You are on page 1of 12

RESUME KEGAWATDARURATAN MUSCULOSKELETAL

Disusun guna menyelesaikan tugas mata kuliah Keperawatan Gawat Darurat


dengan dosen pengampu Ns. Siswoyo, S.Kep., M.Kep.,

oleh

Faridatul Khasanah

NIM 162310101180

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

FAKULTAS KEPERAWATAN

UNIVERSITAS JEMBER

2019
A. Kegawatdaruratan Musculoskeletal

Gangguan muskuloskeletal merupakan suatu kondisi yang mempengaruhi


sistem muskuloskeletal yang dapat terjadi pada tendon, otot, sendi pembuluh
darah atau saraf pada anggota gerak. Gejala dapat berupa nyeri, rasa tidak
nyaman, kebas pada bagian yang terlibat dan dapat berbeda derajat keparahannya
mulai dari ringan sampai kondisi berat, kronis dan lemah. Ada beberapa jenis
cedera, antara lain:

a. Sprain
Sprain merupakan terenggangnya atau robeknya ligamen, dapat
mengenai satu atau lebih ligamen dalam waktu bersamaan. Sprain dapat
disebabkan karena jatuh, terpuntir, atau tekanan pada tulang yang
menyebabkan tulang pada sendi bergeser sehingga menyebabkan ligamen
terenggang atau bahkan robek. Sprain paling sering terjadi pada
pergelangan kaki, pergelangan tangan dan pada jempol kaki. Gejala dan
tanda dari sprain ini beruba nyeri, bengkak, memar, gerak sendi tidak
stabil, kaku sendi, dan pendarahan.
b. Strain
Strain merupakan kerusakan pada otot atau tendon karena
penarikan otot yang berlebihan atau kontraksi otot yang mendadak. Strain
ini dapat disebabkan karena tertariknya otot atau tendon secara berlebihan
yang dapat bersifat akut atau kronik. Lokasi yang paling sering terjadinya
strain adalah di otot hamsting dan pinggang, umtuk lokasi lain biasanya
terjadi pada lengan dan siku-siku. Tanda-tanda terjadinya strain antara lain
adalah nyeri, keterbatasan gerak, kram otot, otot lemah, adanya tanda-
tanda peradangan.
c. Dislokasi
Dislokasi merupakan cedera pada sendi yang terjadi ketika tulang
bergeser dan keluar dari posisi normalnya. Seluruh sendi pada tubuh dapat
mengalami dislokasi termasuk sendi bahu, jari, lutut, pinggul dan
pergelangan kaki.
d. Fraktur
Fraktur atau pada tulang adalah terputusnya jaringan tulang, baik
seluruhnya atau hanya sebagian saja. Ada 2 jenis patah tulang, yang
pertama patah tulang tertutup yaitu pada permukaan kulit masih utuh atau
tidak terdapat luka, sedangan yang kedua adalah patah tulang terbuka yaitu
permukaan kulit dekat dengan bagian yang patah dan bagian tulang yang
patah berhubungan dengan udara luar. Beberapa tanda gejala fraktur antara
lain yaitu terdapat perubahan bentuk, nyeri dan kaku, terdengar suara
berderik pada daerah yang patah, terdapat tanda-tanda peradangan, dan
terdapat gangguan peredaran darah dan persyarafan.

B. Penilaian Awal Trauma Musculuskeletal

Pada penderita trauma atau multitrauama memerlukan penilaian dan


pengelolaan yang cepat dan tepat untuk menyelamatkan jiwa penderita. Proses
awal ini dikenal dengan Initial Assessment, yang meliputi:

a. Persiapan
1. Fase Pra-Rumah Sakit
a) Koordinasi yang baik antara dokter di rumah sakit dengan
petugas lapangan
b) Sebaiknya terdapat pemberitahuan terhadap rumah sakit
sebelum pasien diangkut dari tempat kejadian
c) Pengumpulan keterangan yang akan dibutuhkan di rumah sakit
seperti waktu kejadian, penyebab kejadianm mekanisme
kejadian dan riwayat pasien
2. Fase Rumah Sakit
a) Perencanaan sebelum pasien tiba
b) Perlengkapan airway sudah disiapkan, dicoba, dan diletakkan
di tempat yang mudah di jangkau
c) Cairan kristaloid yang sudah dihangatkan, disiapkan dan
diletakkan pada tempat yang mudah dijangkau
d) Pemberitahuan terhadap tenaga laboratorium dan radiologi
apabila sewaktu-waktu dibutuhkan
e) Pemakaian alat-alat proteksi diri
b. Triage
Triage adalah cara pemilihan penderita berdasarkan kebutuhan terapi dan
sumber yang tersedia. Ada dua jenis triase:
1. Multiple Casualties
Jumlah pasien dan beratnya trauma tidak melampaui kemampuan
rumah sakit. pasien dengan masalah yang mengancam jiwa dan trauma
akan mendapatkan prioritas penanganan lebih dahulu
2. Mass Casualties
Jumlah pasien dan beratnya trauma melampaui kemampuan rumah
sakit. pasien dengan kemungkinan survival yang terbesar dan
membutuhkan waktu, perlengkapan dan tenaga yang paling sedikit
akan mendapatkan prioritas penanganan lebih dulu
c. Primary Survey
1. Airway dengan kontrol servikal
a) Penilaian
1) Mengenal patensi airway (inspeksi, auskultasi, palpasi)
2) Penilaian secara cepat dan tepat akan adanya obstruksi
b) Pengelolaan airway
1) Lakukan chin lift atau jaw thrust dengan kontrol
servikal in-line immobilisasi
2) Bersihkan airway dari benda asing bila perlu suctioning
dengan alat yang rigid
3) Pasang pipa nasofaringeal atau orofaringeal
4) Pasang airway definitif sesuai indikasi
c) Fiksasi leher
d) Anggaplah bahwa terdapat kemungkinan fraktur servikal pada
setiap pasien multi trauma, terlebih bila ada gangguan
kesadaran atau perlu perlukaan diatas klavikula
e) Evaluasi
2. Breathing dan Ventilasi-Oksigenasi
a) Penilaian
1) Buka leher dan dada pasien, dengan tetap
memperhatikan kontrol servikal in-line immobilisasi
2) Tentukan laju dan dalamnya pernapasan
3) Inspeksi dan palpasi leher dan thoraks untuk mengenali
kemungkinan terdapat deviasi trakhea, ekspansi thoraks
simetris atau tidak, pemakaian otot-otot tambahan dan
tanda-tanda cedera lainnya
4) Perkusi thoraks untuk mennentukan redup atau
hipersonor
5) Auskultasi thoraks bilateral
b) Pengelolaan
1) Pemebrian oksigen konsentrasi tinggi (nonrebreather
mask 11-12 liter/menit)
2) Ventilasi dengan Bag Valve Mask
3) Menghilangkan tension pneumothorax
4) Menutup open pneumothorax
5) Memasang pulse oxymeter
c) Evaluasi
3. Circulation dengan Control Perdarahan
a) Penilaian
1) Mengetahui sumber perdarahan eksternal yang fatal
2) Mengetahui sumber perdarahan internal
3) Periksa nadi: kecepatan, kualitas, keteraturan, pulsus
paradoksus. Tidak ditemukannya pulsasi dari arteri
besar merupakan pertanda diperlukannya resusitasi
masif segera
4) Periksa warna kulit, kenali tanda-tanda sianosis
5) Periksa tekanan darah
b) Pengelolaan
1) Penekanan langsung pada sumber perdarahan eksternal
2) Kenali perdarahab internal, kebutuhan untuk intervensi
bedah serta konsultasi pada ahli bedah
3) Pasang kateter IV 2 jalur ukuran besar sekaligus
mengambil sampel darah untuk pemeriksaan rutin,
kimia darah, tes kehamilan, golongan darah dan cross-
macth serta Analisis Gas Darah (AGD)
4) Beri cairan kristaloid yang sudah dihangatkan dengan
tetesan cepat
5) Pasang PSAG/ bidai pneumatik untuk kontrol
perdarahan pada pasien-pasien fraktur pelvis yang
mengancam nyawa
6) Cegah hipotermi
c) Evaluasi
4. Disability
a) Tentukan tingkat kesadaran memakai skor GCS/PTS
b) Nilai pupil: besarnya, isokor atau tidak, reflek cahaya dan
awasi tanda-tanda lateralisasi
c) Evaluasi dan re-evaluasi airway, oksigenasi, ventilasi, dan
circulation
5. Exposure/Environment
a) Buka pakaian pasien
b) Cegah hipotermia: beri selimut hangat dan tempatkan pada
ruangan yang cukup hangat
d. Resusitasi
1. Re-evaluasi ABCDE
2. Dosis awal pemberian cairan kristaloid adalah 1000-2000 ml pada
dewasa dan 20ml/kg pada anak dengan tetesan cepat
3. Evaluasi resusitasi cairan
a) Nilailah respon pasien terhadap pemberian cairan awal
b) Nilai perfusi organ (nadi, warna kulit, kesadaran, dan produksi
urin) serta awasi tanda-tanda syok
c) Pemberian cairan selanjutnya berdasarkan respon terhadap
pemberian cairan awal
d) Respon cepat
1) Pemberian cairan diperlambat sampai kecepatan
maintenance
2) Tidak ada indikasi bolus cairan tambahan yang lain atau
pemberian darah
3) Pemeriksaan darah dan cross-match tetap dikerjakan
4) Konsultasikan pada ahli bedah karena intervensi
operatif mungkinmasih diperlukan
e) Respon sementara
1) Pemberiam cairan tetap dilajutkan, ditambah dengan
pemberian darah
2) Respon terhadap pemberian darah menentukan tindakan
operatif
3) Konsultasikan pada ahli bedah
f) Tanpa respon
1) Konsultasikan pada ahli bedah
2) Perlu tindakan operatif sangat segera
3) Waspadai kemungkinan syok nonhemoragik seperti
tamponade jantung atau kontusio miokard
4) Pemasangan CVP dapat membedakan keduanya

C. Imobilisasi Fraktur
Tujuan Imobilisasi fraktur adalah meluruskan ekstrimitas yang
cedera dalam posisi seanatomis mungkin dan mencegah gerakan yang
berlebihan pada daerah fraktur. hal ini akan tercapai dengan melakukan
traksi untuk meluruskan ekstrimitas dan dipertahankan dengan alat
imobilisasi. pemakaian bidai yang benar akan membantu menghentikan
pendarahan, mengurangi nyeri, dan mencegah kerusakan jaringan lunak
lebih lanjut. Imobilisasi harus mencakup sendi diatas dan di bawah fraktur.
Fraktur femur dilakukan imobilisasi sementara dengan traction splint.
traction splint menarik bagian distal dari pergelangan kaki atau melalui
kulit. Di proksimal traction splint didorong ke pangkal paha melalui ring
yang menekan bokong, perineum dan pangkal paha. Cara paling sederhana
dalam membidai tungkai yang trauma adalah dengan tungkai sebelahnya.
Pada cedera lutut pemakaian long leg splint atau gips dapat
membantu kenyamanan dan stabilitas. Tungkai tidak boleh dilakukan
imobilisasi dalam ekstensi penuh. Fraktur tibia sebaiknya dilakukan
imobilisasi dengan cardboard atau metal gutter, long leg splint. jika
tersedia dapat dipasang gips dengan imobilisasi meliputi tungkai bawah,
lutut, dan pergelangan kaki.

D. Beberapa Kondisi Kegawat-Daruratan Terkait Fraktur Yang


Mengancam Nyawa
a. Pendarahan Arteri Besar
Trauma tajam maupun tumpul yang merusak sendi atau tulang di
dekat arteri mampu menghasilkan trauma arteri. Cedera ini dapat
menimbulkan pendarahan besar pada luka terbuka atau pendarahan di
dalam jaringan lunak. Ekstrimitas yang dingin, pucat, dan
menghilangnya pulsasi ekstremitas menunjukkan gangguan aliran
darah arteri. Hematoma yang membesar dengan cepat, menunjukkan
adanya trauma vaskular. Cedera ini menjadi berbahaya apabila kondisi
hemodinamik pasien tidak stabil.
Jika dicurigai adanya trauma arteri besar maka harus
dikonsultasikan segera ke dokter spesialis bedah. Pengelolaan
pendarahan arteri besar berupa tekanan langsung dan resusitasi cairan
yang agresif. Syok dapat terjadi akibat kurangnya volume darah akibat
pendarahan yang masif.
Beberapa hal yang dapat dilakukan saat ditemukannya tanda-tanda
syok (nadi meningkat dan melemah, tekanan darah menurun, akral
dingin, penurunan kesadaran) adalah :
1. Amankan Airway dan Breathing dengan pemasangan alat bantu
jalan nafas jika perlu dan pemberian oksigen.
2. Amankan Circulation dengan cara membebat lokasi pendarahan,
pemasangan akses vaskuler, dan terapi cairan awal. Untuk akses
vaskuler, dipasang dua kateter IV ukuran besar (minimum no 16).
Tempat terbaik untuk memasang akses vena adalah di vena lengan
bawah dan di kubiti, tetapi pemasangan kateter vena sentral juga
diindikasikan apabila terdapat fasilitas. Untuk terapi cairan awal,
bolus cairan hangat diberikan secepatnya. Dosis umumnya 1
hingga 2 liter untuk dewasa dan 20 ml/kg untuk anak anak. Untuk
pemilihan cairan awal digunakan cairan kristaloid seperti RL atau
NS. Respon pasien kemudian diobservasi selama pemberian cairan
awal. Perhitungannya adalah pemberian 3 L kristaloid untuk
mengganti 1 L darah. Pemberian Koloid dapat dipertimbangkan
apabila dengan pemberian kristaloid masih belum cukup
memperbaiki perfusi ke jaringan.
3. Penilaian respon pasien dapat dilakukan dengan memantau
beberapa kondisi seperti : a) tanda-tanda vital (tekanan darah, nadi,
saturasi oksigen) b) Produksi urin dipantau dengan memasang
kateter urin. Target dari produksi urin adalah 13 0,5 ml/kg/jam
untuk dewasa, 1 ml/kg/jam untuk anak-anak. c) keseimbangan
asam basa.
4. Saat kondisi pasien stabil, harus dilakukan pemeriksaan atau
rujukan untuk menterapi secara definitif penyebab pendarahan
tersebut.
b. Crush Syndrome
Crush Syndrome atau Rhabdomyolysis adalah keadaan klinis yang
disebabkan oleh kerusakan otot, yang jika tidak ditangani akan
menyebabkan kegagalan ginjal akut. Kondisi ini terjadi akibat crush
injury pada massa sejumlah otot, yang tersering adalah paha dan betis.
Keadaan ini disebabkan oleh gangguan perfusi otot, iskemia, dan
pelepasan mioglobin.
Patofisiologi crush syndrome dimulai dari adanya trauma ataupun
etiologi lain yang menyebabkan iskemia pada otot. Trauma otot yang
luas seperti pada paha dan tungkai oleh trauma tumpul merupakan
salah satu penyebab tersering pada crush syndrome. Crush syndrome
biasanya sering terjadi saat bencana seperti gempa bumi, teror bom
dan lain-lain dimana otot dan bagian tubuh remuk tertimpa oleh benda
yang berat.
Pada keadaan normalnya kadar myoglobin plasma adalah sangat
rendah (0 to 0.003 mg per dl). Apabila lebih dari 100 gram otot
skeletal telah rusak, kadar myoglobin melebihi kemampuan pengikatan
myoglobin dan akan mengganggu filtrasi glomerulus, menimbulkan
obstruksi pada tubulus ginjal dan menyebabkan gagal ginja.
Gejala yang timbul oleh crush syndrome adalah rasa nyeri, kaku, kram,
dan pembengkakan pada otot yang terkena, diikuti oleh kelemahan
serta kehilangan fungsi otot tersebut. Urin yang berwarna seperti teh
adalah gejala yang cukup khas karena dalam urin terdapat myoglobin.
Mendiagnosis crush syndrome sering terlewatkan saat penyakit ini
tidak dicurigai dari awal14. Adapun komplikasinya adalah hipovolemi,
asidosis metabolik, hiperkalemia, Gagal Ginjal akut, dan DIC
(Disseminated Intravaskular Coagulation).
Diperlukan Manajemen kegawatdaruratan yang tepat dan cepat
dalam penanganan crush syndrome dan pencegahan komplikasinya.
Pada Instalasi Rawat Darurat yang dapat dilakukan adalah14 :
1. Evaluasi ABC
2. Pemberian cairan IV. Resusitasi cairan sangat dibutuhkan
mengingat sering terjadi hipovolemia. Pemberian normal saline
dengan kecepatan 1,5 liter per jam dan targetnya adalah produksi
urin 200 – 300 ml per jam. Pemberian cairan yang mengandung
potassium dan laktat sebaiknya dihindari karena akan
memperburuk hiperkalemia dan acidosis. Investigasi mendalam
terhadap trauma dan memonitor keadaan pasien.
3. Pemberian bikarbonat untuk mengobati asidosis.
4. Setelah keadaan hemodinamik stabil, maka dapat dilakukan terapi
definitif untuk kausa seperti trauma.
c. Sindroma Kompartemen
Sindroma kompartemen dapat ditemukan pada tempat di mana otot
dibatasi oleh rongga fasia yang tertutup. Perlu diketahui bahwa kulit
juga berfungsi sebagai lapisan penahan. Daerah yang sering terkena
adalah tungkai bawah, lengan bawah, kaki, tangan, region glutea, dan
paha. Iskemia dapat terjadi karena peningkatan isi kompartemen akibat
edema yang timbul akibat revaskularisasi sekunder dari ekstrimitas
yang iskemi atau karena penyusutan isi kompartemen yang disebabkan
tekanan dari luar misalkan balutan yang menekan.
Gejala dan tanda-tanda sindroma kompartemen adalah:
1. Nyeri bertambah dan khususnya meningkat dengan gerakan pasif
yang meregangkan otot bersangkutan.
2. Parestesia daerah distribusi saraf perifer yang terkena, menurunnya
sensasi atau hilangnya fungsi dari saraf yang melewati
kompartemen tersebut.
3. Asimetris pada daerah kompartemen
Kelumpuhan atau parese otot dan hilangnya pulsasi
(disebabkan tekanan kompartemen melebihi tekanan sistolik)
merupakan tingkat lanjut dari sindroma kompartemen. Diagnosis
klinik didasari oleh riwayat trauma dan pemeriksaan fisik. Tekanan
intra kompartemen melebihi 35 – 45 mmHg menyebabkan
penurunan aliran kapiler dan menimbulkan kerusakan otot dan
saraf karena anoksia. Pengelolaan sindroma kompartemen meliputi
pembukaan semua balutan yang menekan, gips, dan bidai. Pasien
harus diawasi dan diperiksa setiap 30 – 60 menit. Jika tidak
terdapat perbaikan, perlu dilakukan fasciotomi.

You might also like