You are on page 1of 34

TUGAS REFERAT

INTRAVENA ANESTESI

Pembimbing :

dr. Damay Suri, Sp. An.

Disusun Oleh :
D. H. Sukarna Putra, S. Ked (J510 1650 32)
Arinil Husna Kamila, S. Ked
Ayu Mustikarini, S. Ked

KEPANITERAAN KLINIK ILMU ANESTESI

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA

RSUD KARANGANYAR

2017
2

TUGAS REFERAT
ILMU ANESTESI

INTRAVENA ANESTESI

Diajukan oleh :

Dhanista Hastinata Sukarna Putra, S. Ked J510 1650 32


Arinil Husna Kamila, S. Ked
Ayu Mustikarini, S. Ked

Telah disetujui dan disahkan oleh Bagian Program Pendidikan Profesi Fakultas
Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta pada

Pembimbing :

dr. Damay Suri, Sp. An. (..........................)

Dipresentasikan di hadapan :

dr. . Damay Suri, Sp. An. (..........................)

Disahkan Ka. Program Profesi :

dr. Dona Dewi Nirlawati (..........................)


3

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL........................................................................................ 1
HALAMAN PENGESAHAN.......................................................................... 2
DAFTAR ISI..................................................................................................... 3
BAB I PENDAHULUAN ........................................................................... 4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA .................................................................... 5
A. Anestesi Umum Intravena............................................................. 5
B. Tindakan Preoperatif...................................................................... 6
C. Tindakan Premedikasi.................................................................... 7
D. Obat-obat Induksi Anestesi IV....................................................... 21
E. Pemeliharaan Anestesi…............................................................. 31
BAB III KESIMPULAN DAN SARAN.......................................................... 35
A. Kesimpulan ................................................................................. 35
B. Saran........................................................................................... 35
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................36

BAB I
PENDAHULUAN
4

A. Latar Belakang
Anestesia berarti pembiusan, kata ini berasal dari bahasa Yunani an-
"tidak, tanpa" dan aesthētos, "persepsi, kemampuan untuk merasa". Istilah
anestesi digunakan pertama kali oleh Oliver Wendel Holmes Sr pada tahun 1846.
Anestesi umum adalah tindakan meniadakan nyeri secara sentral disertai dengan
hilangnya kesadaran dan bersifat pulih kembali (reversible).
Komponen anestesi yang ideal (trias anestesi) terdiri dari : hipnotik,
analgesia dan relaksasi otot. Praktik anestesi umum juga termasuk mengendalikan
pernapasan dengan pemantauan fungsi-fungsi vital tubuh selama prosedur
anestesi. Tahapannya mencakup premedikasi, induksi, maintenance, dan
pemulihan. Metode anestesi umum dapat dilakukan dengan cara yaitu parenteral
melalui intravena dan intramuskular, perrektal (biasanya untuk anak-anak) dan
inhalasi.
Anestesi umum intravena adalah obat anestesi yang diberikan melalui jalur
intravena, baik untuk tujuan hipnotik, analgetik ataupun pelumpuh otot. Anestesi
yang ideal akan bekerja secara cepat dan baik serta mengembalikan kesadaran
dengan cepat segera sesudah pemberian dihentikan. Selain itu batas keamanan
pemakaian harus cukup lebar dengan efek samping yang sangat minimal. Tidak
satupun obat anestesi dapat memberikan efek yang diharapkan tanpa efek
samping, bila diberikan secara tunggal. Kombinasi beberapa obat mungkin akan
saling berpotensi atau efek salah satu obat dapat menutupi pengaruh obat yang
lain.
Anestesi umum intravena ini penting untuk kita ketahui karena selain
dapat digunakan dalam pembedahan dikamar operasi, juga dapat menenangkan
pasien dalam keadaan gawat darurat. Oleh karena itu sebagai dokter umum,
sebaiknya kita mengetahu tentang anestessi umum intravena. Sehingga kami
tertarik untuk membahas tentang anestesi umum intravena.

B. Tujuan 4
Tujuan penulisan referat ini, yaitu
1. Mengetahui agen induksi intravena dalam keilmuan anestesi
5

2. Mengetahui dosis dan indikasi dari masing-masing agen induksi intravena


3. Mengetahui farmakokinetik, farmakodinamik dan efek samping dari
masing-masing agen induksi intravena

C. Manfaat
Manfaat penulisan referat ini, yaitu
1. Menambah pengetahuan tentang agen induksi intravena dalam keilmuan
anestesi
2. Menambah wawasan tentang dosis yang ideal dan indikasi penggunaan dari
masing-masing agen induksi intravena
3. Menambah wawasan tentang farmakokinetik, farmakodinamik dan efek
samping dari masing-masing agen induksi intravena

BAB II
PEMBAHASAN
6

A. Anestesi Umum Intravena


Anestesi umum intravena adalah anestesi yang diberikan melalui jalur
intravena, baik untuk tujuan hipnotik, analgetik ataupun pelumpuh otot.
Tahapan tindakan yang dilakukan untuk anestesi umum intravena antara lain:
Untuk penilaian dan persiapan pra anestesi meliputi anamnesis, pemeriksaan
fisik, pemeriksaan laboratorium, klasifikasi status fisik, masukan oral, dan
premedikasi. Untuk induksi obat anestesi intravena beserta pemeliharaan dan
pemulihan. Obat anestesi intravena setelah berada di dalam vena, obat-obat ini
akan diedarkan ke seluruh jaring
Obat anestesi yang ideal memiliki berbagai sifat, yaitu: hipnotik dengan
onset cepat serta mengembalikan kesadaran dengan cepat segera sesudah
pemberian dihentikan, analgetik, amnesia, memiliki antagonis, cepat
dieliminasi, depresi kardiovaskular dan pernafasan tidak ada atau minimal,
serta farmakokinetik tidak dipengaruhi atau minimal terhadap disfungsi organ
Indikasi anestesi intravena antara lain untuk: induksi anestesia, induksi
dan pemeliharaan anestesi pada pembedahan singkat, menambahkan efek
hipnosis pada anestesi inhalasi dan anestesi regional, menambahkan sedasi
pada tindakan medik. Cara pemberian dapat berupa : suntikan intravena tunggal
untuk induksi anestesi atau pada operasi-operasi singkat hanya obat ini saja
yang dipakai. Selain itu dapat juga suntikan berulang untuk prosedur yang
tidak memerlukan anestesi inhalasi dengan dosis ulangan lebih kecil dari dosis
permulaan. Serta melalui infus untuk menambah daya anestesi inhalasi
Tingkat pemberian obat tiap ndividu sangat bervariasi dalam respon
mereka terhadap dosis obat yang diberikan atau konsentrasi, dan oleh karena
itu penting untuk titrasi untuk tingkat obat yang memadai untuk setiap pasien.
Obat konsentrasi yang diperlukan untuk memberikan anestesi yang memadai
juga bervariasi sesuai dengan jenis operasi (misalnya, permukaan bedah
dibandingkan pembedahan perut bagian atas). Akhir pembedahan
membutuhkan kadar obat yang lebih 6rendah, dan karenanya titrasi sering
melibatkan penurunan bijaksana laju infus menjelang akhir operasi untuk
memfasilitasi pemulihan yang cepat.
7

Setelah dosis muatan, tingkat infus awalnya tinggi untuk menjelaskan


redistribusi harus digunakan dan kemudian dititrasi dengan tingkat infus
terendah yang akan mempertahankan anestesi yang memadai atau sedasi. Bila
menggunakan opiat sebagai bagian dari teknik nitrous-narkotika atau anestesi
jantung, skema dosis yang tercantum di bawah anestesi yang digunakan. Ketika
candu tersebut digabungkan sebagai bagian dari anestesi seimbang, dosis yang
tercantum untuk analgesia diperlukan
Jika laju infus terbukti tidak mencukupi untuk mempertahankan anestesi
yang memadai, baik suntikan tambahan (bolus) dosis dan peningkatan infus
diperlukan untuk secara cepat untuk meningkatkan konsentrasi obat. Berbagai
intervensi juga membutuhkan konsentrasi obat yang lebih besar, biasanya
untuk periode singkat (misalnya, laringoskopi, intubasi endotrakeal, sayatan
kulit) Oleh karena itu, skema infus harus disesuaikan untuk memberikan
konsentrasi puncaknya selama periode singkat stimulasi intens. Tingkat obat
yang memadai untuk intubasi endotrakeal sering dicapai dengan dosis
pemberian awal, tapi untuk prosedur seperti sayatan kulit, dosis bolus lanjut
mungkin diperlukan
B. Tindakan Preoperatif
Refleks laring mengalami penurunan selama anestesia. Regurgitasi isi
lambung dan kotoran yang terdapat dalam jalan napas merupakan risiko utama
pada pasien-pasien yang menjalani anestesia. Untuk meminimalkan risiko
tersebut, semua pasien yang dijadwalkan untuk operasi elektif dengan anestesia
harus dipantangkan dari masukan oral (puasa) selama periode tertentu sebelum
induksi anestesia.
Pada pasien dewasa umumnya puasa 6-8 jam, anak kecil 4-6 jam dan
pada bayi 3-4 jam. Makanan tak berlemak diperbolehkan 5 jam sebeluminduksi
anestesia. Minuman bening, air putih teh manis sampai 3 jam dan untuk
keperluan minum obat air putih dalam jumlah terbatas boleh 1 jam sebelum
induksi anestesia
C. Tindakan Premedikasi Anestesi
8

Sebelum pasien diberi obat anestesi, langkah selanjutnya adalah


dilakukan premedikasi yaitu pemberian obat sebelum induksi anestesi diberi
dengan tujuan untuk melancarkan induksi, rumatan dan bangun dari anestesi
diantaranya:
1. Menimbulkan rasa nyaman bagi pasien, meliputi :
a. Menghilangkan rasa khawatir melalui:
1) Kunjungan pre anestesi
2) Memberikan pengertian masalah yang dihadapi
3) Keyakinan akan keberhasilan operasi
b. Memberikan ketenangan (sedative)
c. Membuat amnesia
d. Mengurangi rasa sakit (analgesic non/narkotik)
e. Mencegah mual dan muntah
2. Memudahkan atau memperlancar induksi
Pemberian hipnotik sedative atau narkotik
3. Mengurangi jumlah obat-obat anestesi
Pemberian hipnotik sedative atau narkotik
4. Menekan refleks-refleks yang tidak diinginkan (muntah/liur)
5. Mengurangi sekresi kelenjar saliva dan lambung
Pemberian antikolinergik atropine, primperan, rantin, H2 antagonis
6. Mengurangi rasa sakit.
Pemberian analgetik
Pemberian obat secara subkutan tidak akan efektif dalam 1 jam, secara
intramuscular minimum harus ditunggu 40 menit. Pada kasus yang sangat
darurat dengan waktu tindakan pembedahan yang tidak pasti obat-obat dapat
diberikan secara intravena, obat akan efektif dalam 3 - 5 menit. Obat akan
sangat efektif sebelum induksi. Bila pembedahan belum dimulai dalam waktu 1
jam dianjurkan pemberian premedikasi intramuscular, subkutan tidak
dianjurkan. Semua obat premedikasi bila diberikan secara intravena dapat
menyebabkan sedikit hipotensi kecuali atropine dan hiosin. Hal ini dapat
dikurangi dengan pemberian secara perlahan-lahan dan diencerkan. Obat-obat
yang sering digunakan:
1. Analgesik narkotik
a. Morfin ( amp 1cc = 10 mg), dosis 0,1 mg/kgBB
9

Morfin adalah alkaloid golongan fenantren. Morfin memiliki gugus


OH fenolik dan gugus OH alkoholik. Atom hidrogen pada kedua gugus
itu dapat diganti oleh berbagai gugus membentuk berbagai alkaloid
opium.
1) Farmakokinetik
Obat morfin akan diabsorbsi oleh usus. Setelah pemberian dosis
tunggal, sebagian morfin mengalami konjugasi dengan asam
glukoronat dihepar, sebagian keluar dalam bentuk bebas dan 10 %
tidak diketahui nasibnya. Morfin melintasi sawar uteri dan
mempengaruhi janin. Eksresi morfin terutama melalui ginjal, sebagian
kecil ditinja dan keringat.
2) Farmakodinamik
Morfin memiliki efek analgetik dan narkose terhadap susunan
saraf pusat. Efek analgetik terutama ditimbulkan akibat kerja opioid
pada reseptor μ, selain itu juga memiliki afinitas yang lemah terhadap
terhadap reseptor δ dan reseptor κ. Reseptor μ, κ, dan δ banyak
didapatkan pada kornu dorsalis medula spinalis. Reseptor didapatkan
baik pada saraf yang mentransmisi nyeri dimedula spinalis maupun
pada aferen primer yang melerai nyeri. Agonis opioid melalu reseptor
μ, δ, dan κ pada ujung prasinaps aferen primer nosiseptif mengurangi
pelepasan transmiter, dan selanjutnya menghambat saraf yang
mentransmisi nyeri di kornu dorsalis medula spinalis, selain itu μ
agonis menimbulkan efek inhibisi pascasinaps melalui reseptor μ di
otak. Terjadi perubahan reaksi terhadap stimulus nyeri itu. Pasien
mengatakan bahwa nyeri masih ada tetapi ia tidak menderita lagi. Efek
narkose, morfin dosis kecil (5-10mg) menimbulkan euforia pada
pasien yang menderita nyeri, sedih, gelisah sebaliknya pada orang
normal akan menimbulkan disforia berupa perasaan kuatir atau takut.
Morfin menimbulkan rasa kantuk, tidak dapat berkonsentrasi
sukar berfikir, apatis dan aktivitas motorik berkurang. Miosis yang
ditimbulkan morfin akibat kerjanya pada reseptor μ dan κ oleh
10

perangsangan pada segmen otonom inti saraf okulomotorius. Miosis


dapat dilawan dengan atropin. Pada intoksikasi morfin didapatkan pin
point pupils. Depresi nafas terjadi berdasarkan efek langsung terhadap
pusat nafas dibatang otak, terjadi penurunan frekuensi nafas, volume
semenit dan tidal exchange, akibat PCO2 dalam darah dan udara alveolar
meningkat dan kadar O2 dalam darah menurun. Kepekaaan pusat nafas
terhadap CO2 berkurang. Kadar CO2 5% tidak lagi menimbulkan
peninggiian ventilasi pulmonal. Morfin dan derivatnya menghambat
refleks batuk, tetapi tidak sekuat kodein. Mual dan muntah, efek
emetik terjadi berdasarkan stimulasi langsung pada Emetic
chemoreseptor trigger zone (CTZ) di area postrema medula oblongata
bukan oleh stimulasi pusat emetik sendiri.
Morfin berefek langsung ke saluran cerna bukan memalui SSP.
Morfin menghambat sekresi HCl secara lemah, menyebabkan
pergerakan lambung berkurang, sehingga pergerakan isi lambung ke
duodenum diperlambat. Morfin juga mengurangi sekresi empedu dan
pankreas, dan memperlambat pencernaan makanan diusus halus.
Diusus besar morfin mengurangi atau menghilangkan gerakan
propulsi usus besar, meninggikan tonus usus besar dan menyebabkan
spasme usus besar akibatanya penerusan isi kolon menjadi lambat dan
tinja menjadi keras. Morfin menyebabkan peningkatan tekanan dalam
duktus koledokus daan efek ini dapat menetap dalam 2 jam keadaan
ini disertai dengan perasaan tidak enak di epigastrium sampai nyeri
kolik berat. Dosis terapi morfin tidak berpengaruh ke kardiovaskular,
perubahan kardiovaskular terjadi akibat efek depresi pada pusat vagus
dan pusat vasomotor yang baru terjadi pada dosis toksik. Yang
mungkin dialami pasien adalah hipotensi orthostatik dan dapat jatuh
pingsan akibat vasodilatasi perifer yang terjadi karena efek langsung
terhadap pembuluh darah kecil.
Morfin merendahkan tonus uterus pada masa haid dan
menyebabkan uterus lebih tahan terhadap renggangan oleh karena
itulah morfin digunakan untuk obat dismenore. Karena pelepasan
11

histamin, menyebabkan pelebaran pembuluh darah kulit sehingga kulit


tampak merah dan terasa panas, berkeringat, dan kadang gatal-gatal.
Setelah pemberian morfin volume urin berkurang, disebabkan
merendahnya laju filtrasi glomerulus, alir aliran ginjal dan
penglepasan ADH.
3) Dosis dan sediaan
Yang biasa digunakan ialah garam HCl, garam sulfat, atau fosfat
alkaloid morfin, dengan sediaan 1 amp 10mg/ml. dosis yang
digunakan 0,1 mg/KgBB. Efektivitas morfin peroral hanya 1/6-1/5 kali
morfin subkutan. Pemberian 60 mg morfin per oral memberi efek
analgetik sedikit lebih lemah dan masa kerja lebih panjang dari pada
pemberian 8 mg morfin IM.
4) Efek samping
Morfin menyebabkan idiosinkrasi dan alergi yaitu menyebabkan
mual dan munta terutama pada wanita, urtikaria, eksantem, dermatitis
kontak, pruritus dan bersin. Pada intoksikasi akut, pasien akan tertidur
sopor atau koma jika intoksikasi cukup berat. Frekuensi nafas
terlambat, 2-4x/menit, pernafasan Cheyne Stokes, sianotik, muka
merah agak kebiruan, sampai terjadi syok, dan pin point pupils.
b. Petidin ( amp 2cc = 100 mg), dosis 1-2 mg/kgBB

Petidin atau meperidin merupakan derivat fenilpiperidin. Secara kimia


adalah etil-1metil-4-fenilpiperidin-4-karboksilat.
1) Farmakokinetik
Kadar puncak dalam plasma biasanya dicapai dalam 45 menit
dan kadar yang dicapai sangat bervariasi antar individu. Setelah
pemberian lintas oral, sekitar 50% obat mengalami metabolisme lintas
pertama dan kadar maksimal dalam plasma tercapai dalam 1-2 jam,
setelah pemberian secara IV, kadar dalam plasma menurun secara
cepat dalam 1-2 jam pertama, kemudian penurunan berlangsung
12

dengan lambat. Kurang lebih 6% petidin terikat dengan protein dalam


plasma. Petidin dimetabolisme didalam hati, dihidrolisis menjadi asam
meperidinat yang selanjutnya mengalami konjugasi. Masa paruhnya ±
3 jam. Pada pasien sirosis hati bioavaibilitasnya meningkat menjadi
80%. Dan masa paruhnya memanjang.
2) Farmakodinamik
Petidin bekerja pada reseptor μ. Pada susunan saraf pusat petidin
menimbulkan analgesia, sedasi, euforia, depresi nafas, dan efek sentral
lain. Efek analgesia petidin mulai timbul 15 menit setelah pemberian
oral dan mencapai puncak dalam 2 jam. Efek analgetik lebih cepat
timbul dengan pemberian secara subkutan dan IM sekitar 10 menit,
mencapai puncak dalam 1 jam dan masa kerjanya 3-5 jam.
Efektifitaspetidin 75-100mg parenteral kurang lebih sama dengan
10mg morfin. Bioavaibilitas peroral 40-60%, maka bila diberikan per
parenteral diberikan setengahnya. Sedasi, euforia dan eksitasi,
pemberian petidin kepada pasien yang nyeri atau cemas akan
menimbulkan euforia. Dosis toksik petidin menimbulkan
perangsangan SSP, berupa tremor, kedutan otot, dan konvulsi. Petidin
depresi nafas dengan menurunkan kepekaan pusat nafas terhadap CO2
dan mempengaruhi pusat yang mengatur irama nafas dalam pons.
Petidin menurunkan tidal volume, sedangkan frekuensi nafas kurang
dipengaruhi.
Sebaliknya morfin terutama menimbulkan penurunan frekuensi
nafas. Kardiovaskular, pemberian petidin pada pasien berbaring tidak
mempengaruhi kardiovaskular. Bila berobat jalan dapat menyebabkan
sinkop akibat penurunan tekanan darah akibat depresi nafas yang
menyebabkan peningkatan kadar CO2, mengakibatkan dilatasi
pembuluh darah otak sehingga timbul kenaikan tekanan cairan
cerebrospinal. Petidin tidak menimbulkan konstipasi sekuat morfin.
Uterus, dosis terapi petidin yang diberikan sewaktu partus tidak
memperlambat kelangsungan partus dan tidak mengubah kontraksi
uterus, dan juga tidak mengganggu kontraksi atau involusi uterus
13

pascapersalinan dan tidak menambah frekuensi perdarahan pasca


persalinan.
3) Dosis Meperidin HCl
Tersedia dalam bentuk tablet 50mg dan 100mg dan ampul
2ml/100mg. pemberian petidin biasanya peroral atau IM. Pemberian
IV menimbulkan reaksi lebih sering dan lebih berat. Pemberian 50-
100mgpetidin secara parenteral menghilangkan nyeri sedang atau
hebat pada sebagian besar pasien.
4) Efek samping
Berupa pusing, berkeringat, euforia, mulut kering, mual, muntah,
perasaan lemah, gangguan penglihatan, palpitasi, disforia, sinkop dan
sedasi. Pada pasien dengan penyakit hati dan orangtua, dosis obat
harus dikurangi karena terjadinya perubahan disposisi obat. Bila obat
diberikan bersama antipsikosis, hipnotik sedatif, dan obat-obat lain
penekan SSP, dosis obat juga harus dikurangi.
c.Fentanyl ( fl 10cc = 500 mg), dosis 1-3µgr/kgBB

Fentanil merupakan obat dari golongan opioid yang banyak


digunakan dalam anestesi, kekuatannya 100 X morfin. Dalam dosis kecil
(1µg/kgBB, IV) fentanil memiliki onset dan durasi kerja yang singkat
(20-30 menit) dan menimbulkan efek sedasi sedang. Dalam dosis besar
(50-150µg/kgBB, IV) didapatkan sedasi yang dalam serta penurunan
kesadaran, dan kadang didapatkan kekakuan otot dada.
1) Farmakokinetik
Farmakokinetik fentanil bervariasi pada tiap individu. Setelah
pemberian melalui bolus intravena, konsentrasi plasma turun dengan
cepat (waktu paruh distribusi sekitar 13 menit). Waktu paruh berkisar
antara 3-4 jam dan dapat memanjang hingga 7-8 jam pada beberapa
pasien.(5) Setelah suntikan intravena ambilan dan distribusinya hampir
sama dengan morfin tetapi fraksi terbesar dirusak oleh paru ketika
pertama kali melewatinya. Fentanil dimetabolisir oleh hati dengan N-
14

dealkilasi dan hidroksilasi, metabolit dapat didapatkan di darah dalam


1-2 menit setelah pemberian. Sisa metabolisme dieksresikan di urin
dalam beberapa hari.
2) Farmakodinamik
Fentanil bekerja pada reseptor spesifik di otak dan medulla
spinalis untuk menurunkan rasa nyeri dan respons emosional terhadap
nyeri. Sistem kardiovaskuler. Kardiovaskular cenderung tidak
mengalami perubahan signifikan setelah pemberian fentanil, namun
kadang dalam dosis besar dapat menyebabkan bradikardi yang
memerlukan terapi atropin. Sistem pernafasan. Seperti analgesik
opioid yang lain, fentanil mendepresi pernafasan bergantung dosis
pemberiannya. Efek depresi pernafasan berlangsung lebih lama dari
efek analgesiknya.
3) Dosis
Fentanil dosis 1-3µg/kgBB memiliki efek analgetik yang hanya
berlangsung 30 menit, karena itu hanya digunakan dalam pembedahan
dan tidak untuk pasca bedah. Dosis besar 50-150µg/kgBB digunakan
untuk induksi dan pemeliharaan anestesi dengan kombinasi dengan
benzodiazepine dan anestetik inhalasi dosis rendah pada bedah
jantung selain itu juga dapat mencegah peningkatan kadar gula,
katekolamin plasma, ADH, rennin, aldosteron dan kortisol.
4) Efek samping
Efek yang kurang disukai akibat pemberian fentanil adalah
kekakuan otot punggung yang sebenarnya dapat dicegah dengan
pemberian pelumpuh otot.
2. Hipnotik
a. Ketamin ( fl 10cc = 100 mg), dosis 1-2 mg/kgBB
b. Pentotal (amp 1cc = 1000 mg), dosis 4-6 mg/kgBB
3. Sedatif
Golongan benzodiazepin yang sering digunakan adalah adalah
Diazepam (valium), Lorazepam (Ativan) dan Midazolam (Miloz).
Diazepam dan lorazepam tidak larut dalam air. Diazepam tersedia dalam
sediaan emulsi lemak (Diazemuls), sedangkan midazolam merupakan
benzodiazepin yang larut air yang tersedia dalam larutan dengan PH 3,5.
15

Golongan benzodiazepine bekerja sebagai hipnotik, sedative,


amnestik, antikonvulsan, pelumpuh otot yang bekerja sentral.
Benzodiazepine bekerja pada reseptor GABAA. Afinitas pada reseptor
GABAA berurutan seperti berikut lorazepam > midazolam > diazepam.
Reseptor spesifik benzodiazepine akan berikatan pada komponen gamma
yang terdapat pada reseptor GABA.

a. Farmakokinetik
Ketiga macam obat golongan benzodiazepines yang banyak
digunakan dalam anestesi diklasifikasikan sebagai berikut: Midazolam
(short-lasting), lorazepam (intermediate-lasting), diazepam (long-
acting), berdasarkan metabolism dan bersihan dari plasma. Rasio
bersihan midazolam berkisar antara 6-11 ml/kg/menit, sedangkan
lorazepam 0.8-1.8 ml/kg/menit dan diazepam 0.2-0.5 ml/kg/menit.
Walaupun terminasi kerja dari obat ini terutama dipengaruhi oleh
redistribusi obat dari SSP ke jaringan lain setelah penggunaan untuk
anestesi, pemberian berulang, atau infuse berkelanjutan, kadar
midazolam dalam darah turun lebih cepat dibandingkan yang lain karena
bersihan hati yang lebih besar. Hasil metabolisme dari benzodiazepines
menjadi penting.
Diazepam membentuk 2 macam metabolit aktif yaitu, oxazepam
dan desmethyldiazepam yang memperkuat dan memperpanjang efek
obat. Midazolam mengalami biotransformasi menjadi hydroxymidazolam
yang memiliki potensi 20-30% dari midazolam. Metabolit-metabolit ini
diekskresikan melalui urin dan dapat menyebabkan sedasi yang dalam
pada pasien dengan gangguan ginjal. Pada pasien yang sehat,
hydroxymidazolam lebih cepat diekskresikan dibanding midazolam
16

Faktor yang mempengaruhi farmakokinetik dari benzodiazepine


antara lain usia, jenis kelamin, ras, induksi enzim, gangguan hepar dan
ginjal. Diazepam sensitive terhadap hal-hal tersebut di atas terutama usia,
usia yang bertambah mengurangi kecepatan bersihan diazepam dari
tubuh secara signifikan, hal ini juga didapatkan pada midazolam namun
dalam derajat yang lebih rendah. Kebiasaan merokok sebaliknya
mempercepat klirens diazepam. Klirens midazolam tidak dipengaruhi
kebiasaan merokok tetapi konsumsi alcohol, pada pasien dengan
kebiasaan mengkonsumsi alkohol klirens midazolam akan mengalami
percepatan Farmakokinetik lorazepam tidak dipengaruhi usia, jenis
kelamin ataupun gangguan ginjal. Ketiga obat ini dipengaruhi oleh
obesitas. Volume distribusi meningkat akibat perpindahan dari plasma ke
jaringan adipose. Walaupun tidak mempengaruhi klirens, namun waktu
paruh menjadi lebih panjang, sehingga pemulihan akan didapatkan lebih
lambat pada pasien dengan obesitas.
Midazolam dan diazepam memiliki onset yang lebih cepat yaitu
30-60 detik dibanding lorazepam (60-120 detik). Waktu paruh
midazolam berkisar antara 2-3 menit, 2 kali lebih panjang dibanding
diazepam, namun kekuatan lorazepam 6 kali lipat dari diazepam. Sama
seperti onset, durasi kerja juga bergantung kelarutan dalam lemak dan
kadar dalam darah. Redistribusi midazolam dan diazepam lebih cepat
dibanding lorazepam yang kemungkinan diakibatkan dari kelarutan
dalam lemak lorazepam yang lebih rendah. Sehingga durasi kerja
lorazepam lebih panjang dibanding diazepam dan midazolam
b. Farmakodinamik
Benzodiazepine menimbulkan efek amnesia, anti kejang, hipnotik,
relaksasi otot dan sedasi tanpa efek analgetik. Bergantung dari dosisnya,
juga menurunkan kebutuhan oksigen otak dan aliran darah ke otak serta
laju metabolism otak. Midazolam dan diazepam bergantung dari dosisnya
juga memiliki efek proteksi dari hipoksia serebral. Efek perlindungan
midazolam didapatkan lebih nyata dari diazepam. Sistem kardiovaskuler.
17

Perubahan yang mungkin paling jelas adalah penurunan tekanan darah


yang ringan akaibat penurunan resistensi vaskular sistemik. Efek ini
didapatkan sedikit lebih nyata pada pemberian midazolam namun
perubahan tekanan darah ini kurang lebih sama seperti pemberian
thiopental. Bahkan dosis 0.2mg/kgBB dilaporkan aman untuk induksi
pada pasien dengan stenosis aorta. Benzodiazepine tidak mempengaruhi
mekanisme refleks homeostatik, oleh karena itu hemodinamik relatif
stabil.
Seperti kebanyakan obat anestesi intravena lainnya, obat golongan
benzodiazepine juga mendepresi pusat pernafasan, menurunkan frekuensi
nafas serta volume tidal. Puncak depresi pernafasan setelah pemberian
midazolam (0.13-0.2 mg/kg) terjadi dalam 3 menit dan berlangsung
kurang lebih selama 60-120 menit. Waktu pemberian juga mempengaruhi
onset depresi pernafasan, semakin cepat obat diberikan, semakin cepat
terjadi depresi pernafasan. Depresi pernafasan setelah pemberian
midazolam akan tampak lebih nyata dan berlangsung lebih lama pada
pasien PPOK. Opioid dan benzodiazepine secara sinergis memperkuat
depresi pernafasan walaupun bekerja melalui mekanisme yang berbeda.(6)
Sistem otot rangka. Bekerja di tingkat supraspinal dan spinal,
menimbulkan penurunan tonus otot rangka, sehingga sering digunakan
pada pasien yang menderita kekakuan otot rangka. (1) (4)
c. Dosis
Benzodiazepin digunakan untuk tujuan sedasi sebagai premedikasi,
selama pemberian regional atau anestesi local, ataupun setelah operasi.
Selain itu juga untuk mengurangi kecemasan, efek amnesia dan
peningkatan ambang batas kejang, untuk keperluan ini benzodiazepine
diberikan secara titrasi. Dosis untuk induksi yang dianjurkan adalah 0.05-
0.15 mg/kgBB untuk midazolam dengan dosis ulangan 0.05mg/kgBB
bila diperlukan, 0.3-0.5mg/kgBB untuk diazepam dengan dosis ulangan
0.1mg/kgBB bila diperlukan, dan 0.1 mg/kgBB untuk lorazepam dengan
dosis ulangan 0.02mg/kgBB bila diperlukan. Untuk mendapatkan efek
18

sedasi dosis berulang yang dianjurkan untuk midazolam adalah 0.5-1mg,


2mg untuk diazepam, dan 0.25 mg untuk lorazepam. Sedian pada
diazepam a( amp 2cc = 10mg) dan pada midazolam/dormicum (amp
5cc/3cc = 15 mg).
d. Efek samping
Midazolam dapat menyebabkan depresi pernafasan jika digunakan
sebagai sedasi. Lorazepam dan diazepam dapat menyebabkan iritasi pada
vena dan trombophlebitis. Benzodiazepine turut memperpanjang waktu
sedasi dan amnesia pada pasien. Efek Benzodiazepines dapat di reverse
dengan flumazenil (Anexate, Romazicon) 0.1-0.2 mg IV prn to 1 mg, dan
0.5 - 1 mcg/kg/menit
4. Antikolinergik
Sulfas atropin sebagai prototipe antimuskarinik. Bertujuan menurunkan
sekresi kelenjar saliva, keringat, dan lendir di mulut serta menurunkan efek
parasimpatolitik / paravasopagolitik sehingga menurunkan risiko timbulnya
refleks vagal.

a. Farmakokinetik
Aksi vagolitik dari antikolinergik diperoleh melalui blokade efek
asetylkolin pada SA node
b. Farmakodinamik
Atropin dalam dosis kecil memperlihatkan efek merangsang
disusunan saraf pusat dan pada dosis toksik memperlihatkan efek
19

depresi . Setelah melampaui fase eksitasi yang berlebihan, depresi pusat


tertentu memberikan efek antitremor dan efek ini berguna sebagai
antiparkinson, atropin merangsang N. Vagus sehingga denyut jantung
berkurang. Memberikan efek kelenjar eksokrin sehingga terjadi
hambatan saliva.
Antikolinergik telah digunakan secara selektif mengeringkan
saluran nafas atas bila diinginkan. Sebagai contoh, saat intubasi
endotrakeal. Antisialogogue sangan penting pada operasi intraoral dan
pada pemeriksaan jalan nafas seperti bronkoskopi. Perangsangan
respirasi terjadi akibat dilatasi bronkus, tetapi dalam hal depresi respirasi
oleh sebab tertentu, atropin tidak berguna merangsang respirasi tapi
mengurangi sekresi hidung, mulut, faring dan bronkus.
Kardiovaskular. Pengaruh atropin terhadap jantung bersifat bifasik
dengan dosis 0.25-0.5mg, frekuensi jantung berkurang. Pada dosis toksis
terjadi dilatasi kapiler pada bagian muka dan leher akibat vasodilatasi,
yang merupakan kompensasi kulit untuk melepas panas. Pada mata
menghambat M constrictor pupilae dan ciliaris memberikan efek
midriasis sehingga terjadi fotofobia dan siklplegia. Pada pencernaan,
menghambat peristaltik usus/lambng sehingga digunakan untuk
antispasmodik.
c. Dosis
Diberikan jika anestesi dilakukan dengan anestetika dengan efek
hipersekresi, misal: dietileter atau ketamin. Sediaannya amp 1cc = 0,25
mg),dosis 0,001 mg/kgBB. Dosis lebih 2 mg biasanya hanya digunakan
pada keracunan insektisida organofosfat terjadi hambatan N vagus
sehingga terjadi takikardia.
d. Efek samping
Proses pembuangan panas akan terganggu, terutama pada anak-anak
sehingga terjadi febris dan dehidrasi. Pada anak mudah terjadi
keracunan, gejala timbul 15-20 menit dimulai dengan pusing, mulut
kering, tidak bisa menelan , sukar bicar a dan perasaan haus sekali karena
20

air liur tidak ada, penglihatan kabur, midriasis , gallop rhythm. Anti
dotumnya ialah fisotigmin salisilat 2-4mg SK dapat menghilangkan
gejala SSP dan efek anhidrosis.
Antikolinergik secara luas digunakan saat anestesi inhalasi;
diproduksi secret yang berlebihan oleh saluran nafas dan pada bahaya
bradikardi intraoperatif. Indikasi khusus antikolinergik sebelum operasi
adalah sebagai antisialogogue, sedasi dan amnesia. Walaupun juga
memiliki efek sebagai vagolitik dan mengurangi sekresi cairan lambung,
namun tidak disetujui penggunaannya pada preoperatif.
5. Anti emetic
a. Ondancentron
Antagonis 5HT3 yang sangat selektif yang dapat menekan mual dan
muntah karena sitostatika. Mekanisme kerjanya diduga dilangsungkan
dengan mengantagoniskan reseptor 5-HT yang terdapat pada
chemoreceptor zone di area posttrema otak dan mungkin juga pada aferen
vagal saluran cerna. Pada pemberian oral obat ini diabsorpsi secara cepat.
Kadar maksimum tercapai setelah 1-1.5 jam terikat protein plasma
sebanyak 70-76% dan wktu paruhnya 3 jam. Dosisnya 0.1-0,2 mg/KgBB.
b. Simetidin dan Ranitidin
1) Farmakokinetik
Bioavaibilitas simetidin sekitar 70% sama dengan setelah
pemberian IV atau IM. Ikatan protein plasmanya hanya 20%. Absorpsi
simetidin diperlambat dengan makanan, sehingga diberikan bersama
atau segera setelah makan dengan maksud untuk memperpanjang efek
pada periode pascamakan. Absorpsi simetdidin terutama terjadi pada
menit ke 60-90. Simetidin masuk ke SSP. Sekitar 50-80% dari dosisIV,
dan 40% oral, simetidin diekskresikan dalam bentuk asal dalam urin.
Masa paruh eliminasinya sekitar 2jam.
Bioavaibilitas ranitidin yang diberikan secara oral sekitar 50%
dan meningkat pada pasien penyakit hati. Masa paruhnya kira-kira
1,7-3 jam pada orang dewasa, dan memanjang pada orangtua dan pada
pasien penyakit gagal ginjal. Kadar puncak dalam plasma dicapai
dalam 1-3jam setelah penggunaan 150mg ranitidin oral dan yang
21

terikat protein pasma 15%. Metabolisme lintas pertamanya di hepar.


Diekskresikan terutama diginjal sisanya pada tinja
2) Farmakodinamik
Simetidin dan ranitidin menghambat reseptor H2 secara selektif
dan reversible. Perangsangan reseptor H2 akan merangsang sekresi
asam lambung sehingga pemberian simetidin atau ranitidin sekresinya
dihambat. Simetidin dan ranitidin juga mengganggu volurme dan
kadar pepsin cairan lambung
3) Dosis
Anatagonis reseptor H2 satu kali sehari pada malam hari diberikan
untuk mengatasi gejala akut tukak lambung. Untuk premedikasi
biasanya digunakan ranitidin 50-150mg.
4) Efek samping
Nyeri kepala, pusing, malaise, mialgia, mual, diare, konstipasi,
ruam kulit, pruritus. Kehilangan libido dan impoten
D. Obat-Obat Induksi Anestesi Intravena
Obat anestesi intravena dapat digolongkan dalam 2 golongan: 1.) Obat
yang terutama digunakan untuk induksi anestesi, contohnya golongan
barbiturat, eugenol, dan steroid; 2.) obat yang digunakan baik sendiri maupun
kombinasi untuk mendapat keadaan seperti pada neuroleptanalgesia
(contohnya: droperidol), anestesi dissosiasi (contohnya: ketamin), sedative
(contohnya: diazepam). Dari bermacam-macam obat anesthesia intravena,
hanya beberapa saja yang sering digunakan, yakni golongan: barbiturat,
ketamin, dan diazepam

1. PROPOFOL
22

Propofol adalah salah satu dari kelompok derivat fenol yang banyak
digunakan sebagai anastesia intravena. Pertama kali digunakan dalam
praktek anestesi pada tahun 1977 sebagai obat induksi. Propofol dikemas
dalam cairan emulsi berwarna putih susu bersifat isotonik dengan kepekatan
1% (1ml=10 mg).
Propofol dengan cepat dimetabolisme di hati melalui konjugasi ke
glukuronat dan sulfat untuk menghasilkan senyawa larut dalam air, yang
diekskresikan oleh ginjal. Kurang dari 1% propofol diekskresikan tidak
berubah dalam urin, dan hanya 2% diekskresikan dalam tinja.
a. Farmakokinetik
Waktu paruh 24-72 jam. Dosis induksi cepat menimbulkan sedasi
(30-45 detik) dengan durasi berkisar antara 20-75 menit tergantung dosis
dan redistribusi dari sistem saraf pusat. (4) Sebagian besar propofol terikat
dengan albumin (96-97%). Setelah pemberian bolus intravena,
konsentrasi dalam plasma berkurang dengan cepat dalam 10 menit
pertama (waktu paruh 1-3 menit) kemudian diikuti bersihan lebih lambat
dalam 3-4 jam (waktu paruh 20-30 menit). Kedua fase ini menunjukkan
distribusi dari plasma dan ambilan oleh jaringan yang cepat.
Metabolisme terjadi di hepar melalui konjugasi oleh konjugasi oleh
glukoronida dan sulfat untuk membentuk metabolit inaktif yang larut air
yang kemudian diekskresi melalui urin. Eliminasi propofol sensitif
terhadap perubahan aliran darah hepar namun tidak dipengaruhi oleh
ikatan protein ataupun aktivitas enzim. Propofol diketahui menghambat
metabolisme obat oleh sitokrom p450 oleh karena itu dapat menyebabkan
perlambatan klirens dan durasi yang memanjang pada pemberian
bersama dengan fentanyl, alfentanil dan propanolol.
b. Farmakodinamik
Sistem saraf pusat. Dosis induksi menyebabkan pasien kehilangan
kesadaran dengan cepat akibat ambilan obat lipofilik yang cepat oleh
SSP, dimana dalam dosis yang kecil dapat menimbulkan efek sedasi,
tanpa disetai efek analgetik. Pada pemberian dosis induksi (2mg/kgBB)
23

pemulihan kesadaran berlangsung cepat. Dapat menyebabkan perubahan


mood tapi tidak sehebat thiopental. Propofol dapat menyebabkan
penurunan aliran darah ke otak dan konsumsi oksigen otak sehingga
dapat menurunkan tekanan intrakranial dan tekanan intraokular sebanyak
35%
Sistem kardiovaskuler. Induksi bolus 2-2,5 mg/kg dapat
menyebabkan depresi pada jantung dan pembuluh darah dimana tekanan
dapat turun. Hal ini disebabkan oleh efek dari propofol yang menurunkan
resistensi vaskular sistemik sebanyak 30%. Namun penurunan tekanan
darah biasanya tidak disertai peningkatan denyut nadi. Pernafasan
spontan (dibanding nafas kendali) serta pemberian drip melalui infus
(dibandingkan dengan pemberian melalui bolus) mengurangi depresi
jantung. Sedangkan usia berbanding lurus dengan efek depresi jantung.
Sistem pernafasan. Apnoe paling banyak didapatkan pada
pemberian propofol dibanding obat intravena lainnya. Umumnya
berlangsung selama 30 detik, namun dapat memanjang dengan
pemberian opioid sebagai premedikasi atau sebelum induksi dengan
propofol. Dapat menurunkan frekuensi pernafasan dan volume tidal.
Efek ini biasanya bersifat sementara namun dapat memanjang pada
penggunaan dosis yang melebihi dari rekomendasi atau saat digunakan
bersamaan dengan respiratory depressants.
c. Dosis
Propofol digunakan untuk induksi dan pemeliharaan dalam
anastesia umum, pada pasien dewasa dan pasien anak – anak usia lebih
dari 3 tahun. (4) Dosis yang dianjurkan untuk induksi pada pasien lebih
dari 3 tahun dan kurang dari 55 tahun adalah 2-2.5 mg/kgBB dan untuk
pasien lebih dari 55 tahun, pasien lemah atau dengan ASA III/IV: 1-1.5
mg/kgBB. Untuk pemeliharaan dosis yang dianjurkan pada pasien lebih
dari 3 tahun dan kurang dari 55 tahun adalah 0.1-0.2 mg/menit/kgBB dan
untuk pasien lebih dari 55 tahun, pasien lemah atau dengan ASA III/IV:
(4)
0.05-0.1 mg/menit/kgBB. Dosis yang dianjurkan yang dapat
24

menimbulkan sedasi adalah 0.1-0.15 mg/kgBB sebagai dosis inisial


dengan dosis pemeliharaan yang dianjurkan pada pasien lebih dari 3
tahun dan kurang dari 55 tahun adalah 0.025-0.075 mg/menit/kgBB dan
untuk pasien lebih dari 55 tahun, pasien lemah atau dengan ASA III/IV:
0.02-0.06 mg/menit/kgBB.
Propofol, bila digunakan untuk induksi anestesi dalam prosedur
singkat, hasil dalam pemulihan secara signifikan lebih cepat dan
pengembalian sebelumnya fungsi psikomotor dibandingkan dengan
thiopental atau methohexital, terlepas dari anestesi yang digunakan untuk
pemeliharaan anestesi. Kejadian mual dan muntah saat propofol
digunakan untuk induksi juga nyata kurang dari setelah penggunaan
anestesi IV lainnya, mungkin karena sifat antiemetik propofol. Propofol
mendukung perkembangan bakteri, sehingga harus berada dalam
lingkungan yang steril dan hindari profofol dalam kondisi sudah terbuka
lebih dari 6 jam untuk mencegah kontaminasi dari bakteri.
d. Efek samping
Suntikan intravena sering menyebabkan nyeri, sehingga beberapa
detik sebelumnya dapat diberikan lidokain 1-2 mg/kgBB intravena
Biasanya terjadi saat penyuntikan dilakukan di dorsum Palmaris. Insidens
nyeri lebih sedikit didapatkan pada penyuntikan di vena yang lebih besar
di fossa antecubiti. Bradikardi serta hipotensi kadang didapatkan setelah
penyuntikan propofol, namun dapat diatasi dengan penyuntikkan obat
antimuskarinik, misalnya: atropin. Efek samping eksitatorik seperti
myoclonus, opisthotonus serta konvulsi kadang dihubungkan dengan
pemberian propofol dan dapat terjadi pada masa pemulihan. Resiko
konvulsi dan onset yang melambat ditemujan pada pemberian propofol
pada pasien epilepsi.
2. TIOPENTAL
25

a. Definisi
Tiopental (pentotal, tiopenton) dikemas dalam bentuk tepung atau
bubuk berwarna kuning, berbau belerang, biasanya dalam ampul 500 mg
atau 1000 mg. Sebelum digunakan dilarutkan dalam akuades steril
sampai kepekatan 2.5% (1 ml= 25 mg). Thiopental hanya boleh
digunakan untuk intravena. Penyuntikan dilakukan perlahan-lahan
dihabiskan dalam 30-60 detik. Keuntungan thiopental antara lain:
1) Induksi mudah dan cepat
2) Tidak ada delirium
3) Kesadaran cepat pulih
4) Tidak ada iritasi mukosa jalan nafas
Sedangkan kekurangan dari penggunaan thiopental antara lain:
1) Depresi pernafasan
2) Depresi kardiovaskular
3) Kecendurangan tejradinya spasme laring
4) Relaksasi otot perut kurang
5) Tidak memiliki efek analgesik.
b. Farmakokinetik
Waktu paruh thiopental berkisar antara 3-6 jam dengan onset
berkisar antara 30-60 detik dan durasi kerja obat 20-30 menit. (7)
Thiopental di dalam darah 70% diikat oleh albumin, sisanya 30% dalam
bentuk bebas, sehingga pada pasien dengan albumin rendah, dosis rendah
harus dikurangi. Bergantung dosis dan kecepatan suntikan, thiopental
akan menyebabkan pasien berada dalam keadaan sedasi, hipnotik,
anesthesia, atau depresi nafas.
Metabolisme thiopental terutama terjadi di hepar dengan sebagian
kecil thiopental keluar lewat urin tanpa mengalami perubahan. 10-15%
26

thiopental dalam tubuh akan dimetabolisme tiap jam. Pulih sadar yang
cepat setelah thiopental disebabkan oleh pemecahan dalam hepar yang
cepat. Dilusi dalam darah dan redistribusi ke jaringan tubuh yang lain.
Oleh karena itu thiopental termasuk dalam obat dengan daya kerja sangat
singkat (ultra short acting barbiturate) Thiopental dalam jumlah kecil
masih dapat ditemukan dalam darah 24 jam setelah pemberian. Oleh
karena itu dapat membahayakan bagi pasien one day care yang masih
harus mengendarai mobil setelah sadar dari efek thiopental.
c. Farmakodinamik
Sistem saraf pusat. Seperti barbiturat yang lain, thiopental
menimbulkan sedasi, hipnosis, atau tertidur dan depresi pernafasan
tergantung dosis dan kecepatan pemberian. Efek analgetik sedikit dan
terhadap SSP terlihat adanya depresi dan kesadarannya menurun secara
progresif. Kontak dengan lingkungan, gerakan-gerakan, dan kemampuan
menjawab pertanyaan pelan-pelan menghilang.
Kecepatan kerja dari thiopental bergantung pada penetrasi obat ke
SSP yang dipengaruhi oleh kadar obat dalam plasma dan ikatannya
dengan protein plasma. Akibat perbedaan konsentrasi, konsentrasi obat
yang lebih tinggi di plasma akan menyebabkan difusi ke SSP dalam
jumlah besar. 70% thiopental terikat albumin, sedangkan hanya
thiopental bebas yang dapat menembus blood brain barrier karena itu
ikatan dengan protein plasma dan kecepatan onset obat berbanding
terbalik. Tiopental menurukan kebutuhan oksigen otak sehingga perfusi
ke otak juga berkurang yang ditandai dengan peningkatan resistensi
vaskular otak, penurunan aliran darah ke otak dan penurunan tekanan
intrakranial.
Sistem kardiovaskuler. Thiopental mendepresi pusat vasomotor
dan kontraktilitas miokard yang mengakibatkan vasodilatasi, sehingga
dapat menurunkan curah jantung dan tekanan darah. Efek ini tergantung
dosis dan lebih nyata pada pasien dengan penyakit kardiovaskular atau
yang menerima pengobatan yang mempengaruhi simpatis.
27

Sistem pernafasan. Efek utama ialah depresi pernafasan karena


efek langsung ke pusat pernafasan dan penurunan sensitivitas terhadap
kadar CO2 sehingga PCO2 akan meningkat dan pH darah akan naik. Efek
ini akan bertambah jelas apabila sebelumnya diberikan opioid atau obat
depresan yang lain.
d. Dosis
Dosis yang dianjurkan untuk induksi yang lambat 2-6mg/kgBB,
sedangkan untuk induksi yang cepat 3-4 mg/kgBB dibagi dalam 2-4
dosis. Untuk pasien bedah saraf dengan peningkatan tekanan intracranial
1.5-3.5 mg/kgBB dengan ventilator mekanik yang mendukung dan pada
pasien dengan gangguan fungsi ginjal dengan GFR kurang dari
10ml/menit dapat diberikan 75% dari dosis normal dengan interval yang
sama dengan dosis normal. Tiopental dapat digunakan untuk:
1) Induksi pada anestesi umum
2) Operasi atau tindakan yang singkat, contohnya: reposisi fraktur, insisi,
jahit luka, tindakan ginekologi keci seperti curettage
3) Sedasi pada analgesi regional
4) Mengatasi kejang-kejang pada eklampsia, tetanus, epilepsi, dan lain-
lain
e. Efek samping
Larutan ini sangat alkalis dengan PH 10-11, sehingga suntikan keluar
vena akan menimbulkan rasa sakit, bengkak, kemerah-merahan, dapat
terjadi nekrosis. Untuk menghindari efek ini sebaiknya memakai larutan
2.5%. sedangkan injeksi intraarteri akan menyebabkan rasa terbakar,
terjadi spasme arteri dan kemungkinan thrombosis.
3. KETAMIN
28

Ketamin adalah suatu “rapid acting non-barbiturate general


anesthetic”. Ketamin kurang digemari untuk induksi anesthesia karena
sering menimbulkan takikardi, hipertensi, hipersalivasi, nyeri kepala, pasca
anesthesia dapat menimbulkan mual muntah, pandangan kabur dan mimpi
buruk. Blok terhadap reseptor opiat dalam otak dan medulla spinalis yang
memberikan efek analgesik, sedangkan interaksi terhadap reseptor
metilaspartat dapat menyebakan anastesi umum dan juga efek analgesik.
a. Farmakokinetik
Onset kerja ketamin pada pemberian intravena lebih cepat
dibandingkan pemberian intramuskular. Onset pada pemberian intravena
adalah 30 detik sedangkan dengan pemberian intramuskular
membutuhkan waktu 3-4 menit, tetapi durasi kerja juga didapatkan lebih
singkat pada pemberian intravena (5-10 menit) dibandingkan pemberian
intramuskular (12-25 menit)
Metabolisme terjadi di hepar dengan bantuan sitokrom P450 di
reticulum endoplasma halus menjadi norketamine yang masih memiliki
efek hipnotis namun 30% lebih lemah dibanding ketamine, yang
kemudian mengalami konjugasi oleh glukoronida menjadi senyawa larut
air untuk selanjutnya diekskresikan melalui urin
b. Farmakodinamik
Sistem saraf pusat. Ketamine memiliki efek analgetik yang kuat
akan tetapi efek hipnotiknya kurang (tidur ringan) disertai anestesia
disosiasi. Apabila diberikan intravena maka dalam waktu 30 detik pasien
akan mengalami perubahan tingkat kesadaran yang disertai tanda khas
pada mata berupa kelopak mata terbuka spontan, dilatasi pupil dan
nistagmus. Selain itu kadang-kadang dijumpai gerakan yang tidak
disadari (cataleptic appearance), seperti gerakan mengunyah, menelan,
tremor dan kejang. Pada pasien yang diberikan ketamin juga mengalami
amnesia anterograde. Itu merupakan efek anestesi dissosiatif yang
merupakan tanda khas setelah pemberian Ketamin. Sering
29

mengakibatkan mimpi buruk dan halusinasi pada periode pemulihan


sehingga pasien mengalami agitasi. Selain itu, ketamin menyebabkan
peningkatan aliran darah ke otak, konsumsi oksigen otak, dan tekanan
intrakranial.
Pulih sadar kira-kira tercapai dalam 10-15 menit tetapi sulit
menentukan saatnya yang tepat seperti halnya sulit menentukan
permulaan kerjanya. Kontak penuh dengan lingkungan dapat bervariasi
dari beberapa menit setelah permulaan tanda-tanda sadar sampai 1 jam.
Sering mengakibatkan mimpi buruk, disorientasi tempat dan waktu,
halusinasi dan menyebabkan gaduh, gelisah, tidak terkendali.
Sistem kardiovaskuler. Tekanan darah akan naik baik sistolik
maupun diastolik. Kenaikan rata-rata antara 20-25% dari tekanan darah
semula mencapai maksimum beberapa menit setelah suntikan dan akan
turun kembali dalam 15 menit kemudian. Denyut jantung juga
meningkat. Efek ini disebabkan adanya aktivitas saraf simpatis yang
meningkat dan depresi baroreseptor. Efek ini dapat dicegah dengan
pemberian premedikasi opioid, hiosine. Namun aritmia jarang terjadi.
Sistem pernafasan. Depresi pernafasan kecil sekali dan hanya
sementara, kecuali dosis terlalu besar dan adanya obat-obat depressan
sebagai premedikasi. Ketamin menyebabkan dilatasi bronkus dan bersifat
antagonis terhadap efek konstriksi bronkus oleh histamin, sehingga baik
untuk penderita asma dan untuk mengurangi spasme bronkus pada
anesthesia umum yang masih ringan.
c. Dosis
Dosis yang dianjurkan untuk induksi pada pasien dewasa adalah 1-
4mg/kgBB atau 1-2mg/kgBB dengan lama kerja 15-20 menit, sedangkan
melalui infus dengan kecepatan 0.5mg/kgBB/menit, sedangkan untuk
anak-anak terdapat banyak rekomendasi. Menurut Mace, et al (2004)
dosis induksi adalah 1-2 mg/kgBB sedangkan menurut Harriet Lane,
0.25-0.5 mg/kgBB. Dengan dosis tambahan setengah dari dosis awal
sesuai kebutuhan. Untuk sedasi dan analgesik dosis yang dianjurkan
30

adalah 0.2-0.8 mg/kgBB intravena dan untuk mencegah nyeri dosis yang
dianjurkan adalah 0.15-0.25 mg/kgBB intravena. Ketamin dapat
diberikan bersama dengan diazepam atau midazolam dengan dosis
0.1mg/kgBB intravena dan untuk mengurangi salvia dapat diberikan
sulfas atropine 0.01mg/kgBB.
d. Indikasi
Ketamin dipakai baik sebagai obat tunggal maupun sebagai induksi
pada anestesi umum :
1) Untuk prosedur dimana pengendalian jalan nafas sulit, misalnya pada
koreksi jaringan sikatriks daerah leher.
2) Untuk prosedur diagnostic pada bedah saraf atau radiologi
(radiografi).
3) Tindakan ortopedi, misalnya reposisi.
4) Pada pasien dengan resiko tinggi karena ketamin yang tidak
mendepresi fungsi vital
5) Untuk tindakan operasi kecil.
6) Di tempat dimana alat-alat anestesi tidak ada
7) Pasien asma.
e. Kontra Indikasi
Ketamin tidak dianjurkan untuk digunakan pada:
1) Pasien hipertensi dengan tekanan darah sistolik 160 mmHg dan
diastolik 100 mmHg.
2) Pasien dengan riwayat CVD.
3) Pasien dengan decompensatio cordis. Penggunaan ketamin juga harus
hati-hati pada pasien dengan riwayat kelainan jiwa & operasi-operasi
pada daerah faring karena reflex masih baik.
f. Efek samping
Di masa pemulihan pada 30% pasien didapatkan mimpi buruk
sampai halusinasi visual yang kadang berlanjut hingga 24 jam pasca
pemberian. Namun efek samping ini dapat dihindari dengan pemberian
opioid atau benzodiazepine sebagai premedikasi.
31

E. Pemeliharaan Anestesi
Dapat dikerjakan secara intravena (anestesi intravena total). Rumatan
anestesi mengacu pada trias anestesi yaitu tidur ringan (hypnosis) sekedar
tidak sadar, analgesia cukup, diusahakan agar pasien selama dibedah tidak
menimbulkan nyeri dan relaksasi otot lurik yang cukup. Rumatan intravena
biasanya menggunakan opioid dosis tinggi, fentanil 10-50 µg/kgBB. Dosis
tinggi opioid menyebabkan pasien tidur dengan analgesia cukup, sehingga
tinggal memberikan relaksasi pelumpuh otot. Rumatan intravena dapat juga
menggunakan opioid dosis biasa, tetapi pasien ditidurkan dengan infuse
propofol 4-12 mg/kgBB/jam
BAB III
KESIMPULAN

A. KESIMPULAN
-
32
33

DAFTAR PUSTAKA

Dewoto HR, et al. Farmakologi dan Terapi Edisi 5, cetak ulang dengan tambahan,
tahun 2012. Analgesik opioid dan antagonisnya. Balai Penerbit FKUI
Jakarta 2012; 210-218.

Muhiman, Muhardi, dr. et al. Anestesiologi. Bagian Anestesiologi dan Terapi


Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Jakarta; 65-71 Latief,
Said A, Sp.An; Suryadi, Kartini A, Sp.An; Dachlan, M. Ruswan, Sp.An.
Petunjuk Praktis Anestesiologi. Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Jakarta 2010; 46-47, 81
34

Calvey, Norman; Williams, Norton. Principles and Practice of Pharmacology for


Anaesthetists. Fifth edition. Blackwell Publishing 2008; 110-126, 207-208
Miller, Ronald D. MD, et. al. Miller’s anesthesia. Elseveir 2010.
CDROOM. Accessed on 4 Maret 2013. http://www.webmd.com/pain-
management/fentanyl. Accessed on 17 Maret 2017

Hong LY, et al. Predictive performance of ‘Diprifusor’ TCI system in patients


during upper abdominal surgery under propofol/fentanyl anesthesia.
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC1390758/pdf/JZUSB06-
0043.pdf. accessed on 17 Maret 2017

Sandham J. Total Intravena Anesthesia. May 2009. Available at


http://www.ebme.co.uk/arts/tiva/index.php. accessed on 17 Maret 2017

You might also like