You are on page 1of 21

BAB I

PENDAHULUAN

Efusi pleura merupakan keadaan di mana cairan menumpuk di dalam rongga


pleura.Dalam keadaan normal, rongga pleura diisi cairan sebanyak 10-20 ml yang
berfungsi mempermudah pergerakan paru di rongga dada selama bernapas. Jumlah
cairan melebihi volum normal dapat disebabkan oleh kecepatan produksi cairan di
lapisan pleura parietal yang melebihi kecepatan penyerapan cairan oleh pembuluh
limfe dan pembuluh darah mikropleura viseral.1
Keadaan ini dapat mengancam jiwa karena cairan yang menumpuk tersebut
dapat menghambat pengembangan paru-paru sehingga pertukaran udara terganggu.1
Banyak penyakit yang mungkin mendasari terjadinya efusi pleura. Berdasarkan
penelitian yang dilakukan terhadap 119 pasien dengan efusi pleura di Rumah Sakit
Persahabatan pada tahun 2010-2011, efusi pleura kebanyakan disebabkan oleh
keganasan (42.8%) dan tuberkulosis (42%).2 Penyakit lain yang mungkin mendasari
terjadinya efusi pleura antara lain pneumonia, empiema toraks, gagal jantung
kongestif, sirosis hepatis.1
Umumnya pasien datang dengan gejala sesak napas, nyeri dada, batuk, dan
demam. Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan abnormalitas seperti bunyi redup
pada perkusi, penurunan fremitus pada palpasi, dan penurunan bunyi napas pada
auskultasi paru bila cairan efusi sudah melebihi 300 ml. Foto toraks dapat digunakan
untuk mengkonfirmasi terjadinya efusi pleura.1
Oleh karena keadaannya yang dapat mengancam jiwa, dan penanganannya
yang segera pada beberapa kasus, kami mengangkat kasus efusi pleura dalam
makalah ini.Agar kami dapat mempelajari bagaimana diagnosis dan penatalaksanaan
kasus yang umumnya merupakan keadaan akut dari penyakit paru seperti
tuberkulosis.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Anatomi Fisiologi Pleura
Pleura terbentuk dari dua membran serosa, yakni pleura visceral yang
melapisi paru serta pleura parietal yang melapisi dinding toraks bagian
dalam.Pada hakikatnya kedua lapis membran ini saling bersambungan di
dekat hilus, yang secara anatomis disebut sebagai refleksi pleura.Pleura
visceral dan parietal saling bersinggungan setiap kali manuver pernapasan
dilakukan, sehingga dibutuhkan suatu kemampuan yang dinamis dari rongga
pleura untuk saling bergeser secara halus dan lancar. Ditinjau dari permukaan
yang bersinggungan dengannya, pleura visceral terbagi menjadi empat bagian,
yakni bagian kostal, diafragama, mediastinal, dan servikal.3

Terdapat faktor-faktor yang memengaruhi terjadinya kontak


antarmembran maupun yang mendukung pemisahan antarmembran. Faktor
yang mendukung kontak antarmembran adalah: (1) tekanan atmosfer di luar
dinding dada dan (2) tekanan atmosfer di dalam alveolus (yang terhubung
dengan dunia luar melalui saluran napas). Sementara itu faktor yang
mendukung terjadi pemisahan antarmembran adalah: (1) elastisitas dinding
toraks serta (2) elastisitas paru.4 Pleura parietal memiliki persarafan, sehingga
iritasi terhadap membran ini dapat mengakibatkan rasa alih yang timbul di
regio dinding torako-abdominal (melalui n. interkostalis) serta nyeri alih
daerah bahu (melalui n. frenikus).

2
Gambar 1 – Anatomi Pleura Pada Paru Normal (Kanan) dan Paru yang Kolaps
(Kiri)

Antara kedua lapis membran serosa pleura terdapat rongga potensial,


yang terisi oleh sedikit cairan yakni cairan pleura. Rongga pleura mengandung
cairan kira-kira sebanyak 0,3 ml kg-1 dengan kandungan protein yang juga
rendah (sekitar 1 g dl-1). Secara umum, kapiler di pleura parietal menghasilkan
cairan ke dalam rongga pleura sebanyak 0,01 ml kg-1 jam-1. Drainase cairan
pleura juga ke arah pleura parietal melalui saluran limfatik yang mampu
mendrainase cairan sebanyak 0,20 ml kg-1 jam-1. Dengan demikian rongga
pleura memiliki faktor keamanan 20, yang artinya peningkatan produksi
cairan hingga 20 kali baru akan menyebabkan kegagalan aliran balik yang
menimbulkan penimbunan cairan pleura di rongga pleura sehingga muncul
efusi pleura.

3
Gambar 2 – Desain Morfofungsional Rongga Pleura (s.c :
kapiler sistemik; p.c : kapiler pulmoner)
Gambar 2 adalah bentuk kompartmen pleuropulmoner yang
tersimplifikasi. Terdapat lima kompartmen, yakni mikrosirkulasi sistemik
parietal, ruang interstisial parietal, rongga pleura, intestisium paru, dan
mikrosirkulasi visceral. Membran yang memisahkan adalah kapiler
endotelium, serta mesotel parietal dan visceral.Terdapat saluran limfatik yang
selain menampung kelebihan dari interstisial juga menampung keleibhan dari
rongga pleura (terdapat bukaan dari saluran limfatik pleura parietal ke rongga
pleura yang disebut sebagai stomata limfatik.Kepdatan stomata limfatik
tergantung dari regio anatomis pleura parietal itu sendiri.Sebagai contoh
terdapat 100 stomata cm-2 di pleura parietal interkostal, sedangkan terdapat
8.000 stomata cm-2 di daerah diafragma. Ukuran stomata juga bervariasi
dengan rerata 1 m (variasi antara 1 – 40 m)4.
Sama seperti proses transudasi cairan pada kapiler, berlaku pula
hukum Starling untuk menggambarkan aliran transudasi (Jv) antara dua
kompartmen. Hukum ini secara matematis dinyatakan sebagai berikut5:
Jv = Kf [(PH1 – PH2) -  (1 - 2)]

4
Kf merupakan koefisien filtrasi (yang tergantung kepada ukuran pori
membran pemisah antara dua kompartmen), PH dan  berturut-turut adalah
tekanan hidrostatik dan koloidosmotik, serta  merupakan koefisien refleksi
(=1 menggambarkan radius dari zat terlarut lebih besar dari pori sehingga zat
terlarut tak akan mampu melewati pori, sebaliknya =0 menggambarkan
seluruh zat terlarut lebih kecil ukurannya dari pori yang mengakibatkan aliran
zat terlarut dapat berlangsung secara bebas).

Gambar 3 – Gambar (a)

merupakan hipotesis Neggard (1927) yang menggambarkan hipotesis tentang


pembentukan serta drainase cairan pleura. Hipotesis ini terlalu sederhana
karena mengabaikan keberadan interstisial dan limfatik pleura; sedangkan (b)
merupakan teori yang saat ini diterima berdasarkan percobaan terhadap
kelinci.

5
Filtrasi cairan pleura terjadi di plura parietal (bagian mikrokapiler
sistemik) ke rongga interstitium ekstrapleura. Gradien tekanan yang kecil
mendorong cairan ini ke rongga pleura.3 Nilai  antara intersitisium parietal
dengan rongga pleura relatif kecil (=0,3), sehingga pergerakan protein
terhambat dan akibatnya kandungan protein cairan pleura relatif rendah (1 g
dl-1) dibandingkan dengan interstisium parietal (2,5 g dl-1)5.

Sementara itu drainase cairan pleura sebagian besar tidak melalui


pleura visceral (sebagaimana yang dihipotesiskan oleh Neggard), sehingga
pada sebagian besar keadaan rongga pleura dan interstisium pulmoner
merupakan dua rongga yang secara fungsional terpisah dan tidak saling
berhubungan.Pada manusia pleura visceral lebih tebal dibandingkan pleura
parietal, sehingga permeabilitas terhadap air dan zat terlarutnya relatif
rendah.Saluran limfatik pleura parietal dapat menghasilkan tekanan
subatmosferik -10 cmH2O.

B. Patologi
1. Definisi Efusi Pleura
Efusi pleura adalah penumpukan cairan di dalam ruang
pleural, proses penyakit primer jarang terjadi namun biasanya terjadi
sekunder akibat penyakit lain. Efusi dapat berupa cairan jernih, yang
mungkin merupakan transudat, eksudat, atau dapat berupa darah atau
pus. (Baughman C Diane, 2000).
Efusi pleural adalah pengumpulan cairan dalam ruang pleura
yang terletak diantara permukaan visceral dan parietal, proses
penyakit primer jarang terjadi tetapi biasanya merupakan penyakit
sekunder terhadap penyakit lain. Secara normal, ruang pleural
mengandung sejumlah kecil cairan (5 sampai 15ml) berfungsi

6
sebagai pelumas yang memungkinkan permukaan pleural bergerak
tanpa adanya friksi.
Efusi pleura adalah penumpukan cairan dalam rongga pleura yang
disebakan oleh banyak faktor seperti penyakit dan tekanan abnormal
dalam paru-paru.
2. Etiologi
Menurut jenis cairan yang terakumulasi efusi pleura dapat dibedakan
menjadi :
a. Transudat ( filtrat plasma yang mengalir menembus dinding
kapiler yang utuh).
Penyakit yang menyertai transudat :
 Gagal jantung kiri.
 Sindrom nefrotik.
 Obstruksi vena kava superior Asites pada serosis hati
 Sindrom meig’s (asites dengan tumor ovarium).
b. Eksudat( ekstravasasi cairan kedalam jaringan ).
Cairan ini dapat terjadi karena adanya :
 Infeksi
 Neoplasma/tumor
 Infark paru
3. Tanda dan Gejala
a. Adanya timbunan cairan mengakibatkan perasaan sakit karena
pergesekan, setelah cairan cukup banyak rasa sakit hilang. Bila cairan
banyak, penderita akan sesak napas.
b. Adanya gejala-gejala penyakit penyebab seperti demam, menggigil,
dan nyeri dada pleuritis (pneumonia), panas tinggi (kokus), subfebril
(tuberkulosis), banyak keringat, batuk.

7
c. Pemeriksaan fisik dalam keadaan berbaring dan duduk akan berlainan,
karena cairan akan berpindah tempat. Bagian yang sakit akan kurang
bergerak dalam pernapasan, fremitus melemah (raba dan vocal), pada
perkusi didapati daerah pekak, dalam keadaan duduk permukaan
cairan membentuk garis melengkung (garis Ellis Damoiseu).Gejala
yang paling sering ditemukan (tanpa menghiraukan jenis cairan yang
terkumpul ataupun penyebabnya) adalah sesak nafas dan nyeri dada
(biasanya bersifat tajam dan semakin memburuk jika penderita
batuk atau bernafas dalam). Kadang beberapa penderita tidak
menunjukkan gejala sama sekali.
Gejala lainnya yang mungkin ditemukan:
 Batuk
 Pernafasan yang cepat
 Demam
 Cegukan
 Nyeri perut
4. Proses Patologi Gangguan Gerak dan Fungsi
Dalam keadaan normal hanya terdapat 10-20 ml cairan
di dalam rongga pleura.Jumlah cairan di rongga pleura tetap, karena
adanya tekanan hidrostatis pleura parietalis sebesar 9 cm H2O.
Cairan ini dihasilkan oleh kapiler pleura parietalis karena adanya
tekanan hodrostatik, tekanan koloid dan daya tarik elastis. Sebagian
cairan ini diserap kembali oleh kapiler paru dan pleura viseralis,
sebagian kecil lainnya (10-20%) mengalir kedalam pembuluh limfe
sehingga pasase cairan disini mencapai 1 liter perhari.
Terkumpulnya cairan di rongga pleura disebut efusi pleura,
ini terjadi bila keseimbangan antara produksi dan absorbsi terganggu

8
misalnya pada hyperemia akibat inflamasi, perubahan tekanan osmotic
(hipoalbuminemia), peningkatan tekanan vena (gagal jantung).
Atas dasar kejadiannya efusi dapat dibedakan atas
transudat dan eksudat pleura.Transudat misalnya terjadi pada gagal
jantung karena bendungan vena disertaipeningkatan tekanan hidrostatik,
dan sirosis hepatic karena tekanan osmotic koloid yang menurun. Eksudat
dapat disebabkan antara lain oleh keganasan dan infeksi. Cairan keluar
langsung dari kapiler sehingga kaya akan protein dan berat jenisnya tinggi
cairan ini juga mengandung banyak sel darah putih. Sebaliknya
transudate kadar proteinnya rendah sekali atau nihil sehingga berat
jenisnya rendah.

C. Pendekatan Intervensi Fisioterapi


1. Abdominal Breathing Exercise
Abdominal breathing exercise adalah latihan pernafasan yang
dilakukan dibagian perut atau abdominal dan tujuannya adalah untuk
mengajarkan pasien menggunakan pernafasan perut, teknik penatalaksanaan:
fisioterapis meletakkan kedua tangannya pada bagian perut pasien dan
saat inspirasi instruksikan pasien untuk mengembungkan perutnya atau
dorong tangan fisioterapis kearah depan atau luar dan saat ekspirasi
kempiskan perut dan fisioterapis sambil mendorong dengan tangan secara
pelan kearah dalam mengikuti pola pernafasan pasien. Lakukan sebanyak
8 kali hitungan dan 10 kali pengulangan(Rab, 2010).
2. Thoracic Expansion Exercise
Sama seperti latihan abdominal breathing exercise, tetapi pada metode
ini tangan fisioterapis diletakkan pada dinding dada dengan tujuan untuk
mengkompresi dinding thorak ketika inspirasi agar dapat memperkuat
kontak otot-otot bantu pernafasan atau otot-otot intercostalis, sehingga

9
dapat meningkatkan mobilisasi sangkar thorak (Rab, 2010). Latihan ini
dibagi menjadi 3 bagian, yaitu sebagai berikut :
a. Tangan Fisioterapis di bawah costa
b. Tangan Fisioterapis di tengah costa
Tangan Fisioterapis dibagian atas kosta
3. Static Contraction
Static contractionmerupakan kontraksi otot tanpa disertai adanya
perubahan otot dan perubahan lingkup gerak sendi. Static contraction
dapat memperlancar peredaran darah, menurunkan nyeri dan dapat
mengurangi spasme otot-otot bantu pernafasan karena terjadinya rileksasi
otot-otot tersebut dan dilakukan secara terus-menerus (Kisner, 1996). Pada
kasus ini kontraksi otot yang dipertahankan adalah otot-otot bantu
pernafasan yaitu m. pectoralis mayor, m. pectoralis minor, dan
m.sternocleidomastoideus sinistra dengan dilakukan sekurang-kurangnya 6
detik. Untuk pengulangan dan intesitas disesuaikan dengan kondisi pasien dan
tujuan dari terapi itu sendiri. Pada pasein ini pengulangan dilakukan 5 sampai
10 kali (Kisner, 1996)

10
BAB III

PROSES FISIOTERAPI

B. Identitas Umum Pasien

Nama : Agustina Mano

Umur : 61 tahun

Jenis Kelamin : Perempuan

Pekerjaan : IRT

Alamat : Dusun Bela Jaya

Agama : Kristen Protestan

C. Anamnesis Khusus

Keluhan Utama : Nyeri

Lokasi Keluhan : Perut Kanan Atas

Riwayat PenyakitSekarang : Nyeri perut kanan atas dirasakan sejak 1 bulan

sebelum msasuk Rumah Sakit, nyeri semakin memberat pada tanggal 10

april 2019 seperti di tusuk-tusuk dan hilang timbul.Demam tidak ada,

keluhan batuk tidak ada, mual ada, muntah tidak ada.Napsu makan

menurun, dan berat badan menurun.

Riwayat Penyakit Dahulu : Tidak ada

D. Inspeksi/Observasi

1. Statis

 Pasien tidur diatas bed

11
 Pasien terlihat lemah

 Perut membesar

 Dada simetris

2. Dinamis

 Saat bernapas kedua dada naik

 Pernapasan pasien cepat

D. Pemeriksaan vital Sign

1. Tekanan Darah : 120/70 mmHg

2. Frekuensi Nadi : 82 x/menit

3. Frekuensi napas : 22 x/menit

4. Suhu Badan :36,70C

E. Pemeriksaan Spesifik dan Pengukuran Fisioterapi

1. Palpasi
Palpasi merupakan cara pemeriksaan dengan cara meraba, menekan, dan
memegang organ atau bagian tubuh pasien dimana untuk mengetahui:
 Nyeri tekan
 Spasme otot
 Suhu lokal
 Tonus otot
 oedema
2. Tes Perkusi
Teknik :
a. Tempatkan jari – jari di dinding dada ( anterior dan posterior ) lalu ketuk
pada kuku dengan 2 ujung jari tangan lainnya

12
b. Bunyi resonana adalah normal. Dan apabila terdapat bunyi dull dan datar
maka ada cairan atau tumor di dalam paru – paru. Dan untuk bunyi
hyperesonan jumlah udara meningkat dalam thoraks.
Hasil : Terdapat Bunyi dull pada middle Lobus bagian apical anterior.

3. Tes mobilitas thorax


a. Upper : Pasien tidur terlentang tanagan ft kedua ujung thumb berada
sejajar dengan clavicula pasien, anjurkan pasien menarik napas dan
hembuskan.
Hasil : Terasa gerakan costa kearah superior dam anterior
b. Middle : Posisi pasien duduk, tangan ft pada processus xypoideus,
anjurkan pasien untuk menarik napas dan hembuskan
Hasil : Gerakan costa ke arah anterior, lateral, dan superior
c. Lower : Posisi pasien duduk, tangan ft pada processus spynosus
anjurkan pasien untuk menarik napas dan hembuskan
Hasil : terdapat gerakan costa ke arah lateral, anterior, dan superior
Sulit dirasakan
4. Barthel index

Nilai Skor
No Saat
Fungsi Skor Keterangan Sebelum Minggu I Minggu Minggu Minggu Saat
. Masuk di
Sakit di RS II di RS III di RS IV di RS Pulang
RS
7/4/19 12/4/19
Tak terkendali/tak
0 teratur (perlu
1
Mengendalikan bantuan)
rangsang 2 2
defeksasi Kadang – kadang
1 1
tak terkendali
2 Mandiri
Tak
0 terkendali/pakai
Mengendalian kateter
2 rangsang Kadang – kadang 2 2
berkemih 1 tak terkendali
(1X24 jam)
2 Mandiri

13
Membersihkan Butuh
diri (seka muka, 0 pertolongan orang
3 lain 1 1
sisir rambut,
sikat gigi) 1 Mandiri
Tergantung
0 pertolongan orang
lain
Perlu
pertolongan
pada beberapa
Penggunaan
4 jamban, masuk kegiatan tetapi 2 1
dan keluar 1
dapat
mengerjakan
sendiri kegiatan
lain

2 Mandiri

0 Tidak mampu
Perlu di tolong

5 Makan 1 memotong 2 2
makanan

2 Mandiri
0 Tidak mampu
Perlu banyak
bantuan untuk
1
Berubah sikap bisa duduk
6 dari baring ke 3 2
(2orang)
duduk
Bantuan
2
minimal 2 orang

3 Mandiri

0 Tidak mampu

Bisa (pindah)
1
dengan kursi
Berpindah/Berjal
7 3 2
an Berjalan dengan
2
bantuan 1 orang

3 Mandiri
Tergantung
8 Memakai baju 0 2 1
orang lain

14
Sebagian
dibantu

1 (misalnya
memasang
kancing)

2 Mandiri

0 Tidak mampu
Butuh
Naik-turun
9 1 2 0
tangga pertolongan

2 Mandiri

0 Tergantung
10 Mandi 1 0
1 Mandiri

Total Skor : 20 14

Keterangan skor Barthel index


0-4 : Ketergantungan total
5-8 : Ketergantungan berat
9-11 : Ketergantungan sedang
12-19 : Ketergantungan ringan
20 : Mandiri
Hasil: Ketergantungan ringan(14)

15
F. Algorhitma Aasesment
Algorhitma Aasesment pada “Gangguan Aktivitas Fisik dan

Fungsional akibat Kondisi Efusi Pleura et causa Tumor Hepar”

History taking

Nyeri perut kanan atas dirasakan sejak 1 bulan sebelum msasuk Rumah Sakit, nyeri semakin
memberat pada tanggal 10 april 2019 seperti di tusuk-tusuk dan hilang timbul. Demam tidak
ada, keluhan batuk tidak ada, mual ada, muntah tidak ada.Napsu makan menurun, dan berat
badan menurun.

Inspeksi

1. Statis : Pasien tidur diatas bed, Pasien terlihat lemah, Perut membesar, Dada
simetris
2. Dinamis :Saat bernapas kedua dada naik, Pernapasan pasien cepat

Pemeriksaan fisik

Palpasi Tes Perkusi

Indeks barthel Tes mobilitas thorax

Diagnose ICF

“Gangguan Aktivitas Fisik dan Fungsional akibat 16


Kondisi Efusi Pleura et causa Tumor Hepar”
G. Diagnosa dan Problematik Fisioterapi (sesuai konsep ICF)

1. DiagnosaFisioterapi

“Gangguan Aktivitas Fisik dan Fungsional akibat Kondisi Efusi Pleura et

causa Tumor Hepar”

2. Problematik Fisioterapi

a. Impairment

 Adanya spasme atau ketegangan otot bantu pernafasan


yaitu pada m. pectoralis mayor, m. pectoralis minor, dan m.
sternocleidomastoideus dextra
 Adanya penurunan ekspansi sangkar thorak
 Adanya nyeri pada perut kanan atas
b. Fungsional Limitation
 Pasien mengalami penurunan aktivitas kerja sebagai ibu
rumah tangga dan mudah merasa lelah saat beraktivitas
c. Participation restriction
 kemampuan pasien untuk berinteraksi atau bersosialisasi
dengan masyarakat juga akan berkurang

17
H. Bagan ICF

kondisi/penyakit:
“Gangguan aktivitas fisik dan fungsional akibat
kondisi efusi pleura et causa tumor hepar”

Anatomical Impairment :
1. Adanya spasme atau Activity Limitation:
ketegangan otot bantu Participation Rectriction:
pernafasan yaitu pada m. Pasien mengalami
pectoralis mayor, m. penurunan aktivitas
pectoralis minor, dan m. kemampuan pasien
kerja sebagai ibu rumah untuk berinteraksi
sternocleidomastoideus dextra tangga dan mudah merasa atau bersosialisasi dengan
2. Adanya penurunan ekspansi lelah saat beraktivitas masyarakat juga akan
sangkar thorak berkurang
3. Adanya nyeri pada perut
kanan atas

I. Tujuan Fisioterapi
1. Tujuan jangka pendek
 Mengurangi spasme otot bantu pernapasan
 Meningkatkan eskpani sangkar thoraks
 Menurunkan nyeri perut
2. Tujuan jangka panjang
Memperbaiki, meningkatkan dan memelihara aktivitas fisik dan
fungsional pasien.

18
J. Rencana dan program Intervensi Fisioterapi

1. Abdominal Breathing Exercise


Abdominal breathing exercise adalah latihan pernafasan yang
dilakukan dibagian perut atau abdominal dan tujuannya adalah untuk
mengajarkan pasien menggunakan pernafasan perut, teknik penatalaksanaan:
fisioterapis meletakkan kedua tangannya pada bagian perut pasien dan
saat inspirasi instruksikan pasien untuk mengembungkan perutnya atau
dorong tangan fisioterapis kearah depan atau luar dan saat ekspirasi
kempiskan perut dan fisioterapis sambil mendorong dengan tangan secara
pelan kearah dalam mengikuti pola pernafasan pasien. Lakukan sebanyak
8 kali hitungan dan 10 kali pengulangan(Rab, 2010).
2. Thoracic Expansion Exercise
Sama seperti latihan abdominal breathing exercise, tetapi pada metode
ini tangan fisioterapis diletakkan pada dinding dada dengan tujuan untuk
mengkompresi dinding thorak ketika inspirasi agar dapat memperkuat
kontak otot-otot bantu pernafasan atau otot-otot intercostalis, sehingga
dapat meningkatkan mobilisasi sangkar thorak (Rab, 2010). Latihan ini
dibagi menjadi 3 bagian, yaitu sebagai berikut :
a. Tangan Fisioterapis di bawah costa
b. Tangan Fisioterapis di tengah costa
Tangan Fisioterapis dibagian atas kosta
4. Static Contraction
Static contraction merupakan kontraksi otot tanpa disertai adanya
perubahan otot dan perubahan lingkup gerak sendi. Static contraction
dapat memperlancar peredaran darah, menurunkan nyeri dan dapat
mengurangi spasme otot-otot bantu pernafasan karena terjadinya rileksasi
otot-otot tersebut dan dilakukan secara terus-menerus (Kisner, 1996). Pada
kasus ini kontraksi otot yang dipertahankan adalah otot-otot bantu

19
pernafasan yaitu m. pectoralis mayor, m. pectoralis minor, dan
m.sternocleidomastoideus sinistra dengan dilakukan sekurang-kurangnya 6
detik. Untuk pengulangan dan intesitas disesuaikan dengan kondisi pasien dan
tujuan dari terapi itu sendiri. Pada pasein ini pengulangan dilakukan 5 sampai
10 kali (Kisner, 1996)
K. Evaluasi Fisioterapi

Evaluasi dilakukan sebelum diberikan intervensi pada pasien.

Kemudian setelah diberikan intervensi, fisioterapi menilai apakah ada

perubahan yang di alami pasien sebelum dan sesudah diberikan intervensi.

L. Edukasi
Pasien dianjurkan untuk melakukan latihan pernapasan perut yang

telah diajarkan oleh FT tujuannya untuk mengajarkan pasien menggunakan

pernapasan perut

20
BAB IV

PENUTUP

DAFTAR PUSTAKA

https://docplayer.info/61010274-Laporan-pendahuluan-kasus-efusi-pleura.html

https://www.academia.edu/31825540/MAKALAH_PRESENTASI_KASUS_EFUSI_
PLEURA_Disusun_oleh
https://docplayer.info/47059463-Penatalaksanaan-fisioterapi-pada-efusi-pleura-di-
rsu-pku-muhammadiyah-yogyakarta.html

21

You might also like