasien imunokompeten dengan abses glandula Bartholin tanpa disertai selulitis.
Antibiotik umumnya diberikan untuk mengobati jaringan sekitar yang mengalami selulitis.
Antibiotik untuk terapi empirik pada kasus penyakit menular seksual sebaiknya menggunakan
dosis terapi pada infeksi gonococcal dan chlamydia. Idealnya, antibiotik harus dimulai segera
sebelum insisi dan drainase.1,2,3
Teknik berbeda telah digunakan untuk penanganan kista Bartholin dan abses Bartholin, tetapi
belum ada bukti terkait keunggulan antara strategi manajemen konservatif dan pembedahan.
Pendekatan yang paling umum digunakan adalah (1) fistulisation menggunakan Word catheter dan
(2) marsupialization. Teknik lainnya meliputi: (1) silver nitrate gland ablation; (2) fenestrasi kista
atau abses, ablasi, atau eksisi dengan menggunakan laser karbon dioksida (CO2); (3) aspirasi jarum
dengan atau tanpa skleroterapi alkohol; (4) eksisi kelenjar; dan (5) insisi dan drainase diikuti
penutupan jahitan primer.2
Pada dasarnya, jika abses Bartholin ditangani dengan drainase yang tepat dan reclosure dapat
dicegah, maka kebanyakan abses memiliki outcome yang baik. Tidak ada rekurensi yang terjadi
setelah marsupialisasi dilaporkan pada penelitian yang telah ada. Tingkat rekurensi setelah terapi
lain bervariasi; rekurensi umumnya terjadi setelah dilakukan tindakan aspirasi saja (sekitar 38%).
Penyembuhan biasanya terjadi dalam 2 minggu atau kurang.1,2
BAB II
LANDASAN TEORI

A. Definisi
Abses Bartholin merupakan abses yang dihasilkan dari obstruksi pada ostium ductus
diikuti dengan akumulasi mucus atau pus dalam ductus glandula. Abses glandula Bartholin
adalah infeksi polimikrobial, dan spesies Bacteroides, spesies Peptostreptococcus, Eschercia
coli, dan Neisseria gonorrhoeae yang mana sering kali ditemukan pada kultur dari drainase
purulen. Jarang ditemukan adanya keterlibatan Chlamydia trachomatis pada penyakit ini.3

B. Anatomi dan Fisiologi


Glandula Bartholin merupakan homolog dari glandula Cowper atau bulbourethralis pada
pria. Glandula Bartholin terdiri atas sepasang kelenjar yang berukuran seperti kacang polong
dengan diameter sekitar 0,5 cm, vulvovaginal, glandula vestibular major yang mensekresi
mukus, terletak di labia minora pada 1/3 posterior dari setiap labium majora dan muara dari
ductus sekretorius dari kelenjar ini, berada tepat di depan (eksterna) hymen pada posisi jam 4
dan 7-8, di antara labium minus pudendi, di bawah Musculus bulbospongiosus. Pada dasarnya,
kelenjar ini tidak teraba saat dipalpasi. Setiap kelenjar mensekresi mukus ke dalam ductus
dengan panjang berukuran 2-2,5 cm. Ductus tersebut bermuara ke vestibulum pada setiap sisi
orrificium vaginalis, sebelah inferior hymen. Glandula Bartholin diperdarahi oleh arteri Bulbi
vestibuli, dan dipersarafi oleh Nervus pudendus dan Nervus hemoroidal inferior. Fungsi dari
kelenjar ini adalah untuk mempertahankan kelembapan permukaan vestibulum mucosa
vagina.1-5
Glandula Bartholin dibentuk oleh kelenjar racemose dibatasi oleh epitel columnar atau
kuboid yang mensekresi mucus jernih atau keputih-putihan dengan komponen lubrikan.
Mukosa glandula dilapisi oleh sel epitel kuboid. Duktus dari glandula Bartholin merupakan
epitel transisional yang secara embriologi merupakan daerah transisi antara tratus urinarius
dengan traktus genital.3,5
Glandula distimulasi oleh rangsangan seksual. Kontraksi Musculus bulbospongiosus,
yang melapisi permukaan superfisial glandula, mendorong sekresi pada glandula. Glandula
ini tertekan pada waktu coitus dan mengeluarkan sekresinya untuk membasahi atau
melicinkan permukaan vagina di bagian caudal. Glandula Bartholin sebagian tersusun dari
jaringan erektil dari bulbus, jaringan erektil dari bulbus menjadi sensitif selama rangsangan
seksual dan kelenjar ini akan mensekresi sekret yang mukoid yang bertindak sebagai lubrikan.
Secara klinis, obstruksi pada ductus Bartholin oleh material proteinaceous atau inflamasi
akibat infeksi dapat menimbulkan terjadinya kista dengan ukuran yang bervariasi. Kista yang
terinfeksi dapat menyebabkan timbulnya abses.3,5
Glandula Bartolini mengeluarkan jumlah lendir yang relatif sedikit sekitar satu atau dua
tetes cairan tepat sebelum seorang wanita orgasme. Tetesan cairan pernah dipercaya menjadi
begitu penting untuk pelumas vagina, tetapi penelitian dari Masters dan Johnson menunjukkan
bahwa pelumas vagina berasal dari bagian vagina lebih dalam. Cairan mungkin sedikit
membasahi permukaan labia vagina, sehingga kontak dengan daerah sensitif menjadi lebih
nyaman bagi wanita.5

Gambar 2.1 Anatomi glandula Bartholin3

C. Epidemiologi
Sekitar 2% wanita usia reproduktif mengalami pembengkakan pada satu atau kedua
glandula Bartholin. Penyakit ini cenderung berkembang pada populasi dengan profil
demografis serupa dengan mereka yang memiliki risiko tinggi terhadap infeksi menular
seksual. Abses umumnya hampir terjadi tiga kali lebih banyak daripada kista.1,3,5
Salah satu penelitian kasus kontrol menemukan bahwa wanita berkulit putih dan hitam
yang lebih cenderung untuk mengalami kista Bartolin atau abses Bartolin daripada wanita
hispanik, dan bahwa perempuan dengan paritas yang tinggi memiliki risiko terendah. Kista
Bartolin, yang paling umum terjadi pada labia minora. Involusi bertahap dari kelenjar Bartolin
dapat terjadi pada saat seorang wanita mencapai usia 30 tahun. Hal ini mungkin menjelaskan
lebih seringnya terjadi kista Bartolin dan abses selama usia reproduksi.5
Biopsi eksisional mungkin diperlukan lebih dini karena massa pada wanita
pascamenopause dapat berkembang menjadi kanker. Beberapa penelitian telah menyarankan
bahwa eksisi pembedahan tidak diperlukan karena rendahnya risiko kanker Glandula
Bartholin (0,114 kanker per 100.000 wanita-tahun). Namun, jika diagnosis kanker tertunda,
prognosis dapat menjadi lebih buruk. Sekitar 1 dalam 50 wanita akan mengalami kista
Bartolin atau abses di dalam hidup mereka. Jadi, hal ini adalah masalah yang perlu dicermati.
Kebanyakan kasus terjadi pada wanita usia reproduktif, antara 20 sampai 30 tahun. Namun,
tidak menutup kemungkinan dapat terjadi pada wanita yang lebih tua atau lebih muda.5

D. Etiologi
Obstruksi pada ductus Bartholin dapat terjadi dan diikuti dengan infeksi, maupun non
infeksi seperti trauma mekanik, perubahan mucus, atau ductus yang sempit secara congenital
(stenosis/atresia congenital). Kista Bartolin tidak selalu harus terjadi sebelum abses, yang pada
dasarnya bersifat polimikrobial. Walaupun demikian, penyebab yang mendasari seringkali
tidak jelas. Organisme spektrum luas telah dikultur dan menjadi penyebab terbentuknya abses
Bartholin.3,5
Bakteri yang paling umum diisolasi dari pasien dengan abses Bartholin termasuk
anaerobic Bacteroides, Peptostreptococcus spp., aerobic Escherichia coli, S aureus, dan E
faecalis. Selain itu, jarang didentifikasi keterlibatan Neisseria gonorrhoeae dan Chlamydia
trachomatis pada penyakit ini. E coli merupakan bakteri yang paling umum terisolasi,
meskipun berbagai bakteri aerob Gram negatif dan positif serta bakteri anaerob juga
ditemukan Dengan demikian, diperlukan terapi polimikrobial dan agen tunggal oral yang
sesuai dengan pasien rawat jalan.3

E. Patofisiologi
Mukus yang diproduksi untuk lubrikasi vulva berasal dari Glandula Bartholin. Glandula
Bartholin dapat membentuk kista dan abses pada wanita usia reproduktif. Kista dan abses
secara klinis dapat dibedakan. Kista Bartholin terbentuk ketika ostium ductus mengalami
obstruksi, menyebabkan terjadinya akumulasi cairan di dalam glandula dan ductus. Obstruksi
biasanya merupakan efek sekunder dari parut setelah infeksi, inflamasi non-spesifik ataupun
trauma. Abses Bartholin terbentuk dari infeksi primer kelenjar ataupun kista yang
terinfeksi.1,3,4
Obstruksi distal saluran Bartolin mengakibatkan retensi cairan, dengan dihasilkannya
dilatasi dari duktus dan pembentukan kista. Kista dapat terinfeksi, dan abses dapat
berkembang dalam glandula. Kista saluran Bartolin bisa saja tidak tampak sebelum menjadi
abses. Jika kista saluran Bartolin tampak kecil dan tidak menjadi inflamasi, akan tampak
asimptomatik. Jika kista menjadi infeksi, akan tampak bentuk abses.5

Obstruksi duktus

Retensi mukus

Kista Bartholin

Inflamasi Infeksi

Batholinitis Abses Bartholin

Gambar 2.2 Mekanisme pembentukan abses Bartholin5


F. Faktor Risiko
Salah satu faktor risiko timbulnya abses Bartholin adalah adanya riwayat infeksi pada
glandula Bartholin (Bartholinitis). Pada Bartholinitis akuta kelenjar membesar, merah, nyeri,
dan lebih panas daripada daerah sekitarnya. Isinya cepat menjadi nanah yang dapat keluar
melalui ductusnya, atau jika tersumbat, mengumpul di dalamnya dan menjadi abses yang
kadang-kadang dapat menjadi sebesar telur bebek. Jika belum menjadi abses, keadaan bisa
diatasi dengan pemberian antibiotika. Radang pada glandula Bartholin dapat terjadi berulang-
ulang dan akhirnya dapat menjadi menahun dalam bentuk kista Bartholin. Pada beberapa
kasus, isi kista dapat terinfeksi dan menyebabkan pembentukan abses.1,3,6

G. Manifestasi Klinik
Pada kista Bartholin, bila pembesaran kistik tidak disertai dengan infeksi lanjutan atau
sekunder umumnya tidak akan menimbulkan gejala-gejala khusus dan hanya dikenali melalui
palpasi. Kista Bartolin menyebabkan pembengkakan labia di satu sisi, dekat introitus vagina.
Kista biasanya nampak sebagai massa yang menonjol secara medial dalam introitus posterior
pada regio yang duktusnya berakhir di dalam vestibula. Karena letaknya di vagina bagian luar,
kista akan terjepit terutama saat duduk dan berdiri. Jika kista tumbuh lebih besar dari diameter
1 inci, dapat menyebabkan ketidaknyamanan ketika duduk, atau selama hubungan seksual.
Tanda kista Bartholini yang tidak terinfeksi berupa penonjolan yang tidak nyeri pada salah
satu sisi vulva disertai kemerahan atau pembengkakan pada daerah vulva. Indurasi biasa
terjadi pada sekitar kelenjar, dan aktivitas seperti berjalan, duduk atau melakukan hubungan
seksual bisa menyebabkan rasa nyeri pada vulva. Pasien berjalan mengegang ibarat menjepit
bisul diselangkangan.4,5
Infeksi akut disertai penyumbatan, indurasi, dan peradangan. Gejala utama akibat infeksi
biasanya berupa nyeri sentuh dan dyspareunia. Pada tahap supuratif, dinding kista berwarna
kemerahan, tegang, dan nyeri. Bila sampai pada tahap eksudatif, dimana sudah terjadi abses,
maka rasa nyeri dan ketegangan dinding kista menjadi sedikit berkurang disertai penipisisan
dinding di area yang lebih putih dari sekitarnya. Umumnya hanya terjadi gejala dan keluhan
lokal dan tidak menimbulkan gejala sistemik kecuali apabila terjadi infeksi yang berat dan
luas.4
Pasien dengan abses mengeluhkan nyeri vulva akut dan progresif dengan cepat. Berbeda
dengan kista Bartholin yang sering kali asimptomatik, pasien dengan abses Bartholin biasanya
mengeluh adanya pembesaran pada vulva unilateral dengan cepat dan nyeri yang signifikan.
Ditemukan pula massa berfluktuasi pada satu sisi introitus, bagian eksternal hymenal ring,
dan aspek inferior vulva.1,3
Beberapa manifestasi klinis kista dan abses Bartholin:5
a) Biasanya unilateral
b) Berbentuk bulat sampai oval, berukuran 1-5 cm
c) Tidak terasa nyeri
d) Terletak pada labia minora bagian 1/3 posterior, menonjol ke arah introitus
e) Kista yang membesar menimbulkan rasa tidak nyaman/mengganggu saat berjalan, duduk
atau coitus
f) Bila meradang: nyeri, demam, disertai tanda radang lainnya
g) Bila terbentuk abses: fluktuasi (+)
h) Dapat disertai pembesaran kelenjar limfa femoral dan inguinal

H. Pemeriksaan Penunjang
Pada kista yang terinfeksi, pemeriksaan kultur jaringan dibutuhkan untuk
mengidentifikasikan jenis bakteri penyebab abses dan untuk mengetahui ada tidaknya infeksi
akibat penyakit menular seksual seperti Gonorrhea dan Chlamydia. Untuk kultur diambil swab
dari abses atau dari daerah lain seperti serviks. Hasil tes ini baru dilihat setelah 48 jam
kemudian, tetapi hal ini tidak dapat menunda pengobatan. Dari hasil ini dapat diketahui
antibiotik yang tepat yang perlu diberikan. Pembesaran glandula Bartholin pada wanita usia
lebih dari 40 tahun dan memiliki riwayat kista rekuren ataupun adanya abses rekuren
sebaiknya dilakukan biopsi atau eksisi. Semua massa solid membutuhkan FNA atau biopsi
untuk menentukan diagnosis definitif.3,5

I. Penegakan Diagnosis
Kebanyakan kista glandula Bartholin berukuran kecil dan asimptomatik kecuali adanya
minor discomfort selama kontak seksual. Dengan terjadinya infeksi pada kista atau pada kista
dengan ukuran yang lebih besar, pasien dapat mengeluhkan nyeri vulva hebat yang
menghalangi pasien untuk berjalan, duduk, atau melakukan aktivitas seksual. Gejala utamanya
adalah demam dan nyeri vulva unilateral akut.3,7
Pada anamnesis ditanyakan tentang gejala seperti:5
a) Panas
b) Gatal
c) Sudah berapa lama gejala berlangsung
d) Kapan mulai muncul
e) Faktor yang memperberat gejala
f) Apakah pernah berganti pasangan seks
g) Keluhan saat berhubungan
h) Riwayat penyakit menular seks sebelumnya
i) Riwayat penyakit kulit dalam keluarga
j) Riwayat keluarga mengidap penyakit kanker kelamin
k) Riwayat penyakit yang lainnya misalnya diabetes dan hipertensi
l) Riwayat pengobatan sebelumnya
Keluhan pasien pada umumnya adalah:5
a) Benjolan
b) Nyeri saat berjalan, duduk, beraktifitas fisik, atau berhubungan seksual
c) Umumnya tidak disertai demam, kecuali jika terinfeksi dengan mikroorganisme yang
ditularkan melalui hubungan seksual atau ditandai dengan adanya perabaan kelenjar limfe
pada inguinal
d) Pembengkakan area vulva selama 2-4 hari
e) Biasanya ada sekret di vagina, kira-kira 4 sampai 5 hari pasca pembengkakan, terutama
jika infeksi yang disebabkan oleh bakteri yang ditularkan melalui hubungan seksual
f) Dapat terjadi ruptur spontan
g) Teraba massa unilateral pada labia mayor sebesar telur ayam, lembut, dan berfluktuasi,
atau terkadang tegang dan keras
Pada pemeriksaan fisik, kista secara khas bersifat unilateral, berbentuk bulat atau ovoid,
dan berfluktuasi atau tegang. Jika terinfeksi, tampak area sekitar menjadi eritema dan lunak
serta nyeri tekan. Massa biasanya berlokasi pada inferior lipatan labium minora/majora atau
bagian bawah vestibulum pada posisi jam 4/5 atau 7/8, yang mana kebanyakan kista dan abses
menyebabkan asimetris pada labia. Kista yang lebih kecil dapat dideteksi hanya dengan
palpasi. Abses Bartholin pada ambang dekompresi spontan akan menunjukkan area
pelunakan, di mana ruptur kemungkinan besar akan terjadi.3,7

J. Diagnosis Banding
Kista duktus Bartholin dan abses glandular harus dibedakan dari massa vulva lainnya.
Karena glandula Bartholini biasanya mengecil saat menopause, pertumbuhan vulva pada
wanita postmenopause harus dievaluasi untuk kemungkinan terjadinya keganasan, khususnya
jika massa irregular, nodular dan indurasi persisten.5
a) Lesi vulva: kista sebaseus, kista disontogenetik, hematom, lipoma, fibroma,
hidradenoma, syringoma, endometriosis, myoblastoma, mamma abberans, leiomyoma,
tumor von recklinghausen, adenokarsinoma.5
b) Lesi vagina: kista inklusi vagina, endometriosis, adenosis, kista duktus gardner,
leiomyoma, hernia inguinalis.5

Beberapa diagnosis banding dari abses Bartholin:2,3


a) Kista Bartholin
Kista adalah kantung yang berisi cairan atau bahan semisolid yang terbentuk di
bawah kulit atau di suatu tempat di dalam tubuh. Kista Bartholin adalah kista yang
terdapat pada glandula Barholin. Bartolini bisa tersumbat karena berbagai alasan, seperti
infeksi, peradangan atau iritasi jangka panjang. Apabila saluran kelenjar ini mengalami
infeksi maka saluran kelenjar ini akan melekat satu sama lain dan menyebabkan
timbulnya sumbatan. Cairan yang dihasilkan oleh kelenjar ini kemudian terakumulasi,
menyebabkan kelenjar membengkak dan membentuk suatu kista. Suatu abses terjadi bila
kista menjadi terinfeksi.5
Kista Bartholin merupakan kista berukuran relatif besar yang paling sering dijumpai
pada glandula Bartholin. Kista Bartholin biasanya berukuran diameter 1-4 cm dan sering
berifat asimptomatik. Pasien dengan kista yang besar, dapat mengeluhkan adanya tekanan
pada vagina atau dyspareunia.3,4
Peradangan pada kista yang terbentuk akibat sumbatan ductus sekretorius dan
kelenjar Bartholin dapat juga terjadi secara kronis dan berlangsung hingga bertahun-
tahun. Untuk jenis ini, biasanya diameter indurasi kista, tidak mencapai ukuran yang besar
sehingga penderita juga tidak menyadari adanya kelainan ini. Lokasi kista juga berada di
dinding sebelah dalam pada 1/3 bawah labium majora. Infeksi sekunder atau eksaserbasi
akut yang berat dapat menyebabkan indurasi yang luas, reaksi peradangan, dan nyeri
sehingga menimbulkan gejala klinik berupa nyeri, dyspareunia, ataupun demam.4

Gambar 2.3 Kista Bartholin, tampak penonjolan yang asimetris3

b) Malignancy
Setelah menopause, kista dan abses Bartholin jarang terjadi dan kemungkinan adanya
neoplasia harus lebih diwaspadai. Bagaimanapun juga, carcinoma glandula Bartholin
jarang dan insidennya sekitar 0,1 per 100.000 wanita. Tumor malignant primer yang
berasal dari glandula Bartholin dapat berbentuk adenocarcinoma, squamous cell
carcinoma, ataupun transitional cell carcinoma. Insiden carcinoma glandula Bartholin
mencapai puncak pada usia pertengahan 60-an. Kebanyakan kasus adalah squamous
carcinoma atau adenocarcinoma. Adenocarcinoma glandula Bartholin jarang terjadi,
sekitar 1-2% dari malignancy vulva. Lesi muncul dengan kelenjar yang mengalami
pembesaran secara berangsur-angsur, asimptomatik, dan terjadi pada wanita
postmenopausal.2,3
Mengingat kelangkaan insiden kanker, eksisi glandula Bartholin biasanya tidak
diindikasikan. Sebagai alternatif, pada wanita di atas 40 tahun, dianjurkan untuk
dilakukan drainase kista dan biopsi area dinding kista secara adekuat untuk
menyingkirkan kemungkinan malignancy.3
c) Diverticulum urethrae dan Skene Gland
Oklusi ductus Skene gland atau glandula paraurethralis dapat menyebabkan
pembesaran kistik paraurethralis dan kemungkinan terbentuknya abses.3
d) Epidermoid cysts
Kista epidermoid yang juga dikenal sebagai epidermal inclusion atau sebaceous
cysts, umumnya ditemukan pada vulva, dan jarang di vagina. Vulvar epidermoid cyst
secara khusus terbentuk dari unit pilosebaceous. Kista epidermoid juga dapat diikuti
implantasi traumatik sel epidermal ke dalam jaringan yang lebih dalam. Ukuran kista
bervariasi, berbentuk bulat atau ovoid, dan kulit berwarna kuning, atau putih. Pada
umumnya, kista diisi dengan material viscous, berpasir, atau material caseous berbau
busuk. Kista dermoid biasanya tidak asimptomatik dan tidak membutuhkan evaluasi lebih
lanjut. Jika kista simptomatik atau terjadi infeksi sekunder, insisi dan drainase
direkomendasikan.3

Gambar 2.4 Epidermal inclusion cysts.

K. Terapi
Kista Bartholin yang berukuran kecil dan asimptomatik tidak membutuhkan intervensi
kecuali adanya tanda-tanda neoplasia pada wanita usia lebih dari 40 tahun. Pada kista yang
simptomatik dapat ditatalaksana dengan salah satu teknik, termasuk insisi dan drainase (I&D),
marsupialisasi, dan eksisi glandula Bartholin. Abses dapat ditatalaksana dengan I&D ataupun
marsupialisasi. Abses ductus glandula Bartholin tidak sesuai untuk dilakukan tindakan
prosedur eksisi glandula.3
a) Bartholinitis: Antibiotik spektrum luas
b) Kista Bartholin:
Kecil, asimptomatik : Dibiarkan
Simptomatis/ rekuren : Pembedahan berupa insisi + word catheter
Marsupialisasi
Laser varporization dinding kista
c) Abses Bartholin: Insisi (bedah drainase) + word catheter, ekstirpasi
Penanganan abses Bartholin sama dengan penanganan kista Bartholin simtomatis, namun
ada sedikit perbedaan. Prinsipnya berikan terapi antibiotik spektrum luas, dan lakukan
pemeriksaan kultur pus oleh karena ada kemungkinan disebabkan Gonorrhea atau Chlamydia,
meskipun 67% disebabkan oleh flora normal vagina.
1. Medikamentosa
Antibiotik oral yang dapat diberikan pada pasien abses Bartholin termasuk
trimethoprim-sulfamethoxazole, amoxicillin-clavulanate, generasi kedua cephalosporin,
atau fluoroquinolone, seperti ciprofloxacin. Pada kebanyakan kasus, kultur dilakukan.
Adapun, berdasarkan risiko pasien, NAATs untuk N gonorrhoeae dan C trachomatis dan
screening untuk STDs lainnya.3
2. Drainase Abses Bartholin
Dengan tindakan insisi dan drainase (I & D) saja, pada dasarnya dapat memberikan
penyembuhan dengan cepat tetapi kadang pula hanya bersifat sementara. Apabila
terbentuk ostium ductus yang baru, tepi insisi pada I&D akan menutup dan terjadi
reakumulasi mucus atau pus. Dengan demikian, I&D dengan langkah-langkah untuk
membuat ostium yang baru merupakan surgical goal.3
Resolusi permanen dari kista ataupun abses dapat dicapai dengan melakukan
tindakan marsupialisasi atau I&D dengan penempatan word catheter. Bagaimanapun
juga, jika obstruksi berulang terjadi, mengulangi prosedur tersebut lebih disarankan
dibandingkan eksisi glandula pada kebanyakan kasus. Bartholinectomy, membawa
morbiditas lebih besar yang signifikan jika dibandingkan kedua prosedur yang kurang
invasif.3
Preoperatif
a) Persetujuan/consent
Obstruksi ductus glandula Bartholin yang berulang setelah tindakan insisi dan
drainase awal, jarang terjadi selama hitungan minggu dan bulan setelah drainase.
Pasien dijelaskan kemungkinan dibutuhkan untuk mengulangi prosedur jika terjadi
obstruksi kembali. Dyspareunia biasanya adalah sequel jangka-panjang yang jarang
terjadi, tetapi pasien dinasehati mengenai potensi terjadinya dyspareunia. Jarang
terjadi, adanya infeksi jaringan dalam atau terbentuknya fistula rectovaginalis setelah
postoperatif.3
b) Indikasi
Insisi dan drainase diindikasikan untuk kista Bartholin tertentu yang memiliki
diameter ≥ 1 cm atau timbulnya kista dengan simptomatik (nyeri, lunak, mengganggu
aktivitas fisik atau seksual) dan/atau adanya abses Bartholin.2
Keuntungan: minimal trauma, nyeri sedikit, coitus tidak terganggu, dan tindakan
sederhana.5
c) Kontraindikasi
Tidak ada kontraindikasi absolut untuk tindakan insisi dan drainase kista ataupun
abses. Kontraindikasi relatif termasuk abses yang kompleks atau rekuren yang
membutuhkan drainase di bawah pengaruh general anestesi di ruang operasi.2
d) Anestesi
Insisi dan drainase kista ataupun abses Bartholin membutuhkan anestesi di
mukosa labia Anestesi lokal digunakan untuk kebanyakan kasus dan dapat dilakukan
dengan infiltrasi lapisan kulit, dan area sekitar insisi dengan larutan lidocaine 1 %
aqueous. Selain itu, dapat pula ditambahkan dengan analgesia intramuscular atau
intravena. Oleh karena adanya infiltrasi mukosa labia dengan anestesi lokal dapat
menimbulkan nyeri, narkotik intravena dan prosedural sedasi serta analgesia dapat
menjadi pilihan.2,3

Intraoperatif
a) Alat dan Bahan
Tujuan dari tindakan I&D ductus glandula Bartholin adalah untuk
mengosongkan cavitas kista dan membuat accessory epithelialized tract yang baru
untuk drainase glandula. Dengan demikian belakangan terakhir, digunakan Word
catheter. Alat ini dibuat dari latex tube stem dengan panjang 1 inch yang mempunyai
ballon yang dapat digelembungkan pada satu ujung dan tempat injeksi saline pada
ujung lainnya.3
Alat dan bahan yang digunakan dalam insisi dan drainase termasuk:2
1) Cairan antiseptik dan duk steril
2) Lidocaine 1%
3) Normal saline (NaCl 0,9%)
4) Syringe 3 cc, 5 cc, dan 10 cc
5) Needle 18 gauge (3)
6) Needle, 25 atau 27 gauge, 1,5 inch (untuk injeksi anestesi)
7) Scalpel blade (No.11) dan handle
8) Gauze pads (4×4)
9) Hemostat
10) Culture swab
11) Word catheter

Gambar 2.5 Word catheter3

b) Prosedur
Prosedur tindakan insisi dan drainase adalah sebagai berikut:2,3
1) Jelaskan prosedur, risiko, manfaat, komplikasi yang mungkin terjadi, pilihan
alternatif, dan perawatan post prosedur kepada pasien atau perwakilan legal
pasien. Lakukan informed consent tertulis. Sebaiknya, pengantar perempuan ada
di dalam ruang tindakan selama prosedur.
2) Posisikan pasien dengan posisi litotomi dorsal standar, lebarkan untuk membuka
labia. Seorang asisten dapat membantu melakukan traksi labia selama prosedur.
Gambar 2.6 Abses Bartholin2

3) Gunakan larutan povidone-iodine atau agen antiseptic lainnya untuk


membersihkan kulit labia ipsilateral dan area sekitar.

Gambar 2.7 Desinfeksi kulit2

4) Infiltrasi 2-3 mL lidocaine 1% secara subcutaneous di bawah mukosa labia


minora.

Gambar 2.8 Infiltrasi mukosa dengan lidocaine2

5) Abses atau kista besar yang tampaknya memiliki tekanan yang tinggi dapat
dilakukan needle-decompressed secara parsial sebelum insisi dengan blade,
dalam rangka mencegah drainase tekanan tinggi selama insisi. Dekompresi
jarum yang lengkap dapat menyulitkan untuk identifikasi pasti dari cavitas abses
dan sebaiknya dihindari.
Gambar 2.9 Needle aspiration2

6) Lakukan insisi area vestibular pada area yang berfluktuasi. Gunakan blade No.
11 untuk membuat insisi dengan panjang 0,5-1 cm menembus kulit, dinding
abses atau cavitas kista pada permukaan mukosa labia minora. Buat insisi
dibagian atas kista, hingga paralel terhadap hymenal ring pada arah jam 5 atau 7
(bergantung pada sisi yang terlibat), jika memungkinkan, serta posisinya pada
sisi medial Hart line. Posisi tersebut dibuat guna menirukan anatomi normal dari
muara guctus glandula dan mencegah pembentukan tractus fistulous terhadap
bagian luar labium majus. Untuk meminimalisir cedera scalpel, beberapa
merekomedasikan penggunaan small Keyes punch biopsy jika dibandingkan
membuat lubang secara simultan melalui kulit dan dinding kista.
Apabila akan dilakukan pemasangan Word catheter, insisi yang dibuat harus
lebih besar dari diameter kateter. Jika insisi terlalu besar, pasien tidak akan dapat
mempertahankan kateter dalam jangka waktu yang diinginkan. Sebaliknya, jika
dilakukan insisi standar dan drainase, insisi besar penting untuk diterapkan.

Gambar 2.10 Insisi abses Bartholin2


7) Keluarkan isi saccus secara manual dan gunakan hemostat untuk menghentikan
adhesi. Isi saccus dapat dipersiapkan untuk dikirim guna dilakukan pemeriksaan
kultur, dan suction system dapat digunakan untuk menampung cairan yang
keluar secara manual. Setelah drainase, cavitas dieksplorasi dengan ujung cotton
swab kecil untuk membuka lokulasi pus atau mucus potensial. Biopsi dinding
kista setelah drainase cavitas guna mengeluarkan kemungkinan adanya
carcinoma glandula Bartholin yang jarang terjadi, dipertimbangkan pada wanita
yang lebih tua dari 40 tahun, terutama pada kista dengan komponen solid, atau
rekurensi kista yang multiple.

Gambar 2.11 Drainase abses Bartholin2

8) Masukkan ujung dari Word catheter ke dalam cavitas abses dan injeksi 2-4 mL
normal saline melalui catheter hub untuk mengembangkan balon. Inflasi harus
mencapai diameter yang sesuai untuk mencegah kateter terlepas dari insisi.
Alternatif yang bisa digunakan adalah nonlatex 14F Foley catheter yang mana
cocok sebagai pengganti pada pasien yang alergi dengan material latex atau pada
kondisi tidak tersedia Word catheter. Inflasi dengan saline lebih disarankan
daripada udara, hal ini terkait dengan deflasi ballon prematur.

Gambar 2.12 Insersi Word catheter2


Gambar 2.13 Inflasi Word catheter2

9) Lipat ujung bebas kateter ke dalam vagina untuk mencegah kateter tercabut oleh
adanya traksi dari gerakan perineal normal. Pada banyak kasus, ujung bebas
kateter dibiarkan protrusi ke luar vagina. Kateter harus tetap pada tempatnya
selama 4 minggu untuk proses epitelisasi tractus. Pasien harus menghindari
vaginal intercourse saat kateter terpasang.2

Gambar 2.14 Posisi Word catheter2

10) Word catheter dibiarkan terpasang selama beberapa minggu untuk


meminimalkan kemungkinan rekurensi. Ketika proses healing selesai, fistula
permanen kecil terbentuk diantara cavitas kista dan area vestibular. Ukuran
ostium sangat kecil dan hampir tidak tampak.2

Postoperatif
Drainase kista ductus glandula Bartholin pada dasarnya tidak membutuhkan terapi
antibiotik. Namun pada kondisi dimana abses disertai dengan selulitis signifikan maka
antibiotik harus diberikan. Pilihan yang cocok termasuk trimethoprim-sulfamethoxazole,
doxycycline, atau cephalexin diresepkan selama 7-10 hari. Pada wanita yang menderita
immunocompromised sebaiknya dirawat untuk terapi antibiotik intravena hingga demam
atau eritema membaik.3
Pasien disarankan untuk berendam dalam warm tub bath dua kali sehari. Coitus
sebaiknya dihindari guna kenyamanan pasien dan mencegah displacement Word catheter.
Idealnya, kateter dipasang selama 4-6 minggu. Setelah 4 minggu akan terbentuk saluran
drainase baru dari kista Bartholin. Namun, seringkali kateter akan terlepas sebelum waktu
tersebut. Tidak diperlukan untuk mencoba dan menempatkan kembali kateter jika kateter
berubah posisi, dan berusaha untuk memasukkan kembali. Hal ini tidak memungkinkan
dilakukan karena terjadinya penutupan cavitas. Secara kosmetik hasilnya cukup bagus
karena orifisiumnya akan mengecil dan hampir tidak terlihat.3,5

3. Marsupialisasi dan Kateterisasi Word


Pada prosedur I&D ostium ductus yang baru seharusnya terbentuk pada abses ductus
Bartholin untuk mencegah daerah tepi insisi terjadi adhesi dan menyebabkan pus
terakumulasi kembali. Oleh karena itu, marsupialisasi dikembangkan dengan maksud
membentuk accessory tract untuk drainase glandula.3
Indikasi: Kista Bartholin kronik dan berulang. Keuntungan: komplikasi lebih kecil
dari ekstirpasi dan fungsi lubrikasi dipertahankan. Kerugian: rekurensi 10-15% karena
penutupan dan fibrosis orifisium.5
Marsupialisasi melibatkan tindakan membuka kista Bartholin atau abses dan
kemudian menjahit tepinya, dengan cara demikian akan terbentuk kantong terbuka
permanen dan memungkinkan terjadinya drainase continue. Prosedur ini dapat dikerjakan
di bawah pengaruh anestesi umum ataupun lokal, yang mana lebih sulit dibandingkan
kateterisasi Word, dan secara khusus dilakukan pada kista ataupun abses yang rekuren.2
Dengan diperkenalkannya teknik Word catheter, penggunaan marsupialisasi baik itu
pada kista ataupun abses Bartholin mengalami kemunduran. Pada umumnya, efektivitas,
tingkat komplikasi, dan rekurensi serupa antara prosedur marsupialisasi dan kateterisasi
Word. Kateterisasi Word, pada dasarnya lebih sederhana untuk dikerjakan dan harganya
tujuh kali lipat lebih murah dibandingkan marsupialisasi. Sedangkan, marsupialisasi
membutuhkan analgesia yang lebih besar, insisi yang lebih besar, penggunaan jahitan,
dan waktu prosedur yang lebih lama. Dengan demikian, prosedur marsupialisasi dipilih
pada pasien dengan abses atau kista yang besar, terjadinya rekurensi setelah gagal dengan
Word catheter, atau pada pasien yang memiliki alergi terhadap material latex.2,3
Preoperatif
Pasien diizinkan untuk diskusi menyangkut tindakan marsupialisasi dan prosedur
I&D ductus glandula Bartholin. Pasien diinformasikan tentang kemungkinan rekurensi
abses dan kista. Komplikasi postoperatif yang jarang terjadi adalah dyspareunia, infeksi
jaringan dalam, atau fistula rectovaginalis.3

Intraoperatif
a) Anestesi dan memposisikan pasien. Marsupialisasi dapat dilakukan pada pasien
rawat jalan dan prosedur dilakukan pada ruang operasi menggunakan unilateral
pudendal nerve block atau general anesthesia. Pasien ditempatkan pada posisi
litotomi dorsal standar.3
b) Insisi kulit. Insisi vertical atau elliptical sekitar 2 cm dibuat melalui kulit pada
penonjolan kista menggunakan scalpel dengan blade no.10 atau 15. Insisi dibuat pada
bagian atas kista, hingga mencapai dan paralel terhadap hymen pada arah jam 5 atau
7 (sesuai sisi yang terlibat), dan diposisikan pada medial Hart line. Posisi mengikuti
anatomi normal ostium ductus glandula dan mencegah terbentuknya fistulous tract
terhadap bagian luar labium majus.3
c) Insisi kista. Dibuat inisisi vertical kedua, kemudian buka dinding kista, dan berikan
tekanan sehingga pus atau mucus keluar. Pus dapat diambil untuk kultur. Allis clamp
ditempatkan pada dinding kista superior, inferior, lateral dextra, dan sinistra dan
keluarkan. Setelah drainase, cavitas dieksplorasi dengan ujung cotton swab kecil
untuk membuka lokulasi cairan potensial. Periksa secara hati-hati untuk mencegah
terjadinya perforasi melalui dinding ductus dan bulbus verstibulum terdekat dengan
kaya vascularisasi. Sebagai tambahan, biopsi dinding kista setelah drainase cavitas
dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan adanya adenocarcinoma glandula
Bartholin yang jarang terjadi. Hal ini dapat dipertimbangkan pada pasien dengan usia
lebih tua dari 40 tahun atau jika ditemukan komponen padat yang menyertai kista.3
d) Penutupan luka. Tepi dinding kista dijahit ke tepi kulit berdekatan dengan jahit
interuptus menggunakan 2-0 atau 3-0 gauge delayed-absorbable suture. Tidak
diperlukan tampon/drain.3,5
Gambar 2.15 Marsupialisasi glandula Bartholin3

Postoperatif
Penggunaan Cool pack selama 24 jam pertama setelah pembedahan dapat
meminimalisir nyeri, pembengkakan, dan pembentukan hematoma. Setelah itu, warm sitz
bath, satu atau dua kali sehari, berguna dalam hal pain relief dan wound hygiene. Aktivitas
dapat dilakukan kembali dengan cepat, meskipun coitus dicegah hingga penyembuhan
luka selesai.3
Pasien dapat kontrol kembali dalam minggu pertama setelah pembedahan untuk
memastikan tepi ostium tidak terjadi adhesi satu sama lain. Dalam 2-3 minggu,
penyusutan luka membentuk muara ductus dengan ukuran 5 mm atau lebih kecil lagi.
Tingkat rekurensi setelah marsupialisasi rendah. Dicatat oleh Jacob (1960) hanya 4
rekurensi pada 152 kasus.3

4. Eksisi/Ekstirpasi
Indikasi: Abses/kista persisten, abses/kista rekuren, terdapat indurasi pada basal kista
yang sulit dicapai dengan marsupialisasi, kista pada usia >40 tahun (dapat menjadi ganas).
Keuntungan: kecil kemungkinan rekuren. Kerugian/Komplikasi: perdarahan (a.
pudenda), hematoma, selulitis, pembentukan scar yang nyeri, sisa jaringan kista yang
tidak terangkat sepenuhnya sehingga dapat terjadi rekuren, fungsi lubrikasi tidak ada.5
Eksisi dilakukan jika terjadi rekurensi berulang. Sebaiknya tindakan ini dilakukan di
kamar operasi oleh karena biasanya akan terjadi perdarahan yang banyak yang berasal
dari plexus venosus bulbus vestibuli, dan pernah dilaporkan terjadinya septik syok pasca
tindakan. Komplikasi lain adalah selulitis dan dyspareuni.5

5. Sitz Bath
Kadang-kadang, perendaman dalam bak berisi air hangat (mandi sitz) beberapa kali
sehari selama tiga atau empat hari membantu mengecilkan kista dan kista terinfeksi dan
pecah.5

Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pengobatan abses Bartholin:2


a. Pada umumnya, antibiotik tidak diindikasikan pada pasien imunokompeten dengan abses
Bartholin. Antibiotik khususnya diberikan jika disertai selulitis.
b. Jika tidak tersedia Word catheter, insisi sederhana dan drainase dengan pembalutan dapat
dilakukan. Gauze packing harus dilepas dalam waktu 24-48 jam.
c. Semua pasien harus diinstruksikan untuk mulai sitz baths 1-2 hari post prosedur dan
menghindari vaginal intercourse hingga Word catheter atau pembalutan dilepaskan.
d. Berikan analgesik untuk pasien.
e. Pasien yang lebih tua dari 40 tahun sebaiknya dilakukan biopsi untuk kemungkinan
Bartholin gland cancer.
f. Pasien dengan rekurensi multiple dan riwayat pengobatan sebelumnya sebaiknya
dilakukan pengobatan definitif (complete excision).

Pasien yang mempresentasikan adanya tanda-tanda malignancy harus dilakukan follow-


up ginekologik yang ketat untuk dilakukan biopsi dan kemungkinan eksisi. Pada kista yang
tidak mengalami komplikasi dan asimptomatik, pasien dapat diinstruksikan untuk melakukan
sitz bath. Sitz bath (tiga kali sehari) selama beberapa hari dapat memberikan peningkatan
dengan resolusi atau ruptur spontan dengan resolusi dari kista.1

L. KOMPLIKASI
Komplikasi yang mungkin terjadi pada kasus abses Bartholin adalah sebagai berikut:2
a. Perdarahan
Perdarahan berlebihan adalah komplikasi potensial untuk prosedur pembedahan.
b. Rekurensi
Rekurensi adalah komplikasi paling umum setelah insisi dan drainase (± 30%).
Premature dislodgement dari Word catheter terjadi pada penutupan insisi dan tingginya
tingkat rekurensi.
c. Missed diagnosis dari Bartholin duct carcinoma
Malignant tumors dari jaringan ikat vulva sangatlah jarang terjadi. Ketika terlokalisir
pada area glandula Bartholin, tumor tesebut dapat disalah artikan sebagai lesi benigna,
yang menyebabkan tertundanya diagnosis. Bentuk jarang dari carcinoma ini memiliki
insiden sekitar 0,1 kasus per 100.000 wanita.
d. Infeksi progresif dan sepsis
Pasien dengan compromised immune systems dapat menunjukkan komplikasi jarang
berupa infeksi progresif dan sepsis. Terapi semua pasien immunocompromised dengan
antibiotik.
e. Komplikasi lain
Abses Bartholin dapat pula menyebabkan komplikasi seperti tachycardia fetal dan
maternal, chorioamnionitis (E.coli), dan sternoclavicular septic arthtitis.

M. PROGNOSIS
Kelalaian diagnosis dari adanya malignancy dapat memberikan outcome yang lebih buruk
pada pasien.1
DAFTAR PUSTAKA

1. Quinn A. Bartholin Gland Diseases. Medscape (Serial Online). 2017 (Citied 2017 December
25); Available from: <https://emedicine.medscape.com/article/777112-overview#showall >.
diakses tanggal: 10 Juni 2018
2. Shlamovitz GZ. Bartholin Abscess Drainage. Medscape (Serial Online). 2017 (Citied 2017
December 25); Available from:<https://emedicine.medscape.com/article/80260-
overview#showall>. diakses tanggal: 12 Juni 2018
3. Hoffman BL, Schorge JO, Bradshaw KD, Halvorson LM, Schaffer JI, Corton MM. Williams
Gynecology. Third Edition. United States: McGraw-Hill Education; 2016.
4. Anwar M, Baziad A, Prabowo P (editor). Ilmu Kandungan. Edisi ketiga. Jakarta: PT Bina
Pustaka Sarwono Prawirohardjo; 2014.
5. Schraga Erik D. Quinn Antonia.. Bartholin Gland Diseases Clinical Presentation. Available
from: <https://emedicine.medscape.com. diakses tanggal: 17 Juni 2018
6. Wiknjosastro H, Saifuddin AB, Rachimhadhi T (editor). Ilmu Kandungan. Edisi kedua.
Jakarta: PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo; 2009.
7. Norwitz ER, Schorge JO. At a Glance Obstetri dan Ginekologi. Edisi Kedua. Jakarta: Penerbit
Erlangga; 2008.

You might also like