You are on page 1of 64

REFERAT

DEMAM TIFOID

Disusun oleh:
Mafida Rista Azizah 201810401011015

Pembimbing:
dr. Dahsyat Wasis Setiadi, Sp.A
dr. Lily Diah Farida, Sp.A
dr. Hervin Febrina Ghofar Sp.A
dr. Renyta Ika Damayanti, Sp.A

Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak


Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Malang
Rumah Sakit Umum Daerah Gambiran Kediri
Periode 18 Maret 2019 – 19 Mei 2019
LEMBAR PENGESAHAN REFERAT

DEMAM TIFOID

Telah Disetujui

Untuk Memenuhi Persyaratan

Pendidikan Profesi Fakultas Kedokteran

Universitas Muhammadiyah Malang

Tanggal: 07 Mei 2019

Kepala SMF Ilmu Kesehatan Anak

RSUD Gambiran Kediri

dr. Dahsyat Wasis Setiadi, Sp.A


KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr.Wb.

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, karena atas berkat dan

rahmat-Nya, penulis telah menyelesaikan penulisan laporan kasus dengan judul

“Demam Typhoid”.

Penulisan Laporan Kasus ini bertujuan untuk memenuhi salah satu syarat

kelulusan pada program pendidikan profesi dokter pada Fakultas Kedokteran

Universitas Muhammadiyah Malang yang dilaksanakan di RSUD Gambiran

Kediri. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada seluruh dokter pembimbing

dr. Dahsyat Wasis Setiadi, Sp.A, dr. Lily Diah Farida, Sp.A, dr. Hervin Febrina

Ghofar, Sp.A dan dr. Renyta Ika Damayanti, Sp.A serta semua pihak terkait yang

telah membantu terselesaikannya laporan kasus ini.

Tulisan laporan kasus ini masih jauh dari kesempurnaan. Dengan

kerendahan hati, penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya dan mengharapkan

kritik dan saran yang membangun. Semoga tulisan laporan kasus ini dapat

bermanfaat bagi semua pihak.

Wassalamualaikum WR.WB.

Kediri, 07 Mei 2019

Penulis
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN ....................................................................... ii

KATA PENGANTAR ............................................................................... iii

DAFTAR ISI ............................................................................................. iv

BAB 1 PENDAHULUAN……………..................................................... 1

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ................................................................ 3

2.1 Definisi ..................................................................................... 3

2.2 Epidemiologi ................................................................................ 4

2.3 Etiologi ...................................................................................... 5

2.4 Patofisiologi .................................................................................. 7

2.5 Manifestasi klinis .......................................................................... 10

2.6 Klasifikasi Demam Tifoid ............................................................. 14

2.7 Pemeriksaan Laboratorium ........................................................... 15

2.8 Diagnosis ...................................................................................... 20

2.9 Diagnosis Banding ......................................................................... 22

2.10 Tatalaksana .................................................................................. 23

2.11 Komplikasi .................................................................................. 29

2.12 Pencegahan .................................................................................. 33

2.13 Prognosis ..................................................................................... 36

2.14 Definisi dan Manifestasi Typhoid karier ...................................... 37

2.15 Diagnosis Typhoid karier ............................................................. 39

2.16 Penatalaksanaan typhoid karier ................................................... 39

BAB 3 LAPORAN KASUS ..... ................................................................ 42


BAB 4 PEMBAHASAN ........................................................................... 56

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................ 59


BAB 1

PENDAHULUAN

Demam tifoid merupakan infeksi sistemik yang bersifat akut disebabkan

oleh Salmonella enterica servoar typhi (S typhi) dan beberapa lainnya oleh

Salmonella enterica servoar paratyphi (Nelwan RHH, 2012). Salmonella typhi

dapat hidup didalam tubuh manusia, manusia yang terinfeksi Salmonella typhi

dapat mengekskresikannya melalui sekret saluran nafas, urin, dan tinja dalam

jangka waktu yang sangat bervariasi. Bakteri ini masuk kedalam mulut bersama

makanan dan minuman yang terkontaminasi oleh bakteri tersebut dan hanyut

kedalam saluran pencernaan, apabila bakteri berhasil mencapai usus halus dan

masuk kedalam tubuh mengakibatkan terjadinya demam typhoid (Soedarmo,

Sumarmo S, et al., 2012). Penyakit ini ditandai oleh demam berkepanjangan. Pada

minggu pertama sakit, demam sangat sulit dibedakan dengan penyakit demam

lainnya sehingga untuk memastikan diagnosis diperlukan pemeriksaan biakan

kuman untuk memastikan (Widodo D, 2014).

Data World Health Organization (WHO) tahun 2017 memperkirakan

terdapat sekitar 11-20 juta kasus demam typoid setiap tahunnya di seluruh dunia

dengan insidensi 128.000-161.000 kasus kematian setiap tahun (WHO, 2018). Di

Indonesia demam tifoid bersifat endemik dan merupakan masalah kesehatan

masyarakat. Insiden demam typhoid di Indonesia termasuk tinggi yaitu berkisar

352-810 kasus per 100.000 penduduk per tahun atau 600.000-1.500.000 kasus per

tahun (Depkes RI, 2017). Angka kematian diperkirakan 2,5-6% atau 50.000 orang

per tahun. Penyakit ini menyerang semua umur tetapi kebanyakan pada anak-anak

umur 5-9 tahun (Eddy, 2016). Demam typhoid merupakan masalah kesehatan
masyarakat yang penting karena penyebarannya berkaitan erat dengan urbanisasi,

kepadatan penduduk, kesehatan lingkungan, sumber air dan sanitasi yang buruk

serta standar kebersihan industri pengolahan makanan yang masih rendah. Demam

typhoid masih sering dijumpai secara luas di berbagai negara berkembang yang

terutama terletak di daerah tropis dan subtropis (Pujiadi et. al, 2011).
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Demam Tifoid adalah penyakit yang disebabkan oleh kuman Salmonella

Typhi, Salmonella Paratyphi A , Salmonella Paratyphi B (Schotmulleri),

Salmonella Paratyphi C (Hishfeldii), disebut pula sebagai demam enterik dan tifus

abdominalis. Merupakan penyakit yang dapat bermanifestasi klinis berat karena

komplikasinya dan mampu menyebabkan karier. Manusia merupakan satu-satunya

pejamu bagi organisme ini. Diberi nama demam tifoid karena tanda dan gejalanya

mirip tifus yang disebabkan Rickettsia. Infeksi akibat spesies Salmonella (non

tifoid) ditemukan di berbagai belahan dunia, memiliki sindrom klinis yang luas

mulai dari asimtomatik, gastroenteritis yang dapat sembuh sendiri sampai dengan

berat. Memiliki pejamu yang umumnya pada hewan (Kemenkes, 2013).

Prevalensi demam typhoid paling tinggi pada usia 5 - 9 tahun karena pada

usia tersebut orang-orang cenderung memiliki aktivitas fisik yang banyak dan

kurang memperhatikan pola makannya, akibatnya mereka cenderung lebih memilih

makan di luar rumah, atau jajan di tempat lain, khususnya pada anak usia sekolah

yang mungkin tingkat kebersihannya masih kurang dimana bakteri S. thypi banyak

berkembang biak khususnya dalam makanan sehingga mereka tertular demam

typhoid. Pada usia anak sekolah, mereka cenderung kurang memperhatikan

kebersihan/hygiene perseorangannya yang mungkin diakibatkan karena

ketidaktahuannya bahwa dengan jajan makanan sembarang dapat menyebabkan

tertular penyakit demam typhoid (Alan R, 2003).

2.2 Epidemiologi
Besarnya angka pasti kasus demam tifoid di dunia sangat sulit ditentukan

karena penyakit ini dikenal mempunyai gejala dengan spektrum klinis yang sangat

luas. Data World Health Organization (WHO) tahun 2017 memperkirakan terdapat

sekitar 11-20 juta kasus demam tifoid di seluruh dunia dengan insidensi 128.000-

161.000 kasus kematian tiap tahun (WHO, 2018). Di negara berkembang, kasus

demam tifoid dilaporkan sebagai penyakit endemis dimana 95% merupakan kasus

rawat jalan sehingga insidensi yang sebenarnya adalah 15-25 kali lebih besar dari

laporan rawat inap di rumah sakit. Di Indonesia kasus ini tersebar secara merata di

seluruh propinsi dengan insidensi di daerah pedesaan 358/100.000 penduduk/tahun

dan di daerah perkotaan 760/100.000 penduduk/ tahun atau sekitar 600.000 dan 1.5

juta kasus per tahun. Umur penderita yang terkena di Indonesia dilaporkan antara

3-19 tahun pada 91% kasus (Darmowandowo, 2016).

Di Indonesia, insidens demam tifoid banyak dijumpai pada populasi yang

berusia 3-19 tahun (Nelwan, 2012). Di Indonesia demam tifoid banyak dijumpai di

kota-kota besar. Tidak ada perbedaan yang nyata insiden tifoid pada pria dengan

wanita. Insiden tertinggi didapatkan pada remaja dan dewasa muda. Insiden tifoid

di Indonesia masih sangat tinggi berkisar 350-810 per 100.000 penduduk. Demikian

juga dari telaah kasus demam tifoid di Rumah Sakit besar di Indonesia,

menunjukkan angka kesakitan cenderung meningkat setiap tahun dengan rata-rata

500/100.000 penduduk. Angka kematian diperkirakan sekitar 0,6-5% (Menteri

Kesehatan Republik Indonesia, 2006).

2.3 Etiologi

Penyebab demam tifoid adalah salmonella typhi dan paratyphi, termasuk

dalam genus Salmonella yang tergolong dalam famili enterobacteriaceae.


Salmonella adalah bakteri gram negatif bersifat motil, berbentuk batang, tidak

membentuk spora, tidak berkapsul, fakultatif anearob. Tahan terhadap berbagai

bahan kimia, tahan beberapa hari/minggu pada suhu kamar, bahan limbah, bahan

farmasi. Salmonella mati pada suhu 54,4°C dalam 1 jam atau 60°C dalam 15 menit.

Suhu umum untuk tumbuh adalah 37o C dengan pH antara 6-8. Dapat hidup sampai

beberapa minggu di alam bebas seperti dalam es, air, sampah, dan debu. Manusia

yang terinfeksi S. typhi dapat mengekskresikannya melalui sekret saluran nafas,

urin, dan tinja dalam jangka waktu yang sangat bervariasi (Prasetyo, et. Al, 2010).

Gambar 2.1 Salmonella typhi (Prasetyo, et. Al, 2010).

Masa inkubasi tifoid 10-14 hari, dan pada anak inkubasi bisa 5-40 hari

dengan perjalanan penyakit kadang tidak teratur. Pertumbuhan dalam kaldu terjadi

kekeruhan menyeluruh sesudah dieramkan semalam tanpa pembentukan selaput.

Pada agar dara, koloninya besar bergaris tengah 2-3 mm, bulat, agak cembung,

jernih, licin, dan tidak menyebabkan hemolysis. Pada perbenihan Mc Concey tidak

meragikan laktosa sehingga tidak berwarna. Pada perbenihan Deoksikolat sitrat,

koloninya tidak meragikan laktosa sehingga tidak berwarna. Pada perbenihan

bismuth sulfit Wilson dan blair,tumbuh koloni hitam berkilat logam akibat
pembentukan H2S. Perbenihan Selenit F dan tetrationat sering dipakai sebagai

perbenihan cair (Menteri Kesehatan Republik Indonesia, 2006).

S. typhi memiliki struktur antigen sebagai berikut:

a. Antigen O

Antigen O merupakan somatik yang terletak di lapisan luar tubuh kuman. Struktur

kimianya terdiri dari lipopolisakarida. Antigen ini tahan terhadap pemanasan 100°C

selama 2–5 jam, alkohol dan asam yang encer (Kemenkes, 2013).

b. Antigen H

Antigen H merupakan antigen yang terletak di flagela, fimbriae atau fili Salmonella

typhi dan berstruktur kimia protein. Salmonella typhi mempunyai antigen H phase-

1 tunggal yang juga dimiliki beberapa Salmonella lain. Antigen ini tidak aktif pada

pemanasan di atas suhu 60°C dan pada pemberian alkohol atau asam (Kemenkes,

2013).

c. Antigen Vi

Antigen Vi terletak di lapisan terluar Salmonella typhi (kapsul) yang melindungi

kuman dari fagositosis dengan struktur kimia glikolipid, akan rusak bila dipanaskan

selama 1 jam pada suhu 60°C, dengan pemberian asam dan fenol. Antigen ini

digunakan untuk mengetahui adanya karier. Endotoksin merupakan bagian terluar

dinding sel terdiri dari : (1) antigen O yg sdh dilepaskan, (2) lipopolisakarida, (3)

lipid A. Ke tiga antigen tadi di tubuh akan membentuk antibodi aglutinin

(Kemenkes, 2013).

d. Outer Membran Protein (OMP)

Antigen OMP Salmonella typhi merupakan bagian dinding sel yang terletak di luar

membran sitoplasma dan lapisan peptidoglikan yang membatasi sel terhadap


lingkungan sekitarnya. OMP ini terdiri dari 2 bagian yaitu protein porin dan protein

nonporin. Porin merupakan komponen utama OMP, terdiri atas protein OMP C,

OMP D, OMP F dan merupakan saluran hidrofilik yang berfungsi untuk difusi solut

dengan BM < 6000. Sifatnya resisten terhadap proteolisis dan denaturasi pada suhu

85–100°C. Protein nonporin terdiri atas protein OMP A, protein a dan lipoprotein,

bersifat sensitif terhadap protease, tetapi fungsinya masih belum diketahui dengan

jelas. Beberapa peneliti menemukan antigen OMP S typhi yang sangat spesifik

yaitu antigen protein 50 kDa/52 kDa (Kemenkes, 2013).

2.4 Patofisiologi

Patogenesis demam tifoid melibatkan 4 proses kompleks yaitu: 1)

penempelan dan invasi sel- sel pada peyer patch, 2) bakteri bertahan hidup dan

bermultiplikasi dalam makrofag peyer patch, nodus limfatikus mesenterica, dan

organ- organ extra intestinal sistem retikuloendotelial 3) bakteri bertahan hidup di

dalam aliran darah, 4) produksi enterotoksin yang meningkatkan kadar cAMP di

dalam kripta usus dan meningkatkan permeabilitas membrane usus sehingga

menyebabkan keluarnya elektrolit dan air ke dalam lumen intestinal (Nelwan,

2012).

Masuknya kuman Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi ke dalam

tubuh manusia terjadi melalui makanan yang terkontaminasi kuman. Sebagian

kuman dimusnahkan dalam lambung karena suasana asam di lambung (pH < 2)

banyak yang mati namun sebagian lolos masuk ke dalam usus dan berkembang biak

dalam peyer patch dalam usus. Jumlah kuman yang masuk dan dapat menyebabkan

infeksi minimal berjumlah 105 (Nelwan, 2012).


Bakteri yang masih hidup akan mencapai usus halus tepatnya di jejunum

dan ileum. Bila respon imunitas humoral mukosa usus (IgA) kurang baik maka

kuman akan menembus sel- sel epitel (sel-M merupakan sel epitel khusus yang yang

melapisi peyer patch, merupakan port de entry dari kuman ini) dan selanjutnya ke

lamina propria. Di lamina propria kuman berkembang biak dan difagosit oleh sel-

sel fagosit terutama makrofag. Kuman dapat hidup dan berkembang biak di dalam

makrofag dan selanjutnya dibawa ke peyer patch di ileum distal dan kemudian

kelenjar getah bening mesenterika (Nelwan, 2012).

Selanjutnya melalui ductus thoracicus, kuman yang terdapat dalam

makrofag ini masuk ke dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakteremia pertama

yang sifatnya asimtomatik) dan menyebar ke seluruh organ Retikuloendotelial

tubuh terutama hati dan Limpa. Di organ- organ RES ini kuman meninggalkan sel-

sel fagosit dan kemudian berkembang biak di luar sel atau ruang sinusoid dan

selanjutnya kembali masuk ke sirkulasi sistemik yang mengakibatkan bakteremia

kedua dengan disertai tanda- tanda dan gejala infeksi sistemik (Nelwan, 2012).

Di dalam hepar, kuman masuk ke dalam kandung empedu, berkembang

biak, dan bersama cairan empedu diekskresikan secara “intermitten” ke dalam

lumen usus. Sebagian kuman dikeluarkan bersama feses dan sebagian masuk lagi

ke dalam sirkulasi setelah menembus usus. Proses yang sama terulang kembali,

berhubung makrofag telah teraktivasi dan hiperaktif maka pada saat fagositosis

kuman Salmonella terjadi beberapa pelepasan mediator inflamasi yang selanjutnya

akan menimbulkan gejala reaksi inflamasi sistemik seperti demam, malaise,

mialgia, sakit kepala, sakit perut, diare diselingi konstipasi, sampai gangguan

mental dalam hal ini adalah delirium (Nelwan, 2012).


Dalam peyer patch makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hiperplasi

jaringan (S. typhi intra makrofag menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe lambat,

hyperplasia jaringan dan nekrosis organ). Perdarahan saluran cerna dapat terjadi

akibat erosi pembuluh darah sekitar peyer patch yang sedang mengalami nekrosis

dan hiperplasi akibat akumulasi sel- sel mononuclear di dinding usus (Nelwan,

2012).

Proses patologis jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga ke lapisan

otot, serosa usus, dan dapat mengakibatkan perforasi. Endotoxin dapat menempel

di reseptor sel endotel kapiler dengan akibat timbulnya komplikasi seperti

gangguan neuropsikiatrik, kardiovaskuler, respirasi, dan gangguan organ lainnya

(Nelwan, 2012).
Gambar 2.2 Patofisiologi Demam Tifoid (Nelwan, 2012).

2.5 Manifestasi Klinis

Pertimbangkan demam tifoid jika anak demam dan mempunyai salah satu

tanda berikut ini: diare atau konstipasi, muntah, nyeri perut, sakit kepala atau batuk,

terutama jika demam telah berlangsung selama 7 hari atau lebih dan diagnosis lain

sudah disisihkan (WHO. 2009). Diagnosis Pada pemeriksaan, gambaran diagnosis

kunci adalah:

1. Demam lebih dari tujuh hari.

2. Terlihat jelas sakit dan kondisi serius tanpa sebab yang jelas.
3. Nyeri perut, kembung, mual, muntah, diare, konstipasi.

4. Delirium.

5. Hepatosplenomegali.

6. Pada demam tifoid berat dapat dijumpai penurunan kesadaran, kejang, dan

ikterus

7. Dapat timbul dengan tanda yang tidak tipikal terutama pada bayi muda

sebagai penyakit demam akut dengan disertai syok dan hipotermi (WHO.

2009).

Gambaran klinis demam demam tifoid sangat bervariasi, dari gejala sangat

ringan (sehingga tidak terdiagnosis ) atau dengan gejala yang khas (sindrom

demam tifoid) sampai dengan gejala klinis berat yang disertai komplikasi.

Gambaran klinis dapat bervariasi menurut populasi, daerah, atau menurut waktu.

Gambaran klinis di negara berkembang dapat berbeda dengan negara maju dan

gambaran klinis tahun 2000 dapat berbeda dengan tahun enam puluhan pada daerah

yang sama. Gambaran klinis pada anak cenderung tak khas. Makin kecil anak

gambaran klinis makin tak khas. Kebanyakan perjalanan penyakit berlangsung

dalam waktu pendek dan jarang menetap lebih dari 2 minggu (Kemenkes, 2013).

a. Gejala Klinis Demam tifoid menurut Kemenkes

Kumpulan gejala klinis demam tifoid disebut sebagai sindrom demam tifoid.

Beberapa gejala klinis yang sering dijumpai adalah :

1) Demam

Demam atau panas adalah gejala utama demam tifoid. Pola demam

tifoid secara klasik digambarkan sebagai berikut: pada awal sakit

demam tidak terlalu tinggi lalu akan makin meningkat dari hari ke hari,
suhu pagi dibandingkan sore atau malam hari lebih tinggi (step ladder

fashion). Pada minggu ke-2 dan ke-3 demam akan terus menerus

(demam kontinu), demam akan menurun pada akhir minggu ke-3 dan

minggu ke-4 sampai mencapai suhu normal. Komplikasi demam tifoid

terjadi pada fase demam di akhir minggu ke-2 dan ke-3. Hati-hati

apabila terjadi penurunan suhu tubuh di akhir minggu ke-2 dan ke-3

karena dapat merupakan tanda dan gejala komplikasi perdarahan dan

perforasi saluran cerna (Kemenkes, 2013).

2) Gangguan Saluran Pencernaan

Sering ditemukan bau mulut yang tidak sedap karena demam yang lama.

Bibir kering dan kadang pecah-pecah. Lidah kelihatan kotor, ditutupi

selaput kotor (coated tongue), ujung dan tepi lidah tampak kemerahan,

serta lidah tampak tremor. Pada anak balita tanda dan gejala ini jarang

ditemukan. Pasien sering mengeluh nyeri perut, terutama regio

epigastrium (nyeri ulu hati), disertai nausea, mual dan muntah. Sering

dijumpai meteorismus, kontipasi, dan/atau diare (Kemenkes, 2013).

3) Gangguan Kesadaraan

Umumnya dijumpai gangguan kesadaran, kesadaran berkabut,

penurunan kesadaran karena tifoid ensefalopati, dan meningoensefalitis.

Sebaliknya mungkin dapat ditemukan gejala psikosis (Organic Brain

Syndrome) (Kemenkes, 2013).

4) Hepatosplenomegali

Hati dan atau limpa, ditemukan sering membesar. Pada perabaan hati

teraba kenyal dan nyeri tekan (Kemenkes, 2013).


5) Bradikardia relatif dan gejala lain

Bradikardi relatif jarang ditemukan pada anak. Bradikardi relatif adalah

peningkatan suhu tubuh yang tidak diikuti oleh peningkatan frekuensi

nadi. Patokan yang sering dipakai adalah setiap peningkatan suhu 1∞C

tidak diikuti peningkatan frekuensi nadi 8 denyut dalam 1 menit. Gejala-

gejala lain yang dapat ditemukan pada demam tifoid seperti rose spot

biasanya ditemukan diregio abdomen atas (Kemenkes, 2013).

b. Gejala Klinis Berdasarkan Usia

1. Bayi

Gejala timbul biasanya sesudah 3 hari setelah lahir berupa muntah-

muntah, diare, distensi abdomen. Suhu tubuh tidak stabil, ikterus, berat

badan menurun, toksik, kadang disertai kejang. Kasus pada neonatus

sering sulit dibedakan dari sepsis (Kemenkes, 2013).

2. Usia Balita

Relatif jarang, biasanya bersifat ringan berupa demam ringan, malaise,

dan diare. Sering didiagnosis sebagai diare akut (Kemenkes, 2013).

3. Usia Sekolah dan Masa Remaja

Gejala klinis menyerupai penderita dewasa Onset insidious. Malaise,

anoreksia, mialgia, sakit kepala, sakit daerah abdomen (anak biasanya

tidak dapat menunjukkan daerah yang paling sakit/rasa tidak nyaman

difus), keluhan meningkat pada minggu kedua. Demam (Kemenkes,

2013).

2.6 Klasifikasi Demam Tifoid


Di masyarakat dikenal istilah seperti “verdaag typhus”, gejala tifus, atau

tifus sehingga menyebabkan diagnosis demam tifoid sangat sering ditegakkan oleh

petugas kesehatan (overdiagnosis). Penegakkan diagnosis pasti demam tifoid

memerlukan pemeriksaan kultur, namun hal tersebut tidak mudah untuk dilakukan

karena keterbatasan sarana. Untuk menyamakan persepsi diagnosis demam tifoid

dibuat pengelompokkan definisi kasus sebagai berikut:

1. Suspek Demam Tifoid (Suspected Typhoid Fever)

Hanya boleh digunakan apabila tidak ada sarana penunjang (laboratorium)

atau terjadi kejadian luar biasa di wilayah kesehatan tersebut. Termasuk

dalam suspek demam tifoid apabila seorang pasien dengan gejala demam

yang meningkat secara bertahap terutama sore dan malam hari, kemudian

menetap tinggi selama 5 hari atau lebih, disertai nyeri kepala hebat, nausea

(mual), hilang nafsu makan, gejala gastrointestinal berupa obstipasi atau

diare. Dalam bentuk berat dapat menimbulkan berbagai komplikasi

(Kemenkes, 2013).

2. Demam Tifoid (Probable Typhoid Fever)

Termasuk demam tifoid atau sangat mungkin kasus tifoid ditemukan gejala

di atas dengan didukung oleh pemeriksaan serologis. Hasil pemeriksaan

serodiagnosis atau deteksi antigen yang positif tanpa gejala seperti di atas,

tidak boleh menjadi patokan diagnosis demam tifoid (Kemenkes, 2013).

3. Demam Tifoid Konfirmasi (Confirmed Typhoid Fever)

Adalah kasus demam tifoid klinis yang telah menunjukkan hasil biakan

positif untuk Salmonella Typhi dan/atau pemeriksaan polymerase chain

reaction (PCR) S. Typhi positif dan/atau serologi Widal menunjukkan


kenaikan titer 4 kali lipat pada interval pemeriksaan 5-7 hari (Kemenkes,

2013).

2.7 Pemeriksaan Laboratorium

Sampai saat ini, baku emas diagnosis demam tifoid adalah pemeriksaan

biakan empedu walaupun hanya 40%-60% kasus biakan positif, terutama pada awal

perjalanan penyakit. Biakan spesimen tinja dan urin menjadi positif setelah akhir

minggu pertama infeksi, namun sensitivitasnya lebih rendah. Di negara

berkembang, ketersediaan dan penggunaan antibiotik secara luas, menyebabkan

sensitivitas biakan darah menjadi rendah. Biakan sumsum tulang lebih sensitif,

namun sulit dilakukan dalam praktek, invasif, dan kurang digunakan untuk

kesehatan masyarakat.

a. Pemeriksaan hematologi

Pemeriksaan hematologi untuk demam tifoid tidak spesifik. Hitung

leukosit yang rendah sering berhubungan dengan demam dan toksisitas

penyakit, namun kisaran jumlah leukosit bisa lebar. Pada anak yang lebih muda

leukositosis bisa mencapai 20.000-25.000/mm3. Trombositopenia dapat

merupakan marker penyakit berat dan disertai dengan koagulasi intravaskular

diseminata. Pemeriksaan fungsi hati dapat berubah, namun gangguan hati yang

bermakna jarang ditemukan (Sri Rezeki, Muzal Kadim,et al. 2012).

Sumber lain mengatakan, pada pemeriksaan hitung leukosit total

terdapat gambaran leukopeni (3000 - 5000/uL), limfositosis relatif,

monositosis, aneosinofilia dan trombositopenia ringan. Leukopenia terjadi

akibat depresi sumsum tulang oleh endotoksin dan mediator endogen yang

lain. Angka kejadian leukopenia diperkirakan sebesar 25%, beberapa


laporan lain menyebutkan hitung leukosit sering dalam batas normal atau

leukositosis ringan. Kejadian trombositopenia diduga akibat produksi yang

menurun dan destruksi yang meningkat pada sistem retikulo endotel (RES).

Sedangkan anemia dapat disebabkan oleh produksi hemoglobin yang

menurun serta kejadian perdarahan intestinal yang tidak nyata (occult

bleeding). Perlu diwaspadai bila terjadi penurunan hemoglobin secara akut

pada minggu ke 3-4, karena bisa disebabkan oleh perforasi usus yang

menimbulkan peritonitis dan perdarahan dalam abdomen (Kemenkes,

2013).

b. Pemeriksaan Widal

Pemeriksaan Widal mengukur kadar antibodi terhadap antigen O

dan H S. typhi dan sudah digunakan lebih dari 100 tahun. Pemeriksaan

Widal memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang rendah dan

penggunaannya sebagai satusatunya pemeriksaan penunjang di daerah

endemis dapat mengakibatkan overdiagnosis. Kadar aglutinin tersebut

diukur dengan menggunakan pengenceran serum berulang. Pada umumnya

antibodi O meningkat di hari ke-6-8 dan antibodi H hari ke 10-12 sejak awal

penyakit (Sri Rezeki, Muzal Kadim,et al. 2012).

Interpretasi pemeriksaan Widal harus dilakukan secara hati-hati

karena beberapa faktor mempengaruhi hasilnya, antara lain stadium

penyakit, pemberian antibiotik, teknik laboratorium, endemisitas penyakit

tifoid, gambaran imunologi masyarakat setempat, dan riwayat imunisasi

demam tifoid. Sensitivitas dan spesifisitas rendah tergantung kualitas


antigen yang digunakan bahkan dapat memberikan hasil negatif pada 30%

sampel biakan positif demam tifoid (Sri Rezeki, Muzal Kadim,et al. 2012).

Pemeriksaan Widal memiliki sensitivitas 40%, spesifisitas 91,4%,

dan nilai prediksi positif 80%. Hasil pemeriksaan Widal positif palsu dapat

terjadi oleh karena reaksi silang dengan non-typhoidal Salmonella,

enterobacteriaceae, pemeriksaan dilakukan di daerah endemis infeksi

dengue dan malaria, riwayat imunisasi tifoid, dan preparat antigen

komersial yang bervariasi serta standardisasi yang kurang baik.

Pemeriksaan Widal seharusnya dilakukan 1-2 minggu kemudian sehingga

kenaikan 4 kali, terutama agglutinin O memiliki nilai diagnostik yang

penting untuk demam tifoid. Titer aglutinin O yang positif dapat berbeda

dari >1/80 sampai >1/320 antar laboratorium tergantung endemisitas

demam tifoid di masyarakat setempat dengan catatan 8 bulan terakhir tidak

mendapat vaksinasi atau baru sembuh dari demam tifoid (Sri Rezeki, Muzal

Kadim,et al. 2012).

Pemeriksaan Widal pada serum akut satu kali saja tidak mempunyai

arti penting dan sebaiknya dihindari oleh karena beberapa alasan, yaitu

variablitas alat pemeriksaan, kesulitan memperoleh titer dasar dengan

kondisi stabil, paparan berulang S.typhi di daerah endemis, reaksi silang

terhadap nonSalmonella lain, dan kurangnya kemampuan reprodusibilitas

hasil pemeriksaan tersebut. Pemeriksaan serologi untuk aglutinin

Salmonella seperti pemeriksaan Widal bahkan tidak dianjurkan (Sri Rezeki,

Muzal Kadim,et al. 2012).


Dalam sumber Kepmenkes RI, 2006 mengatakan bahwa prinsip tes

adalah terjadinya reaksi aglutinasi antara antigen dan agglutinin yang

dideteksi yakni agglutinin O dan H. Aglutinin O mulai dibentuk pada akhir

minggu pertama demam sampai puncaknya pada minggu ke 3 sampai ke 5.

Aglutinin ini dapat bertahan sampai lama 6-12 bulan. Agglutinin H

mencapai puncak lebih lambat minggu ke 4-6 dan menetap dalam waktu

lebih lama, sampai 2 tahun kemudian (Kepmenkes RI, 2006)

c. Pemeriksaan serologi terhadap spesimen darah

Pemeriksaan diagnostik baru saat ini tersedia, seperti Typhidot atau

Tubex yang mendeteksi antibodi IgM antigen spesifik O9 lipopolisakarida

S. typhi. Dalam dua dekade ini, pemeriksaan antibodi IgM dan IgG spesifik

terhadap antigen S. typhi berdasarkan enzyme-linked immunosorbent assay

(ELISA) berkembang (Kemenkes, 2013).

Antigen dipisahkan dari berbagai struktur subselular organisme

antara lain: liposakarida (LPS), outer membrane protein (OMP), flagella (d-

H), dan kapsul (virulence [Vi] antigen). Telah banyak penelitian yang

membuktikan bahwa pemeriksaan ini memiliki sensitivitas dan spesifisitas

hampir 100% pada pasien demam tifoid dengan biakan darah positif S.

typhi. Pemeriksaan antibodi IgM terhadap antigen O9 lipopolisakarida

S.typhi (Tubex) dan IgM terhadap S.typhi (Typhidot) memiliki sensitivitas

dan spesifitas berkisar 70% dan 80% (Kemenkes, 2013).

Pemeriksaan serologi tersebut dapat dibaca secara visual dalam

waktu 10 menit dengan membandingkan warna akhir reaksi terhadap skala

warna dan nilai ≥ 6 dianggap sebagai positif kuat. Namun interpretasi hasil
serologi yang positif harus dilakukan secara hati-hati pada kasus tersangka

demam tifoid di daerah endemis karena IgM dapat bertahan sampai 3 bulan,

sedangkan IgG sampai 6 bulan (Kemenkes, 2013).

d. Pemeriksaan PCR

Pemeriksaan whole blood culture PCR terhadap S. typhi hanya

membutuhkan waktu kurang dari 8 jam dan memiliki sensitivitas yang

tinggi sehingga lebih unggul dibanding pemeriksaan biakan darah biasa

yang membutuhkan waktu 5-7 hari. In-flagelin PCR terhadap S. typhi

memiliki sensitivitas 93,58% dan spesifisitas 87,9%. Pemeriksaan nested

polymerase chain reaction (PCR) menggunakan primer H1-d dapat

digunakan untuk mengamplifikasi gen spesifik S. typhi dari darah pasien

dan merupakan pemeriksaan diagnostik cepat yang menjanjikan.

Pemeriksaan nested PCR terhadap gen flagelin (fliC) dari S. typhi dapat

dideteksi dari spesimen urin 21/22 (95.5%), dikuti dari spesimen darah

20/22 (90%), dan tinja 15/22 (68.1%) (Sri Rezeki, Muzal Kadim,et al.

2012).

e. Pemeriksaan serologi dari spesimen urin

Pemeriksaan ELISA terhadap antibodi monoklonal spesifik antigen 9 grup

D Salmonella dari spesimen urin pada satu kali pemeriksaan memiliki

sensitivitas 65%, namun pemeriksaan urin secara serial menunjukkan

sensitivitas 95%. Pemeriksaan ELISA menggunakan antibodi monoklonal

terhadap antigen 9 somatik (O9),antigen d flagella (d-H), dan antigen

virulensi kapsul (Vi) pada spesimen urin memiliki sensitivitas tertinggi pada

akhir minggu pertama, yaitu terhadap ketiga antigen Vi terdeteksi pada 9


kasus (100%), O9 pada 4 kasus (44%) dan d-H pada 4 kasus (44%).

Spesifisitas untuk Vi lebih dari 90% sehingga deteksi antigen Vi pada urin

menjanjkan untuk menunjang diagnosis demam tifoid, terutama dalam

minggu pertama sejak timbulnya demam (Kemenkes, 2013).

f. Pemeriksaan antibodi IgA dari spesimen saliva

Pemeriksaan diagnostik yang mendeteksi antibodi IgA dari lipopolisakarida

S. typhi dari spesimen saliva memberikan hasil positif pada 33/37 (89,2%)

kasus demam tifoid. Pemeriksaan ELISA ini menunjukkan sensitivitas

71,4%, 100%, 100%, 9,1% dan 0% pada minggu pertama, kedua, ketiga,

keempat, dan kelima perjalanan penyakit demam tifoid (Sri Rezeki, Muzal

Kadim,et al. 2012).

2.8 Diagnosis

1. Anamnesis

Gejala klinis demam tifoid pada anak biasanya lebih ringan jika

dibandingkan dengan penderita dewasa. Masa inkubasi rata-rata 10-20 hari. Yang

tersingkat 4 hari jika infeksi terjadi melalui makanan,sedangkan yang terlama

sampai 30 hari jika infeksi melalui minuman. Selama masa inkubasi mungkin

ditemukan gejala prodormal, yaitu perasaan tidak enak badan, lesu, nyeri kepala,

pusing dan tidak bersemangat. Kemudian menyusul gejala klinis yang biasa

ditemukan, yaitu : Demam, Gangguan saluran pencernaan dan Gangguan

Kesadaran (Kemenkes, 2013).

2. Pemeriksaan fisik

a. Demam suhu > 37,5°C


b. Kesadaran : dapat compos mentis atau penurunan kesadaran (mulai dari

yang ringan seperti apatis, somnolen, hingga yang berat delirium atau koma)

c. Rose spot ruam makulopapular eritema ukuran 1-5 mm serimg pada

abdomen, thorak, ekstremitas. Muncul hari ke 7-10 bertahan selama 2-3

hari. Lebih sering pada orang kulit putih

d. Bradikardi relatif

e. Ikterus

f. Pemeriksaan mulut : typhoid tongue, tremor lidah, halitosis

g. Pemeriksaan abdomen : nyeri (terutama regio epigastrik),

hepatosplenomegali

3. Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan laboratorium untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid

dibagi dalam empat kelompok, yaitu : (1) pemeriksaan darah tepi; (2) pemeriksaan

bakteriologis dengan isolasi dan biakan kuman; (3) uji serologis; (4) pemeriksaan

radiologi (Tumbelaka AR, 2005). Pemeriksaan radiologi, Foto thoraks, apabila

diduga terjadi komplikasi pneumonia. Foto abdomen, apabila diduga terjadi

komplikasi intrainstestinal seperti perforasi usus atau pendarahan saluran cerna

(Pujiadi et. al, 2011).

2.9 Diagnosis Banding

Gambar 2.1 Diagnosis Banding Demam yang Belum Diketahui Penyebabnya >14
Hari dengan Suhu >38,3⁰ (Bajaj, Hambidge, et all. 2011)

Diagnoses Clues Diagnostic studies

Epstein–Barr virus Exudative pharyngitis, Serology

adenopathy,
hepatosplenomegaly,

increased LFTs, atypical

lymphocytes

Cat-scratch disease Cat (or dog) exposure, Bartonella serology and

adenopathy, scratch PCR

Vertebral or pelvic Decreased movement, Bone scan or MRI

osteomyelitis refusal to walk (even with

no point tenderness on

examination)

Kawasaki disease Infants may have CBC, ESR, CRP, LFTs,

incomplete presentations urinalysis,

with prolonged fever echocardiogram,

predominating and pediatric infectious

without typical diseases and pediatric

mucocutaneous findings; cardiology consultation

increased ESR and/or CRP

generally present

Cytomegalovirus Leukopenia, Serology

hepatosplenomegaly

Enteric fever International travel, Blood culture, stool

(Salmonella) exposure to foods brought culture

from other countries,

reptile exposure;
constipation may be

present early in illness;

leukopenia

Infective endocarditis Chest pain, murmur, Three large-volume

anemia, red blood cells in blood cultures,

urine, positive rheumatoid echocardiogram

factor

Lyme disease Exposure to Lyme Serology

endemic region, season,

erythema chronicum

migrans rash,

arthralgias/arthritis

Brucellosis Exposure to unpasteurized Blood culture, serology,

dairy or farm animals, PCR

arthritis (particularly

sacroiliac),

hepatosplenomegaly

Q fever (Coxiella Exposure to farm animals Serology

brunetti) (particularly sheep) or

unpasteurized dairy;
culture-negative

endocarditis, pneumonia,

and/or hepatitis

Tularemia Adenopathy, ulcerative Wound culture, blood

lesion, tick bite, rabbit culture, serology, PCR

exposure, exposure to

highly endemic region

Tuberculosis High-risk group (born TST, chest radiograph

outside United States in

highly endemic region),

recent exposure, travel to

endemic region

Histoplasmosis History of travel to or Serology, urine antigen,

living in endemic region, tissue biopsy

adenopathy,

pancytopenia,

hepatosplenomegaly

Malaria Travel to endemic region Three successive thick

(increased risk if failure to and thin blood smears

take prophylaxis),
jaundice, pallor,

splenomegaly

Sinusitis Nasal Sinus CT

congestion/discharge,

halitosis, headaches

Occult abdominal History of gastrointestinal Abdominal CT with

abscess illness in preceding weeks, contrast or ultrasound

history of trauma (even if

minor)

Hemophagocytic Hepatosplenomegaly, Ferritin level (extremely

syndrome pancytopenia, hepatitis, high), pediatric

multiorgan dysfunction, hematology consultation

high LDH and ferritin and bone marrow

examination

Systemic-onset juvenile Daily spiking fevers Pediatric rheumatology

rheumatoid arthritis returning to normal or consultation: no

below normal, salmon laboratory test is

pink rash present during specific; normal ESR

fever, essentially rules out

hepatosplenomegaly, very

high ESR
Inflammatory bowel Abdominal pain, diarrhea, Endoscopy, upper GI

disease anemia, short stature, high contrast study

ESR

2.10 Tatalaksana

Antipiretik bila suhu tubuh >38,5⁰C

Tabel 2.2 Pemberian Antibiotik pada Demam Tifoid

Oral Parenteral

Obat pilihan pertama Kloramfenikol 100 Kloramfenikol

untuk demam tifoid mg/kgBB/hr setiap 6 jam 100mg/kgBB/hr setiap 6

tanpa komplikasi selama 14 hr* jam selama 14 hari*

Amoksisilin 150-200 Ampisillin 150-200

mg/kgBB/hr setiap 8 jam mg/kgBB/hr setiap 8 jam

selama 14 hr TMP-SMX selama 14 hari

8/40 mg/kgBB/hr setiap

12 jam selama 14 hr

Alternatif terapi demam Sefiksim (multi-drug

tifoid tanpa komplikasi resistance)# 10-20

mg/kgBB/hr selama 7 hr

Dengan komplikasi/ Seftriakson 80

Multidrug resisten mg/kgBB/hari setiap 12-

Salmonella typhi 24 jam selama 10-14 hari

i.v. drip dalam 1-2 jam

dalam NaCl0,9% atau D5


Keterangan :

*Kontraindikasi kloramfenikol pada leukosit <2000/µl, dosis maksimal 2g/hari

#Sefiksim: perhatikan dosis untuk demam tifoid. Merupakan regimen oral lanjutan

setelah penggunaan seftriakson i.v. agar memenuhi lama terapi 10-14 hari

(Kemenkes 2013).

Tabel 2.3. Antimikroba untuk Demam Typhoid


Antibiotika Dosis Kelebihan
Kloramfenikol - Dewasa : 4x500 mg (2gr) - Merupakan obat yang
selama 14 hari sering digunakan dan
- Anak : 30-100 mg/kgBB/hari telah lama dikenal efektif
selama 10-14 hari untuk tifoid
- Dibagi dalam 4 dosis - Murah dan dapat diberi
peroral dan sensitivitas
masih tinggi
- Pemberian PO/IV
- Tidak diberikan jika
lekosit <2000/mm3
Seftriakson - Dewasa : 2-4 gr/hari selama - Cepat menurunkan suhu,
3-5 hari lama pemberian pendek
- Anak : 80 mg/kgBB/hari dan dapat dosis tinggi
selama 10-14 hari dosis serta cukup aman untuk
tunggal selama 5 hari anak
- Pemberian IV
Ampisilin & - Dewasa : 3-4 gr/hari selama - Aman untuk penderita
amoksisilin 14 hari hamil
- Anak : 100 mg/kgBB/hari - Sering dikombinasi
selama 10 hari dengan kloramfenikol
pada pasien kritis
- Tidak mahal
- Pemberian PO/IV
TMP-SMX - Dewasa : 2x 160-800 mg - Tidak mahal
selama 2 minggu - Pemberian peroral
- Anak : TMP 6-10
mg/kgBB/hari atau SMX 30-
50 mg/kgBB/hari selama 10
hari
Quinolon Siprofloksasin - Pefloksasin dan
- Dewasa : 2x500 mg selama 1 fleroksasin lebih cepat
minggu menurunkan suhu
Ofloksasin - Efektif mencegah relaps
- Dewasa : 2x 200-400 mg dan karier
selama 1 minggu - Anak : tidak dianjurkan
Pefloksasin karena efek samping pada
- Dewasa : 1x400 mg selama 1 pertumbuhan tulang
minggu
Fleroksasin
- Dewasa : 1x400 mg selama 1
minggu
Cefixime - Anak : 15-20 mg/kgBB/hari -
Aman untuk anak
dibagi 2 dosis selama 10 hari -
Efektif
-
Pemberian peroral
Tiamfenikol - Dewasa : 4x500 mg -
Dapat untuk anak dan
- Anak : 50 mg/kgBB/hari dewasa
selama 5-7 hari bebas panas - Dilaporkan cukup sensitif
pada beberapa daerah
(Kepmenkes RI, 2006; Widodo, 2014)

Multidrug resistant salmonella typhi adalah resistensi terhadap antibiotic lini

pertama yang biasa digunakan pada demam typhoid yaitu kloramfenikol,

ampicillin, dan kotrimoksazol. (Sidabutar,2010)

Penyebab MDRST adalah pemakaian antibiotic yang tidak rasional dan

perubahan faktor intrinsik dalam mikroba. (Sidabutar,2010)

Dari Europran scientific Journal, membandingkan efektifitas klinis

ciprofloxacin dengan ceftriaxone dalam pengobatan demam typhoid. Hasilnya,

pemberian ceftriaxone lebih efektif pada anak anak dan klinisnya menjadi afebrile

dalam 96jam. (Naveed, 2016)

Tatalaksana Komplikasi

• Kortikosteroid dianjurkan pada tifoid ensefalopati, yaitu deksametason

3mg/kg/kali (1x) i.v., dilanjutkan 1mg/kgBB/kali, setiap 6 jam (penggunaan lebih

dari 48 jam akan meningkatkan angka relaps)

a) PERAWATAN UMUM DAN NUTRISI


Penderita demam demam tifoid, sebaiknya dirawat di rumah sakit atau

sarana kesehatan lain yang ada fasilitas perawatan.

Tujuan Perawatan adalah :

- Optimalisasi pengobatan dan mempercepat penyembuhan - Observasi

terhadap perjalanan penyakit - Minimalisasi komplikasi - Isolasi untuk

menjamin pencegahan pencemaran (Kemenkes, 2013).

b) TIRAH BARING

Penderita yang dirawat, harus tirah baring dengan sempurna untuk

mencegah komplikasi, terutama perdarahan dan perforasi. Bila klinis berat

penderita harus istirahat total. Bila terjadi penurunan kesadaran maka posisi

tidur pasien harus di ubah-ubah pada waktu tertentu untuk mencegah

komplikasi pneumonia hipostatik dan dekubitus. Penyakit membaik, maka

dilakukan mobilisasi secara bertahap, sesuai dengan pulihnya kekuatan

penderita. Buang air besar dan kecil sebaiknya dibantu oleh perawat.

Hindari pemasangan kateter urine tetap, bila tidak indikasi betul

(Kemenkes, 2013).

c) NUTRISI

1. CAIRAN

Penderita harus mendapat cairan yang cukup, baik secara oral maupun

parenteral. Cairan parenteral diindikasikan pada penderita sakit berat,

ada komplikasi, penurunan kesadaran serta yang sulit makan. Dosis

cairan parenteral adalah sesuai dengan kebutuhan harian (tetesan

rumatan). Bila ada komplikasi, dosis cairan disesuaikan dengan


kebutuhan. Cairan harus mengandung elektrolit dan kalori yang optimal

(Kemenkes, 2013).

Diet harus mengandung kalori dan protein yang cukup. Sebaiknya

rendah selulose (rendah serat) untuk mencegah perdarahan dan

perforasi. Diet untuk penderita demam tifoid, biasanya diklasifikasikan

atas : diet cair, bubur lunak, tim dan nasi biasa. Bila keadaan penderita

baik, diet dapat dimulai dengan diet padat atau tim (diet padat dini). Tapi

bila penderita dengan klinis berat sebaiknya dimulai dengan bubur atau

diet cair yang selanjutnya dirubah secara bertahap sampai padat sesuai

dengan tingkat kesembuhan penderita. a. Penderita dengan kesadaran

menurun diberi diet secara enteral melalui pipa lambung. Diet parenteral

di pertimbangkan bila ada tanda-tanda komplikasi perdarahan dan atau

perforasi (Kemenkes, 2013).

2. TERAPI SIMPTOMATIK Terapi simptomatik dapat diberikan dengan

pertimbangan untuk perbaikan keadaan umum penderita :

- Roboransia / vitamin – Antipiretik untuk demam dan kenyamanan

penderita, terutama untuk anak-anak - Anti emetik diperlukan bila

penderita muntah hebat (Kemenkes, 2013).

d) KONTROL DAN MONITOR DALAM PERAWATAN

Kontrol dan monitor yang baik harus dilakukan untuk mengetahui

keberhasilan pengobatan. Hal-hal yang menjadi prioritas untuk

dimonitor adalah :
(1) Suhu tubuh (status demam) serta petanda vital lain. Tanda vital

(suhu, nadi, nafas, tekanan darah) harus diukur secara serial. Kurva suhu

harus dibuat secara sempurna pada lembaran rekam medik.

(2) Keseimbangan cairan Cairan yang masuk (infus atau minum) dan

cairan tubuh yang ke luar (urine, feses) harus seimbang.

(3) Deteksi dini terhadap timbulnya komplikasi.

(4) Adanya koinfeksi dan atau komorbid dengan penyakit lain.

(5) Efek samping dan atau efek toksik obat.

(6) Resistensi anti mikroba.

(7) Kemajuan pengobatan secara umum Disamping untuk mengetahui

keberhasilan pengobatan, kontrol dan monitor oleh dokter dan perawat

sangat diperlukan untuk : Perubahan terapi dan penghentian terapi

Program mobilisasi Program perubahan diet Indikasi pulang perawatan

(Kemenkes, 2013).

2.11 Komplikasi

a. Komplikasi Intestinal

1. Perdarahan Intestinal

Pada plak Peyeri usus yang terinfeksi (terutama ileum terminalis) dapat

terbentuk tukak/luka berbentuk lonjong dan memanjang terhadap sumbu usus. Bila

luka menembus lumen usus dan mengenai pembuluh darah maka terjadi

perdarahan. Selanjutnya bila tukak menembus dinding usus maka perforasi dapat

terjadi. Selain karena faktor luka, perdarahan juga dapat terjadi karena gangguan

koagulasi darah (KID) atau gabungan kedua faktor. Sekitar 25% penderita demam

tifoid dapat mengalami perdarahan minor yang tidak membutuhkan transfusi darah.
Perdarahan hebat dapat terjadi hingga penderita mengalami syok. Secara klinis

perdarahan akut darurat bedah ditegakkan bila terdapat perdarahan sebanyak 5

ml/kgBB/jam dengan faktor hemostatis dalam batas normal. Jika penanganan

terlambat, mortalitas cukup tinggi sekitar 10-32%, bahkan ada yang melaporkan

sampai 80%. Bila transfusi yang diberikan tidak dapat mengimbangi perdarahan

yang terjadi, maka tindakan bedah perlu dipertimbangkan (Widodo, 2014).

2. Perforasi Usus

Terjadi pada sekitar 3% dari penderita yang dirawat. Biasanya timbul pada

minggu ketiga namun dapat pula terjadi pada minggu pertama. Selain gejala umum

demam tifoid yang biasa terjadi maka penderita demam tifoid dengan perforasi

mengeluh nyeri perut yang hebat terutama di darah kuadran kanan bawah yang

kemudian menyebar ke seluruh perut dan disertai dengan tanda-tanda ileus. Bising

usus melemah pada 50% penderita dan pekak hati terkadang tidak ditemukan

karena adanya udara bebas di abdomen. Tanda-tanda perforasi lainnya adalah nadi

cepat, tekanan darah turun, dan bahkan dapat syok. Leukositosis dengan pergeseran

ke kiri dapat menyokong adanya perforasi (Sri Rezeki, Muzal Kadim,et al. 2012).

Bila pada gambaran foto polos abdomen (BNO/3 posisi) ditemukan udara

pada rongga peritoneum atau subdiafragma kanan, maka hal ini merupakan nilai

yang cukup menentukan terdapatnya perforasi usus pada demam tifoid. Beberapa

faktor yang dapat meningkatkan kejadian adalah perforasi adalah umur (biasanya

berumur 20-30 tahun), lama demam, modalitas pengobatan beratnya penyakit, dan

mobilitas penderita.

Antibiotik diberikan secara selektif bukan hanya untuk mengobati kuman S.

typhi tetapi juga untuk mengatasi kuman yang bersifat fakultatif dan anaerobik pada
flora usus. Umumnya diberikan antitibiotik spektrum luas dengan kombinasi

kloramfenikol dan ampisilin intravena. Untuk kontaminasi usus dapat diberikan

gentamisin/metronidazol. Cairan harus harus diberikan dalam jumlah yang cukup

serta penderita dipuasakan dan dipasang nasogastric tube. Transfusi darah dapat

diberikan bila terdapat kehilangan darah akibat perdarahan intestinal (Widodo,

2014).

b. Komplikasi Ekstra-Intestinal

1. Komplikasi Hematologi

Komplikasi hematologi berupa trombositopenia, hipofibrino-genemia,

peningkatan prothrombin time, peningkatan partial thromboplastin time,

peningkatan fibrin degradation products sampai koagulasi intravaskular diseminasi

(KID) dapat ditemukan pada kebanyakan pasien demam tifoid. Trombositopenia

saja sering dijumpai, hal ini mungkin terjadi karena menurunnya produksi trombosit

di sumsum tulang selama proses infeksi atau meningkatnya destruksi trombosit di

sistem retikuloendotelial (Sri Rezeki, Muzal Kadim,et al. 2012).

Penyebab KID pada demam tifoid belumlah jelas. Hal-hal yang sering

dikemukakan adalah endotoksin mengaktifkan beberapa sistem biologik, koagulasi

dan fibrinolisis. Pelepasan kinin, prostaglandin dan histamin menyebabkan

vasokonstriksi dan kerusakan endotel pembuluh darah dan selanjutnya

mengakibatkan perangsangan mekanisme koagulasi; baik KID kompensata

maupun dekompensata (Sri Rezeki, Muzal Kadim,et al. 2012).

Bila terjadi KID dekompensata dapat diberikan transfusi darah, substitusi

trombosit dan/atau faktor-faktor koagulasi bahkan heparin, meskipun ada pula yang
tidak sependapat tentang manfaat pemberian heparin pada demam tifoid

(Kemenkes, 2013)

2. Hepatitis Tifosa

Pembengkakan hati ringan sampai sedang dijumpai pada 50% kasus dengan

demam tifoid dan lebih banyak dijumpai karena S. typhi dan S. paratyhpi. Untuk

membedakan apakah hepatitis ini oleh karena tifoid, virus, malaria atau amuba

maka perlu diperhatikan kelainan fisik, parameter laboratorium dan bila perlu

histopatologik hati. Pada demam tifoid kenaikan enzim transaminase tidak relevan

dengan kenaikan serum bilirubin (untuk membedakan dengan hepatitis oleh karena

virus). Hepatitis tifosa dapat terjadi pada pasien dengan malnutrisi dan sistem imun

yang kurang. Meskipun sangat jarang, komplikasi hepatoensefalopati dapat terjadi

(Sri Rezeki, Muzal Kadim,et al. 2012).

3. Pankreatititis Tifosa

Merupakan komplikasi yang jarang terjadi pada demam tifoid. Pankreatitis

sendiri dapat disebabkan oleh mediator pro inflamasi, virus, bakteri, cacing maupun

zat-zat farmakologi. Pemeriksaan enzim amilase dan lipase serta ultrasonografi/CT-

scan dapat membantu diagnosis penyakit ini dengan akurat (WHO, 2009).

Penatalakasanaan pankreatitis tifosa sama seperti penanganan pankreatitis

pada umumnyal antibiotik yang diberikan antibiotik intravena seperti seftriakson

atau kuinolon (WHO, 2009)

4. Miokarditis

Miokarditis terjadi ada 1-5% penderita demam tifoid sedangkan kelainan

elektrokardiografi dapat terjadi pada 10-15% penderita. Pasien dengat miokarditis

biasanya tanpa gejala kardiovaskular atau dapat berupa keluhan sakit dada, gagal
jantung kongestif, aritmia atau syok kardiogenik. Sedangkan perikarditis sangat

jarang terjadi. Perubahan elektrokardiograf yang menetap disertai aritmia

mempunyai prognosis yang buruk. Kelainan ini disebabkan kerusakan miokardium

oleh kuman S. typhi dan miokarditis sering sebagai penyebab kematian, biasanya

dijumpai pada pasien yang sakit berat, keadaan akut dan fulminan (Sri Rezeki,

Muzal Kadim,et al. 2012).

5. Pneumonia

Dapat disebabkan oleh basil Salmonella atau koinfeksi dengan mikroba lain

yang sering menyebabkan pneumonia. Pada pemeriksaan didapatkan gejala-gejala

klinis pneumonia serta gambaran khas penumonia pada foto polos thoraks

(Kepmenkes RI, 2006).

6. Neuropsikiatrik/Tifoid Toksik

Manifestasi neuropsikiatrik dapat berupa delirium dengan atau tanpa kejang,

semikoma atau koma, Parkinson rigidity/transient parkinsonism, sindrom otak akut,

mioklonus generalisata, meningismus, skizofrenia, sitotoksik, mania akut,

hipomania, ensefalomielitis, meningitis, polineuritis perifer, sindrom Guillain-

Barre dan psikosis (Sri Rezeki, Muzal Kadim,et al. 2012).

Terkadang gejala demam tifoid diikuti suatu sindrom klinis berupa gangguan

atau penurunan kesadaran akut (kesadaran berkabut, apatis, delirium, somnolen,

sopor, atau koma) dengan atau tanpa disertai kelainan neurologis lainnya dan dalam

pemeriksaan cairan otak masih dalam batas normal. Sindrom klinis seperti ini oleh

beberapa peneliti disebut sebagai tifoid toksik/demam tifoid berat/demam tifoid

ensefalopati/demam tifoid dengan toksemia. Diduga faktor-faktor sosial ekonomi

yang buruk, tingkat pendidikan yang rendah, ras, kebangsaan, iklim, nutrisi,
kebudayaan dan kepercayaan (adat) yang masih terbelakang ikut mempermudah

terjadinya hal tersebut dan akibatnya meningkatkan angka kematian (Sri Rezeki,

Muzal Kadim,et al. 2012).

Semua kasus tifoid toksik, atau pertimbangan klinis sebagai demam tifoid

berat, langsung diberikan pengobatan kombinasi kloramfenikol 4x400 mg

ditambah ampisilin 4x1 gram dan deksametason 3x5 mg. (Widodo, 2014)

2.12 Pencegahan

Secara umum untuk memperkecil kemungkinan tercemar S. Thypi, maka

setiap individu harus memperhatikan kualitas makanan dan minuman yang mereka

konsumsi. Pada daerah endemik, sanitasi diperbaiki dan bersih, air mengalir sangat

penting untuk mengendalikan demam enterik. Salmonella thypi didalam air akan

mati apabila dipanaskan pada suhu 57ºC untuk beberapa menit atau dengan proses

iodinasi/klorinasi (IDAI, 2008). Untuk meminimalkan penularan dari orang ke

orang dan kontaminasi makanan diperlukan cara-cara higene personal, cuci tangan,

dan perhatian terhadap praktek-praktek persiapan makanan. Upaya untuk

memberantas S. typhi dari pengidap direkomendasikan, karena manusia merupakan

satu-satunya reservoir S. typhi.

Secara garis besar ada 3 strategi pokok untuk memutuskan transmisi tifoid,

yaitu :

1. Identifikasi dan eradikasi S. typhi pada pasien tifoid asimtomatik, karier dan

akut. Tindakan identifikasi atau penyaringan pengidap kuman S. typhi ini cukup

sulit dan memerlukan biaya cukup besar baik ditinjau dari pribadi maupun skala

nasional. Cara pelaksanaannya dapat secara aktif yaitu mendatangi sasaran

maupun pasif menunggu bila ada penerimaan pegawai di suatu instansi atau
swasta. Sasaran aktif lebih diutamakan pada populasi tertentu seperti pengelola

sarana makanan-minuman baik tingkat usaha rumah tangga, restoran, hotel

sampai pabrik beserta distributornya. Sasaran lainnya adalah yang terkait dengan

pelayanan masyarakat, yaitu petugas kesehatan, guru, petugas kebersihan,

pengelola sarana umum lainnya.

2. Pencegahan transmisi langsung dari penderita terinfeksi S. typhi akut maupun

karier. Kegiatan ini dilakukan di rumah saki, klinis maupun di rumah dan

lingkungan sekitar orang yang telah diketahui pengidap kuman S. typhi.

3. Proteksi pada orang yang beresiko tinggi tertulas dan terinfeksi. Sarana proteksi

pada populasi ini dilakukan dengan cara vaksinasi tifoid di daerah endemik

maupun hiperendemik. Sasaran vaksinasi tergantung daerahnya endemis atau

non-endemis, tingkat risiko tertularnya yaitu berdasarkan tingkat hubungan

perseorangan dan jumlah frekuensinya, serta golongan individu berisiko, yaitu

golongan imunokompromise maupun golongan rentan.

Indikasi vaksinasi :

- Populasi : anak usia sekolah di daerah endemik, personil militer, petugas

rumah sakit, laboratorium kesehatan, industri makanan/minuman.

- Individu : pengunjung/wisatawan ke daerah endemik, orang yang kontak erat

dengan pengidap tifoid (karier).

Kontraindikasi vaksinasi :

- Vaksin hidup oral Ty2la secara teoritis dikontraindikasikan pada sasaran

yang alergi atau reaksi efek samping berat, penurunan imunitas dan

kehamilan (karena sedikitnya data). Bila diberikan bersamaan dengan obat

anti-malaria (klorokuin, meflokuin) dianjurkan minimal setelah 24 jam


pemberian obat baru dilakukan vaksinasi. Dianjurkan tidak memberikan

vaksinasi bersamaan dengan obat sulfonamid atau antimikroba lainnya.

Efek samping vaksinasi :

- Pada vaksin Ty2la demam timbul pada orang yang mendapat vaksin 0-5%,

sakit kepala (0-5%), sedangkan pada ViCPS efek samping lebih kecil

(demam 0,25%; malaise 0,5%, sakit kepala 1,5%, rash 5%, reaksi nyeri lokal

17%). Efek samping terbesar pada vaksin parenteral adalah heal-phenol

inactivated, yaitu demam 6,7-24%, nyeri kepala 9-10% dan reaksi lokal nyeri

dan edema 3-35% bahkan reaksi berat termasuk hipotensi, nyeri dada, dan

syok dilaporkan pernah terjadi meskipun sporadis dan sangat terjadi.

Tindakan preventif berdasarkan lokasi daerah, yaitu :

 Daerah non-endemik. Tanpa ada kejadian outbreak atau epidemi

- Sanitasi air dan kebersihan lingkungan

- Penyaringan pengelola pembuatan/distributor/penjualan makanan-minuman

- Pencarian dan pengobatan kasus tifoid karier

Bila ada kejadian epidemi tifoid

- Pencarian dan eliminasi sumber penularan

- Pemeriksaan air minum dan mandi-cuci-kakus

- Penyuluhan higiene dan sanitasi pada populasi umum daerah tersebut.

 Daerah endemik

- Memasyarakatkan pengelolaan bahan makanan dan minuman yang

memenuhi standar prosedur kesehatan (perebusan >57oC, iodisasi dan

klorinisasi)
- Pengunjung ke daerah ini harus minum air yang telah melalui pendidihan,

menjauhi makanan segar (sayur/buah)

- Vaksinasi secara menyeluruh pada masyarakat setempat maupun

pengunjung.

(Widodo, 2014)

2.13 Prognosis

Prognosis utnuk penderita dengan demam enterik tergantung pada terapi

segera, usia penderita, keadaan kesehatan sebelumnya, serotip Salmonella

penyebab, dan munculnya komplikasi. Di negara maju, dengan terapi antimikroba

yang tepat, angka mortalitas di bawah 1%. Di negara yang sedang berkembang,

angka mortalitas lebih tinggi daripada 10%, biasanya karena keterlambatan

diagnosis, rawat inap di rumah sakit, dan pengobatan. Bayi umur sebelum 1 tahun

dan anak-anak dengan gangguan dasar yang melemahkan berada pada risiko yang

lebih tinggi S. typhi menyebabkan penyakit yang lebih berat, dengan angka

komplikasi dan kematian yang lebih tinggi, daripada serotip lain. Munculnya

komplikasi, seperti perforasi saluran pencernaan atau perdarahan berat, meningitis,

endokarditis dan pneumonia disertai dengan angka morbiditas dan mortalitas tinggi.

Relaps sesudah respons klinis awal terjadi pada 4-8% penderita yang tidak

diobati dengan antibiotik. Pada penderita yang telah mendapat terapi antibiotik.

Pada penderita yang telah mendapat terapi antimikroba yang tepat, manifestasi

klinis relaps menjadi nyata sekitar 2 minggu sesudah relaps, biasanya lebih ringan

dan lebih pendek. Dapat terjadi relaps berulang. Individu yang mengekskresi S.

typhi 3 bulan atau lebih lama sesudah infeksi biasanya pengekskresi 1 tahun dan

ditetapkan sebagai pengidap kronis. Risiko menjadi pengidap rendah pada anak dan
bertambah pada semakin tua; dari semua penderita dengan demam tifoid, 1-5%

menjadi pengidap kronis. Insiden penyakit saluran empedu lebih tinddu pada

pengidap kronis daripada populasi umum. Walaupun pengidap saluran kencing

kronis dapat juga terjadi, pengidap ini jarang dan ditemukan terutama pada individu

dengan skistosomiasis (Ashkenazi, 2000; IDAI, 2008).

2.14 Definisi dan Manifestasi Typhoid Karier

Definisi pengidap tifoid karier adalah seseorang yang kotorannya (feses atau

urin) mengandung S. typhi setelah satu tahun pasca-demam tifoid, tanpa disertai

gejala klinis. Kasus tifoid dengan kuman S. typhi masih dapat ditemukan di feses

atau urin selama 2-3 bulan disebut karier pasca-penyembuhan. Pada penelitian di

Jakarta dilaporkan bahwa 16,18% (N=68) kasus demam tifoid masih didapatkan

kuman S. typhi pada kultur fesesnya.

Tifoid karier tidak menimbulkan gejala klinis (asimtomatis) dan 25% kasus

menyangkal adanya riwayat sakit demam tifoid akut. Pada beberapa penelitian

dilaporkan pada tifoid karier sering disertai infeksi kronis traktus urinarius serta

terdapat peningkatan risiko terjadinya karsinoma kandung empedu, karsinoma

kolorektal, karsinoma pankreas, karsinoma paru dan keganasan di bagian organ

atau jaringan lain. Peningkatan faktor risiko tersebut berbeda bila dibandingkan

dengan populasi pasca-ledakan kasus luar biasa demam tifoid, hal ini diduga faktor

infeksi kronis sebagai faktor risiko terjadinya karsinoma dan bukan akibat infeksi

tifoid akut.

Proses patofisiologi dan patogenesis kasus tifoid karier belum jelas.

Mekanisme pertahanan tubuh terhadap S. typhi belum jelas. Imunitas seluler diduga

punya peran sangat penting. Hal ini dibuktikan bahwa pada penderita sickle cell
disease dan sistemic lupus eritematosus (SLE) maupun penderita AIDS bila

terinfeksi Salmonella makan akan terjadi bakteremia yang berat. Pada pemeriksaan

inhibisi migrasi leukosit (LMI) dilaporkan terdapat penurunan respons reaktivitas

seluler terhadap S. typhi, meskipun tidak ditemukan penurunan imunitas seluler dan

humoral. Penelitian lainnya menyatakan bahwa tidak ada perbedaan bermakna pada

sistem imunitas humoral dan seluler serta respons limfosit terhadap S. typhi antara

pengidap tifoid dengan kontrol. Pemeriksaan respons imun berdasarkan serologi

antibodi IgG dan IgM terhadap S. typhi antara tifoid karier dibanding tifoid akut

tidak berbeda bermakna (Widodo, 2014).

2.15 Diagnosis Tifoid Karier

Diagnosis tifoid karier ditegakkan atas dasar ditemukannya kuman S. typhi

pada biakan feses ataupun urin pada seseorang tanda tanda klinia infeksi atau pada

seseorang setelah 1 tahun pasca-demam tifoid. Dinyatakan kemungkinan besar

bukan sebagai tifoid karier bila setelah dilakukan biakan secara acak serial minimal

6 kali pemeriksaan tidak ditemukan kuman S. typhi.

Sarana lain untuk menegakkan diagnosis adalah pemeriksaan serologi Vi,

dilaporkan bahwa sensitivitas 75% dan spesifitas 92% bila ditemukan kadar titer

antibodi Vi sebesar 160. Nolan CM dkk (1981) meneliti pengidap tifoid (karier)

beserta keluarganya, ditemukan titer 1:40 sampai 1:2560 pada 7 kasus biakan

positif S. typhi sedangkan pada 37 kasus dengan kultur S. typhi negatis 36 kasus

tidak ditemukan antibodi Vi, 1 kasus dengan antibodi Vi positif 1:10 (Widodo,

2014).

2.16 Penatalaksanaan Tifoid Karier


Kesulitan eradikasi kasus karier berhubungan dengan ada tidaknya batu

empedu dan sikatrik kronik pada saluran empedu. Kasus karier ini juga meningkat

pada seseorang yang terkena infeksi salurang kencing secara kronis, batu, striktur,

hidronefrosis, dan tuberkulosis maupung tumor di traktus urinarius. Oleh karena

itulah insiden tifoid karier meningkat pada wanita maupun pada usia lanjut karena

adanya faktor tersebut diatas. Penatalaksanaan tifoid karier dibedakan berdasarkan

ada tidaknya penyulit yang dapat dilihat pada Tabel 2.4

Tabel 2.4 Terapi Antibiotik pada Kasus demam Tifoid Karier


Tanpa disertai kasus kolelitiasi
Pilihan regimen terapi selama 3 bulan
1. Ampisilin 100 mg/kgBB/hari + probenesid 30 mg/kgBB/hari
2. Amoksisilin 100 mg/kgBB/hari + probenesid 30 mg/kgBB/hari
3. Trimetropin-sulfamtoksazol 2 tablet/2 kali/hari
Disertai kasus kolelitiasis
Kolesistektomi + regimen tersebut diatas selama 28 hari, kesembuhan 80% atau
kolesistektomi + salah satu regimen terapi di bawah ini
1. Siprofloksasi 750 mg/2 kali/hari
2. Norfloksasin 400 mg/2 kali/hari
Disertai infeksi Schistosoma Haematobium pada traktus urinarius
Pengobatan pada kasus ini harus dilakukan eradikasi S. Haematobium
1. Prazikuantel 40 mg/kgBB dosis tunggal, atau
2. Metrifonat 7,5-10 mg/kgBB bila perlu diberikan 3 dosis, interval 2 minggu. Setelah
eradikasi S. haematobium tersebut baru diberika regimen terapi untuk tifoid karier
seperti diatas.
(Widodo, 2014).
BAB 3
LAPORAN KASUS

3.1 Identitas Pasien


Nama : An. And
Umur : 9 tahun
BB : 21 kg
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Ngampel, Kediri
Agama : Islam
Tanggal lahir : 24 Mei 2010
MRS : 06 April 2019 (21.15)
Tgl periksa : 06 April 2019 (21.30)
No.Rekam Medik : 410136
Nama Ayah : Tn. B
Pendidikan : SMA
Pekerjaan : Swasta
Nama Ibu : Ny. R
Pendidikan : SMA
Pekerjaan : Swasta
3.2 Anamnesis
3.2.1 Keluhan Utama : Demam
3.2.2 Riwayat Penyakit Sekarang :
Demam dirasakan sejak hari Jumat minggu lalu (± 8 hari SMRS), terus
menerus. Pada awal sakit, keluarga merasakan anaknya sumer-sumer saja
kurang lebih 2 hari. Demam dirasakan terutama saat sore sampai malam hari
dan menurun saat pagi hingga siang hari. Demam juga turun apabila pasien
diberikan obat penurun panas yang didapat dari apotek, setelah minum obat
demam pasien dapat turun tetapi beberapa saat naik lagi. Demam mencapai
puncak suhu tertinggi pada hari jumat sore. Pasien tidak menggigil. Sejak
demam tinggi jumat sore, perut pasien menjadi sering sakit, mual dan nafsu
makan menurun. Kemarin pasien muntah 4x berupa makanan dan air dan
hari ini pasien mual dan muntah 2x sejak pagi. Selain itu pasien juga
merasakan nyeri tenggorokan, pusing dan batuk pilek namun jarang-jarang.
Tidak terdapat keluahan gusi berdarah maupun mimisan. Belum BAB sejak
hari kamis dan BAK seperti biasa. Tidak terdapat nyeri ketika berkemih,
mengompol dan ketidakmampuan menahan kemih. Berat badan pasien tidak
menurun.
3.2.3 Riwayat Penyakit Dahulu :
Pasien tidak mempunyai riwayat demam tifoid , DF atau DHF dan malaria
Pasien tidak mempunyai riwayat pengobatan TB
Pasien tidak mempunyai riwayat penyakit jantung
3.2.4 Riwayat Alergi :
Pasien tidak mempunyai riwayat alergi obat, makanan dan minuman.
3.2.5 Riwayat Penyakit Keluarga :
Tidak terdapat keluhan yang sama (demam >7 hari, mual muntah, batuk
pilek) di keluarga pasien
3.2.6 Riwayat Sosial :
Menurut pengakuan keluarga pasien, sejak pasien lahir di Kediri tahun
2010. Tinggal bersama ayah dan ibu, dan adiknya. Menurut pengakuan
keluarga pasien, tembok rumah terbuat dari batu bata, lantai terbuat dari
keramik, penerangan di rumah menggunakan lampu, ventilasi di rumah
cukup. Keluarga pasien memiliki kamar mandi pribadi. Untuk makan,
minum, mencuci, dan kebutuhan sanitasi, keluarga pasien menggunakan air
sumur. Pasien sering jajan makanan diluar sekolah dan senang makan
makanan ringan.
3.2.7 Riwayat Tumbuh Kembang :
Sehari-harinya disekolah pasien dapat mengikuti pelajaran dengan
baik dan mampu menyerap pelajaran yang disampaikan guru dengan baik.
Tidak jarang pasien mendapatkan ranking di sekolahnya. Sosialisasi pasien
dengan teman sebayanya juga baik. Di rumah pasien sering membantu
ibunya membersihkan pakaian dan kamar tidurnya sendiri, dan mampu
melakukan aktifitas di rumah tanpa bergantung pada orang lain.
3.2.8 Riwayat Imunisasi :
Menurut keterangan dari ibu pasien, anaknya sudah mendapatkan imunisasi
dasar lengkap disertai dengan imunisasi lanjutannya sampai usia 18 bulan.
Tetapi ibu pasien lupa sudah berapa kali serta sudah mendapatkan apa saja
dan waktunya kapan. Pasien juga sudah mengikuti BIAS 2 kali di
sekolahnya kelas 1 dan kelas 2 SD tetapi ibu pasien tidak tahu apakah sudah
diberikan ori diteri atau belum.
3.2.9 Riwayat Persalinan :
Prenatal :. Ibu mengatakan rutin kontrol ke RS 1 bulan sekali pada
trimester pertama dan kedua dan sebulan 2x pada trimester ketiga.
Kelahiran : Spontan/ Aterm/ 3400 gr.
Postnatal : Menangis spontan, pucat (-), ikterus (-), sianosis (-), kejang
(-), gangguan minum (-).
3.3 Pemeriksaan Fisik
3.3.1 Keadaan Umum : Tampak lemah
Kesadaran : 456 (compos mentis)
3.3.2 Vital Sign : TD : 110/70 mmHg
Nadi : 116 x/menit, kuat, irama teratur
RR : 24 x/menit
S : 38,0o C
3.3.3 Status Gizi
Antropometri:
• Usia (U) : 9 tahun
• Berat Badan (BB) : 21 kg
• Tinggi Badan (TB) : 132 cm
𝐵𝐵 21 𝑘𝑔
%= 𝑥 100% = 84% = Moderate Malnutrition
𝑇𝐵 25 𝑘𝑔

Interpretasi : Moderate Malnutrition (70-90%) BBI : 25 kg


3.3.4 Pemeriksaan Head to Toe
Kepala/Leher
Bentuk dan ukuran : Normocephali,simetris
Rambut : rambut warna hitam, distribusi merata, tidak mudah dicabut
Mata : mata cowong -/-, Anemis -/-, sklera ikterik -/- , konjungtiva
hiperemi -/-, kornea jernih
THT : epistaksis (-), tonsil To/To, faring hiperemi (+)
Mulut : mukosa bibir kering, bibir sianosis(-), lidah kotor (+),
mukosa bukal merah, stomatitis (-).
Leher : Pembesaran KGB (-), Deviasi trachea (-)
Thoraks
Inspeksi : Bentuk dada normal, simetris, retraksi (-).
Palpasi : Nyeri tekan (-)
Perkusi : Sonor
Auskultasi : ves +/+ , Rhonki -/- , Wheezing -/-
Jantung
Perkusi : Batas jantung normal
Auskultasi : S1S2 tunggal reguler, murmur (-), gallop (-)
Abdomen
Inspeksi : Datar
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Palpasi : Hepar dan lien tidak teraba, turgor kembali cepat, nyeri
tekan
Perkusi : Timpani
Inguinal/Genitalia
Sekret (-), hiperemi (-)
Ekstremitas
Akral: hangat , kering, merah
+ +

+ +

CRT: < 2 detik, edema -/-


3.3.5 Status Neurologis
GCS : 456 (Compos Mentis)
Kaku kuduk : -
Pupil : RC +/+, PBI 3mm/3mm
Reflek fisiologis :
BPR : +2/+2
TPR : +2/+2
KPR : +2/+2
APR : +2/+2
Reflek patologis :
Babinski : -/-
Chaddok : -/-
Hoffman : -/-
Trommer : -/-
Klonus : -
Sensoris : Dalam batas normal
Motoris : Dalam batas normal
3.4 Pemeriksaan Penunjang
Darah Lengkap (06/04/2019)
Hb : 12,7 g/dL
Hct : 37,4 %
Leu : 5950 103/uL
Plt : 180.000 103/uL
Widal (06/04/2019)
S. Thypi O : positive (1/320)
S. Thypi H : positive (1/320)
S. Parathypi A : negative
S. Parathypi B : negative

3.5 Resume

An. Andhini, perempuan, 9 tahun, BB 21 kg. Demam hari ke 8 (sejak jumat

minggu lalu) diawali dengan demam sumer-sumer terutama saat sore hingga malam
hari 2 hari. Nyeri perut, mual, muntah kemarin 4x dan hari ini 2x berupa makanan

dan cairan, pusing, nyeri tenggorokan, batuk pilek, nafsu makan dan minum meurun

dan belum BAB sejak hari kamis.

Hasil pemeriksaan didapatkan tanda vital baik. Pada pemeriksaan kepala

leher didapatkan typhoid tongue serta faring hiperemia. Pada pemeriksaan thorax

terdapat suara vesikuler dekstra dan sinistra. Pada abdomen didapatkan flat, bising

usus yang normal, perkusi timpani, turgor kembali cepat, serta nyeri tekan et regio

epigastrium dan umbilikal.

Pemeriksaan widal dengan hasil S. Typhi O positif 1/320 dan S. Typhi H

1/320.

3.5 Daftar Masalah

- Febris

- Nausea dan Vomiting

- Nyeri abdomen

- Konstipasi

- Typhoid tongue

- Widal +  S. typhi O 1/320 dan S.typhi H 1/320

- Faring hiperemia

3.6 Diagnosis awal

1. Demam Tifoid

Diagnosis Banding :

TB

Infeksi Slauran Kemih


2. Faringitis Akut

3.7 Planing Diagnosis

GDA, SE, UL dan Foto thoraks

3.8 Planing Terapi

- Inf. D5 ¼ NS 10 tpm

- Inj. Metamizole Natrium 3x 200mg

- Inj. Ondancetron HCl 3x 2 mg

- Paracetamol syr 3 x 5 ml (120 mg)

- Thiampenicol 3 x 10 ml (250 mg)

3.9 Monitoring

- Vital Sign (Tensi, Suhu, Nadi, rr)

- Keseimbangan cairan tubuh yang masuk dan yang keluar

- Keluhan pasien (Febris, Nausea, Vomiting, Nyeri abdomen, Nyeri

tenggorokan, Batuk pilek)

3.10 Edukasi

1. Memberikan penjelasan pada pasien dan keluarga pasien mengenai penyakit

yang diderita pasien.

2. Memberikan penjelasan tentang terapi yang diberikan

3. Menganjurkan pasien makan dan minum sedikit-sedikit tapi sering sesuai

kebutuhan kalori anak

4. Menjelaskan mengenai pentingnya peran orangtua dalam pertumbuhan anak

dan untuk kembali ke dokter jika keluhan yang sama terjadi lagi, serta ikut

memantau makanan yang dimakan oleh anak.

5. Menjelaskan tentang komplikasi yang mungkin terjadi serta prognosisnya.


6. Menjelaskan mengenai pentingnya hygiene sanitasi yang baik.

3.11 Prognosis

Dubia et Bonam

Lampiran Follow Up

Tabel 3.1 Follow up pasien selama MRS.

S O A P
08/04/2  Perempu KU : Baik 1. Demam Planing tx:
019 an/9tahu Kesadaran: Compos tifoid  D5 ¼ NS 10
n/21kg Mentis 2. Faringitis tpm
 Demam Vital sign: akut  Inj
mulai N:112x/mnt, RR: Metamizole
o
turun 22x/mnt, T:37,3 C Natrium
 Mual (+) SPO2: 99% 3x200 mg
 Muntah K/L: a/i/c/d:-/-/-/-  Inj
(-) Mata cowong (-) Ondansentro
 Nyeri Bibir kering (-) n HCl 3x2
perut (+) Typhoid tongue (+) mg
 Nyeri Faring hiperemi  Paracetamol
tenggoro menurun syr 3x 5 ml
kan Thorax: (120 mg)
sudah I : Normochest, ret IC  Biothicol 3x
berkuran (-) 10 ml (250
g P: Nyeri tekan (-) mg)
P:Sonor +/+
 Batuk
A: ves +/+, Rh -/-, wh
(+)
-/-, s1s2 tunggal, G (-
 Belum
), M (-)
Bab
Abdomen: 1.
sejak
I : Flat
kamis
A : BU + N
P : soeple (+)
Nyeri tekan (+),
turgor kembali cepat
P : timpani
Ekstremitas: CRT
<2 detik, merah
hangat, edem (-)
Genitalia: dbn

09/04/1  Perempu Kesadaran : Compos Demam Planing tx:


9 an/9tahu Mentis tifoid  D5 ¼ NS 10
n/21kg Vital sign: tpm
 Demam N:100x/mnt, RR:  Inj
(-) 22x/mnt, T:37 oC Metamizole
 Mual (-) SpO2: 98% Natrium
 Muntah K/L: a/i/c/d:-/-/-/- 3x200 mg
2. E
(-) Mata cowong (-)  Inj p
 Nyeri Bibir kering (-) Ondansentro
e
perut (+) Typhoid tongue (+) n HCl p3x2
kadang- Faring hyperemia (-) mg s
kadang Thorax:  Paracetamoli
 Nyeri I : Normochest, ret IC syr 3x 5 ml
tenggoro (-) (120 mg)
kan (-) P: Nyeri tekan (-)  Biothicol 3x
P:Sonor +/+
 Batuk 10 ml (250
A: ves +/+, Rh -/-, wh mg)
(+)
-/-, s1s2 tunggal, G (-
sudah
), M (-)
berkuran
g Abdomen:
I : Flat
A : BU + N
P : soeple (+),H/L
tidak teraba, Turgor
kembali cepat
Nyeri tekan
(+)
P : timpani
Ekstremitas: CRT<2
detik, Merah hangat,
edem (-)
Genitalia: dbn
10/04/2  Perempu Kesadaran : Compos - Demam Planning Tx :
019 an/9tahu Mentis Tifoid  D5 ¼ NS 10
n/21kg Vital sign: tpm
 Demam N:104x/mnt, RR:  Paracetamol
(-) 24x/mnt, T:36,3 oC syr 3x 5 ml
 Mual (-) SpO2: 98% (120 mg)
 Muntah K/L: a/i/c/d:-/-/-/-  Biothicol 3x
(-) Mata cowong (-) 10 ml (250
 Nyeri Bibir kering (-) mg)
perut (-) Typhoid tongue (-)
kadang- Faring hyperemia (-)
kadang Thorax:
 Nyeri I : Normochest, ret IC
tenggoro (-)
kan (-) P: Nyeri tekan (-)
P:Sonor +/+
 Batuk
A: ves +/+, Rh -/-, wh
(+)
-/-, s1s2 tunggal, G (-
sudah
), M (-)
berkuran
g Abdomen:
I : Flat
 Belum
A : BU + N
BAB
P : soeple (+),H/L
sejak
tidak teraba, Turgor
hari
kembali cepat
kamis
Nyeri tekan
(-)
P : timpani
Ekstremitas: CRT<2
detik, Merah hangat,
edem (-)
Genitalia: dbn

11/04/2 Kesadaran : Compos - Demam Planing tx:


 Perempu
019 Mentis Tifoid  D5 ¼ NS 10
an/9tahu
Vital sign: tpm
n/21kg
N:114x/mnt, RR:  Paracetamol
 Demam
23x/mnt, T:36,2 oC syr 3x 5 ml
(-)
SpO2: 98% (120 mg)
 Mual (-)
K/L: a/i/c/d:-/-/-/-
Mata cowong (-)
 Muntah Bibir kering (-)  Biothicol 3x
(-) Typhoid tongue (-) 10 ml (250
 Nyeri Faring hyperemia (-) mg)
perut (-) Thorax:  KRS
kadang- I : Normochest, ret IC
kadang (-)
 Nyeri P: Nyeri tekan (-)
tenggoro P:Sonor +/+
kan (-) A: ves +/+, Rh -/-, wh
 Batuk (-) -/-, s1s2 tunggal, G (-
 Sudah ), M (-)
bisa Abdomen:
BAB I : Flat
A : BU + N
P : soeple (+),H/L
tidak teraba, Turgor
kembali cepat
Nyeri tekan
(-)
P : timpani
Ekstremitas: CRT<2
detik, Merah hangat,
edem (-)
Genitalia: dbn
BAB 4

PEMBAHASAN

An. And, Perempuan, usia 9 tahun, dibawa ibunya ke RS dengan keluhan

panas sejak ± 8 hari dan sebelumnya diawali dengan sumer-sumer sekitar 2 hari

sebelum panas tinggi yang sering terjadi pada malam hari. Selama panas tinggi

perut pasien menjadi sering sakit dan tidak bisa BAB. Muntah sebanyak 4x mulai

hari jumat dan hari sabtu muntah 1x. Pasien juga mengalami penurunan nafsu

makan selama demam. Dilihat dari keluhan dan gejala yang ada pada pasien

mendekati dengan manifestasi klinis dari demam tifoid yaitu demam awalnya hanya

samar-samar saja, selanjutnya suhu tubuh turun naik yakni pada pagi hari lebih

rendah atau normal, sementara sore dan malam hari lebih tinggi. Demam dapat

mencapai 39-40 ºC. Intensitas demam akan makin tinggi disertai gejala lain seperti

sakit kepala, diare, nyeri otot, pegal, insomnia, anoreksia, mual, dan muntah (IDAI,

2008).

Pada pemeriksaan fisik pasien ini didapatkan typhoid tongue (+), Nyeri

epigastrium dan umbilical (+). Menurut teori pada demam tifoid terjadi: Gangguan

saluran pencernaan yaitu, Lidah terlihat kotor dengan ujung dan tepi lidah

kemerahan dan tremor, pada penderita anak jarang ditemukan. Umumnya penderita

sering mengeluh nyeri perut, terutama nyeri ulu hati, disertai mual dan muntah.

Penderita anak lebih sering mengalami diare, sementara dewasa cenderung

mengalami konstipasi (IDAI, 2008).

Diagnosis demam tifoid pada pasien ini didukung dengan pemeriksaan

penunjang serologi widal dengan titer S. Typhi O 1/320, S. Typhi H 1/320, S.


Paratyphi A (-) dan S. Paratyphi B (-). Pemeriksaan serologi widal dapat bermakna

jika titer S. Typhi O≥1/200 atau kenaikan 4x titer fase akut (IDAI, 2008).

Terapi yang diberikan pada pasien ini :

- Tirah baring

- Inf. D5 ¼ NS 10 tpm

- Inj. Metamizole Natrium 3x200mg

- Inj. Ondancetron HCl 3x2 mg

- Paracetamol syr 3x5 ml (120 mg)

- Thiampenicol 3x 10 ml (250 mg)

Pemberian infus PZ ditujukan untuk merehidrasi karena pasien mengalami

muntah 4x ditambah pasien mengalami penurunan nafsu makan. Pz berfungsi untuk

menyalurkan atau memelihara keseimbangan air dan elektrolit pada keadaan

dimana asupan oral tidak mencukupi atau tidak memungkinkan (MIMS, 2018).

Terapi simtomatis untuk pasien tersebut ialah dengan pemberian inj.

Ondancetron dan inj. Santagesik untuk mengurangi gejala mual muntah pada

pasien. Ondancetron merupakan golongan antiemetik yang bekerja dengan

memblok reseptor serotonin 5HT-3 sentral dan perifer maupun pada zona pemicu

kemoreseptor (Katzung, 2012). Penelitian yang dilakukan oleh Simbolon dan teman

temannya ditahun 2018 diperoleh hasil pemberian santagesik dikombinasi dengan

ondancetron pada pasien dengan mual muntah memiliki hasil terapi yang lebih

efektif dibanding dengan pemberian ondancetron saja (Simbolon, et al. 2018).

Antibiotik (berturut-turut sesuai lini pengobatan)


1. Kloramfenikol (drug of choice) 50-100 mg/kg/hari, oral atau iv, dibagi dalam 4

dosis selama 10-14 hari, tidak dianjurkan pada leukosit <2000/μl, dosis maksimal

2 g/hari. Tiamfenikol adalah turunan kloramfenikol yang juga aktif terhadap

spesies Salmonella, yang mempunyai beberapa kelebihan antara lain demam lebih

cepat turun, nafsu makan lebih cepat membaik serta sakit perut lebih cepat

menghilang (Rismarini, et al., 2001).

2. Amoxicillin 150-200 mg/kg/hari, oral atau iv selama 14 hari

3. Ceftriaxon 20-80 mg/kg/hari selama 5-10 hari

Tatalaksana suportif merupakan hal yang sangat penting dalam menangani demam

tifoid selain tatalaksana utama berupa pemberian antibiotik. Pemberian rehidrasi oral

ataupun parenteral, penggunaan antipiretik, pemberian nutrisi yang adekuat serta

transfusi darah bila ada indikasi, merupakan tatalaksana yang ikut memperbaiki

kualitas hidup seorang anak penderita demam tifoid. Gejala demam tifoid pada anak

lebih ringan dibanding orang dewasa, karena itu 90 % pasien demam tifoid anak

tanpa komplikasi, tidak perlu dirawat di rumah sakit dan dengan pengobatan oral

serta istirahat baring di rumah sudah cukup untuk mengembalikan kondisi anak

menjadi sehat dari penyakit tersebut (IDAI, 2008).


DAFTAR PUSTAKA

Alan R. Tumbelaka. 2003. Bab Diagnosis dan Tatalaksana Demam Typoid dalam

Buku Pediatrics Update. Cetakan pertama. Jakarta : Penerbit IDAI.

Bajaj, Hambidge, Kerby dan Nyquist. 2011. Berman’s Pediatric Decision Making

Fifth Edition. United State of America

Darmowandowo. 2016. Pengelolaan Demam Tifoid, Jakarta. CDK-185/vol 44: 1

Depkes RI. 2017. Millenium Development Goals . Jakarta.

Eddy Soewandojo Soewando. 2016. Seri Penyakit Tropik Infeksi; Perkembangan

Terkini Dalam Pengelolaan Beberapa Penyakit Tropik Infeksi. Penerbit

Airlangga University Press.

Kementrian Kesehatan R.I. 2013. Sistematika Pedoman Pengendalian Penyakit

Demam Tifoid. Jakarta : Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan

Penyehatan Lingkungan.

Kepmenkes RI. 2006. Pedoman Pengendalian Demam Tifoid.

Naveed A,dr, Ahmed Z, 2016. dr. Treatment of typhoid fever in children :

Comparison of efficacy of ciprofloxacin with ceftriaxone. Europen Scientific

Journal.edition vol.12 no.6.

Nelwan RHH. 2012. Tatalaksana Terkini Demam Tifoid. Divisi Penyakit Tropik dan

Infeksi RSCM, Jakarta. CDK-192/vol 39.No 4

Prasetyo, Risky V. dan Ismoedijanto. 2010. Metode Diagnostik Demam Tifoid Pada

Anak. Surabaya : FK UNAIR.

Pujiadi.Antonius H, Badriul Hegar, Setyo Handrastuti, Nikmah Salamah Idris, Ellen

Gandaputra, dan Eva Devita Harmoniati. 2011. Pedoman Pelayanan Medis

Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta : Penerbit IDAI.


Rismarini, Zarkasih, A., Merdjani, A., 2001. Perbandingan Efektifitas Klinis antara

Kloramfenikol dan Thiamfenikol dalam Pengobatan Demam Tifoid pada

Anak. Sari Pediatri, Vol. 3, No. 2, September 2001: 83 - 87

Simbolon, PDH., Nafianti, S., Sianturi, P., Lubis, B., Lelo, A., 2018. The addition

of omeprazole to ondansetron for treating chemotherapyinduced nausea and

vomiting in pediatric cancer patients. Paediatr Indones, Vol. 58, No. 1, January

2018

Soedarmo, Sumarmo S., et al. 2012. Bab Demam Typoid dalam Buku Ajar Infeksi

& Pediatri Tropis edisi 2. Jakarta : Penerbit IDAI.

Sri Rezeki H, Muzal Kadim, Yoga Devaera, Nikmah S, dan Cahyani Gita A. 2012.

Update Management of Infectious Disease and Gastrointestinal Disorders.

Jakarta : Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM

WHO. 2009. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit. Jakarta: Tim

Adaptasi Indonesia.

Widodo D. 2014. Demam Tifoid, Dalam : Buku Ajar Ilmu Penyakit dalam Jilid III

Edisi IV Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta: Interna

Publishing.

World Health Organization (WHO). 2018. Typhoid.

https://www.who.int/mediacentre/factsheets/typhoid/en/ (diakses pada 5

Januari 2019).

You might also like