Professional Documents
Culture Documents
DEMAM TIFOID
Disusun oleh:
Mafida Rista Azizah 201810401011015
Pembimbing:
dr. Dahsyat Wasis Setiadi, Sp.A
dr. Lily Diah Farida, Sp.A
dr. Hervin Febrina Ghofar Sp.A
dr. Renyta Ika Damayanti, Sp.A
DEMAM TIFOID
Telah Disetujui
Assalamu’alaikum Wr.Wb.
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, karena atas berkat dan
“Demam Typhoid”.
Penulisan Laporan Kasus ini bertujuan untuk memenuhi salah satu syarat
Kediri. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada seluruh dokter pembimbing
dr. Dahsyat Wasis Setiadi, Sp.A, dr. Lily Diah Farida, Sp.A, dr. Hervin Febrina
Ghofar, Sp.A dan dr. Renyta Ika Damayanti, Sp.A serta semua pihak terkait yang
kritik dan saran yang membangun. Semoga tulisan laporan kasus ini dapat
Wassalamualaikum WR.WB.
Penulis
DAFTAR ISI
BAB 1 PENDAHULUAN……………..................................................... 1
PENDAHULUAN
oleh Salmonella enterica servoar typhi (S typhi) dan beberapa lainnya oleh
dapat hidup didalam tubuh manusia, manusia yang terinfeksi Salmonella typhi
dapat mengekskresikannya melalui sekret saluran nafas, urin, dan tinja dalam
jangka waktu yang sangat bervariasi. Bakteri ini masuk kedalam mulut bersama
makanan dan minuman yang terkontaminasi oleh bakteri tersebut dan hanyut
kedalam saluran pencernaan, apabila bakteri berhasil mencapai usus halus dan
Sumarmo S, et al., 2012). Penyakit ini ditandai oleh demam berkepanjangan. Pada
minggu pertama sakit, demam sangat sulit dibedakan dengan penyakit demam
terdapat sekitar 11-20 juta kasus demam typoid setiap tahunnya di seluruh dunia
352-810 kasus per 100.000 penduduk per tahun atau 600.000-1.500.000 kasus per
tahun (Depkes RI, 2017). Angka kematian diperkirakan 2,5-6% atau 50.000 orang
per tahun. Penyakit ini menyerang semua umur tetapi kebanyakan pada anak-anak
umur 5-9 tahun (Eddy, 2016). Demam typhoid merupakan masalah kesehatan
masyarakat yang penting karena penyebarannya berkaitan erat dengan urbanisasi,
kepadatan penduduk, kesehatan lingkungan, sumber air dan sanitasi yang buruk
serta standar kebersihan industri pengolahan makanan yang masih rendah. Demam
typhoid masih sering dijumpai secara luas di berbagai negara berkembang yang
terutama terletak di daerah tropis dan subtropis (Pujiadi et. al, 2011).
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Salmonella Paratyphi C (Hishfeldii), disebut pula sebagai demam enterik dan tifus
pejamu bagi organisme ini. Diberi nama demam tifoid karena tanda dan gejalanya
mirip tifus yang disebabkan Rickettsia. Infeksi akibat spesies Salmonella (non
tifoid) ditemukan di berbagai belahan dunia, memiliki sindrom klinis yang luas
mulai dari asimtomatik, gastroenteritis yang dapat sembuh sendiri sampai dengan
Prevalensi demam typhoid paling tinggi pada usia 5 - 9 tahun karena pada
usia tersebut orang-orang cenderung memiliki aktivitas fisik yang banyak dan
makan di luar rumah, atau jajan di tempat lain, khususnya pada anak usia sekolah
yang mungkin tingkat kebersihannya masih kurang dimana bakteri S. thypi banyak
2.2 Epidemiologi
Besarnya angka pasti kasus demam tifoid di dunia sangat sulit ditentukan
karena penyakit ini dikenal mempunyai gejala dengan spektrum klinis yang sangat
luas. Data World Health Organization (WHO) tahun 2017 memperkirakan terdapat
sekitar 11-20 juta kasus demam tifoid di seluruh dunia dengan insidensi 128.000-
161.000 kasus kematian tiap tahun (WHO, 2018). Di negara berkembang, kasus
demam tifoid dilaporkan sebagai penyakit endemis dimana 95% merupakan kasus
rawat jalan sehingga insidensi yang sebenarnya adalah 15-25 kali lebih besar dari
laporan rawat inap di rumah sakit. Di Indonesia kasus ini tersebar secara merata di
dan di daerah perkotaan 760/100.000 penduduk/ tahun atau sekitar 600.000 dan 1.5
juta kasus per tahun. Umur penderita yang terkena di Indonesia dilaporkan antara
berusia 3-19 tahun (Nelwan, 2012). Di Indonesia demam tifoid banyak dijumpai di
kota-kota besar. Tidak ada perbedaan yang nyata insiden tifoid pada pria dengan
wanita. Insiden tertinggi didapatkan pada remaja dan dewasa muda. Insiden tifoid
di Indonesia masih sangat tinggi berkisar 350-810 per 100.000 penduduk. Demikian
juga dari telaah kasus demam tifoid di Rumah Sakit besar di Indonesia,
2.3 Etiologi
bahan kimia, tahan beberapa hari/minggu pada suhu kamar, bahan limbah, bahan
farmasi. Salmonella mati pada suhu 54,4°C dalam 1 jam atau 60°C dalam 15 menit.
Suhu umum untuk tumbuh adalah 37o C dengan pH antara 6-8. Dapat hidup sampai
beberapa minggu di alam bebas seperti dalam es, air, sampah, dan debu. Manusia
urin, dan tinja dalam jangka waktu yang sangat bervariasi (Prasetyo, et. Al, 2010).
Masa inkubasi tifoid 10-14 hari, dan pada anak inkubasi bisa 5-40 hari
dengan perjalanan penyakit kadang tidak teratur. Pertumbuhan dalam kaldu terjadi
Pada agar dara, koloninya besar bergaris tengah 2-3 mm, bulat, agak cembung,
jernih, licin, dan tidak menyebabkan hemolysis. Pada perbenihan Mc Concey tidak
bismuth sulfit Wilson dan blair,tumbuh koloni hitam berkilat logam akibat
pembentukan H2S. Perbenihan Selenit F dan tetrationat sering dipakai sebagai
a. Antigen O
Antigen O merupakan somatik yang terletak di lapisan luar tubuh kuman. Struktur
kimianya terdiri dari lipopolisakarida. Antigen ini tahan terhadap pemanasan 100°C
selama 2–5 jam, alkohol dan asam yang encer (Kemenkes, 2013).
b. Antigen H
Antigen H merupakan antigen yang terletak di flagela, fimbriae atau fili Salmonella
typhi dan berstruktur kimia protein. Salmonella typhi mempunyai antigen H phase-
1 tunggal yang juga dimiliki beberapa Salmonella lain. Antigen ini tidak aktif pada
pemanasan di atas suhu 60°C dan pada pemberian alkohol atau asam (Kemenkes,
2013).
c. Antigen Vi
kuman dari fagositosis dengan struktur kimia glikolipid, akan rusak bila dipanaskan
selama 1 jam pada suhu 60°C, dengan pemberian asam dan fenol. Antigen ini
dinding sel terdiri dari : (1) antigen O yg sdh dilepaskan, (2) lipopolisakarida, (3)
(Kemenkes, 2013).
Antigen OMP Salmonella typhi merupakan bagian dinding sel yang terletak di luar
nonporin. Porin merupakan komponen utama OMP, terdiri atas protein OMP C,
OMP D, OMP F dan merupakan saluran hidrofilik yang berfungsi untuk difusi solut
dengan BM < 6000. Sifatnya resisten terhadap proteolisis dan denaturasi pada suhu
85–100°C. Protein nonporin terdiri atas protein OMP A, protein a dan lipoprotein,
bersifat sensitif terhadap protease, tetapi fungsinya masih belum diketahui dengan
jelas. Beberapa peneliti menemukan antigen OMP S typhi yang sangat spesifik
2.4 Patofisiologi
penempelan dan invasi sel- sel pada peyer patch, 2) bakteri bertahan hidup dan
2012).
kuman dimusnahkan dalam lambung karena suasana asam di lambung (pH < 2)
banyak yang mati namun sebagian lolos masuk ke dalam usus dan berkembang biak
dalam peyer patch dalam usus. Jumlah kuman yang masuk dan dapat menyebabkan
dan ileum. Bila respon imunitas humoral mukosa usus (IgA) kurang baik maka
kuman akan menembus sel- sel epitel (sel-M merupakan sel epitel khusus yang yang
melapisi peyer patch, merupakan port de entry dari kuman ini) dan selanjutnya ke
lamina propria. Di lamina propria kuman berkembang biak dan difagosit oleh sel-
sel fagosit terutama makrofag. Kuman dapat hidup dan berkembang biak di dalam
makrofag dan selanjutnya dibawa ke peyer patch di ileum distal dan kemudian
tubuh terutama hati dan Limpa. Di organ- organ RES ini kuman meninggalkan sel-
sel fagosit dan kemudian berkembang biak di luar sel atau ruang sinusoid dan
kedua dengan disertai tanda- tanda dan gejala infeksi sistemik (Nelwan, 2012).
lumen usus. Sebagian kuman dikeluarkan bersama feses dan sebagian masuk lagi
ke dalam sirkulasi setelah menembus usus. Proses yang sama terulang kembali,
berhubung makrofag telah teraktivasi dan hiperaktif maka pada saat fagositosis
mialgia, sakit kepala, sakit perut, diare diselingi konstipasi, sampai gangguan
jaringan (S. typhi intra makrofag menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe lambat,
hyperplasia jaringan dan nekrosis organ). Perdarahan saluran cerna dapat terjadi
akibat erosi pembuluh darah sekitar peyer patch yang sedang mengalami nekrosis
dan hiperplasi akibat akumulasi sel- sel mononuclear di dinding usus (Nelwan,
2012).
otot, serosa usus, dan dapat mengakibatkan perforasi. Endotoxin dapat menempel
(Nelwan, 2012).
Gambar 2.2 Patofisiologi Demam Tifoid (Nelwan, 2012).
Pertimbangkan demam tifoid jika anak demam dan mempunyai salah satu
tanda berikut ini: diare atau konstipasi, muntah, nyeri perut, sakit kepala atau batuk,
terutama jika demam telah berlangsung selama 7 hari atau lebih dan diagnosis lain
kunci adalah:
2. Terlihat jelas sakit dan kondisi serius tanpa sebab yang jelas.
3. Nyeri perut, kembung, mual, muntah, diare, konstipasi.
4. Delirium.
5. Hepatosplenomegali.
6. Pada demam tifoid berat dapat dijumpai penurunan kesadaran, kejang, dan
ikterus
7. Dapat timbul dengan tanda yang tidak tipikal terutama pada bayi muda
sebagai penyakit demam akut dengan disertai syok dan hipotermi (WHO.
2009).
Gambaran klinis demam demam tifoid sangat bervariasi, dari gejala sangat
ringan (sehingga tidak terdiagnosis ) atau dengan gejala yang khas (sindrom
demam tifoid) sampai dengan gejala klinis berat yang disertai komplikasi.
Gambaran klinis dapat bervariasi menurut populasi, daerah, atau menurut waktu.
Gambaran klinis di negara berkembang dapat berbeda dengan negara maju dan
gambaran klinis tahun 2000 dapat berbeda dengan tahun enam puluhan pada daerah
yang sama. Gambaran klinis pada anak cenderung tak khas. Makin kecil anak
dalam waktu pendek dan jarang menetap lebih dari 2 minggu (Kemenkes, 2013).
Kumpulan gejala klinis demam tifoid disebut sebagai sindrom demam tifoid.
1) Demam
Demam atau panas adalah gejala utama demam tifoid. Pola demam
demam tidak terlalu tinggi lalu akan makin meningkat dari hari ke hari,
suhu pagi dibandingkan sore atau malam hari lebih tinggi (step ladder
fashion). Pada minggu ke-2 dan ke-3 demam akan terus menerus
(demam kontinu), demam akan menurun pada akhir minggu ke-3 dan
terjadi pada fase demam di akhir minggu ke-2 dan ke-3. Hati-hati
apabila terjadi penurunan suhu tubuh di akhir minggu ke-2 dan ke-3
Sering ditemukan bau mulut yang tidak sedap karena demam yang lama.
selaput kotor (coated tongue), ujung dan tepi lidah tampak kemerahan,
serta lidah tampak tremor. Pada anak balita tanda dan gejala ini jarang
epigastrium (nyeri ulu hati), disertai nausea, mual dan muntah. Sering
3) Gangguan Kesadaraan
4) Hepatosplenomegali
Hati dan atau limpa, ditemukan sering membesar. Pada perabaan hati
nadi. Patokan yang sering dipakai adalah setiap peningkatan suhu 1∞C
gejala lain yang dapat ditemukan pada demam tifoid seperti rose spot
1. Bayi
muntah, diare, distensi abdomen. Suhu tubuh tidak stabil, ikterus, berat
2. Usia Balita
2013).
tifus sehingga menyebabkan diagnosis demam tifoid sangat sering ditegakkan oleh
memerlukan pemeriksaan kultur, namun hal tersebut tidak mudah untuk dilakukan
dalam suspek demam tifoid apabila seorang pasien dengan gejala demam
yang meningkat secara bertahap terutama sore dan malam hari, kemudian
menetap tinggi selama 5 hari atau lebih, disertai nyeri kepala hebat, nausea
(Kemenkes, 2013).
Termasuk demam tifoid atau sangat mungkin kasus tifoid ditemukan gejala
serodiagnosis atau deteksi antigen yang positif tanpa gejala seperti di atas,
Adalah kasus demam tifoid klinis yang telah menunjukkan hasil biakan
2013).
Sampai saat ini, baku emas diagnosis demam tifoid adalah pemeriksaan
biakan empedu walaupun hanya 40%-60% kasus biakan positif, terutama pada awal
perjalanan penyakit. Biakan spesimen tinja dan urin menjadi positif setelah akhir
sensitivitas biakan darah menjadi rendah. Biakan sumsum tulang lebih sensitif,
namun sulit dilakukan dalam praktek, invasif, dan kurang digunakan untuk
kesehatan masyarakat.
a. Pemeriksaan hematologi
penyakit, namun kisaran jumlah leukosit bisa lebar. Pada anak yang lebih muda
diseminata. Pemeriksaan fungsi hati dapat berubah, namun gangguan hati yang
akibat depresi sumsum tulang oleh endotoksin dan mediator endogen yang
menurun dan destruksi yang meningkat pada sistem retikulo endotel (RES).
pada minggu ke 3-4, karena bisa disebabkan oleh perforasi usus yang
2013).
b. Pemeriksaan Widal
dan H S. typhi dan sudah digunakan lebih dari 100 tahun. Pemeriksaan
antibodi O meningkat di hari ke-6-8 dan antibodi H hari ke 10-12 sejak awal
sampel biakan positif demam tifoid (Sri Rezeki, Muzal Kadim,et al. 2012).
dan nilai prediksi positif 80%. Hasil pemeriksaan Widal positif palsu dapat
penting untuk demam tifoid. Titer aglutinin O yang positif dapat berbeda
mendapat vaksinasi atau baru sembuh dari demam tifoid (Sri Rezeki, Muzal
Pemeriksaan Widal pada serum akut satu kali saja tidak mempunyai
arti penting dan sebaiknya dihindari oleh karena beberapa alasan, yaitu
mencapai puncak lebih lambat minggu ke 4-6 dan menetap dalam waktu
S. typhi. Dalam dua dekade ini, pemeriksaan antibodi IgM dan IgG spesifik
antara lain: liposakarida (LPS), outer membrane protein (OMP), flagella (d-
H), dan kapsul (virulence [Vi] antigen). Telah banyak penelitian yang
hampir 100% pada pasien demam tifoid dengan biakan darah positif S.
warna dan nilai ≥ 6 dianggap sebagai positif kuat. Namun interpretasi hasil
serologi yang positif harus dilakukan secara hati-hati pada kasus tersangka
demam tifoid di daerah endemis karena IgM dapat bertahan sampai 3 bulan,
d. Pemeriksaan PCR
Pemeriksaan nested PCR terhadap gen flagelin (fliC) dari S. typhi dapat
dideteksi dari spesimen urin 21/22 (95.5%), dikuti dari spesimen darah
20/22 (90%), dan tinja 15/22 (68.1%) (Sri Rezeki, Muzal Kadim,et al.
2012).
virulensi kapsul (Vi) pada spesimen urin memiliki sensitivitas tertinggi pada
Spesifisitas untuk Vi lebih dari 90% sehingga deteksi antigen Vi pada urin
S. typhi dari spesimen saliva memberikan hasil positif pada 33/37 (89,2%)
71,4%, 100%, 100%, 9,1% dan 0% pada minggu pertama, kedua, ketiga,
keempat, dan kelima perjalanan penyakit demam tifoid (Sri Rezeki, Muzal
2.8 Diagnosis
1. Anamnesis
Gejala klinis demam tifoid pada anak biasanya lebih ringan jika
dibandingkan dengan penderita dewasa. Masa inkubasi rata-rata 10-20 hari. Yang
sampai 30 hari jika infeksi melalui minuman. Selama masa inkubasi mungkin
ditemukan gejala prodormal, yaitu perasaan tidak enak badan, lesu, nyeri kepala,
pusing dan tidak bersemangat. Kemudian menyusul gejala klinis yang biasa
2. Pemeriksaan fisik
yang ringan seperti apatis, somnolen, hingga yang berat delirium atau koma)
d. Bradikardi relatif
e. Ikterus
hepatosplenomegali
3. Pemeriksaan penunjang
dibagi dalam empat kelompok, yaitu : (1) pemeriksaan darah tepi; (2) pemeriksaan
bakteriologis dengan isolasi dan biakan kuman; (3) uji serologis; (4) pemeriksaan
Gambar 2.1 Diagnosis Banding Demam yang Belum Diketahui Penyebabnya >14
Hari dengan Suhu >38,3⁰ (Bajaj, Hambidge, et all. 2011)
adenopathy,
hepatosplenomegaly,
lymphocytes
no point tenderness on
examination)
generally present
hepatosplenomegaly
reptile exposure;
constipation may be
leukopenia
factor
erythema chronicum
migrans rash,
arthralgias/arthritis
arthritis (particularly
sacroiliac),
hepatosplenomegaly
unpasteurized dairy;
culture-negative
endocarditis, pneumonia,
and/or hepatitis
exposure, exposure to
endemic region
adenopathy,
pancytopenia,
hepatosplenomegaly
take prophylaxis),
jaundice, pallor,
splenomegaly
congestion/discharge,
halitosis, headaches
minor)
examination
hepatosplenomegaly, very
high ESR
Inflammatory bowel Abdominal pain, diarrhea, Endoscopy, upper GI
ESR
2.10 Tatalaksana
Oral Parenteral
12 jam selama 14 hr
mg/kgBB/hr selama 7 hr
#Sefiksim: perhatikan dosis untuk demam tifoid. Merupakan regimen oral lanjutan
setelah penggunaan seftriakson i.v. agar memenuhi lama terapi 10-14 hari
(Kemenkes 2013).
pemberian ceftriaxone lebih efektif pada anak anak dan klinisnya menjadi afebrile
Tatalaksana Komplikasi
b) TIRAH BARING
penderita harus istirahat total. Bila terjadi penurunan kesadaran maka posisi
penderita. Buang air besar dan kecil sebaiknya dibantu oleh perawat.
(Kemenkes, 2013).
c) NUTRISI
1. CAIRAN
Penderita harus mendapat cairan yang cukup, baik secara oral maupun
(Kemenkes, 2013).
atas : diet cair, bubur lunak, tim dan nasi biasa. Bila keadaan penderita
baik, diet dapat dimulai dengan diet padat atau tim (diet padat dini). Tapi
bila penderita dengan klinis berat sebaiknya dimulai dengan bubur atau
diet cair yang selanjutnya dirubah secara bertahap sampai padat sesuai
menurun diberi diet secara enteral melalui pipa lambung. Diet parenteral
dimonitor adalah :
(1) Suhu tubuh (status demam) serta petanda vital lain. Tanda vital
(suhu, nadi, nafas, tekanan darah) harus diukur secara serial. Kurva suhu
(2) Keseimbangan cairan Cairan yang masuk (infus atau minum) dan
(Kemenkes, 2013).
2.11 Komplikasi
a. Komplikasi Intestinal
1. Perdarahan Intestinal
Pada plak Peyeri usus yang terinfeksi (terutama ileum terminalis) dapat
terbentuk tukak/luka berbentuk lonjong dan memanjang terhadap sumbu usus. Bila
luka menembus lumen usus dan mengenai pembuluh darah maka terjadi
perdarahan. Selanjutnya bila tukak menembus dinding usus maka perforasi dapat
terjadi. Selain karena faktor luka, perdarahan juga dapat terjadi karena gangguan
koagulasi darah (KID) atau gabungan kedua faktor. Sekitar 25% penderita demam
tifoid dapat mengalami perdarahan minor yang tidak membutuhkan transfusi darah.
Perdarahan hebat dapat terjadi hingga penderita mengalami syok. Secara klinis
terlambat, mortalitas cukup tinggi sekitar 10-32%, bahkan ada yang melaporkan
sampai 80%. Bila transfusi yang diberikan tidak dapat mengimbangi perdarahan
2. Perforasi Usus
Terjadi pada sekitar 3% dari penderita yang dirawat. Biasanya timbul pada
minggu ketiga namun dapat pula terjadi pada minggu pertama. Selain gejala umum
demam tifoid yang biasa terjadi maka penderita demam tifoid dengan perforasi
mengeluh nyeri perut yang hebat terutama di darah kuadran kanan bawah yang
kemudian menyebar ke seluruh perut dan disertai dengan tanda-tanda ileus. Bising
usus melemah pada 50% penderita dan pekak hati terkadang tidak ditemukan
karena adanya udara bebas di abdomen. Tanda-tanda perforasi lainnya adalah nadi
cepat, tekanan darah turun, dan bahkan dapat syok. Leukositosis dengan pergeseran
ke kiri dapat menyokong adanya perforasi (Sri Rezeki, Muzal Kadim,et al. 2012).
Bila pada gambaran foto polos abdomen (BNO/3 posisi) ditemukan udara
pada rongga peritoneum atau subdiafragma kanan, maka hal ini merupakan nilai
yang cukup menentukan terdapatnya perforasi usus pada demam tifoid. Beberapa
faktor yang dapat meningkatkan kejadian adalah perforasi adalah umur (biasanya
berumur 20-30 tahun), lama demam, modalitas pengobatan beratnya penyakit, dan
mobilitas penderita.
typhi tetapi juga untuk mengatasi kuman yang bersifat fakultatif dan anaerobik pada
flora usus. Umumnya diberikan antitibiotik spektrum luas dengan kombinasi
serta penderita dipuasakan dan dipasang nasogastric tube. Transfusi darah dapat
2014).
b. Komplikasi Ekstra-Intestinal
1. Komplikasi Hematologi
saja sering dijumpai, hal ini mungkin terjadi karena menurunnya produksi trombosit
Penyebab KID pada demam tifoid belumlah jelas. Hal-hal yang sering
trombosit dan/atau faktor-faktor koagulasi bahkan heparin, meskipun ada pula yang
tidak sependapat tentang manfaat pemberian heparin pada demam tifoid
(Kemenkes, 2013)
2. Hepatitis Tifosa
Pembengkakan hati ringan sampai sedang dijumpai pada 50% kasus dengan
demam tifoid dan lebih banyak dijumpai karena S. typhi dan S. paratyhpi. Untuk
membedakan apakah hepatitis ini oleh karena tifoid, virus, malaria atau amuba
maka perlu diperhatikan kelainan fisik, parameter laboratorium dan bila perlu
histopatologik hati. Pada demam tifoid kenaikan enzim transaminase tidak relevan
dengan kenaikan serum bilirubin (untuk membedakan dengan hepatitis oleh karena
virus). Hepatitis tifosa dapat terjadi pada pasien dengan malnutrisi dan sistem imun
3. Pankreatititis Tifosa
sendiri dapat disebabkan oleh mediator pro inflamasi, virus, bakteri, cacing maupun
scan dapat membantu diagnosis penyakit ini dengan akurat (WHO, 2009).
4. Miokarditis
biasanya tanpa gejala kardiovaskular atau dapat berupa keluhan sakit dada, gagal
jantung kongestif, aritmia atau syok kardiogenik. Sedangkan perikarditis sangat
oleh kuman S. typhi dan miokarditis sering sebagai penyebab kematian, biasanya
dijumpai pada pasien yang sakit berat, keadaan akut dan fulminan (Sri Rezeki,
5. Pneumonia
Dapat disebabkan oleh basil Salmonella atau koinfeksi dengan mikroba lain
klinis pneumonia serta gambaran khas penumonia pada foto polos thoraks
6. Neuropsikiatrik/Tifoid Toksik
Terkadang gejala demam tifoid diikuti suatu sindrom klinis berupa gangguan
sopor, atau koma) dengan atau tanpa disertai kelainan neurologis lainnya dan dalam
pemeriksaan cairan otak masih dalam batas normal. Sindrom klinis seperti ini oleh
yang buruk, tingkat pendidikan yang rendah, ras, kebangsaan, iklim, nutrisi,
kebudayaan dan kepercayaan (adat) yang masih terbelakang ikut mempermudah
terjadinya hal tersebut dan akibatnya meningkatkan angka kematian (Sri Rezeki,
Semua kasus tifoid toksik, atau pertimbangan klinis sebagai demam tifoid
ditambah ampisilin 4x1 gram dan deksametason 3x5 mg. (Widodo, 2014)
2.12 Pencegahan
setiap individu harus memperhatikan kualitas makanan dan minuman yang mereka
konsumsi. Pada daerah endemik, sanitasi diperbaiki dan bersih, air mengalir sangat
penting untuk mengendalikan demam enterik. Salmonella thypi didalam air akan
mati apabila dipanaskan pada suhu 57ºC untuk beberapa menit atau dengan proses
orang dan kontaminasi makanan diperlukan cara-cara higene personal, cuci tangan,
Secara garis besar ada 3 strategi pokok untuk memutuskan transmisi tifoid,
yaitu :
1. Identifikasi dan eradikasi S. typhi pada pasien tifoid asimtomatik, karier dan
akut. Tindakan identifikasi atau penyaringan pengidap kuman S. typhi ini cukup
sulit dan memerlukan biaya cukup besar baik ditinjau dari pribadi maupun skala
maupun pasif menunggu bila ada penerimaan pegawai di suatu instansi atau
swasta. Sasaran aktif lebih diutamakan pada populasi tertentu seperti pengelola
sampai pabrik beserta distributornya. Sasaran lainnya adalah yang terkait dengan
karier. Kegiatan ini dilakukan di rumah saki, klinis maupun di rumah dan
3. Proteksi pada orang yang beresiko tinggi tertulas dan terinfeksi. Sarana proteksi
pada populasi ini dilakukan dengan cara vaksinasi tifoid di daerah endemik
Indikasi vaksinasi :
Kontraindikasi vaksinasi :
yang alergi atau reaksi efek samping berat, penurunan imunitas dan
- Pada vaksin Ty2la demam timbul pada orang yang mendapat vaksin 0-5%,
sakit kepala (0-5%), sedangkan pada ViCPS efek samping lebih kecil
(demam 0,25%; malaise 0,5%, sakit kepala 1,5%, rash 5%, reaksi nyeri lokal
inactivated, yaitu demam 6,7-24%, nyeri kepala 9-10% dan reaksi lokal nyeri
dan edema 3-35% bahkan reaksi berat termasuk hipotensi, nyeri dada, dan
Daerah endemik
klorinisasi)
- Pengunjung ke daerah ini harus minum air yang telah melalui pendidihan,
pengunjung.
(Widodo, 2014)
2.13 Prognosis
yang tepat, angka mortalitas di bawah 1%. Di negara yang sedang berkembang,
diagnosis, rawat inap di rumah sakit, dan pengobatan. Bayi umur sebelum 1 tahun
dan anak-anak dengan gangguan dasar yang melemahkan berada pada risiko yang
lebih tinggi S. typhi menyebabkan penyakit yang lebih berat, dengan angka
komplikasi dan kematian yang lebih tinggi, daripada serotip lain. Munculnya
endokarditis dan pneumonia disertai dengan angka morbiditas dan mortalitas tinggi.
Relaps sesudah respons klinis awal terjadi pada 4-8% penderita yang tidak
diobati dengan antibiotik. Pada penderita yang telah mendapat terapi antibiotik.
Pada penderita yang telah mendapat terapi antimikroba yang tepat, manifestasi
klinis relaps menjadi nyata sekitar 2 minggu sesudah relaps, biasanya lebih ringan
dan lebih pendek. Dapat terjadi relaps berulang. Individu yang mengekskresi S.
typhi 3 bulan atau lebih lama sesudah infeksi biasanya pengekskresi 1 tahun dan
ditetapkan sebagai pengidap kronis. Risiko menjadi pengidap rendah pada anak dan
bertambah pada semakin tua; dari semua penderita dengan demam tifoid, 1-5%
menjadi pengidap kronis. Insiden penyakit saluran empedu lebih tinddu pada
kronis dapat juga terjadi, pengidap ini jarang dan ditemukan terutama pada individu
Definisi pengidap tifoid karier adalah seseorang yang kotorannya (feses atau
urin) mengandung S. typhi setelah satu tahun pasca-demam tifoid, tanpa disertai
gejala klinis. Kasus tifoid dengan kuman S. typhi masih dapat ditemukan di feses
atau urin selama 2-3 bulan disebut karier pasca-penyembuhan. Pada penelitian di
Jakarta dilaporkan bahwa 16,18% (N=68) kasus demam tifoid masih didapatkan
Tifoid karier tidak menimbulkan gejala klinis (asimtomatis) dan 25% kasus
menyangkal adanya riwayat sakit demam tifoid akut. Pada beberapa penelitian
dilaporkan pada tifoid karier sering disertai infeksi kronis traktus urinarius serta
atau jaringan lain. Peningkatan faktor risiko tersebut berbeda bila dibandingkan
dengan populasi pasca-ledakan kasus luar biasa demam tifoid, hal ini diduga faktor
infeksi kronis sebagai faktor risiko terjadinya karsinoma dan bukan akibat infeksi
tifoid akut.
Mekanisme pertahanan tubuh terhadap S. typhi belum jelas. Imunitas seluler diduga
punya peran sangat penting. Hal ini dibuktikan bahwa pada penderita sickle cell
disease dan sistemic lupus eritematosus (SLE) maupun penderita AIDS bila
terinfeksi Salmonella makan akan terjadi bakteremia yang berat. Pada pemeriksaan
seluler terhadap S. typhi, meskipun tidak ditemukan penurunan imunitas seluler dan
humoral. Penelitian lainnya menyatakan bahwa tidak ada perbedaan bermakna pada
sistem imunitas humoral dan seluler serta respons limfosit terhadap S. typhi antara
antibodi IgG dan IgM terhadap S. typhi antara tifoid karier dibanding tifoid akut
pada biakan feses ataupun urin pada seseorang tanda tanda klinia infeksi atau pada
bukan sebagai tifoid karier bila setelah dilakukan biakan secara acak serial minimal
dilaporkan bahwa sensitivitas 75% dan spesifitas 92% bila ditemukan kadar titer
antibodi Vi sebesar 160. Nolan CM dkk (1981) meneliti pengidap tifoid (karier)
beserta keluarganya, ditemukan titer 1:40 sampai 1:2560 pada 7 kasus biakan
positif S. typhi sedangkan pada 37 kasus dengan kultur S. typhi negatis 36 kasus
tidak ditemukan antibodi Vi, 1 kasus dengan antibodi Vi positif 1:10 (Widodo,
2014).
empedu dan sikatrik kronik pada saluran empedu. Kasus karier ini juga meningkat
pada seseorang yang terkena infeksi salurang kencing secara kronis, batu, striktur,
itulah insiden tifoid karier meningkat pada wanita maupun pada usia lanjut karena
+ +
3.5 Resume
minggu lalu) diawali dengan demam sumer-sumer terutama saat sore hingga malam
hari 2 hari. Nyeri perut, mual, muntah kemarin 4x dan hari ini 2x berupa makanan
dan cairan, pusing, nyeri tenggorokan, batuk pilek, nafsu makan dan minum meurun
leher didapatkan typhoid tongue serta faring hiperemia. Pada pemeriksaan thorax
terdapat suara vesikuler dekstra dan sinistra. Pada abdomen didapatkan flat, bising
usus yang normal, perkusi timpani, turgor kembali cepat, serta nyeri tekan et regio
1/320.
- Febris
- Nyeri abdomen
- Konstipasi
- Typhoid tongue
- Faring hiperemia
1. Demam Tifoid
Diagnosis Banding :
TB
- Inf. D5 ¼ NS 10 tpm
3.9 Monitoring
3.10 Edukasi
dan untuk kembali ke dokter jika keluhan yang sama terjadi lagi, serta ikut
3.11 Prognosis
Dubia et Bonam
Lampiran Follow Up
S O A P
08/04/2 Perempu KU : Baik 1. Demam Planing tx:
019 an/9tahu Kesadaran: Compos tifoid D5 ¼ NS 10
n/21kg Mentis 2. Faringitis tpm
Demam Vital sign: akut Inj
mulai N:112x/mnt, RR: Metamizole
o
turun 22x/mnt, T:37,3 C Natrium
Mual (+) SPO2: 99% 3x200 mg
Muntah K/L: a/i/c/d:-/-/-/- Inj
(-) Mata cowong (-) Ondansentro
Nyeri Bibir kering (-) n HCl 3x2
perut (+) Typhoid tongue (+) mg
Nyeri Faring hiperemi Paracetamol
tenggoro menurun syr 3x 5 ml
kan Thorax: (120 mg)
sudah I : Normochest, ret IC Biothicol 3x
berkuran (-) 10 ml (250
g P: Nyeri tekan (-) mg)
P:Sonor +/+
Batuk
A: ves +/+, Rh -/-, wh
(+)
-/-, s1s2 tunggal, G (-
Belum
), M (-)
Bab
Abdomen: 1.
sejak
I : Flat
kamis
A : BU + N
P : soeple (+)
Nyeri tekan (+),
turgor kembali cepat
P : timpani
Ekstremitas: CRT
<2 detik, merah
hangat, edem (-)
Genitalia: dbn
PEMBAHASAN
panas sejak ± 8 hari dan sebelumnya diawali dengan sumer-sumer sekitar 2 hari
sebelum panas tinggi yang sering terjadi pada malam hari. Selama panas tinggi
perut pasien menjadi sering sakit dan tidak bisa BAB. Muntah sebanyak 4x mulai
hari jumat dan hari sabtu muntah 1x. Pasien juga mengalami penurunan nafsu
makan selama demam. Dilihat dari keluhan dan gejala yang ada pada pasien
mendekati dengan manifestasi klinis dari demam tifoid yaitu demam awalnya hanya
samar-samar saja, selanjutnya suhu tubuh turun naik yakni pada pagi hari lebih
rendah atau normal, sementara sore dan malam hari lebih tinggi. Demam dapat
mencapai 39-40 ºC. Intensitas demam akan makin tinggi disertai gejala lain seperti
sakit kepala, diare, nyeri otot, pegal, insomnia, anoreksia, mual, dan muntah (IDAI,
2008).
Pada pemeriksaan fisik pasien ini didapatkan typhoid tongue (+), Nyeri
epigastrium dan umbilical (+). Menurut teori pada demam tifoid terjadi: Gangguan
saluran pencernaan yaitu, Lidah terlihat kotor dengan ujung dan tepi lidah
kemerahan dan tremor, pada penderita anak jarang ditemukan. Umumnya penderita
sering mengeluh nyeri perut, terutama nyeri ulu hati, disertai mual dan muntah.
jika titer S. Typhi O≥1/200 atau kenaikan 4x titer fase akut (IDAI, 2008).
- Tirah baring
- Inf. D5 ¼ NS 10 tpm
dimana asupan oral tidak mencukupi atau tidak memungkinkan (MIMS, 2018).
Ondancetron dan inj. Santagesik untuk mengurangi gejala mual muntah pada
memblok reseptor serotonin 5HT-3 sentral dan perifer maupun pada zona pemicu
kemoreseptor (Katzung, 2012). Penelitian yang dilakukan oleh Simbolon dan teman
ondancetron pada pasien dengan mual muntah memiliki hasil terapi yang lebih
dosis selama 10-14 hari, tidak dianjurkan pada leukosit <2000/μl, dosis maksimal
spesies Salmonella, yang mempunyai beberapa kelebihan antara lain demam lebih
cepat turun, nafsu makan lebih cepat membaik serta sakit perut lebih cepat
Tatalaksana suportif merupakan hal yang sangat penting dalam menangani demam
tifoid selain tatalaksana utama berupa pemberian antibiotik. Pemberian rehidrasi oral
transfusi darah bila ada indikasi, merupakan tatalaksana yang ikut memperbaiki
kualitas hidup seorang anak penderita demam tifoid. Gejala demam tifoid pada anak
lebih ringan dibanding orang dewasa, karena itu 90 % pasien demam tifoid anak
tanpa komplikasi, tidak perlu dirawat di rumah sakit dan dengan pengobatan oral
serta istirahat baring di rumah sudah cukup untuk mengembalikan kondisi anak
Alan R. Tumbelaka. 2003. Bab Diagnosis dan Tatalaksana Demam Typoid dalam
Bajaj, Hambidge, Kerby dan Nyquist. 2011. Berman’s Pediatric Decision Making
Penyehatan Lingkungan.
Nelwan RHH. 2012. Tatalaksana Terkini Demam Tifoid. Divisi Penyakit Tropik dan
Prasetyo, Risky V. dan Ismoedijanto. 2010. Metode Diagnostik Demam Tifoid Pada
Simbolon, PDH., Nafianti, S., Sianturi, P., Lubis, B., Lelo, A., 2018. The addition
vomiting in pediatric cancer patients. Paediatr Indones, Vol. 58, No. 1, January
2018
Soedarmo, Sumarmo S., et al. 2012. Bab Demam Typoid dalam Buku Ajar Infeksi
Sri Rezeki H, Muzal Kadim, Yoga Devaera, Nikmah S, dan Cahyani Gita A. 2012.
WHO. 2009. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit. Jakarta: Tim
Adaptasi Indonesia.
Widodo D. 2014. Demam Tifoid, Dalam : Buku Ajar Ilmu Penyakit dalam Jilid III
Publishing.
Januari 2019).