You are on page 1of 11

TALASEMIA PADA KEHAMILAN

Pendahuluan
Talasemia merupakan kelainan monogenetik, bagian dari hemoglobinopati, disebabkan oleh
mutasi atau delesi gen globin alfa atau beta yang menyebabkan reduksi atau absennya produksi
rantai globin sehingga menimbulkan turunnya konsentrasi hemoglobin, mikrositosis, dan
anemia. Talasemia paling banyak ditemukan di daerah Mediterania, India, Asia Tenggara,
Cina, dan Timur Tengah. Terdapat beberapa jenis talasemia, dimana jenis yang memberikan
gambaran klinis penting adalah talasemia-, talasemia-/, dan talasemia-.1,2
Secara klinis, talasemia dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu: talasemia mayor, intermedia, dan
minor.
Hipogonadotropik hipogonad adalah endokrinopati yang paling sering didapatkan pada pasien
talasemia yang menerima terapi transfuse dengan hemosiderosis. Akumulasi besi pada kelenjar
ptuitari anterior, suatu jaringan dengan reseptor transferin tinggi, menyebabkan stress oksidatif
tadikal bebas, gangguan gonadotropin dan sekresi hormon pertumbuhan. Gangguan-gangguan
tersebut dapat mengakibatkan kegagalan pubertas, disfungsi seksual, infertilitas, dan
perawakan kerdil. Meskipun demikian, kehamilan pada pasien talasemia masih dapat terjadi.
Beberapa hal yang harus diperhatikan pada wanita hamil dengan talasemia diantaranya adalah
penilaian jantung, risiko infeksi, fungsi liver, dan komplikasi endokrin. Wanita dengan
talasemia-beta homozigot tampak sehat, sehingga memungkinkan untuk hamil dan memiliki
anak. Kejadian hiperkoagulasi dan komplikasi lainnya pada wanita hamil dengan talasemia
sering didapatkan, sehingga outcome dari kehamilan pada pasien talasemia bervariasi,
bergantung pada komplikasi maternal yang ada dan kerusakan organ karena penumpukan besi.
Oleh karena itu, penatalaksanaan talasemia pada wanita hamil yang tepat sangatlah penting.2,
3, 4

Epidemiologi
Kejadian anemia pada Ibu hamil di Indonesia berdasarkan Riskesdas tahun 2007 adalah
sebanyak 14%, dimana kebanyakan darinya adalah anemia mikrositik hipokrom (59% dari ibu
hamil yang anemia).5 Salah satu penyebab anemia mikrositik hipokrom adalah
hemoglobinopati. Hemoglobinopati merupakan salah satu kelainan genetik yang umum
ditemukan. Kira-kira 7% dari populasi global merupakan karier dan 300.000-500.00 anak lahir
sengan kelainan hemoglobin berat setiap tahunnya.2 Prevalensi talasemia-alfa, -beta, dan
alfa+beta secara berturut-turut di Cina adalah sebesar 7.88%, 2.21%, dan 0.48%.6
Patogenesis
Molekul hemoglobin normal mengandung inti grup heme non-protein yang dikelilingi oleh
empat rantai protein globin. Struktur dari subunit protein ini tersusun dalan struktur tetramer,
dan konstituennya bervariasi dari mulai masa embrionik hingga dewasa. Selama masa
embrionik, hemoglobin terdiri dari 2 subunit seta dan 2 subunit epsilon (Hb Gower). Mulai
minggu ke-6 dan 7 masa gestasi, hemoglobin berubah menjadi 2 subunit alfa dan 2 subunit
epsilon membentuk hemoglobin fetal (HbF). Struktur tetramer tersebut tidak berubah sampai
beberapa bulan setelah kelahiran, seiring berubahnya bentuk tetramer menjadi hemoglobin
dewasa, yaitu hemoglobin A (HbA). HbA terdiri dari dua subunit alfa dan dua subunit beta,
dimana yang lainnya juga membentuk hemoglobin dengan dua subunit alfa dan dua subunit
delta (HbA2) dengan jumlah kurang dari 3.5% dari seluruh hemoglobin dewasa. Talasaemia
dibagi menjadi beberapa jenis, tergantung pada rantai molekul globin yang mengalami
kelainan, dimana 2 jenis mayor-nya adalah talasemia-alfa dan talasemia-beta.4

Talasemia-alfa
Sintesis rantai globin alfa ditentukan oleh 2 locus genetic dari setiap kromosom 16, dengan
total jumlah 4 allele. Talasemia-alfa kebanakan disebabkan karena delesi gen atau, yang lebih
jarang, mutasi gen. Lebih banyak allele yang terpengaruh, maka manifestasi klinis yang timbul
juga akan lebih berat.
Ketika 2 allele terpengaruh, eitropoiesis masih dapat berlangsung dengan dua allele alfa,
meskipun dapat timbul anemia mikrositik hipokrom. Ketika kedua globin-alfa pada kromosom
yang sama abnormal atau terjadi delesi, maka akan disebut alfa-thal-1 atau alfa0-thal (sering
dijumpai di Asia atau Mediterania Timur). Jika dua gen terpengaruh terdapat pada kromosom
homolog yang berbeda, maka disebut alfa-thal-2 atau alfa+-thal (sering dijumpai pada
keturunan Afrika).
Ketika 3 allele terpengaruh, dengan satu allele alfa normal, produksi dari rantai globin alfa
akan terganggu secara signifikan. Rantai beta akan menjadi lebih banyak dan membentuk
tetramer yang tidak stabil, yang disebut dengan Hemoglobin H (HbH). Individu dengan HbH
akan mengalami anemia mikrositik hipokrom ringan-sedang dengan sel target dan Heinz
bodies (inclusion bodies; HbH yang mengalami presipitasi) pada apusan darah tepi. Transfusi
darah mungkin dibutuhkan pada kasus ini. Individu dengan HbH tipe non-delesi akan
mengalami anemia yang lebih berat dibandingkan tipe delesi, sehingga akan lebih
membutuhkan transfusi.
Ketika keempat allele terpengaruh, maka tidak ada rantai globin alfa, dan rantai gamma secara
berlebihan membentuk hemoglobin Bart in utero yang tidak stabil dan tidak efektif. Fetus yang
mengalami kelainan ini memberi gejala klinis anemia dengan kardiomegali, hydrops dan tidak
dapat bertahan hidup.4

Talasemia-beta
Sintesis rantai globin beta dua lokus genetik terjadi masing-masing pada satu kromosom 11.
Mutasi gen globin beta menghasilkan tidak adanya 0 atau kerusakan produksi rantai beta (+).
Pada kasus ini, rantai alfa dalam jumlah berlebihan akan berikatan dengan membrane sel darah
merah dan mengakibatkan kerusakan membrane. Penyakit ini dapat diklasifikasikan menjadi
talasemia minor (karier), intermedia, dan mayor tergantung dari jumlah berkurangnya sintesis
rantai globin-beta.4

Hemoglobin E
Hemoglobin E (HbE) merupakan suatu hemoglobin abnormal yang disebabkan karena adanya
mutasi tunggal gen beta, sehingga glutamat digantikan oleh lisin pada posisi rantai globin-beta.
HbE banyak ditemukan pada populasi di Asia Tenggara. Wanita dengan HbE homozigot akan
mengalami anemia hemolitik ringan, sedangkan HbE heterozigot tidak menimbulkan gejala
(asimtomatik). Ketika digabungkan dengan talasemia beta, fenotipenya dapat menjadi sama
parah dengan talasemia-beta mayor atau intermediate.4

Anemia Pada Kehamilan


Selama masa kehamilan, cadangan besi akan menurun dan kebutuhan akan meningkat untuk
meningkatkan eritrosit, ekspansi volume plasma dan agar perumbuhan feto-plasenta berjalan
dengan baik. Perubahan homeostatis akan merubah volume darah yang akan mulai meningkat
pada minggu keenam. Volume plasma akan terus meningkat sampai minggu ke-32 atau 34.
Perubahan jumlah volume plasma yang paling signifikan terjadi mulai dari minggu ke-20
sampai ke-30, dan hanya sedikit meningkat setelahnya. Oleh karena itu, estimasi konsentrasi
hemoglobin pada minggu ke-20 dapat menggambarkan anemia maternal dan mendeteksi risiko
perinatal yang berkaitan.7,8
Anemia pada kehamilan didefinisikan dengan level hemoglobin kurang dari 11% dan
hematocrit kurang dari 33% pada trimester pertama dan ketiga, serta kurang dari 10.5% dan
32% pada trimester kedua. Sekitar 6-30% wanita mengalami defisiensi besi pada kehamilan.
Pada studi yang dilakukan oleh Charles dkk, didapatkan Indeks Massa Tubuh (IMT), lingkar
lengan, dan banyaknya kontrol antenatal berhubungan secara signifikan dengan anemia. Studi
oleh Al-Mehaisen dkk juga menyebutkan bahwa usia gestasi, IMT, riwayat operasi
sebelumnya, konsumsi multivitamin pada kehamilan juga berhubungan dengan anemia.
Penyebab mayor dari anemia yang teridentifikasi di Etiopia diantaranya adalah penyakit
kronik, defisiensi besi dan defisiensi asam folat.7, 8
Insiden anemia yang disebabkan selain oleh defisiensi besi, didapatkan meningkat pada
populasi dari Afrika dan Asia. Etiologi anemia antara lain karena infeksi HIV dan
hemoglobinopati.7
Anemia dapat diklasifikasikan berdasarkan beberapa hal, yaitu berdasarkan: pathogenesis,
presentasi klinis, dan morfologi sel darah merah. Berdasarkan pathogenesis, anemia dibagi
berdasarkan dua penyebab yang berhubungan dengan produksi sumsum tulang, yaitu:
hiporegeneratif dan regeneratif. Pada hiporegeneratif, didapapatkan kegagalan produksi
eritrosit atau retikulosit, walaupun eritropoietin meningkat. Hal ini disebabkan karena
gangguan sel induk pluripotent, seperti sindroma mielodisplasia; leukemia; fibrosis; penyakit
infeksi; dan penyakit herediter, yang menimbulkan pasitopenia. Pada regeneratif, terjadi karena
adanya respons terhadap kehilangan eritrosit baik secara akut maupun kronik, sehingga
meningkatkan produksi eritropoietin yang kemudian diikuti oleh meningkatnya eritroit dan
retikulosit.7
Klasifikasi berdasarkan presentasi klinis dibagi menjadi akut (kehilangan darah akut,
hemolisis) dan kronik (infeksi, penyakit kronik).7
Klasfikasi berdasarkan morfologi sel darah merah berdasarkan WHO dibagi menjadi 3, yaitu:
- Normositik (anemia aplastik, gagal ginjal, hemolisis, dan perdarahan)
- Mikrositik (defisiensi besi, penyakit kronik, talasemia, anemia sel sabit, defek
hemoglobin E atau C, dan anemia sideroblastik)
- Makrositik (megaloblastik dan nonmegaloblastik).7

Diagnosis
Penegakkan diagnosis talasemia dapat dilakukan dengan beberapa pemeriksaan, yaitu:
1. Pemeriksaan Klinis
Gejala dan tanda yang muncul adalah gejala dari anemia hemolitik, antara lain seperti:
lemah, letih, lesu, pucat, hepatosplenomegali, dapat tampak ikterik, dan apabila
didapatkan langsung saat kelahiran, maka diduga talasemia-alfa dan bila didapatkan
beberapa bulan setelah lahir, maka diduga talasemia-beta.9
2. Pemeriksaan Penunjang
Urutan pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan adalah:
a. Pemeriksaan darah lengkap dan gambaran darah tepi
Pemeriksaaan darah lengkap menunjukkan turunnya kadar hemoglobin dengan
menurunnya mean corpuscular volume (MCV) < 70 fL. Mean corpuscular
hemoglobin (MCH) akan menurun baik pada karier talasemia maupun penderita
talasemia. MCH < 27 pg ditemukan pada karier talasemia, sedangkan MCH <
25 pg pada delesi allele alfa homozigot atau heterozigot dan pada mutase
talasemia beta. Karier alfa dan beberapa kelainan talasemia beta, dapat juga
menunjukkan hasil MCV atau MCH normal. Hasil pemeriksaan akan
menunjukkan gambaran anemia mikrositik hipokrom baik melalui MCV, MCH
dan gambaran darah tepi.4,9
b. Pemeriksaan konsentrasi ferritin
Selanjutnya, apabila ditemukan hasil anemia mikrositik hipokrom, maka
dilakukan pemeriksaan status besi dan konsentrasi ferritin. Pemeriksaan ini
digunakan untuk membedakan anemia mikrositik hipokrom yang juga dapat
ditemukan pada anemia defisiensi besi. Kunci dari tanda talasemia minor,
intermedia, atau mayor adalah anemia mikrositik hipokrom yang tidak
memberikan respons pada suplementasi besi.4,9
c. Pemeriksaan elektroforesis hemoglobin
Elektroforesis Hb merupakan baku emas diagnosis dan klasifikasi talasemia,
yaitu dengan pemisahan dan pengukuran fraksi hemoglobin dengan liquid
chromatography atau elektroforesis kapiler. Talasemia beta mayor
menunjukkan absen atau turunnya kadar HbA dan tingginya HbF persisten.
Talasemia beta, HbA2 didapatkan sedikit meningkat (>4%). Kelainan HbH (-,-
/-,) digambarkan dengan adanya pucat pada bayi baru lahir. Pada pemeriksaan
ini juga didapatkan 20% Hb Bart’s ditemukan pada periode neonatal dan level
bervariasi dari HbH pada periode-periode selanjutnya. HbH dengan badan
inklusi adalah tanda diagnostik dari talasemia-alfa. HbH badan inklusi dapat
tidak ditemukan apabila produksi rantai globin-alfa dan beta berkurang.
Defisiensi besi juga dapat memberi gambaran meningkanya HbH badan inklusi
negatif-palsu dan menurunkan level HbA2. Oleh karena itu, pemeriksaan
bentuk Hb normal pada anemia defisiensi besi tidak dapat mengeksklusi
kemungkinan talasemia. Pemeriksaan elektroforesis hemoglobin disarankan
diulang setelah defisiensi besi teratasi.2,4,9
d. Pemeriksaan analisis DNA
Pemeriksaan setingkat DNA dengan teknologi Gap-PCR standard atau sekuens
DNA direk hanya dapat dilakukan di laboratorium tertentu. Analisis DNA
dianjurkan untuk mengidentifikasi dan konfirmasi pasangan yang berisiko
talasemia, pada pemeriksaan prenatal dan pada diagnosis genetic
preimplantasi.6

Gambar 1. Penegakkan Diagnosis Talasemia

Tabel dibawah ini menunjukkan korelasi antara genotype dan fenotipe pada talasemia-alfa dan
talasemia-beta.
Definisi Genotipe Kromatografi Fenotipe dan gejala klinis
Normal ,/, Normal Hb, MCV, MCH normal, klinis
asimptomatik
Talasemia-+ ,-/, Normal Hb, MCV borderline dan MCH rendah,
heterozigot klinis asimptomatik
Talasemia-+ ,/,- Normal Sedikit anemis, MCV dan MCH rendah,
homozigot klinis asimptomatik
Talasemia-0 ,/-,- Normal Sedikit anemis, MCV dan MCH rendah,
heterozigot klinis asimptomatik
Kelainan HbH ,-/-,- HbH Anemis, MCH dan MMCH sangat rendah,
splenomegaly, perubahan tulang bervariasi
Talasemia  -,-/-,- Hb Bart’s Anemia hemolitik intrauterine non-imun
mayor bert, Hb Bart’s, hydrops fetallis, biasanya
fatal
Tabel 1. Korelasi antara genotype dan fenotipe talasemia-.9

Definisi Genotipe Kromatografi Fenotipe dan gejala klinis


Normal / Normal Hb, MCV, MCH normal, klinis
asimptomatik
Talasemia- -/ HbA2 > 4% Sedikit anemis, MCV dan MCH rendah,
klinis asimptomatik
Talasemia- -/0 atau HbF tinggi Anemis, MCV dan MCH sangat rendah,
intermedia +/+ splenomegaly, perubahan tulang bervariasi,
ketergatungan transfuse bervariasi
Talasemia- -0/-0 HbF>90% Anemia hemolitik berat, MCH dan MCV
mayor (tanpa dngat rendah, hepatosplenomegali,
tranfusi) ketergantungan transfusi kronik
Tabel 2. Korelasi antara genotype dan fenotipe talasemia-.9

Komplikasi Pada Kehamilan


Penyulit pada pasien talasemia yang sedang hamil disebabkan karena adanya perubahan-
perubahan fisiologis pada wanita hamil. Perubahan kardiovaskular karena kehamilan
menyebabkan meningkatnya metabolisme baik pada ibu dan fetus, dengan tanda dan gejala
klinis menyerupai gagal jantung. Selama kehamilan, jantung mengalami perubahan struktural
penting, seperti hipertrofi ventrikel kiri. Perubahan kardiovaskular pada wanita hamil tanpa
penyakit penyerta tidak akan menyebabkan gangguan, akan tetapi pada pasien talasemia,
komplikasi kelainan jantung adalah penyebab tersering kematian. Selain adanya overload besi
karena transfusi darah reguler dan terlambatnya terapi kelasi besi, pasien talasemia memiliki
kapasitas absorpsi besi intestinal lebih tinggi daripada individu normal, sehingga penumpukan
besi pada sel meningkat yang selanjutnya mempengaruhi rantai pernapasan mitokondria,
menyebabkan kontraktilitas otot jantung menurun. Pada talasemia, jantung yang mengalami
gangguan diharuskan memenuhi kebutuhan oksigen dengan vaskularisasi yang buruk diinduksi
oleh hemolisis kronik, sehingga menimbulkan dekompensasi ventrikel kiri, hipertensi
pulmonal, dan kemudian menyebabkan kegagalan ventrikel kanan.2
Pada talasemia, penumpukan besi diperkirakan sebagai etiologi utama yang mengganggu
keseimbangan imun, dengan proses inflamasi meningkat dikarenakan besi intrasel bebas yang
juga meningkat, sehingga komplikasi infeksi lebih mudah terjadi. Selain itu, infeksi virus
melalui tranfusi juga menjadi faktor risiko infeksi pada pasien talasemia. 2
Gangguan liver juga terjadi karena anemia hemolitik yang dapat menyebabkan kolelitiasis dan
berlanjut ke kolesistitis. Gangguan liver juga dapat terjadi karena penumpukan besi pada sel
hepar. 2
Osteopenia, osteoporosis, dan deformitas tulang dapat disebabkan karena eritropoiesis
ekstramedular, gangguan fungsi paratiroid atau metabolism kalsium, dan hipogonad.
Perawakan pendek dan deformitas tulang menjadi faktor kontribusi akan meningkatnya
persalinan section caesarea pada pasien talasemia.4
Selain infertilitas yang disebabkan karena penumpukan besi pada kelenjar ptuitari anterior dan
menimbulkan gangguan sekresi hormone pertumbuhan dan gonadotropin, penumpukan besi
pada pancreas juga dapat menyebabkan diabetes mellitus dan menimbulkan komplikasi
endokrin.2

Tatalaksana
- Manajemen dan Penilaian Pre-Kehamilan
Penilaian dan manajemen perencanaan kehamilan pada pasien talasemia harus
dilakukan dengan jelas. Hal-hal yang harus diperhatikan adalah: penilaian
kardiovaskular dengan echocardiography, penilaian fungsi hepar, skrining infeksi
virus, optimisasi kontrol diabetes dan thyroid replacement.
Manajemen yang dapat dilakukan diantaranya adalah: meninjau dan merubah
pengobatan bila diperlukan (suplemen asam folat, menghentikan terapi kelasi besi,
vitamin C, penghambat enzim konversi angiotensin, merubah agen hipoglikemik oral
menjadi insulin, menghentikan bifosfonat, pemberian kalsium dan vitamin D);
meninjau ulang status kesehatan pasangan pria; menentukan anibodi sel darah merah
dan genotype kelompok darah pasangan pria; dan optimalisasi gaya hidup (misalnya
berhenti merokok).4
- Manajemen dan Tatalaksana Antepartum
Pemeriksaan rutin harus dilakukan pada wanita hamil setiap bulan sampai minggu ke-
28 gestasi dan setiap 2 minggu sekali setelahnya. Hal-hal yang harus diperhatikan
adalah kelahiran premature, gawat janin, penyakit iskemik plasenta, hipertensi
gestasional, diabetes gestasional (skrining dimulai pada minggu ke-16 dan diulang pada
minggu ke-28, terutama pada talasemia heterozigot), dan splenomegali (pertimbangan
splenektomi pada masa gestasi atau setelah melahirkan).
Anemia pada talasemia biasanya memburuk pada masa kehamilan, karena adanya
anemia gestasional (sekunder terdadap meningkatnya cairan kompartemen tubuh).
Tranfusi pada wanita hamil ditujukan untuk mencapai Hb> 10 g/dL untuk memastikan
pertumbuhan janin berlangsung dengan baik. Pemeriksaan skrining antibodi harus
dilakukan dan darah yang diberikan harus dengan fenotipe sesuai sepenuhnya,
mempertimbangkan transfusi darah perdana pada ibu hamil yang memiliki aloantibodi,
yang dapat memperburuk kondisi anemia dan berkembang menjadi anemia hemolitik
berat setelah tranfusi disertai risiko transmisi virus. Aloantibodi yang melewati plasenta
juga dapat menyebabkan anemia hemolitik neonates dan/atau janin. Transfusi rutin
diberikan apabila terdapat perburukan anemia maternal dan bukti pertumbuhan janin
terhambat. Pada umumnya, wanita yang tidak menerima transfusi dengan Hb  8 g/dL
pada usia gestasi 36 minggu tidak disarankan menerima transfusi inisiasi, melainkan
dipertimbangkan pemberian eritropoietin sebagai alternatif.
Selama masa kehamilan, level hemoglobin maternal harus dijaga untuk mengurangi
kemungkinan hipoksia, tetapi transfusi intensif juga dapat memperburuk keadaan
hemosiderosis pada pasien dengan status overload besi, meningkatkan stress oksidatif
dan kerusakan organ, dimana pada wanita, teridentifikasi dengan adanya hemosiderosis
jantung atau fungsi ventrikel kiri yang kurang baik dapat menimbulkan komplikasi
jantung. Penumpukan besi harus ditatalaksana dengan medikasi apabila level ferritin
serum melebih 1000 ug/L, dimana biasanya terjadi setelah transfusi ke-10 hingga 20.
Oleh karena itu, terapi kelasi dapat membantu mengurangi penumpukan besi dan
membantu mengurangi radikal bebas dan proses inflamasi. Penggunaan deferoxamine
pada wanita hamil masih terus ditinjau keamanannya, akan tetapi beberapa ahli
mengatakan bahwa deferoxamine harus dihindari penggunaannya pada trimester
pertama, tetapi penggunaan secara subkutan dapat dipertimbangkan pada trimester
kedua dan ketiga bagi pasien dengan indikasi kuat. Sedangkan penggunaan
deferoxamine oral tidak diperbolehkan bagi wanita hamil. Pemberian terapi kelasi
harus dipertimbangkan berdasarkan keuntungan dan kerugiannya, yaitu potensi risiko
bagi janin.2,5
Risiko tromboemboli meningkat pada pasien talasemia karena hiperkoagulasi,
disebabkan oleh defek eritrosit yang mengaktivasi sel endothelial, mengeluarkan
prokoagulan disertai abnormalitas trombosit, defisiensi penghambat koagulasi,
disfungsi jantung dan hepar, dan defisiensi hormonal. Tromboprofilaksis dapat
diberikan pada pasien talasemia selama masa kehamilan dan postpartum dengan aspirin
dosis rendah yang efektif untuk mencegah preeklampsia, kelahiran premature, dan
pertumbuhan janin terhambat. Dosis aspirin yang diberikan adalah 75 mg/hari.
Pemberian aspirin disarankan pada wanita yang telah menjalani splenektomi dan
trombosit serum diatas 600x109/L, ditambah dengan low molecular weight heparin
(LMWH).
Monitoring janin dilakukan dengan ultrasound pada minggu ke-7-9 (karena tingginya
risiko miscarriage dan gestasi multipel), pada trimester pertama (minggu ke-11-14) dan
trimester kedua (minggu ke-18-21) dan setiap bulan sekali setelah minggu ke-24.
Suplementasi yang perlu dikonsumsi selama masa kehamilan adalah vitamin D,
kalsium (terutama untuk mencegah kelainan pada tulang), dan asam folat dengan dosis
5 mg/hari.
- Manajemen dan Tatalaksana Intrapartum
Sectio caesarea (SC) menjadi pilihan untuk wanita talasemia karena perawakan tubuh
yang cenderung lebih pendek, akan tetapi pada anestesi terutama blockade spinal, harus
dipertimbangkan bila terdapat deformitas tulang termasuk osteoporosis. Bila dilakukan
partus pervaginam, maka monitor terhadap janin harus dilakukan selama persalinan
untuk mengetahui apakah terjadi hipoksia atau tidak. Pada pasien yang bergantung pada
transfusi dan tidak menerima terapi kelasi, maka penumpukan besi toksik dapat terjadi
dan menyebabkan disritmia jantung. Oleh karena itu, pemberian deferoxamine via
intravena 2 gram dalam 24 jam direkomendasikan selama durasi persalinan.2
Pada saat persalinan, pemantauan terhadap jantung juga harus dilakukan dengan
monitor elektrokardiografi untuk mendeteksi adanya aritmia atau elevasi segmen ST.
Selain itu, hemoglobin juga harus dipertahankan minimal pada nilai 9.5 g/dl.10
- Manajemen dan Tatalaksana Postpartum
Pada masa postpartum, karena tingginya kemungkinan kejadian tromboemboli, maka
tromboprofilaksis LMWH harus diberikan di rumah sakit, diikuti sampai 7 hari setelah
persalinan normal atau 6 minggu setelah persalinan dengan SC. Terapi kelasi
deferoxamine aman diberikan pada wanita menyusui, dan diberikan juga dengan
kalsium dan vitamin D. Pemberian ASI dapat dilakukan bila tidak terdapat risiko
transmisi infeksi maternal dan bifosfonat dapat diberikan kembali setelah berhenti
menyusui bila terdapat indikasi. Penilaian terhadap bayi juga perlu dilakukan untuk
melihat abnormalitas kongenital, pemberian immunoprofilaksis hepatitis B dan
skrining terhadap sindroma talasemia.2, 4

REFERENSI
1. LI C-K. New trend in the epidemiology of thalassemia. Best Practice & Research
Clinical Obstetric & Gynaecology. 2016.
2. Petrakos G, Andriopoulos P, Tsironi M. Pregnancy in women with thalassemia:
challenge and solutions. International Journal of Women’s Health. 2016: 8L P441-51.
3. Chakrabarti S, et al. An Observational Study on Thalassemia in Preganancy and Its
Effects with A View to Find Measures for Reduction of Its Complications And
Improvement of Maternal And Perinatal Outcome. Journal of Evolution Medical and
Dental Sciences. 2014: 3 (5): P1149-55.
4. Leung TY, Lao TT. Thalassemia in pregnancy. Best Practice & Research Clinical
Obtetrics and Gynaecology. 2012: 26: P 37-51.
5. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan Republik
Indonesia. Riset Kesehatan Dasar 2007. 2008. P 148-150.
6. Lai K, Huang G, Su L, He Y. The prevalence of thalassemia in mainland China:
evidence from epidemiological surveys. Scientific Report. 2016: 7 (920): P 1-11.
7. Bencaiova G, Burkhardt T, Breymann C. Anemia—prevalence and risk factors in
pregnancy. European Journal of Internal Medicine. 2012: 23: P 529-533
8. Horowitz KM, Ingardia CJ, Borgida AF. Anemia in Pregnancy. Clin Lab Med. 2013:
33: P 281-291.
9. Peters M, Heijboer H, Smiers F, Giordano PC. Diagnosis and management of
thalassaemia. BMJ. 2012: 344: P 40-44.
10. Roth CK, Puttbrese A, Ottley C. Thalassemia Syndromes in Pregnancy. Nursing for
Women’s Health. 2016; 20 (4); 415-20.

You might also like