You are on page 1of 73

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Perkembangan teknologi, peningkatan kesejahteraan dan pertumbuhan

ekonomi suatu negara di dunia termasuk Indonesia dipengaruhi oleh berbagai

sektor, salah satunya yaitu sektor industri. Menurut undang-undang No. 3 tahun

2014 tentang Perindustrian, industri adalah seluruh bentuk kegiatan ekonomi yang

mengolah bahan baku dan/atau memanfaatkan sumber daya industri sehingga

mampu menyelaraskan pembangunan dengan kelestarian fungsi lingkungan hidup

serta dapat memberikan manfaat bagi masyarakat.

Salah satu faktor yang menyebabkan rusaknya lingkungan hidup yang

sampai saat ini masih tetap menjadi masalah besar bagi bangsa Indonesia adalah

pembuangan sampah. Sampah – sampah diangkut oleh truk khusus dan dibuang

atau ditumpuk begitu saja ditempat yang sudah disediakan tanpa dilakukan

pengolahan selanjutnya. Hal tersebut tentunya sangat berpengaruh terhadap

lingkungan sekitar dimana lingkungan menjadi kotor dan sampah yang membusuk

akan menjadi bibit penyakit.

Berkaitan dengan hal tersebut, pemerintah membuat suatu kebijakan

strategis berupa deregulasi peraturan pemerintah tentang industri guna penguatan

peran serta industri guna penguatan peran serta industri dan kondusifitas iklim

usaha dalam negeri. Disisi lain dikarenakan sektor industri adalah sebuah kegiatan

usaha maka akan menghasilkan sampah dari aktivitas yang terjadi dalam industri

tersebut seperti dari sumber alam (guguran dedaunan, ranting tanaman yang
terdapat di taman di kawasan industri), aktivitas pekerja (sisa makanan dan

minuman) dan aktivitas administrasi industri (bekas alat tulis kantor).

Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 81 Tahun 2012

tentang Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah

Tangga saat ini perlu adanya perubahan paradigma yang mendasar dalam

pengelolaan sampah yaitu paradigma kumpul – angkut – buang menjadi

pengolahan yang betumpu pada pengurangan sampah dan penanganan sampah.

Menurut UU No. 18 tahun 2008 tentang pengelolaan sampah pasal 1 ayat 1

definisi sampah adalah sisa kegiatan sehari – hari manusia dan atau poses alam

yang berbentuk padat. Pada dasarnya, sampah dapat dibedakan menjadi dua

macam yaitu sampah organik dan sampah anorganik. Sampah organik adalah

sampah yang mudah membusuk dan dapat diolah langsung menjadi kompos.

Sedangkan sampah anorganik adalah sampah yang tidak mudah membusuk dan

pengolahannya dapat dijadikan sebagai sampah komersil untuk dijadikan produk

lainnya. Sampah – sampah tersebut apabila tidak dikelola dengan baik akan

menimbulkan dampak negatif. Dampak yang ditimbulkan oleh sampah dapat

berupa permasalahan terhadap kehidupan manusia maupun gangguan pada

lingkungan seperti tumpukan sampah yang menjadi tempat perkembangbiakan

vektor pembawa penyakit, menurunnya nilai estetika kawasan industri dan

terjadinya pencemaran lingkungan akibat zat – zat yang terkandung dalam sampah

yang dapat mencemari lingkungan, maupun sampah anorganik yang sulit

terurai.Untuk itu perlu dilakukannya tindakan pengelolaan sampah agar dampak

negatif tersebut tidak terjadi dan kelestarian fungsi lingkungan hidup tetap terjaga.
Menurut UU No. 18 tahun 2008 pasal 1 ayat 5 pengelolaan sampah adalah

kegiatan yang sistematis, menyeluruh dan berkesinambunganyang meliputi

pengurangan dan penanganan sampah berupa pengaturan timbulan sampah,

penyimpanan sementara, pengumpulan dan pemindahan, pengangkutan dan

pengolahan akhir sampah dengan prinsip tidak menimbulkan dampak negatif dan

proses pengelolaan sampah yang dilakukan.

PT. Aqua Golden Mississipi.Tbk merupakan industri yang bergerak

dibidang pengolahan air minum dalam kemasan. PT. Aqua Golden Mississipi.Tbk

secara resmi didirikan pada tahun 1994 berlokasi di Jl.Raya Siliwangi No 70 Desa

Mekarsari, Kecamatan Cicurug Kabupaten Sukabumi. Luas lahan yang dimiliki

PT Aqua Golden Mississpi.Tbk adalah 58.455 m2, dimana 70% dari total luas

lahan tersebut merupakan lahan terbuka hijau. Jumlah tenaga kerja pada tahun

2018 di PT. Aqua Golden Mississipi.Tbk berjumlah 1137 orang, terdiri dari

karyawan kontrak dan tetap dengan jumlah karyawan perempuan sebanyak 98

orang dan karyawan laki-laki 1039 orang. Kepemilikan modal seluruhnya (100%)

sebagai perusahaan Pemilik Modal Asing (PMA). (Data PT.Aqua Golden

Mississipi).

Sampah yang dihasilkan di PT. Aqua Golden Mississipi.Tbk terbagi atas

dua jenis berdasarkan sumbernya yaitu sampah produksi dan sampah non

produksi. Sampah produksi yang dihasilkan berupa Plastik sisa dari prodoksi

kemasan air minum, Sampah non produksi yang dihasilkan terdiri dari sampah

kantor, sampah kantin, dan sampah taman. Sampah kantor berupa kertas dan

plastik. Sampah kantin berupa plastik, sisa makanan, dan sayuran. Sampah taman

berupa daun, ranting, dan rumput.


Timbulan sampah non produksi di PT. Aqua Golden Mississipi.Tbk pada

tanggal 22 – 27 April 2019 yaitu

Jenis Sampah Berat Sampah (kg) Rata-


22 23 24 25 26 27 rata
Sampah rumput dan daun 85 56 41 52 35 57 54
Sobekan Karton eks istirahat sopir 65 36 74 60 75 47 59
Sampah Makanan sisa (sumber: warung sopir) 29 25 29 26 99 50 43
Sampah Plastik cup/ botol bekas (Sumber: 54 121 42 37 80 77 68
warung sopir)
Sumber: Data PT. Aqua Golden Mississipi.Tbk

Tabel 1.1 Timbulan sampah PT.Aqua Golden Mississipi.Tbk

Timbulan sampah di PT Aqua Golden Mississipi.Tbk Selama ini belum ada

pengolahan, sampah yang dihasilkan diangkut oleh pihak ke tiga yaitu CV Maju

Jaya. Namun tidak seluruhnya sampah diangkut secara langsung oleh pihak ketiga

sehingga timbulan sampah menumpuk dan menjadi tempat berkembangbiaknya

vektor seperti lalat, dan akan memberikan dampak yang negatif bagi kehidupan

manusia khususnya karyawan perusahaan dan warga sekitar perusahaan.Menurut

undang-undang No. 18 Tahun 2008 bahwa setiap orang dalam pengelolaan

sampah rumah tangga dan sampah sejenis sampah rumah tangga wajib

mengurangi dan menangani sampah dengan cara yang berwawasan lingkungan.

Salah satunya dengan metode pengelolaan sampah organik yang dapat

dilakukan yaitu pengomposan. Proses pengomposan atau membuat kompos

adalah proses penguraian senyawa-senyawa yang terkandung dalam sisa-sisa

bahan organik (seperti jerami, daun-daunan, sampah rumah tangga, dan

sebagainya) dengan suatu perlakuan khusus (Hieronymus, 2011). Tujuan daripada

pengomposan yaitu agar lebih mudah dimanfaatkan oleh tanaman. Hasil

pengomposan inilah yang biasanya disebut dengan pupukkompos.


Berbagai jenis teknologi pengomposan dapat digunakan untuk menangani

permasalahan timbulan sampah organik. Metode pengomposan dapat dibagi

menjadi dua yaitu secara aerob dan anaerob. Metode yang cukup efektif untuk

pengomposan yaitu dengan metode aerob. Metode ini mempunyai biaya yang

relatif murah dan proses penerapan yang mudah. Namun, pada proses

pengomposan membutuhkan waktu yang cukup lama, sehingga dianggap kurang

efisien. Akan tetapi, terdapat cara untuk mempercepat proses pengomposan yaitu

dengan menambahkan Mikroorganisme Lokal (MOL) sebaga bioaktivator.

Aktivator terdiri atas dua kategori, yaitu aktivator abiotik dan aktivator

biotik (bioaktivator) (Untung, 2014). Aktivator abiotik dapat berupa bahan kimia

atau biokimia yang dapat memacu pembusukan bahan organik. Sedangkan

aktivator biotik (bioaktivator) diartikan sebagai bahan bioaktif yang mampu

merombak bahan-bahan organik. Bioaktivator merupakan isolat mikroba yang

telah dimurnikan dan mumpunyai kemampuan khusus mencerna bahan organik

yang mengandung selulosa (Untung, 2014). Salah satu bioaktivator yang mudah

ditemukan yaitu mikroorganisme lokal(MOL).

MOL merupakan mikroorganisme hasil fermentasi dari bahan yang terdapat

dilingkungan sekitar dan mudah diperoleh. Salah satu bahan baku utama

pembuatan MOL yaitu karbohidrat, glukosa, dan sumber bakteri (Mulyono,

2016). Sumber bakteri dapat diperoleh dari nasi yang telah telah basi. Jenis

mikroba yang terkandung dalam MOL nasi basi adalah Sachharomyces cerevicia

dan Aspergillus sp yang berperan dalam pengomposan.

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Royaeni, dkk (2014) lama

waktu pengomposan dengan menggunakan bioaktivator MOL nasi adalah rata-


rata 13 hari dengan dosis bioaktivator yang digunakan sebanyak 20 ml untuk 500

gram sampah.

Dari uraian diatas memberikan gambaran bahwa pengelolaan sampah

organik belum berjalan sesuai dengan yang seharusnya, untuk itu dalam

penelitianini peneliti tertarik untuk menyelesaikan permasalahan mengenai

penanganan sampah organik di PT Aqua Golden Misisspi dengan cara

pengomposan yang mudah dan cepat menggunakan Mikroorganisme Lokal

(MOL) Pepaya dan tapai Ketan. Maka peneliti akan mengangkat judul “Perbedaan

Mikroorganisme Lokal (MOL) Pepaya dan Tapai Ketan sebagai Bioaktivator

terhadap lama waktu terbentuknya kompos sampah organik”.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian dalam latar belakang diatas, maka dapat dirumuskan

masalah penelitian sebagai berikut: “Apakah terdapat perbedaan Mikroorganisme

Lokal (MOL) Pepaya dan Tapai ketan sebagai bioaktivator terhadap lama waktu

terbentuknya kompos sampah organik”.

1.3. Tujuan Penulisan

1.3.1 Tujuan Umum

Mengetahui Perbedaan Mikroorganisme Lokal (MOL) Pepaya dan Tapai

Ketan terhadap lama waktu tebentuknya kompos sampah organik di PT Aqua

Golden Misissipi.Tbk.

1.3.2 Tujuan Khusus


1. Mengetahui Perbedaan Mikroorganisme Lokal (MOL) Pepaya dan

MOL Tapai Ketan terhadap lama waktu tebentuknya kompos sampah

organik

2. Mengetahui Jenis Mikroorganisme Lokal (MOL) yang efektif terhadap

Lama waktu terbentuknya kompos sampah organik.

1.4. Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini ditujukan untuk pengendalian pengolahan sampah organik di

PT Aqua Golden Misissipi dengan menerapkan proses komposting dan

penambahan Mikroorganisme Lokal (MOL) pepaya dan Tapai ketan dengan

tujuan untuk mempercepat proses pengkomposan dengan menggunakan

komposter sehingga diharapkan dengan adanya teknologi ini tidak akan

menimbulkan pencemaran lingkungan karena pembuangan sampah daun, sampah

sisa bahan makan dan sisa makanan. Lingkup penelitian ini adalah mengetahui

Perbedaan Mikroorganisme Lokal (MOL) Pepaya dan Tapai Ketan dalam proses

mempercepat pengkomposan.

1.5. Manfaat Penelitian

1.5.1 Bagi Peneliti

Menerapkan ilmu mengenai penyehatan tanah dan pengelolaan sampah dan

ilmu terkait lainnya yang telah didapat dan menambah wawasan serta pengalaman

dalam menganalisis permasalahan kesehatan Lingkungan khususnya pengelolaan

sampah di PT Aqua Golden Misissipi Mekarsari.


1.5.2 Bagi Institusi

Menambah bahan kepustakaan yang dimiliki institusi sebagai media edukasi

baik untuk bahan bacaan maupun memberikan referensi untuk mahasiswa yang

ingin melakukan penelitian yang lebih lanjut khususnya dalam pengolahan

sampah organik.

1.5.3 Bagi PT Aqua Golden Misissipi Mekarsari

Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam

penerapan pengelolaan sampah khususnya sampah organik di PT. Aqua Golden

Misissipi
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sampah

2.1.1 Definisi Sampah

Menurut undang – undang nomor 18 tahun 2008 tentang pengelolaan

sampah, sampah adalah sisa kegiatan sehari –hari manusia dan/atau proses alam

yang berbentuk padat. Selanjutnya yang dimaksud dengan sampah menurut

WHO, sampah adalah sesuatu yang dibuang berasal dari kegiatan manusia dan

tidak terjadi dengan sendirinya. Para ahli kesehatan masyarakat Amerika

membuat batasan, sampah (waste) adalah sesuatu yang tidak digunakan, tidak

dipakai, atau sesuatu yang dibuang berasal dari kegiatan manusia dan tidak terjadi

dengan sendirinya (Notoatmodjo,2007)

Sampah adalah suatu bahan yang terbuang atau dibuang dari sumber hasil

aktivitas manusia maupun alam yang belum memilikinilai ekonomis (Tim penulis

penebar Swadaya dalam salipadang,2011), sedangkan menurut Tanjung dalam

Alex (2012:3) sampah merupakan “sesuatu yang tidak berguna lagi, dibuang oleh

pemiliknya atau pemakai semula” Alex (2014:4) menyimpulkan bahwa sampah

adalah “ barang yang tidak berharga, tidak memiliki nilai ekonomis, tidak berguna

dan sudah tidak diinginkan lagi”.

Menurut Soemirat Slamet (2004), sampah adalah segala sesuatu yang tidak

lagi dikehendaki oleh yang punya dan bersifat padat. Sampah ada yang mudah

membusuk dan ada pula yang tidak mudah membusuk. Sampah yang mudah

membusuk terdiri dari zat – zat organik seperti sayuran, sisa daging, daun, dan
lain sebagainya, sedangkan yang tidak mudah membusuk berupa plastik, kertas,

karet, logam, abu sisa pembakaran dan lain sebagainya.

Sumber sampah umumnya berasal dari perumahan dan pasar. Pengolahan

sampah menurut Undang-Undang No.81 tahun 2012 yaitu dengan cara

pemadatan, pengomposan, daur ulang materi dan/atau daur ulang energi.

Pengolahan tersebut dapat dilakukan oleh setiap orang pada sumbernya, pengelola

kawasan permukiman, pengelola kawasan komersial, pengelola kawasan industri,

fasilitas umum dan fasilitas lainnya serta pemerintahkabupaten/kota.

2.1.2 Jenis Sampah

Berbicara tentang sampah, sebenarnya sampah meliputi 3 jenis sampah

yakni : sampah berbentuk padat, sampah berbentuk cair, dan sampah dalam

bentuk gas (fume, smoke). Akan tetapi seperti yang telah disebutkan diatas, bahwa

dalam konteks ini hanya akan dibahas mengenai sampah berbentukpadat.

Menurut AmosNoelaka (2008:67) sampah dibagi menjadi 3 bagian yakni:

1. Sampah Organik

Sampah organik merupakan barang yang dianggap sudah tidak

terpakai dan dibuang oleh pemilik/pemakai sebelumnya tetapi masih bisa

dipakai, dikelola dan dimanfaatkan dengan prosedur yang benar. Sampah ini

dengan mudah dapat diuraikan melalui proses alami. Sampah organik

merupakan sampah yang mudah membusuk seperti sisa daging, sisa sayuran,

daun – daun, sampah kebun dan lainnya.

2. Sampah Non Organik

Sampah non organik adalah sampah yang dihasilkan dari bahan –

bahan non hayati, baik berupa produk sintetik maupun hasil proses teknologi
pengolahan bahan tambang. Sampah ini merupakan sampah yang tidak

mudah membusuk seperti kertas, plastik, logam, karet, abu gelas, bahan

bangunan bekas dan lainnya. Menurut Gelbert (1996) sampah jenis ini pada

tingkat rumah tangga misalnya plastik, botol minuman mineral, besi, kaca

(beling), kain atau baju dan kaleng.

3. Sampah B₃ (Bahan Berbahaya Beracun).

Pada sampah berbahaya beracun (B₃), sampah initerjadi dari zat kimia

organik dan nonorganik serta logam – logam berat, yang umumnya berasal

dari buangan industri. Pengelolaan Sampah B₃ tidak dapat dicampurkan

dengan sampah organik maupun anorganik. Biasanya ada badan khusus yang

dibentuk untuk mengelola sampah B₃ sesuai peraturan berlaku.

2.1.3 Karakteristik Sampah

Karakteristik sampah terbagi atas beberapa aspek, yakni sebagai berikut :

1. Sampah Basah (Garbage) adalah jenis sampah yang terdiri sisa-sisa

potongan hewan atau sayuran dari hasil pengolahan. Pembuatan dan

penyediaan makanan yang sebagian besar terdiri dari zat-zat yang

mudah membusuk.

2. Sampah kering (Rubbish) adalah sampah yang dapat terbakar dan tidak

dapat terbakar yang berasal dai rumah – rumah, pusat-pusat

perdagangan dan kantor –kantor.

3. Abu (Ashes) adalah sampah yang berasal dari sisa pembakaran dari zat

yang mudah terbakar seperti rumah, kantor, maupun pabrik – pabrik

industri.
4. Sampah jalanan (street Sweefing) adalah sampah yang berasal dari

pembersihan jalan dan trotoar, baik dengan tenaga manusia maupun

dengan tenaga mesin yang terdiri dari sampah kertas, sampah daun dan

lain – lain.

5. Bangkai binatang (Dead Animal) adalah jenis sampah berupa sampah –

sampah biologis yang berasal dari bangkai binatang yang mati karena

alam, penyakit atau kecelakaan.

6. Sampah rumah tangga (Household Reuse) merupakan sampah

campuran yang terdiri dari rubish, garbage, ashes yang berasal dari

perumahan.

7. Bangkai kendaraan (AbandondedVehicles) adalah sampah yang berasal

dari bangkai – bangkai mobil, truk, kereta api.

8. Sampah industri merupakan sampah padat yang berasal dari industri –

industri pengolahan hasil bumi/ tumbuh-tumbuhan dan industri lain

(rahman,2009).

9. Sampah pembangunan (Demolotion waste) yaitu sampah dari proses

pembangunan gedung, rumah dan sebagainya, yang brupa puing –

puing, potongan – potongan kayu, besi beton, bambu dan sebagainya

(Notoadmojo:2003)

10. Sampah khusus adalah jenis sampah yang memerlukan penanganan

khusus misalnya kaleng cat, film bekas, zat radioaktif dan lain –lain

(Mukono , dalam Maritsa, 2009).


2.1.4 Komposisi sampah

Komposisi sampah merupakan penggambaran dari masing – masing

komponen yang terdapat pada sampah dan distribusinya. Data ini penting untuk

mengevaluasi peralatan yang diperlukan, sistem, pengolahan sampah dan rencana

manajemen persampahan suatu kota. Pengelompokkan sampah yang paling sering

dilakukan adalah berdasarkan komposisinya, misalnya dinyatakan sebagai %berat

atau % volume dari kertas, kayu, kulit, karet, plastik, logam, kaca, kain, makanan,

dan sampah lain – lian (Damanhuri dan Padmi, 2004)

Semakin sederhana pola hidup masyarakat semakin banyak komponen

sampah organik (sisa makanan dan lain – lain) . dan semakin besar seta bergam

aktivitas suatu kota, semakin kecil proporsi sampah yang berasal dari kegiatan

rumah tangga.

Komposisi sampah dipengaruhi oleh faktor-faktor sebagai berikut

(Tchobanoglous,1993):

1. Semakin sering sampah dikumpulkan, semakin tinggi tumpukan sampah

terbentuk. Sampah kertas dan sampah kering lainnya akan tetap bertambah,

tetapi sampah organik akan berkurang karena terdekomposisi.

2. Jenis sampah akan ditentukan oleh musim.

3. Kondisi ekonomi yang berbeda menghasilkan sampah dengan komponen

yang berbeda pula. Semakin tinggi tingkat ekonomi suatu masyarakat,

produksi sampah kering deperti kertas, plastik dan kaleng cenderung tinggi,

sedangkan sampah makanannya lebih rendah. Hal ini disebabkan oleh pola

hidup masyarakat ekonomi tinggi yang lebih praktis dan bersih.


4. Di daerah yang kandungan airnya cukup tinggi, kelembaban sampahnya juga

cukup tinggi.

5. Kemasan produk bahan kebutuhan sehari – hari juga akan mempengaruhi

komposisi sampah.

2.1.5 TimbulanSampah

Timbulan sampah adalah volume sampah atau berat sampah yang dihasilkan

dari jenis sumber sampah diwilayah tertentu persatuan waktu m³/h (Departemen

Pu,2004). Timbulan sampah adalah sampah yang dihasilkan dari sumber sampah

(SNI,1995). Timbulan sampah sangat diperlukan untuk menentukan dan

mendesain peralatan yang digunakan dalam transportasi sampah, fasilitas recovery

material dan fasilitas lokasi pembuangan akhir (LPA) sampah. Menurut SNI 19-

3964-1995, bila pengamatan lapangan belum tersedia, maka untuk menghitung

besaran sistem dapat dihitung angka timbulan sampah sebagai berikut:

1. Satuan timbulan sampah kota sedang 2,75 – 3,25 L/orang/hari atau 0,070 –

0,080 kg/org/hari.

2. Satuan Timbulan sampah kota kecil = 2,5 – 2,75 L/orang/hari atau 0,625 –

0,70 kg/orang/hari

Keterangan :

Untuk kota sedang jumlah penduduknya 100.000<p<500.000.

Untuk kota kecil jumlah penduduknya <100.000

Prakiraan timbulan sampah baik untuk saat sekarang maupun dimasa

mendatang merupakan dasar dari perencanaan, perancangan, dan pengkajian

sistem pengelolaan persampahan. Prakiraan timbulan sampah merupakan langkah


awal yang biasa dilakukan dalam pengelolaan persampahan.satuan

timbulansampah biasanya dinyatakan sebagai satuan skala kuantitas perorangatau

perunit bangunan dan sebagainya. Rata – rata timbulan sampah tidak akan sama

antara satu darah dengan daerah lainnya, atau suatu negara dengan negara lainnya.

Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor antara lain (Damanhuri dan Padmi, 2004)

1. Jumlah penduduk dan tingkat pertumbuhannya

2. Tingkat Hidup

3. Perbedaan Musim

4. Cara hidup dan mobilitas hidup

5. Iklim

6. Cara penanganan makanannya

2.1.6 SumberSampah

Sumber – sumber sampah menurut Warsidi (2008), yaitu :

1. Sampah yang berasal dari permukaan ( domestic waste)

Sampah ini terdiri dari bahan-bahan padat sebagai hasil kegiatan rumah

tangga yang sudah dipakai dan dibuang, seperti: sisa-sisa makanan baik yang

dimasak atau yang belum, bekas pembungkus berupa kertas, bahan-bahan

bacaan, perabot rumah tangga, daun-daun dari kebun atau taman.

2. Sampah yang berasal dari tempat – tempat Umum

Sampah ini berasal dari tempat-tempat umum seperti pasar, tempat-tempat

hiburan, terminal bus, stasiun kereta api, dan sebagainya. Sampah ini berupa:

kertas, plastik, botol, daun dan sebagainya.

3. Sampah yang berasal dari perkantoran


4. Sampah dari perkantoran baik perkantoran, pendidikan, perdagangan,

departemen, perusahaan, dan sebagainya. Sampah ini berupa kertas-kertas,

plastik, karbon klip-klip, dan sebagaimana umunya sampah ini bersifat kering

dan mudah terbakar(Rubbish).

5. Sampah yang berasal dari jalan raya

6. Sampah ini berasal dari pembersihan jalan, yang umumnya terdapat kertas,

kardus-kardus, debu, batu-batuan, pasir, sobekan ban, onderdil kendaraan

yang jatuh, daun-daunan, plastik dan sebagainya.

7. Sampah yang berasal dari Industri (Industry waste)

Sampah ini berasal dari kawasan industri, dan segala sampah yang berasal

dari proses produksi, misalnya: sampah-sampah pengepakan barang, logam,

plastik, potongan tekstil, kaleng dan sebagainya.

8. Sampah yang berasal dari pertanian dan perkebunan

Sampah ini sebagai hasil dari perkebunan atau pertanian misalnya: jerami,

sisa sayur-mayur, batang padi, batang jagung, ranting kayu yang patah dan

sebagainya.

9. Sampah yang berasal dari pertambangan

Sampah ini berasal dari daerah pertambangan, dan jenisnya tergantung dari

jenis usaha pertambangan itu sendiri misalnya: batu-batuan, tanah, pasir, sisa-

sisa pembakaran (arang) dan sebagainya

10. Sampah yang berasal dari peternakan danperikanan

Sampah yang berasal dari peternakan dan perikanan ini berupa: kotoran-

kotoran ternak, sisa-sisa makanan, bangkai binatang dan sebagainya.


2.1.7 Pengelolaan Sampah

Pengelolaan sampah adalah kegiatan yang sistematis, menyeluruh yang

berkesinambungan meliputi pengurangan dan penanganan sampah. Menurut Sejati

(2009), pengelolaan sampah adalah semua kegiatan yang dilakukan untuk

menangani sampah sejak ditimbulkan sampai dengan pembuangan akhir. Secara

garis besar, kegiatan pengelolaan sampah meliputi pengendalian timbulan

sampah, pengumpulan sampah, transfer dan transport, pengolahan dan

pembuanganakhir

1. Penimbulan Sampah (Solid WasteGenerated)

Pada dasarnya sampah itu tidak diproduksi, tetai ditimbulkan. Oleh karena itu

dalam menentukan metode penanganan yang tepat, penentuan besarnya

timbulan sampah sangat ditentukan oleh pelaku dan jenis kegiatannya.

Idealnya, untuk mengetahui besarnya timbulan yang terjadi, harus dilakukan

dengan studi. Tetapi untuk keperluan praktis, telah ditetapkan suatu standar

yang disusun oleh Departemen Pekerjaan Umum, salah satunya SK SNI A-

04-1993-03 tentang Spesifikasi TimbulanSampah.

2. Penanganan di tempat (On SiteHandling)

Adapun yang dimaksud dengan penanganan di tempat atau pada sumbernya

adalah semua perlakuan terhadap sampah yang dilakukan sebelum sampah

ditempatkan di lokasi tempat pembuangan. Suatu material yang sudah

dibuang atau tidak dibutuhkan, sering kali masih memiliki nilai ekonomis.

Penanganan sampah di tempat, dapat memberikan pengaruh yang signifikan

terhadap penanganan sampah pada tahap-tahap selanjutnya. Kegiatan pada

tahap ini bervariasi menurut jenis sampahnya, antara lain meliputi pemilahan
(sorting), pemanfaatan kembali (reuse), dan daur ulang recycle). Tujuan

utamanya adalah untuk mereduksi besarnya timbulan sampah (reduce).

1. Pengumpulan(Collecting)

Pengumpulan ini merupakan tindakan pengumpulan sampah dari

sumbernya menuju TPS dengan menggunakan gerobak dorong atau

mobil pick-up khusus sampah.

2. Pengangkutan(Transfer/transport)

Pengangkutan merupakan usaha pemindahan sampah dari TPS menuju

TPA dengan menggunakan truk sampah.

3. Pengolahan(Treatment)

Sampah dapat diolah tergantung pada jenis dan komposisinya. Berbagai

alternative yang tersedia dalam proses pengolahan sampah diantaranya

dalah sebagai berikut:

1) Tranformasi fisik, meliputi pemisahan sampah dan pemadatan yang

bertujuan untuk mempermudah penyimpanan danpengangkutan.

Pembakaran (incinerate), merupakan teknik pengolahan sampah

yang dapat mengubah sampah menjadi bentuk gas, sehingga

volumenya dapat berkurang hingga 90-95%. Meski merupakan

teknik yang efektif, tetapi bukan merupakan teknik yang dianjurkan.

Hal ini disebabkan karena teknik tersebut sangat berpotensi untuk

menimbulkan pencemaran udara. Di samping itu teknik baru ini

akan berfungsi dengan baik bila kualitas sampah yang dilah

memenuhi syarat tertentu, seperti tidak terlalu banyak mengandung

sampah basah danmempunyainilai kalor yang cukup tinggi. Limbah


padat yang dibakar menimbulkan asap, bau, dan debu. Pembakaran

sampah menjadi sumber pencemaran udara dengan memunculkan

bahan pencemar seperti hidrokarbon, karbon monoksida, bau,

partikel, dan sulfur dioksida (Arief, 2016).

1) Pembuatan kompos (composting), yaitu mengubah sampah

melalui proses mikrobiologi menjadi produk lain yang dapat

dipergunakan. Output dari proses ini adalah kompos dan gas bio.

2) Energy recovery, yaitu transformasi sampah menjadi energy,

baik energy panas maupun energi listrik. Metode ini telah banyak

dikembangkan di negara-negaramaju.

4. Pembuangan Akhir

Pembuangan akhir sampah harus memenuhi syarat kesehatan dan

kelestarian lingkungan. Teknik yang saat ini dilakukan adalah open

dumping, yaitu sampah yang ada hanya ditempatkan begitu saja hingga

kapasitasnya tidak lagi terpenuhi. Teknik ini berpotensi menimbulkan

gangguan terhadap lingkungan. Adapun teknik yang direkomendasikan

adalah sanitary landfill, yaitu pada lokasi TPA dilakukan kegiatan-

kegiatan tertentu untuk mengolah timbunansampah.

2.2 Kompos

2.2.1 Definisi Kompos

Kompos merupakan istilah untuk salah satu pupuk organik buatan manusia

yang dibuat dari proses pembusukan sisa-sisa bahan organik (tanaman maupun

hewan). Proses pengomposan dapat berlangsung secara aerobik dan anerobik


yang saling menunjang pada kondisi lingkungan tertentu, secara keseluruhan

proses ini disebut dekomposisi atau penguraian (Habibi,2008).

Proses pengomposan kompos sebenarnya meniru proses terbentuknya

humus di alam. Namun dengan cara merekayasa kondisi lingkungan kompos

dapat dipercepat proses pembuatannya, yaitu hanya dalam jangka waktu 30-90

hari. Waktu ini melebihi kecepatan terbentuknya humus secara alami. Oleh

karena itulah kompos selalu tersedia sewaktu-waktu diperlukan tanpa harus

menunggu bertahun-tahun (Habibi,2008).

Menurut Isroi (2008) semua bahan padat dapat dikomposkan misalnya

seperti limbah organik rumah tangga, sampah-sampah organik pasar/kota, kertas,

kotoran/limbah perternakan, limbah pertanian, limbah agroindustri, limbah

pabrik kertas, limbah pabrik gula, limbah pabrik kelapa sawit, dan lain-lain.

Dalam hal ini, yang mendapat perhatian adalah bahwa pembuatan kompos

melibatkan organisme yang ada didalam tanah. Faktor-faktor tersebut yang

mempengaruhi kegiatan organisme dalam melakukan dekomposisi bahan organik

antara lain: rasio C/N, ukuran partikel yang dikomposisi, aerasi, porositas,

kandungan air, suhu, pH, kandungan hara dan kandungan berbahaya.

2.2.2 Pinsip Dasar Pembuatan Kompos

Salah satu bentuk pengolahan sampah pada skala rumah tangga adalah

dengan mengolah sampah menjadi kompos. Proses pembuatan kompos pada

dasarnya meniru proses terjadinya humus di alam dengan bantuan

mikroorganisme. Mikroorganisme yang berperan dalam proses pengomposan ada

dua, yaitu mikroorganisme yang bekerja pada kadar oksigen rendah (anaerob)
dan mikroorganisme yang bekerja pada kadar oksigen tinggi (aerob). Meskipun

menghasilkan produk akhir yang sama (kompos), perbedaan proses pembuatan

kompos akan mempengaruhi proses pembuatan kompos (Suryati, 2014).

Menurut Djuarnani (2005) Pengomposan merupakan proses dekomposisi

terkendali secara biologis terhadap limbah organik dalam kondisi aerob (terdapat

oksigen) atau anaerob (tanpa oksigen). Dalam proses pengomposan secara aerob

banyak koloni bakteri yang berperan dan ditandai dengan adanya perubahan

temperatur. Produk metabolisme yang dihasilkan dari proses pengomposan aerob

adalah CO2, air, dan panas. Sedangkan dalam proses pengomposan secara

anaerob akan menghasilkan metan, CO2, alkohol dan senyawa lain seperti asam

organik yang memiliki berat molekul rendah.

2.2.3 Pembuatan Kompos Aerob

Pengomposan secara aerob harus berlangsung dalam keadaan terbuka

karena membutuhkan oksigen. Dalam hal ini, udara bebas harus bersentuhan

langsung dengan bahan baku kompos berupa sampah organik. Pengontrolan

terhadap kadar air, suhu, pH, kelembaban, ukuran bahan, volume tumpukan

bahan, dan pemilahan bahan perlu dilakukan secara intensif untuk

mempertahankan proses pengomposan agar stabil sehingga diperoleh proses

pengomposan yang optimal, kualitas maupun kecepatannya. Selain itu untuk

memperlancar udara masuk kedalam bahan kompos pengontrolan secara intensif,

ini merupakan ciri khas proses pengomposan secara aerob. Oleh karena itu,

kegiatan operasional pengomposan secara aerob relatif lebih sibuk dibandingkan

secara anerob (Habibi, 2008).


Hasil akhir pengomposan yaitu bentuk fisiknya sudah menyerupai tanah

yang bewarna kehitaman, strukturnya remah tidak menggumpal, jika dilarutkan

dalam air, kompos yang sudah matang tidak akan larut. suhunya normal dan

cenderung konstan (tetap). Apabila bentuknya sudah seperti ini maka kompos

aerob siap digunakan pada tanaman atau dikemas dalam wadah

(Simamora,2006).

Dalam pembuatan kompos secara aerob agar lebih berkualitas baik,

beberapa hal yang perlu diperhatikan antara lain sebagai berikut:

1. Rasio C/N bahan pada pengomposan secaraaerob

Nilai C/N merupakan hasil perbandingan antara karbon (C) dan kadar

nitrogen(N) pada suatu bahan.Semua mahluk hidup tersusun dari sejumlah

besar bahan karbon (C) serta nitrogen (N) dalam jumlah kecil. Pembuatan

kompos yang optimal membutuhkan rasio C/N 25:1 sampai dengan 30:1.

Sebagai contoh, limbah rumah tangga padat (sampah) organik yang tercampur

mempunyai rata-rata kandungan rasio C/N sekitar 15:1 sehingga perlu adanya

penambahan unsur C agar mencapai atau mendekati perbandingan rasio C/N

25:1 hingga 30: 1. Kisaran nilai rasio C/N 25:1 hingga 30:1 merupakan nilai

perbandingan unsur C/N yang terbaik agar bakteri dapat bekerja sangat cepat.

Selama proses dekomposisi bahan organik mentah (sampah) menjadi kompos

akan terjadi berbagai perubahan hayati yang dilakukan oleh mikroorganisme

sebagai aktivator, dengan perubahan tersebut maka kadar karbohidrat akan

hilang atau turun dan senyawa nitrogen yang larut (amonia) akan meningkat.

Dengan demikian, C/N semakin rendah dan relatif stabil mendekati C/Ntanah.

2. Ukuran Bahan
Aktivitas mahlukhidup pengurai dalam proses pengolahan kompos

juga dipengaruhi oleh ukuran bahan. Semakin kecil ukuran bahan baku

kompos yang digunakan, proses dekomposisi akan semakin cepat karena

bidang permukaan bahan yang kontak dengan mikroorganisme aktivator

semakin luas. Oleh karena itu, sampah sebaiknya dipotong-potong/dicacah

menjadi ukuran lebih kecil, yaitu 3-5 cm untuk bahan yang tidak keras.

Sementara bahan yang keras sebaiknya berukuran 0,5-1 cm.

3. Kandungan Air dan aerasi

Kandungan air bahan yang akan dijadikan kompos minimum 35-40%

dan maksimum 60-70%. Kandungan air akan berkaitan langsung dengan

ketersediaan oksigen untuk aktivitas mikroorganisme arobik. Bila kadar air

bahan berada pada kisaran 40-60% maka mikroorganisme pengurai aerobik

akan bekerja secara optimal dan menyebabkan dekomposisi berjalan cepat.

Akan tetapi, bila kadar air lebih dari 60%, akan menyebabkan kondisinya

anaerobik. Dengan demikian, mikroorganisme aerobik tidak dapat berfungsi

dan mengakibatkan proses pengomposan tidak sempurna atau berjalan lambat.

Sebagian proses akan beralih ke anaerobik dan menghasilkan CO2serta

senyawa-senyawa organik, seperti asam organik dan sering menimbulkan bau

busuk. Agar tidak kekurangan oksigen, biasanya tumpukan bahan dibalik atau

dibantu dengan menggunakanblower.

4. Porositas

Porositas adalah ruang diantara partikel di dalam tumpukan kompos.

Porositas dihitung dengan mengukur volume rongga dibagi dengan volume

total. Rongga ini akan diisi oleh air dan udara. Udara akan mensuplai oksigen
untuk proses pengomposan. Apabila rongga di penuhi oleh air, maka pasokan

oksigen akan berkurang dan proses pengomposan juga akan terganggu.

5. Suhu Temperatur

Suhu ideal untuk pengomposan secara aerob yaitu diantara 45-65°C.

Untuk mengetahui keadaan suhu bahan dapat digunakan termometer alkohol,

agar kalau pecah dilapangan maka cairan alkohol tidak membahayakan

kompos. Suhu kompos organik dapat dijaga agar tetap stabil dengan cara

mengatur kadar air, suhu yang terlalu rendah dapat disebabkan bahan yang

kurang lembab sehingga aktivitas mikroorganisme menurun. Masalah ini

dapat diatasi dengan cara bahan kompos disiram dengan air hingga mencapai

kadar air yang optimal. Demikian pula, jika kondisi suhu bahan terlalu tinggi,

tidak baik bagi proses pengomposan. Kondisi suhu yang tertinggi dapat

mencapai80°C.

Suhu yang terlalu tinggi dapat diatasi dengan cara membalikkan

bahan. Bakteri yang bekerja pada suhu ini biasanya hanya bakteri termofilik,

yaitu bakteri yang tahan terhadap suhu tinggi. apabila hal ini terjadi maka

mikroorganisme lainnya akan mati. Penggunaan temperatur tinggi, yaitu 80°C

biasanya untuk pengomposan skala besar karena di perlukan kecepatan tinggi

untuk pengomposan berton-ton bahan organik. Pengomposan skala industri

kecil atau kebun sendiri di rumah tidak terlalu berisiko apabila suhu

dipertahankan pada kisaran antara 45-65°C.

6. Derajat Keasaman (pH)

Untuk berlangsungnya pengomposan secara aerob yang baik

dibutuhkan pH netral yaitu diantara 6-8,5. Jika kondisi asam dapat diatasi
dengan pemberian kapur, namun sebenarnya degan cara memantau suhu dan

membolak- balikkan bahan kompos secara tepat dan benar sudah dapat

mempertahankan kondisi pH tetap pada titik netral, tanpa pemberian kapur.

Dengan demikian, proses pemeriksaan pH setiap waktu tidak perlu dilakukan.

Akan tetapi untuk lebih meyakinkan lagi, pemeriksaan pH dapat dilakukan

dengan cara menggunakan kertas lakmus atau menggunakan pH

meterelektronik.

7. Kelembaban

Kelembaban memegang peranan yang sangat penting dalam proses

metabolisme mikroba dan secara tidak langsung berpengaruh pada Supply

oksigen. Mikroorganisme dapat memanfaatkan bahan organik apabila bahan

organik larut dalam air. Kelembaban 40-60% adalah kisaran optimum untuk

metabolisme mikroba. Apabila kelembaban dibawah 40%, aktivitas mikroba

akan mengalami penurunan dan akan lebih rendah lagi pada kelembaban 15%.

Apabila kelembaban lebih besar dari 60% hara akan tercuci, volume udara

berkurang, akibatnya aktivitas mikroba akan menurun dan akan tetap terjadi

fermentasi anaerobik yang menimbulkan bau tak sedap cara mengatasi hal

tersebut dapat menambahkan daun kering atau serbuk gergaji (Sudradjat, 2006

dan Habibi,2008).

2.2.4 Pembuatan Kompos Anaerob

Pengomposan secara anaerob yaitu pengomposan yang berlangsung tanpa

adanya udara atau oksigen sedikit pun. Oleh karena itu pada pelaksanaanya

dibutuhkan tempat khusus yang tertutup rapat. Sebenarnya cara pembuatan


kompos secara anaerob ini tidak jauh berbeda dengan pembuatan biogas atau

pembuatan Septic tank. Kegiatan operasional sehari-hari pada pengomposan

secara anaerob tidak sesibuk pengomposan secara aerob. Meskipun demikian,

biaya awal untuk membuat bak fermentasi lebih rumit dan lebih mahal

dibandingkan dengan pembuatan kompos secara aerob. Jalannya pengomposan

secara anaerob berlangsung lebih lambat dibandingkan pengomposan secara

aerob, yaitu memakan waktu 3-12 bulan (Daswati,2014).

Proses pembuatan kompos secara anaerob akan menghasilkan metan,

CO2, asam asetat, asam propionat, asam butirat, dan asam laktat, etanol, metanol

dan hasil samping berupa lumpur. Lumpur inilah yang akan dijadikan sebagai

pupuk/kompos. Lumpur atau kompos yang dihasilkan bewarna hitam

kecokelatan. Apabila dikeringkan warnanya menjadi hitam agak abu-abu

menyerupai abu rokok, berstruktur remah, dan memiliki daya serap yang tinggi.

kompos anaerob ini dapat diberikan pada tanaman dalam kondisi basah atau

kering (Yuwono,2005).

Beberapa hal yang perlu diperhatikan ketika melakukan pengomposan

secara anaerob, antara lain :

1) Rasio C/N

Proses pengompoan secara anaerob yang optimal membutuhkan rasio C/N

25:1 hingga 30:1. Semakin tinggi rasio C/N, proses pembusukan semakin cepat,

dan kandungan N dalam lumpur semakin tinggi. Sebaliknya, apabila rasio C/N

terlalu banyak sehingga dapat meracuni bakteri. Prinsip-prinsip perhitungan rasio

C/N pada pengomposan secara aerob dapat diterapkan juga pada pengomposan

secaraanaerob.
2) Ukuran Bahan

Pada pengomposan secara anaerob, sangat dianjurkan untuk

menghancurkan bahan selumat-lumatnya sampai berubah menjadi bubur atau

lumpur. Hal ini bertujuan untuk mempercepat proses penguraian yang dilakukan

oleh bakteri dan mempermudah pencampuran atau homogenisasi bahan.

3) Kadar Air

Pengomposan secara anaerob membutuhkan kadar air yang tinggi yaitu,

sekitar 50% keatas. Kadar air yang banyak pada proses pengomposan secara

anaerob diperlukan bakteri untuk membentuk senyawa-senyawa gas dan

bermacam-macam asam organik sehingga pengendapan kompos akan lebih cepat.

Secara fisik, kadar air dapat memudahkan proses penghancuran bahan organik

dan mengurangi bau.

4) Derajat Keasaman (pH)

Derajat keasaman (pH) optimal yang dibutuhkan pada pengomposan

secara anaerob yaitu antara 6,7-7,2. Untuk mempertahankan kondisi pH

hendaknya ditambahkan kapur pada tahap awal bahan dimasukkan.

5) Suhu Temperatur

Pada pengomposan secara anaerob, proses bisa berlangsung pada variasi

suhu yang ekstrim yaitu 5-75°C. Aktivitas mikrobanya meningkat seiring dengan

meningkatnya suhu. Namun, umumnya bakteri aktif pada selang suhu mesofilik

yaitu antara 30-35°C sebagian lagi aktif pada suhu termofilik 50-55°C. Suhu

paling baik (optimal) yang dibutuhkan yaitu antara 50-60°C suhu optimal

tersebut dapat dibantu dengan cara meletakkan tempat pengomposan dilokasi

yang terkena sinar matahari secara langsung untuk menaikkan suhu, maka gas
metan yang dihasilkan juga akan semakin tinggi dan proses pembusukan akan

berlangsung lebih cepat (Sudradjat, 2006 dan Daswati,2014).

Pengomposan alami akan memakan waktu yang relatif lama, yaitu bekisar

antara 2-3 bulan bahkan 6-12 bulan. Hal tersebut disebabkan oleh karena

pengadaan dekomposernya hanya mengandalkan mikroba alami yang ada pada

sampah dan lingkungannya. Jika mikroba dekomposer dapat disediakan dengan

baik sebagai starter (bibit mikroba) aktivator dekomposisi, maka proses

pengkomposan dapat dipercepat, misalnya : EM4, NASA, dan lain-lain.

2.2.5 Jenis – Jenis Aktivator

1. Effective Micoorganisme-4 (EM4)

Efektif Mikroorganisme (EM4) meupakan bahan yang mengandung

beberapa mikroorganisme yang sangat bermanfaat dalam proses pengomposan.

Efektif Mikroorganisme (EM4) dapat meningkatkan fermentasi limbah sampah

organik, meningkatkan ketersediaan unsur hara untuk tanaman, serta menekan

aktivitas serangga, hama dan mikroorganisme patogen, bermanfaat bagi

kesuburan tanah dan tanaman. EM bukan pupuk tetapi merupakan bahan yang

dapat mempercepat proses pembuatan pupuk organik dan meningkatkan kualitas

pupuk (Parnata, 2004 dan Djuarnani, 2005).

EM4 mengandung 90% bakteri Lactobacillus sp (bakteri penghasil asam

laktat), pelarut posfat, bakteri fotosintetik, Streptomyces sp, jamur pengurai

selulosa dan ragi. EM4 merupakan suatu tambahan untuk mengoptimalkan

pemanfaatan zat-zat makanan karena bakteri yang terdapat dalam EM4 dapat

mencerna selulosa, pati, gula, protein dan lemak (Surung,2008).


Tabel 2.1 Kandungan EM4

No Jenis Mikroba dan Unsur Hara Nilai


1. Lactobacillus 8,7 x 106
2. Bakteri pelarut Phosfat 7,5 x 106
3. Ragi/Yeast 8,5 x 10³
4. Actinomycetes +
5. Bakteri Fotosintetik +
6. Ca (ppm) 1,675
7. Mg (ppm) 597
8. Fe (ppm) 5,54
9. Al(ppm) 0,1
10. Zn(ppm) 1,90
11. .Cu (ppm) 0,01
12. Mn(ppm) 3,29
13. Na (ppm) 363
14. B(ppm) 20

15. N(ppm) 0,07


16. Ni(ppm) 0,92
17. K(ppm) 7,675
18. P(ppm) 3,22
19. Cl (ppm) 414,35
20. C (ppm) 27,05
21. pH 3,9
Sumber : Lab. Fak. MIPA IPB Bogor, 2006 ; lab.

EMRO INC, JAPAN, 2007. Dalam

Nurhayati,2016

EM4 merupakan produk bioaktivator yang beredar di pasaran berupa

Efektif Mikroorganisme asli yang tidak langsung diaplikasikan pada media. Hal

ini disebabkan kandungan mikroorganisme dalam EM masih dalam kondisi tidur

(dorman) sehingga tidak akan memberikan pengaruh yang nyata. Untuk itu, EM

asli perlu dilarutkan menjadi EM aktif apabila ingin digunakan (Suryati, 2014).

2. MikroorganismeLokal (MOL)
Bioaktivator yang dibuat sendiri atau mikro organisme lokal (MOL), yaitu

kumpulan mikroorganisme yang bisa diternakkan fungsinya sebagai starter dalam

pembuatan pupuk organik. Berdasarkan bahannya, ada dua MOL yang bisa

dibuat, yaitu MOL tapai dan MOL nasi basi serta berbagai MOL berbahan

lainnya (Setiawan, 2012). Kandungan yang ada di MOL tapai yaitu Rhizobiumsp,

Azosprillium sp, Azobacter sp, Pseudomonas sp, Bacillus sp, dan Bakteri pelarut

phosfat.

Bioaktivator merupakan isolat mikroba yang telah dimurnikan dan

mempunyai kemampuan khusus mencerna bahan organik yang mengandung

selusosa (Untung, 2011). Bioaktivator bukanlah pupuk melainkan bahan yang

mengandung mikroorganisme efektif untuk memperbaiki kualitas pupuk.

Bioaktivator dapat dibuat dengan mudah dan murah. Sisa bahan yang tidak dapat

dicampurkan dalam pembuatan kompos dapat dimanfaatkan untuk memproduksi

bioaktivator seperti nasi yang telah difermentasi. Nasi yang telah difermentasi

inilah yang dimanfaatkan untuk membual MOL.

MOL juga memerlukan makanan tambahan selama proses fregmentasi.

Makanan tersebut adalah gula, penggunaan gula tergantung pada jumlah MOL

yang dibuat. Proses fregmentasi MOL terjadi dalam kondisi anaerob atau

menggunakan media tertutup. Untuk waktu yang dibutuhkan dalam pembuatan

MOL sekitar lima hari sampai tiga minggu tergantung pada bahan yang

digunakan (Khalimatu Nisa, 2016)

Menurut Dini Rohmawati (2015) dalam Khalimatu Nisa (2016) mikroba

perombak bahan organik mulai banyak digunakan untuk memepercepat proses

dekomposisi sisa-sisa tanaman yang banyak mengandung lignin dan selulosa


untuk meningkatkan kandungan bahan organik dalam tanah. Pengertian umum

mikroorganisme perombak bahan organik atau biodekomposter adalah

mikroorganisme pengurai serat, lignin, dan senyawa organik yang mengandung

nitrogen dan karbon dari bahan organik. Mikroba perombak bahan organik terdiri

atas Trichoderma reesei, T. harzianum, T. koningii,Phanerochaeta crysospoeium,

Cellulomonasm Pseudomonas, Thermospora, Aspergollis niger, A. terreus,

Penicillium, dan Streptomyces. Menurut penelitian Royaeni, dkk, jenis mikroba

yang terkandung dalam MOL nasi adalah Schharomyces cerevia dan Aspergillus

sp yang berperan dalam proses pengomposan.

1) Kualitas LarutanMOL

Larutan MOL harus mempunyai kualitas yang baik sehingga mampu

meningkatkan kesuburan tanah, dan pertumbuhan tanaman secara berkelanjutan.

Kualitas merupakan serangkaian karakteristik yang melekat dan memenuhi

ukuran tertentu. Faktor-faktor yang menentukan kualitas larutan MOL antara lain

media fermentasi, kadar bahan baku atau substrat, bentuk dan sifat

mikroorganisme yang aktif di dalam proses fermentasi, pH, temperature, lama

fermentasi, dan rasio C/N dalam bahan (Izarul,2018)

2) Fungsi MikroorganismeLokal

Menurut Khalimatu Nisa (2016), mikroorganisme lokal (MOL) atau yang

juga sering disebut pupuk cair (POC) memiliki beberapa fungsi, diantaranya :

1. Membantu menyuburkantanah

Sama seperti penggunaan pupuk kompos, MOL juga memiliki fungsi sebagai

penyubur tanah dan sumber nutrisi tambahan bagitumbuhan.

2. Mempercepat prosespengomposan
Fungsi dari penggunaan MOL yaitu dapat memepercepat proses penguraian

tanaman/bahan organik yang digunakan dalam proses pembuatan pupuk

kompos. Kandungan bakteri yang tinggi dalam MOL membuat cairan ini

dapat digunakan sebagai pengganti dekomposter. Waktu pengomposan yang

berlangsung satu bulan dapat dipersingkat menjadi tinga minggu.

3. Mudah diaplikasikan untuk pemupukan tanaman rumahan

Fungsi lain yang tidak kalah penting dari pupuk MOL yaitu pada

penggunaannya yang praktis dan dapat diaplikasikan langsung pada tanaman

yang ada di pekarangan rumah.


BAB III
METODE PENELITIAN

3.1 Disain Penelitian

Disain dalam penelitian ini menggunakan True Eksperimental. Menurut

Sugiyono (2009:2012) “True Eksperimental adalah eksperimen yang betul –

betul”. Karena dalam desain ini, peneliti dapat mengontrol semua variabel luar

yang mempengaruhi jalannya eksperimen. Karakteristik dalam desain ini adalah

adanya sebuah kelompok kontrol . Menurut Sugiyono (2009:112) “dalam True

eksperimental ada dua bentuk desain True eksperimental yaitu: Posttest only

control Desaign danPretest Postest Control Grup Desaign” dalam hal ini

peneliti menggunakan desain Postestonly control Desaign.

3.1.1 Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang dilakukan adalah bentuk penelitian eksperimen yaitu

meneliti Perbedaan aktivator (MOL Pepaya dan Tapai Ketan) terhadap

kecepatan pembuatan kompos dari sampah daun.


3.1.2 Kerangka Teori

Sumber Sampah

Jenis Sampah

Anorganik Organik B₃

Pengolahan

Transformasi Pembakaran Energy Pengomposan


Fisik Recorvery

Aerob Anaerob

Bioaktivator

MOL Pepaya dan


MOL
MOL Tapai Ketan

Lama Waktu
Pembuatan
Kompos

Gambar 3.1 Kerangka Teori


3.1.3 KerangkaKonsep

Variabel Bebas Variabel Terkait

Perbedaan Effective Lama Waktu


Microorganisme-4 (EM4) Terbentuknya
dan Microorganisme Lokal Kompos Sampah
(MOL) Tapai Ketan
Organik

Gambar 3.2 KerangkaKonsep

Pada Gambar diatas dapat diketahui bahwa dalam penelitian ini terdapat

variabel sebagai berikut :

1. Variabel Bebas (Independent Variabel) Adalah Efektivitas Effective

Microorganisme-4 (EM4) dan Microorganisme Lokal (MOL)

2. Variabel Terikat (Dependent Variabel) dalam penelitian ini adalah lama

waktu terbentuknya kompos

3.1.4 Strategi Pengendalian Variabel Pengganggu

Dalam penelitian yang dilakukan, terdapat variabel – variabel yang dapat

mengganggu pada proses pematangan kompos, maka diperlukan strategi terhadap

pengendalian variabel pengganggu dalam penelitian yaitu:

1. Suhu kompos dikendalikan dengan cara melakukan pengukuran suhu

kompos pada setiap pelaksanaan perlakuan. Dimana suhu kompos yang baik

untuk proses pematangan kompos yaitu 30°𝐶 - 60°C . jika suhu kompos

belum mencapai 30 °C maka proses pengomposan tidak berjalan dalam

artian proses pengomposan gagal, dan jika suhu mencapai lebih dai 60°C
maka harus distabilkan lagi. Suhu pengomposan dijaga agar stabil dengan

cara kompos ditempatkan di daerah yang tidak terkena matahari langsung

dan tidak terlalu lembab.

2. Kelembaban kompos dikendalikan dengan cara melakukan pengukuran pada

setiap pelaksanaan perlakuan. Dimana kelembaban kompos yang baik untuk

pematangan kompos yaitu 40%-70%. Pada saat proses pencacahan sampah

organik diperas terlebih dahulu untuk mengurangi kadar air, kemudian

sampah organik dijemur dibawah sinar matahari, jika dipegang/dikepal

sampah organik masih mengeluarkan air berarti kadar airnya masih tinggi

dan jika sampah organik dipegang/dikepal tidak mengeluarkan air kemudian

mengembang, berarti sampah organik siap digunakan untuk pengomposan.

3. Keasaman/pH Kompos dikendalikan dengan cara penambahan kapur atau

abu dapur untuk menikkan pH kompos. jika pH terlalu tinggi maka dapat

diturunkan dengan menggunakan urea. pH kompos yang optimum untuk

proses pengomposan berkisar antara 6,0 – 8,0.

4. Pengadukan kompos dikendalikan dengan cara rutin, melakukan pengadukan

pada kompos setiap hari. Pengadukan dilakukan dengan cara membolak -

balikan komposter.

5. Ukuran bahan dapat dikendalikan dengan cara melakukan pencacahan

terlebih dahulu terhadap bahan – bahan yang akan digunakan untuk proses

pengomposan. Bahan yang berukuran kecil akan cepat di dekomposisi

karena luas permukaannya meningkat dan mempermudah aktivitas

mikroorganisme perombak. Untuk bahan yang keras sebaiknya dicacah

dengan ukuran yang agak besar sekitar 5 cm


6. Massa sampah dapat dikendalikan dengan cara memberikan jumlah sampah

yang sama pada setiap perlakuan dan pengulangan, yaitu 3kg sampah

organik.

7. C/N rasio kompos dapat dikendalikan dengan cara pemilihan antara sampah

yang memiliki kandungan C dan sampah yang memiliki kandungan N,

dengan perbandingan C dan N adalah 30:1.

8. Karakteristik sampah organik tidak dapat dikedalikan karena kapasitas

volume sampah organik yang dihasilkan oleh PT Aqua Golden

Misissipitidak cukup untuk melakukan pengulangan , oleh sebab itu.

Penelitian ini dilakukan tidak dalam satu waktu.

3.1.5 Hipotesis

Hipotesis dalam penelitian ini adalah :

Terdapat perbedaan Effective microoganisme-4 (EM4) dan

Microorganisme Lokal (MOL) Tapai ketan sebagai Bioaktivator terhadap lama

waktu terbentuknya kompos sampah organik.

3.1.6 Definisi Operasional

Untuk mendapatkan penafsiran yang sama dalam penelitian ini, maka perlu

diberi batasan operasionalnya, yaitu :


Tabel 3.1Definisi Operasional

Variabel Definisi Cara Ukur Alat Ukur Skala Ukur Hasil


Operasional Pengukuran
MOL Kumpulan Dilakukan Gelas Rasio Mol pepaya
Pepaya Mikroorganis pengukuran Ukur dan MOL
dan Tapai me lokal yang jumlah Tapai Ketan
Ketan berasal dari larutan dengan dosis
Pepaya dan 130 ml
tapai yang
dikembangkan
dengan larutan
gula
Sampah Sampah Daun Menghitung Timbanga Rasio Sampah daun
Daun dari PT Aqua sampah n 20kg
Golden daun
Misissipi
Mekarsari
Lama Rentang waktu Menghitung Jam atau Rasio Lama waktu
Waktu yang lama waktu kalender pematangan
digunakan pengompos kompos
mulai dari an mulai dengan
proses dari menggunakan
pengomposan pemberian EM4 dan MOL
hingga EM4 dan tapai Ketan
terbentuknya MOL tapai
kompos ketan
dengan hingga
aktivator EM4 terbentukny
dan MOL tapai a kompos
Ketan

3.2 Populasi dan sampel

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh sampah organik yang berada

di PT Aqua Golden Misissipi.Tbk, sedangkan sampel dalam penelitian ini

sebagian sampah daun yang berada di PT Aqua Golden Misissipi.Tbk

3.2.1 Besar Sampel

Roscoe dalam buku Reserch Methods ForBussiness (1982: 253)


memberikan saran mengenai ukuran sampel untuk penelitian eksperimen yang

sederhana, yang menggunakan kelompok eksperimen dan kelompok kontrol,

maka jumlah anggota sampel masing-masing kelompok antara 10%-20%

(Sugiyono, 2016).

Berdasarkan pernyataan tersebut, maka kebutuhan sampel yang akan digunakan

berdasarkan banyaknya sampah organik di PT Aqua Golden Mississipi.Tbk yaitu

sebagai berikut :

10% = x 20 kg = 2 kg

20% = x 20 kg = 4 kg=

Berdasarkan perhitungan,telah diperoleh rentang sampel yang dapat

digunakan yaitu 2kg–4kg.Untuk itu peneliti mengambil angka yang masuk ke

dalam rentang angka tersebut yaitu sebesar 3 kg sampah organic untuk satu kali

pengulangan.

Besar sampel yang digunakan dalam penelitian ditentukan berdasarkan banyaknya

perlakuan dan pengulangan yang dilakukan.Untuk menentukan besar sampel

peneliti menggunakan rumus Gomez, untuk menperoleh banyaknya replikasi

(pengulangan) dalam setiap perlakuan sampel adalah sebagai berikut:

t (r - 1) ≥ 15

Keterangan :

t (treatment) : Banyaknya perlakukan (dalam penelitian ini terdapat 2 macam

MOL

r (replica) : Banyaknya pengulangan

Maka = t (r - 1) ≥15
= 2 (r - 1) ≥ 15
= 2r – 2 ≥ 15
= 2r ≥ 17
= r ≥ 8,5
=r≥9

Jadi pengulangan yang akandilakukan dalam penelitian ini sebanyak 9

(sembilan) kali pengulangan. Setiap pengulangan terdiri dari 2 (dua) perlakuan.

Setiap perlakukan menggunakan kontrol sebagai bahan pembanding. Sehingga

besar sampel yang dibutuhkan yaitu:

((2 perlakuan × 2 kg × 9 kali pengulangan) + (1 perlakuan × 2 kg × 9

kontrol)) = 54 kg sampah organik

Pada setiap pengulangan dibutuhkan sampah organik sebanyak 2 kg.

Setiap satu kali pengulangan terdiri dari 2 (dua) perlakuan dan setiap perlakuan

menggunakan kontrol sebagai pembanding kualitas kompos. Pada perlakuan ini

menggunakan 1 (satu) buah kontrol dikarenakan jenis daun yang sama.

3.2.1 Teknik pengambilan sampel

Adapun tekhnik yang digunakan untuk pengambilan sampel ini adalah

Quota sampling. Dilakukan pengambilan sampel dengan tekhnik quota sampling

dikarenakan timbulan sampah yang dihasil kan oleh PT Aqua Golden

Misissipi.Tbk mencukupi apabila dilakukan pengambilan sampel dalam satu

waktu, rata-rata timbulan sampah daun di PT.Aqua Golden Mississipi.Tbk

54kg/hari sementara sampel yang dibutuhkan sebanyak 54kg/hari.

3.2.2 Pengumpulan data

3.2.2.1 Jenis data


1. Pengumpulan data primer

Data primer adalah data yang diperoleh dari hasil pengamatan, pengukuran

dan pemeriksaan laboratorium sepertihasil pengukuran suhu kompos,pH kompos,

kelembaban kompos, pemeriksaan C-organik,N-total,C/N rasio, pengamatan

warna kompos, tekstur kompos dan bau kompos, serta lama hari pengomposan.

2. Pengumpulan data sekunder

Pengumpulan data yang diperoleh dari studi pustaka yang berasal dari

buku – buku atau literatur, jurnal ilmiah dan artikel ilmiah yang menunjang

penelitian ini.

3.2.2.2 Alat Pengumpul data

1. Thermometer tanah digunakan untuk mengukur suhu kompos selama proses

pengomposan.

2. Higrometer tanah digunakan untuk mengukur kelembaban kompos selama

proses pengomposan.

3. pH meter tanah digunakan untuk mengukur pH kompos selama proses

pengomposan.

4. Kamera digunakan untuk mendokumentasikan kegiatan penelitian.

3.2.3 Tekhnik Pengumpulan Data

Dalam Penelitian ini, pengumpulan data dilakukan melalui observasi,

pengukuran dan pemeriksaan laboratorium.

1. Observasi

Observasi dilakukan untuk melihat kematangan kompos, dapat dilihat dari


warna kompos, tekstur kompos, dan bau kompos.

2. Pengukuran

Pengukuran dilakukan terhadap suhu kompos, kelembaban kompos, dan pH

kompos.

3. Pemeriksaan Lab

Pemeriksaan lab dilakukan untuk mengetahui nilai dari C-organik, N-total

dan C/N rasio kompos.

1) Pemeriksaan C-organik

Timbang teliti 0,05 – 0,10g contoh pupuk yang telah dihaluskan

masukkan ke dalam labu takar volume 100ml. H₂SO₄pa 98%, kocok lagi biarkan

30 menit jika perlu sekali-kali dikocok

Untuk standar yang mengandung 250 ppm C, pipet 5 ml larutan standar

5000ppm C ke dalam labu ukur volume 100 ml, tambahkan H₂SO₄pa 7 ml dan 5

ml larutan K₂Cr₂O₇ 1 N dengan pengerjaan seperti diatas. Kerjakan pula balnko

yang digunakan sebagi standar 0ppm C. Masing – masing diencerkan dengan air

bebas ion dan setelah dinginvolume ditepatkan hingga tanda tera 100ml, kocok

bulak balik hingga homogen dan biarkan semalam. Esoknya diukur dengan

menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 561nm.

2) Pemeriksaan N-total

Timbang teliti 0,25 g contoh pupuk organik yang telah dihaluskan ke

dalam tabung digestor. Tambahkan 0,25 – 0,50 g gelenium mixture dan 3 ml

H₂SO₄ pa, kocok hingga campuran merata dan biarkan 2-3 jam supaya diperarang.

Didestruksi sampai sempurna dengan suhu bertahap dari 150 °C hingga akhirnya

suhu maksimal 350°C dan diperoleh cairan jernih (3-3,5jam). Setelah dingin
diencerkan dengan sedikit aqua des agar tidak mengkristal. Pindahkan larutan

secara kuantitatif ke dalam labu didih destilator volume 250ml, tambahkan air

bebas ion hingga setengah volume labu didih dan sedikit batu didih. Siapkan

penampung destilat yaitu 10ml asam borat 1% dalam erlenmeyer volume 100ml

yang dibubuhi 3 tetes indikator.

Destilasikan dengan menambah 20ml NaOH 40%. Destilasi selesai bila

volume cairan dalam erlenmeyer sudah mencapai sekitar 75ml. Destilat dititrasi

dengan H₂SO₄ 0,05N, hingga titik akhir ( warna larutan berubah dari hijau

menjadi merah jambu muda) = A ml, penetapan blanko dikerjakan = A ml.

3.2.4 Tenaga pengumpul data

Tenaga pengumpul data dalam penelitian ini dilakukan oleh penyusun

pribadi selaku mahasiswa Politeknik Kesehatan Bandung Jurusan Kesehatan

Lingkungan yang telah diberikan pengarahan sebelumnya.

3.2.5 Pelaksanaan Penelitian

3.2.5.1 Tempat dan waktu penelitian

1. Tempat Penelitian

Penelitian dilaksanakan di PT Aqua Golden Misissipi alamat di

Cicurug Kabupaten sukabumi.

2. Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan pada bulan Februari – Mei 2019

3.2.5.2 Langkah– langkah Penelitian

1. Persiapan Alat dan bahan


Alat

1. Ember

2. Alat bor

3. Paku

4. Penggaris

5. Las

6. Lem

7. Pipa

8. Palu

Pembuatan Komposter dengan cara:

1. Menyiapkan alat dan bahan yang akan digunakan

2. Melubangi setiap bagian ember dan pipa dengan jarak yang telah

ditentukan dengan menggunakan bor.

3. Memasang pipa pada ember sesuai dengan desain yang telah

ditentukan.

4. Komposter siap digunakan

Bahan

Aktifasi larutan bioaktivitor MOL Pepaya dengan cara:

1. Tumbuk buah pepaya busuk sampai halus sebanyak 1kg, lalu masukkan

dalam ember

2. Iris gula merah ½kg tipis – tipis, kemudian aduk dengan 1L air cucian

beras dan Air kelapa 1 butir

3. Satukan irisan gula dengan buah pepaya yang sudah dihaluskan

kemudian diaduk hingga merata


4. Masukkan ke dalam jerigen tutup cukup dengan kain, agar reaksi pada

MOL bisa berjalan dengan baik.

5. Diamkan selama 7 hari

6. Setelah tercium bau tape atau permen, MOL sudah bisa digunakan.

Aktifasi Larutan Mikroorganisme Lokal (MOL) Tape Ketan;

1) Siapkan botol plastik air minum kemasan ukuran 1500 l

2) Masukkan tapai ketan sebanyak 1 ons ke dalam botol

3) Masukkan air ke dalam botol yang sudah ada tapai sebanyak ¾

4) Masukkan 5 sendok gula pasir ke dalam botol

5) Kocok – kocokkan sebentar aga gula larut

6) Biarkan botol terbuka selama 4 atau 5 hari

7) Setelah 5 hari dan kalo dicium akan berbau wangi alkohol maka Mol

sudah siap digunakan.

3.2.5.3 Pengambilandata

1. Mengumpulkan sampah organik yang berasal dari PT Aqua Golden

2. Sampah organik yang telah tekumpul kemudian dicacah, pisahkan

sampah organik yang telah dicacah tersebut untuk menentukan C/N

rasio penentuan C/N rasio dihitung berdasarkan rumus

(Berat A Xrasio A) + (Berat B X Rasio B) = 30


Berat A + Berat B

3. Angin – anginkan sampah organik yang telah dicacah, dengan maksud

agar kadar air di dalam sampah organik tersebut tidak terlalu banyak.

4. Timbang 3kg sampah organik yang telah dicacah yang terdiri dari

sampah daun
5. Siapkan komposter yang telah dibuat

6. Kemudian masukkan sampah organik yang telah dicacah dan

dicampur dengan lautan bioaktivator yang telah dibuat secara

homogen.

7. Setelah itu ditutup rapat

8. Tempatkan di tempat yang tidak terkena air hujan dan jauhkan dari

binatang pengganggu se[erti: tikus, kucing, dan semut.

9. Kemudian lakukan pemeriksaan pH kompos, suhu kompos,

kelembaban kompos, pengamatan warna kompos, tekstur kompos

serta bau (aroma) kompos tersebut setisp hari hingga kompos benar-

benar matang (suhu sesuai dengan suhu air tanah, pH netral, berwarna

kehitaman, tekstur seperti tanah serta berbau seperti tanah). Untuk

pengukuran suhu kompos dilakukan setiap hari, dengan cara

memasukkan thermometer pada bagian tengah kompos untuk

pengukuran pH kompos dilakukan setiap hari. kelembaban kompos

dilakukan setiap hari dengan memasukkan Higrometer ke dalam

kompos tersebut. Untuk pengamatan tekstur, warna serta bau (aroma)

kompos dilakukan setiap hari hingga kompos menyerupai tanah.

10. Setelah suhu kompos 29°C lakukan pemeriksaan lab dengan maksud

untuk melihat kematangan kompos.penetapan nilai akhir dari suhu ini

berdasarkan beberapa jurnal penelitian yang menyebutkan bahwa jika

suhu kompos sudah sama seperti suhu lingkungan (28°C s/d 29°C)

maka kompos tersebut sudah matang.

11. Pengambilan data dalam penelitian ini adalah instrumen pengumpul


data yang digunakan untuk melakukan pengukuran waktu,

pengomposan, suhu kompos, kelembaban kompos, pH kompos dan

dibantu oleh 4 responden yang terdiri dari beberapa petugas

laboratorium, pihak yang memberikan keterangan mengenai kualitas

fisik kompos meliputi warna kompos, bau kompos dan tekstrur

kompos.

3.2.5.4 Rancang Bangun Alat Rekayasa

Gambar 3.1 Alat Komposting Aerob tampak Samping

Gambar 3.2 Alat Komposting Aerob tampak Atas


3.2.5.5 Pengolahan dan analisa data

Menurut Notoatmodjo:2010, dalam suatu penelitian pengolahan data dan

analisis data merupakan salah satu langkah yang penting. Adapun mengenai

pengolahan dan analisis data dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Pengolahan data

1) Editing

Editing adalah kegiatan melakukan pengecekan kembali terhadap data

yang telah dikumpulkan, yairu berupa data hasil pengamatan dari warna

kompos, pengukuran suhu, pengukuran kelembaban, pengukuran pH,

pengukuran lama waktu terbentuknya kompos.

2) Coding

Coding adalah merubah data dalam bentuk huruf menjadi dalam bentuk

angka. Data yang dimaksud adalah data berbagai bioaktivator yaitu MOL

pepaya dan MOL tape ketan.

3) Entry Data

Entry data adalah memproses data sehingga data siap untuk dilakukan

analisis/ data yang dianalisis pada penelitian ini adalah data lama waktu

pengomposan,warna,pengukuran suhu, pengukuran kelembaban, dan pH.

4) Clening

Cleaning yaitu memeriksa kembali kebenaran data yang telah di entry,

sehingga tidak tejadi kesalahan pada saat memasukkan data.Analisis data

1. Analisis Univariat

Analisis Univariat disebut juga dengan Analisis deskriptif yaitu

analisis yang menjelaskan secara rinci karakteristik masing – masing


variabel. Untuk data numerik maka masing – masing variabel dapat

di deskipsikan berdasarkan tengahnya (mean, median,modus),

ukuran sebarannya (nilai minimum, nilai maksimum, standar deviasi,

varian dan inter kuartil range). Analisis Univariat pada penelitian ini

bertujuan untuk mengetahui nilai rata – rata (Mean), standar Deviasi

(SD), serta nilai maksimum dan minimum dari hasil pengukuran

lama waktu pengomposan dan hasil perhitungan C/N rasio

2. Analisis Bivariat

Analisis bivariat ini dilakukan terhadap dua variabel yang diduga

berhubungan.

1) Uji Normalitas

Uji normalitas data dilakukan untuk mengetahui apakah data

berdistribusi normal atau tidak. Bila data berdistribusi normal

maka analisis bivariat yaitu uji t - Test dapat dilakukan, bila

data tidak berdistribusi normal maka analisis bivariat yang

dilakukan adalah uji Wilcoxon. Uji normalitas data dilakukan

dengan menggunakan uji Shapiro - Wilks karena jumlah data

yang di analisis kurang dari 30 sampel.

2) Uji T - Dependent

Setelah dilakukan analisis univariat, dilakukan uji T -

Dependent untuk mengetahui perbedaan sebelum dan sesudah

perlakuan bertujuan untuk mengetahui perbedaan

Mikroorganisme Lokal (MOL) pepaya dan tape ketan sebagai


bioaktivator terhadap lama waktu terbentuknya kompos

sampah organik di PT. Aqua Golden Mississipi.Tbk. Bila data

tidak bersitribusi normal, maka dilakukan uji wilcoxon dan

mann whitney.

Kriteria pengambilan keputusan untuk uji T – Test dependent

1. Bila p - velue < α maka Ho ditolak

2. Bila p - velue > α makan Ho diterima

Ho : tidak ada perbedaan Mikroorganisme Lokas (MOL)

pepaya dan tape ketan sebagai bioaktivator terhadap lama

waktu pembuatan kompos sampah organik.

Ha : ada perbedaan Mikroorganisme Lokas (MOL) pepaya dan

tape ketan sebagai bioaktivator terhadap lama waktu

pembuatan kompos sampah organik.

Kriteria pengambilan keputusan untuk uji T – Dependent atau

uji mann - whitney:

1. Bila p - value ≤ α maka Ho ditolak

2. Bila p - value ≥ α makan Ho diterima

Ho : Tidak ada perbedaan Mikroorganisme Lokas (MOL)

pepaya dan tape ketan sebagai bioaktivator terhadap lama

waktu pembuatan kompos sampah organik.


Ha : Ada perbedaan Mikroorganisme Lokas (MOL) pepaya

dan tape ketan sebagai bioaktivator terhadap lama waktu

pembuatan kompos sampah organic.


BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Gambaran Umum Industri

4.1.1 Profil Perusahaan

PT. Aqua Golden Mississipi.Tbk merupakan salah satu perusahaan air

minum dalam kemasan (AMDK) yang tergabung dalam AQUA GROUP.

Industri air minum ini lahir atas ide Bapak Tirto Utomo, sebagai produser

pelopor air minum dalam kemasan di Indonesia pada tahun 1973. Beliau

menggagas lahirnya Industri Air Minum dalam Kemasan (AMDK) pertama di

Indonesia melalui PT. Aqua Golden Mississipi.Tbk pada tanggal 23 Februari

1973, kegiatan fisik perusahaan dimulai pada bulan Agustus 1973, ditandai

dengan pembangunan pabrik dikawasan pondok ungu bekasi, percobaan

produksi dilaksanakan pada bulan agustus 1974.

Pada tahun 1998, AQUA (yang berada dibawah naungan PT. Tirta

Investama) melakukan langkah strategis untuk bergabung dengan grup

DANONE, yang merupakan salah satu kelompok perusahaan air minum

dalam kemasan terbesar didunia dan ahli dalam nutisi. Langkah ini

berdampak pada peningkatan kualitas produk, market share dan penerapan

tekhnologi pengemasan air terkini. Terdapat 14 pabrik yang memproduksi

AQUA dengan kepemilikan berbeda-beda (10 pabrik dimilik oleh PT.Tirta

Investama, 3 pabrik dimiliki oleh PT.AQUA Golden Mississipi, dan pabrik di

Brastagi, Sumatera Utara dimiliki oleh PT.Tirta Sibayakindo). Sejak tahun

1998, AQUA sudah dimiliki oleh perusahaan multinasional dalam bidang

makanan dan minuman asal Perancis, grup Danone, hasil dari penggabungan
PT AQUA Golden Mississipi dengan DANONE.

Danone meningkatkan kepemilikan saham di PT. Tirta Investama dari 40%

menjadi 70%, sehingga Danone kemudian menjadi pemegang saham

mayoritas AQUA group. Tampaknya akuisisi ini dapat dikatakan cukup

berhasil dikarenakan penjualan aqua yang semakin meningkat dari rat0rata

1m liter per tahun. Sehingga sampai saat ini aqua danone sudah memiliki 22

Plant produksi yang tesebar di pulau sumatera, jawa bali, sulawesi dan sampai

ke negara Brunei darussalam.

4.1.2 Visi dan Misi Perusahaan

Visi dan Misi PT.Aqua Golden Mississipi yang akan dilaksanakan

perusahaan selama 5 tahun yaitu tahun 2016- 2020adalah sebagai berikut:

4.1.2.1 Visi

“ Menjadi Pabrik dengan Volume terbesar pertama SQCDME terbaik di

aqua grup pada tahun 2020”

4.1.2.2 Misi

1. Safety

Mencapai level Budaya Safety Interdependent, Zero Accident, Zero

Penyakit Akibat Kerja dan terwujudnya keseimbangan hidup

2. Quality

Mencapai kualitas terbaik disetiap tahapan proses melalui peran aktif setiap

pemangku kepentingan

3. Cost

Mencapai biaya operasional yang rendah disetiap tahapan proses

4. Delivery
Mencapai PSL 100% dengan pelayanan dan penyediaan produk yang sesuai

harapan pelanggan

5. Motivitation

Mencapai kinerja team mandiri dan profesional melalui peningkat

kompetensi semua pemangku kepentingan

6. Environment

Mencapai proper Gold melalui program Comunity Development yang

berkesinambungan

4.1.3 Kebijakan

Selain memiliki Visi dan Misi yang harus dilaksanakan pada 5 tahun ke

depan PT.Aqua Golden Missisisipi juga harus berpedoman pada kebijakan –

kebijakan Aqua Grup yang akan menunjang keberhasilannya yaitu:

1. Kebijakan Mutu, halal, keamanan pangan dan lingkungan “Aqua Group

yaitu memproduksi AMDK dan minuman halal, dan aman dikonsumsi

melalui proses yang eamah lingkungan dengan memperhatikan upaya

tindakan pencegahan pencemaran, mematuhi segala peraturan yang

berlaku dan selalu memperbaiki dan meningkatkan mutu, menjaga

kehalalan produk keamanan pangan dan kinerja lingkungan secara

berkesinambungan dalam rangka memenuhi dan memuaskan kebutuhan

serta harapan pelanggan dalam aspek.

2. Kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja yang diterapkan di PT.Aqua

Golden Mississipi:

a. Nilai – nilai yang ditanamkan di PT.Aqua Golden Mississipi:

1). PT. Aqua Golden Mississipi mekarsari menghargai nilai –


nilai manusia.

2). Setiap orang berhak atas keselamatan dan kesehatan kerja.

3). Keselamatan dan kesehatan kerja sama pentingnya dengan

kualitas dan produktivitas.

b. Harapan PT.Aqua Golden Mississipi

1). Semua karyawan dan pihak ke tiga bertanggungjawab

menjalankan prinsip keselamatan, kesehatan kerja dan ergonomic:

2). Semua kecelakaan dan penyakit akibat kerja dapat dicegah.

3). Nol kecelakaan adalah tujuan yang dapat dicegah.

c. Komitmen PT.Aqua Golden Mississipi.

1). Menjadikan keselamatan dan kesehatan kerja sebagai nilai-

nilai yang melekat pada setiap aktivitas dari hari ke hari.

2). Melakukan perbaikan dan pembelajaran yang terus menerus

dengan keterlibatan dan tindakan yang nyata dari seluruh

karyawan.

3). Mengkomunikasikan keslematan dan Kesehatan kerja secara

terus menerus.

4.1.4 Struktur Organisasi Perusahaan

PT. Aqua Golden Mississipi memiliki struktur organisasi perusahaan yang

bersifat dinamis karena didorong faktor internal dan eksternal dengan tujuan

memberikan gambaran yang jelas mengenai tugas dan fungsi dari masing-

masing divisi yang ada. Adapun bagan struktur organisai PT.Aqua Golden

Mississipi 2019 terdapat pada gambar dibawah ini;


Plan Director

Manufacturing Manager

Mnufacture Manufacture Manufactu Manufact Quality Safety & Performnc


MKS1 SFG re FG ure HOD Assistanti Healt e
Manager MKS 2&4 MKS 2&4 MKS 3 Manager environmen Manager
manager manager

CSR SR Enginerg & Logistic HR Plan controler


Manager Bocimi Facility Manager Manager manager
Manager Manager

Gambar 4.1 Struktur Organisai Pt.Aqua Golden Mississipi 2019

Struktur organisasi di PT.Aqua Golden Mississi[i dipimpin oleh plant

manager yang memiliki kendali atas kekuasaan tetinggi dalam perusahaan.

Plant manager bertanggungjawab atas semua kegiatan yang ada di pabrik

tersebut. Plant manager memiliki tanggung jawab untuk mengontrol

manager yaitu HRD, Manager, Engineering manager, Quality manager,

performance manager, logistic manager, HSE manager, SR dan CSR

manager plant controlle manager. Setiap manager memiliki tugasnya masing

– masing dan memiliki bawahan sesuai dengan kebutuhan dari tiap


departemen.bawahan tersebut lalu bekerja sesuai dengan jobdesk masing-

masing.

4.1.5 Sistem Kerja

PT. Aqua Golden Mississipi dibagi bedasarkan jenis kelamin yang tertera

dibawah ini :

No. Tenaga Kerja Total


1. Laki-laki 1039
2. Perempuan 98
Jumlah keseluruhan 1137
Sumber : Data sekunder PT. Aqua Golden Missisipi, Tbk

Tabel 4.1 Jumlah Karyawan PT.Aqua Golden Mississipi.Tbk

Berdasarkan tabel diatas menunjukan bahwa jumlah laki-laki pada PT.Aqua

Golden Mississipi sebanyak 1039 orang, atau sebesar 91,38% lebih banyak

dari karyawan perempuan hanya sejumlah 98 orang atau sebesar 8,62%

selain sistem ketenagakerjaan, sistem kerja yang berlaku pada PT.Aqua

Golden Mississipi terdiri dalam 2 kelompom yaitu sistem non shift dan

sistem shift.

1. Sistem Non Shift.

Sistem Non shift berlaku bagi karyawan dibagian office atau bagian staf

dengan jam kerja sebagai berikut :

a. Hari senin - jumat.

08.00WIB - 11.30 WIB : kerja aktif

11.30 WIB - 13.00 WIB : istirahat

13.00 WIB - 17.00 WIB : Kerja aktif

b. Hari Senin – sabtu

08.00WIB - 11.30 WIB : kerja aktif


11.30 WIB - 13.00 WIB : istirahat

13.00 WIB - 16.00 WIB : Kerja aktif

2. Sistem Shift

Sistem shift yang berlaku bagi karyawan di bagian produksi dan

administrasi kantor. Sistem ini dibagi dalam 3 shift dengan jam kerja

sebagai berikut:

a. Shift 1 : Pukul 06.00 sampai dengan pukul 14.00 WIB

b. Shift 2 : Pukul 14.00 sampai dengan pukul 22.00 WIB

c. Shift 3 : Pukul 22.00 sampai dengan pukul 06.00 WIB

4.1.6 Manajemen Perusahaan

Pola Manajemen yang digunakan PT.Aqua Golden Mississipi

mengembangkan dan mengimplementasikan sistem manajemen mutu (ISO

9001:2008), sistem manajemen lingkungan (ISO14001:2015), Food safety

system manajemen system (ISO/FSSC22000:2013), sistem manajemen halal

safety (WISE), Danone manajemen away (DAMAWAY) dan sistem

manajemen mutu laboratorium (ISO 17025:2008) dalam rangka

menunjukan kemampuan didalam menyediakan produk yang bermutu

tinggi, konsisten, aman dikonsumsi dan ramah terhadap lingkungan, halal,

serta beraktivitas dalam kondisi aman untuk memenuhi persyaratan

pelanggan dan peraturan yang berlaku secara mengarahkan kepada kepuasan

pelanggan melalui penerapan sistem secara efektif yang meliputi perbaikan

secara berkesinambungan dan pencegahan terhadap ketidak sesuaian.

4.1.7 Site Plan Perusahaan

PT. Aqua Golden Mississipi berdiri diatas lahan dengan luas tanah sebesar
58,455m², dan bangunan 26,224m² didirikan pada bulan november tahun

1994

Gambar 4.1 Site Plant PT.Aqua Golden Mississipi Mekarsari

4.1.8 Logo Perusahaan


4.2 Gambaran Timbulan Sampah Organik

Sebagaimana UU No. 18 tahun 2008 tentang pengelolaan sampah pasal 1

ayat 1 definisi sampah adalah sisa kegiatan sehari – hari manusia dan atau

poses alam yang berbentuk padat. Pada dasarnya, sampah dapat dibedakan

menjadi dua macam yaitu sampah organik dan sampah anorganik. Sampah

organik adalah sampah yang mudah membusuk dan dapat diolah langsung

menjadi kompos. Sedangkan sampah anorganik adalah sampah yang tidak

mudah membusuk dan pengolahannya dapat dijadikan sebagai sampah

komersil untuk dijadikan produk lainnya.

PT. Aqua Golden Mississipi merupakan salah satu industri yang

menghasilkan sampah organik. Sampah yang termasuk sampah organik di PT.

Aqua Golden Mississipi adalah sampah yang berasal dari dapur, pantry dan

pemeliharaan taman. Berikut merupakan data timbulan sampah PT.Aqua

Golden Mississipi.tbk

Tabel 4. 2

Timbulan Sampah Organik Daun PT. Aqua Golden Mississipi.Tbk

Tahun 2019

NO Tanggal Pengukuran Berat Timbulan Sampah


(kg)
1 22 April 2019 85
2 23April 2019 56
3 24 April 2019 41
4 25 April 2019 52
5 26 April 2019 35
6 27 April 2019 57
Rata-rata Timbulan Sampah 54

Timbulan Sampah Organik yang berasal dari Halaman PT.Aqua Golden

Mississipi Tbk rata-rata adalah 54kg


Besarnya timbulan sampah organik di PT.Aqua Golden Mississipi.Tbk

merupakan salah satu permasalahan lingkungan yang harus diselesaikan.

Timbulan sampah yang dihasilkan diperusahaan tersebut harus dilakukan

pengelolaan dan pemanfaatan untuk mengurangi jumlah timbulan sampah

tersebut. Timbulan sampah organik sejenis sampah daundihasilkan dari hasil

pemotongan dedaunandi halaman maupun taman industri. Sampah organik

dapat dimanfaatkan menjadi kompos untuk mengurangi timbulan sampah dan

menghasilkan produk yang berguna.

4.3 Hasil Penelitian

Dari hasil penelitian yang dilaksanakan mulai dari tanggal 20 April2019 –

mei 2019, diperoleh data yang terdiri dari data hasil pengukuran suhu

kompos, pH kompos, kelembaban kompos, lama waktu kematangan kompos

serta hasil pengamatan perubahan warna kompos, tekstur kompos dan bau

kompos.

4.3.1 Hasil Pengukuran Suhu Pengomposan

Pengukuran Suhu Kompos dilakukan setiap hari selama proses pengomposan

terjadi, pengukuran dilakukan pada kompos yang menggunakan Bioaktivator

MOL Pepaya, MOL Tape Ketan dan kontrol. Data Hasil pengukuran Suhu

Pengomposan dapat dilihat pada Tabel dibawah ini:

Tabel 4.5

Hasil Pengukuran Suhu Pada Proses Pengomposan Sampah Organik

Dengan Menggunakan Berbagai Bioaktivator

Pengulangan Suhu Pengomposan Sampah Organik


Kontrol MOL Pepaya MOL Tape Ketan
1 29-39 29-40
2 28-38 29-39 29-39
3 29-39 29-39
4 29-39 29-40
5 28-38 29-39 29-39
6 29-39 29-39
7 29-39 29-39
8 28-38 29-39 29-39
9 29-39 29-39
Berdasarkan tabel diatas dapat dilihat bahwa suhu pada proses pengomposan

dengan menggunakan MOL pepaya dengan lama waktu proses

pengomposan 13hari berkisar antara 29°C-39°C, Proses pengomposan

dengan menggunakan MOL Tape ketan dengan lama waktu 13 hari berkisar

antara 29°C-40°C, dan proses pengomposan pada kontrol dengan lama waktu

pengomposan selama 13 hari berkisar 28°C-38°C.

4.3.2 Hasil Pengukuran Kelembaban Pengomposan

Pengukuran kelembaban dilakukan setiap hari selama pengomposan terjadi,

pengukuran dilakukan pada kompos yang menggunakan MOL pepaya dan

MOL Tape ketan dan kontrol. Data hasil pengukuran kelembaban

pengomposan dapat dilihat pada tabel dibawah ini :

Tabel 4.6

Hasil Pengukuran Kelembaban Pada Proses Pengomposan Sampah Organik

Dengan Menggunakan Berbagai Bioaktivator

Pengulangan Kelembaban Pengomposan Sampah Organik


Kontrol MOL Pepaya MOL Tape Ketan
1 43-54 44-53
2 43-54 42-54 42-53
3 44-53 42-53
4 44-54 42-52
5 44-54 45-54 42-52
6 44-54 42-53
7 44-53 42-53
8 44-54 45-53 42-52
9 44-54 42-53
Berdasarkan tabel diatas dapat dilihat bahwa kelembaban pada proses

pengomposan dengan menggunakan MOL pepaya dengan lama waktu

proses pengomposan 13hari berkisar antara 42%-54%, Proses pengomposan

dengan menggunakan MOL Tape ketan dengan lama waktu 13 hari berkisar

antara 42%-53%, dan proses pengomposan pada kontrol dengan lama waktu

pengomposan selama 13 hari berkisar 43%-54%.

4.3.3 Hasil Pengukuran pH pengomposan

Pengukuran pH dilakukan setiap hari selama pengomposan terjadi,

pengukuran dilakukan pada kompos yang menggunakan MOL pepaya, MOL

Tape ketan dan kontrol. Data hasil pengukuran pH pengomposan dapat dilihat

pada tabel dibawah ini :

Tabel 4.6

Hasil Pengukuran pH Pada Proses Pengomposan Sampah Organik

Dengan Menggunakan Berbagai Bioaktivator

Pengulangan Kelembaban Pengomposan Sampah Organik


Kontrol MOL Pepaya MOL Tape Ketan
1 6,0-7,0 6,0-7,0
2 6,0-6,5 6,0-7,0 6,0-7,0
3 6,0-7,0 6,0-7,0
4 6,0-7,0 6,0-7,0
5 6,0-6,5 6,0-7,0 6,0-7,0
6 6,0-7,0 6,0-7,0
7 6,0-7,0 6,0-7,0
8 6,0-6,5 6,0-7,0 6,0-7,0
9 6,0-7,0 6,0-7,0

Berdasarkan tabel diatas dapat dilihat bahwa pH pada proses pengomposan

dengan menggunakan MOL pepaya dengan lama waktu proses

pengomposan 13hari berkisar antara 6,0-7,0 Proses pengomposan dengan

menggunakan MOL Tape ketan dengan lama waktu 13 hari berkisar antara,
6,0-7,0 dan proses pengomposan pada kontrol dengan lama waktu

pengomposan selama 13 hari berkisar 6,0-6,5

4.3.4 Hasil pengamatan warna kompos

Pengamatan warna kompos dilakukan dilakukan setiap hari selama proses

pengomposan terjadi, pengukuran dilakukan pada kompos yang

menggunakan MOL pepaya, MOL Tape ketan dan kontrol. Data hasil

pengamatan perubahan warna pada proses pengomposan dapat dilihat pada

tabel dibawah ini :

Tabel 4.6

Hasil pengamatan warna Pada Proses Pengomposan Sampah Organik

Dengan Menggunakan Berbagai Bioaktivator

Pengulangan Kelembaban Pengomposan Sampah Organik


Kontrol MOL Pepaya MOL Tape Ketan
1 1 2
2 0 1 2
3 1 2
4 1 2
5 0 1 2
6 1 2
7 1 2
8 0 1 2
9 1 2
Keterangan: (0) Warna Asli

(1) Coklat

(2) Coklat kehitaman

Berdasarkan tabel diatas dapat dilihat bahwa warna pada proses pengomposan

dengan menggunakan MOL pepaya dengan lama waktu proses

pengomposan 13hari yaitu berwarna coklat, Proses perubahan warna pada

proses pengomposan dengan menggunakan MOL Tape ketan dengan lama

waktu 13 hari yaitu berwarna coklat kehitaman, dan proses perubahan warna
pada proses pengomposan pada kontrol dengan lama waktu pengomposan

selama 13 yaitu berwarna asli.

4.3.5 Hasil pengamatan Tekstur kompos

Pengamatan tekstur kompos dilakukan dilakukan setiap hari selama

proses pengomposan terjadi, pengukuran dilakukan pada kompos yang

menggunakan MOL pepaya, MOL Tape ketan dan kontrol. Data hasil

pengamatan tekstur pada proses pengomposan dapat dilihat pada tabel

dibawah ini :

Tabel 4.7

Hasil pengamatan Tekstur Pada Proses Pengomposan Sampah Organik

Dengan Menggunakan Berbagai Bioaktivator

Pengulangan Tekstur Pengomposan Sampah Organik


Kontrol MOL Pepaya MOL Tape Ketan
1 0 1
2 0 0 1
3 0 1
4 0 1
5 0 0 1
6 0 1
7 0 1
8 0 0 1
9 0 1
Keterangan: (0) Keras

(1) Agak lunak

(2) Lunak

Berdasarkan tabel diatas dapat dilihat bahwa tekstur pada proses

pengomposan dengan menggunakan MOL pepaya dengan lama waktu

proses pengomposan 13hari yaitu bertekstur keras, Proses tekstur pada

proses pengomposan dengan menggunakan MOL Tape ketan dengan lama

waktu 13 hari yaitu berstektur agak lunak, dan proses perubahan tekstur pada
proses pengomposan pada kontrol dengan lama waktu pengomposan selama

13 yaitu berstektur keras.

4.3.5 Hasil pengamatan Bau (Aroma) kompos

Pengamatan bau (aoma) kompos dilakukan dilakukan setiap hari selama

proses pengomposan terjadi, pengamatan dilakukan pada kompos yang

menggunakan MOL pepaya, MOL Tape ketan dan kontrol. Data hasil

pengamatan bau (aroma) pada proses pengomposan dapat dilihat pada tabel

dibawah ini :

Tabel 4.8

Hasil pengamatan Bau (aroma) Pada Proses Pengomposan Sampah Organik

Dengan Menggunakan Berbagai Bioaktivator

Pengulangan Bau (Aroma) Pengomposan Sampah Organik


Kontrol MOL Pepaya MOL Tape Ketan
1 1 1
2 0 1 1
3 1 1
4 1 1
5 0 1 1
6 1 1
7 1 1
8 0 1 1
9 1 1
Keterangan: (0) Bau bahan dasar

(1) Bau bahan dasar mulai hilang

(2) Berbau seperti Tanah

Berdasarkan tabel diatas dapat dilihat bahwa bau (aroma) pada proses

pengomposan dengan menggunakan MOL pepaya dengan lama waktu

proses pengomposan 13hari yaitu berbau bahan dasar mulai hilang, Proses

bau (aroma) pada proses pengomposan dengan menggunakan MOL Tape


ketan dengan lama waktu 13 hari yaitu berbau bahan dasar mulai hilang, dan

proses perubahan bau (aroma) pada proses pengomposan pada kontrol

dengan lama waktu pengomposan selama 13 yaitu berbau bahan dasar.

4.3.6 Hasil pengamatan Lama Waktu Pengomposan

Pengamatan lama waktu pengomposan dilakukan sejak mulai dilakukan

pengomposan hingga kompos matang, pengamatan ini dilakukan pada

kompos yang menggunakan MOL pepaya, MOL Tape ketan dan kontrol.

Data hasil pengamatan lama waktu pada proses pengomposan dapat dilihat

pada tabel dibawah ini :

Tabel 4.8

Hasil pengamatan Lama Waktu Pada Proses Pengomposan Sampah Organik

Dengan Menggunakan Berbagai Bioaktivator

Pengulangan Lama waktu Pengomposan Sampah Organik


Kontrol MOL Pepaya MOL Tape Ketan
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Berdasarkan tabel diatas dapat dilihat bahwa lama waktu pada proses

pengomposan dengan menggunakan MOL pepaya dengan lama waktu

proses pengomposan 13hari belum terbentuk kompos sehingga belum bisa

menentukan lama waktu terbentuknya kompos. Proses lama waktu

terbentuknya lompos dengan menggunakan MOL Tape ketan dengan lama

waktu 13 hari juga belum bisa terlihat karena belum terbentuknya kompos,

dan proses lama waktu terbentuknya kompos pada kontrol dengan lama
waktu pengomposan selama 13 belum dapat terlihat karena kompos belum

terbentuk.

4.4 Analisis Data

4.4.1 Analisis Univariat

Analisis univariat pada penelitian ini bertujuan untuk mengetahui nilai rata-

rata (mean), Standar Deviasi (SD), serta nilai maximum dan minimum dari

lama waktu pengomposan.

4.5 Pembahasan

4.5.1 Suhu Pengomposan

Panas dihasilkan dari aktivitas mikroba. Ada hubungan langsung antara

peningkatan suhu dengan komsumsi oksigen. Semakin tinggi temperatur

maka semakin banyak konsumsi oksigen. Semakin tinggi temperatur maka

semakin banyak konsumsi oksigen dan semakin cepat pula proses

dekomposisi.

A. Suhu Pengomposan dengan menggunakan Mikroorganisme Lokal

(MOL) Pepaya

Pada proses pengomposan dengan menggunakan MOL pepaya dengan lama

waktu pemantauan selama 13 hari, suhu awal pengomposan 29°C, hal ini

menandakan bahwa mulainya aktivitas mikroba yang bertugas menguraikan

bahan organik. Kemudian terjadi fase mesofilik yaitu kondisi yang memacu

prtumbuhan dan perkembangan mikroba seperti bakteri, jamur dan

actinomycetes, sehingga pada pengukuran hari ke 2sampai hari ke-9 terjadi

peningkatan suhu sehingga mencapai 39°C hal ini menandakan bahwa mulai

meningkatnya aktivitas mikroba dalam menguraikan bahan organik atau


disebut juga fase termofilik. Pada saat proses pengomposan hari ke -10

sampai hari ke-13 mulai terjadi penurunan suhu sampai terendah 31°C, hal ini

disebabkan karena menurunnya pasokan bahan organikyang dapat diuraikan

menurunnya suhu menandakan bahwa proses pengomposan yang dilakukan

berjalan dengan baik dan menunjukan akan terbentuknya kompos.

B. Suhu Pengomposan dengan menggunakan Mikroorganisme Lokal

(MOL) Tape Ketan

Pada proses pengomposan dengan menggunakan MOL Tape ketan dengan

lama waktu pemantauan selama 13 hari, suhu awal pengomposan 29°C, hal

ini menandakan bahwa mulainya aktivitas mikroba yang bertugas

menguraikan bahan organik. Kemudian terjadi fase mesofilik yaitu kondisi

yang memacu prtumbuhan dan perkembangan mikroba seperti bakteri, jamur

dan actinomycetes, sehingga pada pengukuran hari ke 2sampai hari ke-6

terjadi peningkatan suhu sehingga mencapai 40°C hal ini menandakan bahwa

mulai meningkatnya aktivitas mikroba dalam menguraikan bahan organik

atau disebut juga fase termofilik. Pada saat proses pengomposan hari ke -7

sampai hari ke-13 mulai terjadi penurunan suhu sampai terendah 29°C, hal ini

disebabkan karena menurunnya pasokan bahan organikyang dapat diuraikan

menurunnya suhu menandakan bahwa proses pengomposan yang dilakukan

berjalan dengan baik dan menunjukan akan terbentuknya kompos.

C. Suhu Pengomposan tanpa menggunakan Mikroorganisme Lokal (MOL)

Pada proses pengomposan tanpa menggunakan MOL dengan lama waktu

pemantauan selama 13 hari, suhu awal pengomposan 28°C, hal ini

menandakan bahwa mulainya aktivitas mikroba yang bertugas menguraikan


bahan organik. Kemudian terjadi fase mesofilik yaitu kondisi yang memacu

prtumbuhan dan perkembangan mikroba seperti bakteri, jamur dan

actinomycetes, sehingga pada pengukuran hari ke 2sampai hari ke-11 terjadi

peningkatan suhu sehingga mencapai 39°C hal ini menandakan bahwa mulai

meningkatnya aktivitas mikroba dalam menguraikan bahan organik atau

disebut juga fase termofilik. Pada saat proses pengomposan hari ke -12

sampai hari ke-13 mulai terjadi penurunan suhu sampai terendah 33°C, hal ini

disebabkan karena menurunnya pasokan bahan organikyang dapat diuraikan

menurunnya suhu menandakan bahwa proses pengomposan yang dilakukan

berjalan dengan baik dan menunjukan akan terbentuknya kompos.


73

You might also like