You are on page 1of 15

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES PADANG

STATUS KEBERSIHAN GIGI DAN MULUT PADA ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS


USIA SEKOLAH DASAR DI SLB PELITA HATI KECAMATAN TAMPAN
KOTA PEKANBARU

Proposal Karya Tulis Ilmiah


Diajukan ke Program Study Jurusan DIII Keperawatan Gigi Politeknik
Kesehatan Kemenkes Padang sebagai persyaratan dalam menyelesaikan
Pendidikan Diploma III Politeknik Kesehatan Kemenkes Padang

Oleh:
ISTUTI
NIM:185141161

JURUSAN KEPERAWATAN GIGI


POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES PADANG
TAHUN 2019
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis sampaikan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa dengan berkat serta rahmat
dan karunia-Nya, penulisan proposal penelitian ini dapat diselesaikan oleh penulis walaupun menemui
kesulitan maupun rintangan. Penyusunan dan penulisan proposal penelitian ini merupakan rangkaian dari
proses pendidikan secara menyeluruh dari program study DIII Jurusan Keperawatan Gigi di Politeknik
Kesehatan Kemenkes Padang dan sebagai persyaratan dalam menyelesaikan pendidikan DIII Keperawatan
Gigi pada masa akhir pendidikan.

Judul proposal penelitian “ Status Kebersihan Gigi dan Mulut pada Anak Berkebutuhan Khusus Usia
Sekolah Dasar di SLB Pelita Hati Kecamatan Tampan Kota Pekanbaru”

Dalam penulisan proposal penelitian ini penulis menyadari akan keterbatasan kemampuan
yang ada, sehingga penulis merasa masih ada yang belum sempurna, baik dalam isi maupun dalam
penyajian. Untuk itu penulis selalu terbuka atas kritik dan saran yang membangun guna penyempurnaan
proposal penelitian ini.

Dalam kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya
atas segala bimbingan, pengarahan serta masukan dalam penulisan proposal penelitiaqn dari Ibu
drg.Linayetty,Mkes selaku pembimbing I dan Ibu Eldarita,S.SiT,MDSc selaku pembimbing II serta berbagai
pihak yang penulis terima, sehingga penulis dapat menyelesaikan proposal penulisan ini.

Ucapan terima kasih ini juga penulis tujukan kepada:

1. Bapak Dr. Burhan Muslim,SKM,MSi, selaku Direktur Politeknik Kesehatan Kementerian Kesehatan
Padang.
2. Ibu drg.Minarni,MDSc selaku Ketua Jurusan Keperawatan Gigi.
3. Ibu drg.Lisnayetty,M.Kes sebagai Penasehat Akademik selama perkuliahan.
BAB I
PENDAHULUAN

A.Latar Belakang Masalah


Menurut undang-undang RI NO.23 Tahun 1992 tentang kesehatan, kesehatan adalah
keadaan sejahtera dari badan, jiwa dan social yang memungkinkan setiap orang hidup secara
produktif secara social dan ekonomi. Setiap orang tua menginginkan anaknya tumbuh dan
berkembang secara optimal. Namun, di Indonesia tidak banyak orang tua yang peduli akan
kesehatan gigi anak, terlebih pada anak berkebutuhan khusus. Anak-anak yang berkebutuhan
khusus adalah tunanetra, tunarungu, tunalaras, tunadaksa, tunagrahita, atau retardasi mental,
cerebral palsy, dan autis. Kebersihan gigi dan mulut merupakan hal yang sangat penting.
Kebersihan gigi dan mulut di Indonesia perlu diperhatikan, karena penyakit gigi dan mulut
merupakan penyakit yang dikeluhkan oleh masyarakat. Masalah gigi dan mulut biasa terjadi
karena kurangnya menjaga kebersihan gigi dan mulut dan masalah ini dapat mengenai siapa saja
tanpa mengenal usia. Anak merupakan usia rentan terhadap penyakit mulut karena masih
memerlukan bantuan dari orang tua maupun keluarga untuk membimbing dalam menjaga
kebersihan gigi dan mulutnya begitu pula anak berkebutuhan khusus yang memiliki resiko sangat
tinggi pada masalah kebersihan gigi daan mulut.
Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) adalah anak yang berisiko tinggi atau mempunyai
kondisi kronis secara fisik, perkembangan, perilaku, atau emosi. Anak berkebutuhan khusus
merupakan istilah lain untuk menggantikan kata Anak Luar Biasa (ABL) yang menandakan
adanya kelainan khusus dan mempunyai karakteristik yang berbeda antara satu dan lainnya.
Di Indonesia, ABK yang mempunyai gangguan perkembangan antara lain: tunanetra
(kehilangan indera penglihatan), tunarungu (keterbatasan pada pendengaran dan berbicara),
tunagrahita (retardasi mental), tunadaksa (keterbatasan pada kondisi fisik atau motorik),
tunalaras (karakteristik anak sering membuat keonaran secara berlebihan), autisme (anak
dengan kelainan pada ketidakmampuan berbahasa), hiperaktif (suatu gejala yang diakibatkan
oleh faktor kerusakan pada otak , kelainan emosional dan kurang dengar), anak dengan
gangguan pada waktu belajar (murid yang sering kali mempunyai prestasi rendah dalam
bidang akademik tertentu seperti membaca, menulis, dan berhitung), serta anak dengan
kelainan perkembangan ganda (tunaganda).

Saat ini , penelitian tentang status kebersihan gigi dan mulut pada ABK belum banyak
dilakukan dikarenakan berbagai alasan misalnya, anak tersebut tidak kooperatif. Penelitian ini
bertujuan untuk mendapatkan status kebersihan gigi dan mulut pada murid berkebutuhan
khusus di SLB Pelita Hati Pekanbaru agar dapat mengetahui pola hidup para murid serta
perhatian orang tua dan pendidik dalam membantu menjaga kesehatan gigi dan mulut anak-anak
tersebut.
Individu berkebutuhan khusus memiliki tingkat kesehatan dan kebersihan gigi dan mulut
yang lebih rendah dibandingkan dengan individu normal. Tingkat pengetahuan tentang menjaga
kesehatan gigi dan mulut yang rendah menyebabkan tingginya angka karies, kalkulus, dan debris.
Salah satu indicator kesehatan gigi dan mulut yaitu tingkat kebersihan gigi dan mulut. Hal
tersebut dapat dilihat secara klinis dari ada tidaknya deposit-deposit organik, seperti pelikel,
material alba, debris, kalkulus, dan plak gigi. Plak merupakan deposit lunak yang membentuk
lapisan bioflm dan melekat pada permukaan gigi dan gusi serta permukaan jaringan keras lainnya
dalam rongga mulut. Resiko yang ditimbulkan akibat kondisi kebersihan gigi dan mulut yang
buruk dapat meningkatkan terjadinya karies dan penyakit periodontal.
Faktor lingkungan, distribusi penduduk dan perilaku murid terhadap kebersihan gigi dan
mulut merupakan faktor yang mempengaruhi dalam peningkatan upaya kesehatan gigi dan
mulut. Indikator derajat kebersihan gigi dan mulut di Indonesia memiliki status derajat
kebersihan gigi dan mulut dengan rerata Oral Hygiene Index Simplified (OHI-S) <1,2. Indikator
kebersihan gigi dan mulut (OHI-S) didapatkan dari menjumlahkan angka debris indeks dan
kalkulus indeks. Indeks OHI-S adalah keadaan kebersihan gigi dan mulut dari murid yang dinilai
dari adanya sisa makanan (debris) dan kalkulus (karang gigi) pada permukaan gigi.
Menjaga kesehatan gigi dapat dilakukan dengan menyikat gigi, tujuannya adalah
untuk menghilangkan plak pada permukaan gigi sehingga kebersihan gigi dan mulut tetap baik.
Tingkat kebersihan seseorang dapat berubah dengan adanya kebiasaan menyikat gigi setiap 2
kali sehari. Riskesda tahun 2007 tentang pengaruh kebiasaan menyikat gigi terhadap prevalensi
karies menyimpulkan bahwa murid yang memiliki kebiasaan menyikat gigi hanya setelah sarapan
beresiko karies 1,4 kali dibandingkan dengan yang memiliki kebiasaan menyikat gigi setelah
sarapan dan sebelum tidur.
Kelompok anak usia sekolah dasar pada umumnya belum bisa menyikat gigi dengan baik
dan efektif, karena menyikat gigi itu tidak mudah terutama pada makanan yang lengket, serta
sisa makanan yang berada pada permukaan gigi yang sulit dijangkau dengan sikat gigi. Untuk
itulah peran orang tua dalam membimbing dan mendisiplinkan anak untuk melatih pemeliharaan
kesehatan gigi dan mulut dengan menyikat gigi secara baik dan benar pada anak-anak sangat
diperlukan agar sisa makanan yang tertinggal dipermukaan gigi yang sulit dijangkau dengan sikat
gigi bisa dibersihkan.
Berdasarkan hasil pemeriksaan gigi dan mulut oleh penulis pada anak berkebutuhan khusus
di SLB Pelita Hati Kecamatan Tampan Kota Pekanbaru, yang berjumlah 36 murid yang
berdasarkan tingkat kelainan ,untuk kelas A (tunanetra) ada 3 murid, kelas B (tunarungu) ada 15
murid dan kelas C (tunagrahita) ada 18 murid disajikan dalam tabel 1.1, dan distribusi responden
berdasarkan tingkatan kelas ada 12 kelas dengan variasi umur disajikan dalam tabel 1.2, distribusi
responden berdasarkan jenis kelamin disajikan dalam tabel 1.3
Tabel 1.1 Distribusi responden berdasarkan tingkat kelainan di SLB Pelita Hati Kecamatan Tampan

No. Kelainan Jumlah %


1. Tunanetra 3 murid 8
2. Tunarungu 15 murid 42
3. Tunagrahita 18 murid 50
Jumlah 36 murid 100

Tabel 1.2 Distribusi responden berdasarkan tingkatan kelas di SLB Pelita Hati Kecamatan Tampan

No Kelas Jumlah Murid %


1. Kelas 1 C 5 murid 13
2. Kelas 1 B 2 murid 5
3. Kelas II B 2 murid 5
4. Kelas II C 2 murid 5
5. Kelas III A 2 murid 5
6. Kelas III B 5 murid 13
7. Kelas IV B 1 murid 2
8. Kelas IV C 3 murid 8
9. Kelas V A 1 murid 2
10. Kelas V C 3 murid 8
11. Kelas VI B 5 murid 13
12. Kelas VI C 5 murid 13
Jumlah 36 murid 100

Tabel 1.3 Distribusi responden berdasarkan jenis kelamin di SLB Pelita Hati

No Jenis Kelamin n %
1. Laki – laki 19 52
2. Perempuan 17 48
Jumlah 36 100

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan data diatas, maka dapat ditarik permasalahan penelitian sebagai berikut:
“Bagaimana Gambaran Status Kebersihan gigi dan mulut Pada anak Berkebutuhan Khusus
pada usia sekolah dasar di SLB Pelita Hati kota Pekanbaru”
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui status kebersihan gigi dan mulut pada anak berkebutuhan khusus usia
anak sekolah dasar di SLB Pelita Hati Tampan kota Pekanbaru
2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui distribusi frekuensi debris indeks pada murid berkebutuhan khusus
usia anak sekolah dasar di SLB Pelita hati Kec.Tampan Kota Pekanbaru
b. Untuk mengetahui status kebersihan gigi dan mulut pada anak berkebutuhan khusus
pada anak usia sekolah dasar di SLB Pelita Hati Kec. Tampan Kota Pekanbaru
D. Manfaat Penelitian
Berdasarkan tujuan penelitian yang telah diuraikan di atas maka manfaat penelitian ini adalah:
1. Bagi institusi pendidikan
Sebagai bahan masukan dan informasi mengenai status kebersihan gigi dan mulut pada
anak berkebutuhan khusus di SLB Pelita Hati Kec.Tampan Kota Pekanbaru
2. Bagi Peneliti lain
Sebagai bahan masukan bagi peneliti selanjutnya terutama dalam melakukan penelitian
pada anak berkebutuhan khusus
3. Bagi keilmuan keperawatan gigi
Sebagai informasi bagi mahasiswa keperawatan gigi dalam upaya meningkatkan kesehatan
gigi dan mulut terutama pada anak berkebutuhanm khusus

E. Ruang Lingkup Penelitian


Penelitian ini membahas tentang gambaran status kebersihan gigi dan mulut anak
berkebutuhan khusus di SLB Pelita Hati Kecamatan Tampan Kota Pekanbaru
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Kebersihan Gigi dan Mulut

1. Definisi Kebersihan Gigi dan Mulut


Penyakit gigi dan mulut lebih banyak terdapat dalam kondisi rongga mulut yang kotor.
Kebanyakan orang menomorduakan kondisi kesehatan gigi. ( Buku Kompas Jakarta,2007) Plak
atau Debris dipermukaan gigi dapat dipakai sebagai indicator kebersihan mulut. Pembersihan gigi
yang kurang baik menyebabkan plak mengumpul paling banyak. (Dentika Dental Jurnal, Vol I
2002). Kebanyakan masalah kesehatan gigi dan mulut adalah plak. Plak inilah yang menjadi focus
masalah utama kita dalam menjaga kebersihan dan kesehatan gigi dan mulut. Walaupun plak
memiliki konsistensi yang lunak sehingga mudah dibersihkan dengan melakukan penyikatan gigi
yang baik dan flossing dengan menggunakan benang gigi, plak akan tetap terbentuk setelah
dibersihkan. Oleh karena itu rutinitas menjaga kebersihan gigi dari plak sangat penting. Agar plak
tidak bertambah banyak dan tebal. (Ardiyan Gilang Ramadhan, 2010). Biasanya mendeteksinya
pada permukaan gigi tidak sukar. Jika tertutupi plak gigi akan tampak kusam. Tetapi plak akan
cepat terlihat jika diwarnai dengan zat pewarna plak akan terbentuk pada semua permukaan gigi.
Perkembangannya paling baik jika daerahnya paling sedikit kena sentuhan, seperti disekitar
daerah tepi gingival, pada permukaan proksimal dan didalam fissure.

2. Indikator Kebersihan Gigi dan Mulut.


Menurut Putri (2009) mengukur kebersihan gigi dan mulut merupakan upaya untuk
menentukan keadaan kebersihan gigi dan mulut seseorang. Indikator yang biasa digunakan
mengukur indeks Oral Hygiene Index Simplified (OHI-S) dari Green and Vermilion.
Pada awalnya indeks ini digunakan untuk menilai penyakit peradangan gusi dan penyakit
periodontal, akan tetapi dari data yang diperoleh ternyata kurang berarti. Oleh karena itu indeks
ini hanya digunakan untuk mengukur tingkat kebersihan gigi dan mulut dan menilai efektifitas dari
penyakit (Putri, 2009)
Untuk mengukur kebersihan gigi dan mulut seseorng. Green and Vermilion memilih enam
permukaan gigi tertentu yang cukup mewakili bagian depan maupun belakang dari seluruh
permukaan gigi yang ada dalam rongga mulut. Gigi yang diperiksa ada enam buah dengan
perincian yang telah ditentukan sebelumnya, empat gigi diperiksa permukaan bukal (bagian pipi)
atau facialnya (bagian depan) yaitu Molar satu atas kanan, Incisivus satu atas kanan, molar satu
atas kiri dan incisivus satu bawah kiri. Dua gigi diperiksa pada permukaan lingualnya (bagian lidah)
Molar satu bawah kanan dan kiri. (Putri, 2009)
Permukaan yang diperiksa adalah permukaan gigi yang jelas yang terlihat dalam mulut,
yaitu permukaan klinis bukan permukaan anatomis, Jika gigi indeks pada suatu bagian atau
segmen tidak ada, lakukan pengganti gigi terebut dengan ketentuan sebagai berikut : Permukaan
yang diperiksa adalah permukaan gigi yang jelas terlihat dalam mulut, yaitu permukaan klinis
bukan permukaan anatomis, jika gigi indeks pada suatu segmen tidak ada , dilakukan penggantian
gigi tersebut dengan ketentuan sebagai berikut:
a) Jika gigi molar pertama tidak ada, penilaian dilakukan pada gigi molar kedua, jika molar
pertama dan molar kedua tidak ada penilaian dilakukan pada molar ketiga akan tetapi jika
molar pertama, kedua dan ketiga tidak ada maka tidak ada penilaian untuk segmen tersebut.
b) Jika gigi insisivus pertama kanan atas tidak ada, dapat diganti oleh gigi insisivus kiri dan jika
gigi insisivus pertama kiri bawah tidak ada,dapat diganti dengan gigi insisivus kanan bawah,
akan tetapi jika gigi insisivus pertama kiri atau kanan tidak ada, maka tidak ada penilaian
untuk segmen tersebut.
c) Gigi indeks dianggap tidak ada pada keadaan seperti: gig hilang karena dicabut, gigi yang
merupakan sisa akar, gigi yang merupakan mahkota jaket, baik yang berupa dari akrilik
maupun logam, mahkota gigi sudah hilang atau rusak lebih dari ½ bagiannya pada permukaan
indeks akibat karies maupun fraktur, gigi yang erupsinya belum mencapai ½ tinggi makhota
klinis.
d) Penilaian dapat dilakukan jika minimal ada dua gigi indeks yang dapat diperiksa.

3. Mencatat Skor Debris (Debris Index)


Oral debris adalah bahan lunak dipermukaan gigi yang dapat merupakan plak dan sisa makanan.
Skorsing untuk DI-S sesuai dengan kriteria berikut :
a) 0 = tidak terdapat debris atau stain
b) 1 = terdapat debris lunak yang menutupi tidak lebih dari 1/3 bagian permukaan gigi ataupun
terdapat stain tanpa debris yang menutupi permukaan gigi.
c) 2 = terdapat debris lunak yang menutupi lebih dari 1/3 permukaan gigi tetapi tidak boleh lebih
dari 2/3 bagian permukaan gigi
d) 3 = terdapat debris lunak menutupi lebih dari 2/3 bagian permukaan gigi.
Skor DI per individu didapat dengan menunjukkan skor permukaa gigi dan membaginya dengan
jumlah gigi yang diperiksa.

Cara menghitung skor debris adalah:

Jumlah debris
Indek debris =----------------------------------------------------------
Jumlah permukaan gigi yang diperiksa

Kriteria penilaian debris yaitu mengikuti ketentuan adalah: nilai 0-0,6 yaitu kriteria baik; nilai 0,7-
1,8 yaitu kriteria sedang; dan nilai 1,9-3 kriteria buruk.

4. Mencatat Skor Karang Gigi (Calculus Index)


Pemeriksaan dilakukan dengan menetukan terlebih dahulu apakah karang gigi termasuk karang
gigi supragingival (diatas gusi) atau subgingival (dibawah gusi).
Pemeriksaan dilakukan dengan menggerakkan sonde yang meliputi daerah separuh kelililng gigi.
Skor untuk CI-S sesuai dengan kriteria berikut :
a) 0 = tidak terdapat kalkulus
b) 1 = terdapat kalkulus supragingival yang menutupi tidak lebih dari 1/3 bagian permukaan gigi.
c) 2 = terdapat kalkulus supragingival yang menutupi lebih dari 1/3 bagian permukaan gigi namun
tidak lebih dari 2/3 bagian permukaan gigi maupun terdapat bercak kalkulus individual yang
terletak subgingival disekitar bagian leher gigi atau keduanya.
d) 3 = terdapat kalkulus supragingival yang menutupi lebih dari 2/3 bagian permukaan gigi atau
adanya kalkulus subgingival yang tebal dan melingkar dibagian servikal gigi atau keduanya.
Skor CI per individu didapatkan dengan menjumlahkan skor yang didapat dan kemudian
membaginya dengan jumlah gigi yang diperiksa.

B. Anak Berkebutuhan Khusus (ABK)


1. Definisi Anak Berkebutuhan Khusus
Anak berkebutuhan khusus (ABK) merupakan anak yang memiliki ciri yang berbeda
dengan anak-anak pada umumnya, mereka mengalami hambatan dalam pertumbuhan dan
perkembangannya. Mereka membutuhkan kegiatan dan layanan yang khusus agar dapat
mencapai perkembangan yang optimal. Jumlah anak berkebutuhan khusus di Indonesia sudah
mencapai 1,4 juta orang pada tahun 2014. Anak berkebutuhan khusus merupakan jenis
gangguan yang dapat terjadi pada siapa saja khususnya pada balita sehingga peran orangtua
sangat diperlukan dalam mengamati pertumbuhan dan perkembangan anaknya, salah
satunya, yaitu dengan mengindentifikasi atau mengenali jenis dan karakteristik anak
berkebutuhan khusus. Identifikasi anak berkebutuhaan khusus diperlukan agar keberadaan
mereka dapat diketahui sedini mungkin sehingga selanjutnya orang tua dapat melakukan
tindakan apa yang harus dilakukan dalam menghadapi anak yang teridentifikasi, dan dapat
melakukan pelayanan sesuai dengan kebutuhan.

Anak berkebutuhan khusus (ABK) dianggap berbeda dengan anak normal. Anak
berkebutuhan khusus dianggap anak yang tidak berdaya sehingga perlu dibantu dan
dikasihani. Pandangan ini tidak sepenuhnya benar. Setiap anak mempunyai kekurangan dan
juga kelebihan. Oleh karena itu, dalam melihat anak berkebutuhan khusus, kita harus melihat
dari segi kemampuan dan tidak kemampuannya. Anak berkebutuhan khusus memerlukan
perhatian yang lebih, dengan demikian, ia akan dapat mengembangkan potensi yang
dimilikinya secara optimal.

Pada dasarnya kelainan anak memiliki tingkatan, yaitu dari yang paling ringan hingga
paling berat, dari kelainan tunggal, ganda, hingga kompleks yang berkaitan dengan emosi, fisik,
dan social. Anak berkebutuhan khusus merupakan kelompok heterogen, terdapat di berbagai
strata social, dan menyebar di daerah perkotaan, pedesaan bahkan di daerah-daerah terpencil.

2. Definisi Sindrom Down


a. Definisi Sindrom Down
Sindrom Down merupakan kelainan genetic yang paling sering dengan angka
kejadian secara umum adalah 1 diantara 650-1000 orang. Kelainan ini bersifat universal,
tidak mengenal batas ras, bangsa, suku bangsa, geografi, musim, dan jenis kelamin.
Sindrom Down disebabkan karena adanya tiga kromosom nomor 21 di dalam sel tubuh
penderita yang terjai akibat peristiwa gagal berpisah (non disfunction) kromosom 21 pada
saat terjadi pembelahan sel atau pembentukan sel kelamin (Rosida,2006)
Sindrown Down dipengaruhinoleh beberapa factor, yaitu factor genetic, factor
radiasi, factor virus, factor umur ibu dan umur ayah. Menurut hasil penelitian
epidemiologi mengatakan adanya peningkatan resiko berulang bila dalam keluarga
terdapat anak dengan Sindrom Down. Ada sebagian besar penelitian bahwa sekitar 30%
ibu yang melahirkan anak dengan Sindrom Down pernah mengalami radiasi di daerah
sebelum terjadi konsepsi. Virus mengakibatkan rekombinasi genetic yang membuat DNA
(Deaxy-ribo Nucleic Acid) manusia dikendalikan oleh virus. Resiko untuk mendapatkan
bayi dengan Sindrom Down didapatkan meningkat dengan bertambahnya usia ibu saat
hamil, khususnya bagi wanita yang hamil pada usia diatas 35 tahun. Walau bagaimanapun,
wanita yang hamil pada usia muda tidak bebas terhadap resiko mendapat bayi Sindrom
Down. Usia ayah juga dapat membawa pengaruh pada anak Sindrom Down. Orang tua
dari anak dengan Sindrom Down mendapatkan bahwa 20 – 30 % kasus ekstra kromosom
21 bersumber dari ayahnya, tetapi korelasinya tidak setinggi denganusia ibu. Faktor
tersebut mengakibatkan adanya abnormalitas pada kromosom 21 yang tarjadi akibat
kegagalan sepasang kromosom unt5uk saling memisahkan diri saat terjadi pembelahan
(Rahmah, 2014)
b. Gambaran Karakteristik
Gambaran karakteristik Sindrom Down yaitu:
a) Umum: Keterbelakangan Mental
b) Kepala dan muka: Brachisefali/ bagian kepala belakang sedikit rata, mata sipit seperti
bangsa mongol, telinga kecil dan letak rendah, kulit leher berlebih, wajah datar,
perawakan pendek, lidah yang menonjol dan cacat, jembatan hidung datar, memiliki
rambut yang lemas dan lurus.
c) Toraks: penyakit jantung bawaan (50-70%)
d) Tangan dan kaki: Tangan yang pendek dan lebar, jari kelima hanya dua ruas dan
bentuk jari kaki cenderung pendek dan gemuk dengan jarak yang lebar antara ibu jari
dengan telunjuk.
e) Gambaran lain yang diamati: Kepandaian lebih rendah dari normal, gangguan
pendengaran kongenital/didapat,penis yang kecil.
Sindrom Down atau Retardasi mental akibat kromosom merupakan tampilan utama dari
sindrom ini, dimana IQ (intelligence quotient) level dapat pada berbagai derajat, dari derajat
profound (IQ dibawah 20) sampai batas normal tingkat inteligensi mild (IQ antara 71-84).
Walaupun tampilan klinis dapat dengan mudah didiagnosis saat lahir, namun fungsi
intelektual dan social tidak dapat diprediksi kemungkinannya. Fungsi intelektual secara
signifikan bawah rata-rata didefinisikan sebagai IQ yang berada sekitar 70 atau dibawahnya.
Fungsi adaptif menunjukkan bagaimana individu mengatasi standar kemandirian pribadi
dirinya yang diharapkan tercapai pada individu seusianya. Perilaku adaptif dipengaruhi oleh
individu dan atau factor lingkungan termasuk ada atau tidaknya gangguan mental atau fisik.
Derajat keparahan dari Sindrom Down dapat dispesifikasikaan pada kelemahan intelektual,
yaitu:
1) Mild : IQ level 50-55 sampai sekitar 70
2) Moderat : IQ level 35-40 sampai 50-55
3) Severe : IQ level 20-25 sampai 35-40
4) Profound : IQ level dibawah 20 atau 25.

1. Mild : IQ level 50-55 sampai sekitar 70

Pada tingkatan ini dalam segi pendidikan termasuk masih bisa di didik disekolah umum,
meskipun hasilnya lebih rendah dari anak – anak normal lainnya pada umumnya karena
rentang perhatian mereka lebih pendek, sehingga sulit berkonsentrasi dalam janka waktu
yang lama. Diluar pendidikan, mereka dapat melakukan beberapa keterampilan seperti
mandi, makan, berpakaian, dan mampu menikah.

2. Moderat: IQ level 35-40 sampai 50-55


Pada tingkatan ini dapat dilatih untuk beberapa keterampilan tertentu. Meskipun
berespon lama terhadap pendidikan dan pelatihan. Mereka dapat dilatih untuk mengurus
dirinya sendiri dan dilatih untuk membaca dan menulis sederhana.
3. Severe: iq level 20-25 sampai 35-40
Pada tingkatan ini memperlihatkan banyak masalah dan kesulitan meskipun mereka telah
disekolahkan pada sekolah khusus. Mereka juga mengalami gangguan bicara. Kodisi fisik
lemah sehingga hanya bias dilatih keterampilan khusus selama kondisi fisik mereka
memungkinkan.
4. Profound:IQ level dibawah 20 atau 25
Pada tingkatan ini mereka memiliki masalah yang serius menyangkut fisik dan program
pendidikaqn yang tepat untuk mereka. Mereka juga sangat kurang dalam hal penyesuaian
diri seperti saat mereka berdiri sebdiri tanpa bantuan orang lain. Meski demikian anak
Sindrom Down memiliki IQ yang berkisaran antara mid dan moderate (Goldman,200
dikutip dari Skripsi Alresna, 2009).

Tabel 2.1.Karakteristik dari retardasi mental berdasarkan range umur.

Derajat Perawata Awal masa Sekolah dasar dan dewasa


keparahan n mental kanak-kanak remaja
rtardasi
Profound:sanga 1 – 2% Fungsi sangat Masih mungkin dalam Penyendiri/tersembun
t berat <20-25 terganggu berbicara&perkembanga yi
n motoric
Severe:Berat 3 – 4% Sedikit atau tidak Dapat mempelajari Dapat mengerjakan
20-25 sampai dapat berbicara untuk tugas sederhana
35-40 komunikatif berbicara,kemampuan sendiri/tersembunyi
perawatan diri dasar
Moderat:Sedan Dapat Dapat belajar sampai Dapat mengerjakan
g 35-40 sampai berkomunikqasi dengan kemampuan tugas umum dibawah
50-55(dapat atau berbicara kelas dua,dapat pengawasan
dilatih) 10% berjalaan-jalan mandiri
ditempat yang
dikenali,dapt
memberikan hasil positif
jika dilatih
Mild:Ringan 50- Sering tidak dapat Akhir masa remaja dapat Dapat hidup di
55 sampai dibedakan dari mencapai kelas enam komunitas dengan
70(dapat normal,penuruna support
dididk) 85% n fungsi motoric
minimaql

Dapat disimpulkan dari tabel diatas bahwa derajat retardasi mental yang sering terjadi
Sindrom Down yang tak ditentukan adalah kondisi dimana terdapat dugaan retardasi mental,
tetapi individu tersebut tidak dapat dites dengan tes standar karena, sebagai contoh, orang
tersebut tidak kooratif. Batas frungsi intelektual (IQ 71-84) lebih tinggi dibandingkan untuk
retardasi mental(Goldman,2000 dikutip dari Skripsi Alresna, 2009)

c.Gejala Klinis ditinjau dari segi Ilmu Kedokteran Gigi

Pasien Sindrom Down mempunyai susunan geligi yang tidak beraturan, dan ini
merupakan factor predisposisi dari retensi plak dan mempersulit upaya menghilangkan plak.
Mreka juga menyatakan bahwa bila bibir terbuka maka gingiva bagian depan tidak akan
terbasahi oleh saliva sehingga keadaan ini mempunyai efek antara lain: aksi pembersihan
oleh saliva berkurang sehingga memudahkan timbunnan plak bertambah. Serta terjadi
dehidrasi dari jaringaan yang akan mengganggu retensinya. Khusus pada penderita retardasi
mental yang mengalami Sindrom Down, macam maloklusi yang sering ditemukan adalah
gangguan pertumbuhan dentokraniofasial yaiitu mikrodonsi, gigi berdesakan, gigitan silang
dan gigitan terbuka. (Mawardiyanti, 2012)

Ciri khas Sindrom Down adalah pertumbuhan yang lambat. Anak-anak dengan Sindrom
Down sering memiliki infeksi saluran pernapasan atas kronis. Ini menyebabkan sering terjadi
pernapasan melalui mulut dan berefek xerostomia (mulut kering). Beberapa peneliti telah
melaporkan adanya gangguan pertumbuhan dentokraniofasial, umumnya dijumpai
mikrondonsi, anomaly struktur fasial, keterlambatan erupsi gigi, oligodonsia gigi berjejal,
gigitan terbuka dan gigitan silang anterior. Keadaan umum rongga mulut anak SindromDown
adalah lidah maupun bibir terbentuk celah dan fissure. Pembentukan fissure pada lidah
menjadi berat dan merupakan factor kontribusi pada terjadinya halitosis (Pilcher,1998)
D. KERANGKA TEORI

SYNDROM DOWN

1.Gambaran Karakteristik
2.Gejala Klinis ditinjau
KEBERSIHAN GIGI DAN MULUT
dari segi Ilmu Kedokteran
Gigi

OHI-S

Sumber : Wilkins (2005), (Lismaya,2015), (Dorlan,2002), (Mumpuni,2013),


(Kusumawardani,2011), (Putri,2009),(Alresna,2009), (Mawardiyanti,2012)
BAB III
METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif yaitu suatu metode penelitian yang
dilakukan dengan tujuan utama untuk membuat gambaran tentang suatu keadaan secara
objektif dengan menggambarkan keadaan kesehatan gigi dan anak Sindrom Down
(Notoatmodjo, 2005)
B. Tempat dan Waktu Penelitian
Tempat penelitian ini dilaksanakan di SLB Pelita Hati jl.Merpati Sakti Kecamatan
Tampan Kota Pekanbaru, Riau.
Penelitian ini dilaksanakan bulan April – Juni 2019.
C. Populasi dan Sampel Penelitian
1. Populasi Penelitian
Populasi penelitian adalah seluruh anak-anak berkebutuhan khusus atau Sindrom
Down usia sekolah dasar yang berjumlah 36 murid yaitu di SLB Pelita Hati Kecamatan
Tampan Kota Pekanbaru
2. Cara Pengambilan Sampel
Pengambilan sampel pada penelitian ini adalah secara Total Sampling yaitu suatu
pengambilan sampel yang dilakukan dengan cara memakai seluruh populasi dalam
pelaksanaan penelitian. Pengumpulan data dilakukan oleh peneliti dan beberapa
rekan melalui pemeriksaan OHI-S pada anak Sindrom Down.
D. Alat dan Bahan Penelitian.
A. Alat
Alat yang digunakan antara lain:
- Form pemeriksaan OHI-S
- Kaca mulut
- Sonde
- Pincet
- Masker
- Handscoon
B. Bahan
Bahan yang digunakan antara lain:
- Cotton roll dan cotton pellet
- Alkohol 70%

E. Pengolahan Data
Data yang disajikan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi

You might also like