You are on page 1of 13

PEMBERDAYAAN PEREMPUAN MELALUI

TAFSIR KESETARAAN GENDER

Zahrina Ghassani Amalina

Jurusan Akuntansi, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Diponegoro

Jl. Prof. Soedarto, SH, Kampus Undip Tembalang, Semarang, Indonesia

*)Korespondensi
: zahrina.ghassani97@gmail.com

Abstract

Gender equality is a discourse that is still hotly discussed by Muslim feminists. The initiators and supporters of
gender equality often question Islamic law which is considered unfair and position men and women differently such
as the imposition of a call to prayer, Friday prayers, the number of goats when aqīqah on one side, and breastfeeding
and care for other children. this study tries not only to elaborate on a number of products of the Qur'an's
reinterpretation of the female version of the Hermeneutics model but also shows the history of the feminist deology
and the inaccuracy of the use of hermeneutical interpretations. Feminism departs from the ideology of hatred as a
form of resistance to the oppression of women that occurred in Western-Christian civilization in the past.
Hermeneutic interpretation methods also come from the Christian academic tradition which considers the text of the
Bible not as a revelation. Both of these conditions are diametrically opposed to facts in the Islamic tradition. The
text of the Qur'an, in Islam, is not a product of culture, but revelation. Islam does not have a history of oppression of
women, even positioning women in noble positions. The difference in roles given to men and women is intended so
that both can be maximally beneficial in the world, to work together and complement each other to achieve world
and the hereafter happiness.

Keywords : equality, feminism ,gender, hermeneutics, interpretation, women .

Abstrak

Kesetaraan gender merupakan diskursus yang tetap hangat diperbincangkan para feminis muslim. Penggagas dan
pendukung kesetaraan gender tidak jarang mempersoalkan hukum Islam yang dianggap kurang adil dan
memposisikan laki-laki dan perempuan secara berbeda seperti pembebanan adzan, shalat Jum’at, jumlah kambing
saat aqīqah di satu sisi, dan pembebanan menyusui dan merawat anak disisi yang lain.Melalui content analysis
kajian ini mencoba tidak saja untuk mengelaborasi sejumlah produk reintepretasi al-Qur’an model
Hermeneutika versi kaum perempuan tetapi juga menunjukkan sejarah ideologi feminisme serta ketidaktepatan
penggunaan tafsir hermeneutika. Feminisme berangkat dari ideologi kebencian sebagai bentuk perlawanan
terhadap penindasan perempuan yang terjadi dalam peradaban Barat-Kristen di masa lalu. Metode tafsir
Hermeneutika juga berasal dari tradisi akademis Kristen yang menganggap teks Bible bukan sebagai wahyu.
Kedua kondisi ini berseberangan secara diametral dengan fakta dalam tradisi Islam. Teks al-Qur’an, dalam Islam,
bukanlah produk budaya, melainkan wahyu. Islam tidak memiliki sejarah penindasan terhadap kaum perempuan,
bahkan memposisikan perempuan dalam posisi yang mulia. Perbedaan peran yang diberikan kepada laki-laki dan
perempuan ditujukan agar keduanya dapat bermanfaat secara maksimal di dunia, untuk saling bekerja sama dan
melengkapi demi mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat.

Kata kunci : feminisme ,gender, hermeneutik , kesetaraan,perempuan,tafsir.

1. Pendahuluan

Isu kesetaraan gender berasal dari Barat, yang bermula pada pandangan negatif masyarakat Barat
terhadap wanita. Cara pandang ‘gender equality’ di Barat tidak terlepas dari latar belakang sejarah Barat
yang di masa lalu berlaku sangat kejam terhadap wanita. Selain itu, pandangan ‘sebelah mata’ terhadap
kaum perempuan (misogyny) dan berbagai anggapan buruk (stereotype) serta citra negatif yang dilekatkan
pada wanita. Hal ini menyebabkan para penggerak kesetaraan gender untuk memusatkan segala perhatian
untuk melukiskan dan mengutuk ketidakadilan yang diderita kaum wanita sebagai akibat dari hukum
yang dibuat oleh laki-laki.
Perbedaan gender telah melahirkan berbagai perlakuan tidak adil dan diskriminatif terhadap kaum
perempuan. Gender yang awalnya merupakan interaksi sosial yang setara antara laki-laki dan perempuan
mengalami pergeseran sehingga melahirkan hegemoni laki-laki terhadap perempuan. Dalam proses
historis yang panjang, hegemoni laki-laki atas perempuan telah memperoleh legitimasi dari nilai-nilai
sosial , agama, hukum dan sebagainya. Hegemoni tersebut terisolasi secara turun temurun , dari generasi
ke generasi. Pergeseran relasi gender inilah yang membentuk lahirnya masyarakat patriarkal. Dimana
laki-laki menguasai dan menjadi superior di berbagai sektor kehidupan. Melihat kondisi yang demikian,
kaum perempuan merasa terbangun dari tidur panjangnya, dan mulai sadar untuk mengambil hak-haknya
yang selama ini didominasi kaum laki-laki. Perjuangan kaum perempuan untuk memperoleh kembali
kemerdekaannya inilah yang melahirkan gerakan Feminisme.
Gerakan feminisme yang mengusung pembebasan perempuan dari ketertindasan dan mengeluarkan
perempuan dari hegemoni budaya patriarkal, mau tidak mau memasuki ranah kritik teologis. Dan dengan
cepat menyebar ke berbagai agama di dunia. Upaya gender memasuki wilayah agama membuat persoalan
menjadi tambah kompleks. Karena pada umumnya, ketidakadilan gender merupakan masalah agama.
Sehingga tradisi dan khazanah keagamaan dipertanyakan ulang. Isu ketidakadilan gender yang tadinya
hanya dilakukan oleh kaum liberlisme kristen, namun secara perlahan tapi pasti ikut mempengaruhi
Islam. Hal ini menyebabkan para muslimah (feminis muslim) yang terlibat dalam wacana kesetaraan
gender berlomba-lomba melakukan perombakan terhadap konsep-konsep Islam tentang wanita, dan
kemudian disesuaikan dengan nilai-nilai modern yang berlaku sekarang. Dalam perspektif feminis
muslim, sangat banyak hukum yang sekarang berlaku dalam masyarakat muslim adalah merupakan hasil
konstruksi kaum laki-laki. Sehingga perlu membuat hukum tandingan, yang sesuai dengan perspektif dan
kepentingan perempuan.
Di bawah bendera feminisme, kaum perempuan mulai mendekati dan berusaha sedekat mungkin
hingga sejajar dengan laki-laki. Hal inilah yang juga dilakukan oleh sebagian muslimah yang sudah
terbius virus feminisme. Tidak sedikit dari feminis muslim yang berusaha menjadikan emansipasi sebagai
gerbang menuju kesejajaran dengan laki-laki, baik domestik maupun publik. Dalam kacamata feminis
(muslim dan non muslim), laki-laki merupakan entitas yang suka menerabas tanpa pamit ruang publik dan
sekaligus sebagai kekuatan tersendiri dalam menempatkan diri sebagai kekuatan sosial yang berdiri di
atas perempuan secara sosial. Hal ini menjadikan perempuan dalam kelas inferior di hadapan laki-laki,
dan sebaliknya laki-laki berada dalam kelas superior.
Gerakan kaum feminis muslim liberal pada mulanya memiliki semangat yang sama dengan gerakan
feminisme lainnya, yaitu berjuang melawan sistem dan konstruk sosial yang dilandasi seksisme dan
patriarkisme. Akan tetapi, kaum feminis Muslim telah berbuat sangat ceroboh dengan menjiplak – sadar
atau tidak – metode penafsiran Bible di kalangan feminis Kristen. Kelompok ini banyak mempertanyakan
hukum-hukum Islam yang dianggap tidak adil dan merendahkan perempuan, seperti mengapa
perempuan tidak dibebani kewajiban adzan, shalat Jumat, menyembelih dua kambing saat aqiqah, namun
dibebani kewajiban menyusui dan merawat anak. Mereka menuntut adanya reintepretasi al-Qur’an versi
kaum perempuan. Tuntutan ini berasal dari ide penafsiran al- Qur’an secara hermeneutika.
Para feminis juga menuduh para mufassir dan ulama fiqih laki-laki telah menyusun tafsir dan
kitab fiqih yang bias gender. Tuduhan itu tentu saja sangat tidak benar. Bisa saja sebagian pendapat
mereka keliru. Tetapi menuduh mereka memiliki motif jahat untuk menindas wanita dan melestarikan
hegemoni laki-laki atas wanita, merupakan kecurigaan yang bias gender. Lagi pula, sepanjang sejarah,
telah lahir ulama-ulama wanita dalam berbagai bidang. Pendapat mereka tidak berbeda dengan pendapat
ulama laki-laki.
Saat ini, kaum feminis menilai positif Perempuan berada dalam suatu sistem yang diskriminatif,
alias tertindas. Penilaian ini didasarkan pada realita bahwa posisi kaum Perempuan di masyarakat
tertindas oleh suatu sistem dan struktur gender. Karenanya ketidakadilan ini harus dihentikan. Menurut
kaum feminis, sebab utama proses ketidakadilan tersebut berakar pada ideologi yang didasarkan kepada
keyakinan agama. Kaum Perempuan dianggap sebagai korban ketidakadilan dalam berbagai bentuk dan
aspek kehidupan yang dilegitimasi oleh suatu tafsiran sepihak dan dikonstruksi oleh budaya syari’at.
Misal, tafsir tentang masalah kepemimpinan, warisan, kesaksian, yang dinilai patriarki (memihak laki-
laki). Untuk itu, penafsiran-penafsiran teks agama yang terindikasi mengarah pada hal-hal yang berbau
diskriminatif harus ditafsirkan ulang. Jadi, setiap penafsiran yang mengabaikan kesetaraan gender
menurut pandangan feminis harus dibongkar.
1. Landasan Teori
Wacana kesetaraan gender (50/50) –perspektif Barat– jelas tidak sesuai dengan al-Qur’an,
walaupun dalam al-Qur’an sendiri terdapat banyak ayat tentang kesetaraan keduanya. Namun itu
bukanlah seperti yang disuarakan pembela serta pengikut feminisme. Terlebih lagi kesetaraan gender
yang sekarang disuarakan oleh kaum feminis adalah merupakan ideologi marxis, yang menempatkan
perempuan sebagai tertindas dan laki-laki sebagai penindas. Dengan ideologi yang demikian, kaum
feminis muslim akan terus-menerus mencoba menggali dasar-dasar Islam tidak dengan cita-cita Islam,
melainkan cita-cita yang dibangun atas kepentingan kaum feminis sendiri. Dan agenda kaum feminis dari
awal abad hingga saat ini adalah, bagaiman mewujudkan kesetaraan gender secara kuantitatif, yaitu pria
dan wanita harus sama-sama (fifty-fifty), baik domestik maupun publik.
Melihat fenomena wacana kesetaraan gender yang banyak disuarakan feminis, dapat diketahui
bahwa kaum feminis muslim terjebak dalam pemahaman konsep “gender equality” yang jelas tidak
berasal dari Islam. Hal ini karena kerangka berfikir kaum feminis sudah terpengaruh oleh worldview yang
bukan Islam. Jika kerangka berfikir kaum feminis dibangun atas ‘worldview Islam’, yang tersusun atas
konsep-konsep dasar tentang tuhan, manusia, kebenaran, ilmu, kenabian, wahyu dan sebagainya, maka
segala penafsiran yang dianggap sebagai bias akan dimaknai sebagai sebuah keserasian, sebagaimana
para ulama Islam sebelumnya.
Keserasian dalam Islam seumur Islam itu sendiri, karena Islam yang membebaskan manusia dari
ketidakadilan yang merupakan warisan zaman jahiliyah. Islam datang memberikan kesamaan dan
kesetaraan antara laki-laki dan perempuan tanpa ada perbedaan antara keduanya. Segala hukum yang
dibebankan kepada laki-laki, juga dibebankan kepada perempuan, tanpa perbedaan, kecuali ada dalil
syar’i yang mengkhususkan salah satunya, dan itulah yang mengecualikan dari kaidah yang
menyertainya. Karena asal dari Islam itu sendiri adalah asas persamaan, baik hak maupun kewajiban. Dan
adapun yang menjadi pembeda antara keduanya adalah tabi’at penciptaannya, yang melahirkan perbedaan
biologis. Perempuan sesuai dengan tabi’atnya, demikian halnya laki-laki, sesuai dengan tabi’at
penciptaannya.
Memang, dengan perubahan zaman dan struktur sosial dalam masyarakat, mau tidak mau ikut
merubah cara berpikir masyarakat. Tuntutan masyarakat modern tentu sangat berbeda dengan masyarakat
tradisional. Perubahan sosial yang terjadi dalam masyarakat akan mempengaruhi corak berpikir
masyarakat. Hal ini juga yang ikut merubah makna kesetaraan yang dimaksudkan Islam menjadi
kesetaraan mutlak menurut pandangan Barat. Padahal, laki-laki dan perempuan muslim sudah memang
terbebas dari segala hal yang mengekang, menjadikan mereka taqlid buta (ke Timur ataupun ke Barat),
dari jeratan kemiskinan, kebodohan dan kedzoliman. Yang mereka butuhkan hanyalah kembali kepada
hukum (syari’at) yang telah diturunkan Allah swt, tanpa merubah apalagi menolaknya.
2.1. Validitas Konsep Gender Equality

Konsep gender equality yang digagas kaum feminis dalam masyarakat Islam –seperti Amina
Wadud, Musdah Mulia, dan sebagainya– merupakan konsep yang berasal dari ideologi Marxis
yang tidak menerima perbedaan fitri dan jasadiah antara laki-laki dan wanita. Padahal, jika
ditelaah, kaum feminis itu sendiri tidak konsisten dalam menyikapi pembedaan (diskriminasi)
antara pria dan wanita.
Dalam lapangan olah raga, misalnya, kaum feminis tidak memprotes diskriminasi gender.
Tetapi, dalam lapangan ibadah, mereka menolak. Olah raga merupakan contoh yang jelas
bahwapria dan wanita memang berbeda. Cabang olah raga tinju, sepak bola, gulat, bulu tangkis,
dan sebagainya, membedakan antara kelompok wanita dan kelompok pria. Kaum feminis tidak
meminta agar dalam cabang-cabang olah raga itu mereka disejajarkan dengan pria. Mereka
menerima “diskriminasi” ini. Tetapi, mereka merasa dianaktirikan karena tidak boleh khutbah
Jumat dan dalam shaf shalat harus berada di belakang laki-laki.
Jika konsep gender equality dijadikan sebagai standar berpikir dalam menafsirkan
teks al-Quran, maka akan terjadi perombakan hukum Islam secara besar-besaran. Itulah, misalnya,
yang dilakukan oleh Musdah Mulia dan kawan-kawan. Tahun2004, Tim Pengarusutamaan
Gender Departemen Agama Republik Indonesia menerbitkan sebuah buku bertajuk Pembaruan
Hukum Islam: Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam. Buku ini telah menjadi perdebatan
hebat di Indonesia, sebab untuk pertama kali dalam sejarah Indonesia, sekelompok cendekiawan
dari kalangan Muslim yang memiliki perhatian terhadap masalah gender equality dan berada di
bawah naungan Departemen Agama mengeluarkan legal draft yang sangat kontroversial. Di antara
pijakan pembuatan buku ini ialah paham Pluralisme Agama, di samping konsep gender equality.
Beberapa pasal yang menimbulkan kontroversi hebat di antaranya: Pertama, asas
perkawinan adalah monogami (pasal 3 ayat 1), dan perkawinan di luar ayat 1 (poligami) adalah
tidak sah dan harus dinyatakan batal secara hukum (pasal 3 ayat 2). Kedua, batas umur calon suami
atau calon istri minimal 19 tahun (pasal7 ayat 1). Perkawinan yang dilakukan oleh laki-laki dan
wanita di bawah usia tersebut –meskipun keduanya sudah baligh– tetap dinyatakan tidak sah.
Ketiga, perkawinan beda agama antara muslim atau muslimah dengan orang non muslim
disahkan (pasal54). Keempat, calon suami atau istri dapat mengawinkan dirinya sendiri (tanpa
wali), asalkan calon suami atau istri itu berumur 21 tahun, berakal sehat, dan rashid/rashidah. (pasal
7 ayat 2). Kelima, ijab-qabul boleh dilakukan oleh istri-suami atau sebaliknya suami- istri (pasal
9). Keenam, masa iddah bukan hanya dimiliki oleh wanita tetapi juga untuk laki-laki. Masa iddah
bagi laki-laki adalah seratus tiga puluh hari (pasal 88 ayat 7(a)). Ketujuh, talak tidak dijatuhkan
oleh pihak laki-laki, tetapi boleh dilakukan oleh suami atau istri di depan Sidang Pengadilan
Agama (pasal 59). Kedelapan, bagian waris anak laki-laki dan wanita adalah sama (pasal 8 ayat 3,
bagian Kewarisan).
Konsep kesetaraan gender adalah salah satu agenda penting dari Liberalisasi Islam. Seperti
ditulis Budhy Munawar-Rachman, agenda-agenda Islam Liberal dalam masalah kesetaraan gender
adalah: (1) Menciptakan kondisi perempuan yang memiliki kebebasan memilih (freedom of choice)
atas dasar hak-haknya yang sama dengan laki-laki, (2) Perempuan tidak dipaksa menjadi ibu rumah
tangga, dimana ditekankan bahwa inilah tugas utamanya (bahkan kodrat) sebagai perempuan.
“hai sekalian manusia, sesungguhnya kami menciptakan kalian dari seorang laki-laki dan
seorang perempuan dan menjadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kalian
saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah adalah yang
paling bertaqwa di antara kalian. Sesungguhnya Allah maha mengetahui lagi maha mengenal.”
(QS. Al-Hujuraat:13)
Berdasarkan ayat di atas (dan masih banyak ayat yang semakna dengan ayat di atas),
sangat jelas al-Qur’an mengangkat manusia, tidak ada perbedaan antara yang satu dengan yang
lain, kecuali dalam ketaqwaan kepada sang pencipta. Hal ini juga menegaskan bahwa, sistem relasi
antara laki-laki dan perempuan dimasyarakat sesuai dengan norma ajaran Islam. Maka, berkaitan
dengan ini, masalah ketimpangan gender yang sering dianggap sebagai permasalahan sebenarnya
telah selesai, karena bagaimanapun, ketimpangan gender yang sedang marak saat ini sudah tidak
dianggap menjadi masalah dalam Islam. Justru agama Islamlah yang mengangkat kaum perempuan
sesuai dengan fungsi serta perannya.

2. Hasil dan Pembahasan


3.1. Prinsip-prinsip kaum feminis

Dalam menafsirkan Al-Qur’an yang dianggap tidak adil terhadap kaum perempuan, para
feminis menerapkan kaidah atau prinsip-prinsip tafsir tersendiri. Nasaruddin Umar misalnya, dalam
(Argumen Kesetaraan Gender dalam Prespektif Al-Qur’an, 2011) telah merumuskan beberapa
langkah metodologis tafsir kesetaraan dalam menafsirkan Al-Qur’an. Ia menekankan
kontekstualisasi ijtihad atas teks dengan mengedepankan komitmen rasionalitas. Hal ini berbeda
dengan jumhur ulama yang melakukan penggalian makna teks terlebih dahulu kemudian
kontekstualisasi makna tersebut. Bagi kaum feminis, teks harus tunduk pada konteks atau budaya.
Teks Al-Qur’an dalam pandangannya setara dengan teks-teks naskah lainnya yang tidak memiliki
makna kesucian. Al-Qur’an bagi mereka (feminis) ditempatkan sebagai respon terhadap kondisi
masyarakat ketika itu, sehingga sifatnya kontekstual. Alasannya Al-Qur’an tidak turun dalam ruang
hampa alias ada sebab-sebab diturunkan (asbab al-nuzul). Ia dipengaruhi oleh budaya ketika ia
diturunkan. Padahal menurut jumhur ulama, tidak sampai 30% ayat-ayat Al-Qur’an mempunyai
asbab al-nuzul (Makna Khalil al-Kattani, Ilmu-ilmu Al-Qur’an, 2007).
Sleanjutnya dalam istinbad hukum para feminis berpedoman pada kaidah ushuliyah “al-
‘ibrah bi khusus al-sabab la bi ‘umum al-lafdz(perintah itu adanya karena sebab khusus, bukan
karena kata-kata umum). Ini berarti, setiap menggali hukum dari teks, maka terlebih dahulu harus
melihat dalam konteks apa dan bagaiman teks tersebut turun, bukan melihat teks itu sebagai
perintah yang berlaku umum. Karena belum tentu teks yang diturunkan tersebut sesuai dengan
zaman setelahnya. Oleh sebab itu menurut para feminis hukum syariat itu temporal dan tidak
universal.
Selanjutnya paham relativisme dan humanisme sangat mempengaruhi paham kesetaraan
gender. Hal ini dapat dilihat dari padangan Nasruddin Umar yang menyatakan bahwa bahasa Arab
merupakan media patriarki dari firman-Nya. Pandangannya ini menjadikan humanisme sebagai
landasan tafsirnya.
Bila mengikuti cara pandang feminis diatas, akan terlihat bahwa mereka telah merubah
paradigma syari’ah yang berorientasi ilahiyah kepada antroposentris an-sich. Hal ini dilakukan
dengan menghilangkan peran Tuhan dalam pembentukan syari’ah. Syari’ah dipandang hanyalah
konstruksi manusia yang sangat dipengaruhi oleh budaya dan tidak ada bedanya dengan peraturan-
peraturan lain yang dibuat manusia. Implikasi dari pandangan tersebut, akan menghilangkan spirit
penghambaan kepada Tuhan. Karena syari’ah dalam Islam merupakan jalan untuk mengabdikan
diri kepada Tuhan. Ini akan berujung pada hilangnya peran Tuhan dalam kehidupan manusia.
Disinilah doktrin humanisme sangat mewarnai cara pandang mereka kedalam teks keagamaan.
Di samping itu dekonstruksi syari;ah juga dilakukan dengan mempersoalkan mashlahah
dalam syariat yang dianggap bias. Mashlahah merupakan bentuk finalitas tujuan dari deretan
panjang proses pewahyuan dan pembentukan syariat dalam Islam yang tertuang dalam maqashid
al-syariah. Mereka berpandangan bahwa maqashid al-syariah yang tertuang dalam tafsir tidak
mengandung maslahah bagi perempuan. Oleh karena tujuan ditetapkannya hukum Islam adalah
untuk menciptakan maslahah kepada umat manusia (humanisme), maka maqashid al-syariah itu
lebih utama dari syari’ah. Dengan argumentasi ini, mereka memunculkan sebuah kaidah ushuliyah
baru yaitu, “ai ‘ibratu laisat bi khusus al-sabab wa la bi ‘umum al-lafazd wa innama bi al-
maqashid” (perintah itu bukan karena sebab khusus dan bukan karena kata-kata umum, karena ada
tujuan syariah).
Lebih jauh, dekonstruksi syari’ah juga dilakukan melalui kritik sejarah atau kontekstualisasi
ijtihad. Metodologi instibat hukum (Usul Fiqih) yang ada saat ini, dianggap tidak relevan dan
bersifat subyektif-ideologis, sehingga memerlukan metodologi yang lebih obyektif. Salah satu
pendekatan yang dianggap obyektif adalah pendekatan sejarah. Menurut Muhammad Syahrur, (al-
kitab wa al-Qur’an, Qira’ah Mu’ashirah, 1992) “Penerapan ayat-ayat hukum pada alam realitas
adalah aplikasi relatif-historis. Dengan demikian gugurlah qiyas dan tetaplah ijtihad terhadap ayat-
ayat hukum. Prinsipnya adalah akal dan kesesuaian ijtihad dengan realitas objektif”.
3.2. Problem pentafsir kaum feminis tentang poligami

Diantara syari’at Islam yang paling banyak ditentang dan ingin dihapus oleh para feminis
liberal adalah poligami. Warisan, kepemimpinan, saksi dan lain sebagainya tidak luput dari
gugatannya. Penulis hanya mengambil sampel poligami sebab poligami yang paling banyak
dipermasalahkan. Dalam pandangan Siti Musdah Mulia (Islam Menggugat Poligami, 2004)
menjelaskan bahwa poligami telah menjadi lembaga penindas nomor wahid sekaligus tempat
pelecehan martabat kaum perempuan. Bahkan poligami merupakan institusi perbudakan bagi
kaum Hawa. Berbagai permasalahan akut dan rasa penderitaan yang dialami kaum hawa yang
dimadu, telah mematri kecurigaan yang mendalam terhadap syariat yang satu ini. Beberapa
penelitian dan survei yang telah mereka lakukan tetang poligami selalu memperlihatkan
ketimpangan dan permasalahan yang komplek terhadap pelaku poligami tersebut. Kasus-kasus
seperti istri pertama terlantar, anak – anak tidak terurus, persoalan ekonomi yang labil adalah
sederet contoh permasalahan yang ditimbulkan oleh ekses poligami. Tak mengherankan kemudian
para feminis banyak yang lantang menyuarakan menolak poligami bahkan menganggapnya sebagai
sesuatu yang terlarang dalam agama. Oleh karena mudaharatnya lebih besar dari manfaatnya, maka
poligami harus dihapus layaknya perbudakan.
Menurut lamnya alFrauqi, (‘Ailah, masa depan kaum wanita, 1997), poligami bukan suatu
keharusan dan buka pula praktik universal. Ia tidak sebagai suatu kewajiban bagi setia laki-laki
muslim apalagi berlaku umum. Pologami adalah sebuah solusi antisifatif ketika perkawinan
monogamy sedang tidak memadai menjadi asas perkawinan dalam suatu kondisi dan situasi
tertentu. Keadaan-keadaan yang tidak memungkinkan dikendalikan oleh manusia seperti ledakan
jumlah perempun, masalah kemandulan, mengidap penyakit verginitas dan lain sebagainya,
poligami dapat menjadi solusi antisipatif bagi masyarakat. Dalam aplikasinya pun seorang
poligamis harus memenuhi berbagai persyaratan syar’I seperti adil, shaleh, takwa dan lain
sebagainya harus dijunjung tinggi. Adapun kemudharatan yang timbul dalam poligami disebabkan
oleh syarat-syarat tersebut tidak terpenuhi. Dan islam tidak memikul tanggung jawab terhadap
orang-orang yang tidak benar dalam berpoligami.
Jumhur ulaman melihatnya dengan berbagai sudut padang, sehingga hokum poligami itu
flesibel. Flesibilitas dimaksud di sini adalah sewaktu-waktu poligami itu tergantung kondisi dan
persyaratan yang melekat padanya. Poligami sebagaimana pandangan Yusuf al-Qardhawi
(marakidz al-mar’ah fi al-hayati al-islamiyah. Perempuan dalam perspektif islam, 2006), poligami
bias dihukum mubah, makruh bahkan haram. Jadi, poligami tetap menjadi salah satu syariat yang
mendatangkan maslahat jika dalam implementasinya sesuai dengan kaidah syariat itu sendiri yang
disertai dengan keharusan memenuhi syarat-syarat khusus untuk berpoligami.
Dari pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa apa yang telah dilakukan para feminis
muslim liberal dalam tafsir kesetaraan gender selama ini tidak lebih dari melanjutkan gerakan
feminism barat yang mengusung kesetaraan mutlak disegala bidang. Padahal tidak demikian dalam
islam, perbedaan gender adalah anugerah Allah swt agar manusia bisa hidup saling melengkapi.
Karena hidup membutuhkan keserasian bukan kesetaraan. Wallahu’alam bishshawb.

3. Simpulan
4.1. Simpulan
Dari pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa terdapat banyak kesalahpahaman terhadap
ayat-ayat al-Qur’an. Dalam hal ini, ayat-ayat yang berkaitan dengan peran dan eksistensi
perempuan menurut pandangan Islam. Yang dimulai dengan pertanyaan mendasar mengenai asal-
usul penciptaan perempuan dan laki-laki, yang kemudian menimbulkan polemik seputar eksistensi
serta peran keduanya. Selain masalah asal-usul penciptaan keduanya, timbul juga wacana yang
mempertanyakan peran keduanya dalam masyarakat, keluarga dan hak-hak keduanya dalam segala
aspek kehidupan.
Dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an yang berkenaan dengan tema kesetaraan gender,
kaum feminis dan mereka yang mendukung feminisme dipengaruhi oleh banyak hal. Mulai dari
perbedaan penafsiran di kalangan ulama, latar belakang mereka sendiri, baik pendidikan, sosial
budaya dan latar belakang organisasi masing-masing dari mereka. Namun, hal terpenting dari
sekian faktor tersebut adalah, adanya pengaruh dari pemikiran feminis Barat tentang kedudukan
perempuan di mata mereka. Hal inilah yang menjadi ‘ruh’ wacana kesetaraan gender, khususnya
dalam Islam. Sehingga para feminis berani mempertanyakan keotentikan hadis-hadis nabi
Muhammad saw.
Demikian halnya dengan tuduhan yang dilancarkan kaum feminis tentang adanya
kepentingan dibalik penafsiran teks-teks agama, terutama fiqh. Segala bentuk tafsiran keagamaan
adalah salah satu bentuk penindasan terhadap kaum perempuan, karena dalam setiap penafsiran,
perempuan selalu berada di bawah laki-laki. Dan banyak lagi tuduhan dan serangan yang sejenis,
yang ditujukan kepada ulama Islam dengan berdiri di bawah naungan feminisme, yang juga
berusaha melakukan pendekatan dekonstruktif dalam menafsirkan syari’at Islam seputar gender.
Apa yang dilakukan oleh feminis muslim maupun yang mendukung adalah salah satu bentuk
ketidakpahaman mereka terhadap Islam, yang disebabkan oleh banyaknya pemikiran Barat yang
mereka adopsi tanpa melalui seleksi. Seperti yang dilakukan Fatimah Mernissi ketika
mempermasalahkan validitas hadis, yang akhirnya menyeret dia sendiri untuk menolak hadis sahih.
Demikian pula Riffat Hasan, yang menolak keabsahan hadis hanya karena diriwayatkan oleh
seorang sahabat, yang menurutnnya “anti perempuan” , dan ternyata tidak terbukti. Atau yang
dilakukan oleh tokoh feminis lainnya, yang mempermasalahkan keadilan dalam warisan dan
sebagainya. Hanya karena dali-dalil tersebut dianggap tidak sesuai dengan perkembangan zaman,
kepentingan perempuan dan lainnya.
4.2. Saran
Harusnya, para feminis membangun kerangka berpikir dari ‘worldview Islam’, bukan
worldview Barat seperti yang umumnya dijadikan pijakan oleh banyak feminis muslim. Karena
bagaimanapun, akan terdapat perbedaan dalam memahami makna kesetaraan itu sendiri. Apabila
kesetaraan dilihat dengan kacamata Barat yang berarti segala sesuatu harus sama, maka akan
didapatkan ayat ataupun hadis yang seakan-akan bermakna diskriminatif terhadap kaum
perempuan. Karena memang sejarah perempuan dalam Barat berbeda dengan Islam, sehingga tidak
tepat digunakan dalam menilai suatu syari’at suci. Namun, jika kesetaraan dipahami secara
proporsional dengan berdasar pada sumber Islam, maka tidak akan didapatkan makna ataupun
tujuan yang diskriminatif terhadap perempuan. Meskipun akan ada perbedaan, maka perbedaan
tersebut adalah fitrah masing-masing, yang menegaskan bahwa antara yang satu dan yang lainnya
ada saling keterkaitan dan saling melengkapi.
Dengan kata lain, kesetaraan yang ada dalam Islam adalah kesetaraan yang menunjukkan
keserasian antara laki-laki dan perempuan. Keserasian yang dibangun di atas syari’at, bersandar
pada asas kemitraan, bukan perlawanan, serta kerjasama yang tidak mengandung persaingan.

4. Daftar Pustaka

Abdu l Ghafur, Waryono.Tafsir Sosial;Mendia logkan Teks dengan Konteks.Yogyakarta: el-Saq


Press,2005

Abdul Kodir, Faqihuddin Bergerak Menuju Keadilan;Pembelaan Nabi Terhadap Perempuan. Bergerak
Menuju Keadilan; Pembelaan Nabi Terhadap Perempuan. Jakarta Rahima,2006

Ailah, ( masadepan kaumwanita, 1997)

Azhami, MusÏaf. The History of the Qur’anic Text, From Revelation to Compilation: A Comparative
Study with the Old and New Testament. Leicester:UK IslamicAcademy. 2003.

Azizi, Qodridkk. Pemikiran Islam Kontemporer di Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2005

Bahtiar Efendi dkk, Perempuan Dalam Literatur Islam Klasik (Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 2002)

Cook, Michael. The Koran: A very Short Introduction. Oxford,UK: Oxford UniversityPress. 2000.

Departmen Agama R.I.al-Qur’an dan terjemahnya. Jakarta : CVAtlas, 2000

DVD al-Maktabahal-Syamilah.Al-Qur’an waTafsiruhu. Solo Ridwana Press,2004.

Dzuhayatin, Siti Ruhaini dkk. Dekonstruksi Metodologis Wacana Kesetaraan Gender DalamIslam.
Yogyakarta: PustakaPelajar,2002

Fakih, Mansoer dkk. Membincang Feminisme; Diskursus Gender Perspektif Islam. Surabaya : Risalah
Gusti, 1996

Ghafur ,Waryono Abdul(ed.).Isu Isu Gender dalam Kurikulum Pendidikan Dasardan Menengah.
Yogyakarta: Pusat Studi Wanita Universitas Islam Negeri. 2003.

Groenen,C.PengantarkedalamPerjanjianBaru. Yogyakarta:Kanisius.1984.
Held, Robert.Inquisition.Florence: Bilingual Publishers. 1985.

Hesselgrave, DavidJ. &Rommen, Edward . Kontekstualisasi :Makna, Metode dan Model. Jakarta : BPK
Gunung Mulia. 2004.

Husein Muhammad, Fiqh Perempuan; Refleksi Kyai atas Wacana Agama dan Gender (Yogyakarta:
LKIS, 2007)

Kung , Hans .The Catholic Church: A Short HIstory. New York: Modern Library. 2003.

Makna Khalil al-Kattani, Ilmu-ilmu Al-Qur’an, 2007.

Megawangi, Ratna. Membiarkan Berbeda? Bandung: Mizan. 1999.

Muhammadiyah Yogyakarta dan Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka, 2005.

Muhammad Syahrur, (al-kitabwa al-Qur’an, Qira’ahMu’ashirah, 1992)

Mulia, Musdah. MuslimahReformis. Bandung: Mizan. 2005.

Mernissi, Fatima.Wanita di Dalam Islam. Bandung: Penerbit Pustaka, 1994

Nasaruddin Umar misalnya, dalam (ArgumenKesetaraan Gender dalamPrespektif Al-Qur’an, 2011)

Rachman, Budhy Munawar. “ Penafsiran Islam Liberal atas Isu-isu Gender dan Feminisme di Indonesia”,
dalam Rekonstruksi Metodologis WacanaKesetaraan Gender dalam Islam. Yogyakarta: PSWIAIN
Sunan Kalijaga, McGil l-ICIHEP, Pustaka Pelajar, 2002.

Ramli, M.Idrus(ed.). Menguak Kebatilandan Kebohongan Sekte FK3. Pasuruan: Rabithah Ma’ahid
Islamiyah Cabang Pasuruan. 2004.

Rokhmadi. “Perempuan Memberi Mahar Nikah. ”Jurnal Justisia.Edisi 28 Th XIII.2005. Semarang:


Fakultas Syariah IAIN.

Shalahuddin, Henri. Indahnya Keserasian Gender dalam Islam. Jakarta : KMKI.2012. Siti Musdah
Mulia (Islam Menggugat Poligami, 2004)

Sitompul, A.A. danBeyer, Ulrich. Metode Penafsiran Alkitab. Jakarta:BPK GunungMulia. 2005.

Tim Penulis Pusta Studi Wanita. Pengantar Kajian Gender. Jakarta: Pusat Studi Wanita UINS yarif
Hidayatullah.2003.

Trible, Phyllis (et.al.). Feminist Aproachesto TheBible. Washington: Biblical Archeology Society.1995.

Umar, Nasarudi, dkk. Bias Jender Dalam Pemahaman Islam. Yogyakarta: Gama Media, 2002
Wadud, Amina. Quran MenurutPerempuan: Meluruskan Bias Gender dalam Tradisi. terj. Abdullah Ali.
Jakarta : Serambi. 2001.

Yusuf al-Qardhawi (Perempuan dalam perspektif islam, 2006)

You might also like