You are on page 1of 48

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kemajuan teknologi yang sangat pesat, pada perusahaan manufaktur
mengakibatkan berkurangnya pemakaian tenaga kerja langsung disatu sisi,
namun disisi lain memerlukan pengeluaran investasi yang relative besar untuk
menggunakan peralatan modern. Karena keterbatasan dana masih banyak
perusahaan yang menggunakan prosedur yang tradisional untuk menghadapi
kemajuan teknologi itu sendiri. Namun masyarakat di Negara maju seperti
Jepang khususnya komunitas manufaktur mulai mengembangkan suatu system
yang disebut Just In Time, dimana sistem ini dilatar belakangi oleh pemborosan-
pemborosan tenaga kerja, ruangan dan waktu industri, yang terjadi dikarenakan
adanya persediaan (inventory) sehingga biaya produksi menjadi lebih tinggi.
Keunggulan suatu perusahaan terhadap para pesaingnya ditentukan oleh
faktor-faktor yaitu waktu, mutu, biaya dan sumber daya manusia. Waktu
merupakan salah satu faktor penentu unggulan daya saing. Jika suatu perusahaan
ingin unggul dari faktor waktu maka perusahaan harus dapat melayani
permintaan konsumen tepat waktu, mengeliminasi atau mengurangi waktu untuk
aktivitas yang tidak bernilai tambah, dan mengefisiensikan waktu untuk aktivitas
bernilai tambah. Salah satu alat agar perusahaan mempunyai keunggulan dari
segi faktor waktu adalah dengan mengembangkan dan menerapkan konsep-
konsep Just In Time.
Operasi JustIn Time merupakan suatu pendekatan untuk mengidentifikasi
dan mengeliminasi segala macam sumber pemborosan dalam aktivitas produksi,
dengan memberikan komponen produksi yang tepat serta pada waktu dan tempat
yang tepat. Operasi Just In Time memproduksi komponen produksi tepat pada
waktu memenuhi kebutuhan produksi, sedangkan Operasi Tradisional
memproduksi komponen produksi dalam jumlah besar dengan maksud untuk
mengantisipasi kalau- kalau terjadi sesuatu.
Para manajer harus mampu memantau kemajuan perusahaannya dalam mencapai
tujuan-tujuannya untuk meningkatkan mutu dan dalam mempertahankan tingkat
mutu. Pengukuran dan pelaporan kinerja mutu sangat penting dalam mencapai

1
keberhasilan dalam peningkatan mutu. Prasyarat dasar untuk pelaporan mutu
adalah pengukuran biaya-biaya mutu. Untuk mengukur biaya mutu digunakan
system penentuan biaya mutu. Sistem penentuan biata mutu ( quality-costing
system) adalah system untuk pemantau dan mengumpulkan data untuk
mempertahankan atau menyempurnakan mutu produk dalam suatu perusahaan.
Untuk pengukuran biaya tersebut diperlukan definisi operasional mengenai
mutu. Target costing merupakan sistem akuntansi biaya yang menyediakan
informasi bagi manajemen untuk memungkinkan manajemen memantau
kemajuan yang dicapai dalam pengurangan biaya produk menuju target cost
yang telah ditetapkan.
1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang sebelumnya, penulismengidentifikasi


masalah yang diangkat dalam penulisan makalah ini adalah :
1. Bagaimana penerapan Just in time.
2. Bagaimana penerapan Cost of Quality.
3. Bagaimana penerapan target costing
1.3. Tujuan Penulisan
Sesuai dengan rumusan masalah di atas, penulisan makalah ini
mempunyai tujuansebagai berikut :
1. Untuk mengetahui bagaimana penerapan just in time
2. Untuk mengatahui bagimana penerapan cost quality
3. Untuk mengetahui bagaiman penerapan target costing

2
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Just In Time
2.1.1Filosofi dan Defenisi Just In Time
Just In Time merupakan integrasi dari serangkaian aktivitas desain untuk
mencapai produksi volume tinggi dengan menggunakan minimum persediaan
untuk bahan baku, Work In Prosses, dan produk jadi. Konsep dasar dari sistem
produksi Just In Timeadalah memproduksi produk yang diperlukan, pada waktu
dibutuhkan oleh pelanggan, dalam jumlah sesuai kebutuhan pelanggan, pada
setiap tahap proses dalam sistem produksi dengan cara yang paling ekonomis
atau paling efisien melalui eliminasi pemborosan (waste elimination) dan
perbaikan terus – menerus (contionous process improvement).
Dalam system Just In Time, aliran kerja dikendalikan oleh operasi
berikut, dimana setiap stasiun kerja (work station) menarik output dari stasiun
kerja sebelumnya sesuai dengan kebutuhan. Berdasarkan kenyataan ini, sering
kali Just In Timedisebut sebagai Pull System (system tarik). Dalam system Just
In Time, hanya final assembly line yang menerima jadwalproduksi, sedangkan
semua stasiun kerja yang lain dan pemasok (supplier) menerima pesanan
produksi dari subkuens operasi berikutnya. Dengan kata lain, stasiun kerja
sebelumya (stasiun kerja 1 ) menerima pesananproduksi dari stasiun kerja
berikutnya (stasiun kerja 2 ), kemudian memasok produk itu sesuai kuantitas
kebutuhan pada waktu yang tepatdengan spesifiksai yang tepat pula. Dalam
kasus seperti ini, stasiun kerja 2sering disebut sebagai stasiun kerja pengguna
(using work station). Apabila stasiun kerja pengguna itu menghentikan produksi
untuk suatu waktu tertentu, secara otomatis satisun kerja pemasok (supplying
wotk station) akan berhenti memasok produk, karena tidak menerima pesanan
produksi.
Dalam pengertian luas, Just In Time adalah suatu filosofi tepat waktu
yang memusatkan pada aktivitas yang diperlukan oleh segmen-segmen internal
lainnya dalam suatu organisasi. Just In Timemempunyai empat aspek pokok
sebagai berikut:

3
1. Semua aktivitas yang tidak bernilai tambah terhadap produk atau jasa
harus di eliminasi.Aktivitas yang tidak bernilai tambah meningkatkan
biaya yang tidak perlu,misalnya persediaan sedapat mungkin nol.
2. Adanya komitmen untuk selalu meningkatkan mutu yang lebih tinggi.
Sehingga produk rusak dan cacat sedapat mungkin nol,tidak memerlukan
waktu dan biaya untuk pengerjaan kembali produk cacat, dan kepuasan
pembeli dapat meningkat.
3. Selalu diupayakan penyempurnaan yang berkesinambungan (Continuous
Improvement) dalam meningkatkan efisiensi kegiatan.
4. Menekankan pada penyederhanaan aktivitas dan meningkatkan
pemahaman terhadap aktivitas yang bernilai tambah.
Just In Time dapat diterapkan dalam berbagai bidang fungsional
perusahaan seperti misalnya pembelian, produksi, distribusi, administrasi dan
sebagainya.Konsep Just In Timeadalah sistem manajemen fabrikasi modern yang
dikembangkan oleh perusahaan-perusahaan terbaik yang ada di Jepang, sejak
awal tahun 1970an, Just In Timepertama kali dikembangkan dan disempurnakan
di pabrik Toyota Manufacturing oleh Taiichi Ohno, oleh karena itu Taiichi Ohno
sering disebut sebagai bapak Just In Time, Konsep Just In Timeberprinsip hanya
memproduksi jenis-jenis barang yang diminta (what) sejumlah yang diperlukan
(How much) dan pada saat dibutuhkan (When) oleh konsumen.
Just In Timemerupakan keseluruhan filosofi dalam operasi manajemen
dimana segenap sumber daya, termasuk bahan baku dan suku cadang,
personalia, dan fasilitas dipakai sebatas dibutuhkan. Tujuannya adalah untuk
mengangkat produktifitas dan mengurangi pemborosan.
Fujio Cho dari Toyota mendefinisikan pemborosan (waste) sebagai: Segala
sesuatu yang berlebih, di luar kebutuhan minimum atas peralatan, bahan,
komponen, tempat, dan waktu kerja yang mutlak diperlukan untuk proses nilai
tambah suatu produk. Dalam bahasa sederhanya pengertian pemborosan adalah
segala sesuatu tidak memberi nilai tambah itulah pemborosan.
Ada 7 (tujuh) jenis pemborosan disebabkan karena :
1. Over produksi ( OverProduction )
2. Waktu menunggu ( Waiting )

4
3. Transportasi ( Transportation )
4. Pemrosesan ( Process production )
5. Tingkat persediaan barang ( Unnecessary Inventory )
6. Gerak ( Unnecessary Motion )
7. Cacat produksi ( Defects )
Sasaran utama Just In Time adalah menngkatkan produktivitas system
produksi atau opersi dengan cara nenghilangkan semua macam kegiatan yang
tidak menembah nilai bagi suatu produk.Just In Timemendasarkan pada delapan
kunci utama, yaitu
:
1. Menghasilkan produk yang sesuai dengan jadwal yang didasarkan pada
permintaan.
2. Memproduksi dengan jumlah kecil.
3. Menghilangkan pemborodan
4. Memperbaiki aliran produksi
5. Menyempurnakan kualitas produk
6. Orang-orang yang tanggap
7. Menghilangkan ketidakpastian

Dalam pelaksanaan konsepJust In Timeterdapat empat hal pokok yang harus


dipenuhi :
1. Produksi Just In Time Just In Time, adalah memproduksi apa yang
dibutuhkan hanya pada saat dibutuhkan dan dalam jumlah yang
diperlukan.
2. Autonomasi merupakan suatu unit pengendalian cacat secara otomatis
yang tidak memungkinkan unit cacat mengalir ke proses berikutnya.
3. Tenaga kerja fleksibel, maksudnya adalah mengubah-ubah jumlah
pekerja sesuai dengan fluktuasi permintaan.
4. Berpikir kreatif, inovatif serta selalu menerima masukan atau saran dari
karyawan

5
Untuk mencapai empat konsep tersebut perlu diterapkan sistem dan metode
sebagai berikut :
1. Sistem kanban untuk mempertahankan produksi Just In Time Just In
Time.
2. Metode kelancaran dan kecepatan produksi untuk menyesuaikan diri
dengan perubahan permintaan.
3. Optimalisasi waktu penyiapan untuk mengurangi waktu pesanan
produksi.
4. Tata letak proses dan pekerja fungsi ganda untuk konsep tenaga kerja
yang fleksibel.
5. Aktifitas perbaikan lewat kelompok kecil (small group) dan sistem saran
untuk meningkatkan skills tenaga kerja.
6. Sistem manajemen fungsional untuk mempromosikan pengendalian mutu
ke seluruh bagian perusahaan

Sedangkan elemen-elemen Just In Time adalah :


a. Pengurangan waktu set up
b. Aliran produksi lancar (layout)
c. Produksi tanpa kerusakan mesin
d. Produksi tanpa cacat
e. Peranan dan support operator produksi
f. Hubungan yang harmonis dengan pemasok
g. Penjadwalan produksi yang stabil dan terkendali
h. Sistem Kanban

2.1.2 Pengertian Just in Time


Just In Time adalah suatu sistem produksi yang di rancang untuk
mendapatkan kualitas, menekan biaya, dan mencapai waktu penyerahan
seefisien mungkin dengan menghapus seluruh pemborosan yang terdapat dalam
proses produksi sehingga perusahaan mampu menyerahkan produknya sesuai
kehendak konsumen tepat waktu. Untuk mencapai sasaran sistem ini, perusahaan
memproduksi hanya sebanyak jumlah yang dibutuhkan/dimnta konsumen dan

6
pada saat dibutuhkan sehingga dapat mengurangi biaya pemeliharaan maupun
menekan kemungkinan kerusakan atau kerugian akibat menimbun barang.
Just In Time merupakan integrasi dari serangkaian aktivitas desain untuk
mencapai produksi volume tinggi dengan menggunakan minimum persediaan
untuk bahanbaku, barang dalam proses, dan produk jadi.Konsep dasar dari
sistem produksi Just In Time adalah memproduksi produk yang diperlukan,pada
waktu dibutuhkan oleh pelanggan, dalam jumlah sesuai kebutuhan pelanggan,
padasetiap tahap proses dalam sistem produksi dengan cara yang paling
ekonomis atau palingefisien melalui eliminasi pemborosan (waste elimination)
dan perbaikan terus–menerus(contionous process improvement).
Dalam pengertian luas, Just In Time adalah suatu filosofi tepat waktu yang
memusatkan padaaktivitas yang diperlukan oleh segmen-segmen internal lainnya
dalam suatu organisasi
Just In Time adalah suatu keseluruhan filosofi operasi manajemen
dimana segenap sumber daya, termasuk bahan baku dan suku cadang, personalia,
dan fasilitas dipakai sebatas dibutuhkan. Tujuannya adalah untuk mengangkat
produktifitas dan mengurangi pemborosan.
Just In Time didasarkan pada konsep arus produksi yang berkelanjutan
dan mensyaratkan setiap bagian proses produksi bekerja sama dengan
komponen-komponen lainnya. Tenaga kerja langsung dalam lingkungan Just In
Time dipertangguh dengan perluasan tanggung jawab yang berkontribusi pada
pemangkasan pemborosan biaya tenaga kerja, ruang dan waktu produksi.
Metode produksi Just In time mensyaratkan tidak adanya persediaan bahan baku
karena bahan baku dan suku cadang dijadwalkan untuk sampai ke pabrik dari
pemasok hanya pada saat dibutuhkan saja.

2.1.3Perbandingan Sistem Just In Time dengan Sistem Tradisional


Adapaun perbandingan Sistem Just In Time dengan Sistem Tradisional disajikan
pada tabel berikut ini :

Just In Time TRADISIONAL

1. Sistem tarikan 1. Sistem dorongan

7
2. Persediaan tidak signifikan 2. Persediaan signifikan
3. Basis pemasok sedikit 3. Basis pemasok banyak
4. Kontrak jangka panjang 4. Kontrak jangka pendek
dengan pemasok dengan pemasok
5. Pemanufakturan 5. Pemanufakturan
berstruktur seluler berstruktur departemen
6. Karyawan berkeahlian 6. Karyawan terspesialisasi
ganda 7. Jasa tersentralisasi
7. Jasa terdesentralisasi 8. Keterlibatan karyawan
8. Keterlibatan karyawan rendah
tinggi 9. Gaya manajemen
9. Gaya manajemen sebagai sebagai pemberi
penyedia fasilitas perintah
10. Total quality control 10. Acceptable quality level
(TQC) (AQL)

1. Sistem tarikan dibanding sistem dorongan


Sistem tarikan adalah system penentuan aktivitas-aktivitas
berdasar atas permintaan konsumen, baik konsumen internal maupun
konsumen eksternal. Sebagai contoh dalam perusahaan pemanufakturan
permintaan konsumen melalui aktivitas penjualan menentukan aktivitas
produksi, dan aktivitas produksi menentukan aktivitas pembelian.System
dorongan adalah system penentuan aktivitas-aktivitas berdasar dorongan
aktivitas-aktivitas sebelumnya. Pembelian bahan melalui aktivitas
pembelian mendorong aktivitas produksi, dan aktivitas produksi
mendorong aktivitas penjualan.
2. Persediaan tidak signifikan dibanding persediaan signifikan
Karena Just In Time menggunakan system tarikan maka dapat
mengurangi persediaan menjadi tidak signifikan atau sangat sedikit dan
bahkan mencita-citakan nol. Sebaliknya, dalam system tradisional,
karena menggunakan system dorongan maka persediaan jumlanya
signifikan sebagai akibat jumlah bahan yang dibeli melebihi kebutuhan

8
produksi, jumlah produk yang diproduksi melebihi permintaan konsumen
dan perlu adanya persediaan penyangga. Persediaan penyangga
diperlukan jika permintaan konsumen melebihi jumlah produksi dan
jumlah bahan yang digunakan untuk produksi melebihi jumlah bahan
yang dibeli.
3. Basis pemasok sedikit dibanding basis pemasok banyak
Just In Time hanya menggunakan pemasok dalam jumlah sedikit
untuk mengurangi atau mengeliminasi aktivitas-aktivitas tidak bernilai
tambah, memperoleh bahan yang bermutu tinggi dan berharga murah.
Sedangkan system tradisioanl menggunakan banyak pemasok untuk
memperoleh harga yang murah dan mutu yang baik, tapi akibatnya
banyak aktivitas-aktivitas tidak bernilai tambah dan untuk memperoleh
harga yang lebih murah harus dibeli bahan dalam jumlah yang banyak
atau mungkin dengan mutu yang rendah.
4. Kontrak jangka panjang dibanding kontrak jangka pendek
Just In Timemenerapkan kontrak jangka panjang dengan beberapa
pemasoknya guna membangun hubungan baik yang saling
menguntungkan sehingga dapat dipilih pemasok yang memasok bahan
berharga murah, bermutu tinggi, berkinerja pengiriman tepat waktu dan
tepat jumlah serta dapat mengurangi frekuensi pemesanan. Sedangkan
tradisional menerapkan kontrak-kontrak jangka pendek dengan banyak
pemasok sehingga untuk memperoleh harga murah harus dibeli dalam
jumlah yang banyak atau mungkin mutunya rendah.
5. Struktur seluler dibanding struktur departemen
Struktur seluler dalam Just In Timeadalah pengelompokan mesin-
mesin dalam satu keluarga, biasanya kedalam struktur semilingkaran atau
huruf “U” sehingga satu sel tertentu dapat digunakan untuk melakukan
pengolahan satu jenis atau satu keluarga produk tertentu secara
berurutan. Setiap sel pemanufakturan pada dasarnya merupakan pabrik
mini atau pabrik di dalam pabrik. Penggunaan struktur seluler ini dapat
mengeliminasi aktivitas, waktu, dan biaya yang tidak bernilai tambah.
Sedangkan struktur departemen dalam system departemen adalah struktur

9
pengolahan produk melalui beberapa departemen produksi sesuai dengan
tahapan-tahapannya dan memerlukan beberapa departemen jasa yang
memasok jasa bagi departemen produksi. Akibatnya struktur departemen
menimbulkan aktivitas-aktivitas serta waktu dan biaya-biaya tidak
bernilai tambah dalam jumlah besar.
6. Karyawan berkeahlian ganda dibanding karyawan terspesialisasi
System Just In Timeyang menggunakan system tarikan waktu
“bebas” harus digunakan oleh karyawan struktur seluler untuk berlatih
agar berkeahlian ganda sehingga ahli dalam berproduksi dan dalam
bidang-bidang jasa tertentu misalnya pemeliharaan pencegahan, reparasi,
setup, inspeksi mutu. Sedangkan pada system tradisional system
karyawan terspesialisasi berdasarkan departemen tempat kerjanya
misalnya departemen produksi atau departemen jasa. Karyawan pada
departemen jasa terspesialisasi pada aktivitas penangan bahan, listrik,
reparasi, dan pemeliharaan, karyawan pada departemen produksi
terspesialisasi pada aktivitas pencampuran, peleburan, pencetakan,
perakitan, dan penyempurnaan.
7. Jasa terdesentralisasi dibanding jasa tersentralisasi
System tradisional mendasarkan pada system spesialisasi
sehingga jasa tersentralisasi pada masing-masing departemen jasa.
Sedangkan pada system Just In Time jasa terdesentralisasi pada masing-
masing struktur seluler, para karyawan selain selain ditugaskan untuk
berproduksi tapi juga harus ditugaskan pada pekerjaan jasa yang secara
langsung mendukung produksi si struktur selulernya.
8. Keterlibatan tinggi dibanding keterlibatan rendah
Dalam system tradisional, keterlibatan dan pemberdayaan
karyawan relative rendah karena karyawan fungsinya melaksanakan
perintah atasan. Sedangkan dalam system Just In Time manajemen harus
dapat memberdayakan para karyawannya dengan cara melibatkan mereka
atau member peluang pada mereka untuk berpartisipasi dalam
manajemen organisasi. Menurut pandangan Just In Time, peningkatan
keberdayaan dan keterlibatan karyawan dapat meningkatkan

10
produktviitas dan efisiensi biaya secara menyeluruh. Para karyawan
dimungkinkan untuk membuat keputusan mengenai bagaimana pabrik
beroperasi.
9. Gaya pemberi fasilitas dibanding gaya pemberi perintah
System tradisional umumnya menggunakan gaya manajemen
sebagai atasan karena fungsi utamanya adalah memerintah para
karyawannya untuk melaksanakan kegiatan. Sedangkan pada system Just
In Time memerlukan keterlibatan karyawan sehingga mereka dapt
diberdayakan, maka gaya maanjemen yang cocok adalah sebagai
fasilitator dan bukanlah sebagai pemberi perintah.

10. TQC dibanding AQL


TQC (Total Quality Control) dalam Just In Time adalah
pendekatan pengendalian mutu yang mencakup seluruh usaha secara
berkesinambungan dan tiada akhir untuk menyempurnakan mutu agar
tercapai kerusakan nol atau bebas dari kerusakan. Produk rusak haruslah
dihindari karena dapat mengakibatkan penghentian produksi dan
ketidakpuasan konsumen.AQL (Accepted Quality Level) dalam system
tradisional adalah pendekatan pengendalian mutu yang memungkinkan
atau mencadangkan terjadinya kerusakan namun tidak boleh melebihi
tingkat kerusakan yang telah ditentukan sebelumnya.

2.1.4 Prinsip Dasar Just In Time


Untuk mengaplikasikan metode Just In Timemaka ada delapan prinsip
yang harus dijadikan dasar pertimbangan di dalam menentukan strategi sistem
produksi, yaitu:
1. Berproduksi sesuai dengan pesanan Jadual Produksi Induk
Sistem manufaktur baru akan dioperasikan untuk menghasilkan produk
menunggu setelah diperoleh kepastian adanya order dalam jumlah
tertentu masuk. Tujuan utamanya untuk memproduksi finished goods
tepat waktu dan sebatas pada jumlah yang ingin dikonsumsikan saja (Just
in Time), untuk itu proses produksi akan menghasilkan sebanyak yang

11
diperlukan dan secepatnya dikirim ke pelanggan yang memerlukan untuk
menghindari terjadinya stock serta untuk menekan biaya penyimpanan
(holding cost).
2. Produksi dilakukan dalam jumlah lot (Lot Size)Yang kecil untuk
menghindari perencanaan dan lead time yang kompleks seperti halnya
dalam produksi jumlah besar.
Fleksibilitas aktivitas produksi akan bisa dilakukan, karena hal tersebut
memudahkan untuk melakukan penyesuaian-penyesuaian dalam rencana
produksi terutama menghadapi perubahan permintaan pasar.
3. Mengurangi pemborosan (Eliminate Waste)
Pemborosan (waste) harus dieliminasi dalam setiap area operasi yang
ada. Semua pemakaian sumber-sumber input (material, energi, jam kerja
mesin atau orang, dan lain-lain) tidak boleh melebihi batas minimal yang
diperlukan untuk mencapai target produksi.
4. Perbaikan aliran produk secara terus menerus(Continous Product Flow
Improvement)
Tujuan pokoknya adalah menghilangkan proses-proses yang
menimbulkan bottleneck dan semua kondisi yang tidak produktif (idle,
delay, material handling, dan lain-lain) yang bisa menghambat
kelancaran aliran produksi.
5. Penyempurnaan kualitas produk (Product Quality Perfection)Kualitas
produk merupakan tujuan dari aplikasi Just in Time dalam sistem
produksi.
Disini selalu diupayakan untuk mencapai kondisi “Zero Defect” dengan
cara melakukan pengendalian secara total dalam setiap langkah proses
yang ada. Segala bentuk penyimpangan haruslah bisa diidentifikasikan
dan dikoreksi sedini mungkin.
6. Respek terhadap semua orang/karyawan (Respect to People)
Dengan metode Just in Time dalam sistem produksi setiap pekerja akan
diberi kesempatan dan otoritas penuh untuk mengatur dan mengambil
keputusan apakah suatu aliran operasi bisa diteruskan atau harus

12
dihentikan karena dijumpai adanya masalah serius dalam satu stasiun
kerja tertentu.
7. Mengurangi segala bentuk ketidak pastian (Seek to Eliminate
Contigencies)
Inventori yang ide dasarnya diharapkan bisa mengantisipasi demand
yang berfluktuasi dan segala kondisi yang tidak terduga, justru akan
berubah menjadi waste bilamana tidak segera digunakan. Begitu pula
rekruitmen tenaga kerja dalam jumlah besar secara tidak terkendali
seperti halnya yang umum dijumpai dalam aktivitas proyek akan
menyebabkan terjadinya pemborosan bilamana tidak dimanfaatkan pada
waktunya. Oleh karena itu dalam perencanaan dan penjadualan produksi
harus bisa dibuat dan dikendalikan secara teliti. Segala bentuk yang
memberi kesan ketidakpastian harus bisa dieliminir dan harus sudah
dimasukkan dalam pertimbangan dan formulasi model peramalannya.
Ketujuh prinsip pelaksanaan Just in Time dalam sistem produksi di atas
bukanlah suatu komitmen perusahaan yang diaplikasikan dalam jangka waktu
pendek, melainkan harus dibangun secara berkelanjutan dan merupakan
komitmen semua pihak dalam jangka panjang. Dalam jangka pendek, ada
kemungkinan aplikasi Just in Time dalam sistem produksi justru akan
menambah biaya produksi mengikuti konsekuensi proses terbentuknya kurva
belajar.
Selain prinsip dasar Just In Time, berikut adalah urutan penerapan teknik just in
time:

1. Menerapkan 5S – dasar untuk perbaikan: Dasar perbaikan ditempat kerja


adalah konsep 5S yang terdiri dari Seiri (Pemilihan), Seiton (Penataan),
Seiso (Pembersihan), Seiketsu (Pemantapan), dan Shitsuke (Kebiasaan).
2. Penerapan produksi satu potong untuk mencapai pengimbangan lini.
3. Pelaksanaan produksi ukuran lot kecil dan perbaikan metode penyiapan.
4. Penerapan operasi baku.
5. Produksi lancer dengan merakit produk sesuai dengan kecepatan
penjualan
6. Autonomasi (“jidoka”)

13
7. Penggunaan kartu kanban.

2.1.5 Karakteristik Just In Time


Ada beberapa karakteristik utama pada perusahaan-perusahaan yang
telah menerapkan sistem Just In Time. Adapun karakteristik-karakteristik
perusahaan dalam menerapkan sistem Just In Time menurut Sulastiningsih
(1999), dapat dijabarkan sebagai berikut:
1. Kuantitas
a. Tingkat kuantitas stabil sesuai yang diinginkan penyerahan dengan
ukuran lot kecil dengan frekuensi lebih sering.
b. Kontrak jangka panjang.
c. Lebih sedikit menggunakan kertas
d. Kuantitas penyerahan bervariasi, tetapi masih bentuk kontrak
keseluruhan
e. Pemasok didorong untuk melakukan pengepakan kuantitas yang tepat.
f. Pemasok didorong untuk mengurangi ukuran lot produksi mereka.

2. Kualitas
a. Spesifikasi minimum.
b. Pemasok membantu untuk memenuhi kebutuhan kualitas.
c. Membina hubungan yang erat antara pembeli dan pemasok melalui tim
kerja sama pengendalian kualitas.
d. Pemasok didorong untuk menggunakan pengendalian proses daripada
mengandalkan inspeksi.
3. Pemasok
a. Membina hubungan dengan lebih sedikit pemasok (pemasok tunggal)
dalam lokasi geografis yang dekat.
b. Aktif menggunakan analisis nilai untuk memperoleh pemasok yang
diinginkan serta bertahan pada harga yang kompetitif
c. Melakukan pengelompokkan pemasok
d. Menjalin hubungan bisnis berulang dengan pemasok yang sama pemasok
didorong untuk mengembangkan Just In Time dalam aktivitas
pembelian.

14
4. Pengiriman
Pengiriman terjadwal dengan menggunakan metode atau transportasi yang
telah dikontrak dalam jangka panjang.

2.1.6 Tujuan Just In Time


Tujuan dari Just In Time (JIT) adalah menghilangkan pemborosan
melalui perbaikan terus-menerus. Melalui Just In Time, segala sesuatu material,
mesin dan peralatan, sumber daya manusia, modal, informasi, manajerial, proses
dan lainnya yang tidak memberikan nilai tambah pada produk disebut sebagai
pemborosan. Nilai tambah produk, merupakan kunci dalam Just In Time. Nilai
tambah produk diperoleh dari aktivitas aktual yang dilakukan pada produk, tidak
melalui pemindahan, penyimpanan, penghitungan dan penyortiran (Ristono,
2010).
Menurut Indrajid dan Pranoto (2003), tujuan dari adanya manajemen
menggunakan dan mengembangkan konsep manajemen Just In Time dalam
perusahaan dapat dirangkum atas beberapa aspek. Adapun tujuan tersebut antara
lain adalah sebagai berikut:
1. Menciptakan fleksibilitas produk yang tinggi produksi, bersifat “sistem tarik”
(pull system) memerlukan fleksibilitas tinggi untuk menanggapi tuntutan
konsumen yang terus berkembang. Produksi dengan cara “sistem tarik”
(pendekatan baru) merupakan produksi yang dilakukan untuk menganggapi
permintaan, sedangkan produksi dengan “sistem dorong” (pendekatan lama)
merupakan produksi yang ditetapkan produsen kepada konsumen.
2. Meningkatkan efisiensi proses produksi
Peningkatan efisiensi dapat dilakukan terutama melalui pengurangan
persediaan barang sehingga mengakibatkan pengurangan biaya persediaan,
atau dengan kata lain meningkatkan perputaran modal. Biaya persediaan ini
sangat tinggi, berkisar antara 20 persen–40 persen dari harga barang
pertahun. Efisiensi didapat juga dengan cara mendesain pabrik sedemikian
rupa sehingga proses produksi dapat dilakukan dengan lebih cepat dan aman.
3. Meningkatkan daya kompetisi.

15
Meningkatnya efisiensi dalam proses produksi dengan sendirinya akan
meningkatkan daya saing perusahaan. Hal ini dianggap salah satu tujuan
yang paling penting, yaitu suatu tujuan strategis, karena peningkatan efisiensi
berarti penurunan biaya dan ini memungkinkan perusahaan untuk tetap
bertahan dalam persaingan pasar.
4. Meningkatkan mutu barang
Kemitraan pembeli-penjual yang dibina dan berlangsung dalam jangka
panjang selalu berusaha untuk melakukan perbaikan secara terus menerus
dalam hal mutu dan biaya barang. Mutu tinggi dari suku cadang atau
komponen yang dipasok oleh pemasok pada gilirannya akan meningkatkan
mutu barang yang diproduksi oleh perusahaan. Kemitraan penjual pembeli
memungkinkan melakukan pengendalian mutu suku cadang atau komponen
dengan lebih murah dan lebih handal.
5. Mengurangi pemborosan
Pengurangan pemborosan terutama dalam bentuk barang yang terbuang,
karena pada hakekatnya pemborosan adalah biaya. Menurut jenisnya,
pemborosan dapat dibedakan dari cara pemborosan itu terjadi, yaitu:
a. Karena produksi berlebih (memproduksi barang dengan jumlah yang
terlalu banyak).
b. Karena waktu tunggu (waktu tunggu yang tidak produktif dalam proses
produksi perusahaan).
c. Karena transport (gerakan yang tidak perlu dalam proses produksi).
d. Karena proses (operasi atau proses yang tidak perlu).
e. Karena persediaan (penimbunan bahan baku, bahan setengah jadi, bahan
jadi, atau bahan lain yang berlebih).
f. Karena gerakan (pengerjaan kembali atau hasil dari kegiatan-kegiatan
yang tidak perlu).

2.1.7 Manfaat Just In Time


Manfaat yang didapatkan dari penerapan konsep Just In Time
memberikan keuntungan-keuntungan yang baik bagi perusahaan. Adapun

16
manfaat-manfaat yang diperoleh dengan adanya penerapan Just In Time adalah
sebagai berikut

a. Waktu set-up gudang dapat dikurangi. Mengatur waktu secara signifikan


berkurang dalam gudang yang akan memungkinkan perusahaan untuk
meningkatkan bottom line mereka untuk melihat lebih banyak waktu
efisien dan fokus menghabiskan di daerah lain.
b. Aliran barang dari gudang ke produksi akan meningkat. Beberapa
pekerja akan fokus pada daerah pekerjaannya untuk bekerja secara
cepat. Arus barang dari gudang ke rak ditingkatkan. Memiliki karyawan
difokuskan pada area-area tertentu dari sistem akan memungkinkan
mereka untuk proses barang lebih cepat dari pada harus mereka rentan
terhadap kelelahan dari melakukan terlalu banyak pekerjaan sekaligus
dan menyederhanakan tugas-tugas di tangan.
c. Pekerja yang menguasai berbagai keahlian digunakan secara lebih
efisien. Karyawan yang memiliki multi-keterampilan yang digunakan
lebih efisien. Hal ini akan memungkinkan perusahaan untuk
menggunakan pekerja dalam situasi di mana mereka dibutuhkan bila ada
kekurangan pekerja dan permintaan yang tinggi untuk produk tertentu.
d. Penjadwalan produk dan jam kerja karyawan akan lebih konsisten.
Konsistensi yang lebih baik dari penjadwalan dan konsistensi dari jam
kerja karyawan yang mungkin. Hal ini dapat menghemat uang
perusahaan dengan tidak harus membayar pekerja untuk pekerjaan tidak
selesai atau bisa minta mereka fokus pada pekerjaan lain di sekitar
gudang yang belum tentu dilakukan pada hari normal.
e. Adanya peningkatan hubungan dengan suplyer. Peningkatan penekanan
pada hubungan pemasok / suplyer dicapai. Tidak ada perusahaan yang
ingin istirahat dalam sistem persediaan mereka yang akan menciptakan
kekurangan pasokan sementara tidak memiliki persediaan duduk di rak-
rak. Persediaan terus sekitar jam menjaga pekerja produktif dan bisnis
terfokus pada omset. Memiliki manajemen berfokus pada pertemuan
tenggat waktu akan membuat karyawan bekerja keras untuk memenuhi

17
tujuan perusahaan untuk melihat manfaat dalam hal kepuasan kerja,
promosi atau lebih tinggi bahkan membayar.

Kecerdasan, lebih relevan berguna bahwa manajer keuangan di ujung jari


mereka tentang bisnis mereka, pelanggan, pemasok atau mitra dan operasi
mereka akan memotivasi organisasi mereka untuk membuat keputusan yang
lebih baik dan meningkatkan keunggulan kompetitif mereka dengan menerapkan
konsep Just In Time ke persediaan atau manufaktur . Just In Time merupakan
suatu konsep yang dapat diterapkan pada banyak aspek dari bisnis selain
persediaan atau manufaktur.
Sebagai alat inventaris, dapat diawasi oleh manajer keuangan untuk
memonitor biaya dalam rantai nilai. Just In Time merupakan paradigma baru dari
strategi bisnis bergeser dari manajemen persediaan tradisional ke manajemen
rantai pasokan berbasis web yang meningkatkan perputaran persediaan dan
mengurangi memegang persediaan.

2.1.8 Faktor Pendukung Just In Time


Sistem produksi Just In Time memiliki beberapa faktor pendukung yang
berperan penting dalam usaha untuk mencapai keberhasilan penerapan sistem
tersebut. Menurut Heizer dan Render (2004), terdapat beberapa faktor penting
dalam Just In Time, yaitu:
1. Faktor Supplier (Pemasok)
Just In Time sangat memerlukan hubungan khusus antara pemasok dengan
perusahaan pembeli seperti konsep kemitraan (partnership). Sistem Just In
Time memerlukan jumlah pemasok yang sedikit, pemasok dekat dengan
pabrik, peningkatan frekuensi pengiriman dalam jumlah kecil, dilakukannya
kontrak jangka panjang, pemasok dibantu dalam peningkatan kualitas serta
penerapan Just In Time yang dibangun secara bersama-sama.
2. Faktor Inventory (Persediaan)
Perusahaan pabrikasi biasanya menyimpan tiga jenis persediaan yaitu bahan
baku, barang dalam proses, dan barang jadi. Just In Time memerlukan
teknik dalam mengelola inventory antara lain penggunaan pull system untuk

18
pergerakan inventory, pengurangan persediaan, ukuran lot yang kecil dan
pengurangan waktu set up.
3. Faktor Layout (Tata Letak)
Tata letak (layout) merupakan susunan dari mesin-mesin dan peralatan serta
semua komponen yang menunjang produksi dalam suatu pabrik. Tata letak
yang baik memungkinkan pengurangan pemborosan yaitu pergerakan,
misalnya pergerakan bahan baku maupun manusia.
4. Faktor Quality Management (Manajemen Kualitas)
Just In Time memiliki prinsip utama dalam pengendalian kualitas,
yaituoutput yang bebas cacat adalah lebih penting dari output itu sendiri,
segala kesalahan dan kerusakan dapat dicegah, dan tindakan pencegahan
adalah lebih murah dari pada pekerjaan mengulang. Dengan demikian Just
In Time lebih dapat menghemat biaya karena tidak ada pemborosan.
5. Faktor Preventive Maintenance (Pemeliharaan Pencegahan)
Pemeliharaan dilakukan agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan
melalui tindakan pencegahan. Preventive maintenancemerupakan semua
aktifitas yang dilakukan untuk menjaga peralatan dan mesin tetap bekerja
dengan baik dan untuk mencegah kerusakan.Just In
Time membutuhkan preventive maintenance yang terjadwal dan adanya
pemeliharaan rutin harian.
6. Faktor Employee Empowerment (Pemberdayaan Pekerja)
Pemberdayaan pekerja berarti melibatkan pekerja dalam setiap langkah
proses produksi. Pemberdayaan pekerja dengan meluaskan pekerjaan
pekerja sehingga bertanggung jawab dan memiliki kewenangan tambahan
yang dipindahkan sedapat mungkin pada tingkat terendah dalam organisasi.

2.1.9 Strategi Implementasi Just In Time

Ada beberapa strategi dalam mengimplementasikan JIT dalam perusahaan,


antara lain:

1. Startegi Penerapan pembelian Just in Time. Dukungan, yaitu dari semua


pihak terutama yang berkaitan dengan kegiatan pembelian, dan

19
khususnya dukungan dari pimpinan. Tanpa ada komitmen dari pinpinan
tersebut JIt tidak dapat terlaksana. Mengubah sistem, yaitu mengubah
cara mengadakan pembelian, yaitu dengan membuat kontrak jangka
panjang dengan pemasok sehingga perusahaan cukup hanya memesan
sekali untuk jangka panjang, selanjutnya barang akan dating sesuai
kebutuhan atau proses produksi perubahan kita.
2. Startegi penerapan Just in Time dalam sistem produksi. Penemuan sistem
produksi yang tepat, yaitu dengan sistem tarik yang bertujuan memenuhi
kebutuhan dan harapan pelanggan dengan menghilangkan sebanyak
mungkin pemborosan. Penemuan lini produksi yaitu dalam satu lini
produksi harus dibuat bermacam-macam barang, sehingga semua
kebutuhanpelanggan yang berbeda-beda itu dapat terpenuhi. Selain itu
lini produksi tersebut dapat menghemat biaya, biaya bahan, persediaan,
dan sebagainya. JIT bukan hanya sekedar metode pengedalian
persediaan, tetapi juga merupakan sistem produksi system produksi yang
saling berkaitan dengan semua fungsi dan aktivitas.

2.1.10 Pembelian dengan Konsep Just In Time


Pembelian dengan Konsep JIT adalah sistem penjadwalan pengadaan
barang dengan cara sedemikian rupa sehingga dapat dilakukan penyerahan
segera untuk memenuhi permintaan atau penggunaan. Pembelian JIT dapat
mengurangi waktu dan biaya yang berhubungan dengan aktivitas pembelian
dengan cara:

a. Mengurangi jumlah pemasok sehingga perusahaan dapat mengurangi


sumber-sumber yang dicurahkan dalam negosiasi dengan pamasoknya.
b. Mengurangi atau mengeliminasi waktu dan biaya negosiasi dengan
pemasok.
c. Memiliki pembeli atau pelanggan dengan program pembelian yang
mapan.
d. Mengeliminasi atau mengurangi kegiatan dan biaya yang tidak bernilai
tambah.
e. Mengurangi waktu dan biaya untuk program-program pemeriksaan mutu.

20
Penerapan pembelian JIT dapat mempunyai pengaruh pada sistem akuntansi
biaya dan manajemen dalam beberapa cara sebagai berikut:

a. Ketertelusuran langsung sejumlah biaya dapat ditingkatkan.


b. Perubahan “cost pools” yang digunakan untuk mengumpulkan biaya.
c. Mengubah dasar yang digunakan untuk mengalokasikan biaya sehingga
banyak biaya tidak langsung dapat diubah menjadi biaya langsung.
d. Mengurangi perhitungan dan penyajian informasi mengenai selisih harga
beli secara individual
e. Mengurangi biaya administrasi penyelenggaraan sistem akuntansi.

2.1.11 Produksi dengan Konsep Just In time

Produksi Just In Time adalah sistem penjadwalan produksi komponen


atau produk yang tepat waktu, mutu, dan jumlahnya sesuai dengan yang
diperlukan oleh tahap produksi berikutnya atau sesuai dengan memenuhi
permintaan pelanggan.
Produksi Just In Time dapat mengurangi waktu dan biaya produksi dengan cara:

a. Mengurangi atau meniadakan barang dalam proses dalam setiap


workstation (stasiun kerja) atau tahapan pengolahan produk (konsep
persediaan nol).
b. Mengurangi atau meniadakan “Lead Time” (waktu tunggu) produksi
(konsep waktu tunggu nol).
c. Secara berkesinambungan berusaha sekeras-kerasnya untuk mengurangi
biaya setup mesin-mesin pada setiap tahapan pengolahan produk
(workstation).
d. Menekankan pada penyederhanaan pengolahan produk sehingga aktivitas
produksi yang tidak bernilai tambah dapat dieliminasi.

21
Perusahaan yang menggunakan produksi Just In Time dapat meningkatkan
efisiensi dalam bidang:

a. Lead time (waktu tunggu) pemanufakturan


b. Persediaan bahan, barang dalam proses, dan produk selesai
c. Waktu perpindahan
d. Tenaga kerja langsung dan tidak langsung
e. Ruangan pabrik
f. Biaya mutu
g. Pembelian bahan
Penerapan produksi Just In Time dapat mempunyai pengaruh pada sistem
akuntansi biaya dan manajemen dalam beberapa cara sebagai berikut:

a. Ketertelusuran langsung sejumlah biaya dapat ditingkatkan.


b. Mengeliminasi atau mengurangi kelompok biaya (cost pools) untuk
aktivitas tidak langsung.
c. Mengurangi frekuensi perhitungan dan pelaporan informasi selisih biaya
tenaga kerja dan overhead pabrik secara individual.
d. Mengurangi keterincian informasi yang dicatat dalam “work tickets”.
e.

2.1.12 Persediaan Just In Time


Just In Timedidasarkan pada konsep arus produksi yang berkelanjutan
dan mensyaratkan setiap bagian proses produksi bekerja sama dengan
komponen-komponen lainnya. Tenaga kerja langsung dalam lingkungan Just In
Time dipertangguh dengan perluasan tanggung jawab yang berkontribusi pada
pemangkasan pemborosan biaya tenaga kerja, ruang dan waktu produksi.
Perusahaan-perusahaan pabrikasi menyimpan tiga jenis persediaan:
bahan baku, barang dalam proses, dan barang jadi. Persediaan-persediaan ini
dirancang untuk bertindak sebagai penyangga sehingga kegiatan-kegiatan
perusahaan tetap dapat berjalan mulus kendatipun para pemasok terlambat
melakukan pengiriman atau ketika sebuah departemen tidak mampu beroperasi
selama beberapa waktu karena sesuatu atau hal lainnya. Namun penyimpanan

22
persediaan-persediaan itu sudah barang tentu memakan biaya besar. Sistem Just
In Timemerupakan upaya untuk mengurangi atau menghilangkan persedian.
Perusahaan yang mengadopsi system Just In Timeke proses produksinya
mestilah merancang kembali fasilitas - fasilitas pabrikasinya dan kejadian -
kejadian yang memicu proses Produksi berdasarkan prediksi terhadap masa yang
akan datang dalam sistem tradisonal memiliki resiko kerugian yang lebih besar
karena over produksi daripada produksi berdasarkan permintaan yang
sesungguhnya. Oleh karena itu munculah ide Just In Time yang memproduksi
apabila ada permintaan. Suatu proses produksi hanya akan memproduksi apabila
diisyaratkan oleh proses berikutnya. Sebagai akibatnya pemborosoan dapat
dihilangkan dalam skala besar, yaitu berupa perbaikan kualitas dan biaya
produksi yang lebih rendah. Kedua hal tersebut menjadikan perusahaan lebih
kooperatif. Tujuan utama Just In Timeadalah untuk meningkatkan laba dan
posisi persaingan perusahaan yang dicapai melalui usaha pengendalian biaya,
peningkatan kualitas, serta perbaikan kinerja pengiriman.

2.1.13 Keuntungan dan Kelemahan Just In Time


Keuntungan dari Just In Time
1. karena produksi berjalan sangat singkat, jadi lebih mudah untuk
menghentikan produksi satu jenis produk tertentu dan beralih ke produk lain
yang berbeda untuk memenuhi perubahan permintaan pelanggan.
2. Tingkat persediaan sangat rendah, hal ini berarti bahwa biaya persediaan
seperti biaya ruang gudang dapat diminimalkan.
3. Perusahaan menginvestasikan uang yang jauh lebih sedikit karena
persediaan kurang diperlukan
4. Kesalahan produksi dapat lebih cepat dilihat dan diperbaiki, sehingga akan
menghasilkan produk cacat yang jauh lebih sedikit dan memicu kepuasaan
pelanggan yang lebih besar.

23
Kelemahan Just In Time
1. Perusahaan mungkin tidak bisa segera memenuhi kebutuhan pesanan yang
besar yang tak terduga, karena memliki sedikit atau bahkan tidak ada stok
barang jadi.
2. Investasi harus dilakukan dibidang teknologi informasi untuk
menghubungkan sistem komputer perusahaan dan supplier agar dapat
mengkoordinasikan pengiriman suku cadang dan bahan baku lainnya.
3. Supplier yang tidak mengirimkan barang kepada perusahaan secara tepat
waktu dalam jumlah yang benar dapat mempengaruhi proses produksi
secara krusial.
4. Ada ketergantungan yang tinggi pada pemasok/ suplier yang pada umumnya
kinerjanya diluar lingkup produsen
5. Biaya transaksi akan relatif tinggi dikarenakan transaksi seringkli dibuat.
6. Bencana alam dapat menganggu aliran barang dari supplier ke perusahaan
yang bisa menghetikan produksi secara seketika .

2.2 BIAYA KUALITAS


2.2.1 Pengertian Biaya Kualitas
Biaya kualitas adalah biaya yang muncul karena produk yang dihasilkan
tidak memenuhi standar yang diinginkan oleh konsumen atau dengan lain
produk tersebut memiliki kualitas yang jelek, baik yang akan terjadi ataupun
yang terjadi didalam suatu perusahaan.
Aktivitas kualitas yang dilakukan perusahaan diklasifikasikan menjadi 2 jenis
yaitu:
1. Aktivitas pengendalian yang merupakan aktivitas untuk mencegah atau
mendeteksi terjadinya produk yang kurang baik.
2. Aktivitas karena kegagalan yang merupakan aktivitas yang dilakukan
perusahaan untuk merespon adanya produk yang kualitasnya rendah.
Biaya kualitas terdiri dari 4 jenis biaya yaitu:
1. Prevention cost adalah biaya yang dikeluarkan agar barang yang akan
dihasilkan tidak berkualitas rendah.
a. Perencanaan Kualitas

24
Biaya-biaya yang berkaitan dengan aktivitas perencanaan kualitas
secara keseluruhan, termasuk penyiapan prosedur-prosedur yang
diperlukan untuk mengkomunikasikan rencana kualitas ke seluruh pihak
yang berkepentingan.
b. Tinjauan-Ulang Produk Baru (New-Product Review)
Biaya-biaya yang berkaitan dengan rekayasa keandalan (reliability
engineering) dan aktivitas-aktivitas lain yang bekaitan dengan kualitas
yang berhubungan dengan pemberitahuan desain baru.
c. Pengendalian Proses Biaya-biaya inspeksi dan pengujian dalam proses
untuk menentukan status dari proses (kapabilitas proses), bukan status
dari produk.
d. Audit Kualitas Biaya-biaya yang berkaitan dengan evaluasi atas
pelaksanaan aktivitas dalam rencana kualitas secara keseluruhan.
e. Evaluasi Kualitas Pemasok
Biaya-biaya yang berkaitan dengan evaluasi terhadap pemasokan
sebelum pemilihan pemasok, audit terhadap aktivitas-aktivitas selama
kontrak, dan usaha-usaha lain yang berkaitan dengan pemasok.
f. Pelatihan
Biaya-biaya yang berkaitan dengan penyiapan dan pelaksanaan
program-program pelatihan yang berkaitan dengan kualitas.

2. Apprisial cost adalah Biaya yang dikeluarkan untuk memastikan bahwa


produk yang dihasilkan sesuai dengan konsumen, sehingga jangan sampai
terjadi barang rusak yang dikirim ke konsumen.
Contoh dari biaya penilaian adalah:
a. Inspeksi dan Pengujian Kedatangan Material Biaya-biaya yang
berkaitan dengan penentuan kualitas dari material yang dibeli, melalui
inspeksi pada saat penerimaan, melalui inspeksi yang dilakukan pada
pemasok, atau raelalui inspeksi yang dilakukan oleh pihak ketiga.
b. Inspeksi dan Pengujian Produk dalam Proses Biaya-biaya yang
berkaitan dengan evaluasi tentang konformansi produk dalam proses
terhadap persyaratan kualitas (spesifikasi) yang ditetapkan.

25
c. Inspeksi dan Pengujian Produk Akhir
Biaya-biaya yang berkaitan dengan evaluasi tentang konformansi
produk akhir terhadap persyaratan kualitas (spesifikasi) yang
ditetapkan.
d. Audit Kualitas Produk Biaya-biaya untuk raelakukan audit kualitas
pada produk dalam proses atau produk akhir.
e. Pemeliharaan Akurasi Peralatan Pengujian
Biaya-biaya dalam melakukan kalibrasi (penyesuian) untuk
mempertahankan akurasi instrument pengukuran dan peralatan.
f.Evaluasi Stok

3. Internal failure cost adalah biaya yang dikeluarkan karena produk yang
dihasilkan tidak sesuai dengan keinginan konsumen.
Contoh dari biaya kegagalan internal adalah:
a. Scrap
Biaya yang dikeluarkan untuk tenaga kerja, material, dan biasanya
overhead pada produk cacat yang secara ekonomis tidak dapat
diperbaiki kerabali. Terdapat banyak ragam nama dari jenis ini, yaitu:
scrap, cacat, pemborosan, usang, dll.
b. Pekerjaan ulang (Rework), Biaya yang dikeluarkan untuk
memperbaiki kesalahan (mengerjakan ulang) produk agar meinenuhi
spesiflkasi yang ditentukan.
c. Analisis Kegagalan (Failure Analysis). Biaya yang dikeluarkan untuk
menganalisis kegagalan produk guna menentukan penyebab-
penyebab kegagalan itu.
d. Inspeksi Ulang dan Pengujian Ulang (Reinspection and Retesting)
Biaya-biaya yang dikeluarkan untuk inspeksi ulang dan pengujian
ulang produk yang telah mengalami pengerjaan ulang atau perbaikan
kembali.
e. Downgrading, Selisih antara harga jual normal dan harga yang
dikurangi karena alasan kualitas.

26
f. Avoidable Process Losses, Biaya-biaya kehilangan yang terjadi,
meskipun produk itu tidak cacat (konformans), sebagai contoh:
kelebihan bobot produk yang diserahkan ke pelanggan karena
variabilitas dalam peralatan pengukuran, dll.

4. External failure cost adalah Biaya yang dikeluarkan karena produk yang
dihasilkan tidak sesuai dengan keinginan konsumen setelah produk
tersebut dikirim ke konsumen
Contoh dari biaya kegagalan eksternal adalah:
a. Jaminan (Warranty). Biaya yang dikeluatrkan untuk penggantian
atau perbaikan kembali produk yang masih berada dalam masa
jaminan.
b. Penyelesaian Keluhan (Complaint Adjustment) Biaya-biaya yang
dikeluarkan untuk penyelidikan dan penyelesaian keluhan yang
berkaitan dengan produk cacat.
c. Produk Dikembalikan (Returned Product). Biaya-biaya yang
berkaitan dengan penerimaan dan penempatan produk cacat yang
dikembalikan oleh pelanggan.
d. Allowances. Biaya-biaya yang berkaitan dengan konsesi pada
pelanggan karena produk yang berada dibawah standar kualitas yang
sedang diterima oleh pelanggan atau yang tidak memenuhi
spesifikasi dalam penggunaan.

2.2.2 Pengukuran Biaya Kualitas


Biaya kualitas dapat diklasifikasikan menjadi 2 jenis biaya yaitu:
a. Observable quality cost yaitu biaya kualitas yang dapat diketahui
jumlahnya dari catatan yang terdapat dalam sistem akuntansi yang
digunakan perusahaan.
b. Hidden quality cost adalah merupakan biaya atau kerugian yang muncul
karena rendahnya kualitas tetapi jumlah biaya ini tidak dapat diketahui
dari catatan akuntansi perusahaan.

27
Jumlah biaya kualitas merupakan penjumlahan baik Observable quality
cost maupun Hidden quality cost. Untuk menentukan jumlah hidden quality cost
diperlukan estimasi. Estimasi dapat dilakukan dengan cara berikut:
1. Multiplier method, penentuan hidden quality cost dengan cara yang
sangat sederhana yaitu dengan mengamsumsikan bahwa total biaya
kegagalan eksternal adalah biaya eksternal yang dapat diukur dikalikan
dengan multiplier tertentu.
2. Market Researsh method, penentuan hidden quality cost dengan
melakukan penelitian pasar.
3. Taguchi Quality loss Function, penentuan hidden quality cost dengan
mengasumsikan bahwa fungsi biaya kualitas adalah merupakan fungsi
kuadrat.

2.2.3 Pelaporan Biaya Kualitas


Biaya kualitas perlu dilaporkan agar dapat membantu manajemen dalam
meningkatkan perencanaan, pengendalian, serta pengambilan keputusan yang
berkaitan dengan kualitas.

2.2.4 Fungsi Biaya Kualitas.


Terdapat 2 pandangan tentang fungsi biaya kualitas yaitu:
a. Pendekatan konvensional, mendasarkan pada anggaran adanya “trae off”
pada biaya kualitas yaitu antara biaya pengendalian dan biaya kegagalan
b. Pendekatan Kontemporer, pendekatan kontemporer tidak mengenal batas
toleransi tingkat kerusakan yang masih dapat diterima (AQL).
Pendekatan ini menggunakan tingkat kerusakan 0. Pendekatan
kontemporer tidak menganggap adanya trade off anatara biaya
pengendalian dan kegagalan.

Terdapat 3 perbedaan mendasar terhadap biaya kualitas optimal dari sudut


pandang kontemporer dari sudut pandang konvensional yaitu:
a. Bahwa menurut pandangan kontemporer, biaya pengendalian tidak akan
meningkat tanpa batas pada saatmendekati tingkat kerusakan 0.

28
b. Bahwa biaya pengendalian kualitas akan meningkat tetapi kemudian
menurun pada saat mendekati tingkat kerusakan 0.
c. Biaya kegagalan dapat ditekan sampai mendekati 0.

2.3. Target Costing


2.3.1 Pengertian Target Costing
Pengertian target costing menurut Robert S.Kaplan dan A.A. Atkonsin (1998 :
224) adalah sebagai berikut : “Target costing is a cost management tool
that planner use during product and process design to drive improvement effort
aimed at reducing the product’s future manufacturing.” Pengertian target
costing menurut Revee (2000 : 385) adalah “Target costing is defined as a cost
management tool for reducing the overall cost of a product over its entire life
cycle with the help of production, engineering, R&D, marketing and accounting
departements’. Sedangkan pengertian target costing menurut Gorrison dan
Noreen (2000 : 880) adalah sebagai berikut : ‘ Target costing is the process of
determining the maximum allowable cost for a new product and then developing
a prototype that can be profitably made for that maximum target costfigure.”

Maka dapat disimpulkan bahwa target costing adalah metode perencanaan


laba dan manajemen biaya yang difokuskan pada produk dengan
mempertimbangkan proses manufaktur sehingga metode target costing ini dapat
digunakan oleh perancang sebelum produk dan proses desain dilakukan untuk
mencapai tujuan perbaikan usaha pada pengurangan biaya operasional produk di
masa depan. Target costing digunakan selama tahap perencanaan dan menuntun
dalam pemilihan produk dan proses desain yang akan menghasilkan suatu
produk yang dapat diproduksi pada biaya yang diijinkan pada suatu tingkat laba
yang dapat diterima serta memberikan perkiraan harga pasar produk, volume
penjualan dan tingkat fungsionalitas. Diatas semua itu, target costing merupakan
alat yang memperhatikan dan memfasilitasi komunikasi antar anggota dari cross-
functional team yang bertanggung jawab pada desain produk. Target costing
lebih ke arah customer oriented, semuanya ditentukan oleh konsumen dari harga,
kualitas dan fungsi yang dibutuhkan oleh konsumen.

Target costing merupakan perbedaan antara harga jual produk atau jasa
yang diperlukan untuk mencapai pangsa pasar tertentu dengan laba per satuan
yang diinginkan perusahaan. (Hansen dan Mowen 2009 : 361). Harga penjualan
mencerminkan spesifikasi produk atau fungsi yang dinilai oleh pelanggan . Jika
target biaya kurang dari apa yang saat ini dapat tercapai, maka manajemen harus
menemukan cara untuk melakukan penurunan biaya yang menggerakkan biaya
actual ke target biaya. Mengupayakan penurunan biaya adalah tantangan utama
dari perhitungan target costing.

29
Perhitungan target costing merupakan metode pengerjaan terbalik dari
harga untuk menentukan biaya. Perhitungan target costing dapat digunakan
paling efektif pada tahap desain dan pengembangan siklus hidup produk. Pada
tahap tersebut, keunggulan produk dan biayanya masih cukup mudah
disesuaikan. Target costing dimulai dengan memperkirakan harga produk yang
mencerminkan fungsi dan atribut produk serta kekuatan pesaing pasar. Input
pada proses target costing adalah vector harga pasar fungsional produk (market
price product functionality vektor) dimana proses perencanaan produk harus
sesuai dengan target yang mencerminkan kumpulan dari fungsi produk dimana
produk tersebut harus sampai pada konsumen. Disini terdapat dua elemen
penting dalam perencanaan produk, yaitu :
1. Konsumen atau pasar pada umumnya menentukan harga yang akan dibayar
untuk produk dan fungsi desainnya.
2. Untuk memperluas usaha dimana ada pasar untuk produk yang sama tapi
dengan fungsi yang berbeda.

2.3.2 Prinsip Target Costing

1.Harga jual mendahului biaya

Sistem target costing menetapkan terget biaya dengan mengurangi margin laba
yang diharapkan dari pasar yang kompetitif. Harga pasar dikendalikan oleh
situasi pasar dan target laba ditentukan oleh kondisi keuangan suatu perusahaan
dan industri yang digelutinya.

2.Fokus pada pelanggan

Sistem target costing digerakkan oleh pasar. Persyaratan pelanggan atas kualitas,
biaya, dan waktu secara simultan diintegrasikan ke dalam produk dan keputusan
proses, serta arah analisis biaya. Target biaya tidak boleh dicapai dengan
mengorbankan tampilan yang diinginkan pelanggan, menurunkan kinerja atau
keandalan suatu produk, atau menunda peluncuran produk dipasar.

3.Fokus pada desain

Perusahaan menghabiskan lebih banyak waktu pada tahap desain dan


mengurangi waktu sampai kepasar dengan menghilangkan perubahan yang
mahal dan menghabiskan banyak waktu yang diperlukan dikemudian hari.

30
2.3.3 Siklus Biaya

Siklus biaya atau The cost life cycle merupakan urutan aktivitas biaya dalam
perusahaan mulai dari riset dan pengembangan, kemudian desain, produksi,
pemasaran, dan distribusi, hingga pelayanan kepada pelanggan.

Setelah menetapkan produk apa yang akan dihasilkan, perusahaan melakukan


riset dan pengembangan untuk membuat inovasi baru berkaitan dengan produk
yang akan dihasilkan tersebut. Inovasi dapat berkaitan dengan produk tersebut,
proses produksinya, alternatif produknya, dan sebagainya.

Berdasarkan hasil riset dan pengembangan tersebut, perusahaan membuat desain


produk yang akan dihasilkan. Tahap desain ini mencakup semua aspek yang
terkait dengan bayangan tentang produk seperti apa yang ingin dihasilkan oleh
perusahaan seperti unsur kualitas, bentuk, kemasan, warna, dan sebagainya.

Pada saat penentuan kualitas produk, perusahaan akan dihadapkan pada kualitas
dan harga bahan yang akan digunakan. Pada pendekatan lainnya, harga bahan
akan mengikuti kualitas yang diharapkan. Sedangkan pada target costing,
perusahaan menetapkan harga terlebih dahulu, baru kemudian kualitasnya
mengikuti harga tersebut. Jadi, perusahaan harus menurunkan biaya hingga
ketingkat biaya yang dikehendaki.

Untuk menurunkan biaya hingga ketingkat biaya yang dikehendaki, perusahaan


memiliki dua alternatif, yaitu :

1.Mengintegrasikan teknologi manufaktur baru, menggunakan teknik


manajemen biaya yang canggih seperti ABC, dan mencari produktivitas yang
lebih tinggi melalui perbaikan organisasi serta hubungan tenaga kerja, sehingga
perusahaan dapat menurunkan biaya. pendekatan ini diimplementasikan dengan
menggunakan penentuan biaya standar atau kaizen costing.

31
2.Dengan mendesain produk atau jasa, perusahaan dapat menurunkan biaya
hingga ke tingkat target biaya yang diinginkan. Metode ini belum dipakai,
karena mengakui bahwa keputusan desain memiliki pengaruh yang besar
terhadap total biaya selama siklus biaya produk.

Pada tahap produksi, bagian produksi tinggal mengikuti seluruh desain yang
dibuat oleh desainer perusahaan. Pada saat memasuki tahap pemasaran dan
distribusi, bagian marketing akan menyesuaikan dengan kualitas yang dimiliki
produk yang dijualnya.

2.3.4 Karakteristik Target Costing

1.Target costing digunakan pada tahap perencanaan dan desain

2.Target costing merupakan perencanaan biaya yang berujung pada pengurangan


biaya

3.Target costing lebih cocok digunakan oleh perusahaan yang berorientasi pada
perakitan yang membuat beranekaragaman produk dalam jumlah sedang dan
sedikit dibandingkan dalam industri yang berorientasi pada proses yang ditandai
dengan produksi yang terus menerus dan bersifat masal.

4.Target costing digunakan untuk pengendalian spesifikasi desain dan teknik


produksi

2.3.5 Langkah mengimplementasikan target costing

1.Menentukan harga jual yang kompetitif


Manajemen harus mempertimbangkan harga produk pesaing, daya beli
masyarakat, kondisi perekonomian secara umum, nilai tukar rupiah, dsb untuk
dapat menentukan harga produk.

2.Menentukan laba yang diharapkan


Penentuan harga jual per unit produk dipengaruhi oleh pangsa pasar (market
share) yang ingin diperoleh, tingkat pertumbuhan yang ingin dicapai perusahaan,
volume penjualan yang ingin direncanakan, dsb.

3.Menetapkan target biaya

Target biaya = harga jual – laba yang diharapkan

4.Melakukan rekayasa nilai

32
Rekayasa nilai digunakan dalam target costing untuk menurunkan biaya produk
dengan cara menganalisis trade off antara lain: jenis dan tingkat yang berbeda
dalam fungsional produk, biaya produk total.

5.Menggunakan kaizen costing dan pengendalian operasi


Kaizen costing adalah metode perhitungan biaya dimana secara terus menerus
berupaya mencari cara baru untuk menurunkan biaya dalam proses pembuatan
produk dengan desain dan fungsional yang ada.

2.3.6 Rekayasa Nilai (value)

Salah satu langkah yang perlu dilakukan dalam mengimplementasikan target


costing adalah merekayasa nilai, yaitu semua upaya yang dianggap perlu untuk
memodifikasi produk perusahaan pada biaya yang lebih rendah dengan tetap
disertai upaya memberikan nilai (value) yang optimal kepada pelanggan.
Rekayasa nilai digunakan dalam target costing untuk menurunkan biaya
produksi melalui analisis konsumen. Yang kemudian digunakan untuk
mengidentifikasi selera konsumen, karena terdapat berbagai hal dalam suatu
produk yang dinilai penting oleh konsumen.

Secara umum produk yang dihasilkan perusahaan berdasarkan fungsinya dapat


diklasifikasikan menjadi :

1.Kelompok produk yang fungsinya relatif mudah ditambah dan dikurangi


2.Kelompok produk yang fungsionalitasnya relatif stabil

2.3.7 Ilustrasi Penyusunan Target Costing

1.PT.Duta Niaga adalah produsen barang-barang elektronik yang berlokasi di


jakarta. Melihat terjadinya pergeseran teknologi dan selera masyarakat berkaitan
dengan peralatan audio visual, perusahaan ini melihat peluang berupa ceruk pada
pasar DVD Player bagi masyarakat Indonesia.

Perusahaan ingin memproduksi DVD Player murah dengan kualitas yang baik.
Dari hasil penelitian pasar, diperkirakan harga yang terjangkau oleh masyarakat
dan jauh lebih murah dari para pesaing lainnya adalah Rp.300.000 per unit.
Dengan harga jual sebesar itu, divisi marketing perusahaan memperkirakan
dapat menjual sebanyak 50.000 unit per tahun. Untuk mendesain,
mengembangkan, dan memproduksi DVD Player ini diperkirakan membutuhkan
investasi sebesar Rp.12.000.000.000. perusahaan mengharapkan ROI (return on
investment) sebesar 25%.

33
Berdasarkan perumusan Target Costing = Harga Jual – Laba Yang Diharapkan
dan data sebelumnya, maka biaya yang ditargetkan (target costing) untuk
memproduksi setiap unit DVD Player adalah:

Proyeksi penjualan (50.000 x 300.000)15.000.000.000


Laba yang diharapkan (25% x 12.000.000.000) (3.000.000.000)
Target biaya total (50.000 unit DVD Player) 12.000.000.000
Target biaya per unit (12.000.000.000 : 50.000) 240.000

Dari perhitungan tersebut, terlihat bahwa perusahaan menetapkan target biaya


produksi DVD Player sebesar Rp.240.000 per unit. Itu berarti, desainer
perusahaan harus mampu mendesain produk dengan biaya produksi maksimal
sebesar Rp.240.000 per unit. Berdasarkan target biaya yang ditetapkan itu,
desainer harus mampu mencari komponen elektronik yang sesuai dengan harga
tersebut.

2.PT.Sandang Nusantara adalah perusahaan pakaian pria yang berlokasi di


Bandung. Melihat banyak pakaian impor dari China yang masuk ke Indonesia
dengan harga murah dan respon masyarakat terhadap pakaian impor tersebut,
perusahaan ini melihat peluang berupa ceruk pada pasar kemeja pria bagi
masyarakat Indonesia.

Perusahaan ingin memproduksi kemeja pria murah dengan kualitas yang


baik.dari hasil penelitian pasar, diperkirakan harga yang terjangkau oleh
masyarakat dan jauh lebih murah dari para pesaing lainnya adalah Rp.40.000 per
unit. Dengan harga sebesar itu divisi marketing perusahaan memperkirakan
dapat menjual sebanyak 400.000 unit per tahun. Untuk mendesain,
mengembangkan dan memproduksi kemeja pria ini diperkirakan membutuhkan
investasi sebesar Rp.10.000.000.000. perusahaan mengharapkan ROI (return on
investment) sebesar 28%.

Berdasarkan perumusan Target Costing = Harga Jual – Laba Yang Diharapkan


dan data sebelumnya, maka biaya yang ditargetkan (target costing) untuk
memproduksi setiap unit kemeja pria adalah :

Proyeksi penjualan (400.000 x 40.000)16.000.000.000


Laba yang diharapkan (28% x 10.000.000.000) (2.800.000.000)
Target biaya total (400.000 unit Kemeja Pria)13.200.000.000
Target biaya per unit (13.200.000.000 : 400.000)33.000

34
Dari perhitungan tersebut, terlihat bahwa perusahaan menetapkan target biaya
produksi Kemeja Pria sebesar Rp.33.000 per unit. Itu berarti, desainer
perusahaan harus mampu mendesain produk dengan biaya produksi maksimal
sebesar Rp.33.000 per unit. Berdasarkan target biaya yang ditetapkan itu,
desainer harus mampu mencari komponen produk yang sesuai dengan harga
tersebut.

2.3.8 Kelemahan dan kelebihan target costing

Menurut Atkinson (2007) target costing memiliki beberapa kelemahan yaitu:

1.Kurangnya pemahaman konsep target costing. Karena target costing pertama


kali ditemukan di Jepang, maka ketika dibawa keluar Jepang tidak semua
pengguna memahami dengan baik konsep target costing. Akibatnya banyak
senior manajemen yang menolak ide ini.

2.Implementasi yang kurang dalam konsep teamwork. Pengurangan biaya yang


dilakukan dalam sebuah unit kerja seringkali tidak dilakukan di unit kerja yang
lain. Sebagai contoh ketika departemen produksi berhasil mengelola biaya
sehingga berhasil melakukan pengurangan biaya, namun departemen lain
misalya administrasi, pemasaran, dan distribusi malah memboroskan biaya.
Sehingga perusahaan yang akan mengadopsi target costing harus mengadaptasi
tingkat kerjasama tim, kepercayaan, dan kerjasama agar target costing dapat
sukses.

3.Penyebab karyawan terlalu lelah. Karyawan di banyak perusahaan Jepang yang


menerapkan target costing mengalami kelelahan yang luar biasa karena adanya
tekanan untuk memenuhi target biaya.

4.Waktu pengembangan yang terlalu lama. Walaupun biaya target terpenuhi


namun waktu pengembangan akan meningkat karena adanya pengulangan dalam
siklus value engineer untuk menurunkan biaya, sehingga produk dapat terlambat
sampai ke pasar.

Metode ini memiliki keunggulan, yaitu harga jual produk ditetapkan terlebih
dulu, sedangkan target margin laba dan target cost ditetapkan kemudian. Jika
target margin laba perusahaan ditingkatkan, maka perusahan harus melakukan
penghematan dan perekayasaan nilai pada biaya produks serta biaya nonproduksi
untuk mencapai target cost yang ditetapkan berdasarkan harga jual.

Target costing memungkinkan perusahaan untuk mengurangi biaya selama


desain daripada mereduksi biaya setelah proses desain. Target costing

35
memastikan profitabilitas dalam jangka pendek dan panjang, karena produk yang
dihasilkan memiliki margin rendah atau tidak menguntungkan selama
pengembangan produk baru dapat dengan cepat jatuh.

Tim desain dalam target costing berfokus pada pelanggan utama dan
kesediaan mereka untuk membayar fitur produk. Penggunaan target costing juga
memaksa manajemen untuk menentukan kualitas, fitur dan masalah waktu awal
dalam proses dan untuk menyeimbangkan biaya dan fitur terhadap kesediaan
pelanggan untuk membayar produk (Ansari dan Bell, 1997; Cooper, 1995;
Cooper dan Chew, 1996 dalam Everaeret et all, 2006).

36
BAB III
PERMASALAHAN

3.1 Latar Belakang Masalah


Perusahaan yang bergerak di bidang produksi sarung jok mobil.
Jan Davis, Controller Cascade Seating Inc. mendapat informasi dari Dave
Garcia, manager utama Cascade Seating bahwa General Motors telah
menurunkan status Cascade Seating Inc. dari supplier utama menjadi supplier
cadangan Ketidak-konsistenan ukuran dan tingkat presisi yang kurang pas
disinyalir menjadi penyebab utama penurunan status ini. GM menyarankan
cascade seating untuk belajar pada Velcro, dengan membaca artikel ‘How
Velcro Get Hooked on Quality’ dimana Velcro pernah juga senasib dengan
Cascade Seating Inc, diturunkan statusnya namun berhasil kembali merebut
status supplier utama pada GM.
Jan Davis dan Dave Garcia membaca artikel tersebut. Setelah dibaca
berkali-kali, pada artikel tersebut terlihat penggambaran yang hampir sama
antara Cascade Seating dan Velcro. Dari artikel juga disimpulkan 2 hal utama
yaitu Velcro memiliki program berkualitas dan menjalankannya dengan baik.
Jan merasa Casacade Seating juga memiliki hal itu. Mereka juga memiliki
program yang berkualitas yang ditunjukkan dengan peningkatan kualitas dalan 2
tahun belakangan ini.
Salah satu keluhan GM ke Velcro waktu itu adalah GM ingin Velcro
lebih memberikan perhatian kepada pemeriksaan kualitas bukan sekedar proses
produksinya saja yang berkualitas. Dave Garcia merasa cascade juga berfokus
pada pemeriksaan dengan diposisikannya karyawan sebanyak 15 pada Quality
Control Management yang tugas utama mereka adalah memastikan setiap
produk yang akan dijual telah terperiksa kualitasnya. Namu sayangnya mereka
hanya berfokus pada produk jadinya saja tanpa pernah melihat proses
produksinya.
Jan Davis memutuskan menggelar rapat bersama manager quality
control, pembelian, costumer service, dan persediaan. Dalam rapat diketahui
tidak pernah ada rapat dan koordinasi antar masing-masing departemen.

37
Akhirnya pada rapat yang awalnya ricuh karena masing-masing manajer
saling melempar kesalahan, disimpulkan 4 area utama dalam masalah kualitas,
yaitu: rendahnya kualitas bahan baku, kurang baiknya kualitas pemotongan,
kurang baiknya kualitas penjahitan, dan buruknya pengawasan akan kualitas.
Manajer pembelian mengaku bahwa telah menemukan dan memilih
supplier bahan baku yang baru, yang harga produknya lebih murah namun
memiliki kualitas produk dibawah standar yang telah ditetapkan Cascade
Seating. Dan hal ini membuat Jan Davis merasa perlu mengevaluasi kinerja
manajer pembelian dan menganggap hal ini adalah salah satu penyebab
rendahnya kualitas produk Cascade Seating Inc.

Dave juga kurang senang dengan kinerja pemotong dan penjahit.


Ditemukan material yang terbuang sebanyak $.147.900. Dimana 63%nya berasal
dari kesalahan pemotongan, dan 37%nya dari kesalahan penjahitan. Dengan
rincian:
Alasan untuk membuang bahan Total Persentasi
Pemotong tidak memotong bahan dengan benar 28
Kurangnya pengujian atas mesin pemotong 16
Pola yang tidak cocok 10
Pisau pemotong yang tumpul 9
Penjahit tidak menjahit bahan dengan benar 25
Kurangnya pengujian atas mesin penjahit 12

Dave juga mengatakan bahwa dia menemukan ketidak akuratan pada


masing-masing mesin pemotongan dan penjahitan. Dia telah memeriksa mesin
pemotong dan mesin jahit, dimana hasilnya terjadi kerugian sebesar $5.500
karena biaya downtime mesin potong, dan $.7.400 karena biaya downtime mesin
jahit. Serta $.8.200 telah dihabiskan tahun lalu untuk mengerjakan ulang
penjahitan. Manajer pengendali persediaan mencatat 31% dari $56.000 sarung
jok yang ditolak konsumen dikarenakan kecacatan penjahitan. 62% diakibatkan
ketidak akuratan potongan dengan pola. Dan 7% karena material yang cacat.
Diperparah dengan adanya pengembalian produk karena kelebihan muatan
pengiriman sebesar $25.000 pada bulan oktober.

38
Jan mulai sangat kecewa. Bagaimana mungkian laporan kualitas
menunjukkan peningkatan tapi sangat banyak permasalahannya. Ia bertanya
kepada Dave menyangkut pelatihan kepada pemotong dan penjahit. Dave
menjawab, pemotong mnnedapat pelatihan sebanyak 40 jam pelatihan dan
penjahit mendapat 6 jam pelatihan. Tapi anggaran pelatihan ini beberapa kali
dipotong.
Quality Control Procedur dari cascade yang tidak pernah diperbaharui
selama 4 tahun terakhir. Quality Control Procedur yang dibuat oleh Departemen
Quality Control Procedur itu sendiri, dengan hanya sedikit masukan dari
supervisor produksi. Masalah lainnya dalah Quality Control Departemen yang
lebih banyak menugasi stafnya di bagian final inspection, dan hanya sedikit yang
mengontrol di bagian produksi.

3.2 Pertanyaan
1. Buatlah diagram fishbone dan identifikasi hal-hal yang menyebabkan
Cascade Seating mengalami permasalahan kualitas?
2. Menentukan biaya kualitas berdasarkan kategori (preventation cost,
appraisal cost,external failure cost, dan internal failure cost) ?
3. Mengapa Cascade mengalami penurunan kualitas, sementara Cascade
telah menugasi jumlah pekerja yang cukup banyak di departemen
quliaty control yang bertugas menginspeksi produk-produk cascade
sebelum dijual ?
4. Apakah sistem akuntansi dari cascade yang sekarang tidak membantu
masalah kualitas produk cascade?
5. Apa yang harus dilakukan cascade seating untuk meningkatkan kualitas
produknya?
BAB IV
HASIL DAN ANALISIS

4.1. Fishbone Diagram


Diagram Fishbone (tulang ikan) adalah salah satu metode/tool di dalam
meningkatkan kualitas. Sering juga dagram ini disebut dengan diagram Sebab-

39
Akibat atau cause effect diagram. Penemunya adalah seorang ilmuwan Jepang
pada tahun 1960-an yang bernama Dr. Kaoru Ishikawa. Ilmuwan kelahiran 1915
di Tokyo Jepang ini merupakan alumni Teknik Kimia Universitas Tokyo.
Sehingga diagram ini disebut juga dengan diagram Ishikwa.
Dikatakan Diagram Fishbone (Tulang ikan) karena memang berbentuk
mirip dengan tulang ikan yang kepalanya menghadap ke kanan. Diagram ini
akan menunjukkan sebuah dampak atau akibat dari sebuah permasalahan,
dengan berbagai penyebabnya. Efek atau akibat dituliskan sebagai moncong
kepala. Sedan tulang ikan isi oleh sebab-sebab sesuai dengan pendekatan
permasalahannya. Dikatakan diagram Cause dan Effect (Sebab dan Akibat)
karena diagram tersebut menunjukkan hubungan antara sebab dan akibat.
Diagram ini dipergunakan untuk menunjukkan faktor-faktor penyebab (sebab)
dan karakteristik kualitas (akibat) yang disebabkan oleh faktor-faktor penyebab
itu.
Diagram Fish bone telah menciptakan ide cemerlang yang dapat
membantu setiap orang atau organisasi dalam menyelesaikan masalah tuntas
sampai ke akarnya. Pada perusahaan manufaktur digunakan Pendekatan The 4
M’s. Faktor-faktor utama yang bisa dijadikan acuan menurut pendekatan ini
adalah :
1. Machine (Equipment)
2. Methode (Process/Inspection)
3. Material (Raw, Consumables, etc)
4. Man Power
Berikut ini adalah diagram fishbone pada Cascade Seating :

40
METHOD
MATERIAL
Inspeksi yang
buruk

Rendahnya Prosedur Quality


Kualitas bahan Control yang outdated
baku
Pembagian tugas yang
kurang sesuai
Scrapped Material

Kurangnya Komunikasi
antar Departemen
PENURUNAN
KUALITAS PRODUK

Penurunan kinerja
Kinerja para pemotong
mesin potong
yang tidak baik

Penurunan kinerja Kinerja para penjahit


mesin jahit yang tidak baik

Pisau pemotong yang Kinerja manajer


tumpul pembelian yang kurang
baik

MACHINE MAN

41
4.2. Quality Cost berdasarkan kategori

Prevention Costs : Appraisal Costs :


 Mengevaluasi dan mengkaji  Kurangnya pengujian atas
ulang standar kualitas mesin potong dan mesin jahit.
 Rapat dengan departemen-  Pemeriksaan produk ketika
depertamen untuk membahas barang itu sedang diproduksi
permasalah yang terjadi. dan ketika barang telah jadi
 Survey untuk pemilihan pemasok (final goods).
yang baik  Pemeriksaan bahan
 Pelatihan yang tepat
 Laporan kualitas produk yang
baik
Internal Failure Cost : External Failure Cost
 Scrap  Pengembalian oleh pelanggan
 Pengerjaan Ulang  Penarikan kembali produk
 Pengujian Ulang
 Pengembalian atas material
yang dibeli

Perusahaan Cascade Seting harus menerapkan kebijakan yang tepat


dalam hal alokasi cost of quality.Kebijakan yang tepat akan mendorong
dihasilkannya produk yang mempunyai kualitas prima, sehingga kepuasan
konsumen meningkat dan pada akhirnya perusahaan akan mendapatkan
keuntungan jangka panjang.
Perusahaan harus memperbesar prevention cost dan appraisal cost. Jika kedua
biaya tersebut tinggi maka internal failure cost danexternal failure cost akan
semakin kecil. External failure cost harus diusahakan sekecil mungkin
karena external failure cost yang tinggi menunjukkan semakin besar komplain
konsumen terhadap produk yang dihasilkan.
Perusahaan yang cost of quality tidakbaik adalah external failure
cost dan internal failure cost yang sangat tinggi. Pada kondisi ini, sering terjadi
komplain terhadap produk dan banyak produk yang di-reject karena tidak
memenuhi standar.

42
4.3. Mengapa Cascade mengalami penurunan kualitas?
Cascade mengalami penuruanan kualitas produk yang berdampak pada
posisi Cascade di General Motor, yang dulunya adalah supplier utama dan
sekarang menjadi backup supplier, padahal Cascade telah menungasi 15
orang pekerja di Quality Control Departemen yang menginspeksi produk-
produk Cascade sebelum di jual.
Hal ini disebabkan oleh beberapa masalah yaitu :
1. Rendahnya kualitas bahan baku mungkin disebabkan oleh jeleknya
kualitasnya bahan baku yang diperoleh dari supplier baru
dibandingkan dengan supplier bahan baku terdahulu.
2. Evaluasi manajer pembelian juga kurang mengembirakan, manager
tersebut tidak menerima gaji yang lebih tinggi dari $22.000.
3. Kinerja para pemotong dan penjahit juga kurang memuaskan, pada
tahun lalu biaya dari scrapped material sebesar $147.900. Setelah di
investigasi Plant manager menemukan bahwa 63% dari material
berasal dari pemotongan bahan karena alasan tertentu dan 37 %
berasal dari penjahitan bahan karena alasan tertentu.
4. Perusahaan Cascade tidak pernah meng-update Quality Control
Procedur sejak dibuat 4 tahun yang lalu. Quality Control Procedure
dibuat oleh departemen Quality Control itu sendiri, dengan hanya
sedikit masukan dari supervisor produksi. Selain itu departemen
Quality Control lebih banyak menugasi staf di bagian final
inspection, dan hanya sedikit yang mengontrol bagian produksi.

4.4. Apakah sistem akuntasi dari Cascade yang sekarang tidak membantu
masalah kualitas produk cascade?
Sistem akuntansi dari Cascade yang sekarang tidak membantu masalah
kualitas produk dari Cascade. Sistem akuntansi yang sekarang tidak dapat
menunjukkan masalah kualitas. Laporan kualitas produk selalu
memperlihatkan hasil yang terus menerus meningkat. Setelah General
motor memberitahukan alasan bahwa cascade diturunkan dari pemasok
utama menjadi pemasok pendukung, yang disebabkan penurunan kualitas

43
jok mobil. Baru lah mereka mengetahui bahwa perusahaan menghadapi
permasalahan pada kualitas produknya, hal ini sama dengan permasalahan
yang dihadapi Velcro yang merupakan salah satu dari supplier General
Motor. Walaupun manajer inventory selalu membuat laporan
pengembalian barang dari pada para customer serta alasan-alasan
pengembaliannya, namun para manager tidak mengetahui masalah
kualitas produk.

4.5. Apa yang harus dilakukan Cascade seating untuk meningkatkan


kualitas produknya?
Cascade mengalami penurunan kualitas produk sehingga cascade yang
dulunya adalah supplier utama General Motor turun menjadi backup
supplier. Dari analisis yang telah dilakukan, terdapat beberapa permasalah
utama yang ditemukan, yaitu :
 Kurangnya kerjasama antar departemen-departemen
 Skill pekerja yang kurang terasah
 Quality Control Procedure atau SOP yang tidak pernah diupdate
selama 4 tahun terakhir.
 Rendahnya kualitas bahan baku
Sehingga untuk meningkatkan kualitas produk, Cascade perlu melakukan
beberapa hal, antara lain :
1. Menyediakan lebih banyak anggaran untuk mengedukasi pekerja.
Penurunan kinerja para penjahit dan para pemotong bahan di
cascade, seperti kesalahan dalam memotong dan menjahit bahan akan
mengakibatkan rework sehingga berdampak besar pada perusahaan
cascade. Untuk mengatasi permasalah tersebut training secara rutin
yang dilakukan perusahaan, walaupun biaya yang dikeluarkan sangat
besar tapi manfaatnya sangat baik untuk kelangsungan perusahaan
nantinya. Dengan diadakan training, karyawan akan semakin
bertambah pengetahuannya, potensinya maupun skillnya, yang akan
berimplikasi positif bagi perusahaan. Adapun manfaat training pada
adalah sebagai berikut :

44
Manfaat training bagi perusahaan
1. Memiliki tenaga kerja yang ahli dan terampil
2. Meningkatkan efisiensi dan efektivitas kerja
3. Meningkatkan produktivitas kerja
4. Mengurangi biaya karena waktu yang terbuang akibat
kesalahan-kesalahan
5. Meningkatkan mutu hasil kerja
6. Meningkatkan sales dan profit

Manfaat training bagi manajer :


1. Memiliki anak buah yang ahli dan terampil
2. Dapat mendelegasikan lebih banyak tugas dan tanggung jawab
kepada bawahan
3. Terlepas dari hal-hal kecil yang bukan porsinya untuk ditangani
4. Tugas dan pekerjaan berjalan lancar walau anda tidak di tempat
5. Menunjang karir anda untuk memperoleh jabatan yang lebih
tinggi

Manfaat training bagi karyawan :


1. Mengurangi waktu yang digunakan untuk belajar
2. Meningkatkan pengetahuan dan keterampilan
3. Meningkatkan rasa percaya diri
4. Meningkatkan kepuasan kerja

2. Membeli kualitas bahan baku yang lebih bagus, walaupun biaya


yang dikeluarkan juga akan lebih besar
Penurunan kualitas dari cascade seating, sebenarnya bermula dari
kualitas bahan baku material yang tidak baik, hal itu dikarenakan
manajer pembelian merekrut supplier baru, yang memberikan harga
yang lebih murah, padahal kualitas dari bahan supplier baru tersebut
tidak sebaik supplier sebelumnya. Bahan baku merupakan hal utama
dari cascade sehingga apabila bahan baku yang digunakan tidak baik

45
maka akan berakibat buruk bagi perusahaan cascade sendiri, dimana
dalam menjalankan perusahaanya cascade berkerjasama dengan
General motor , jika kepercayaan pihak yang berkerjasama dengan
cascade ataupun costumer menurun maka akan berakibat bagi
kelangsungan perusahaan itu sendiri.
3. Perawatan mesin secara berkala
Pada Cascade terjadi penuruan kinerja mesin jahit dan mesin
pemotong. Dalam proses produksi, mesin pabrik atau machine
industry memiliki peran penting. Mesin pabrik menjadi salah satu
faktor yang mempengaruhi lancar tidaknya proses produksi yang
dilakukan. Karenanya perawatan mesin pabrik menjadi satu hal yang
tidak boleh terlupa. Tujuannya agar setiap proses kerja di pabrik dapat
berjalan lancar dan tidak terlambat. Maka perawatan mesin pabrik
menjadi agenda penting yang harus dilakukan secara terencana dan
teratur.
4. Mengupadate Quality Control Procedur perusahaan sehingga
sesuai dengan kebutuhan atau keadaan yang dihadapi Cascade
Inc saat ini.
Quality control memiliki kewenangan untuk menerima atau menolak
produk yang yang akan dipasarkan. Ketika mereka menemukan cacat
pada hasil produksi mereka berwenang dan dapat mengirimkan produk
yang cacat kembali untuk perbaikan. Inti dari tugas mereka adalah
menguji, memeriksa, meneliti, menganalisi kualitas produk sehingga
produk yang dihasilkan sesuai dengan standar perusahaan dan layak
diedarkan di pasaran.
Perusahaan Cascade tidak pernah meng-update Quality Control
Procedur sejak dibuat 4 tahun yang lalu. Quality Control Procedure
dibuat oleh departemen Quality Control itu sendiri, dengan hanya
sedikit masukan dari supervisor produksi. Oleh karena itu
perusahaaan harus mengupade Quality control prosedur secara berkala
mendengar masukan dari departemen-departemen lain, sehingga
perusahaan dapat menghasilkan barang dengan kualitas yang bagus.

46
5. Meciptakan koordinasi yang baik antar departemen
Selain permasalah kualitas bahan baku yang tidak baik, terdapat
masalah komunikasi antar departemen di cascade yang tidak baik.
Komunikasi antar departermen merupakan hal yang penting bagi
terciptanya perusahaan yang baik, komunikasi yang kurang baik akan
berpengaruh pada kinerja perusahaan itu sendiri.
Koordinasi sangatlah dibutuhkan dalam setiap organisasai ataupun
kelompok apapun, demi tercapainya segala tujuan yang hendak
dicapai. Komunikasi merupakan suatu kunci utama dalam tercapainya
suatu koordinasi yang efektif. Pada dasarnya koordinasi merupakan
suatu pemrosesan informasi. Di sini peranan Manajer sangat
dibutuhkan dalam melaksanakan tugasnya dalam bidang pengontrolan,
pengawasan dan evaluasi. Kedekatan hubungan dan kelancaran
informasi antara Manager dengan bawahan pun juga sangat perlu
diperhatikan agar dalam pelakasanaan tugas tidak terdapat kesalahan
informasi (miss comunications) ataupun tekanan dalam bekerja.
Sehingga dengan koordinasi yang baik dapat mempermudah suatu
organisasi menjadi lebih maju karena tercapainya tujuan dari
organisasi tersebut.

47
BAB V
KESIMPULAN

Kesimpulan yang didapat dari penjabaran diatas yaitu:


Just In Time merupakan suatu strategi bagi perusahaan yang dapat
meningkatkan produktivitas secara tepat, cepat dan dengan mutu terjamin demi
memuaskan kebutuhan pelanggan.Menghasilkan produk hanya sesuai
permintaan pelanggan.Dapat menghemat biaya perawatan yang biasanya terjadi
apabila terdapat produk jadi dalam gudang.Menghasilkan produk bermutu tinggi
sesuai permintaan pelanggan.Menghemat ongkos manufacturing secara terus
menerus.
Namun untuk mencapai keberhasilaan dalam Just In Time, dibutuhkan
implementasi dan komitmen yang baik pada setiap bagian produksi. Setiap
bagian dalam proses produksi (termasuk pekerja dan mesin produksi) harus
selalu dalam keadaan siap untuk dipakai dan berproduksi, karena kepuasan
dalam mengimplementasikan sistem Just In Time ini. Hal lain adalah adanya
hubungan yang baik, kuat, dan saling menguntungkan antara supplier dan
perusahaan sehingga pengiriman pesanan bahan baku, dapat dilakukan tepat
waktu dan memenuhi standar bahan baku yang disyaratkan. Dalam hal ini
supplier dianggap sebagai mitra kerja, lebih daripada hubungan supplier itu
sendiri.
Akhirnya, jika setiap bagian merasa sebagai komponen penting dalam Just
In Time dan terpaut hubungannya satu sama lain, maka perwujudan Just In Time
sebagai penjamin mutu pada industri busana akan tercapai.

48

You might also like